You are on page 1of 61

PRAKTIKPROFESIKEPERAWATANANAK

SEMINARKASUS

“Asuhan Keperawatan Pada An. S dengan SLE”

AmeliaJamirus 2141312005
SilviraYusri 2141312030
SriDindaAndrifa 2141312001
MutiaraSalam 2141312032
PopyWahyu Pratama 2141312022
SuciRamadhaniPutri 2141312012
PutriIndahPermata 2141312081
ChoriatiNuormanisa 2141312040
Rahtu Suzi Amelia 2141312079
Afifahmardatilah 2141312077
UthariChintyaDewi 2141312062
RahmahErRamadhani 2141312082

PROGRAM STUDIPROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITASANDALAS

2021
KATA PENGANTAR

Assalamu‘alaikum Wr.Wb. Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan

Yang Maha Esa atas rahmat-Nya yang telah dilimpahkan kepada Tim Penulis

sehingga Tim Penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang merupakan salah

satu tugas Keperawatan Anak pada siklus ketiga profesi keperawatan. Tak lupa

shalawat dan salam semoga tetap tercurah pada Nabi junjungan kita

Muhammad SAW, kepada keluarga, para sahabat dan seluruh umatnya. Kami

telah banyak mendapat bantuan dan masukan dari berbagai pihak dalam

menyelesaikan makalah ini.

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan.Dengan begitu, saran dan kritikan yang membangun sangat

diharapkan dari teman-teman dan pembaca sekalian.Akhir kata kami berharap

makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.

Padang, November 2021

Tim Penulis

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit lupus berasal dari bahasa Latin yang berarti “Anjing hutan,”
atau “Serigala,” merupakan penyakit kelainan pada kulit, dimana disekitar
pipi dan hidung akan terlihat kemerah-merahan. Tanda awalnya panas dan
rasa lelah berkepanjangan, kemudian dibagian bawah wajah dan lengan
terlihat bercak-bercak merah.Tidak hanya itu, penyakit ini dapat menyerang
seluruh organ tubuh lainnya salah satunya adalah menyerang ginjal.Penyakit
untuk menggambarkan salah satu ciri paling menonjol dari penyakit itu yaitu
ruam di pipi yang membuat penampilan seperti serigala.Meskipun demikian,
hanya sekitar 30% dari penderita lupus benar-benar memiliki ruam “kupu-
kupu,” klasik tersebut.
Sistem imun normal akan melindungi kita dari serangan penyakit
yang diakibatkan kuman, virus, dan lain-lain dari luar tubuh kita. Tetapi pada
penderita lupus, sistem imun menjadi berlebihan, sehingga justru menyerang
tubuh sendiri, oleh karena itu disebut penyakit autoimun. Penyakit ini akan
menyebabkan keradangan di berbagai organ tubuh kita, misalnya: kulit yang
akan berwarna kemerahan atau erythema, lalu juga sendi, paru, ginjal, otak,
darah, dan lain-lain. Oleh karena itu penyakit ini dinamakan “Sistemik,”
karena mengenai hampir seluruh bagian tubuh kita. Jika Lupus hanya
mengenai kulit saja, sedangkan organ lain tidak terkena, maka disebut
LUPUS KULIT (lupus kutaneus) yang tidak terlalu berbahaya dibandingkan
lupus yang sistemik (Sistemik Lupus /SLE). Berbeda dengan HIV/AIDS,
SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem
kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan
bakteri maupun virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ
tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati, sendi, sel darah merah, leukosit, atau

3
trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda antara penderita
satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda, misalnya
akibat kerusakan di ginjal terjadi bengkak pada kaki dan perut, anemia berat,
dan jumlah trombosit yang sangat rendah (Sukmana, 2004).
Perkembangan penyakit lupus meningkat tajam di Indonesia. Menurut
hasil penelitian Lembaga Konsumen Jakarta (LKJ), pada tahun 2009 saja, di
RS Hasan Sadikin Bandung sudah terdapat 350 orang yang terkena SLE
(sistemic lupus erythematosus). Hal ini disebabkan oleh manifestasi penyakit
yang sering terlambat diketahui sehingga berakibat pada pemberian terapi
yang inadekuat, penurunan kualitas pelayanan, dan peningkatan masalah yang
dihadapi oleh penderita SLE. Masalah lain yang timbul adalah belum
terpenuhinya kebutuhan penderita SLE dan keluarganya tentang informasi,
pendidikan, dan dukungan yang terkait dengan SLE. Manifestasi klinis dari
SLE bermacam-macam meliputi sistemik, muskuloskeletal, kulit,
hematologik, neurologik, kardiopulmonal, ginjal, saluran cerna, mata,
trombosis, dan kematian janin (Hahn, 2005).

B. TUJUAN

a. Tujuan Umum :
Untuk mengetahui dan dapat memahami penjabaran tentang
penyakit lupus.
b. Tujuan Khusus :
- Mampu menjelaskan tentang defenisi, etiologi, klasifikasi / jenis-
jenis penyakit lupus, patofisiologi dan pathway, manifestasi klinis (tanda
dan gejala), pemeriksaan penunjang, penatalaksanaan medis dan
keperawatan.
- Mampu menjabarkan dan atau membuat asuhan keperawatan
pada klien yang menderita penyakit lupus.

4
C. RUMUSAN MASALAH

1) Apa pengertian Systemic Lupus Erithematosus ?


2) Jelaskan Etiologi dari penyakit SLE ?
3) Jelaskan Anatomi Sistem Imunitas dari penyakit SLE ?
4) Jelaskan patofisiologi dari SLE ?
5) Jelaskan Manifestasi klinis dari SLE ?
6) Jelaskan Pemeriksaan penunjang dari SLE ?
7) Jelaskan Penatalaksanaan Medis dari SLE ?
8) Jelaskan Penatalaksanaan Keperawatan dari SLE ?
9) Jelaskan asuhan keperawatan dari penyakit SLE?

5
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah radang kronis yang disebabkan
oleh penyakit autoimun (kekebalan tubuh) di mana sistem pertahanan tubuh
yang tidak normal melawan jaringan tubuh sendiri.Antara jaringan tubuh dan
organ yang dapat terkena adalah seperti kulit, jantung, paru-paru, ginjal,
sendi, dan sistem saraf.
Sistemik Lupus Eritematosus ( SLE ) adalah penyakit reumatik autoimun
yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap
organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi
autoantibodi dan kompleks imun sehingga mengakibatkan kerusakan
jaringan. (Sudoyo Aru,dkk 2009).
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang
kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh.Tanda dan gejala dari
penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit untuk
didiognisis.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem
yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin
akut dan fulminant atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh
terdapatnya berbagai macam autoantibodidalam tubuh.

B. Etiologi
Sampai saat penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum diketahui,
Diduga ada beberapa faktor yang terlibat seperti faktor genetik, infeksi dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE (Sistemik Lupus
Eritematosus).Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan
antigen dari sel dan jaringan tubuh sendiri.Penyimpangan dari reaksi
imunologi ini dapat menghasilkan antibodi secara terus menerus. Antibodi ini
juga berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan penyakit inflamasi

6
imun sistemik dengan kerusakan multi organ dalam fatogenesis melibatkan
gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel
B,hal ini dapat terjadi sekunder terhadap beberapa faktor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor

Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :


1. Infeksi
Risiko timbulnya SLE meningkat pada mereka yang lain pernah sakit
herpes zoster (shingles). Herpes zoster adalah penyakit yang disebabkan
oleh virus varisela, virus yang juga menjadi penyebab dari penyakit cacar
air (variscela atau chiken pox).
2. Antibiotik
Hormon Kurang lebih dari 90% dari penderita SLE adalah
wanita.Perbedaan hormonal antara pria dan wanita mungkin menjadi latar
belakang timbulnya lupus.
3. Sinar ultraviolet
Adalah salah satu kondisi yang dapat memperburuk gejala
Lupus.Diduga oleh para dokter bahwa sinar matahari memiliki banyak
ekstrogen sehingga mempermudah terjadinya reaksi autoimmun.Tetapi
bukan berarti bahwa penderita hanya bisa keluar pada malam hari.Pasien
Lupus bisa saja keluar rumah sebelum pukul 09.00 atau sesudah pukul
16.00 WIB dan disarankan agar memakai krim pelindung dari sengatan
matahari.Teriknya sinar matahari di negara tropis seperti Indonesia,
merupakan faktor pencetus kekambuhan bagi para pasien yang peka
terhadap sinar matahari dapat menimbulkan bercak-bercak kemerahan di
bagian muka.kepekaan terhadap sinar matahari (photosensitivity) sebagai
reaksi kulit yang tidak normal terhadap sinar matahari.
4. Stress yang berlebihan
5. Obat-obatan yang tertentu

7
6. Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh
pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita,
meskipun 10-15 kali sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang
menyebabkan wanita sering terserang penyakit lupus dari pada
pria.Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau
selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormone (terutama
esterogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kadang-kadang
obat jantung tertentu dapat menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan
menghilang bila pemakaian obat dihentikan.

C. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang
menyebabkan peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan
imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik,
hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi
selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal).
Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin
dan beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah
alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-
obatan. Pada SLE,peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi
akibat fungsi sel T supresor yangabnormal sehingga timbul penumpukan
kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasiakan menstimulasi antigen
yang selanjutnya terjadi serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut
berulang kembali.
Kerusakan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini
menimbulkan abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1) Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2) Pembentukan sitokin yang berlebihan
3) Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :

8
- Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun
maupun sitokindalam tubuh
- Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
- Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karenaadanya mimikri molekuler.
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam
tubuh yang disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang
tersebut membentuk kompleks imun.Kompleks imun tersebut terdeposisi
pada jaringan/organ yang akhirnya menimbulkan gejala inflamasi atau
kerusakan jaringan.

D. WOC

9
E. Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi.Penyakit dapat timbul mendadak
disertaidengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.Dapat
juga menahun dengangejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh
gejala yang terkenanya sistem imun.
Pada tipe menahun terdapat remisi dan eksaserbsi.Remisinya mungkin
berlangsung bertahun-tahun.Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh
faktor presipitasi seperti kontakdengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri,
obat. Setiap serangan biasanya disertai gejalaumum yang jelas seperti demam,
nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun,dan iritabilitasi.
Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.
1. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal,
berupa artritis (93%).Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal
proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal,
siku dan pergelangan kaki.Selain pembekakandan nyeri mungkin juga
terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris,tanpa menyebabkan

10
deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul
reumatoid.Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan
ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid
dosis tinggi.Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.
2. Gejala mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85 % kasus
SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit
akut, subakut, diskoid dan livido retikularis. Ruam kulit yang dianggap
khas dan banyak menolong dalam mengarahkan diagnosis SLE ialah ruam
kulit berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang agak
edematus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat,
kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas. Pada bagian tubuh yang terkena
sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas
(photo-hypersensitivity). Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit
subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis
dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,
tertutup sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah
berlangsung lama akan terbentuk sikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil
sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.
Livido retikularis, suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui
pada SLE. Kelainan kulit yang jarang ditemukan ialah bulla (dapat
menjadi hemoragik), ekimosis, petekie dan purpura. Kadang-kadang
terdapat urtikaria yang tidak berperan terhadap kortikosteroid dan
antihistamin. Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah
penyakit tenang secara klinis dan serologis. Alopesia dapat pulih kembali
jika penyakit mengalami remisi. Ulserasi selaput lendir paling sering pada
palatum durum dan biasanya tidak nyeri. Terjadi perbaikan spontan kalau
penyakit mengalami remisi. Fenomen Raynaud pada sebagian pasien tidak

11
mempunyai korelasi dengan aktivitas penyakit, sedangkan pada sebagian
lagi akan membaik jika penyakit mereda.
3. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68 % kasus SLE. Manifestasi paling
sering ialah proteinuria dan atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik
dan kegagalan ginjal jarang terjadi; hanya terdapat pada 25 % kasus SLE
yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis penyakit
SLE difus dan nefritis penyakit SLE membranosa. Nefritis penyakit SLE
difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak
sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat. Nefritis penyakit SLE membranosa lebih jarang ditemukan.
Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta
perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi
progresif.
Kelainan ginjal lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah
pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal dan sebagainya. Gagal ginjal
merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.

4. Kardiovaskular
Kelainan jantung dapat berupa perikarditis ringan sampai berat (efusi
perikard), iskemia miokard dan endokarditis verukosa (Libman Sacks).
5. Paru
Efusi pieura unilateral ringan lebih sering terjadi daripada yang
bilateral. Mungkin ditemukan sel LE (lamp. dalam cairan pleura. Biasanya
efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.
Diagnosis pneumonitis penyakit SLE baru dapat ditegakkan jika faktor-
faktor lain seperti infeksi virus, jamur, tuberkulosis dan sebagainya telah
disingkirkan.

12
6. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25 % kasus SLE, mungkin disertai mual
(muntah jarang) dan diare. Gejala menghilang dengan cepat jika gangguan
sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin
disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil
mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat
juga menimbulkan pankreatitis.
7. Hati dan Limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang
disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang/
kembali normal.
8. Kelenjer Getah Bening
Pembesaran kelenjer getah bening sering ditemukan (50 %). Biasanya
berupa limfa denopati difus dan lebih sering pada anak-anak.
Limfadenopati difus ini kadang-kadang disangka sebagai limfoma.
9. Kelenjer Parotis
Kelenjer parotis membesar pada 6 % kasus SLE.
10. Susunan Saraf Tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.
Biasanya bersifat sementara
11. Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu
psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya
ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya.
Pasien menunjukkan gejala delusi/ halusinasi disamping gejala khas
kelainan organik otak seperti disorientasi, sukar menghitung dan tidak
sanggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis
tak dapat dibedakan dengan psikosis penyakit SLE. Perbedaan antara
keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis

13
steroid yang dipakai. Psikosis penyakit SLE membaik jika dosis steroid
dinaikkan, sedangkan psikosis steroid sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan
lain yang mungkin ditemukan ialah korea, kejang tipe Jackson, paraplegia
karena mielitis transversal, hemiplegia, afasia dan sebagainya. Mekanisme
terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor - faktor
yang memegang peran antara lain vaskulitis, deposit gamaglobulin di
pleksus koroideus.

F. Klasifikasi
Penyakit Lupus yang diklasifikasikan menjadi 3 macam yaitu :
1. Dicoid Lupus
Lesi berbentuk lingkaran atau cakram dan ditandai oleh batas erithema
yang meninggi, skuama, sumbatan falikuler dan telangiektasia. Lesi ini
timbul dikulit kepala, telinga, wajah, lengan, punggung dan dada. Penyakit
ini menimbulkan kecacatan karena lesi ini memperlihatkan jaringan parut.

2. Sistemik lupus erythematous


SLE merupakan penyakit radang atau inflamasi multisistem yang
disebabkan oleh banyak faktor dan karekteristik oleh adanya gangguan
disgerulasi sistem imun berupa peningkatan sistem imun dan produksi.
Autoantibody yang berlebihan terbentuknya auto antibodi terhadap
dSDNA, berbagai macam ribonuklea protein intraseluler, sel-sel darah dan
fosfolipid dan dapat menyebabkan jaringan melalui mekanisme
pengaktifan komplemen
3. Lupus Yang diinduksikan oleh obat
Lupus yang disebabkan oleh induksi tertentu khususnya pada asetilator
lambat yang mempunyai gen HLA DP-4 menyebabkan asetilatasi akan
menjadi lambat. Obat banyak terakumulasi ditubuh sehinggan memberikan
kesempatan obat untuk berikatan dengan protein tubuh. Hal ini direspon

14
benda asing oleh tubuh sehingga tubuh manusia membentuk kompleks
antibody antinuklir (ANA) untuk menyerang benda asing tersebut. .

G. Komplikasi
1. Ginjal
Sebagaian besar penderita menunjukan adanya penimbunan protein
didalam sel-sel tetapi hanya 50% yang menderita nefritis lupus
(peradangan ginjal yang menetap) pada akhirnya bias terjadi gagal ginjal
sehingga penderita perlu mengalami dialysis atau pencangkokan ginjal.
2. Sistem saraf
Kelainan saraf ditemukan pada 25% penderita lupus. Komplikasi yang
paling sering ditemukan adalah dispungsi mental yang sifatnya ringan,
tetapi kelainan bias terjadi pada bagaiamanapun dari otak, korda spinalis,
maupun sistem saraf. Kejang, pesikosa, sindroma otak organic dan sekitar
kepala merupakan beberapa kelainan sistem saraf yang bias terjadi.
3. Penggumplan darah
Kelainan darah ditemukan pada 85% penderita lupus bisa terbentuk
bekuan darah didalam vena maupun arteri, yang bisa menyebabkan stroke
dan emboli paru.Jumlah thrombosis berkurang dan tubuh membentuk
antibody yang melawan faktor pembekuan darah yang bisa menyebabkan
perdarahan yang berarti.
4. Kardiovaskuler
Perdangan berbagai bagian jantung seperti pericarditis, endocarditis
maupun miokarditis.Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat
keadaan tersebut.
5. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura
(penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya).Akibat dari keadaan
tersebut timbul nyeri dada dan sesak napas.

15
6. Otot dan kerangka tubuh
Hampir semua penderita lupus mengalami nyeri persendian dan
kebanyakan menderita arthritis.Persendian yang sering terkena adalah
persendian pada jaringan tangan, pergelangan tangan dan lutut.Kematian
jaringan pada tulang panggul dan bahu sering merupakan penyebab dari
nyeri didaerah tersebut.
7. Kulit
Pada 50% penderita ditemukan ruam kupu-kupu ditulang pipi dan pangkal
hidung. Ruam ini biasanya akan semakin memburuk jika terkena sinar
matahari.

H. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis SLE dibuat berdasarkan pada riwayat sakit yang lengkap dan
hasil pemeriksaan darah. Gejala yang klasik mencakup demam, keletihans
ecara penurunan berat badan dan kemungkinan pula arthritis, pleuritis dan
perikarditis. Tidak ada 1 terlaboratorium megungkapkan anemia yang sedang
hingga berat, trombositopenia, leukositosis atau leucopenia dan antibody
antinukleus yang positif. Tes imunologi diagnostik lainnya mungkin tetapi
tidak memastikan diagnostik.
a) Anti ds DNA
Batas normal : 70 – 200 iu/mL
Negatif : < 70 iu/mL
Positif : > 200 iu/mL
Antibodi ini ditemukan pada 65-80% penderita denga SLE aktif
dan jarang pada penderita dengan penyakit lain. Jumblah yang tinggi
merupakan spesifik untuk SLE sedangkan kadar rendah sampai sedang
dapat ditemukan pada penderitadengan penyakit reumatik dan lain-lain,
hepatitis kronik, infeksi mononukleosis, dan sirosis bilier. Jumlah antibodi
ini dapat turun dengan pengobatan yang tepat dan dapat meningkat pada
penyebaran penyakit terutama Lupus glomerulonetritis. Jumlahnya
mendekati negativ pada penyakit SLE yang tenang.

16
b) Antinuklear antibodies ( ANA )
Harga normal : nol
ANA digunakan untuk diagnosa SLE dan penyakit autoimunyang lain.
ANA adalah sekelompok antibody protein yang beraksi menyerang inti
dari suatu sel. Ana cukup sensitif untuk mendektisi adanya SLE , hasil
yang positif terjadi pada 95% penderita SLE tetapi ANA tidak spesifik
untuk SLE saja karena ANA juga berkaitan dengan kemunculan penyakit
dan keaktifan penyakit tersebut. Setelah pemberian terapi maka penyakit
tidak lagi aktif sehingga jumblah ANA diperkirakan menurun.
Jika hasil test negativ, maka pasien belum tentu negativ terhadap SLE
karena harus dipertimbangkan juga data klinis dan test laboratorium yang
lain, jika hasil test posotof maka sebaiknya dilakukan test laboratorium
yang lain tetapi jika hasil test negativ maka sebaiknya dilakukan test
serelogi yang lain untuk menunjang diagnosa bahwa pasien tersebut
menderita SLE. ANA dapat meliputi anti-smith ( anti SM ). Anti
RNP/antiribonukleo protein.
c) Test laboratorium lain
Test laboratorium lainya yang digunakan untuk menunjang diagnosa
serta untuk monitoring tetapi pada penyakit SLE antara lain adalah
antiribosomal P, antikardiolipin, lupus antikoagulan, urinalisis, serum
kreatinin, test fungsi hepar.

I. Penatalaksanaan
1. Secara Umum
Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam
penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang baruter
diagnosis.Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu
apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau
imunosupresif yang agresif.Bila penyakit ini mengancam nyawa dan
mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi
agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan

17
lainnya.Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE.Tujuan dari terapi
adalah mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi
peradangan dan atau tingkat aktifitas autoimun di tubuh.
Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain
(Sukmana,2004):
1. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya
kita harus mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat
sakitnya atau karena penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi,
gangguan hormonal atau komplikasi pengobatan dan emotional stress.
Upaya mengurangi kelelahan disamping pemberian obat ialah: cukup
istirahat, batasi aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup. SLE
dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada waktu-
waktu tersebut.
2. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan
memperberat LES, akan tetapi bila kadarny arendah tidak akan
membahayakan penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit
kepala atau tromboflebitis jangan menggunakanobat yang mengandung
estrogen.
3. Terapi konservatif
Diberikan tergantung pada keluhan atau manifestasi yang
muncul.Pada keluhanyang ringan dapat diberikan analgetik sederhana
atau obat anti inflamasi nonsteroidnamun tidak memperberat keadaan
umum penderita.Efek samping terhadap system gastrointestinal,
hepardan ginjal harus diperhatikan, dengan pemeriksaan kreatinin
serum secara berkala.Pemberian kortikosteroid dosi srendah 15 mg,
setiap pagi.
Sunscreen digunakan pada pasien dengan fotosensivitas. Sebagian
besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotion atau gel yang
mengandung PABA dan esternya, benzofenon, salisilat dan sinamat

18
yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B atausteroid
topikalberkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan
triamsinolonasetonid.
4. Terapi agresif
Pemberian oral pada manifestasi minor seperti prednison 0,5
mg/kgBB/hari,sedangkan pada manifestasi mayor dan serius dapat
diberikan prednison 1-1,5mg/kgBB/hari. Pemberian bolus
metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB selama 3 hari dapat
dipertimbangkan sebagai pengganti glukokortikoid oral dosis
tinggi,kemudian dilanjutkan dengan prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.

Secara ringkas penatalaksanaan LES adalah sebagai berikut :


a. Preparat NSAID untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan dipakai
bersama kortikosteroid, secara topical untuk kutaneus.
b. Obat antimalaria untuk gejal kutaneus, muskuloskeletal dan sistemik
ringan SLE
c. Preparat imunosupresan (pengkelat dan analog purion) untuk fungsi
imun.
d. Pemberian obat anti inflamasi nonsteroid termasuk aspirin untuk
mengendalikan gejala artritis.
e. Krim topikal kortikosteroid, seperti hidrokortison, buteprat ( acticort )
atautriamsinalon (aristocort) untuk lesi kulit yang akut.
f. Penyuntikan kortikosteroid intralesiatau pemberian obat anti malaria,
sepertihidroksikolorokuin sulfat ( plaquinil ), mengatasi lesi kulit yang
membandel.
g. Kortikosteroid sistemik untuk mengurangi gejala sistemik SLE dan
mencegah eksaserbasi akut yang menyeluruh ataupun penyakit serius
yang berhubungan dengansistem organ yang penting, seperti pleuritis,

19
perikarditis, nefritis lupus, faskulitis dangangguan pada SSP. (Kowalak,
Welsh, Mayer . 2002)
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1. Anamnesis
a. Penyakit lupus eritematosus sistemik bisa terjadi pada wanita maupun
pria, namun penyakit ini sering diderita oleh wanita, dengan
perbandingan wanita dan pria 8:1
b. Biasanya ditemukan pada ras-ras tertentu seperti negro, cina dan
filiphina
c. Lebih sering pada usia 20-4- tahun, yaitu usia produktif
d. Faktor ekonomi dan geografis tidak mempengaruhi distribusi penyakit
ini
2. Keluhan Utama
Pada umumnya pasien mengeluh mudah lelah, lemah, nyeri, kaku,
demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta
citra dari pasien

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Perlu dikaji tentang riwayat penyakit dahulu,apakah pernah menderita
penyakit ginjal atau manifestasi SLE yang serius, atau penyakit autoimun
yang lain.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
a. Perlu dikaji yaitu gejala apa yang pernah dialami pasien (misalnya
ruam malar-fotosensitif, ruam discoid-bintik-bintik eritematosa
menimbulkan : artaralgia/arthritis, demam, kelelahan, nyeri dada
pleuritik, pericarditis, bengkak pada pergelangan kaki, kejang, ulkus
dimulut.
b. Mulai kapan keluhan dirasakan.
c. Faktor yang memperberat atau memperingan serangan.
d. Keluhan-keluhan lain menyertai.

20
5. Riwayat Pengobatan
Kaji apakah pasien mendapat terapi dengan klorpromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid dan isoniazid, Dilantin, penisilamin dan kuinidin.
6. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu dikaji apakah dalam keluarga ada yang pernah mengalami
penyakityang sama atau penyakit autoimun yang lain
7. Pemeriksaan Fisik
Dikaji secara sistematis :
a. B1 (Breath)
Irama dan kecepatan nafas, kesimetrisan pergerakan nafas, penggunaan
otot nafas tambahan, sesak, suara nafas tambahan (rales,ronchi), nyeri
saat inspirasi, produksi sputum, reaksi alergi. Patut dicurigai terjadi
pleuritis atau efusi pleura.
b. B2 (Blood)
Tanda-tanda vital, apakah ada nyeri dada,suara jantung (s1,s2,s3), bunyi
systolic click (ejeksi clik pulmonal dan aorta), bunyi mur-mur.
Frictionrup pericardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura.
Lesi eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis
menunjukan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan,siku,jari
kaki dan permukaan ekstensor lengan dibawah atau sisi lateral tangan.

c. B3 (Brain)
Mengukur tingkat kesadaran (efek dari hipoksia) Glasgow Coma Scale
secara kuantitatif dan respon otak : compos mentis sampai coma
(kualitatif), orientasi pasien. Seiring terjadinya depresi dan psikosis juga
serangan kejang-kejang.
d. B4 (Bladder)
Pengukuran urine tamping (menilai fungsi ginjal), warna urine (menilai
filtrasi glomelorus)
e. B5 (Bowel)

21
Pola makan, nafsu makan, muntah, diare, berat badan dan tinggi badan,
turgor kulit, nyeri tekan, apakah ada hepatomegaly, pembesaran limpa

2. Diagnosa Keperawatan dan intervensi


a. Nyeri berhubungn dengan kerusakan jaringan
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier
kulit, penumpukan kompleks imun. .
c. Risiko infeksi
d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai oksigen miokard kurang dari kebutuhan.
e. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya edema.

22
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa NOC NIC
Nyeri b.d Pain control Pain management
kerusakan Indicator Aktivitas :
jaringan - Mengenali onsetnyeri - Melakukan pengkajian nyeri termasuk
lokasi, karateristik, onset/durasi,
- Menjelaskan
frekuensi, kualitas atau keparahan
factor penyebab
nyeri, dan factor pencetusnyeri
- Melaporkan perubahannyeri
- Observasi tanda nonverbal dari
- Melaporkan gejala
ketidaknyamanan, terutama pada pasien
yang tidakterkontrol
yang tidak bisa berkomunikasi
- Menggunakan sumber
secaraefektif
daya yang tersedia untuk
- Gunakan strategi komunikasi terapeutik
menguranginyeri
untuk mengetahui pengalama nyeri
- Mengenali gejala nyeri
pasien dan respon pasien terhadap nyeri
yang berhubungan dengan
- Kaji pengetahuan dan kepercayaan
penyakit
pasien tentangnyeri
- Melaporkan nyeriterkontrol
- Tentukan dampak dari nyeri terhadap
kualitas hidup (tidur, selera makan,
aktivitas,dll)
- Evaluasi keefektifan manajemen
nyeri yang pernah diberikan
sebelumnya
- Control factorlingkungan yang
dapat mempengaruhi
ketidaknyamanan pasien
- Kolaborasi dengan pasien, anggota
keluarga, dan tenaga kesehatan lain
untuk implementasi manajemen nyeri

23
nonfarmakologi
- Dukung pasienuntuk menggunakan
pengobatan nyeri yang adekuat.
Risiko infeksi Infection severity Infection Control
Indicator : Aktivitas :
- Demam - Pertahankan teknik isolasi
jikadiperlukan
- Nyeri
- Batasi jumlahpengunjung
- Limpadenopati
- Ajarkan kepada tenaga kesehatan untuk
- Penurunan jumlah sel
meningkatkan cuci tangan
darah putih
- Ajarkan pasien dan pengunjung
untuk cuci tangan
- Cuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan perawatan kepadapasien
- Lakukan perawatan aseptic pada IV line
- Tingkatkan asupan nutrisi yangadekuat
- Dorong pasien untuk istirahat
- Ajarkan pada pasiendan
keluarga cara untuk mencegah
infeksi

Gangguan Body image Body image enhancement


citra tubuh Indicator: Aktivitas :
Karakteristi - Gambaran internaldiri - Tentukan harapan pasien
k: Keserasian anatara realitas tentang citra tubuhnya berdasarkan tingkat
- Perilaku tubuh, ideal tubuh,dan perkembangan
menghindari penampilantubuh
- Bantu pasien mendiskusikan penyebab
salah satu
- Kepuasanterhadap penyakit dan penyebab terjadinya
bagiantubuh
penampilantubuh perubahan pada tubuh
- Responnonverba
- Perilaku menggunakan - Bantu pasien menetapkan batasan
l terhadap

24
perubahan pada strategi untuk meningkatkan perubahan actual padatubuhnya
tubuh fungsitubuh - Gunakan anticipatori guidance untuk
menyiapkan pasien untuk perubahan
yang dapat diprediksi padatubuhnya
- Bantu pasien menentukan pengaruh
dari kelompok sebaya dalam
mempresentasikan citra tubuh
- Bantu pasien mendiskusikan perubahan
yang disebabkan karena masapubertas
- Identifikasi kelompok dukungan
unutkpasien
- Monitor frekuensi pernyataan pasien
tentang kritik terhadapdirinya
- Gunakan latihan pengakuan diri
dengankelompok sebaya

25
BAB III

STUDI KASUS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN. A

NamaMahasiswa : Kelompok U

TanggalPengkajian : 14 Desember 2021

Tanggalklienmasuk : 2 Desember 2021

No.RM : 01.12.09.29

I. IDENTITASDATA

NamaAnak : An. S BB/TB: 45 kg/ 146 cm

TTL/Usia : Pasaman Barat, 02 Maret 2007/ 14 tahun

JenisKelamin : Perempuan

PendidikanAnak : SMP

Anak ke :3

NamaIbu : Ny. E

Pekerjaan : Harian Tani

Pendidikan : SMA

26
Alamat : Jorong simpang empat, Pasaman Bara

DiagnosisMedis : SLE

II. RIWAYATKESEHATANSEKARANG

Pada tanggal 3 Desember 2021 pukul 14.21 WIB, pasien masuk


melalui IGD RSUP Dr. M.Djamil Padang rujukan dari RSUD Pasaman
dengan keluhan pasien kemerahan di pipi, badan tampak sembab, nyeri
sendi sejak 1 bulan yang lalu, di pinggang, lutut, pergelangan kaki dan
tangan, dan perut tampak membuncit.

Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 14 Desember 2021 pukul


20.00 WIB, orang tua pasien mengatakan saat dirujuk ke RSUP Dr. M.
Djamil Padang baru mengetahui bawaha anaknya memiliki penyakit
SLE dan ada masalah pada ginjalnya. Pasien dalam keadaan sadar
(E4V5M6), tampak pucat dan lemah. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan
pasien tampak lemas dan pucat, adanya lebam keunguan dikedua lengan
dan semakin luas pada tangan sebelah kiri, tampak bintik kemerahan
pada mata. Hasil laboratorium tanggal 14 Desember 2021 adalah Hb 7,4
g/dl, leukosit 15.560, trombosit : 104.000, Ht 21%, Albumin : 2,6,
creatinin : 1,8, Asam urat 4,3.

III. RIWAYATKEHAMILANDANKELAHIRAN

1. Prenatal :

a. Riwayat gestasi : G3P3A0H3

b. Keluhan saat hamil : Tidak ada

c. Kebutuhan nutrisi saat hamil : Tercukupi

d. Kesehatan saat hamil : Baik

e. Pemeriksaan kehamilan : Ibu klien mengatakan melakukan pemeriksaan

27
ke puskesmas.

f. Kenaikan berat badan saat hamil : 12 kg

g. Masalah waktu hamil : Ibu klien mengatakan saat hamil mengalami


hipotensi dan badan membengkak saat umur kandungan 3 bulan.

h. Emosi ibu pada saat hamil : Ibu klien mengatakan emosinya saat hamil
stabil, dan tidak ada perubahan dari biasanya.

i. Obat-obatan yang digunakan : Pada saat hamil, ibu klien sesekali pernah
demam, ibu klien mengonsumsi paracetamol setiap merasakan demam.
Dan ibu mengonsumsi vitamin dan tablet Fe selama hamil.

j. Riwayat rokok/alkohol : Tidak ada, ibu klien tidak pernah merokok dan
mengonsumsi alkohol.

2. Intranatal :

a. Tanggal persalinan : 02 Maret 2021

b. BBL/PBL : 3000 gr / 52 cm

c. Usia gestasi saat hamil : 38 minggu 2 hari (9 bulan 2 hari)

d. Tempat Persalinan : Rumah Sakit

e. Penolong Persalinan : Dokter

f. Jenis Persalinan : Sectio Caesarea

g. Masalah Persalinan : Tidak Ada

3.Postnatal :

Ibu klien mengatakan bahwa tidak ada masalah dengan bayinya.Bayi


lahir dalam keadaan sehat.Tidak ada masalah dengan Pemberian ASI
pada anak.

IV. RIWAYATKESEHATANDAHULU

28
1.Penyakityangdideritasebelumnya:DBD

2.PernahdirawatdiRS :An. A pernah dirawat di RS

3.Obat-obatanyangpernahdigunakan: -

4.Alergi : Tidak ada

5.Kecelakaan: Tidak ada

6. Riwayatimunisasi:imunisasi lengkap

V. RIWAYATKESEHATANKELUARGA

Ibu klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang memiliki


keluhan serupa.Tidak ada anggota keluarganya maupun keluarga
suaminya yang menderita penyakit tidak menular seperti DM, Hipertensi
dan Jantung, juga tidak ada keluarga yang menderita penyakit
menular.Tidak ada anggota keluarga yang memiliki riwayat penyakit
keturunan.

VI. RIWAYATTUMBUHKEMBANG

1. Kemandiriandanbergaul:MotorikKasar: Ny. M mengatakan anak


sudah mampu berjalan mundur, lari, menaiki tangga, menendang
bola ke depan, dan melompat.

2. MotorikHalus: Ny. M mengatakan An. A sudah mampu


mencorat-coret, mengambil manik-manik yang ditunjukkan,
membuat menara dari dua kubus dan empat kubus serta enam
kubus.

3. KognitifdanBahasa: Ny. M mengatakan sudah banyak kosa kata


yang disebut anak, anak sudah mampu menunjuk dua gambar,
kombinasi kata, dan menyebut 1 gambar, dan bagian badan.

29
4. Psikososial: Ny. M mengatakan An. A akan malu jika bukan
orang dikenalinya mendekatinya.

6. Lain-lain :-

VII. RIWAYAT SOSIAL

1.Yangmengasuhklien:orang tua

2.Hubungandengananggota keluarga: Klien merupakan anak kandung dari


kedua orangtuanya.

3.Hubungandengantemansebaya: Klien sangat dekat dengan sepupunya


yang seumuran dengannya.

4.Pembawaansecaraumum: Ibu mengatakan anaknya sering tersenyum, klien


suka bergaul dengan orang disekitarnya.

5. Lingkunganrumah: Keluarga An. A tinggal di daerah Jorong simpang


empat, Pasaman Barat.Rumah keluarga An.A permanen. Lingkungan rumah
anak A aman, asri, karena banyak pepohonan hijau disekitar rumah.

VIII. PEMERIKSAANFISIK

1) Keadaanumum:.anak dalam keadaan sadar (compos mentis),


anak tampak pucat dan lemah

2) TB/BB(cm): 146 cm/ 45 kg

3) TD : 108/80, N: 105 x/I, RR: 20 x/i, Suhu : 36,8 C

4) Kepala

a. Lingkarkepala: simetris,tidak ada pembengkakan, tidak ada lesi

30
b. Rambut : pendek

- Kebersihan: bersih, tidak ada kutu, dan ketombe

- Warna:hitam

- Tekstur:lembut

- Distribusirambut:merata

- Kuat/mudahtercabut:mudah rontok

5) Mata:

a. Simetris : mata klien simetris

b. Sclera : kemerahan

c. Konjungtiva: anemis

d. Palpebra:edema

e. Pupil :isokor

f. Reaksi Cahaya : +/+

6) Telinga:

a. Simetris : telinga simetris

b. Serumen:bersih, tidak ada serumen

c. Pendengaran:baik, tidak ada gangguan pendengaran

7) Hidung :

a. Septumsimetris:simetris

b. Sekret : ada secret

c. Polip : tidak ada

8) Mulut:

- Kebersihan : bersih

31
- WarnaBibir :merah muda

- Kelembapan :sedikit kering

a. Lidah : tidak ada bercak-bercak putih

b. Gigi : gigi anak sudah lengkap, sudah mempunyai gigi susu


sebanyak 20 buah.

9) Leher

a. KelenjerGetahBening:tidak ada pembengkakan

b. KelenjerTiroid:tidak ada pembengkakan

c. JVP: tidak ada bendungan

10) Dada

a. Inspeksi : simetris kiri dan kanan, tidak terdapat luka/bekas


luka

b. Palpasi : tidak ada nyeri tekan

11) Jantung

a. Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat,

b. Palpasi : ictus cordis teraba di ICS ke IV

c. Auskultasi : Suara jantung terdengar lup dup

12) Paru-paru

a. Inspeksi : tidak terdapat retraksi dinding dada

b. Palpasi : tidak ada pembengkakan, tidak ada nyeri

c. Perkusi : sonor dilapang paru

d. Auskultasi :bronkovesikuler

13) Abdomen

a. Inspeksi : perut membuncit, tidak terdapat scars

32
b. Palpasi : hepar tidak teraba

c. Perkusi : timpani

d. Auskultasi :bising usus 12 x permenit

14) Punggung : tidak ada kelainan bentuk punggung, tidak


terdapat lesi
15) Ekstremitas :

- Kekuatandantonusotot:kuat

5555 5555

5555 5555

- Refleks-refleks

a. Atas: adanya eritema pada tangan dan meluas pada tangan


sebelah kiri

b. Bawah: tampak sembab pada tungkai kaki

- Akral teraba dingin

- CRT > 2 detik

16) Genitalia : status pubertas A1 M1 P1

17) Kulit:

- Warna : pucat

- Tugorkulit: menurun

- Integritas: baik

- Elastisitas: elastis
18) Pemeriksaanneurologis:

Anak tidak pernah mengalami kejang dan meningitis.

33
IX.PEMERIKSAANPERTUMBUHAN

-STATUSGIZI

X. PEMERIKSAANPSIKOSOSIAL

Menurut Erikson, tahap perkembangan anak usia 13-21 tahun merupakan


krisis utama anak untuk mengenal identiras diri dan kekacauan peran, dimana
mereka sedang berusaha mencari jati diri dan memiliki emosi yang tidak
stabil. Sosok yang berperan pada fase ini adalah kelompok model
kepemimpinan, sehingga di fase ini anak akan mudah terbawa emosi dan
nekat melakukan aksi berbahaya.

XI. PEMERIKSAAN CAIRAN

Intakedan outputcairan :
Intake:
Anak minum : 5-6 gelas/hari
Output:
BAB: 1-2 x perhari
Konsistensi defekasi lunak, tidak ada kandungan darah
Urin + 30 cc per jam

Kebutuhan Cairan pada Anak


= 1000 ml + 50 ml/kgBB/24 jam x (BB-10))
= 1000 ml + 50 ml/kgBB/24 jam x (45-10))

XII. PEMERIKSAANSPIRITUAL

34
An.A terlihat tenang dan tertidur ketika mendengarkan sholawat dan
lantunan ayat suci Al-Qur’an.

XIII. PEMERIKSAANPENUNJANG

1. Radiologi

2. Laboratorium : 23-11-2021

Hematologi

Hemoglobin 7,4 gr/dl 9,6 - 15,6

Leukosit 15, 5 x 103/mm3 5,5 – 17,5

Trombosit 104 x 103/mm3 150 - 450

NA+ 133 mmol/L 136 – 145

K+ 3,9 mmol/L 3,4 – 4,5

pH 7.35 7.35 – 7.45

pCO2 43 mmHg 35-48

pO2 22 mmHg 83 - 108

Kimia Klinik

Albumin 1,8 gr/dl 3,8 - 5,0

Total protein 5,8 g/dL 6,6 – 8,7

Globulin 4.0 gr/dl 1,3 - 2,7

Kalsium 8,4 mg/dL 8.1-10.4

35
Ureum Darah 135 mg/dL 10 – 50

Kreatinin Darah 2.5 mg/dL 0.6 – 1.2

Natrium 107 mmol/L 136 - 145

Asam Urat 4.3 mg/dL 2,4 - 5,7

Gula Darah 135 mg/dL 50-200


Sewaktu

Kesimpulan:

Tromborit rendah

Hb rendah

Albumin menurun

XIV. KEBUTUHANDASARSEHARI-HARI

Di
N Jenis Kebutuhan SaatSakit
Rumah/sebelu
o
msakit
1 Makan An. A makan 3 Nafsu makan An.
kali sehari dengan A berkurang.
1 porsi habis Anak tidak mau
makan nasi yang
disediakan
Rumah sakit
2 Minum Air putih dan Susu Air putih
± 5-6 x/hari ± 5-6x/hari
3 Tidur 9 jam 8 jam

36
4 Mandi 2x/hari 1x/hari
5 Eliminasi BAB 2x/hari BAB 1 x/hari
dengan konsistensi dengan
lunak dan warna konsistensi lunak
kekuningan dan warna
kekuningan
BAK sebanyak
5-6x/hari dengan BAK sebanyak
jumlah 30 cc/jam 6-7x/hari dengan
dengan warna jumlah 30 cc/jam
urine kuning jernih dengan warna
urine kuning
jernih

37
ANALISA DATA

No Data Etiologi Masalah kepera


1 Ds : Faktor Resiko Infeksi
 Ibu An.S mengatakan mengeluh eksogen/endogen
lemas
 Ibu pasien mengatakan An.S Supresi respon
adanya kemerahan di pipi imun
 Pasien juga mengaluh bengkak dan
Antibody
nyeri pada sendi
meningkat
 Ibu mengatakan An.S mengalami
kemerahan pada kedua mata Autoimun
Do :
 Hb : 9,7 g/dL Inflamasi
 Leukosit : 5,30 sistemik
10^3/mm^3
 TD : 110/70 Kerusakan
 HR : 98x/i jaringan
 RR : 21x/i Resiko infeksi
 T : 36,8
2 DS: Penurunan Perfusiperifertid
Ny. S mengatakan anaklemahdan tampak konsentrasi
pucat. hemoglobin
Do : dalam darah
 Anaktampakpucatdanlesudanlemah
 Hb : 9,7 g/dL
 Leukosit : 5,30
10^3/mm^3
 TD : 110/70
 HR : 98x/i
 RR : 21x/i
 T : 36,8
3 Ds : Resiko perfus
 Ibu An.S mengatakan mengeluh tidak efektif

38
lemas
Do :
 Kreatinin darah : 2,4 mg/dL
 Ureum darah 154 mg/dL
 Akral hangat
 TD : 110/70
 HR : 98x/i
 RR : 21x/i
 T : 36,8

Diagnosa Keperawatan
1. Resiko infeksi penyakit kronis dan penurunan hemoglobin
2. Perfusi renal tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi
hemoglobin dalam darah
3. Resiko perfusi renal tidak efektif

39
RENCANA KEPERAWATAN

SDKI SLKI SIKI


Risiko Infeksi Tingkat Infeksi Pencegahan infeksi
D.0142 Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam Observasi:
Pengertian : glukosa derajat infeksi menurun.  Monitor tanda gejala infeksi lokal dan siste
Berisiko mengalami Kriteria Hasil:
peningkatan terserang Terapeutik
1. Nafsu makan meningkat
oganisme patogenik  Batasi jumlah pengunjung
2. Demam menurun
3. Nyeri menurun  Berikan perawatan kulit pada daerah edem
4. Kadar sel darah putih membaik  Cuci tangan sebelum dan sesudah konta
5. Kultur darah membaik dan lingkungan pasien
 Pertahankan teknik aseptik pada pasien ber
Edukasi
 Jelaskan tanda dan gejala infeksi
 Ajarkan cara memeriksa luka
 Anjurkan meningkatkan asupan cairan
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian imunisasi, Jika perlu

Perfusiperifertidakefekti PerfusiPerifer (L.02011) Perawatansirkulasi(I.02079)


f b.d anemi KriteriaHasil: Observasi
e.vPGKd.dCRT>2  Kelemahanototmenurun

40
detikdanakralterabadingin  Nyeriekstremitasmenurun - Periksasirkulasiperifer
 Tekanan darah sistolikmembaik
- Identifikasifaktorriskogangguansirkulasi
 Tekanan darah diastolikmembaik
 Pengisinkapilermembaik - Monitorpanas,nyeri,kemerahan, atau bengkak padaekstr
Akralterabahangat Teraupeutik
- Hindaripengukurantekanandarahpadaekstremitasygketer
- Hindaripenekukandanpemasangantourniquetpadabagian
- Lakukanpencegahaninfeksi
- Lakukanperawatankakidankuku
- Lakukanhidrasi
Edukasi
- Anjurkanmengecekairmandiuntukmenghindarikulitterba
- Anjurkanmengonsumsiobatpenuruntekanan darah
- Anjurkan perawatan kulit yangtepat
- Anjurkanprogramdietuntukmemperbaikisirkulasi
- Informasikan tanda gejaladaruratyangharusdilaporka

Risiko Perfusi PerfusiRenal PencegahanSyok


RenalTidakEfektif
KriteriaHasil: Tindakan:
Observasi

41
- Kadarkreatininplasmamembaik - Monitor statuskardiopulmunal
- Kadarureanitrogenmembaik - Monitorstatus oksigenasi
- Tekananarterirata-ratamembaik - Monitorstatuscairan
Kadarelektrolitmembaik - Monitortingkatkesadaran
- Periksariwayatalergi
Edukasi
- Jelaskanpenyebabfaktorrisikosyok
- Jelaskantandaawalsyok
- Anjurkan memperbanyakcairanoral
- Anjurkan menghindarialergen
Kolaborasi
- Kolaborasipemberiantranfusidarah
Kolaborasipemberianantiinflamasi

42
CATATAN PERKEMBANGAN
Hari/ Diagnosa Implementasi Evaluasi
Tanggal
Senin/ 13 1. Perfusi perifer a. Bina hubungan saling percaya S:
Desember tidak efektif b. Monitor sirkulasii perifer (mis. Edema, - Ibu mengatakan anaknya masih
2021 2. Risiko infeksi pengisian kapiler, warna, suhu) tampak lemas dan pucat
Risiko perfusi renal c. Monitor tanda-tanda vital - Ibu mengatakan anaknya ada
tidak efektif d. Monitor tanda dan gejala infeksi local kemerahan dipipi
dan sistemik - Ibu mengatakan anaknya mengeluh
e. Mempertahankan teknik aseptic nyeri dan bengkak pada sendi
f. Mencuci tangan sebelum dan sesudah - Ibu mnegatakan anaknya
kontak dengan pasien dan lingkungan mengalami kemerahan pada kedua
pasien mata
g. Membatasi jumlah pengunjung O:
h. Mengajarkan cara cuci tangan yang - Hb : 9,7 d/dL
benar dan etika batuk pada keluarga - Leukosit : 5,30 103/mm3
i. Monitor ststus oksigenasi - TD : 110/70 mmHg
j. Monitor status cairan
- HR : 98x/i
Anjurkan memperbanyak cairan oral
- RR : 21x/i
- T : 36,8oC
- Kreatinin darah : 2,4 mg/dL
- Ureum darah : 154 mg/dL
- Anak masih tampak pucat, lesu dan
lemas
A:
- Masalah belum teratasi
P:

43
Intervensi dilanjutkan
Selasa / 1. Perfusi perifer tidak a. Monitor sirkulasii perifer (mis. Edema, S :
14 efektif pengisian kapiler, warna, suhu) - Ibu mengatakan anaknya masih
Desember 2. Risiko infeksi b. Monitor tanda-tanda vital tampak lemas dan pucat
2021 Risiko perfusi renal c. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan - Ibu mengatakan anaknya masih
tidak efektif sistemik ada kemerahan dipipi
d. Mempertahankan teknik aseptic - Ibu mengatakan anaknya
e. Mencuci tangan sebelum dan sesudah masihmengeluh nyeri dan bengkak
kontak dengan pasien dan lingkungan pada sendi
pasien - Ibu mnegatakan anaknya maasih
f. Membatasi jumlah pengunjung mengalami kemerahan pada kedua
g. Mengajarkan cara cuci tangan yang benar mata
dan etika batuk pada keluarga O:
h. Monitor ststus oksigenasi - Hb : 9,7 d/dL
i. Monitor status cairan - Leukosit : 5,30 103/mm3
Anjurkan memperbanyak cairan oral - TD : 110/70 mmHg
- HR : 98x/i
- RR : 21x/i
- T : 36,8oC
- Kreatinin darah : 2,4 mg/dL
- Ureum darah : 154 mg/dL
- Anak tampak pucat, lesu dan lemas
A:
- Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan
Selasa / 3. Perfusi perifer tidak j. Monitor sirkulasii perifer (mis. Edema, S :

44
14 efektif pengisian kapiler, warna, suhu) - Ibu mengatakan anaknya masih
Desember 4. Risiko infeksi k. Monitor tanda-tanda vital tampak lemas dan pucat
2021 Risiko perfusi renal l. Monitor tanda dan gejala infeksi local dan - Ibu mengatakan anaknya masih
tidak efektif sistemik ada kemerahan dipipi
m. Mempertahankan teknik aseptic - Ibu mengatakan anaknya
n. Mencuci tangan sebelum dan sesudah masihmengeluh nyeri dan bengkak
kontak dengan pasien dan lingkungan pada sendi
pasien - Ibu mnegatakan anaknya maasih
o. Membatasi jumlah pengunjung mengalami kemerahan pada kedua
p. Mengajarkan cara cuci tangan yang benar mata
dan etika batuk pada keluarga O:
q. Monitor ststus oksigenasi - Hb : 9,7 d/dL
r. Monitor status cairan - Leukosit : 5,30 103/mm3
Anjurkan memperbanyak cairan oral - TD : 110/70 mmHg
- HR : 98x/i
- RR : 21x/i
- T : 36,8oC
- Kreatinin darah : 2,4 mg/dL
- Ureum darah : 154 mg/dL
- Anak tampak pucat, lesu dan lemas
A:
- Masalah belum teratasi
P:
Intervensi dilanjutkan

45
46
BAB IV
PEMBAHASAN
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), (2011) lupus eritematosus
sistemik (LES) merupakan penyakit sistemik yang terjadi secara bertahap dan
ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat yang dapat
mengenai satu atau beberapa organ tubuh, seperti ginjal, kulit, sel darah dan
sistem saraf, serta bersifat episodik dengan diselingi oleh periode remisi.
Sementara itu definisi lain diungkapkan Habibi, (2015) bahwa Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) merupakan kelainan autoimun multisistem dengan
karakteristik disregulasi sistem imun, pembentukan autoantibodi dan kompleks
imun yang menghasilkan inflamasi dan menyebabkan kerusakan pada berbagai
organ tubuh. Manifestasi klinis LES sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit
yang sulit diduga, tidak dapat diobati dan sering berakhir dengan
kematian.Kelainan ini merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologis,
diantaranya yang terpenting adalah adanya antibodi antinuklear, dan belum
diketahui penyebabnya (Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 2011).
1. Pengkajian

Berdasarkan dengan kasus An. S didapatkan keluhan pasien kemerahan di


pipi, badan tampak sembab, nyeri sendi sejak 1 bulan yang lalu, di pinggang,
lutut, pergelangan kaki dan tangan, dan perut tampak membuncit. Sementara itu,
berdasarkan hasil pengkajian pengkajian pada tanggal 14 Desember 2021 pukul
20.00 WIB, orang tua pasien mengatakan saat dirujuk ke RSUP Dr. M. Djamil
Padang baru mengetahui bawaha anaknya memiliki penyakit SLE dan ada
masalah pada ginjalnya. Pasien dalam keadaan sadar (E4V5M6), tampak pucat
dan lemah. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak lemas dan pucat,
adanya lebam keunguan dikedua lengan dan semakin luas pada tangan sebelah
kiri, tampak bintik kemerahan pada mata. Hasil laboratorium tanggal 14
Desember 2021 adalah Hb 7,4 g/dl, leukosit 15.560, trombosit : 104.000, Ht 21%,
Albumin : 2,6, creatinin : 1,8, Asam urat 4,3.

47
Menurut Uomo, (2016) manifestasi konstitusional seperti kelelahan, demam,
arthealgia¸ dan berat badan yang menurun merupakan gejala yang lazim dialami
oleh pasien SLE. Hal ini sejalan dengan penelitian Darma et. al., (2020) dimana
manifestasi terbannyak yang dialami pasien adalah fatigue dengan proporsi
55,35% dari 56 sampel. Hal serupa juga ditemukan Angraini (2020) didapatkan
hasil pengkajian keluhan utama pasien mengatakan sesak nafas, perut kembung,
pasien mengatakan kakinya lemas, sering demam dan badannya lemas. Kelelahan
merupakan manifestatsi konstitusional yang sering terjadi, ini bisa disebabkan
karena SLE aktif atau akibat dari medikasi dan gaya hidup. Kelelahan biasanya
dibarengi dengan manifestasi klinis lainnya.
Manifestasi lainnya yang didapatkan pada pasien dengan SLE yaitu
mukokutaneus SLE yang pertama adalah ruam kupu-kupu yaitu ruam eritem pada
pipi dan batang hidung yang dikenal dengan ruam malar (Putri, 2019). Ruam
malar yaitu eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dialami
oleh 35,71% pasien dan terjadi sekitar pipi dan batang hidung(Putri, 2019).
Selain itu, penelitian (Darma et. al., 2020) juga mendapatkan manifestastasi
fotosensitifitas ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar
matahari terjadi pada 30,35% dari pasien. Sinar UV-A dan UV-B memegang
peranan dalam terjadinya fotosensitifitas. Paparan sinar near-UV (360- sampai
400-nm light) akan merangsang limfosit mengeluarkan clastogenic factor yang
akan menghasilkan photoactived agent (Lopez, 2013). Photoactive agen inilah
yang akan menimbulkan lesi pada kulit pasien setelah terpapar sinar
matahari(Petri M, 2012).
Kemudian menifestasi lain adalah fotosensitifitas yaitu munculnya ruam atau
eksaserbasi setelah terpapar sinar matahari. Fototsensitifitas ini mungcul pada 30-
70% dari pasien SLE.Selain itu juga terdapat ruam diskoid.Manifestasi
muskuloskeletal dialami oleh pasien SLE.Umumnya pasien mengalami poliatritis
yang simetris dengan pada 90% kasus terdapat atralgia (Putri, 2019).Manifestasi
pleuropulmonary paling umum pada penderita SLE adalah pleuritis. Manifestasi
jantung dan pembulu darah pada penderita SLE antara lain perikardial, dapat
berupa perikarditis, dan penebalan perikardial yang diawali efusi perikardial.

48
Keterlibatan ginjal sebagian besar ditemukan setelah 5 tahun pasien menderita
SLE dengan prevalensi 30- 50%.Manifestasi ginjal menjadi salah satu penyebab
utama kematian pasien SLE.Manifestasi hematologi juga sering dijumpai pada
pasien SLE, yaitu anemia ringan dan anemia hemolitik, trombositopenia (platelet
<100x109/I) dan Lukopenia persistent (<4.0x109/I). (Cojocaru, 2016)
2. Diagnosa

Berdasarkan kasus diatas, maka diagnosa keperawatan yang diangkat adalah


risiko infeksi berhubungan dengan inflamasi sitemik, perfusui perifer tidak efektif
berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin dalam tubuh dan risiko
perfusi renal tidak efektif berhubungan dengan sindrom respon inflamasi sistemik.
Berdasarkan masalah diatas maka pasien An. S ditegakkan diagnosa
keperawatan risiko infeksi berhubungan dengan imunosupresi. Systemic Lupus
Erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik multisistem autoimun ditandai
dengan munculnya gejala klinis yang bervariasi (Kamphuis dan Silverman,
2010).SLE termasuk dalam penyakit rematik dengan karakteristik berupa
autoantibodi (dirinya dianggap sebagai antigen), pembentukan kompleks imun,
dan abnormalitas imun, yang pada dasarnya menyebabkan kerusakan organ
(Gitelman dan Jung, 2013).
Risiko Infeksi menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) adalah kondisi
pasien yang berisiko mengalami peningkatan terserang organisme patogenik.
Faktor risiko dari risiko infeksi menurut Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) salah
satunya adalah ketidakadekuatan pertahanan tubuh sekunder: imunosupsresi.
Sesuai dengan faktor risikonya An. S mengalami faktor risiko ketidakadekuatan
pertahanan tubuh sekunder imunosupsresi, selain faktor risiko menurut hasil
penelitian Asih dkk (2016) penyebab utama kematian pasien SLE yang
diakibatkan oleh infeksi sebanyak 90%, sehingga diagnosa risiko infeksi
berhubungan dengan imunosupresi pada kasus ini sudah sesuai untuk ditegakkan.
Teori yang diungkapkan oleh Tsokos bahwa pada penderita lupus jaringan
di dalam tubuh dianggap benda asing. Rangsangan dari jaringan tersebut akan
bereaksi dengan sistem imunitas dan akan membentuk antibodi yang berlebihan,

49
dimana antibodi yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap penyakit,
masuk ke dalam tubuh justru akan menyerang sel-sel jaringan organ tubuh yang
sehat dan berbagai jaringan organ tubuh seperti jaringan kulit otot tulang, ginjal,
sistem saraf, kardiovaskular, paruparu, dan hati (Tsokos 2011). Dan hal ini sesuai
dengan teori yang diungkapkan oleh (Squance et al, 2014) bahwa penyebab utama
kematian pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE) 90% diakibatkan oleh
infeksi dan 10% 76 kematian pasien pasien Systemic Lupus Erythematosus (SLE)
diakibatkan organ yang sudah mengalami komplikasi seperti gagal ginjal dan
kerusakan SPP.
Diagnsa kedua yang ditegakkan berdasarkan kasus pada An. S adalah perfusi
perifer tidak efektif berhubungan dengan penurunan konsentrasi hemoglobin.
Hasil ini serupa dengan Lubis, (2017) dimana gambaran perubahan pada marker
hematologi seperti lekopenia dan trombositopenia yang berhubungan dengan
progresivitas keterlibatan sumsum tulang pada SLE dan efek samping dari steroid
tidak ditemukan pada kasus mulai dari onset awal penyakit sampai akhir
pemantauan.Namun demikian, anemia derajat ringan ditemukan selama perjalanan
pemantauan kasus.
Menurut Habib, (2016) tipe anemia yang sering ditemukan pada SLE yaitu
anemia penyakit kronis, anemia defisiensi besi dan anemia hemolitik. Anemia
yang terjadi pada saat onset awal kasus merupakan anemia yang disebabkan oleh
defisiensi zat besi karena intake nutrisi yang tidak adekuat. Anemia ini disebut
anemia hipoproliferatif akibat kelainan metabolisme besi, dimana kadar besi
serum atau plasma rendah walaupun cadangan besi di retikuloendotelial cukup
adekuat sehingga sumsum tulang gagal membentuk eritrosit baru. Sitokin
proinflammatori, anti-inflammatori dan sistem retikuloendotelial mempengaruhi
hemostasis besi, mengakibatkan makrofag tidak dapat melepaskan besi untuk
sintesa hemoglobin, eritropoesis tidak adekuat dan produksi eritropoetin tidak
sesuai dengan derajat anemia dan umur sel darah merah sedikit memendek.
Anemia akan sembuh bila kelainan yang menjadi penyebab dikoreksi.
Diagnose ketiga yang ditegakkan berdasarkan kasus pada An. S adalah
risiko perfusi renal tidak efektif berhubungan dengan sindrom respon inflamasi

50
sistemik dan ditandai dengan jum;ah kreatinin darah : 2,4 mg/dL serta ureum
darah 154 mg/dL. Hal ini sejalan dengan penelitian-penelitian terdahulu, dimana
pada penelitian tersebut dinyatakan bahwa lokasi infeksi tersering pada penderita
SLE yang mengalami infeksi yaitu pada saluran pernapasan, saluran kemih, dan
kulit (Skare et al., 2016).
Keterlibatan ginjal merupakan kontributor terbesar terhadap morbiditas
dan mortalitas pada populasi anak dengan LES. Keterlibatan ginjal terjadi pada
50- 70% anak dengan LES dan paling banyak dijumpai dalam dua tahun setelah
diagnosis LES ditegakkan (Weiss, 2012). Sebanyak 10-30% di antaranya akan
berlanjut menjadi penyakit ginjal kronik stadium terminal5 yang ditandai dengan
proteinuria minimal hingga proteinuria nefrotik, hematuria mikroskopik,
hipertensi berat, edema, penurunan fungsi laju filtrasi glomerulus, peningkatan
blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin (Bertsias et. al., 2012). Deposit
kompleks imun berupa deposit DNA dan anti double stranded DNA (ds-DNA) di
dalam mesangium dan ruang subendotelial glomerulus menyebabkan aktivasi
komplemen dan masuknya sel inflamasi (Barsalou, 2013) Kondisi ini
bermanifestasi secara histologis sebagai gambaran glomerulonefritis mesangial,
glomerulonefritis fokal atau glomerulonefritis proliferatif difus, sedangkan secara
laboratoris dapat dijumpai sedimen urin, kadar komplemen yang rendah,
peningkatan kadar anti ds-DNA, dan proteinuria (Sinha & Raut, 2013).
Pemeriksaan rasio protein kreatinin urin sewaktu juga sering digunakan untuk
menilai proteinuria dan penyakit ginjal yang aktif (Levy & Kamphuis, 2012).
Intervensi keperawatan pada pasien dengan SLE di ruangan Anak RSUP Dr.
M.Djamil Padang
Intervensi keperawatan disusun berdasarkan diagnosa keperawatan yang
sesuai dengan kebutuhan pasien. Intervensi keperawatan berpedoman pada
Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) dengan luarannya yaitu
Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI). Intervensi dilakukan
dengan tujuan untuk mencapai kriteria hasil (SLKI).

51
Intervensi yang akan dilakukan pada diagnosa risiko infeksi dengan
kriteria hasil yang diharapkan napsu makan meningkat, demam menurun,
kadar sel darah putih membaik, kultur darah membaik.
Intervensi yang akan dilakukan pada dianosa perfusi perifer tidak efektif
dengan kriteria hasil yang dihharapkan kelemahan otot menurun, nyeri
ekstremitas menurun, tekanan darah sistolik membaik, tekanan darah
diastolik membaik, pengisian kapiler membaik, akral teraba hangat.
Intervensi yang akan dilakukan pada diagnosa resiko oerfusi renal tidak
efektif dengan kriteria hasil kadar kreatinin plasma membaik, kadar urea
nitrogen membaik, tekanan arteri rtaa-rata membaik dana kadar elektrolit
membaik
Implementasi keperawatan
Diagnosa pertamanya yaitu resiko infeksi, tindakan yang dilakukan yaitu
monitor TTV, monitor tanda dan gekala infeksi lokal dan sistemik, batasi
jumlah pengunjung, berikan perawatan kulit pada daerah edema, cuci
tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien, pertahankan teknik
aseptik pada pasien beresiko tinggi, jelaskan tanda dan gejala infeksi,
ajarkan cara memeriksa luka dan anjurkan meningkatkan asupan cairan.
Memonitor tanda-tanda vital (TTV) meliputi suhu tubuh, denyut nadi,
pernapasan dan tekanan darah merupakan cara yang cepat dan efisien
untuk memantau kondisi pasien atau mengidentifikasi masalah dan
mengevaluasi respon pasien terhadap intervensi (Sulistyowati, 2016).
Monitor TTV dilakukan secara berkala, agar dapat mengetahui keadaan
umum pasien dan jika terjadi perburukan dapat diberi tindakan secepatnya.
Diagnosa kedua yaitu perfusi perifer tidak efektif (perawatn sirklasi),
tindakan yang akan dilakukan periksa sirkulasi perifer, identifikasi faktor
resiko gangguan sirkulas, monitor panas, nyeri, kemerahan atau bengkak
pada ekstremitas, lakukan pencegahan infeksi, lakukan hidrasi. Diagnosa
ketiga yaitu risiko perfusi renal tidak efektif (pencegahan syok) dengan
tindakan yang dilakukan monitor status kardiopulmunal, monitor satus

52
oksigen, monitor status cairan, monitor kesadaran, jelaskan penyebab fator
resiko syok, anjurkan enghindari aleren

53
BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS


dan kanker. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun,
dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan sehingga kelainan ini
lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang
menyebabkannya tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor
genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu,
dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada kaitannya
dengan hormon estrogen.
3) Penyakit ini menimbulkan gejala-gejala umum yang sering dianggap
sepele tetapi justru perlu untuk ditangani sejak awal agar terhindar dari
penyebarannya sampai ke organ-organ.

54
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito and Moyet, (2007).Buku Saku Diagnosis Keperawatan.Edisi 10.


Jakarta: EGC
Kowalak.(2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
Nanda Internasional. 2012. Diagnosis Keperawatan. Jakarta:EGC
Smeltzer. Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth.Edisi 8.Volume 3.Jakarta : EGC.
Sutarna, Agus, dkk. (2008). Buku Ajar Keperawatan Pediatrik Wong (Wong’s
Essentials of Pediatric Nursing). ED.6. Jakarta: EGC
Malleson, Pete; Tekano, Jenny. (2007). Diagnosis And Management Of Systemic
Lupus Erythematosus In Children. Paediatrics And Child Health 18:2.
Published By Elsevier Ltd. Symposium: Bone & Connective Tissue.
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC.
Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Anak”, Jakarta : AGC
Hidayat, Aziz. A. (2012). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika Kyle, Terri & Susan Carman. (2012). Buku Ajar
Keperawatan Pediatrik vol 4. Edisi 2. Jakarta : EGC
Suriadi & Yuliani R. 2010. Asuhan Keperawatan pada Anak Jilid 2.Jakarta :
Sagung Seto.
Tarwanto., Wartonah. 2015. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan.
Jakarta: Salemba Medik
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : EGC.
Habibi S, Saleem MA, Ramanan AV. 2015. Juvenile systemic lupus
erythematosus : review of clinical features and management. Indian
Pediatrics.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011. Pedoman Pelayanan Medis Edisi II. Jakarta:
Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Angraini, Pingkan. 2020. Studi Dokumentasi Risiko Infeksi Pada Pasien An. N
Dengan Systemic Lupus Erythematosus (SLE).Yogyakarta : Akademi
Keperawatan “YKY”.

55
Lubis B. Anemia karena penyakit kronis. In: Arief S, Ugrasena I, Fardah A,
editors. Comprehensive management in children with hematology-oncology
problem: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang Jawa Timur; 2017. p. 134–
42
Tsokos, G.C. (2011). Systemic lupus erythematosus. The New England Journal of
Medicine, 365 (22), 2110–2121. Diakses 15 Desember
2021.https://doi.org/10.10 56/NEJMra1100359.
Squance M.L, Glenn E. M. Reeves, dan Bridgman H. 2014. The Lived Experience
of Lupus Flares: Features, Triggers, and Management in an Australian
Female Cohort. International Journal of Chronic Diseases. Volume 2014
(2014), Article ID 816729, 12 pages
Weiss JE. Pediatric systemic lupus erytematosus: more than a positive antinuclear
antibody. Pediatr Rev. 2012;33:62-73. 2
Sinha R, Raut S. Pediatric lupus nephritis: Management update. World J Nephrol
2014;3:16- 23. 3
Barsalou J, Levy DM, Silverman ED. An update on childhood-onset systemic
lupus erithematosus.Cur Opin Rheumatol. 2013;25:616-22.
Bertsias GK, Tektonidov M, Amoura Z, Aringer M, Bajema I, Berden JHM, et al.
Join European League Againts Rheumatism and European Renal
Association-European Dialysis and Transplant Association (EULAR/ERA-
EDTA) recommendation for the management of adult and paediatric lupus
nephritis. Ann Rheum Dis. 2012;71:1771-82
Levy DM, Kamphuis S. Systemic lupus erythematosus in children and
adolescents. Pediatr Clin North Am. 2012;59:345-64
Utomo, Wicaksono N. “Hubungan Antara Aktivitas Penyakit Dengan Status
Kesehatan Pada Pasien LES (Lupus Eritematosus Sistemik) di RSUP dr.
Kariadi, Semarang”. Semarang : Universitas Diponegoro. 2016

56
SATUAN ACARA PENYULUHAN

Pokok Bahasan  : penyakit pada sistem imunologi


Sub Pokok Bahasan  : Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)
Hari / Tanggal  : Jumat / 17 Desember
Waktu  : 20 menit
Tempat  : RSUP Dr. M. Djamil
Sasaran  : Individu
Pemberi Penkes  : Kelompok U
I. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah dilakukan pembelajaran selama 20 menit, diharapkan pasien mampu
memahami tentang penyakit SLE dan mengenai cara penanganannya.
II. Tujuan Pembelajaran Khusus
Klien akan mampu :
1. Mengetahui pengertian kejang
2. Mengetahui penyebab kejang
3. Mengetahui tanda dan gejala kejang
4. Mengetahui cara penanganan kejang
III. Materi Pembelajaran
1. Pengertian SLE
2. Penyebab SLE
3. Tanda dan gejala SLE
4. Cara penanganan SLE
IV. Metode
Ceramah, Diskusi
V. Media dan Tempat
1. Media : leaflet
2. Tempat :Gd. Rawat Anak (Kronis) Lt. 3

57
VI. Kegiatan Penyuluhan

Kegiatan Kegiatan Klien Waktu

Pendahuluan Menjawab 2 menit


pertanyaan
Memberi salam, memperhatikan sikap.
Menyimak
Memberi pertanyaan apersepsi.
Menyimak
Mengkomunikasikan pokok bahasan.
Mengkomunikasikan tujuan

Kegiatan Inti Menyimak, 10 menit


bertanya,
Menjelaskan materi secara sistematis mengikuti contoh
yang
 Pengertian SLE
dipraktekan dan
 Penyebab SLE
memberi jawaban
 Tanda dan Gejala SLE
pertanyaan
 Cara pencegahan dan
pengobatan SLE
Memberi kesempatan bertanya
Memberikan jawaban secara tepat

Penutup Menyimak dan 3 menit


menjawab
Menyimpulkan materi pelajaran bersama-sama pertanyaan
Memberikan evaluasi secara tanya jawab
Mengucapkan salam penutup

58
VII. Evaluasi
1. Prosedur : Diberikan diakhir pendidikan kesehatan
2.  Waktu : 5 menit
3. Bentuk Soal : Lisan
4. Jumlah Soal : 3
5. Jenis Soal : Essay
Butir soal
1. Jelaskan pengertian SLE?
2. Apa penyebab SLE?
3. Bagaimana tanda dan gejala SLE?
4. Bagaimana pecegahan SLE?

59
Lampiran Materi
1. Pengertian SLE
Lupus atau lengkapnya Systemic Lupus Erythemotosus ( SLE )
merupakan penyakit dimana seharusnya jumlah antibody normal
menjadi berlebihan. Dan antibodi ini tidak lagi berfungsi untuk
menyerang virus, kuman, bakteri yang ada di dalam tubuh, tetapi justru
menyerang sel & jaringan tubuhnya sendiri.

2. Penyebab SLE
Penyebab dari lupus tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan faktor
lingkungan dan keturunan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat
memicu timbulnya lupus:

1. Kontak sinar matahari,


2. infeksi virus/bakteri,
3. Obat golongan sulfa,
4. Hormon
5. Trauma psikis maupun fisik

3. Tanda dan Gejala SLE


1. Discoid rash (bercak merah pada kulit)
2. Ruam kupu – kupu (Butterfly rash) / merah pada pipi.
3. Photosensitivity (peka terhadap cahaya).
4. Arthritis (radang sendi)
5. Neurologic disorder (kelainan fungsi saraf).
6. Hematologic disorder (kelainan darah).
7. Immunologic disorder (kelainan pada sistem kekebalan tubuh).

4. Pencegahan SLE
 CARA PENCEGAHAN

60
Untuk saat ini masih belum ada cara pencegahan untuk penyakit ini,
tetapi riset sedang dilakukan di seluruh dunia untuk menemukan cara
pengobatan yang baru dan penyebab pasti dari pasti penyakit ini.
Mudah-mudahan ada harapan untuk masa depan. Bagaimanapun
penyakit ini dapat dikendalikan dengan pengobatan.

 CARA PENANGANAN
a. Selalu gunakan krem pelindung sinar matahari, baju lengan
panjang, topi atau payung bila akan bekerja di bawah sinar
matahari
b. Penderita dianjurkan mendapat terapi pencegahan dengan
antibiotika bila akan menjalani operasi gigi, saluran kencing,
atau tindakan bedah lainnya
c. pastikan untuk mendapatkan banyak istirahat. Beberapa
orang dengan lupus perlu sampai 12 jam tidur malam.
d. Berikan Obat anti Peradangan (anti Inflamasi) misalnya
indometasin, asetaminofen, ibuprofen, prednison,
prednisolon, klorokuin. azatioprin, dan siklofoshamid

Referensi :
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajaran Keperawatan Medikal Bedah.
Vol. 3. Jakarta : EGC

61

You might also like