You are on page 1of 13

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan spiritual sejatinya merupakan fase dimana manusia berotasi
pada eksistensi dirinya, dimana fokus utama terletak pada dimensi spiritualnya
dan nafs, ruh, qalb adalah sasaran dari kontemplasi tersebut,1 yang lebih dikenal
dengan asketisme.2 Jika diruntun lebih jauh lagi, bahwa kehidupan asketis tidak
dapat dipisahkan dari literatur dalam tradisi Islam, dimana dapat dijumpai
sejumlah dalil-dalil dalam al-Qur’an maupun Hadits3 yang menegaskan potensi
manusia terutama dimensi spiritual yang mampu meninggalkan belenggu jasmani
(nasitiyah) untuk menanjak naik melalui potensi lahitiyahnya. Inilah yang
menjadikan perbincangan seputar teori dan konsep yang lahir berikutnya menjadi
unik dan beragam.4 Sebagai salah satu dimensi keagamaan yang muncul di tengah
agama dan peradaban lainnya, sufisme dalam Islam juga tidak luput dari
keterpengaruhan tersebut. Mulai konsep-konsep ketuhanan Neo-Platonisme Yunani
sampai tradisi gnostik dan asketik yang berkembang di agama-agama Yahudi, Nasrani
Zoroaster, Hindu dan sebagainya, kemudian dengan dominasi warna Islamlah Sufisme
berkembang.5
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Sejarah dan Perkembangan Tasawuf ?
2. Siapa saja dan bagaiman Tokoh-Tokoh Tasawuf Klasik?
3. Siapa saja dan bagaiman Tokoh-Tokoh Tasawuf Kontemporer?

BAB II
1
Isa Abduh Ahmad Isma’il Yahya, Dr, Hakikat al-Insan, Dar al-Ma’arif, tp, tt, hal. 85
2
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Universitas Indonesia Press, Jakarta, 1986,
hal. 93-94.
3
Lihat al-Qur’an : QS: Al-Baqarah: 86; QS: Al-Baqarah; 115; QS; QS: Al-Maidah: 54; QS: Ali Imran:
30; Qaf: 16.
4
Carl W. Ernst, Shambhala Guide to Sufism, terj: Arif Anwar, Pustaka Sufi, Jogjakarta, 2003,
5
Aboebakar Atjeh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Kelantan Malaysia: Pustaka Aman Press,
1977), hal. 67-78.
PEMBAHASAN
A. Sejarah dan Perkembangan Tasawuf
Istilah sufi mulai dikenal pada abad II Hijriah, tepatnya tahun 150 H. Orang
pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu
Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi. Tetapi pendapat lain
menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad III hijriah
yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang tokoh asal Persia. Tokoh ini mengembangkan
pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh
melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mawhibah) dan keutamaan
dariNya. Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenarankebenaran hakiki.
Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam.
Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H),
alMuhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H). Tasawuf kemudian semakin
berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad IV H dengan sistem ajaran
yang semakin mapan. Belakangan, al-Ghazali menegaskan tasawuf atau hubb Allah
(cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di samping
filsafat dan ilmu kalam. Pada abad 4 dan 5 H. hijriah inilah konflik pemikiran
terjadiantara kaum sufi dan para fuqaha. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai
tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha‖
sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan-aturan syari‖at. Konflik ini terus berlanjut
pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan
tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad 4 H.
Sejak dekade akhir abad II Hijriah, sufisme sudah popular di kalangan
masyarakat di kawasan dunia Islam, sebagai perkembangan lanjutan dari gaya
keberagaman para zahid dan ‘abid, kesalehan yang mengelompok di serambi
mesjid Madinah.6 Fase awal ini juga disebut sebagai fase asketisme yang
merupakan bibit awal tumbuhnya sufisme dalam peradaban Islam. Keadaan ini
ditandai oleh munculnya individu-individu yang lebih mengejar kehidupan
akhirat, sehingga perhatiannya terpusat untuk beribadah dan mengabaikan
keasyikan duniawi. Fase asketisme ini setidaknya berlangsung sampai akhir abad
II Hijriah, dan memasuki abad ke III sudah menampakkan adanya peralihan dari
asketisme ke sufisme. Fase ini dapat disebut sebagai fase kedua, yang ditandai
oleh (antara lain) pergantian sebutan zahid menjadi sufi. Di sisi lain, pada kurun
waktu ini percakapan para zahid sudah meningkat pada persoalan bagaimana jiwa
yang bersih itu, apa itu moralitas dan bagaimana pembinaannya serta
perbincangan masalah kerohanian lainnya. Tindak lanjut dari diskusi ini,
bermunculanlah berbagai konsepsi tentang jenjang perjalanan yang harus
ditempuh seorang sufi (al-maqamat) serta cir-ciri yang dimiliki oleh seorang salik
(calon sufi) pada tingkatan tertentu (al-ahwal).6
Demikian juga pada periode ini sudah mulai berkembang perbincangan
tentang pada derajat fana dan ittihad. Bersamaan dengan itu, tampillah para
penulis tasawuf terkemuka, seperti al-Muhasibi (w.234 H), al-Harraj (w. 277H)
dan al-Junaid al-Baghdadi (w. 297H), dan penulis lainnya. Secara konseptualtekstual
lahirnya sufisme barulah pada periode ini, sedangkan sebelumnya hanya
berupa pengetahuan perorangan dan atau semacam langgam keberagamaan. Sejak
kurun waktu itu sufisme berkembang terus ke arah penyempurnaan dan spesifikasi
terminology seperti konsep intuisi, dzauq dan al-kasyf. Kepesatan perkembangan
sufisme, nampaknya memperoleh dorongan setidaknya dari tiga faktor penting, yaitu:
pertama adalah karena gaya kehidupan yang glamour-profanistik dan corak
kehidupan materialis-konsumeris yang diperagakan oleh sebagian besar penguasa
negeri yang segera menular di kalangan masyarakat luas. Dari aspek ini, dorongan
yang paling kuat adalah sebagai reaksi terhadap gaya murni ethis, melalui pendalaman
kehidupan rohaniah-spiritual. Tokoh popular yang dapat mewakili kelompok ini dapat
ditunjuk Hasan al-Bashri (w. 110H) yang mempunyai pengaruh kuat dalam
kesejahteraan spiritual Islam, melalui doktrin al-zuhd, al-khauf dan al-raja’. Selain
tokoh ini, juga Rabiah al-Adawiyah (w.185H) dengan ajaran populernya al-
mahabbah serta Ma’ruf al-Kharki (w.200H) dengan konsepsi al-syauq sebagai
ajarannya, juga adalah pelopor angkatan ini.7
Kedua, timbulnya sikap apatis sebagai reaksi maksimal terhadap
radikalisme kaum Khawarij dan polaritas politik yang ditimbulkannya. Kekerasan
pergulatan kekuasaan pada masa itu, menyebabkan orang-orang yang ingin
mempertahankan kesalehan dalam suasana kedamaian rohaniah dan keakraban
cinta sesame, terpaksa memilih sikap menjauhi kehidupan masyarakat ramai
dengan menyepi dan sekaligus menghindarkan diri dari keterlibatan langsung
dengan pertentangan politik. Sikap yang demikian itu melahirkan ajaran ‘uzlah

6
A.J. Arberry, Sufism: An Account of the Mystics of Islam, terj: Bambang Herawan,
Mizan, Jakarta, 1991, hal. 81-90.
7
Julian Baldick, Mystical Islam; An Introduction to Sufism, (London: I.B. Tauris & Co
Ltd., 1989,) , hal. 33.
dimana konseptornya adalah Surri al-Saqathi (w. 253H). Apabila dilihat dari
aspek sosiologi, nampaknya kelompok ini bisa dikategorikan sebagai gerakan
sempalan, satu kelompok ummat yang sengaja mengambil sikap ‘uzlah kolektif
yang cenderung ekslusif dan kritis terhadap penguasa. Dilihat dari sisi motivasi
ini, kecenderungan memilih kehidupan rohaniah mistis, sepertinya merupakan
pelarian atau mencari kompensasi untuk memenangkan pertempuran ukhrawi di
medan duniawi. Ketika di dunia yang sarat dengan tipu daya ini sudah kering dari
siraman cinta kasih, mereka bangun dunia baru, realitas baru yang terbebas dari
keserakahan dan kekejaman yakni dunia spiritual yang penuh dengan kecintaan
dan kebijakan.
Ketiga, nampaknya adalah karena faktor kodifikasi hukum Islam (fiqh)
dan perumusan ilmu kalam (teologi) yang dialektis-rasional, sehingga kurang
bermotivasi ethical yang menyebabkan kehilangan nilai spiritualnya menjadi
semacam wahana tiada isi, semacam bentuk tanpa jiwa. Formalitas paham
keagamaan dirasakan semakin mengeringkan dan menyesakkan ruh al-din yang
berakibat terputusnya komunikasi langsung dan suasana keakraban personal
antara hamba dan Khaliqnya. Kondisi hukum dan teologi yang kering tanpa jiwa
itu, dihadapkan pada dominannya posisi moral dalam agama, menggugah para
zuhud untuk mencurahkan perhatian terhadap moralitas, sehingga memacu
pergeseran asketisme kesalehan kepada sufisme. Doktrin al-zuhud misalnya yang
tadinya sebagai dorongan untuk meninggalkan ibadah semata-mata karena takut
pada siksa neraka, bergeser kepada demi kecintaan dan semata-mata karena Allah,
agar selalu dapat berkomunikasi dengan-Nya. Konsep tawakkal yang tadinya
berkonotasi kesalehan yang etis, kemudian secara diametral dihadapkan kepada
pengingkaran kehidupan duniawi-profanistik di satu pihak dan konsep sentral
tentang hubungan manusia dengan Tuhan, yang kemudian popular dengan doktrin
al-hubb. Doktrin ini adalah semacam pra-ma’rifat yakni mengenal Allah secara
langsung melalui pengalaman bathin. Menurut sebagian sufi (tasawuf sunni)
ma’rifatullah adalah tujuan akhir dan merupakan tingkat kebahagiaan yang
paripurna yang bisa dicapai manusia di dunia ini. Untuk bisa mencapai kualitas
ilmu seperti itu, harus melalui proses inisiasi yang panjang dan bertingkat-tingkat
dan hanya dimiliki orang-orang tertentu saja.
Kehidupan tasawuf sebenarnya tumbuh dan berkembang bersamaan dengan
tumbuh dan berkembangnya Agama Islam mulai sejak zama Nabi Muhammad SAW.
Bahkan sebelum resmi diangkat oleh Allah Sebagai Rasul-Nya, kehidupan beliau
sudah mencerminkan ciri-ciri dan perilaku kehidupan sufi. Dimana bisa dilihat dalam
kehidupan sehari-hari beliau yang selalu penuh kesederhanaan, di samping
menghabiskan waktu beliau untuk taqarrub kepada Tuhan-Nya. Seperti kita ketahui
sebelum beliau menerima wahyu yang pertama kali, beliau sudah seringkali
melakukan kegiatan sufi dengan uzlah di Gua Hira’, selama berbulan-bulan
lamanya, sampai beliau menerima wahyu pertama dan diangkat sebagai Rasul.
Setelah secara resmi dianggakat menjadi Rasul, beliau tetap hidup dalam
kesederhanaan dan waktu beliau hanya dipergunakan untuk berdakwah dan beribadah
kepada Allah SWT. Pada malam hari beliau sangat sedikit tidur, waktu beliau
dipergunakan untuk tawajjuh kepada Allah dengan memperbanyak ibadah dan zikir
kepada-Nya. Contoh langsung dari Rasullullah ini kemudian diikuti oleh para sahabat
Nabi. Terutama Ahlus Shuffah, orang-orang yang ikut hijrah dari Makkah ke
Madinah, berada dalam keadaan miskin dan tak punya apa-apa. Mereka tingal di
samping dalem Nabi, di atas batu dengan memakai pelana sebagai bantal.
Perkembangan Tasawuf kemudian dilanjutkan oleh Tabi’in. Di antaranya adalah
Sayyid al-Imam al-Hasan al-Basri, seorang ulama Tabi’in, murid dari Shyeh
Khudaifah al-Yamani. Beliau inilah yang pertama kali mendirikan pengajian tasawuf
di kota Bashroh. Di antara murid-murid yang dididik di madrasah pertama yang
dipimpin oleh Shyeh Hasan al-Basri. Adalah Malik bin Dinar, Thabit al-Banay,
Ayyub al-Saktiyani dan Muhammad bin Wasi’.8

B. Tokoh-Tokoh Tasawuf Klasik


Masa ini yaitu pada masa abad pertama dan kedua hijriyah belum bisa sepenuhnya
disebut sebagai masa tasawuf tapi lebih tepat disebut sebagai masa kezuhudan.
Tasawuf pada masa ini lebih bersifat amaliah dari pada bersifat pemikiran. Bentuk
amaliah itu seperti memperbanyak ibadah, menyedikitkan makan dan minum,
menyedikitkan tidur dan lain sebagainya. Diantara tokoh-tokoh tasawuf pada masa ini
yaitu:

1. Jalaluddin Rumi

8
Fakhrillah Aschal dan M. Toyyib Fawwaz, Manaqib Imam Abul Hasan Asy-Syadzili Pendiri Tarekat
Syadziliyah dan Shahibu Hizb al-Bahr (Bangkalan, PP. Syaichona Moh. Cholil, 2011), 8.
Jalaluddin Rumi lahir di Balkh (sekarang Afghanistan) pada tahun 604 H/1207 M.
Ayahnya bernama Baha Walad, beliau seorang da’I terkenal, ahli fiqih sekaligus
seorang sufi yang menempuh jalan rohani. Sebagai seorang ahli fiqih sekaligus
seorang sufi, Baha memiliki pengetahuan eksoterik yang berkaitan dengan hukum
Islam (syariah) maupun pengetahuan eksoterik yang berkaitan dengan tarekat
(tasawuf). Dia mengajarkan kepada setiap muslim tentang bagaimana caranya
menjalankan kewajiban-kewajiban agama serta bagaimana caranya menjalankan
disiplin-disiplin ter tentu untuk menyucikan diri dan meraih kesempurnaan
rohani. Dalam usia ke 33 tahun, Rumi telah menguasai berbagai cabang ilmu
secara luas seperti Tafsir Alquran, hadits, usuluddin, fiqih, tasawuf, bahasa dan
sastra Arab, sejarah Islam, falsafah dan lain-lain. Pada tahun 1241, ketika kembali
ke Konya, ia telah masyhur sebagai guru agama dan ulama yang pengetahuannya
luas dan mendalam. Madrasah yang dipimpinnya mempunyai lebih dari seribu
murid. Untuk murid-murid secara umum, ia hanya mengajarkan ilmu fiqih dan
usuluddin. Tetapi untuk murid-muridnya yang terpilih, ia mengajarkan ilmu tafsir,
ilmu tasawuf, dan falsafah. Setelah beberapa tahun mengajar ilmu syariat dan
fiqih, Rumi merasa bosan karena pengetahuan formal yang ia ajarkan kepada
murid-muridnya ternyata tidak dapat mengubah sikap dan alam pikiran mereka
mengenal dunia, manusia, dan Tuhan. Menurutnya, manusia akan berubah sikap
dan pikirannya menjadi luas, apabila pikiran dan jiwanya tenang, serta memiliki
perasaan positif terhadap segala sesuatu. Memeluk agama apa pun, kebiasaan dan
tabiatnya tidak akan berubah, kecuali jika mereka menyadari potensi tersembunyi
sebagai makhluk spiritual, yang jauh di dalam dirinya sebenarnya terpancar
cahaya ketuhanan. Sejak itulah, Rumi menyadari bahwa pelajaran tentang hukum
agama, pemikiran falsafah dan pengetahuan formal tidak cukup untuk mendidik
seseorang. Maka ia pun merasa jemu mengajar ilmu-ilmu formal seperti fiqih dan
syariah. Ia kian menyadari bahwa dalam diri manusia ada kekuatan tersembunyi,
yang apabila diberdayakan secara sungguhsungguh, akan dapat memberi
kebahagiaan dan pengetahuan yang tidak terkira luasnya. Kekuatan tersebut
adalah Cinta Ilahi. Rumi juga berpendapat bahwa seseorang yang ingin
memahami kehidupan dan asal usul ketuhanan dari dirinya, ia dapat
melakukannya melalui jalan cinta, tidak semata-mata melalui jalan pengetahuan.
Cinta adalah asas penciptaan alam semesta dan kehidupan. Cinta adalah keinginan
yang kuat untuk mencapai sesuatu, untuk menjelmakan diri. Rumi malahan
menyamakan cinta dengan pengetahuan intuitif. Secara teologis, cinta diberi
makna keimanan, yang hasilnya adalah haqq al-yaqin, keyakinan yang penuh
kepada Yang Haqq. Cinta adalah penggerak kehidupan dan perputaran alam
semesta. Cinta sejati, kata Rumi, dapat membawa seseorang mengenal alam
hakikat yang tersembunyi dalam bentukbentuk lahiriah kehidupan. Karena cinta
dapat membawa kita menuju kebenaran tertinggi. Rumi berpendapat bahwa
cintalah sebenarnya yang merupakan sarana terpenting dalam transendensi diri.
Cintalah sayap yang membuatnya dapat terbang tinggi menuju Yang Satu.
Jalaluddin Rumi wafat pada tahun 1274 M di Konya yang sampai hari ini masih
menjadi pusat ziarah umat manusia dari berbagai aliran agama. Pada saat
pemakamannya, sebagian besar golongan agama hadir dalam penuh kedukaan
karena telah kehilangan Sang Pujangga Cinta abadi ini. 9 Cinta Ilahi merupakan
tema sentral yang menjadi pusat perbincangan Jalaluddin Rumi mengenai
hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya.
a. Keterbatasan Akal. Jalaluddin Rumi menilai akal melalui dua perspektif.
Pertama, akal merupakan kapasitas yang memiliki tugas yang menakjubkan.
Kedua, pada level yang lebih tinggi untuk mendekat kepada Tuhan, akal
memiliki kelemahan tersendiri.
b. Kekuatan Cinta. Dalam perspektif Rumi, cinta bersama keindahan dan suka
cita yang mengiringinya merupakan jantung dan sumsum agama, tema sentral
segenap spiritualitas.
2. Al-Ghazali
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad bin Muhammad bin Ta’us Ath-Thusi
Asy-Syafi’i Al-Ghazali, yang secara singkat dipanggil Al-Ghazali atau Abu
Hamid Al-Ghazali, lahir di kota bersejarah Ghazlah, Thus Khurusan, sebuah kota
di Iran pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih
kekuasaan di Baghdad. Ayah Al-Ghazali merupakan seorang muslim yang taat
dan meninggal saat putranya masih bayi. Al-Ghazali dan saudaranya, Ahmad
kemudian dibesarkan oleh ibu mereka yang memastikan mereka menerima
pendidikan yang baik. Kuliah-kuliah harian Al-Ghazali di Nizamiyyah menjadi
begitu terkenal sampai-sampai dihadiri oleh tiga ratus orang murid dalam sekali
perkuliahannya. Namun ketika AlGhazali mengira telah mencapai semuanya
dalam usia yang begitu muda, tiba-tiba dia merasa dirinya terdampar di
9
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf: Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016), hlm.184-188
tengahtengah krisis intelektual.10 Pada titik ini Ghazali meragukan semua ilmu
yang telah dimilikinya. Keraguan itu mengalami titik kulminasinya yang
menyebabkan Ghazali tidak mampu lagi mengajar, tidak mampu lagi
menyuguhkan argumentasi naqliah dan akliah, bahkan begitu akutnya sampai-
sampai ia nyaris tidak bisa lagi berbicara. Dia mengalami gangguan syaraf serius
yang sangat memengaruhi kesehatan fisiknya. Al-Ghazali mendambakan wawasan
ketuhanan yang bersifat pasti melalui pengalaman intuitif secara langsung, bukan
hanya berdasarkan dalil-dalil naqli bayaniyah dan argumen-argumen spekulatif-
filosofis. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama
kemudian ia menghembuskan napas terakhirnya di Thus pada tanggal 19
Desember 1111 M, atau pada Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah, dengan
banyak meninggalkan karya tulis. Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Ghazali
menunjukkan keistimewaannya sebagai seorang pengarang produktif. Dalam
seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasihat kerajaan maupun sebagai guru
besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis di Naishabur maupun setelah
berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang. 11 Dalam
tasawufnya, Al- Ghazali memilih tasawuf sunni yang berdasarkan Alquran dan
As-Sunnah Nabi Muhammad saw. ditambah dengan doktrin Ahlu As-Sunnah wa
Al-Jamaah. Al-Ghazali menjauhkan tasawufnya dari paham ketuhanan
Aristoteles, seperti emanasi dan penyatuan sehingga dapat dikatakan bahwa
tasawuf Al-Ghazali benar-benar bercorak Islam. Al-Ghazali berpendapat bahwa
sosok sufi adalah menempuh jalan kepada Allah Swt., dan perjalanan hidup
mereka adalah yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang paling benar, dan
moral mereka adalah yang paling bersih. Sebab, gerak dan diam mereka, baik
lahir maupun batin diambil dari cahaya kenabian. Al-Ghazali menolak paham
hulul dan ittihad. Untuk itu, ia menyodorkan paham baru tentang makrifat, yaitu
pendekatan diri kepada Allah Swt. (taqarrub ila Allah) tanpa diikuti penyatuan
dengan-Nya. Jalan menuju makrifat adalah perpaduan ilmu dan amal, sementara
buahnya adalah moralitas. Perjalanan menuju tasawuf menurut Al-Ghazali diawali
dengan penyucian hati (tathir al-qalb), serta melepaskan diri dari ketergantungan
kepada selain Allah Swt. Menurut AlGhazali, hati (qalb) memang perlu disucikan
karena ia adalah media untuk mendapatkan ilmu pengetahuan. Menurutnya, hati

10
Zaprulkhan, Ilmu Tasawuf : Sebuah Kajian Tematik, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016)., 129
11
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)., 245
memiliki dua pintu; salah satunya menghadap ke luar, dan yang lainnya
menghadap ke dalam. Pintu yang menghadap ke dunia luar dapat menangkap
pengetahuan melalui panca indera. Sementara pintu yang menghadap ke dalam,
akan menangkap pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari alam ghaib. Inilah
yang disebut Al-Ghazali sebagai ma’rifah. AlGhazali menganggap ma’rifah
merupakan tujuan akhir yang harus dicapai manusia sekaligus merupakan
kesempurnaan tertinggi yang mengandung kebahagiaan hakiki. Ma’rifah diartikan
Al-Ghazali sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan. Selain itu ia juga
mengatakan bahwa ma’rifah merupakan ilmu yang meyakinkan sehingga
dengannya dapat diketahui rahasia Allah dan peraturan-peraturan-Nya tentang
segala yang ada. Proses menuju ma’rifah diharuskan melalui beberapa tahapan
yang di dalam terminologi sufisme dikenal dengan almaqamat. Beberapa tahapan
atau al-maqamat yang dimaksud adalah taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal,
dan cinta.12
3. Hasan Al-Basri
Hasan Al Bashri yang nama lengkapnya Abu Sa’id Al Hasan bin Yasar adalah
seorang zahid yang amat masyhur di kalangan tabi’in. Ia dilahirkan di Madinah
pada tahun 21 H (632 M). Ia dilahirkan dua malam sebelum Khalifah Umar bin
Khattab wafat. Ia dikabarkan bertemu dengan 70 orang sahabat yang turut
menyaksikan peperangan Badr dan 300 sahabat lainnya.13 Beliau lahir dari ibu
yang bernama Khairah, seorang hamba sahaya milik Ummu Salamah, istri Nabi
Muhammad saw. Ayahnya bernama Yasar, keturunan Persi beragama Nasrani,
ayahnya adalah seorang budak yang ditangkap di Maisan, yang di kemudian hari
dimerdekakan oleh Zaid bin Tsabit, sekretaris Rasulullah saw. yang sekaligus juru
tulis wahyu. Karena itulah, Yasar biasa dipanggil Yasar Maula Zaid bin Tsabit.
Kelahiran Hasan al-Bashri membawa keberuntungan bagi kedua orang tuanya
karena kedua orang tuanya terbebas dari status hamba sahaya menjadi merdeka. 14
Hasan al Bashri tumbuh di kalangan orang-orang yang shaleh, yang memiliki
pengetahuan agama yang mendalam, yaitu di keluarga Nabi. Dia melanjutkan
pendidikannya di Hijaz. Dia berguru pada ulama-ulama di sana sehingga memiliki
ilmu agama yang kepandaiannya diakui oleh para sahabat. Dialah yang mulanya
menyediakan waktunya untuk memperbincangkan ilmu-ilmu kebatinan,
12
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010)., 245
13
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 23
14
Abdul Mun’im Al-Hasyimi, Kisah Para Tabi’in, (Jakarta: Ummul Qura, 2015), hlm. 377
kemurnian akhlak, dan usaha menyucikan jiwa di Masjid Bashrah.
Ajaranajarannya tentang kerohanian senantiasa didasarkan pada sunnah Nabi.
Sahabat-sahabat Nabi yang hidup pada zaman itu pun mengakui kebesarannya.
Bahkan, ketika ada orang yang datang kepada Anas bin Malik untuk menanyakan
persoalan agama, Anas memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan.
Mengenai kelebihan lain Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah
kepada syekh ini. Saya sudah saksikansendiri (keistimewaannya). Tidak ada
seorang tabi’in pun yang menyerupai sahabat Nabi selainnya.”15 agama, Anas
memerintahkan orang itu agar menghubungi Hasan. Mengenai kelebihan lain
Hasan, Abu Qatadah pernah berkata, “Bergurulah kepada syekh ini. Saya sudah
saksikan sendiri (keistimewaannya). Tidak ada seorang tabi’in pun yang
menyerupai sahabat Nabi selainnya.”16 Abu Na’im Al-Ashbahani telah
menyimpulkan pandangan tasawuf Hasan Al Bashri sebagai berikut, “Sahabat
takut (Khauf) dan pengharapan (Raja’) tidak akan dirundung kemuraman dan
keluhan, tidak pernah tidur senang karena selalu mengingat Allah Swt.”
Pandangan tasawufnya yang lain adalah anjuran kepada setiap orang untuk
senantiasa bersedih hati dan takut kalau tidak mampu melaksanakan seluruh
perintah Allah Swt. dan menjauhi seluruh larangan-Nya. Sya’rani pernah berkata,
“Demikian takutnya sehingga seakanakan ia merasa bahwa neraka itu hanya
dijadikan untuk ia”.17 Khauf adalah ibadah hati. Tidak dibenarkan khauf ini
kecuali kepada-Nya Subhanahu wa Ta’ala. Khauf adalah syarat pembuktian
keimanan seseorang. Apabila khauf kepada Allah Swt. berkurang dalam diri
seseorang, maka ini sebagai tanda mulai berkurangnya pengetahuan dirinya
terhadap Rabb-nya, sebab orang yang paling tahu tentang Allah adalah orang yang
paling takut kepada-Nya. Ayat tentang khauf diantaranya yaitu QS. Az Zumar
ayat 13 yang Artinya: Katakanlah, “Sesungguhnya aku takut akan azab pada
hari yang besar, jika aku durhaka kepada Tuhanku”
4. Ibrahim bin Adham
Namanya adalah Ahu Ishaq Ibrahim bin Adham, lahir di Balkh dari keluarga
bangsawan Arab. Dalam cerita sufia, ia dikatakan sebagai seorang pangeran yang
meninggalkan istana dan mengembara menjalani hidup sebagai seorang pertapa

15
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 231
16
Muhammad Mojlum Khan, 100 Muslim Paling Berpengaruh Sepanjang Sejarah, (Jakarta: Noura Books
Mizan Publika, 2012), hlm. 405
17
Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2010), hlm. 232
sambil mencari nafkah yang halal hingga meninggal di negeri Persia kira-kira
pada tahun 160 H/777 M. Ibrahim bin Adham adalah salah seorang zahid di
Khurasan yang sangat menonjol di zamannya. Kendatipun dia putera seorang raja
dan pangeran kerajaan Balkh, dia tidak terpesona oleh kekuasaan dan kerajaan
yang dibawahinya. Dia lebih suka memakai baju bulu domba yang kasar dan
mengarahkan pandangannya ke negeri Syam (Syria), di mana ia hidup sebagai
penjaga kebun dan kerja kasar lainnya. Suatu ketika ia ditanya: “Mengapa anda
menjauhi orang banyak?” Dia menjawab: “Kupegang teguh agama di dadaku.
Dengannya aku lari dari satu negeri ke negeri yang lain, dari bumi yang
kutinggalkan menuju bumi yang akan kudatangi. Setiap orang yang melihatku
menyangka aku seorang pengembala atau orang gila. Hal ini kulakukan dengan
harapan aku bisa memelihara kehidupan beragamaku dari godaan setan dan
menjaga keimananku, sehingga selamat sampai ke pintu gerbang kematian.
Demikian ungkapan dari seorang Ibrahim bin Adham tampak jelas betapa dia
diliputi rasa takut, seperti halnya semua zahid semasanya, berusaha sungguh-
sungguh demi akhirat, sikap zuhud terhadap dunia dan tindakan yang tidak
mengenal kompromi dalam ketaatan yang dilakukannya.
5. Rabi’ah al-Adawiyah
Nama lengkapnya ialah Ummu al-Khair Rabi’ah bin Isma’il alAdawiyah al-
Qisiyah. Informasi tentang biografinya begitu sedikit, dan sebagiannya hanya
bercorak mitos. Dia lahir di Basrah pada tahun 96 H /713 M, lalu hidup sebagai
hamba sahaya keluarga Atik. Dia berasal dari keluarga miskin dan dari kecil dia
tinggal di kota kelahirannya. Di kota ini namanya sangat harum sebagai seorang
manusia suci dan sangat dihormati oleh orang-orang saleh semasanya. Menurut
sebuah riwayat dia meninggal pada tahun 185 H./801 M. Orang-orang
mengatakan bahwa dia dikuburkan di dekat kota Jerussalem. Isi pokok ajaran
tasawuf Rabi’ah adalah tentang cinta. Karena itu, dia mengabdi, melakukan amal
saleh bukan karena takut masuk neraka atau mengharap masuk surga, tetapi
karena cintanya kepada Allah. Cintalah yang mendorongnya ingin selalu dekat
dengan Allah dan cinta itu pulalah yang membuat ia sedih dan menangis karena
takut terpisah dari yang dicintainya. Pendek kata, Allah baginya merupakan zat
yang dicintai, bukan sesuatu yang harus ditakuti. Ia menolak semua tawaran
kawin dengan alasan bahwa dirinya adalah milik Allah yang dicintainya, dan siapa
yang ingin kawin dengannya haruslah meminta izin kepada Allah. Disimpulkan
bahwa Rabi’ah al-Adawiyah, pada abad dua hijriyah, telah merintis konsep zuhud
dalam Islam berdasarkan cinta kepada Allah. Tetapi, dia tidak hanya berbicara
tentang cinta Ilahi, namun juga menguraikan ajaran-ajaran tasawuf yang lain,
seperti konsep zuhud, rasa sedih, rasa takut, rendah hati, tobat, ridha dan lain
sebagainya.

C. Tokoh-Tokoh Tasawuf Kontemporer


Masa ini adalah masa yang ditandai dengan munculnya falsafi yakni tasawuf yang
memadukan antara rasa dan rasio, tasawuf bercampur dengan filsafat terutama filsafat
yunani. Pengalaman-pengalaman yang diklaim sebagia persatuan anatara Tuhan dan
hamba kemudian diteorisasikan dalam bentuk pemikiran seperti konsep Wahdatul
Wujud. Tokoh-tokoh pada masa ini antara lain :
1. Ibn Arabi
Nama lengkapnya Muhammad bin Ali bin Ahmad bin Abdullah Ath Tha’i Al-
Haitami. Ia lahir di Murcia, Andalusia Tenggara, Spanyol, tahun 560 H. karya
yang telah dihasilkannya antara lain Al-Futuhat Al-Makkiyah, tarjuman Al-
Asuywan dan masih banyak lagi. Ajaran tasawuf dari Ibn Arabi adalah wahdatul
wujud ( kesatuan wujud ) yaitu bahwa wujud semua yang ada ini hanyalah satu
dan pada hakekatnya wujud makhluk adalah wujud khalik pula. Tidak ada
perbedaan antara keduanya dari segi hakekat. Menurut Ibn Arabi, wujud alam
pada hakikatnya adalah wujud Allah dan Allah adalah hakikat alam. Tidak ada
perbedaan antara a’bid (menyembah) dengan ma’buat (yang disembah), keduanya
adalah satu. Selain itu ajaran tasawuf Ibn Arabi adalah Al-Haqiqat Ul
Muhammadiyah, alam ini tidak dapat dipisahkan dadri ajaran hakikat
muhammadiyah atau nur Muhammad. Menurut beliau, tahapan-tahapan kejadian
proses penciptaan alam dan hubungan dengan kedua ajaran itu dapat dijelaskan
sebagai wujud Tuhan sebagai wujud mutlak dan wujud hakekat muhammadiyah
sebagai emanasi ( pelimpahan ) pertama dari wujud Tuhan kemudian muncullah
yang wujud dengan proses tahapan penciptaan alam semesta.
2. Umar Ibn Al-Faridh
Umar Ibn Al-Faridh berasal dari Homat ( Tanah Syam ), lahir di Kairo, Mesir. Ia
hidup dari tahun 1181-1235 M. Selama hidupnya ia tinggal di Mekkah dan ia
meninggal di Kairo. Dia terkenal dengan keistimewaannya mengubah syair
pencintaan kepada Tuhan. Syair yang bernilai tinggi dalam lapangan kecintaan
kepada Tuhan. Dorongan rasa keindahan dalam jiwa yang sejati. Sama sekali
adalah kesaksian terhadap yang haq, yang mutlak dan jujur, timbul dari
kebersihan jiwa dan terang jernihnya penglihatan mata rohani. Syair kecintaan
pada Tuhan dari Ibnu Faridh telah menimbulkan inspirasi bagi berpuluh dan
beratus penyair lain, sehingga sesudah abad keenam dan ketujuh lahir syair-syair
shufiyah.
3. Ibnu Sabi’in
Nama lengkapnya Ibnu Sabi’in adalah ‘Abdul Haqq bin Ibrahim Muhammad bin
Nashr. Dilahirkan pada tahun 614 H (1216/1217) M di Murcia, Spanyol. Dia
adalah seorang sufi yang juga filosofnya dari Andalusia. Ajaran-ajaran tasawufnya
yakni, Paham kesatuan mutlak, yaitu wujud adalah satu alias wujud Allah semata.
Ibn Sabi’in menempatkan ketuhanan pada tempat yang pertama. Wujud Allah,
menurutnya adalah asal segala yang ada pada masa lalu, masa kini maupun masa
depan. Sementara wujud materi yang tampak justru dirujukan pada wujud mutlak
yang rohaniah. Pendapat Ibn Sabi’in tentang kesatuan mutlak tersebut, merupakan
dasar dari paham, khususnya tentang para pencapai kesatuan mutlak ataupun
pengakraban dengan Allah.
4. Ibn Masarrah
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abdullah bin Massarah. Ia lahir di
Cordova, Andalusia pada tahun 269 H/883 M. Ibn Masarrah merupakan seorang
sufi sekaligus filosof dari Andalusia juga. Ia memberikan pengaruh besar terhadap
esoteric mazhab Al-Mariyyah. Ia termasuk sufi aliran ittihadiyyah. Ia penganut
sejati aliran Mu'tazilah. Namun berpaling pada mazhab Neoplatonisme. Oleh
karena itu ia dituduh mencoba menghidupkan kembali filsafat Yunani kuno.
Ajaran tasawufnya yaitu, Jalan menuju keselamatan adalah menyucikan jiwa,
zuhud dan mahabbah, Dengan penakwilan ala philun ( aliran isma’iliyyah )
terhadap ayat-ayat Al-Qur'an, ia menolak adanya kebangkitan jasmani dan siksa
neraka bukanlah dalam bentuk yang hakikat.

You might also like