You are on page 1of 10

Mengungkap Rahasia Ajaran Syekh Siti Jenar

10

DEC

Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti Jenar

Selama ini, syahadat umumnya hanya dipahami sebagai bentuk mengucapkan kata “Asyhadu an
la ilaha illa Allah, wa asyhadu anna Muhammad al-rasul Allah”. Dan karena hanya pengucapan,
wajar jika tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap mental manusia. Siapapun dapat
mengucapkannya, walau kebanyakkan tidak memahaminya. Padahal makna sesungguhnya
bahwa syahadat adalah “kesaksian” bukan “pengucapan” kalimat yang menyatakan bahwa ia
telah bersaksi.

Ketika kita mengucapkan kata “Allah”, maka kata ini harus hadir dan lahir dari keyakinan yang
mendalam. Pada saat pengucapan, kita harus yakin bahwa Allah “ada” pada diri nabi-Nya, dan
bahwa setiap diri kita mampu membawa peran nabi tersebut. Dalam ma’rifat, nabi dan
kenabian sebagai suatu hal yang selalu hidup. Dan ketika person nabi terakhir diberi label
“Muhammad”, maka ia adalah langsung dari nur dan ruh Muhammad, dan menyandang nama
spiritual sebagai “Ahmad”. Dan ketika kata “Ahmad” disebutkan, Nabi Muhammad sering
mengemukakan bahwa “ana Ahmad bila mim” (aku adalah Ahmad yang tanpa mim), yakni
“Ahad”. Ketika suku bangsa dzahir “arab” disebutkan, beliau sering mengemukakan “ana
‘arabun bila “Ain”, (aku adalah “Arab tanpa ‘Ain), yakni “Rabb”. Inilah kesaksian itu, atau
syahadat.

Kalau kita membayangkan nabi secara fisikal maka kita akan menghayalkan tentang nabi. Nah,
pada saat Allah kita rasakan hadir atau bersemayam dalam diri Nabi yang berada di kedalaman
lubuk hati kita, maka terlepaslah ucapan “Muhammad al-Rasul Allah” sebagai kesaksian. Lalu
kesaksian ini kita lepaskan ke dalamDzat Allah. Sehingga kemudian tercipta apa yang disebut
sebagai “Tunggal ing Allah hiya kang amuji hiya kang pimuji”, kemanunggalan dengan Allah
sehingga baik yang memuji dan yang dipuji tidak dapat dipisahkan.

Pada konteks syahadat yang seperti itulah kemudian lahir ajaran tentang “wirid sasahidan” dari
Syekh Siti Jenar, dalam bentuk pengucapan hati sebagai berikut (Sholikhin: 2004, 182-183)

Artinya:

Aku bersaksi di hadapan Dzat-ku sendiri

Sesungguhnya tiada tuhan selain Aku


Aku bersaksi sesungguhnya Muhammad itu utusan-Ku

Sesungguhnya yang disebut Allah itu badan-Ku

Rasul itu rasa-Ku

Muhammad itu cahaya-Ku

Akulah yang hidup tidak terkena kematian

Akulah yang senantiasa ingat tanpa tersentuh lupa

Akulah yang kekal tanpa terkena perubahan di segala keadaan

Akulah yang selalu mengawasi dan tidak ada sesuatupun yang luput dari pengawasan-Ku

Akulah yang maha kuasa, yang bijaksana, tiada kekurangan dalam pengertian

Byar

Sempurna terang benderang

Tidak terasa apa-apa

Tidak kelihatan apa-apa

Hanya aku yang meliputi seluruh alam

Dengan kodrat-Ku

Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa kesaksian tersebut diperoleh berdasarkan lelaku. Maka
setelah lahirnya kesaksian tersebut juga harus disertai dengan lelaku pula. Yaitu diikuti dengan
semedi atau dzikir rasa sehingga kemudian dapat mengalami mati dalam hidup dan hidup dalam
mati. Dzikir seperti ini dilakukan dengan meng-heneng-kan diri dan mengheningkan cipta serta
karsa sehingga kembali tercipta kesatuan hati, pikiran dan rasa hidup. Hal ini dilakukan dengan
menyatukan pancaindera, memejamkan mata dan mengarahkannya ke pucuk hidung (pucuking
ghrana), sambil menyatukan denyut jantung, harus diatur pula pernapasan yang masuk dan
keluar jangan sampai tumpang tindih.

Biasanya praktik sasahidan ini akan berujung pada bercampurnya rasa hati dan hilangnya
segenap perasaan. Kalau sudah mencapai kondisi ini, maka harus diturunkan ke dalam jiwa dan
menyebar ke seluruh sel-sel dan syaraf tubuh. Sehingga akan tercapailah ketiadaan rasa apapun
dan akan memunculkan sikap ke-waskitha-an (eling lan waspadha).

Dengan demikian wajar jika pada kesimpulannya tentang makna syahadat, Syekh Siti Jenar
memberikan makna syahadat sebagai etos gerak, etos kerja yang positif, progresif, dan aktif.
Syekh siti jenar mengemukakan bahwa syahadat tauhid dan syahadat rasul mengandung makna
jatuhnya rasa (menjadi etos), kesejatian rasa (unsur motorik), bertemunya rasa (ide aktif dan
kreatif), hasil karya yang maujud serta dampak terhadap kesejatian kehidupan (Sholikhin: 2004,
187). Itulah makna syahadat yang sesungguhnya dari sang insan kamil.

Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti Jenar

2. Sholat

“Peliharalah shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah (dalam shalat) yang khusyuk”
(QS Al. Baqarah/ 2:238). Ini adalah penegasan dari Allah tentang kewajiban dan keharusan
memelihara shalat, baik segi dzahir maupun batin dengan titik tekan “khusyuk”, kondisi batin
yang mantap.

Secara lahir, shalat dilakukan dengan berdiri, membaca Al-Fatihah, sujud, duduk dsb.
Kesemuanya melibatkan keseluruhan anggota badan. Inilah shalat jasmani dan fisikal. Karena
semua gerakan badan berlaku dalam semua shalat, maka dalam ayat tersebut disebut
shalawaati (segala shalat) yang berarti jamak. Dan ini menjadi bagian pertama, yakni bagian
lahiriah.

Bagian kedua adalah tentang shalat wustha, yaitu yang secara sufistik adalah shalat hati. Wustha
dapat diartikan pertengahan atau tengah-tengah. Karena hati terletak di tengah, yakni di tengah
“diri”, maka dikatakan shalat wustha sebagai shalat hati. Tujuan shalat ini adalah untuk
mendapatkan kedamaian dan ketentraman hati. Hati terletak di tengah-tengah, antara kiri dan
kanan, antara depan dan belakang, atas dan bawah, serta antara baik dan jahat. Hati menjadi
titik tengah, poin pertimbangan. Hati juga diibaratkan berada diantara dua jari Allah, dimana
Allah membolak-balikkannya ke mana saja yang ia kehendaki. Maksud dari dua jari Allah adalah
dua sifat Allah, yaitu sifat Yang Menghukum dan Meng-adzab dengan sifat Yang Indah, Yang
Kasih Sayang, dan Yang Lemah Lembut.

Sholat dan ibadah yang sebenarnya adalah sholat serta ibadahnya hati, kondisi khusyu’
menghadapi kehidupan. Bila hati lalai dan tidak khusyuk, maka jasmaniahnya akan berantakan.
Sehingga kalau ini terjadi, kedamaian yang didambakan akan hancur pula. Apalagi shalat jasmani
hanya bisa dicapai dengan hati yang khusyuk. Kalau hati tidak khusyuk, serta tidak dapat
konsentrasi pada arah yang dituju dari shalat, maka hal itu tidak bisa disebut shalat. Juga tidak
akan dapat dipahami apa yang diucapkan, dan tentu apa pun yang dilakukan dengan bacaan dan
gerakannya tidakakan bisa mengantarkan sampai kepada Allah.

Urgensi ke-khusyuk-an ini berhubungan dengan inti shalat sebagai doa. Doa atau munajat,
bukan sekedar permintaan hamba kepada Allah, akan tetapi berarti juga sebagai arena
pertemuan. Dan tempat pertemuan itu adalah di dalam hati. Maka jika hati tertutup di dalam
shalat, tidak peduli akan makna shalat rohani, shalat yang dilakukan tersebut tidak akan
memberikan manfaat apa pun. Sebab semua yang dilakukan jasmaninya sangat tergantung
kepada hati sebagai Dzat untuk badan. “Ingatlah bahwa dalam tubuh itu ada sekeping daging,
apabila daging itu baik, baiklah seluruh tubuh itu. Dan apabila ia rusak, rusak pulalah semua
tubuh itu. Daging itu adalah hati. “ (sabda Rasulullah)

Ke-khusyuk-an hati akan membawa sholat yang menghasilkan kesehatan hati. Shalat khusyuk
akan menjadi obat bagi hati yang rusak dan jahat serta berpenyakit. Maka shalat yang baik
haruslah dengan hati yang sehat dan baik pula, bukan dengan hati yang rusak, yakni hati yang
tidak dapat hadir kepada Allah.

Jika shalat dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal, baik tempat, waktu,
kesucian badan, pakaian, dsb, maka shalat dari segi rohaniah tidak terbatas dan tidak
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat secara rohaniah tidak terikat oleh ruang dan
waktu. Shalat ini selalu dilakukan terus menerus sejak di dunia hingga akhirat. Masjid untuk
shalat rohani terletak dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-anggota batin atau daya-daya
rohaniah yang ber-dzikir dan membaca al-asma’ al-husna dalam bahasa alam rohaniah. Imam
dalam shalat rohani adalah kemauan atau keinginan (niat) yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah.
Inilah shalat tarek dan sholat daim yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar.

Shalat yang demikian itu hanya dapat dilakukan oleh hati yang ikhlas, hati yang tidak tidur, dan
hati yang tidak mati. Hati dan jiwa seperti itu kekal dan selalu beribadah atau shalat ketika
jasmaninya sedang tertidur atau terjaga. Ibadah hati dilakukan sepanjang hayat, dan sepanjang
hayatnya adalah untuk beribadah.

Inilah ibadah orang yang sudah mencapai ma’rifatullah, tempat penyucian tertinggi. Di tempat
itu, ia ada tanpa dirinya. Karena dirinya telah fana’, telah hilang lenyap. Ingatannya yang teguh
dan suci tercurah hanya kepada Allah.

Namun tentu saja ini berlaku setelah semua shalat-shalat fardhu dan nawafil dilaksanakan
secara konsisten. Jadi, tempat suci tersebut baru bisa dijangkau setelah semua shalat syari’at itu
sempurna, lalu masuk ke dalam shalat thariqat dan ma’rifat. Maka tidak bisa diartikan bahwa
jika sudah berada di tingkatan ini, lalu tidak lagi melakukan shalat sama sekali. Bahkan sering
dalam shalat itulah mereka mengalami fana’ dalam munajat-nya sehingga ibadah yang
dilakukannya itu menyita banyak waktu. Hanya saja bentuk shalat dalam arti gerakan dan
bacaan tertentu sudah tidak mengikat lagi. Shalat ditegakkan atas kemerdekaan rohani dalam
menempuh laku menuju Allah.

Pada tingkatan ini tidak ada lagi bacaan di mulut. Tidak ada lagi gerakan berdiri, ruku’, sujud,
dsb. Dia telah berbincang dengan Allah sebagaimana firman-Nya “Hanya Engkau yang kami
sembah, dan hanya Engkaulah kami memohon pertolongan” (QS Al-Fatihah/1: 5)

Firman tersebut menunjukkan betapa tingginya kesadaran insan kamil, yakni mereka yang telah
melalui beberapa tingkatan alam rasa dan pengalaman rohani sehingga tenggelam dalam lautan
tauhid atau Ke-Esaan Allah dan ber”padu” dengan-Nya. Nikmat yang mereka rasakan saat itu
tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Hanya orang yang mengalaminya yang dapat
mengalaminya yang dapat mengartikan kenikmatan tersebut. Namun mereka pun sering tidak
mau mengungkapkannya. Tidak ingin membocorkan rahasia Ketuhanan yang tersimpan di dalam
lubuk hatinya oleh Allah.

Hal tersebut sama halnya dengan hakikat takbir, yang bukan semata-mata ucapan “Allahu
Akbar”. Takbir merupakan pengucapan yang lahir dari firman Allah yang memuji kebesaran
Dzat-Nya. Jadi, takbir sebenarnya merupakan suara Tuhan yang meminjam mulut hamba-Nya.
Bukan hasil dari dorongan emosional. Karenanya, takbir sejati adalah menyatakan kebesaran
Allah dari af’al Allah sendiri. Takbir sejati merupakan penghayatan diri terhadap sifat Allah. Dan
takbir sejati adalah penyebutan nama-Nya yang lahir dari kehendak-Nya semata. Dengan takbir
yang demikian itu maka yang lain menjadi sangat kecil, dan menjadi tidak ada. Yang ada hanya
Allah. Ke mana pun kita menghadap yang ada hanya Wajah Allah.

Maka setelah berpadu ibadah lahir dan batin secara harmonis, sempurnalah ibadah seseorang.
Hati dan ruh seperti tergambar itu membawanya masuk ke Hadirat Allah. Hatinya ber”padu”
mesra dengan Allah. Dalam alam nyata ia menjadi hamba yang wara’ dan ‘alim. Dalam alam
rohani ia menjadi ahli ma’rifah yang telah sampai pada peringkat kesempurnaan mengenal
Allah. Inilah makna bahwa shalat adalah perjalanan menuju Allah. Hasilnya adalah bahwa shalat
yang dilaksanakan mencegah perilaku yang keji dan munkar. Sebaliknya menghasilkankehalusan
dan kemuliaan budi dan perilaku.

Jika shalat telah dihilangkan makna hakikatnya, hanya menjadi sekedar pelaksanaan hukum fikih
sebagaimana tampak pada kebanyakan manusia dewasa ini, maka shalat tersebut telah
kehilangan makna fungsionalnya. Hal inilah yang telah mendatangkan kritik tajam dari Syekh Siti
Jenar.

Syahadat, sholat, puasa semua tanpa makna

Termasuk zakat dan haji ke Mekah

Itu semua telah menjadi palsu

Tidak bisa dijadikan anutan

Hanya menghasilkan kerusakan di bumi

Membohongi makhluk lain

Hanya ingin surga kelak

Orang bodoh mengikuti para wali

Sementara kenyataannya sama saja belum mencapai tahapan hening


Syekh Siti Jenar mengkritik pelaksanaan hukum fikih pada masa walisanga karena ibadah-ibadah
formal tersebut telah kehilangan makna dan tujuan, kehilangan arti, dan hikmah kehidupan. Hal
itu menjadikan semua ajaran agama yang diajarkan oleh para ulama ketika itu menjadi
kebohongan yang meninabobokkan publik dengan hanya menginginkan surga kelak yang belum
ada kenyataanya.

Oleh karenanya Syekh Siti Jenar mengajarkan praktik shalat fungsional, berbeda dengan para
wali pada masanya. Shalat tarek sebagai bentuk ketaatan syari’at, dan shalat daim sebagai
shalat yang tertanam dalam jiwa, dan mewarnai seluruh pekerti kehidupan. Seseorang yang
melaksanakan pekerjaan profesionalnya secara benar, disiplin, ikhlas, dan karena melaksanakan
fungsi lillahi ta’ala, maka orang tersebut disebut melaksanakan shalat. Itulah bagian dari shalat
da’im.

Namun ternyata, ajaran shalat fungsional tersebut tidak hanya menjadi milik Syekh Siti Jenar. Di
dalam Suluk Wujil bait 12-13, sebuah naskah yang ditulis pada awal abad ke-17, yang disebut-
sebut sebagai warisan ajaran Sunan Bonang, menyebutkan ajaran shalat sebagai berikut:

Unggulnya diri itu mengetahui hakikat shalat, sembah dan pujian. Shalat yang sebenarnya bukan
mengerjakan shalat Isya dan maghrib. Itu namanya sembahyang. Apabila itu disebut shalat,
maka hanyalah hiasan dari shalat daim. Hanyalah tata krama . manakah yang disebut shalat
yang sesungguhnya itu? Janganlah menyembah jikalau tidak mengetahui siapa yang disembah.
Akibatnya dikalahkan oleh martabat hidupmu. Jika didunia ini engkau tidak mengetahui siapa
yang disembah, maka engkau seperti menyumpit burung. Pelurunya hanya disebarkan, tapi
burungnya tak ada yang terkena tembakan. Akibatnya cuma menyembah ketiadaan, suatu
sesembahan yang sia-sia.

Maka jelaslah bahwa shalat lima waktu yang hanya dilakukan berdasarkan ukuran formalitas,
hanya sebentuk tata krama, aturan keberagamaan. Sementara shalat daim yang merupakan
shalat yang sebenarnya. Yakni, kesadaran total akan kehadiran dan keberadaan Hyang Maha
Agung di dalam dirinya, dan dia merasakan dirinya sirna. Sehingga semua tingkah lakunya adalah
shalat. Diam, bicara, dan semua gerak tubuhnya merupakan shalat. Wudhu, membuang air
besar, makan dan sebagainya adalah tindakan sembahyang. Inilah hakikat dari niat sejati dan
pujian yang tiada putus. Ya, shalat yang mampu membawa pelakunya untuk menebar kekejian
dan ke-mungkar-an. Mampu menghadirkan rahmatan lil ‘alamin.

Ketauhidan Syekh Siti Jenar

SEMBILAN

“Sesungguhnyalah, Lapal Allah yaitu kesaksian akan Allah, yang tanpa rupa dan tiada tampak,
membingungkan orang, karena diragukan kebenarannya. Dia tidak mengetahui akan diri
pribadinya yang sejati, sehingga ia menjadi bingung. Sesungguhnya nama Allah itu untuk
menyebut wakil-Nya, diucapkan untuk menyatakan yang dipuja dan menyatakan suatu janji.
Nama itu ditumbuhkan menjadi kalimat yang diucapkan: “Muhammad Rasulullah”. Padahal sifat
kafir berwatak jisim, yang akan membusuk, hancur lebur bercampur tanah.” “Lain jika kita
sejiwa dengan Zat Yang Maha Luhur. Ia gagah berani, naha sakti dalam syarak, menjelajahi alam
semesta. Dia itu Pangeran saya, yang menguasai dan memerintah saya, yang bersifat
wahdaniyah, artinya menyatukan diri dengan ciptaan-Nya. Ia dapat abadi mengembara melebihi
peluru atau anak sumpitan, bukan budi bukan nyawa, bukan hidup tanpa asal dari manapun,
bukan pula kehendak tanpa tujuan.” “Dia itu yang bersatu padu menjadi wujud saya. Tiada
susah payah, kodrat dan kehendak-Nya, pergi ke mana saja tiada haus, tiada lelah tanpa
penderitaan dan tiada lapar. Kekuasan-Nya dan kemampuan-Nya tiada kenal rintangan,
sehingga pikiran keras dari keinginan luluh tiada berdaya. Maka timbullah dari jiwa raga saya
kearif-bijaksanaan tanpa saya ketahui keluar dan masuk-Nya, tahu-tahu saya menjumpai Ia
sudah ada disana”. (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sastrawijaya, Pupuh III Dandanggula, 45-48).

Pernyataan di atas adalah tafsir sederhana dari sasahidan yang menjadi intisari ajaran Syekh Siti
Jenar, dan landasan mistik teologi kemanunggalan. Kalimah syahadat yang hanya diucapkan
dengan lisan dan hanya dihiasi dengan perangkat kerja fisik (pelaksanaan fiqih Islam dengan
tanpa aplikasi spiritual), hakikatnya adalah kebohongan. Pelaksanaan aspek fisik keagamaan
yang tidak disertai dengan implikasi kemanunggalan roh, sebenarnya jiwa orang itu mencuri,
yakni mencuri dari perhatiannya kepada aspek Allah dalam diri. Itulah sebenar-benarnya
munafik dalam tinjauan batin, dan fasik dalam kacamata lahir. Sebab manusia sebagai khalifah-
Nya adalah cermin Ilahiyah yang harus menampak kepada seluruh alam. Sebagai alatnya adalah
kemanunggalan wujudiyah sebagaimana terdapat dalam Sasahidan. Terdapat kesatupaduan
antara Allah, Rasul dan manusia. Masing-masing bukanlah sesuatu yang saling asing
mengasingkan.

SEPULUH.

“Rahasia kesadaran kesejatian kehidupan, ya ingsun ini kesejatian hidup, engkau sejatinnya
Allah, ya ingsun sejatinya Allah; yakni wujud (yang berbentuk) itu sejatinya Allah, sir
(rahsa=rahasia) itu Rasulullah, lisan (pangucap) itu Allah, jasad Allah badan putih tanpa darah, sir
Allah, rasa Allah, rahasia kesejatian Allah, ya ingsun (aku) ini sejatinya Allah.” (Wejangan
Walisanga: hlm. 5).

Subtansi dari ungkapan spiritual tersebut adalah bahwa kesejatian hidup, rahasia kehidupan
hanya ada pada pengalaman kemanunggalan antara kawula-Gusti. Dan dalam tataran atau
ukuran orang ‘awam hal itu bisa diraih dengan memperhatikan uraian dan wejangan Syekh Siti
Jenar tentang “Shalat Tarek Limang Waktu”.

Hakekat Rukun Islam Menurut Syekh Siti Jenar


4.Zakat

Syekh Siti Jenar memberikan makna aplikatif zakat sebagai sikap menolong orang lain dari
penderitaan dan kekurangan. Menolong orang lain agar dapat hidup, menikmati hidup, sekaligus
mampu bereksis menjalani kehidupan. Syekh Siti Jenar sendiri bertani yang merupakan
pekerjaan favorit pada masa hidupnya. Namun tidak semua masyarakat petani berhasil
hidupnya sebagaimana pula tidak selalu berhasil baik dari panennya. Yang tidak berhasil
panennya tentu mengalami kekurangan bahkan kelaparan. Syekh Siti Jenar selalu membantu
mereka yang kurang berhasil tadi dengan memberikan sebagian hasil panennya dari tanahnya
yang luas kepada mereka itu. Inilah yang disebut sebagai zakat secara fungsional.

Suka memberi adalah sifat-Nya, dan Dia senang melihat hamba-Nya mencontoh sifat suka
memberi yang menjadi sifat-Nya itu. Perbendaharaan Tuhan tidak akan kosong, dan bila Allah
memberi Dia akan memberi dengan tangan-Nya yang terbuka. “Barang siapa yang datang
membawa amal yang baik, maka ia akan mendapat pahala sebanyak sepuluh kali lipat dari kita,
dan barangsiapa yang datang membawa perbuatan yang jahat, dia tidak mendapatkan
pembalasannya, melainkan yang seimbang dengan kejahatannya, sedangkan mereka sedikit pun
tidak dianiaya.” (QS Al-An’am/6: 160)

Sebagaimana makna katanya, zakat memiliki kegunaan sebagai arena pembersihan harta dan
jiwa. Terutama membersihkan dari keegoan, sehingga tujuan zakat rohani menjadi tercapai.
“Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik maka Allah akan
melipatgandakan balasan pinjaman itu untuknya, dia akan mendapatkan pahala yang banyak”.
(QS Al Hadid/57:11). Inilah hakikat pahala zakat, baik jasmani maupun rohani.

Sehingga terhadap harta pinjaman dan titipan dari Allah, kita melakukan penyucian diri dengan
mengeluarkan zakat, bersedekah, serta berbuat amal jariyah. Dalam hal inilah, patokan kita
bukan sekedar patokan minimal 2,5%, namun bisa lebih dari itu. Bahkan para sufi terkadang
berzakat 100% dari seluruh harta yang diterimanya. Selain ia membersihkan dari daki-daki
dunia, ia juga memanjangkan umur dan menyelamatkan diri dari siksa sengsara akhirat. Betapa
beruntungnya para pemilik harta yang menyedekahkan hartanya sehingga ia mendapatkan
ganjaran yang tidak dapat ditebus dengan uang nantinya. “Mereka yang menyedekahkan
hartanya kepada orang lain, hartanya tidak akan berkurang. Bahkan, harta itu akan bertambah,
dan bertambah.” (Sabda Nabi).

Jadi, pemahaman sufi atas harta jelas. Harta dan semua yang ada adalah milik Tuhan. Manusia
diberi limpahan-Nya agar digunakan sebagai alat bagi perjalanan rohaninya menuju Tuhan.
“Kamu tidak akan sampai kepada ketaatan yang sempurna sebelum kamu menafkahkan
sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan itu, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya.” (QS Ali Imran/3:92). Zakat bagi para sufi merupakan langkah untuk
memberikan “kado” atau hadiah terindah untuk Tuhan, sekaligus untuk manusia dengan disertai
kebersihan niat jiwa, dan kesucian hati. Tegasnya, sebagaimana dikemukakan Syekh Siti Jenar,
zakat adalah kesediaan untuk menolong manusia yang kekurangan, baik harta fisik maupun
harta rohani sehingga mereka terhindar dari kemiskinan, kekurangan, kelaparan fisik maupun
spiritual. Betapa indahnya dunia jika dihuni manusia sufi seperti ini.

5.Haji

Haji menurut Islam-Jawa yang sebagian merupakan warisan ajaran Syekh Siti Jenar tidak lain
adalah olah spiritual. Karena kalau hanya sekedar mengunjungi Makkah dalam arti fisik, bagi
orang Islam-Jawa itu cukup dengan “ngeraga sukma”. Dalam arti seseorang mampu pergi ke
Makkah kapan saja dia mau. Oleh karenanya, bagi mereka, Makkah letaknya bukanlah sebatas
geografis, yakni terletak di Dataran Arab Saudi. Bagi Muslim-Jawa, Makkah berada di dalam
spirit manusia yang tidak ditempuh dengan hanya menggunakan bekal rupiah. Hal ini dapat
ditinjau dari ungkapan dalam Suluk Wijil:

Artinya:

Maulana Maghribi berkata demikian,” Baiklah engkau kembali, yang engkau cari tidak ada di
Makkah. Makkah yang terletak di barat(Nusa Jawa) itu, Makkah tiruan namanya. Batu yang
dibuat sebagai tempat menghadap adalah buatan Nabi Ibrahim. Jika Nusa Jawa engkau
tinggalkan, akan menjadi kafir// Tak ada yang tahu dimana Makkah yang sebenarnya. Meski ia
harus berjalan dari kecil hingga tua. Tak akan mencapai tujuan. Jika ada bekal sampai di Makkah
dan menjadi Wali, maka bekalnya sangat mahal, sukar diperoleh. Bukan rupiah maupun dinar
bekal tersebut. Tapi keberanian, kesanggupan mati, dan sabar serta ikhlas di dunia).

Dari penuturan suluk wujil tersebut, jelas bahwa haji adalah olah spiritual untuk mencapai
keyakinan hidup yang hak, yaitu berani dan sanggup mati dalam kebenaran, serta sabar dan
ikhlas dalam hidup di dunia. Dimana ruh masih terpenjara dalam wadaq ini. Hidup ikhlas adalah
hidup tidak terkontaminasi nafsu berebut kuasa, harta, kelezatan hidup di dunia (Chodjim,
2002,209). Maka keikhlasan menjalani hidup menjadi tujuan dari haji. Untuk dapat ikhlas perlu
laku atau olah spiritual.

Untuk mampu memperoleh laku yang benar, juga diperlukan keberanian dan kesanggupan
memilih jalan yang diyakini benar. Sebagiannya adalah keberanian dan kesanggupan untuk
hidup bersahaja dan bersih dari segala perbuatan yang tercela dan mungkar. Hati terbebas dari
segala iri, dengki, dendam, kesumat, kikir dan tamak. Pikiran bersih dari keterikatan dengan
kelezatan dunia. Rohani dimerdekakan, dan keberagamaan tidak terbelenggu oleh sekedar
formalitas. Dan untuk itu semua dibutuhkan kesabaran, memiliki daya juang, dan tidak mudah
menyerah dalam upaya mencapai tujuan. Tegar dan kokoh dalam perjuangan hidup yang benar,
dan kemauan mempertahankan keyakinan atas kebenaran itu.

Di balik kesabaran itu, juga tersembul kemauan menjaga harmonisme segala hal di dunia ini.
Tidak egois, tidak mau menang sendiri, tidak menyerobot hak orang lain. tidak mempermainkan
kekuasaan, tidak melanggar hak-hak orang lain. ia selalu memperjuangkan hak hidup dengan
tanpa mengorbankan hak orang lain. ia memperjuangkan haknya sekaligus hak orang lain.

Muslim Jawa dalam beragama tidak hanya terikat pada simbol. Sehingga termasuk Ka’bah
misalnya, yang berada di Makkah hanya disebut sebagai tiruan yang dibuat manusia. Ka’bah
yang sesungguhnya tidak diketahui letaknya karena berada di alam spiritual. Ka’bah diri berada
di kedalaman ceruk hati. Oleh karenanya kebenaran dan kejujuran tidak harus diburu di
Makkah, justru di Jawa juga menyediakan banyak ajaran spiritual yang jika ditinggalkan untuk
memburu di Makkah, malah membuat orang Jawa akan menjadi kafir. Yakni akan kehilangan
kebijaksanaan tradisional dan spiritualitas yang genuine dari kedalaman dirinya sendiri. Untuk
menciptakan kesejahteraan, ketentraman, dan untuk mampu mendekati Tuhan, ternyata
memang seharusnya tidak boleh meninggalkan kebijaksanaan yang berakar pada tradisi ritual
dari bangsa lain. Allah menyediakan semua tempat dengan ragam hikmah (wisdom)-nya masing-
masing. Untuk itulah konsep keberbedaan harus disatukan dalam kerangka lita’aruf (saling
mengenal). Mereka yang mampu mengenal hikmah yang beragam itu disebut Allah sebagai
mereka yang paling sanggup mencapai ketakwaan.

Wallahualam.

http://vilaputih.wordpress.com/2010/10/06/keajaiban-kalimat-syahadat/

You might also like