You are on page 1of 117

TINJAUAN YURIDIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP PELAKU TINDAK

PIDANA SECARA BERSAMA-SAMA MELAKUKAN PEMERASAN


(Studi Putusan Pengadilan Negeri No. 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Guna Memperoleh


Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH:

Muhammad Rapijai
140200094

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis ucapkan kepada Allah SWT yang maha pengasih lagi

maha penyayang atas segala limpahan rahmat, karunia dan hidayahnya sehingga

Penulis dapat menyelesaikan penelitian penulisan skripsi yang berjudul “tinjauan

yuridis putusan hakim terhadap pelaku tindak pidana secara bersama-sama

melakukan pemerasan (studi putusan pengadilan negeri no.

2534/pid.b/2018/pn.mdn)”, Shalawat beserta salam semoga senantiasa

tercurahkan kepada Baginda Rasulullah Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini merupakan sebagai syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Namun

keberhasilan Penulis dalam menyelesaikan penelitian ini didukung oleh banyak

pihak yang tidak ada hentinya memberikan semangat dan motivasi. Maka

sepantasnya Penulis ucapkan rasa terimakasih yang tulus dari hati paling kepada

Ayahanda tercinta Sajimin Sinaga dan Ibunda tercinta Aslinawati Br. Purba

serta ketiga kakak kandung Penulis yaitu Juniarti Br Sinaga (almarhumah), Heri

Wijaya Sinaga, dan Nasir Salasa Sinaga (almarhum) atas curahan kasih sayang

yang tiada henti, semangat, dukungan serta doa-doanya sehingga Penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

Penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya

kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan serta dorongan semangat

sehingga Penulis bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini kepada :

i
1. Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si., selaku Rektor Universitas Sumatera

Utara;

2. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

3. Dr. Agusmidah S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara;

4. Puspa Melati Hasibuan, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Dr. Mohammad Ekaputra, S.H., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Dr. Dedi Harianto, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing Akademik

Penulis;

7. Dr. Jefrizawaty, S.H., M.Hum selaku Ketua Program Studi S1 Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Dr. Affila, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi S1 Ilmu Hukum

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

9. Nurmalawaty, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing I yang senantiasa

dengan setulus hati telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya dalam

membimbing penulis serta memberikan kritik dan arahan maupun motivasi

kepada Penulis dalam menyelesaikan penelitian ini;

10. Eva Syahfitri Nasution, SH., M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang

senantiasa dengan setulus hati telah meluangkan waktu, tenaga, dan

ii
pikirannya dalam membimbing penulis serta memberikan kritik dan arahan

maupun motivasi kepada Penulis dalam menyelesaikan penelitian ini;

11. Seluruh staf pengajar dan pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara yang telah banyak memberikan bantuan kepada Penulis menjalani

perkuliahan maupun selama proses penyelesaian penelitian ini;

12. Seluruh keluarga besar HMI (himpunan mahasiswa islam) FH USU, yang

telah banyak membantu Penulis mulai dari awal perkuliahan serta dukungan

moril dan materiil dalam penyusunan skripsi ini, penulis bersyukur dan

berterimakasih karena diberi kesempatan untuk menjadi bagian dari keluarga

besar HMI, tanpa kalian Penulis akan sulit untuk menjalani dan

menyelesaikan masa perkuliahan dan penulisan skripsi ini.

13. Kepada Teman-Teman SAUDARA JAUH yang menemani Penulis

mengawali perkuliahan, Fredi Pranata Tarigan, S.H,. Azhar Ismadi Siregar,

S.H,. Ganang Aji Pratama,. S.H,. Azwar Ibrahim Nasution,. Rizki Harahap,

S.H,. Mahmud Isaq Kurnia Sandi, S.H,. Syauqi Azmi Syuza Damanik, S.H,.

kalian tetap teman seperjuangan ku.

14. Kepada Sri Utami S.Pd yang telah banyak mesupport dan membantu penulis

dari dukungan moril dan materil mulai awal perkuliahan hingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini.

15. Kepada sahabatku Yanti Hartati br Sianturi,. S.Sos., dan Afriani br

Aritonang,. S.H, yang telah banyak membantu dan mensupport penulis dari

awal masuk kuliah sampai penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

iii
16. Keluarga besar Ikatan Mahasiswa Hukum Pidana (IMADANA) Fakultas

Hukum USU Stambuk 2014, yang telah berjuang dan bekerjasama dengan

Penulis dalam kegiatan perkuliahan maupun selama proses penyelesaian

penelitian ini;

17. Teman-teman Grup C Angkatan 2014 dan teman-teman Angkatan 2014

lainnya, yang karena kebersamaannya Penulis mampu menyelesaikan

penulisan ini walaupun kita sama masuk di Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara tercinta ini tapi tidak sama keluarnya kalian tetap ku anggap

sebagai teman satu (1) stambuk FH USU 2014.

18. Semua pihak yang telah membantu dengan sukarela yang tidak dapat penulis

sebutkan satu per satu. Semoga segala bantuan dan kebaikan tersebut dapat

balasan dari Allah swt.

Dengan segala kerendahan hati, demikianlah adanya skripsi ini, sangat

penulis sadari masih banyak kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu penulis

mengharapkan masukan serta kritik dan saran yang membangun untuk lebih

menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata dari penulis semoga penelitian penulisan

skripsi ini dapat memberikan manfaat yang berguna bagi pembaca sekalian.

Pematang Siantar, 29 Mei 2021


Hormat penulis,

MUHAMMAD RAPIJAI
NIM: 140200094

iv
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i

ABSTRAK .............................................................................................................v

DAFTAR ISI .........................................................................................................vi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..........................................................................................1

B. Rumusan Masalah......................................................................................7

C. Tujuan Penelitian ......................................................................................8

D. Manfaat Penelitian ....................................................................................8

E. Keaslian Penulisan ....................................................................................9

F. Tinjauan Kepustakaan .............................................................................12

1. Pengertian Hukum Pidana dan Jenis –Jenis Pidana ...........................12

2. Pengertian dan Unsur – Unsur Tindak Pidana ...................................19

3. Tindak Pidana Pemerasan dan Unsur-Unsurnya ................................26

4. Penyertaan (Deelneming) ...................................................................31

5. Pengertian pemidanaan dan Sistem serta Tujuannya .........................33

G. Metode Penelitian ...................................................................................37

H. Sistematika Penulisan .............................................................................40

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PELAKU TINDAK


PIDANA SECARA BERSAMA SAMA MELAKUKAN
PEMERASAN DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pemerasan Menurut Hukum Di

Indonesia

(KUHP) ...................................................................................42

v
B. Konsepsi Secara Bersama Sama Melakukan Perbuatan Pidana

Berdasarkan Hukum Di Indonesia (KUHP) ............................................51

BAB III PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA SECARA


BERSAMA-SAMA MELAKUKAN PEMERASAN DAN
UPAYA PENANGGULANGANNYA

A. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Secara Bersama-sama

Melakukan Pemerasan ............................................................................61

B. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Secara Bersama-sama Melakukan

Pemerasan ...............................................................................................70

BAB IV PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU


TINDAK PIDANA SECARA BERSAMA SAMA
MELAKUKAN PEMERASAN DALAM PUTUSAN
PENGADILAN NEGERI MEDAN NO
2534/PID.B/2018/PN.MDN

A. Putusan Pengadilan Negeri No. 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn ...................75

1. Kronologi Kasus .................................................................................76

2. Dakwaan .............................................................................................78

3. Keterangan Saksi ................................................................................81

4. Tuntutan .............................................................................................84

5. Pertimbangan Hakim ..........................................................................85

6. Amar Putusan .....................................................................................92

B. Analisa Putusan Hakim ...........................................................................93

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...........................................................................................101

B. Saran ......................................................................................................10

vi
DAFTAR PUSTAKA

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan atas hukum seperti yang

ditegaskan pada penjelasan Pasal 1 ayat 3 Amandemen Undang–undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa “Negara Indonesia

adalah Negara Hukum”.* Sebagai Negara Hukum maka Indonesia mempunyai

tujuan untuk mewujudkan tatanan kehidupan bangsa yang aman serta tentram,

yang juga mewujudkan ketertiban, keadilan dan kepastian hukum maupun

memberikan perlindungan kepada seluruh lapisan masyarakat bangsa dan Negara.

Hukum sebagai norma mempunyai ciri kekhususan, yaitu hendak melindungi,

mengatur, dan memberikan keseimbangan dalam menjaga kepentingan umum.

Peraturan-peraturan hukum yang telah ada di masyarakat wajib untuk

ditaati karena berpengaruh pada keseimbangan dalam tiap-tiap hubungan antar

anggota masyarakat. Kurangnya kesadaran hukum dalam masyarakat

menyebabkan terjadinya ketidakpercayaan antara anggota masyarakat itu sendiri

maupun ketidakpercayaan dengan aparat penegak hukum dan pemerintah.

Pelanggaran ketentuan hukum dalam arti merugikan, melalaikan atau menganggu

keseimbangan kepentingan umum dapat menimbulkan reaksi dalam masyarakat. †

Terlebih dengan kondisi perekonomian negara kita yang sulit saat ini,

mengakibatkan timbulnya kasus kriminalitas yang terjadi dalam masyarakat yang

dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang mendesak.


*
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945

R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2013), hlm. 3
2

Dalam Hukum Pidana terdapat berbagai unsur, untuk mengetahui adanya

tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-

undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan

sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang

menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat

dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang.

Suatu kenyataan hidup bahwa manusia itu tidak sendiri. Manusia hidup

berdampingan, bahkan berkelompok-kelompok dan sering mengadakan hubungan

antar sesamanya. Hubungan itu terjadi berkenaan dengan kebutuhan hidupnya

yang tidak mungkin selalu dapat dipenuhi sendiri. ‡ Dalam kehidupan sehari-hari

manusia sering dihadapkan pada suatu kebutuhan yang mendesak, kebutuhan

pemuas diri sendiri. Bahkan, kadang-kadang kebutuhan itu timbul karena

keinginan atau desakan untuk mempertahankan status diri. Untuk memenuhi

kebutuhannya tersebut, manusia kadang melakukan hal hal yang menurut

penilaian masyarakat perbuatan tersebut merupakan perbuatan tercela atau tidak

baik, dengan kata lain perbuatan tersebut melanggar perundang-undangan.

Kejahatan dalam hukum pidana berujung pada pertanggungjawaban yang

harus dimintakan kepada pelaku kejahatan atau pelaku tindak pidana. Namun

sebelum pertanggungjawaban pidana itu dimintakan, banyak hal yang harus

diperhatikan dalam hal penentuan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku

tindak pidana atau kejahatan. Salah satu hal yang harus diperhatikan adalah cara

menentukan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai kejahatan atau tindak


Ibid, hlm. 1
3

pidana. Menurut R Tresna§, pertimbangan atau pengukuran terhadap perbuatan

perbuatan terlarang, yang menetapkan mana yang harus ditetapkan sebagai

peristiwa pidana dan mana yang tidak dianggap sebagai peristiwa pidana, dapat

berubah-ubah dan tergantung dari keadaan, tempat dan waktu atau suasana serta

berhubungan erat dengan perkembangan pikiran dan pendapat umum. Apa yang

pada suatu waktu di tempat itu dianggap sebagai perbuatan yang harus dicela

namun tidak membahayakan kepentingan masyarakat, pada suatu saat bisa

berubah dan dianggap sebagai kejahatan.** Sebaliknya, apa yang tadi dianggap

sebagai suatu kejahatan di waktu yang lain, karena keadaannya berubah dianggap

tidak merupakan suatu hal yang membahayakan.

Kejahatan di Indonesia terus semakin meningkat. Hal ini dapat terlihat

pada masyarakat dalam kehidupannya yang terkadang menggunakan dan

menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai ambisinya,

cara itu dengan melakukan kejahatan-kejahatan yang dalam berbagai bentuk dan

jenisnya, salah satu dari bentuk kejahatan itu ialah tindak pidana pemerasan yang

yang kerap sekali di barengi dilakukan secara bersama-sama atau ikut serta

melakukan kejahatan. Kejahatan tindak pidana secara bersama-sama melakukan

pemerasan merupakan salah satu masalah sosial yang sangat meresahkan

masyarakat, sehingga perlu dicegah dan ditanggulangi.

Tindak pidana pemerasan diatur dalam Bab XXIII Pasal 368 Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disingkat KUHP tentang

Tindak Pidana Pemerasan yaitu “Barang siapa dengan maksud hendak


§
R. Tresna dan Mohammad Ekaputra, Dasar-Dasar Hukum Pidana Edisi 2, (Medan:
USU Press, 2015), hlm. 80
**
Ibid.
4

menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa

seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang

sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang

lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam

karena pemerasan dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan”.††

Tindak pidana pemerasan banyak terjadi di Indonesia, baik dilakukan oleh

satu orang maupun lebih dari satu orang, dimana apabila dilakukan oleh lebih dari

satu orang berdasarkan ketentuan pasal 55 dan pasal 56 KUHP, peran mereka

berbeda, demikian pula mengenai kejahatan pidananya. Dalam suatu kejahatan

bisa terlibat lebih dari satu orang. Hukum pidana mengatur hal tersebut dalam

masalah penyertaan melakukan tindak pidana. Dimana salah satu yang dapat

menghambat tujuan hukum itu berjalan dengan baik, yakni adanya penyertaan

atau turut serta dalam perbuatan pidana.

Pemerasan sebagaimana diatur dalam Bab XXIII KUHP sebenarnya terdiri

dari dua macam tindak pidana pemerasan (affersing) dan tindak pidana

pengancaman (afdreiging), kedua macam tindak pidana tersebut mempunyai sifat

yang sama, yaitu suatu perbuatan yang bertujuan memeras orang lain. Justru

karena sifatnya yang sama itulah kedua tindak pidana ini biasa diatur dalam bab

yang sama. Apabila orang menyebut bahwa kedua tindak pidana tersebut

mempunyai sebutan sendiri yaitu “pemerasan” untuk tindak pidana yang diatur

dalam Pasal 368 KUHP, oleh karena itu memang dalam KUHP sendiri pun juga

menggunakan kedua nama tersebut untuk menunjuk pada tindak pidana yang

diatur dalam Pasal 368 dan 369 KUHP.


††
Bab XXIII Pasal 368 Ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
5

Tindak pidana pemerasan merupakan suatu tindakan oleh pelaku yang

disertai kekerasan dan ancaman terhadap sesorang dengan maksud agar sesorang

yang barang dengan mudah untuk menyerahkan sesuatu barang yang dikuasi di

bawah kekerasan dan ancaman, sesorang menyerahkan barang tidak ada jalan lain

kecuali untuk menyerahkan sesuatu barang kepada pelaku kekerasan dan dengan

disertai ancaman.‡‡

Sebagaimana diketahui bahwa kata penyertaan (deelneming) ditemukan

beberapa istilah, antara lain; turut campur dalam peristiwa pidana (Tresna), turut

berbuat delik (Karni), turut serta (Utrecth) dan deelneming (Belanda) complicity

(Inggris), dan participation (Prancis). Sianturi mengemukakan bahwa penyertaan

merupakan terdapat dua orang atau lebih yang melakukan tindak pidana atau

mengambil bagian untuk mewujudkan suatu tindak pidana.§§

Pasal 55 KUHP menyebut beberapa cara turut serta melakukan tindak

pidana, yaitu:

1. Pelaku (dader)

2. Penyuruh (doenpleger)

3. Turut serta melakukan (mededader/medepleger)

4. Membujuk (uitlokker)

Selanjutnya pasal 56 KUHP menyebutkan:

5. Pembantu (medeplichtige)

‡‡
Isnu Gunadi, Joenadi Effendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana, (Kencana,
Jakarta, 2014), hlm, 136.
§§
Abdul Salam Siku, Hukum Pidana II (Ciputat; Pustaka Rabbani Indonesia, 2015), hlm.
44.
6

Untuk mencari tahu mengenai perkembangan kejahatan khususnya tindak

pidana pemerasan yang terjadi di Indonesia, maka penulis melakukan pencarian

data kasus pemerasan yang pernah terjadi di wilayah hukum Polda Sumut. Untuk

menggambarkan jumlah kejahatan pemerasan tersebut, Penulis menunjukkannya

di dalam tabel yang didasarkan atas laporan masuk kepada Kepolisian Sektor

(Polsek), Kepolisian Resort (Polres) di berbagai wilayah di Provinsi Sumatera

Utara dimana data tersebut di rekapitulasi pihak Polda Sumut. Selanjutnya Penulis

sajikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :

TABEL 1. JUMLAH KEJAHATAN TINDAK PIDANA PEMERASAN


DI WILAYAH HUKUM POLDA SUMUT TAHUN 2015-2019 :

No Tahun Jumlah kasus Persentase


1 2015 752 22,9%
2 2016 764 23,3%
3 2017 474 14,5%
4 2018 697 21,2%
5 2019 590 18,1%
Jumlah 3.277 100%
Sumber : Kepolisian Daerah Sumatera Utara, 2019 ***

Penentuan suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana

sebagaimana yang telah diuraikan di atas merupakan salah satu aspek penting

untuk mengetahui secara pasti apakah suatu perbuatan memang suatu perbuatan

pidana atau tidak. Perbuatan pidana, peristiwa pidana, tindak pidana, perbuatan

yang dapat dihukum merupakan beberapa istilah yang setidaknya menggambarkan

***
Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah
Sumatera Utara
7

bahwa telah terjadinya suatu peristiwa pelanggaran tata peraturan hukum pidana

(KUHP) maupun diluar KUHP.†††

R. Tresna berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan tertentu yang oleh

undang-undang dijadikan sebagai peristiwa pidana, merupakan perbuatan-

perbuatan yang (dapat) membahayakan kepentingan umum. Pengertian perbuatan

ternyata yang dimaksudkan bukan hanya yang berbentuk positif, artinya

melakukan sesuatu atau berbuat sesuatu yang dilarang, dan berbentuk negatif,

artinya tidak berbuat sesuatu yang diharuskan. ‡‡‡ Dengan pertimbangan

berdasarkan uraian diatas penulis tertarik untuk melakukan penulisan skripsi yang

berjudul “Tinjauan Yuridis Putusan Hakim Terhadap Pelaku Tindak Pidana

Secara Bersama-Sama Melakukan Pemerasan (Studi Putusan No.

2534/Pid.B/2018/PN.Mdn)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan dan sebagai usaha dalam

melakukan penelitian yang lebih baik, terstruktur, terarah, serta lebih mudah

memperoleh jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini, maka disusun

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana pengaturan hukum terhadap pelaku tindak pidana secara bersama-

sama melakukan pemerasan dalam hukum pidana di Indonesia?

2. Bagaimana penyebab terjadinya tindak pidana secara bersama-sama

melakukan pemerasan dan upaya penanggulangannya?

†††
Edi Setiadi, Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, (Yogyakarta: Graha Ilmu,
2013), hlm. 59.
‡‡‡
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 5.
8

3. Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana secara

bersama sama melakukan pemerasan dalam Putusan Pengadilan Negeri

Medan No 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian penulisan skripsi yang ingin dicapai adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum terhadap pelaku tindak pidana secara

bersama-sama melakukan pemerasan dalam hukum pidana di Indonesia

2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya tindak pidana secara bersama-sama

melakukan pemerasan dan bagaimana penanggulangannya

3. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana

secara bersama-sama melakukan pemerasan dalam Putusan Pengadilan Negeri

Medan No 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn.

D. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan dari penelitian ini, hasil dari penelitian ini diharapkan

memperoleh manfaat bagi penulis sendiri, serta bagi pembaca, sehingga

mendapatkan wawasan pengetahuan dibidang hukum pidana. Adapun manfaat

sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan pemahaman lebih dalam

tentang ilmu hukum pidana khususnya tindak pidana secara bersama-sama

melakukan pemerasan sehingga dapat diketahui kesimpulannya.


9

b. Dengan mengetahui konsekuensi dari tindak pidana secara bersama-sama

melakukan pemerasan diharapkan para pembaca menyadari bahwa

perbuatan ini melanggar hukum, dan dapat dikenakan sanksi.

c. Hasil penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi referensi dan acuan

bagi para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai minat yang sama

dengan penulis untuk mengkaji permasalahan yang sama.

2. Manfaat Praktis

Dapat memberikan masukan bagi pemerintah dalam penegak hukum di

Indonesia serta dalam upaya menyelesaikan permasalahan tindak pidana secara

bersama-sama melakukan pemerasan di Indonesia.

E. Keaslian Penulisan

Penelitian penulisan skrpisi ini berjudul tinjauan yuridis putusan hakim

terhadap pelaku tindak pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan (Studi

Putusan Pengadilan Negeri No. 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn). Judul skripsi ini

belum pernah diteliti dan juga belum pernah ditulis oleh siapapun dalam bentuk

yang sama, namun objek kajian mengenai skripsi ini sudah ada diteliti namun

dengan judul dan tinjauan permasalahan oleh putusan yang berbeda sehingga

penelitian penulisan skripsi ini adalah asli dalam hal tidak ada judul yang sama

dengan judul skripsi sebagai berikut :

1. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Pemerasan Dengan Menggunakan

Senjata Tajam Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama (Studi Kasus Putusan

Nomor : 1686/Pid.B/2010/PN. Mks).

Rumusan Masalah :
10

a. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana

pemerasan dengan menggunakan senjata tajam yang dilakukan secara

bersama-sama dalam putusan Pengadilan Negeri Makassar No.

1686/Pid.B/2010/PN.Mks?

b. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan

putusan terhadap pelaku tindak pidana pemerasan dengan

menggunakan senjata tajam yang dilakukan secara bersama-sama

dalam putusan Pengadilan Negeri Makassar No.

1686/Pid.B/2010/PN.Mks?

2. Analisis Yuridis Turut Serta Melakukan Pemerasan (Putusan Pengadilan

Negeri Banyuwangi No. 223/Pid.B/2014/PN.Bwi).

Rumusan masalah :

a. Apakah pertimbangan hakim menyatakan bahwa terdakwa II terbukti

melakukan pemerasan secara bersama-sama sesuai dengan fakta yang

terungkap dipersidangan ?

b. Apakah penjatuhan pidana kepada terdakwa sudah sesuai dengan tujuan

pemidanaan ?

3. Tinjauan Yuridis Dasar Keputusan Hakim Terhadap Tindak Pidana Pemerasan

Dengan Ancaman Kekerasan (Studi Putusan Hakim No.

89/Pid.B/2017/PN.Sgm).

Rumusan masalah :
11

a. Bagaimana penerapan hukum pidana materil terhadap tindak pidana

pemerasan dengan ancaman kekerasan dalam putusan hakim No :

89/Pid.B/2017/PN.Sgm?

b. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam memutuskan perkara

tindak pidana pemerasan dengan ancaman kekerasan dalam putusan

hakim No. : 89/Pid.B/2017/PN.Sgm?

4. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Secara

Bersama-Sama Terhadap Orang Dan Barang Dimuka Umum (Studi Kasus

Putusan No.144/Pid.B/2016/PN.Sgn).

Rumusan masalah :

a. Apakah kekerasan yang dilakukan secara bersama – sama terhadap

orang atau barang merupakan tindak pidana ?

b. Bagaimanakah pertimbangan hukum Majelis Hakim dalam

menjatuhkan Pidana dalam Putusan Nomor: 144/Pid.B/2016/Sgm?

5. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Yang Dilakukan Secara

Bersama-Sama Terhadap Orang Dimuka Umum (Studi Kasus Putusan No.

223/Pid.B/2015/PN.Wtp).

Rumusan masalah :

a. Bagaimanakah penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku tindak

pidana kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama terhadap orang

di muka umum dalam putusan Nomor 223/Pid.B/2015/PN.WTP?

b. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan

putusan terhadap pelaku tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara


12

bersama-sama terhadap orang di muka umum dalam putusan Nomor

223/Pid.B/2015/PN.WTP ?

6. Tinjauan Yuridis Terhadap Perkara Tindak Pidana Pemerasan Yang Dilakukan

Secara Bersama-Sama (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Sragen).

Rumusan masalah :

a. Bagaimana pengaturan Perkara Tindak Pidana Pemerasan yang

Dilakukan Secara Bersama-sama dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana?

b. Bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus Perkara Tindak

Pidana Pemerasan yang Dilakukan Secara Bersama-sama?

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Hukum Pidana dan Jenis - Jenis Pidana

a. Hukum Pidana

Hukum pidana adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang

menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk kedalam tindak pidana,

serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap yang

melakukannya.§§§ Dalam hukum pidana terdapat dua hal yaitu (1) hukum pidana

materiil (substantive criminal law) dan (2) hukum pidana formil (law of criminal

procedure). Hukum pidana materiil yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan

mengenai perbuatan yang dinyatakan terlarang Hukum. Pidana

formil adalah hukum yang digunakan sebagai dasar para penegak hukum. Yang

mengatur bagaimana Negara menyikapi alat perlengkapan dalam melakukan

kewajiban untuk menyidik, menjatuhkan, menuntut dan melaksanakan pidana.


§§§
Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Iblam, 2006), hlm. 8
13

Istilah hukum pidana juga diartikan sebagai hukum pelaksanaan pidana

(law of criminal execution), yaitu aturan hukum yang berisi ketentuan mengenai

bagaimana suatu sanksi pidana yang telah dijatuhkan terhadap seorang pelanggar

hukum pidana materiil itu harus dilaksanakan.****

Pengertian Hukum Pidana menurut para ahli :

1) Menurut Rahman Syamsuddin, “Hukum pidana adalah kumpulan peraturan

yang mengatur perbuatan, baik menyuruh berbuat atau melakukan sesuatu,

maupun melarang berbuat atau melakukan sesuatu yang diatur di dalam

undang-undang dari peraturan daerah yang diancam dengan sanksi pidana”††††

2) Menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-

dasar dan aturan-aturan untuk :‡‡‡‡

a) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan

yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana

tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

b) Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar

larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana

yang telah diancamkan.

c) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan

tersebut.

****
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hlm, 5.
††††
Rahman Syamsuddin dan Ismail Aris, Merajut Hukum di Indonesia, (Jakarta : Mitra
Wacana Medika, 2014), hal, 192.
‡‡‡‡
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta : Bina Aksara . 2002), hlm, 1.
14

3) Sedangkan menurut sudarsono, pada prinsipnya hukum pidana adalah yang

mengatur tentang kejahatan dan pelanggaran terhadap kepentingan umum dan

perbuatan tersebut diancam dengan pidana yang merupakan suatu

penderitaan.§§§§

Dengan demikian hukum pidana bukanlah mengadakan norma hukum

sendiri, melainkan sudah terletak pada norma lain dan sanksi pidana. Diadakan

untuk menguatkan ditaatinya norma-norma lain tersebut, misalnya norma agama

dan kesusilaan.*****

b. Jenis - Jenis Pidana

Adapun jenis pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) terdapat pada Pasal 10 KUHP, yang terdiri atas 2 (dua)

jenis,yaitu:

1) Pidana Pokok

Pidana pokok yaitu hukuman yang terlepas dari hukuman lain, berarti

dapat dijatuhkan kepada terpidana secara mandiri. Sedangkan hukuman tambahan,

yaitu hukuman yang tidak dapat dijatuhkan tanpa ada hukuman pokok (tidak

mandiri).†††††

a) Pidana mati

Di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pidana mati termasuk

urutan pertama jenis dari pidana pokok yang dalam prakteknya undang-undang

masih memberikan alternatif dengan hukuman seumur hidup atau penjara selama-

§§§§
Titik Triwulan Tutik, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2006),
hlm. 216-217.
*****
Ibid.
†††††
Bab II Pidana Pasal 34 KUHPidana.
15

lamanya dua puluh tahun (lihat Pasal 340 KUHP). Berdasarkan Pasal 67, Pasal

244, dan Pasal 263 KUHAcara Pidana, terhadap putusan (hukuman) mati dapat

dimintakan banding, kasasi maupun peninjauan kembali. Di samping upaya

hukum tersebut berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 1950 tentang grasi,

terhadap pidana mati diperbolehkan mengajukan grasi kepada Presiden.

b) Pidana penjara

Lamintang mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan hukuman

penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seorang

terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang tersebut di dalam sebuah

Lembaga Pemasyarakatan, dengan mewajibkan orang itu untuk mentaati semua

peraturan tata tertib yang berlaku di dalam Lembaga Pemasyarakatan yang

dikaitkan dengan sesuatu tindakan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar

peraturan tersebut.

Perihal mengenai hukuman penjara telah diatur dalam Pasal 12 KUHP, yang

mengatur:

1) Pidana penjara seumur hidup atau sementara

2) Lamanya pidana penjara sementara itu sekurangkurangnya satu hal dan

selama-lamanya lima belas tahun berturut-turut

3) Pidana penjara sementara boleh dijatuhkan selamalamanya dua puluh

tahun berturut-turut dalam hal kejahatan dengan pidana yang menurut

pilihan hakim sendiri boleh dipidana dengan pidana mati, atau pidana

penjara seumur hidup dan penjara sementara dan dalam hal masa lima

belas tahun itu dilampaui, sebab pidana ditambah, karena ada gabungan
16

kejahatan atau karena berulang melakukan kejahatan atau karena

ketentuan Pasal 52.

4) Lamanya pidana itu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun

c) Pidana kurungan,

Perihal mengenai hukuman kurungan ini telah diatur dalam Pasal 18

KUHP, yang mengatur:

1) Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan selama-

lamanya satu tahun.

2) Pidana itu boleh dijatuhkan selama-lamanya satu tahun empat bulan

dalam hal hukuman melebihi satu tahun, sebab ditambah karena ada

gabungan kejahatan, karena berulang melakukan kejahatan atau karena

ketentuan Pasal 52.

3) Pidana kurungan tidak boleh lebih lama dari satu tahun empat bulan

d) Pidana denda

Menurut KUHP maupun di dalam undang-undang yang lainnya, dapat

disimpulkan bahwa hukuman denda mengalami posisi sebagai berikut:

1) Hukuman denda itu merupakan hukuman utama dengan tidak

memberikan jenis pidana lain untuk mengganti pidana denda;

2) Hukuman denda merupakan hukuman alternatif, sementara pidana

utamanya adalah pidana kurungan;

3) Pidana denda juga merupakan jenis pidana alternatif dari pidana penjara;

4) Hukuman denda itu merupakan pidana utama, sementara pidana

kurungan sebagai alternative;


17

2. Hukuman-Hukuman Tambahan

a. Pencabutan beberapa hak tertentu

Pencabutan tentang beberapa hak tertentu yang tertuang dalam Pasal 10

KUHP penjatuhannya oleh hakim tidak dapat dijatuhkan secara terpisah (tidak

dapat dipisahkan) dengan penjatuhan pidana pokok. Artinya, apabiia hakim

hendak menjatuhkan pidana berupa pencabutan beberapa hak tertentu, seorang

hakim harus menyertakan di dalamnya pencabutan beberapa hak tertentu bersama

dengan pidana pokok.

b. Perampasan barang tertentu,

Perampasan barang tertentu adalah pengalihan kekuasaan atas barang

untuk kepentingan hukum. Mengacu pada KUHP dan KUHAP akan memberikan

penafsiran yang berbeda daiam memberikan dua jenis fungsi dan maksud dari

penyitaan itu. Menurut KUHAP, penyitaan akan dilaksanakan oleh penyidik

(penyidik Polri dan atau penyidik Pegawai Negeri Sipil yang diberi kewenangan

untuk itu) guna kepentingan proses peradilan (penyidikan, penuntutan, peradilan:

sidang pengadilan), atau dengan kata lain bahwa maksud dari penyitaan dalam

KUHAP adalah untuk kepentingan pembuktian.

Pasal 39 KUHP mengatur tentang perampasan barang tertentu (penyitaan):

1) Barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dengan kejahatan atau yang

dengan sengaja telah dipakainya untuk mengerjakan kejahatan, boleh dirampas.

2) Jika seseorang dipidana karena melakukan kejahatan tiada dengan sengaja atau

karena melakukan pelanggaran, boleh juga dijatuhkan pidana rampasan itu

dalam hal yang ditentukan dalam undang-undang.


18

3) Pidana rampasan itu boleh juga dijatuhkan atas orang yang bersalah yang

diserahkan kepada pemerintah, tetapi hanyalah tentang barang yang sudah

disita.

c. Pengumuman keputusan hakim.

Pasal 195 KUHAP menyatakan bahwa semua putusan pengadilan sah dan

mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan disidang terbuka untuk umum.

Ketentuan ini, dalam hukum acara pidana sering disebut sebagai asas-asas umum

pemeriksaan sidang pengadilan. Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 153

KUHAP yang menentukan bahwa:

1) Pada hari yang ditentukan menurut Pasal 152 pengadilan bersidang.

2) a) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan disidang pengadilan yang

dilakukan secara lisan dan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh

terdakwa dan saksi.

b) la wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan yang

mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban yang tidak bebas.

3) Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang dapat menyatakan terbuka

untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwa anak-

anak.

4) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat 2 dan ayat 3 menyebabkan batalnya

putusan demi hukum.

5) Hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai

umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang.‡‡‡‡‡

2. Pengertian dan Unsur-unsur Tindak Pidana


‡‡‡‡‡
Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia, (Depok : Rajawali Pers, 2018), hlm. 138.
19

1. Tindak pidana

Istilah tindak pidana adalah dimaksudkan sebagai dalam bahasa Indonesia

untuk istilah bahasa Belanda “Strafbaarfeit” atau “Delict” untuk terjemahan itu

dalam bahasa Indonesia disamping istilah “Tindak Pidana” juga dipakai dan

beredar istilah lain baik dalam buku ataupun dalam peraturan tertulis yang penulis

jumpai antara lain: Perbuatan yang dapat dihukum, Perbuatan yang boleh

dihukum, Peristiwa pidana, Pelanggaran pidana dan Perbuatan pidana. §§§§§

Perundang-undangan di Indonesia telah mempergunakan istilah-istilah di atas,

dalam berbagai undang-undang.

Pada umumnya di dalam hukum pidana perumusan mengenai tindak

pidana dijabarkan sebagai berikut:

1. Suatu perbuatan manusia yang dalam hal ini meliputi kejahatan pelanggaran,

termasuk juga pengabaian (mengabaikan) dan kelalaian.

2. Perbuatan tersebut di larang dan diancam hukuman/sanksi

3. Perbuatan tersebut dilakukan oleh manusia yang dapat bertanggung jawab atau

dapat mempertanggungjawabkan perbutannya.******

Pengertian tindak pidana menurut beberapa ahli :

a. Menurut Wirjono Prodjodikoro “Istilah tindak pidana atau dalam bahasa

Belanda disebut Strafbaarfeit yang merupakan istilah resmi dalam Wetboek

Van Strafrecht atau kitab Undang-undang Hukum Pidana yang sekarang

berlaku di Indonesia, ada istilah dalam bahasa asing yaitu delict yang berarti

§§§§§
E.Y. Kanter, Azas-azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Alumni AHMPTHM, 1992), hlm. 187.
******
Chairul Huda, Dari Tindak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggujawaban Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana, 2008) hlm. 12.
20

suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukum pidana dan pelaku ini

dapat dikatakan subjek tindak pidana”.††††††

b. Moeljatno menerjemahkan Strafbaarfeit dengan kata perbuatan pidana dengan

alasan sebagai berikut : “Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh

suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang

berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat

juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh satu aturan

dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam itu harus diingat larangan

ditujukan kepada perbuatan, sedangkan ancaman padanya ditujukan kepada

orang yang menimbulkan kejadian”.‡‡‡‡‡‡

c. Simons menterjemahkan Strafbaar feit adalah perbuatan melawan hukum

berkaitan dengan kesalahan (schuld) seseorang yang mampu bertanggung

jawab kesalahan dimaksud meliputi kesengajaan(dolus) dan alpa. Atau lalai

(culpa lata) yang mencampurkan unsur-unsur perbuatan pidana (criminal act)

dan pertanggung jawaban (criminal liability).§§§§§§

Dari berbagai pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwasannya tindak

pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang yang dapat

bertanggung jawab atas tindakannya tersebut. Dimana tindakan yang

dilakukannya tersebut adalah tindakan yang melawan atau melanggar ketentuan

perundang-undangan yang berlaku. Melawan hukum dapat berarti bertentangan

dengan hukum atau tidak sesuai dengan larangan-larangan atau keharusan hukum
††††††
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Refika
Aditama, 2003), hlm. 55.
‡‡‡‡‡‡
Moeljatno, Op.Cit., hlm. 54.
§§§§§§
Andi Zainal Abidin Farid, Bentuk – Bentuk Khusus Perwujud Delik (Percobaan ,
Penyertaan, Dan Gabungan Delik) Dan Hukum Penitensier, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2006), hlm. 224.
21

atau menyerang sesuatu kepentingan yang dilindungi oleh hukum.******* Sehingga

tindakan tersebut dapat diancam dengan suatu pidana yang bermaksud memberi

efek jera, baik bagi individu yang melakukannya maupun bagi orang lain yang

mengetahuinya.

2. Unsur – unsur tindak pidana

Pada hakikatnya, setiap perbuatan pidana harus terdiri dari unsur-unsur

lahiriah (fakta) oleh perbuatan, mengandung kelakuan dan akibat yang

ditimbulkan karenanya. Keduanya memunculkan kejadian dalam alam lahir

(dunia).††††††† Berikut ini kumpulan unsur-unsur yang ada dalam tindak pidana:

Menurut Moeljatno yang merupakan unsur atau elemen tindak pidana adalah.‡‡‡‡‡‡‡

1. Kelakuan dan akibat (perbuatan).

2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.

3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.

4. Unsur melawan hukum yang objektif.

5. Unsur melawan hukum yang subjektif.

Menurut Lamintang, unsur delik terdiri atas dua macam, yakni unsur

subjektif dan objektif. Selanjutnya Lamintang menyatakan sebagai berikut: “Yang

dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada

diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke

dalamnya segala sesuatu yang yang terkandung di dalam hatinya”. Sedang yang

dimaksud dengan unsur-unsur objektif itu adalah “unsur-unsur yang ada

*******
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: P.T Eresco,
1996), hlm. 50.
†††††††
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana : Edisi Revisi, (Jakarta: Rineka Cipta, 2008),
hlm. 64.
‡‡‡‡‡‡‡
Moeljatno, Op.Cit, hlm. 69-70.
22

hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan mana

tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan”.§§§§§§§

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

1. Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang

dimaksud di dalam pasal 53 ayat 1 KUHP.

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam

kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.

4. Merencakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya

terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut pasal 340 KUHP.

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat didalam rumusan

tindak pidana menurut pasal 340 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah :

1. Sifat melawan hukum atau wederechtelijk.

2. Kualitas dari si pelaku, misalnya keadaan sebagai seorang pegawai negeri

dalam kejahatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus

suatu perseroan terbatas, dalam kejahatan menurut pasal 398 KUHP.

3. Kualitas, yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu

kenyataan sebagai akibat.

Tongat menguraikan bahwa unsur-unsur delik terdiri atas dua macam

yaitu:

§§§§§§§
P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, ( Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1997), hlm. 184.
23

1. Unsur Objektif, yaitu unsur yang terdapat di luar pelaku (dader) yang dapat

berupa :

a. Perbuatan, baik dalam arti berbuat maupun dalam arti tidak berbuat. Contoh

unsur objektif yang berupa "perbuatan" yaitu perbuatan-perbuatan yang

dilarang dan diancam oleh undangundang. Perbuatan-perbuatan tersebut

dapat disebut antara lain perbuatan-perbuatan yang dirumuskan di dalam

Pasal 242, Pasal 263 dan Pasal 362 KUHP. Di dalam ketentuan Pasal 362

KUHP misalnya, unsur objektif yang berupa "perbuatan" dan sekaligus

merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam oleh undang-undang

adalah perbuatan mengambil.

b. Akibat, yang menjadi syarat mutlak dalam delik materiil. Contoh unsur

objektif yang berupa suatu "akibat" adalah akibat-akibat yang dilarang dan

diancam oleh undang-undang dan merupakan syarat mutlak dalam delik

antara lain akibat-akibat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 351

dan Pasal 338 KUHP. Dalam ketentuan Pasal 338 KUHP misalnya, unsur

objektif yang berupa "akibat" yang dilarang dan diancam dengan

undangundang adalah akibat yang berupa matinya orang.

c. Keadaan atau masalah-masalah tertentu yang dilarang dan diancam oleh

undang-undang. Contoh unsur objektif yang berupa suatu "keadaan" yang

dilarang dan diancam oleh undang-undang adalah keadaan sebagaimana

dimaksud dalam ketentuan Pasal 160, Pasal 281 dan Pasal 282 KUHP.

Dalam ketentuan Pasal 282 KUHP misalnya, unsur objektif yang berupa

"keadaan" adalah di tempat umum.


24

2. Unsur Subjektif, yaitu unsur yang terdapat dalam diri si pelaku (dader) yang

berupa:

a. Hal yang dapat dipertanggungjawabkannya seseorang terhadap perbuatan

yang telah dilakukan (kemampuan bertanggungjawab).

b. Kesalahan (schuld) Seseorang dapat dikatakan mampu bertanggungjawab

apabila dalam diri orang itu memenuhi tiga syarat, yaitu :

1) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat

mengerti akan nilai perbuatannya dan karena juga mengerti akan nilai

perbuatannya itu.

2) Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat

menentukan kehendaknya terhadap perbuatan yang ia lakukan.

3) Orang itu harus sadar perbuatan mana yang dilarang dan perbuatan mana

yang tidak dilarang oleh undang-undang.

Unsur Rumusan Tindak Pidana dalam UU :

1. Unsur Tingkah Laku

Tingkah laku dalam tindak pidana terdiri dari tingkah laku aktif atau positif

(bandelen), juga dapat disebut perbuatan materil (materieelfeit). Dalam hal

pembentuk Undang-undang merumuskan unsur tingkah laku, yaitu dalam bentuk

yang abstrak, dan dalam bentuk tingkah laku kongkrit. Dimaksudkan tingkah laku

abstrak ialah didalam tingkah laku abstrak dapat terdiri wujud-wujud tingkah laku

kongkrit bahkan bisa menjadi tak terbatas banyaknya. Contohnya perbuatan:

menghilangkan nyawa (338), abstrak, terdiri banyak wujud-wujud kongkrit dalam

pelaksanaannya, misalnya mengcekik,menembak, meracun, dan tidak terbatas


25

banyaknya. Banyak tindak pidana yang menyebutkan unsur tingkah laku dengan

lebih kongkrit, misalnya mengambil (362, pencurian), memberi keterangan (242),

mengedarkan (247) dan lain lain.********

2. Unsur Sifat Melawan Hukum

Lamintang menjelaskan sifat melawan hukum sebagai berikut: “menurut

ajaran Wederrechtelijk dalam arti formil, suatu perbuatan hanya dapat dipandang

sebagai bersifat Wederrechtelijk apabila perbuatan tersebut memenuhi semua

unsur delik yang terdapat dalam rumusan delik menurut undang-undang. Adapun

menurut ajaran Wederrechtelijk dalam arti meteriil, apakah suatu perbuatan itu

dapat dipandang sebagai Wederrechtelijk atau tidak, masalahnya buka harus

ditinjau dari ketentuan hukum yang tertulis melainkan harus ditinjau menurut

asas-asas hukum umum dari hukum tidak tertulis.”††††††††

3. Unsur Kesalahan

Kesalahan (schuld) merupakan unsur yang bersifat subjektif dari tindak

pidana,maka kesalahan juga memiliki dua segi, yaitu segi psikologis dan segi

yuridis. Ditinjau dari psikologis kesalahan itu harus dicari dalam batin

pelaku,yaitu adanya hubungan batin dengan perbuatan yang dilakukan sehingga ia

dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya.‡‡‡‡‡‡‡‡

3. Tindak Pidana Pemerasan dan Unsur - Unsurnya

A. Tindak pidana pemerasan

********
Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas
Berlakunya Hukum Pidana Pelajaran Hukum Pidana 1, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada, 2005)
, hlm. 84.
††††††††
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Cetakan pertama, (Jakarta :
Sinar Grafika, 2005), hlm, 44.
‡‡‡‡‡‡‡‡
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Yogyakarta: Raja Grafindo Press, 2001), hlm, 77.
26

Pengertian tentang pemerasan menurut tata bahasa Indonesia adalah

perkataan pemerasan itu berasal dari kata dasar peras yang mendapat imbuhan

berupa awalan pe dan akhiran an. Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata peras

itu sinonim dengan kata perah yang dapat berarti memijit atau menekan dan

sebagainya, supaya isinya keluar. Bahasa belanda mengartikan pemerasan dengan

afpersing (tindak pidana pemerasan).§§§§§§§§ kamus black law dictionary

menerjemahkan kata pemerasan dari kata dasar peras yang ditambah dengan

akhiran-an. Kata peras mempunyai arti :

1. mengambil untung banyak-banyak dari orang lain;

2. meminta uang dengan ancaman. Jadi istilah pemerasan berasal dari kata dasar

peras atau perah yang artinya mengeluarkan air dengan tangan atau alat.

Memeras adalah mengambil untung dari orang lain atau dalam arti meminta

uang dengan ancaman. Orangnya disebut pemeras. Pemerasan berarti

perbuatan atau hal memeras orang lain untuk mendapatkan keuntungan dengan

ancaman atau paksaan.*********

Terkait dengan tindak pidana pemerasan pengaturannya terdapat dalam

Pasal 368 KUHP yang terdiri atas :

1. Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain

secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan untuk memberikan suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau

§§§§§§§§
Alfi Fahmi Adicahya, Kamus Hukum, (Jakarta: Bina Yustisia, 2001), hlm. 441.
*********
Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, Fifth Edition USA : West
Publishing Company.
27

menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara

paling lama sembilan bulan †††††††††

2. Ketentuan Pasal 365 ayat (2), (3), dan (4) berlaku bagi tindak pidana

ini.‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Dalam delik pemerasan ini, yang menjadi subjeknya (normadressaat)

adalah barangsiapa dengan bagian inti delik (delictsbestandelen) yakni dengan

maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum,

memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk

memberikan suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu

atau orang lain, atau supaya membuat utang atau menghapuskan piutang. §§§§§§§§§

pada pemerasan, untuk mendapatkan barang itu atau membuat utang atau

menghapuskan piutang, pembuat menggunakan kekerasan atau ancaman

kekerasan, sedangkan pada penipuan, korban bergerak untuk menyerahkan suatu

barang karena rayuan memakai nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat

rangkaian kata-kata bohong, dan seterusnya. Dengan demikian, pada delik

pemerasan ini ancaman pidananya lebih dua kali lipat.**********

B. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pemerasan

Seseorang dapat dikatakan telah melakukan tindak pidana pemerasan jika

memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP, yang

dijelaskan sebagai berikut:

1. Unsur objektif

†††††††††
Pasal 368 Ayat 1 KUHP.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Pasal 368 Ayat 2 KUHP.
§§§§§§§§§
Andi Hamzah, Delik-delik tertentu (Speciale Delicten) KUHP, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2015),hlm. 76.
**********
Ibid, hlm.77.
28

a. Memaksa Istilah “memaksa” dimaksudkan melakukan tekanan pada orang,

sehingga orang itu melakukan sesuatu yang berlawanan dengan

kehendaknya sendiri. Atau dapat pula diartikan sebagai perbuatan (aktif dan

dalam hal ini menggunakan cara kekerasan atau ancaman kekerasan) yang

sifatnya menekan (kehendak atau kemauan) pada orang, agar orang itu

melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kehendak orang itu sediri.

Perbuatan memaksa ditujukan pada orang, baik pemilik benda maupun

bukan, juga tidak harus orang yang menyerahkan benda, yang memberikan

hutang maupun yang menghapuskan hutang. Orang yang menerima

paksaan, tidak harus sama dengan orang yang menyerahkan benda, yang

memeberikan hutang maupun yang menghapuskan piutang.

b. Dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kekerasan atau

ancaman kekerasan adalah melakukan tekanan kepada orang lain baik

secara verbal atau secara fisik, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang

berlawanan dengan kehendaknya sendiri. Kekerasan berarti melawan hak,

maka sama halnya dengan melawan hukum.

c. Untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang (yang seluruhnya atau

sebagian kepunyaan orang lain) Berkaitan dengan unsur ini, penyerahan

suatu barang dianggap telah ada apabila barang yang diminta oleh pemeras

tersebut telah dilepaskan dari kekuasaan orang yang diancam tanpa melihat

apakah barang tersebut sudah benar-benar dikuasai oleh orang yang

mengancam atau belum. Pemerasan dianggap telah terjadi, apabila orang

yang diperas itu telah menyerahkan barang/benda yang dimaksud kepada si


29

pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap dirinya. Penyerahan barang

tersebut tidak harus dilakukan sendiri oleh orang yang diperas kepada

pemeras, penyerahan barang tersebut dapat saja terjadi dan dilakukan oleh

orang lain selain dari orang yang diperas.

d. Supaya memberi hutang berkaitan dengan pengertian “memberi hutang”

dalam rumusan pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman yang

benar. Memberi hutang disini mempunyai pengertian bahwa si pemeras

memaksa orang yang diperas untuk membuat suatu perikatan atau suatu

perjanjian, yang menyebabkan orang yang diperas harus membayar

sejumlah uang tertentu. Jadi, yang dimaksud memberi hutang dalam hal ini

bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari

orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat

timbulnya kewajiban bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah

uang kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki.

e. Untuk menghapus hutang dilakukan dengan menghapusnya piutang yang

dimaksudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada

dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang

dikehendaki oleh pemeras, dengan kata lain menghapuskan piutang tidak

semata-mata berarti meniadakan pembayaran dari yang berhutang sejumlah

uang dari pinjam meminjam uang kepada yang berpiutang, melainkan

mempunyai arti yang lebih luas, yakni menghapuskan perikatan hukum

yang sudah ada yang berakibat (dianggap) hapusnya kewajiban hukum

untuk menyerahkan sejumlah uang kepada pihak korban.


30

2. Unsur Subjektif

a. Dilakukan dengan maksud Adapun yang diartikan “dilakukan dengan

maksud”, dalam hal ini adalah maksud untuk menguntungkan diri sendiri

atau orang lain, ialah si petindak sebelum melakukan perbuatan memaksa

dalam dirinya telah ada suatu kesadaran atau suatu kehendak yang telah

direncanakan olehnya untuk melakukan perbuatan tersebut.

b. Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Adapun yang dimaksud

dengan “menguntungkan diri sendiri atau orang lain” adalah menambah

baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula.

Menambah kekayaan disini tidak perlu benar-benar telah terjadi, tetapi

cukup apabila dapat dibuktikan, bahwa maksud pelaku adalah

menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Adapun yang menjadi syarat

bagi telah terjadinya atau selesainya pemerasan bukan pada terwujudnya

penambahan kekayaan itu, melainkan pada apakah dari perbuatan memaksa

itu telah terjadi penyerahan barang oleh seseorang ataukah belum.

Menguntungkan diri adalah maksud dari petindak saja, dan tidak harus telah

terwujud, maksud mana sudah ada dalam dirinya sebelum melakukan

perbuatan memaksa.

c. Secara melawan hukum artinya melakukan suatu perbuatan yang bukan

merupakan haknya, atau bertentangan dengan hukum.

4. Penyertaan (deelneming)

Kata Penyertaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti proses,

cara, perbuatan menyertai atau menyertakan. Jelas bahwa makna dari istilah ini
31

ialah bahwa ada dua orang atau lebih yang melakukan suatu tindak pidana atau

dengan kata lain dua orang atau lebih mengambil bagian untuk mewujudkan suatu

tindak pidana.†††††††††† Pengertian turut serta (ikut serta, bersama-sama) melakukan

perbuatan pidana (delict) dapat dilakukan oleh beberapa orang bersama-sama.

Turut serta (deelneming) dari beberapa orang dalam perbuatan pidana dapat

merupakan kerjasama, yang masing-masing dapat berbeda-beda sifat dan

bentuknya.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Sedangkan arti kata penyertaan menurut Prof. Dr. Wirjono

Prodjodikoro, S.H. adalah turut sertanya seorang atau ebih pada waktu seorang

lain melakukan tindak pidana.§§§§§§§§§§ Secara luas dapat disebutkan bahwa seorang

turut serta ambil bagian dalam hubungannya dengan orang lain, untuk

mewujudkan suatu tindak pidana, mungkin jauh sebelum terjadinya (misalnya:

merencanakan), dekat sebelum terjadinya (misalnya: menyuruh atau

menggerakkan untuk melakukan, memberikan keterangan atau seorang itu dibantu

oleh orang lain), atau setelah terjadinya suatu tindak pidana (menyembunyikan

pelaku atau hasil tindak pidana pelaku).***********

Pembagian penyertaan menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Indonesia dimuat dalam KUHP BAB V pasal 55 dan 56 bahwa :

Pasal 55 merumuskan sebagai berikut :

1. Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:

††††††††††
Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonnesia dan Penerapannya, (Jakarta:
Storia Grafika, 2002), hlm. 336.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta Timur: Sinar
Grafika,2015), hlm. 243.
§§§§§§§§§§
Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit., hlm.108.
***********
Kanter, Op.Cit, hlm. 336.
32

a. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut

sertamelakukan perbuatan;

b. Mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan

kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau

dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja

menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan sengaja yang dianjurkan sajalah yang

diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 KUHP merumuskan dipidana sebagai pembantu kejahatan

sebagai berikut:

1. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

2. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan.†††††††††††

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak

memberikan pengertian tentang delik penyertaan (deelneming delicten), yang

ada hanyalah bentuk-bentuk penyertaan baik sebagai pembuat (dader) maupun

sebagai pembantu (medeplichtige).‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Namun dalam buku lain disebutkan

arti kata “pesertaan” berarti turut sertanya seorang atau lebih pada waktu orang

lain melakukan suatu tindak pidana. Dengan begitu orang berkesimpulan

bahwa dalam tiap tindak pidana hanya ada seorang pelaku yang akan kena

hukuman pidana.§§§§§§§§§§§

†††††††††††
Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia ,(Jakarta: Sinar Grafika,
2014), hlm. 595.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP.
§§§§§§§§§§§
Wirjono, Op.Cit., (Bandung: PT Refika Aditama, 2003), hlm. 117.
33

5. Pengertian Pemidanaan dan sistem serta tujuan pemidanaan

a. Pengertian Pemidanaan

Pemidanaan bisa diartikan sebagai tahap penetapan sanksi dan juga tahap

pemberian sanksi dalam hukum pidana. Kata “pidana” pada umumnya diartikan

sebagai hukum, sedangkan “pemidanaan” diartikan sebagai penghukuman.

Doktrin membedakan hukum pidana materil dan formil.

J.M. Van Bemmelen menjelaskan kedua hal tersebut sebagai

berikut:“Hukum pidana materil terdiri atas tindak pidana yang disebut berturut-

turut, peraturan umum yang dapat diterapkan terhadap perbuatan itu, dan pidana

yang diancamkan terhadap perbuatan itu. Hukum pidana formil mengatur cara

bagaimana acara pidana seharusnya dilakukan dan menentukan tata tertib yang

harus diperhatikan pada kesempatan itu.”************ “Pemidanaan” atau

pemberian/penjatuhan pidana oleh hakim yang oleh Sudarto dikatakan berasal dari

istilah penghukuman dalam pengertian yang sempit. Lebih lanjut dikatakan

“Penghukuman” yang demikian mempunyai makna “sentence” atau

“veroordeling”.†††††††††††† Menurut Andi Hamzah, pemidanaan sama halnya dengan

penjatuhan pidana. Pidana macam bagaimanakah yang akan dijatuhkan oleh

hakim kepada orang yang melanggar nilai-nilai itu. Bagaimanakah pelaksanaan

pidana itu kepada terpidana dan bagaimanakah membina narapidana sehingga

dapat diubah menjadi manusia yang berguna dalam masyarakat Pancasila

ini.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
************
Leden Marpaung, Tindak pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2005), hlm. 2.
††††††††††††
Muladi Dan Bardi Namawi, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, (Bandung :
Edisi Revisi, 1992 ), hlm. 1.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Sistem Pemidanaan Indonesia, (Jakarta :
Pradnya Paramita, 1993), hlm. 9.
34

b. Sistem dan Tujuan Pemidanaan

1) Sistem Pemidanaan

Sistem dalam kamus umum bahasa Indonesia mengandung dua arti yaitu

seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu

totalitas, dan juga dapat diartikan sebagai susunan yang teratur dari pada

pandangan, teori, asas dan sebagainya atau diartikan pula sistem itu

“metode”.§§§§§§§§§§§§

Pengertian “sistem pemindanaan” tidak hanya dilihat dalam arti

sempit/formal, tetapi juga dapat dilihat dalam arti luas/materiil. Dalam arti

sempit/formal, sistem pemidanaan berarti kewenangan menjatuhkan/mengenakan

sanksi pidana menurut Undang-Undang oleh pejabat yang berwenang (hakim).

Dalam arti luas/material, sistem pemidanaan merupakan suatu mata rantai proses

tindakan hukum dari pejabat yang berwenang, mulai dari proses penyidikan,

penuntutan, sampai pada putusan pidana dijatuhkan oleh pengadilan dan

dilaksanakan oleh aparat pelaksana. Menurut L.H.C Hulsman, sistem pemidanaan

(the sentencing system) adalah “aturan perundang-undangan yang berhubungan

dengan sanksi pidana dan pemidanaan” (the statutory rules to penal sanctions and

punishment).*************

Dari beberapa keterangan diatas dapat kesimpulan bahwa sistem

pemidanaan adalah sebagai bagian dari mekanisme penegakan hukum (pidana)

maka pemidanaan yang biasa juga diartikan “pemberian pidana“ tidak lain

§§§§§§§§§§§§
Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Bandung : Yrama Widya, 2003),
hlm. 565.
*************
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai, Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung :
Citra Aditya Bakti, 1996), hlm, 129.
35

merupakan suatu “proses kebijakan” yang sengaja direncanakan. Kebijakan

formulasi/kebijakan legislatif dalam menetapkan sistem pemidanaan merupakan

suatu proses kebijakan yang melalui beberapa tahap:†††††††††††††

1. Tahap penetapan pidana oleh pembuatan undang-undang ;

2. Tahap pemberian pidana oleh badan yang berwenang ;

3. Tahap pelaksanaan pidana oleh instansi pelaksana yang berwenang.

2) Tujuan Pemidanaan

Tujuan pemidanaan ternyata tidak terdapat suatu kesamaan pendapat di

antara para ahli hukum. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang

tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu : untuk memperbaiki

pribadi dari penjahat itu sendiri, untuk membuat orang menjadi jera dalam

melakukan kejahatan-kejahatan, untuk membuat penjahat tertentu menjadi tidak

mampu melakukan kejahatan yang lain, yakni penjahat yang dengan cara-cara

yang lain sudah tidak dapat di perbaiki lagi.

Tujuan pemidanaan itu sendiri diharapkan dapat menjadi sarana

perlindungan masyarakat, rehabilitasi, dan resosialisasi, pemenuhan pandangan

hukum adat, serta aspek psikologi untuk menghilangkan rasa bersalah bagi yang

bersangkutan. Meskipun pidana merupakan suatu nestapa tetapi tidak

dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.

Berkaitan dengan pemidanaan ini, terdapat pandangan utilitarian dan

pendekatan integratif. Sepanjang menyangkut tujuan pemidanaan dinyatakan,

maka tujuan pemidanaan adalah:‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡


†††††††††††††
Muladi dan Barda Nawawi, Op.Cit, hlm. 91.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Lihat Makalah Muladi, tentang Jenis-jenis Pidana Pokok Dalam KUHP,
Makalah disampaikan pada Lokakarya Bab-bab Kodifikasi Hukum Pidana tentang Sanksi Pidana
36

a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma

hukum demi pengayoman masyarakat:

b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga

menjadi orang yang baik dan berguna, serta mampu untuk hidup

bermasyarakat:

c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat: dan

d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

G. Metode Penelitian

Penulisan skripsi ini membutuhkan adanya data dan keterangan yang dapat

dijadikan bahan untuk menganalisa masalah yang ada. Untuk mendapatkan dan

mengumpulkan data dan keterangan tersebut penulis menggunakan metode

sebagai berikut :

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Penelitian

hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data

sekunder.§§§§§§§§§§§§§ Untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini

yang diselenggarakan oleh BPHN-Departemen Kehakiman di Jakarta, tanggal 5-7 Februari 1986.
Hlm. 3-4
§§§§§§§§§§§§§
Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif :
Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hal. 13.
37

pendekatan yang digunakan adalah melalui pendekatan perundang-undangan

(statuate approach) dan pendekatan kasus (case approach).**************

2. Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah :

a. Penelitian pustaka (library research) Pengumpulan data pustaka diperoleh dari

berbagai data yang berhubungan dengan hal-hal yang diteliti, bea buku dan

literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian ini.Disamping itu juga data

yang diambil Penulis ada yang berasal dari dokumen-dokumen penting

maupun dari peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Studi dokumentasi Dengan cara mengumpulkan data, membaca dan menelaah

putusan pengadilan No. 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn serta beberapa literatur,

buku, koran serta peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

masalah yang diteliti untuk mendapatkan data sekunder.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research) yaitu

suatu penelitian yang objek utamanya adalah buku-buku kepustakaan.

Maksudnya, data-data dicari dan ditemukan melalui kajian pustaka dari buku-

buku yang relevan yang berkaitan dengan tindak pidana secara bersama-sama

melakukan pemerasan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP).†††††††††††††† Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data skunder. Data sekunder adalah data yang ditelusuri melalui telaah pustaka

**************
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana , 2011),
hal. 93-95.
††††††††††††††
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta: Rajawali, 1991), hlm. 24.
38

baik bersumber dari buku, majalah, jurnal, atau media elektronik dan media massa

yang dianggap relevan dengan masalah yang dibahas.

Data sekunder merupakan data yang umumnya telah dalam keadaan siap

terbuat (ready made). Adapun sumber data berupa data sekunder yang biasa

digunakan dalam penelitian hukum normatif terbagi menjadi 3 (tiga), yaitu bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.

a. Bahan Hukum Primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif

berupa peraturan perundang-undangan.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Peraturan perundang-

undangan yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan yang

memiliki kaitan dengan penelitian yang dilakukan

b. Bahan Hukum Sekunder, biasanya berupa pendapat hukum/ doktrin/ teori-

teori yang diperoleh dari literatur hukum, hasil penelitian, artikel ilmiah,

maupun website yang terkait dengan pada dasarnya digunakan untuk

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan adanya bahan

hukum sekunder maka penelitian akan terbantu untuk memahami

/menganalisis bahan hukum primer.

Termasuk pula dalam bahan hukum sekunder adalah wawancara dengan

narasumber. Pada penelitian hukum normatif, wawancara dengan narasumber

dapat dilakukan dan digunakan sebagai salah satu data sekunder yang

termasuk sebagai bahan hukum sekunder. Hal ini tersebut karena wawancara

dengan narasumber digunakan sebagai pendukung untuk memperjelas bahan

hukum sekunder.

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum : Edisi Revisi, (Surabaya:
Kencana, 2006), hlm. 141.
39

c. Bahan Hukum Tersier, merupakan bahan hukum yang memberikan penjelasan

dan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Biasanya bahan hukum tersier diperoleh dari kamus hukum, kamus bahasa

Indosesia, kamus bahasa Inggris dan sebagainya.

4. Analisis Data

Data-data yang terkumpul dianalisis secara kualitatif dengan metode

komparatif, yaitu suatu metode yang menganalisa data-data atau pendapat yang

berbeda dengan memperbandingkan, sehingga diketahui pendapat alternatif yang

komprehensif.§§§§§§§§§§§§§§

Dalam hal ini penulis mencoba menganalisis dari segi pengertian, bentuk-

bentuk, serta ancaman pidana mengenai secara bersama-sama melakukan tindak

pidana pemerasan dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Data

berupa putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn

dianalisis secara deskriptif kualitatif untuk menjawab permasalahan yang diteliti.

Data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder akan diolah dan dianalisis

secara kualitatif dan selanjutnya data tersebut dideskriptifkan. Analisis kualitatif

adalah analisis kualitatif terhadap data verbal dan data angka secara deskriptif

dengan menggambarkan keadaan-keadaan yang nyata dari objek yang akan

dibahas dengan pendekatan yuridis formal dan mengacu pada konsep doktrinal

hukum. Data yang bersifat kualitatif yakni yang digambarkan dengan kata-kata

atau kalimat-kalimat dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh

kesimpulan

H. Sistematika Penulisan
§§§§§§§§§§§§§§
Ibid, hlm. 2.
40

Dalam penyusunan penulisan ini, terlebih dahulu penulis memberikan

paparan mengenai penyertaan tindak pidana agar diperoleh gambaran yang jelas

mengenai delik, pengertian, bentuk-bentuk dalam tindak pidana secara bersama-

sama melakukan pemerasan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP). Sistematika Penulisan ini akan disusun dalam 5 (lima) bab yang akan

dibagi dalam sub-sub bab, untuk mempermudah dalam memahami materi, yang

akan dirinci sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam bab ini penulis akan mengemukakan gambaran umum tentang penulisan

hukum mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian,

dan sistematika penulisan.

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA SECARA BERSAMA-


SAMA MELAKUKAN PEMERASAN DALAM HUKUM PIDANA
DI INDONESIA

Pada bab ini penulis akan menjelaskan bagaimana pengaturan hukum di indonesia

berdasarkan kasus tindak pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan.

BAB III PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA SECARA


BERSAMA-SAMA MELAKUKAN PEMERASAN DAN UPAYA
PENANGGULANGANNYA

Dalam bab ini penulis akan mengemukakan bagaimana penyebab terjadinya

tindak pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan dan bagaimana upaya

untuk menanggulanginya.
41

BAB IV PENERAPAN HUKUM PIDANA MATERIL TERHADAP


PELAKU TINDAK PIDANA SECARA BERSAMA-SAMA
MELAKUKAN PEMERASAN DALAM PUTUSAN PENGADILAN
NEGERI MEDAN NO.2534/PID.B/2018/PN.MDN

Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang penerapan hukum pidana materil

terhadap pelaku tindak pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan dalam

putusan Pengadilan Negeri Medan No. 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn.

BAB V PENUTUP

Pada bab ini berisi simpulan dari hasil penelitian beserta saran yang penulis

berikan.

DAFTAR PUSTAKA
42

BAB II

PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA SECARA BERSAMA-SAMA


MELAKUKAN PEMERASAN DALAM HUKUM PIDANA DI INDONESIA

A. Pengaturan Hukum Tindak Pidana Pemerasan Menurut Hukum Di


Indonesia (KUHP)

Sejak adanya UU No 73 tahun 1958 yang menentukan berlakunya UU No

1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana untuk seluruh Indonesia, hukum

pidana materiil Indonesia menjadi seragam untuk seluruh tanah air. Menurut UU

No. 1 tahun 1946 Pasal 6, nama resmi dari KUHP awalnya adalah “Wetboek Van

strafrecht voor Nederlandsch-Indie” yang diubah menjadi “Wetboek van

Strafrecht” atau dapat pula disebut sebagai “Kitab UndangUndang Hukum

Pidana.*************** Peraturan hukum positif utama yang berlaku di Indonesia

adalah KUHP, dimana KUHP sendiri merupakan kodifikasi dari hukum pidana

dan berlaku untuk semua golongan penduduk, yaitu golongan timur asing,

bumiputera, dan Eropa. Dengan demikian dapat dikatakan ada suatu bentuk

kesamaan atau keseragaman dalam peraturan hukum pidana yang berlaku di

Indonesia.†††††††††††††††

KUHP mempunyai aturan yang digunakan dalam tindak pidana

pemerasan, dimana yang disoroti oleh hukum pidana untuk orang yang

melakukan tindak pidana tersebut bisa dikenakan Pasal 368 ayat (1) KUHP.

Pemerasan merupakan suatu tindakan yang dapat menguntungkan seseorang/pihak

(pemeras) dan merugikan bagi pihak lainnya (yang diperas). Pemerasan adalah

***************
Moeljatno, Op.Cit, hlm, 5.
†††††††††††††††
Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang : Yayasan Sudarto Fakulktas Hukum
Universitas Diponegoro, 1990), hlm, 16.
43

bahasa hukum yang rumusan pidananya ada dalam hukum positif. Bila dilihat kata

‘pemerasan’ dalam bahasa Indonesia berasal dari kata dasar yaitu ‘peras’ yang

bisa bermakna leksikal, meminta uang dan jenis lain dengan ancaman.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Dalam Black’s Law Dictionary, blackmail diartikan sebagai ‘a threatening

demand made without justification’. Sinonim dengan extortion, yaitu suatu

perbuatan untuk memperoleh sesuatu dengan cara melawan hukum seperti

tekanan atau paksaan. Pengaturan terkait pemerasan dan pengancaman

sesungguhnya telah diatur dalam KUHP dan beberapa Undang-Undang lain yang

juga memuat ketentuan pemerasan dan pengancaman dalam beberapa pasalnya.

Tindak pidana pemerasan sebagaimana diatur dalam Bab XXIII KUHP

sebenarnya terdiri dari dua macam tindak pidana, yaitu tindak pidana pemerasan

(afpersing) dan tindak pidana pengancaman (afdreiging). Kedua macam tindak

pidana tersebut mempunyai sifat yang sama, yaitu suatu perbuatan yang bertujuan

memeras orang lain. Justru karena sifatnya yang sama itulah kedua tindak pidana

ini biasanya disebut dengan nama yang sama yaitu “pemerasan” serta diatur dalam

bab yang sama. Dalam KUHP, ketentuan mengenai pemerasan dalam bentuk

pokok diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP, pemerasan yang diperberat diatur

dalam Pasal 368 ayat (2) KUHP, sedangkan pengancaman pokok diatur dalam

Pasal 369 KUHP dan pengancaman dalam kalangan keluarga diatur dalam Pasal

370 KUHP. Kedua macam tindak pidana tersebut mempunyai sifat yang sama,

yaitu suatu perbuatan bertujuan untuk mengancam orang lain, sehingga tindak

pidana ini diatur dalam bab yang sama yaitu Bab XXIII KUHP.

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002. hlm. 855.
44

Kita hanya bisa tahu apakah perbuatan itu pemerasan atau pengancaman

dari bunyi setiap pasal-pasalnya. Jika diteliti, meski judul Bab XXIII KUHP

adalah “Pemerasan dan Pengancaman” namun yang merupakan perbuatan

pidana/tindak pidana dalam bab tersebut adalah tindak pidana pemerasan, bukan

pengancamannya. Pengancaman adalah cara untuk melakukan pemerasan. (lihat

Pasal 368 ayat (1) KUHP). Dimaksud pemerasan menurut KUHP adalah dengan

maksud menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum agar orang (yang

diperas) memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah

kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun

menghapuskan piutang.

Tindakan pengancaman adalah cara yang digunakan untuk memeras, yang

bisa berupa kekerasan, ancaman kekerasan (lihat Pasal 368 ayat (1) KUHP),

ancaman pencemaran baik dengan lisan maupun tulisan, atau ancaman akan

membuka rahasia (lihat Pasal 369 ayat (1) KUHP). §§§§§§§§§§§§§§§ Jadi yang

merupakan tindak pidana adalah pemerasannya. Pemerasan tersebut dilakukan

dengan cara mengancam (pengancaman) dimana bentuk pengancamannya berupa

ancaman kekerasan. Berdasarkan uraian di atas, maka secara substansi yang

merupakan tindak pidana adalah pemerasan, bukan pengancamannya. Sedangkan

pengancaman adalah cara untuk melakukan pemerasan, meski secara formil di

dalam KUHP nyata-nyata terdapat frasa “pengancaman” yang seolah-olah

menjadikannya suatu tindak pidana.

§§§§§§§§§§§§§§§
P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, (PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2011), hlm. 30.
45

Berdasarkan Pasal 368 ayat (2) KUHP tindak pidana pemerasan diperberat

ancaman pidananya apabila :

1. Tindak pidana pemerasan itu dilakukan pada waktu malam dalam sebuah

rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya atau apabila pemerasan

dilakukan dijalan umum atau di atas kereta api atau rem yang sedang berjalan.

Ketentuan ini berdasarkan Pasal 368 ayat (2) ke-1 KUHPidana dengan

ancaman pidana selama dua belas tahun penjara.****************

2. Tindak pidana pemerasan itu, dilakukan oleh dua orang atau lebih secara

bersama-sama, sesuai dengan ketentuan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2)

ke-2 KUHPidana dengan ancaman pidana dua belas tahun penjara.††††††††††††††††

3. Tindak pidana pemerasan, dimana untuk masuk ke tempat melakukan

kejahatan dilakukan dengan cara membongkar, merusak atau memanjat,

memakai anak kunci palsu, perintah palsu, atau jabatan (seragam) palsu. Sesuai

dengan ketentuan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-3 KUHPidana

dengan pidana penjara dua belas tahun.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

4. Tindak pidana pemerasan itu mengakibatkan terjadinya luka berat,

sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-4

KUHPidana ancaman pidannya sama dengan yang di atas, yaitu dua belas

tahun penjara.§§§§§§§§§§§§§§§§

****************
Pasal 368 ayat (2) ke-1KUHPidana.
††††††††††††††††
Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-2 KUHPidana.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-3 KUHPidana.
§§§§§§§§§§§§§§§§
Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (2) ke-4 KUHPidana
46

5. Tindak pidana pemerasan itu mengakibatkan matinya orang maka diatur dalam

ketentuan Pasal 368 Ayat (2) jo Pasal 365 Ayat (3) KUHPidana dengan

ancaman pidana lebih berat yaitu lima belas tahun penjara.*****************

6. Tindak pidana pemerasan tersebut telah menimbulkan luka berat atau kematian

serta dilakukan oleh dua orang atau lebih secara bersama-sama dengan disertai

hal-hal yang memberatkan sebagaimana yang diatur dalam pasal 365 ayat (1)

dan ayat (2) KUHPidana. Berdasarkan Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (4)

KUHPidana tindak pidana pemerasan ini diancam dengan pidana yang lebih

berat lagi, yaitu dengan pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana selama

waktu tertentu paling lama dua puluh tahun penjara.†††††††††††††††††

Ketentuan perumusan Tindak Pidana Pemerasan diatur dalam Pasal 368

Kuhpidana, yang berbunyi :

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau

orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau

sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun

menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling

lama sembilan bulan.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Unsur-unsur yang ada di dalam ketentuan Pasal 368 KUHPidana yaitu :


§§§§§§§§§§§§§§§§§

*****************
Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (3) KUHPidana.
†††††††††††††††††
Pasal 368 ayat (2) jo Pasal 365 ayat (4) KUHPidana.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1988), hlm, 286.
§§§§§§§§§§§§§§§§§
Alweni, Kenny Mohammad, Kajian Tindak Pidana Pemerasan Berdasarkan
Pasal 368 Kuhp, Lex Crimen 2019, hlm, 51.
47

1. Unsur obyektif, yang meliputi unsur - unsur :

a. Memaksa

b. Orang lain

c. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan

d. Untuk memberikan atau menyerahkan suatu barang (yang seluruhnya atau

sebagian kepunyaan orang lain)

e. Supaya memberi hutang

f. Untuk menghapus piutang

2. Unsur subyektif, yang meliputi unsur- unsur :

a. Dengan maksud

b. Untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

Beberapa unsur yang dimaksud adalah sebagai berikut :******************

1) Unsur “memaksa”. Dengan istilah “memaksa” dimaksudkan adalah

melakukan tekanan pada orang, sehingga orang itu melakukan sesuatu yang

berlawanan dengan kehendaknya sendiri. Dari pengertian memaksa yang

dimaksud itu dalam kaitannya dengan pemerasan dapat diterangkan sebagai

berikut, seseorang (pelaku) mempunyai suatu keinginan, keinginannya

berupa agar orang menyerahkan benda, atau orang lain memberi hutang,

ataupun menghapuskan piutang. Keinginan itu tidak akan terwujud apabila

ia memintanya begitu saja, karena keinginan itu bertentangan antara

kehendak pelaku dengan kehendak orang itu (korban). Keinginan korban

untuk tidak menyerahkan benda, tidak memberi hutang maupun tidak untuk

menghapuskan piutang harus dikalahkan/ ditundukkan, agar kehendak


******************
Ibid,
48

pelaku yang dipenuhi. Untuk itu haruslah dilakukan perbuatan memaksa

dengan cara demikian itu membawa akibat bagi korban seperti rasa takut,

cemas dan hal ini menjadikan dirinya tidak berdaya. Keadaan ketidak

berdayaan inilah yang menyebabkan korban menyerahkan benda dan lain

sebagainya tadi seperti yang di kehendaki si pelaku. Hal ini juga yang

membedakan pemerasan dengan penipuan Pasal 378 KUHPidana. Pada

penipuan korban menyerahkan benda, memberi hutang dan menghapuskan

piutang adalah atas kehendaknya sendiri, dilakukannya secara sukarela,

tanpa ada rasa keberatan atau tertekan. Kini dapat disimpulkan bahwa

perbuatan memaksa dalam pemerasan itu adalah suatu perbuatan berupa

kekerasan atau ancaman kekerasan yang bersifat menekan yang ditujukan

pada seseorang, yang dapat menimbulkan rasa takut atau rasa cemas,

menyebabkan ketidakberdayaan, sehingga orang itu dengan terpaksa

memberikan benda, memberikan hutang dan menghapuskan piutang, suatu

yang dikehendaki petindak dan bertentangan dengan kemauan orang itu

sendiri (korban).

(1). Unsur “untuk memberikan atau menyerahkan sesuatu barang”. Berkaitan

dengan unsur itu, persoalan yang muncul adalah kapan dikatakan ada

penyerahan suatu barang Penyerahan suatu barang dianggap telah ada apabila

barang yang diminta oleh pemeras tersebut, telah dilepaskan dari kekuasaan

orang yang diperas, tanpa melihat apakah barang itu sudah benar-benar

dikuasai oleh orang yang memeras atau belum. Pemerasan dianggap telah

terjadi, apabila orang yang diperas itu telah menyerahkan barang/benda yang
49

dimaksudkan si pemeras sebagai akibat pemerasan terhadap dirinya.

Penyerahan barang tersebut tidak harus dilakukan sendiri oleh orang yang

diperas kepada pemeras, penyerahan barang tersebut dapat saja terjadi dan

dilakukan oleh orang lain selain dari orang yang diperas.††††††††††††††††††

(2). Unsur “supaya memberi hutang”. Berkaitan dengan pengertian “memberi

hutang” dalam rumusan pasal ini perlu kiranya mendapatkan pemahaman

yang benar, memberi hutang disini mempunyai pengertian, bahwa si pemeras

memaksa orang yang diperas umtuk membuat suatu perikatan atau suatu

perjanjian yang menyebabkan orang yang diperas harus membayar sejumlah

uang tertentu. Jadi yang dimaksud dengan memberi hutang dalam hal ini

bukanlah berarti dimaksudkan untuk mendapatkan uang (pinjaman) dari

orang yang diperas, tetapi untuk membuat suatu perikatan yang berakibat

timbulnya kewajiban bagi orang yang diperas untuk membayar sejumlah uang

kepada pemeras atau orang lain yang dikehendaki.

(3). Unsur “untuk menghapus hutang”, dengan menghapusnya piutang yang

dimkasudkan adalah menghapus atau meniadakan perikatan yang sudah ada

dari orang yang diperas kepada pemeras atau orang tertentu yang dikehendaki

oleh pemeras.

(4). Unsur “untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain”, yang dimaksud

dengan” menguntungkan diri sendiri atau orang lain”adalah menambah baik

bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain dari kekayaan semula, menambah

kekayaan di sini tidak perlu benar-benar telah terjadi,tetapi cukup

apabiladapat dibuktikan, bahwa maksud pelaku adalah untuk menguntungkan


††††††††††††††††††
Ibid, hlm 53.
50

diri sendiri atau orang lain. Yang menjadi syarat bagi telah terjadinya atau

selesainya pemerasan bukan pada terwujudnya penambahan kekayaan itu,

melainkan pada apakah dari perbuatan memaksa itu telah terjadi penyerahan

barang oleh seseorang ataukah belum. Menguntungkan diri adalah maksud

dari pelaku saja, dan tidak harus terwujud, maksud dimana sudah ada dalam

dirinya sebelum melakukan perbuatan memaksa. Ini merupakan unsur

kesalahan dalam pemerasan. Sedangkan yang diartikan dengan maksud

menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, ialah si

pelaku sebelum melakukan perbuatan memaksa dalam dirinya telah ada

kesadaran bahwa maksud dirinya melakukannya untuk menguntungkan

(menambah kekayaan) bagi dirinya sendiri atau orang lain dengan memaksa

seseorang itu adalah bertentangan dengan hukum.

2) Unsur-Unsur Tindak Pidana dengan Menista Unsur-unsur tindak pidana

pemerasan dengan menista ialah sebagai berikut :‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

1. Unsur-unsur obyektif, terdiri dari :

a) Perbuatan; memaksa

b) Yang dipaksa; orang

c) Cara-cara memaksa dengan memakai :

(1). Ancaman pencemaran nama baik, baik tertulis maupun lisan

(2). Ancaman akan membuka rahasia

d) Unsur tujuan yang sekaligus merupakan akibat;

(1). Orang yang memberikan suatu benda yang sebagian atau

seluruhnya milik orang lain.


‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid, hlm. 53.
51

(2). Orang yang memberikan hutang.

(3). Orang yang meniadakan piutang.

2. Unsur-unsur subyektif, yaitu :

a) Maksud yang ditujukan pada :

(1). Menguntungkan dirinya sendiri

(2). Menguntungkan orang lain

b) Dengan melawan hokum

B. Konsepsi Secara Bersama Sama Melakukan Perbuatan Pidana


Berdasarkan Hukum Di Indonesia (KUHP)

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) tidak

memberikan pengertian tentang delik penyertaan/secara bersama-sama

(deelneming delicten), yang ada hanyalah bentuk-bentuk penyertaan baik

sebagai pembuat (dader) maupun sebagai pembantu

(medeplichtige).§§§§§§§§§§§§§§§§§§ Ada yang mengatakan pula bahwa penyertaan

adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang

atau orang-orang baik secara psikis maupun secara pisik dengan melakukan

masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana. Orang-orang

yang terlibat dalam kerjasama yang mewujudkan tindak pidana, perbuatan

masing-masing dari mereka berbeda satu dengan yang lain, demikian juga bisa

tidak sama apa yang ada dalam sikap batin mereka terhadap tindak pidana

maupun terhadap peserta yang lain. Tetapi dari perbedaan-perbedaan tersebut

terjadilah suatu hubungan yang sedemikian rupa eratnya, di mana perbuatan

§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Pasal 55dan 56 Kuhpidana
52

yang satu menunjang perbuatan yang lainnya yang semuanya mengarah pada

terwujudnya suatu tindak pidana.*******************

Kata deelneming berasal dari deelnemen (bahasa belanda) yang di

terjemahkan dengan kata menyertai, dan deelneming diartikan menjadi

penyertaan.††††††††††††††††††† Deelneming dapat diartikan sebagai terwujudnya suatu

tindak pidana yang dilakukan oleh lebih dari satu orang, yang mana antara orang

yang satu dengan yang lainnya terdapat hubungan sikap bathin dan/atau perbuatan

yang sangat erat terhadap terwujudnya tindak pidana tersebut.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Dalam hukum pidana di Indonesia (KUHP), bentuk-bentuk penyertaan terdapat

dan diterangkan dalam pasal 55 dan 56. Pasal 55 mengenai golongan yang disebut

dengan mededader (disebut para peserta atau para pembuat) dan pasal 56

mengenai medeplichtige (pembuat pembantu).

Pasal 55 merumuskan sebagai berikut :

1. Dipidana sebagai pembuat tindak pidana:

a. Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang turut serta

melakukan perbuatan;

b. Mereka yang memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman

atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau

keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan

perbuatan.

*******************
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2002), hlm. 71.
†††††††††††††††††††
Mahrus Ali, Op.Cit, hlm, 122.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Moeljatno, Op.Cit, hlm, 64.
53

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan sengaja yang dianjurkan sajalah

yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

Pasal 56 merumuskan dipidana sebagai pembantu kejahatan sebagai berikut:

a. Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;

b. Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan.§§§§§§§§§§§§§§§§§§§

Dari kedua pasal 55 dan 56 tersebut, dapatlah diketahui bahwa menurut KUHP

penyertaan itu dibedakan dalam dua kelompok yang terdiri dari lima bentuk yaitu:

1. Pertama, kelompok orang-orang yang perbuatannya disebutkan dalam pasal

55 ayat (1), yang dalam hal ini disebut dengan para pembuat (mededader),

adalah mereka:

a. Yang melakukan (pleger);

b. Yang menyuruh melakukan (doen plegen), orangnya disebut dengan

pembuat penyuruh (doenpleger);

c. Yang turut serta melakukan (medeplegen), orangnya disebut dengan

pembuat peserta (medepleger); dan yang sengaja menganjurkan

(uitlokken), yang orangnya disebut dengan pembuat penganjur

(uitlokker).

2. Kedua, yakni orang yang disebut dengan pembuat pembantu

(medeplichtige) kejahatan, yang dibedakan menjadi:

a. Pemberian bantuan pada saat pelaksanaan kejahatan; dan

§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Lamintang P.A.F, hlm, 595.
54

b. Pemberian bantuan pada saat sebelum pelaksanaan

kejahatan.********************

Dengan diketahuinya dua kelompok penyertaan tersebut, maka kini dapatlah

diketahui menurut sistem hukum pidana yang berlaku di Indonesia, bahwa perihal

siapa-siapa yang dapat membuat tindak pidana dan atau terlibat dalam

terwujudnya suatu tindak pidana. Penyertaan (deelneming) terjadi apabila dalam

suatu tindak pidana terlobat lebih dari satu orang sehingga harus dicari

pertanggungjawaban masing-masing orang yang terlibat dalam tindak pidana

tersebut,†††††††††††††††††††† Oleh karena itu dijelaskan bentuk-bentuk penyertaan

sebagai berikut;

1. Mereka yang melakukan/ pelaku (pembuat pelaksana atau pleger)

Pelaku adalah orang yang melakukan seluruh isi delik. Apabila dua

orangbersama-sama melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, sedangkan

pelaku sendiri-sendiri tidak menghasilkan kejahatan itu dapat terjadi “turut

melakukan”.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Sedangkan menurut Memorie van Teolichting (MvT),

Pompe, Hazewinkle, Suringa, Van Hattum, dan Mulyanto bahwasanya yang

dimaksud dengan pelaku adalah tiap orang yang melakukan/ menimbulkan akibat

yang memenuhi rumusan delik. Pelaku (pleger) dikategorikan sebagai peserta hal

ini karena pelaku tersebut dipandang sebagai salah seorang yang terlibat dalam

peristiwa tindak pidana dimana terdapat beberapa orang peserta.§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§


********************
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian III (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada,2002), hlm, 79.
††††††††††††††††††††
Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana,
(Jakarta : Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan, 1995), hlm, 59.
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Soenarto Soerodibroto, KUHP dan KUHAP dilengkapi Yurisprudensi
Mahakamah Agung dan Hoge Raad, (Jakarta :Rajawali Pers, 2009, Ed ke-5),hlm, 52.
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia,
(Jakarta:Rajawali
55

Pleger itu adalah orang yang karena perbuatannya yang melahirkan tindak

pidana itu, tanpa ada perbuatan pembuat pelaksana ini tindak pidana itu tidak

akan terwujud, maka dari sudut ini syarat seorang pleger harus sama dengan

syarat seorang dader.********************* Perbuatan seorang pleger juga harus

memenuhi semua unsur tindak pidana, sama dengan perbuatan seorang dader.

Jadi tampak secara jelas bahwa penentuan seorang pembuat pelaksana ini adalah

didasarkan pada ukuran objektif. Jika demikian apa bedanya pleger ini dengan

dader. Perbedaan pleger dengan dader adalah, bagi seorang pleger masih

diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara psikis, misalnya

terlibat dengan seorang pembuat penganjur, atau terlibat secara fisik, misalnya

dengan pembuat peserta atau pembuat pembantu.

Jadi seorang pleger diperlukan sumbangan dari peserta lain dalam

mewujudkan tindak pidana. Tetapi keterlibatan dalam hal sumbangan peserta

lain ini, perbuatannya haruslah sedemikian rupa sehingga perbuatannya itu tidak

semata-mata menentukan untuk terwujudnya tindak pidana yang dituju. Pembuat

peserta tidaklah mungkin terlibat bersama pembuat penyuruh, karena dalam hal

pembuat penyuruh, pembuat materilnya adalah tidak dapat dipidana. Sedangkan

pembuat peserta dipertanggugjawabkan dan diancam pidana yang sama dengan

dader (pembuat tunggal), dan sama pula dengan bentuk-bentuk penyertaan

lainnya dalam pasal 55 ayat 1 butir 1 KUHP yang disebut dengan

mededader.†††††††††††††††††††††

Pers,2012, Ed ke-1), hlm, 215.


*********************
Adami Chazawi, Loc,Cit, hlm, 82.
†††††††††††††††††††††
Ibid, hlm. 83.
56

2. Mereka yang menyuruh melakukan (pembuat penyuruh: doenpleger)

Undang-Undang tidak menerangkan tentang siapa yang dimaksud yang

menyuruh melakukan itu. Dalam mencari pengertian dan syarat dari orang yang

menyuruh melakukan (doenpleger) banyak ahli hukum merujuk pada keterangan

yang ada didalam MvT WvS Belanda, yang menyatakan bahwa “yang menyuruh

melakukan adalah juga dia yang melakukan tindak pidana akan tetapi tidak secara

pribadi, melainkan perantaraan orang lain sebagai alat dalam tangannya, apabila

orang lain itu berbuat tanpa kesengajaan, kealpaan atau tanpa tanggungjawab

karena keadaan yang tidak diketahui, disesatkan atau tunduk pada kekerasan.

Dari keterangan Memorie van Teolichting (MvT) itu dapat ditarik unsur-

unsur dari bentuk pembuat penyuruh, yaitu;

a. Melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain sebagai alat

didalam tangannya.

Orang yang mengusai orang lain, sebab orang lain itu adalah sebagai

alat, orang inilah sesungguhnya yang mewujudkan tindak pidana.

Sedangkan pembuat penyuruhnya tidak melakukan sesuatu perbuatan aktif,

perbuatan pelaku penyuruh tidak melahirkan tindak pidana.

b. Orang lain itu berbuat:

1) Tanpa kesengajaan;

Perbuatan manus ministra pada kenyataannya telah mewujudkan

tindak pidana, namun tidak ada kesalahan didalamnya, baik karena

kesengajaan maupun kealpaan. Contoh karena alasan tanpa kesengajaan,

seorang pemilik uang palsu menyuruh pembantunya berbelanja di pasar


57

dengan menyerahkan 10 lembar uang yang diketahuinya palsu. Dimana

pembantu tersebut sebagai manus ministra dalam kejahatan mengedarkan

uang palsu. Dalam kejahatan mengedarkan uang palsu, terkandung unsur

kesengajaan. Dalam hal ini, pembantu ini tidak mengetahui tentang uang

palsu yang dibelanjakannya. Keadaan tidak diketahuinya itu yang berarti

pada dirinya tidak ada unsur kesalahan (dalam bentuk kesengajaan).

2) Tanpa kealpaan;

Karena alasan tanpa kealpaan, contohnya seorang ibu membenci

seorang pemulung karena seringnnya mencuri benda-benda yang

diletakkan dipekarangan rumah. Pada suatu hari ia mengetahui pemulung

yang dibencinya itu sedang mencari benda-benda bekas dibawah jendela

rumahnya yang loteng. Untuk membuat penderitaan bagi pemulung itu,

dia menyuruh pembantunya untuk menumpahkan air panas dari atas

jendela dan mengenai pemulung tersebut. Pada diri pembantu tidak ada

kelalaian, apabila telah diketahuinya selama ini bahwa, karena keadaan

tidaklah mungkin ada dan tidak pernah ada orang yang berada dibawah

jendela dan perbuatan seperti itu telah sering pula dilakukannya.

3) Tanpa tanggung jawab, oleh sebab keadaan;

a. Yang tidak diketahuinya;

b. Karena disesatkan;

c. Karena tunduk pada kekerasan.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

Sebagai hal yang juga penting, dari apa yang diterangkan oleh Memorie

van Teolichting (MvT) ialah bahwa jelas orang yang disuruh melakukan itu tidak
‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid, hlm. 85.
58

dapat dipidana, sebagai konsekuensi logis dari keadaan subjektif (batin: tanpa

kesalahan atau tersesatkan) dan atau tidak berdaya karena pembuat materilnya

tunduk pada kekerasan (objektif). Berdasarkan keterangan Memorie van

Teolichting (MvT) tersebut, maka dapatlah disimpulkan bahwa penentuan bentuk

pembuat penyuruh lebih ditekankan pada ukuran objektifnya, ialah kenyataannya

tindak pidana itu dilakukan oleh orang lain yang ada dalam kekuasaannya sebagai

alat, yang dia berbuat tanpa kesalahan dan tanpa tanggugjawab. Walaupun tetap

memperhatikan hal-hal yang ternyata subjektif, yakni dalam hal tidak dipidananya

pembuat materilnya (orang yang disuruh melakukan) karena ia berbuat tanpa

kesalahan, dan dalam hal yang tidak dipertanggungjawabkan karena keadaan batin

orang-orang yang dipakai sebagai alat itu, yakni tidak tahu dan tersesatkan,

sesuatu yang subjektif. Sedangkan alasan karena tunduk pada kekerasan adalah

bersifat objektif.§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§

3. Orang yang turut serta (Medepleger)

Medepleger menurut Memorie van Teolichting (MvT) adalah orang yang

dengan sengaja turut berbuat atau turut mengejakan terjadinya sesuatu. Oleh

karena itu, kualitas masing-masing peserta tindak pidana adalah sama.

Syarat adanya medepleger:

a. Ada kerjasama secara sadar. kerjasama dilakukan secara sengaja untuk

bekerja sama dan ditujukan kepada hal yang dilarang undang-undang.

b. Ada pelaksanaan bersama secara fisik, yang menimbulkan selesainya delik

yang bersangkutan.

4. Penganjur (Uitlokker)
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Ibid, hlm. 86.
59

Penganjur adalah orang yang menggerakkan orang lain untuk melakukan

suatu tindak pidana dengan menggunakan sarana-sarana yang ditentukan oleh

2 undang-undang secara limitatif, yaitu memberi atau menjanjikan sesuatu,

menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, kekerasan, ancaman, atau

penyesatan, dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan (Pasal 55

(1) angka 2).

Penganjuran (uitloken) mirip dengan menyuruhlakukan (doenplegen),

yaitu melalui perbuatan orang lain sebagai perantara. Namun perbedaannya

terletak pada:

a. Pada penganjuran, menggerakkan dengan sarana-sarana tertentu (limitatif)

yang tersebut dalam undang-undang (KUHP), sedangkan menyuruh

lakukan menggerakkannya dengan sarana yang tidak ditentukan.

b. Pada penganjuran, pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan, sedang

dalam menyuruhkan pembuat materiel tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Syarat penganjuran yang dapat dipidana:

1) Ada kesengajaan menggerakkan orang lain

2) Menggerakkan dengan sarana/upaya seperti tersebut limitatif dalam

KUHP

3) Putusan kehendak pembuat materiel ditimbulkan karena upaya-upaya

tersebut.

4) Pembuat materiel melakukan/mencoba melakukan tindak pidana yang

dianjurkan
60

5) Pembuat materiel dapat dipertanggungjawabkan Penganjuran yang gagal

tetap dipidana berdasarkan Pasal 163 bis KUHP.

5. Pembantuan (Medeplichtige)

Mengenai hal pembantuan diatur dalam 3 pasal, yakni pasal 56, 57 dan

60. Pasal 56 merumuskan tentang unsur obyektif danunsur subyektif

pembantuan serta macamnya bentuk pembantuan. Sedangkan Pasal 57 KUHP

merumuskan tentang batas luasnya pertanggungjawaban bagi pembuat

pembantu. Dan Pasal 60 mengenai penegasan pertanggungjawaban

pembantuan hanyalah pada pembantuan dalam hal kejahatan, dan tidak dalam

hal pelanggaran.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 56 KUHP, pembantuan ada dua

jenis yaitu :

a. Pembantuan pada saat kejahatan dilakukan. Cara bagaimana

pembantuannya tidak disebutkan dalam KUHP, dan ini mirip dengan turut

serta (medeplegen);

b. Pembantuan sebelum kejahatan dilakukan yang dilakukan dengancara

memberi kesempatan, sarana atau keterangan. Dan ini mirip dengan

penganjuran (uitlokking).
61

BAB III

PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA SECARA BERSAMA


SAMA MELAKUKAN PEMERASAN DAN UPAYA
PENANGGULANGANNYA

A. Faktor Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Secara Bersama-sama


Melakukan Pemerasan

Tindak pidana secara bersama – sama melakukan pemerasan bisa terjadi

dan disebabkan adanya beberapa faktor yang mendorong seseorang atau lebih

dalam melakukan suatu kejahatan tersebut. Berikut ini adalah teori-teori yang

memberikan penjelasan tentang sebab-sebab pelaku melakukan kejahatan :

1. Teori Aypological atau Bio Tyhological

Teori ini beranggapan bahwa orang jahat dan bukan orang jahat dapat

dibedakan berdasarkan bentuk-bentuk kejahatannya, karakter tertentu dari

kepribadian yang cenderung mendorong mereka melakukan kejahatan. Penganut

teori ini ada tiga, yaitu :

a) Teori Lambrosso

Teori ini dipelopori oleh seorang profesor ilmu kedokteran forensik yang

bernama Cecaro Lambrosso yang mendapat julukan Bapak Kriminologi Modern.

Ia menggemukakan bahwa para penjahat dipandang dari sudut antropologi

mempunyai tanda-tanda tertentu, tengkoraknya mempunyai kelainan, dahi dan

rahangnya menonjol, roman mukanya yang lain daripada orang biasa ataupun

hidung yang biasa bengkok. Yang pada pokoknya penjahat dipandang suatu jenis

manusia terssendiri yang semenjak lahirnya adalah penjahat.


62

Lambrosso mengklasifikasikan penjahat kedalam empat golongan

yaitu :**********************

1) Born Criminal yaitu orang berdasarkan penjahat yang dilahirkan;

2) Insane Criminal yaitu orang-orang yang tergolong kedalam kelompok

idiot; embisiil atau paranoid;

3) Occasional Criminal atau Criminaloid yaitu pelaku kejahatan

berdasarkan pengalaman terus menerus sehingga mempengaruhi

pribadinya;

4) Criminal Of Passion yaitu pelaku penjahat yang melakukan

tindakannya karena marah, cinta atau karena kehormatan.

b) Teori Mental Testers (ahli-ahli tes kejiwaan)

Menurut teori ini, sebab-sebab orang itu jahat karena orang tersebut

memiliki IQ yang sangat rendah, mengakibatkan orang-orang tersebut tidak bisa

menilai akibat tingkah lakunya dan tidak bias menghargai undang-undang

sebagaimana mestinya. Pelopor teori ini adalah Goddard dengan kesimpulannya

bahwa semua orang-orang tolol adalah penjahat.

c) Teori Psichitric (ahli penyakit jiwa)

Menurut teori ini orang menjadi jahat karena adanya gangguan jiwa

seperti perasaan frustasi, keadaan terganggu dan gangguan jiwa lainnya. Tokoh

terkemuka dari teori ini adalah Sigmund Freund yang menitikberatkan ajarannya

pada frustasi dan alam tak sadar. Tiga prinsip dasar kalangan psikologi dalam

mempelajari kejahatan, yaitu :

**********************
Topo Santoso, Kriminologi Cetakan Ketiga, (Jakarta: PT
Grafindo Persada, 2003), hlm, 12.
63

1) Tindakan dan tingkah laku orang dewasa dapat dipahami dengan

melihat pada perkembangan masa kanak-kanak mereka;

2) Tingkah laku dan motif-motif bawah sadar adalah jalin menjalin, dan

interaksi;

3) Kejahatan pada dasarnya merupakan representasi dari konflik

psikologis.

2. Teori Geografis

Teori ini terutama memikirkan mula-mula dengan distribusi kejahatan di

dalam lingkungan tertentu dan wilayah-wilayah itu secara geografis dan

sosiologis dengan kata lain kejahatan merupakan suatu ekspresi dari kondisi-

kondisi sosial. Ajaran menyatakan bahwa kejahatan adalah adanya konflik antara

nilai-nilai dan mencapai puncaknya bila norma-norma yang ada tidak dapat

mengatur lagi tingkah laku anggota masyarakat yang mempunyai kondisi

ekonomi lemah di dalam suatu daerah geografis daerah tertentu, seperti misalnya

daerah yang terkenal karena banyaknya pencurian ternak, daerah menonjol

karena pembunuhan dan lain-lain. Daerah “slum” (daerah miskin) di kota-kota

besar dianggap juga sangat menonjol dilihat dari banyaknya kejahatan yang

dilakukan oleh orang-orang yang berasal dari daerah “slum” itu.

Teori ini dipelopori oleh Quetlet dan A.M.Guery dari perancis yang

menyimpulkan bahwa kemiskinan, kemelaratan dan perlakuan sewenang-wenang

dari golongan ekonomi kuat menyebabkan timbulnya kejahatan.

3. Teori Sosiologi
64

Dalam teori ini paling banyak memiliki variasi dalam menganalisa

kejahatan dengan meneliti sebab-sebab kejahatan di dalam lingkungan

masyarakat.

Teori-teori dengan karyanya masing-masing yaitu :

a) A. Lacassagne dengan teori lingkungan, memberi kesempatan sebagai

penyebab dapat dilakukannya suatu kejahatan, jadi bila keadaan di dalam

masyarakat memberi kesempatan maka dalam masyarakat tersebut akan

timbul kejahatan bila ada kesempatan.

b) Gabriel Tarde dan Imitation Theory (teori imitasi), bahwa dapat

diterangkan dalam arti pikiran yang saling berpengaruh mempengaruhi

melalui dorongan untuk meniru dan dalam tingkah laku criminal. Ia

berpendapat bahwa kejahatan meluas dari seseorang kepada orang lain

melalui proses tiru-meniru. Teori ini disebut lingkungan yang memberi

teladan.

c) W.A. Bonger menganggap bahwa kenaikan harga pokok membuat orang-

orang pengangguran dan berpenghasilan rendah tidak mampu membeli

makanan pokok sehingga terpaksa berbuat jahat. ††††††††††††††††††††††

Selanjutnya Bonger dengan penelitian-penelitiannya menyimpulkan ada

tujuh faktor lingkungan sebagai sebab kejahatan, yaitu:

1)Terlantarnya anak-anak

2)Kesengsaraan

3)Nafsu ingin memilliki

††††††††††††††††††††††
Ninik Widianti, Kejahatan Dalam Masyarakat Dan
Pencegahannya, (Jakarta: Bina Aksara : 1987), hlm. 59.
65

4)Demoralisasi seksual

5)Alkoholisme

6)Kurangnya peradaban

7)Perang

d) Sutherland dengan teorinya Differen Assosiation (lingkungan pergaulan

yang berbeda-beda).‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡ Dasar teori ini adalah bahwa

kejahatan berakar dalam masyarakat dan kejahatan itu merupakan

pencerminan daripada atau organisasi masyarakat. Sedangkan pergaulan-

pergaulan itu berbeda-beda dan sangat dipengaruhi oleh keadaan

lingkungannya sendiri. Sutherland memberikan perincian proses dimana

seseorang tertentu bertindak atau berbuat sesuatu berdasarkan pada

sembilan (9) dalil, yaitu:§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§

(1). Tingkah laku kriminal dipelajari.

(2). Tingkah laku kriminal dipelajari dalam interaksi dengan orang lain

dalam proses komunikasi.

(3). Bagian terpenting dari mempelajari tingkah laku kriminal itu terjadi

di dalam kelompok-kelompok orang yang intim/dekat.

(4). ketika tingkah laku kriminal dipelajari, pembelajaran itu termasuk :

a) Teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang sangat

sulit, kadang sangat mudah.

b) Arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan,

rasionalisasi-rasionalisasi, dan sikap-sikap.


‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Topo Santoso, Op.Cit, hlm. 74-75.
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Romli Atmasasmita, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi, (PT
Eresco, Bandung : 1992), hlm.14-15.
66

(5). Arah khusus motif-motif dan dorongan-dorongan itu dipelajari

melalui definisi-definisi dari aturan-aturan hukum apakah ia

menguntungkan atau tidak.

(6). Seseorang menjadi delinquet (pelanggar hukum) karena definisi-

definisi yang menguntungkan untuk melanggar hukum lebih dari

definisi-definisi yang tidak menguntungkan untuk melanggar hukum.

(7). Asosiasi differential itu mungkin bermacam-macam dalam

frekuensi/kekerapannya, lamanya, prioritasnya, dan intensitasnya.

(8). Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui asosiasi dengan

pola-pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme

yang ada disetiap pembelajaran lain.

(9). Walaupun tingkah laku kriminal merupakan ungkapan dari

kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, tingkah laku kriminal itu

tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum

tersebut, karena tingkah laku non kriminal juga ungkapan dari

kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai yang sama.

Menurut Sutherland, bahwa beliau mencari kesimpulan umum bahwa

suatu keadaan konkrit (seperti kerusakan genetik) tidak dapat menjadi sebab dari

kejahatan dan bahwa satu-satunya cara untuk mendapatkan penjelasan tentang

sebab dari perilaku kejahatan adalah dengan cara menariknya dari kondisi-kondisi

nyata yang beragam yang secara universal diassosiasikan sebagai kejahatan.

Berbicara mengenai penyebab terjadinya suatu tindak pidana atau

kejahatan maka hal utama yang harus dipelajari adalah tindak pidana atau
67

kejahatan dari berbagai aspek, sehingga diharapkan dapat mengenal fenomena

kejahatan dengan lebih baik***********************.

Menurut Kristian dan Yopi Gunawan dalam bukunya, terjadinya tindak

pidana pemerasan disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut ini,

yaitu :†††††††††††††††††††††††

1. Adanya ketidakpastian pelayanan sebagai akibat dari prosedur pelayanan

yang panjang dan melelahkan sehingga masyarakat menyerah ketika

berhadapan dengan pelayanan publik yang korup.

2. Penyalahgunaan wewenang, jabatan atau kewenangan yang ada/melekat

pada seseorang, membuat orang tersebut dapat melakukan tindakan

pemerasan untuk mencapai tujuan tertentu.

3. Faktor ekonomi, penghasilan yang tidak mencukupi kebutuhan hidup atau

tidak sebanding dengan pendapatan yang dihasilkan mendorong seseorang

untuk melakukan pemerasan yang kadang disertai ancaman.

4. Faktor kultural dan budaya lingkungan sekitar yang terbentuk dan berjalan

terus menerus di suatu lingkungan menyebabkan pemerasan menjadi suatu

hal yang biasa.

5. Terbatasnya sumber daya manusia, membuat seseorang melakukan cara-

cara yang tidak sesuai aturan untuk mendapatkan keinginannya.

6. Lemahnya sistem kontrol dan pengawasan oleh masyarakat.

***********************
I.S Susanto, Kriminilogi, Genta Publishing, (Yogyakarta: 2011)
, hlm. 2.
†††††††††††††††††††††††
Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi, Kajian
Terhadap Harmonisasi antara Hukum Nasional dan The United Nations Conventions
Againts Corruption (UNCAC), (Refika Aditama, Bandung : 2015), hlm. 48.
68

Selain itu, ada beberapa hal yang menunjang terjadinya tindak pidana

pemerasan dalam masyarakat yakni karena beberapa hal sebagai

berikut:‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

1. Lemahnya pendidikan agama dan etika;

2. Kurangnya pendidikan etika dan moral;

3. Tidak adanya sanksi yang keras dan tegas;

4. Keadaan lingkungan dan masyarakat yang mendukung untuk terjadinya

tindak pidana pemerasan disertai dengan ancaman.

Perbuatan pidana disamakan dengan istilah di inggris yakni criminal act

yang berarti akibat dari suatu kelakuan yang dilarang oleh hukum, dimana crimal

act tersebut dipisahkan dari pertanggung jawaban pidana (responsibility). Untuk

adanya resposibilty (untuk dapat dipidananya seseorang) selain melakuakan

criminal act (perbuatan pidana) orang itu juga harus mempunyai kesalahan.

Berdasarkan berbagai penjelasan tentang tindak pidana, maka dapat di simpulkan

bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang melanggar hukum, baik sengaja

atau tidak yang mengakibatkan pembuatnya dapat dipidana.§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§

Dari banyaknya keterangan yang tertera diatas , penulis menjelaskan

faktor – faktor utama penyebab terjadinya tindak pidana secara bersama-sama

melakukan pemerasan adalah sebagai berikut :

a. Faktor Ekonomi

Pada umumnya keterbelakangan ekonomis dengan kebiasaan

buruk dari kebudayaan “kemiskinan” itu menumbuhkan keterbelakangan

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid, hlm. 57.
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Moeljatno, Loc.Cit, hlm. 6.
69

mental pada kelompok-kelompok masyarakat miskin. Faktor ekonomi

merupakan salah satu penyebab seseorang melakukan kejahatan

pemerasan. Faktor penyebab tersebut tentu menimbulkan keterkaitan

dengan kondisi dari si pelaku/penjahat itu sendiri, yaitu dengan melihat

latar belakangnya.

b. Faktor Lingkungan

1) Lingkungan Keluarga

Keluarga adalah kelompok terkecil dalam masyarakat dan merupakan

tempat menerima kasih sayang antara ayah, ibu, dan anak-anak.

Keluarga merupakan peletak dasar terbentuknya kepribadian seseorang.

Keluarga yang tidak harmonis (broken home), merupakan salah satu

faktor penyebab seseorang melakukan tindak kejahatan, hal ini

disebabkan oleh kurangnya bimbingan dan pengarahan dari orang

tuanya. Hal inilah yang menyebabkan seseorang yang keluarganya tidak

harmonis tersebut mencari pelarian atau perhatian ke dalam hal-hal

yang negatif.

2) Lingkungan Sosial

Pengertian lingkungan yang penulis maksud disini adalah pengertian

dalam pengertian sempit, yaitu hubungan antara manusia yang satu

dengan manusia yang lainnya (interaksi sosial). Seorang filsuf Yunani

bernama Aristoteles mengemukakan bahwa manusia adalah zoon

politican atau makhluk soial, artinya bahwa dalam kehidupannya

senantiasa mengadakan interaksi/hubungan dengan sesama manusia


70

satu dengan manusia yang lainnya. Suatu hal yang mustahil apabila

manusia itu dapat hidup tanpa mengadakan hubungan sosial dengan

sesamanya dalam memenuhi kehidupan sehari-hari. Sebagai akibat dari

hubungan inilah kepribadian seseorang akan terbentuk sesuai dengan

keadaan dan kondisi lingkungannya, sehingga dapat dikatakan bahwa

kejahatan itu terjadi karena dipelajari atau dicontoh dalam lingkungan

masyarakat dimana si penjahat itu hidup/berada. Apabila seseorang

dalam kehidupan sehari-harinya bergaul dengan seorang penjahat, maka

kemungkinan besar orang tersebut akan menjadi penjahat sehingga

nilai-nilai yang dimiliki oleh si penjahat itulah yang ditirunya.

B. Upaya Penanggulangan Tindak Pidana Secara Bersama-Sama Melakukan


Pemerasan

Terkait dengan perkara kasus kejahatan secara bersama-sama melakukan

pemerasan, penulis akan memberikan beberapa upaya penanggulangan tindak

pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan yang didapat dari beberapa

jurnal dengan kasus pemerasan. Sejauh ini, pemerintah dan aparat penegak

hukum serta instansi yang terkait telah banyak mengeluarkan peraturan-peraturan,

kebijaksanaan serta pedoman dalam usaha menanggulangi kejahatan yang terjadi

dalam masyarakat.

Peran dan fungsi Kepolisian dalam mewujudkan suatu masyarakat adil

dan makmur yang merata materil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan

UndangUndang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam wadah Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat dan berkedaulatan


71

rakyat dalam suasana prikehidupan bangsa yang aman, tentram, tertib dalam

lingkungan pergaulan dunia yang bersahabat dan damai. Pelayanan yang

diberikan Polri kepada masyarakat yaitu dengan cara menerima laporan dan

pengaduan apapun dari masyarakat dalam waktu 1x24 jam, Polri secara langsung

telah memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat dalam menjalankan

segala aktifitasnya sehari-hari.************************

Upaya-upaya penanggulangan tindak pidana secara bersama-sama

melakukan pemerasan dapat dilakikan dengan dua cara yaitu cara preventif

(pencegahan) dan represif (penindakan).

1. Upaya Preventif ( Pencegahan )

Upaya preventif adalah upaya pencegahan yang berarti bahwa polisi itu

berkewajiban melindungi negara beserta lembaga-lembaganya, ketertiban

dan keamanan umum, orang-orang dan harta bendanya, dengan jalan dan

perbuatanperbuatan lainnya yang ada pada hakikatnya dapat mengancam

dan membahayakan ketertiban dan ketentraman umum.††††††††††††††††††††††††

Fungsi preventif berbicara mengenai upaya polisi untuk mencegah

bertemunya unsur niat (N) dan unsur kesempatan (K). Usaha ini dilakukan

dengan melakukan kegiatan-kegiatan berupa mengatur, menjaga,

mengawal, dan patrol serta penggelaran razia-razia. Kebijakan kepolisian

yang selama ini hanya bersifat reaktif tidak membawa dampak yang

************************
Untung S. Rajab, Kedudukan dan Fungsi Polisi Republik Indonesia
Dalam SistemKetatanegaraan (Berdasarkan UUD 1945), (Bandung: CV. Utomo, 2003), Hlm. 1.
††††††††††††††††††††††††
Ibid , Hlm. 162.
72

berarti terhadap kecemasan terhadap terjadinya

kejahatan.‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

a) Melakukan penyuluhan kepada pengusaha serta para pemuda agar tidak

memberikan pungutan-pungutan diluar ketentuan yang telah berlaku.

b) Mengadakan patroli di sekitar wilayah hukum Polda Sumut, di mana

dari masing-masing Polres bekerja berdasarkan wilayahnya masing-

masing.

c) Penempatan anggota kepolisian di tempat-tempat yang memang di

curigai sebagai daerah yang rawan kejahatan seperti kejahatan

pemerasan.

d) Upaya yang dilakukan oleh masyarakat, dapat memberikan laporan

kepada pihak kepolisian apabila menjadi korban ataupun melihat

terjadinya kejehatan pemerasan.

Peran kepolisian dapat dikatakan sebagai aspek kedudukan yang

berhubungan dengan kedudukanya yaitu sebagai pelindung

masyarakat.§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§

2. Upaya Represif (penindakan)

Upaya represif merupakan upaya penanggulangan kejahatan secara

konsepsional yang ditempuh setelah terjadinya kejahatan. Upaya ini dilakukan

setelah terjadi kejahatan di masyarakat, atau upaya-upaya yang merupakan tindak

lanjut terhadap kejahatan yang terjadi. Tujuan utamanya adalah agar seorang

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Mahmud Mulyadi, Kepolisian Dalam Sistem Peradailan Pidana,
(Medan:USU Press, 2009), Hlm. 31.
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia.
73

pelaku kejahatan pada umumnya dan kejahatan pemerasan pada khususnya tidak

lagi mengulangi perbuatannya. Upaya represif ini merupakan upaya

penanggulangan kejahatan kekerasan yang terjadi. Upaya represif yang dapat

dilakukan untuk menanggulangi kejahatan dapat berupa :

a) Melakukan penangkapan terhadap para pelaku pemerasan.

b) Memberikan hukuman kepada para pelaku kejahatan pemerasan.

c) Memberikan penyuluhan hukum, agama, moral, dan etika.

d) Memberikan pembinaan dan latihan keterampilan sebagai modal agar

mereka bisa hidup.

Pihak kepolisian melakukan upaya represif dengan cara menerapkan

hukum malalui proses penyidikan terhadap sipelaku, yang kemudian berita

acara pemeriksaannya akan diserahkan kepada tingkat kejaksaan untuk

diproses di pengadilan, selama proses pengadilan ini, pihak kepolisian berhak

bertanggungjawab penuh kepada para pelaku kejahatan pada umumnya dan

para pelaku kejahatan pemerasan pada khususnya.

Selain upaya yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Sumatera Utara

selaku pihak penegak hukum. Upaya yang harus dilakukan oleh masyarakat

dalam membantu penanganan untuk mencegah terjadinya pemerasan adalah

dengan cara :

1. Membentuk satgas demurrage yang terdiri atas Tim Lidik Lapangan, Tim

Intelijen Keuangan (back-up oleh tim money loundry Mabes Polri), Tim

Survilance,

2. Mendirikan posko satgas yang memonitor khusus penyelidikan,


74

3. Melaksanakan patroli rutin guna memantau penyelidikan,

4. Melakukan penegakan hukum guna menciptakan deterence (efek jera),

5. Melakukan pembenahan secara sitematik terhadap peraturan serta

mekanisme dan dalam hal pelayanan jasa masyarakat,

6. Penguatan fungsi otoritas keamanan sebagai regulator untuk mencegah

adanya deviasi dilingkungan,

7. Peningkatan fungsi dan fasilitas pengawasan berbasis IT (CCTV

terintegrasi / sistem online), dan

8. Revitalisasi pelayanan satu atap.

Upaya atau kebijakan untuk melakukan pencegahan dan penanggulangan

suatu tindak pidana termasuk ke dalam bidang kebijakan kriminal (criminal

policy). Kebijakan kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas,

yaitu kebijakan social (social policy) yang terdiri dari kebijakan atau upaya-upaya

untuk kesejahteraan social (social welfare policy) dan kebijakan atau upaya-

upaya untuk perlindungan masyarakat (social defence policy).*************************

Kebijakan penanggulangan kejahatan atau yang biasa dikenal dengan

isitilah “politik kriminal” dapat meliputi ruang lingkup yang cukup

luas.††††††††††††††††††††††††† G. Peter Hoefnagels menyatakan bahwa upaya

penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan :

a. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

b. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan

*************************
Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan
Penanggulangan
Kejahatan, (PT. Citra Aditya Bakti, bandung : 2010), hlm. 73.
†††††††††††††††††††††††††
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Op.Cit.,hlm, 45.
75

c. Memengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan

pemidanaan lewat mass media (influencing views of society on crime

and punishment/mass media)‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡

‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡‡
Ibid.
76

BAB IV

PENERAPAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK


PIDANA SECARA BERSAMA SAMA MELAKUKAN PEMERASAN
DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MEDAN NO.
2534/PID.B/2018/PN.MDN

A. Putusan Pengadilan Negeri Medan No 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn

Putusan Hakim dalam suatu perkara di dasarkan pada pertimbangan -

pertimbangan tertentu yang digunakan demi adilnya putusan terhadap perkara

tersebut. Hakim harus mempertimbangakan banyak hal terlebih dahulu sebelum

membuat keputusan yang sifatnya final dan mempunyai kekuatan hukum.

Terkait dengan usaha penanggulangan kejahatan yang telah dijelaskan

sebelumnya, usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada

hakikatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya

penegakan hukum pidana).

Pengaturan tindak pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan

dimuat dalam KUHP dan merupakan salah satu sarana penal untuk

menanggulangi tindak pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan itu

sendiri. Dikarenakan tindak pidana pemerasan dan pengancaman merupakan

suatu tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan diri si pelaku

dengan melawan hak dengan cara memaksa orang lain dengan kekerasan atau

ancama kekerasan supaya orang tersebut memberikan barang yang merupakan

kepunyaan orang yang dipaksa tersebut, atau untuk membuat utang atau

menghapuskan piutang merupakan delik yang diatur dalam KUHP, maka sudah

pasti delik tersebut menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan pelaku nya
77

sudah tentu diberikan sanksi, yang mana dalam Pasal 368 pelaku tindak pidana

pemerasan dengan pengancaman dihukum pidana penjara selama-lamanya

sembilan bulan.

Dari beberapa penjelasan sebelumnya penulis akan memaparkan studi

kasus tentang pelaku tindak pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan

yang merupakan bahan studi perkara dalam penulisan skripsi ini yaitu Putusan

Nomor 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn, adapun pemaparan kasus beserta penerapan

hukum pidana materil yang dilakukan oleh jaksa maupun hakum, akan penulis

jelasakan dari kasus tindak pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan

adalah sebagai berikut :

1. Kronologi Kasus

Kasus tindak pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan ini terjadi

di Kota Medan, Sumatera Utara. Perkara ini diputuskan di Pengadilan Negeri

Medan sesuai tempat terjadinya perkara. Adapun kronologi kasus yang terjadi

berdasarkan perkara yang terdapat dalam Putusan Nomor

2534/Pid.B/2018/PN.Mdn adalah sebagai berikut :

Bahwa pada hari Kamis tanggal 02 Agustus 2018 sekira pukul 14.00 Wib

atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Agustus 2018, bertempat di

toko KAPUAS yang terletak di Jln. Rahmadsyah/ Japaris No. 50 A Kel. Kota

Matsum III Kec. Medan Kota atau setidak-tidaknya disuatu tempat lain yang

masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan. terdakwa

AGUS RAHIM bersama dengan SUDARWAN als KUNANG, dan FAISAL

RAHMAN als MAMAN masuk kedalam toko milik saksi korban Latif yang
78

bernama TOKO KAPUAS, kemudian terdakwa mengatakan kepada saksi Latif

bahwa terdakwa selaku pemuda sekitar ingin meminta uang untuk jaga malam di

sekitar Jl. Rahmadsyah / Japaris, kemudian saksi korban Latif tidak mau

memperdulikan atas permintaan terdakwa tersebut, kemudian terdakwa

mengatakan “APABILA TIDAK MENYERAHKAN UANG JAGA MALAM,

MAKA KEAMANAN TERHADAP TOKO KOKO AKAN DIGANGGU

OLEH OKNUM – OKNUM YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB DAN

KEAMANAN TERHADAP TOKO KOKO TIDAK AKAN TERJAMIN,

sehingga atas penyataan tersebut saksi korban Latif merasa takut terancam

terhadap keamanan toko saksi Latif sehingga akhirnya saksi korban Latif

menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa sebesar Rp 50.000,- (lima puluh

ribu rupiah) dan terdakwa juga menyerahkan 1 (satu) lembar kwitaasi tanda

terima uang dengan stempel PEMUDA PANCASILA KOTA MATSUM III.

terdakwa melakukan pengutipan uang tersebut karena terdakwa disuruh oleh

paman terdakwa yang bernama CALEX, uang hasil pengutipan tersebut akan

diberikan CALEX kepada terdakwa, saksi Sudarwan als Kunang dan saksi

Faisal Rahman als Maman sebesar Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu

rupiah), Bahwa pada pukul 15.00 Wib berdasarkan informasi masyarakat

bahwa ada pengutipan uang kepada pemilik toko- toko yang berada dijalan

Rahmadsyah Kel. Kota Matsum III Kec. Medan Kota sehingga saksi Tonny

Purba, SH., saksi Zul Hizri, SH., saksi Isherianto (selaku polisi pada

Polrestabes Medan) langsung menuju tempat kejadian di Jalan Radmasyah

depan toko Gg. Kemala Kel. Kota Matsum III, Kec. Medan Kota menangkap
79

terdakwa, saksi SUDARWAN als KUNANG, dan FAISAL RAHMAN als

MAMAN dan mengamankan barang bukti lalu membawanya ke Polrestabes

Medan untuk diproses lebih lanjut.

2. Dakwaan

Surat Dakwaan Adalah suatu-surat atau akte (acte van verwizing) yang

memuat urain perbuatan atau fakta-fakta yang terjadi, uraian yang akan

menggambarkan atau menjelaskan unsur-unsur yuridis dari pasal-pasal tindak

pidana yang dilanggar.

Surat dakwaan ada 5 (lima) jenis yaitu surat dakwaan tunggal , alternatif,

subsidair, komulatif, dan kombinasi. Adapun surat dakwaan yang diajukan

penuntut umum dalam kasus ini yaitu surat Dakwaan Tunggal. Dakwaan Tunggal

yang dimaksud adalah surat yang menyatakan atau menerangkan hanya satu

tindak pidana yang didakwakan, karena tidak terdapat kemungkinan untuk

mengajukan alternatif atau dakwaan pengganti lainnya. Bentuk ini dipergunakan

apabila tindak pidana yang dilakukan bersifat tunggal, tidak terdapat alternatif

lain maupun kemungkinan membuat dakwaan pengganti. Surat dakwaan Tunggal

ini didakwakan kepada terdakwa pelaku tindak pidana secara bersama-sama

melakukan pemerasan Abdul Rahim terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh

terdakwa yang dibicarakan pada persidangan dihadapan Hakim Pengadilan

Negeri Medan sebagai berikut :

..... Bahwa terdakwa AGUS RAHIM bersama dengan SUDARWAN

als KUNANG, dan FAISAL RAHMAN als MAMAN (dilakukan dalam

penuntutan terpisah) Pada hari Kamis tanggal 02 Agustus 2018 sekira pukul
80

14.00 Wib atau setidak-tidaknya pada suatu waktu dalam bulan Agustus 2018,

bertempat di toko KAPUAS yang terletak di Jln. Rahmadsyah/ Japaris No. 50 A

Kel. Kota Matsum III Kec. Medan Kota atau setidak-tidaknya disuatu tempat lain

yang masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Medan “

dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan

melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,

supaya orang itu memberikan barang yang sama sekali atau sebagiannya

termasuk kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat utang atau

menghapuskan piutang" Perbuatan mana dilakukan terdakwa dengan cara

sebagai berikut :

Bahwa awalnya pada waktu dan tempat tersebut diatas terdakwa dan

tidak berapa lama kemudian disusul oleh saksi Sudarwan als Kunang dan

saksi Faisal Rahman als Maman masuk kedalam toko milik saksi korban Latif

yang bernama TOKO KAPUAS, kemudian terdakwa mengatakan kepada saksi

Latif bahwa terdakwa selaku pemuda selaku pemuda sekitar ingin meminta uang

untuk jaga malam di sekitar Jl. Rahmadsyah / Japaris, kemudian saksi korban

Latif tidak mau memperdulikan atas permintaan terdakwa tersebut, kemudian

terdakwa mengatakan “APABILA TIDAK MENYERAHKAN UANG JAGA

MALAM, MAKA KEAMANAN TERHADAP TOKO KOKO AKAN

DIGANGGU OLEH OKNUM – OKNUM YANG TIDAK BERTANGGUNG

JAWAB DAN KEAMANAN TERHADAP TOKO KOKO TIDAK AKAN

TERJAMIN, sehingga atas penyataan tersebut saksi korban Latif merasa takut

terancam terhadap keamanan toko saksi Latif sehingga akhirnya saksi


81

korban Latif menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa sebesar Rp 50.000,-

(lima puluh ribu rupiah) dan terdakwa juga menyerahkan 1 (satu) lembar kwitaasi

tanda terima uang dengan stempel PEMUDA PANCASILA KOTA

MATSUM III. Apabila saksi korban Latif tidak memberikan uang maka saksi

Faisal Rahman als Maman masuk kedalam toko dan selanjutnya pemilik

toko memberikan uang kepada terdakwa, selain itu saksi Faisal Rahman als

Maman menunjukkan toko dan ruko yang akan diminta uangnya sedangkan

saksi Sudarwan als Kunang mengikuti terdakwa saja. Bahwa terdakwa, saksi

Sudarwan als Kunang dan saksi Faisal Rahman als Maman bukan petugas jaga

malam atau tidak termasuk dalam anggota Lembaga Pemberdayaan

Masyarakat (LPM) yang dibentuk pada tanggal 03 September 2010 sesuai

dengan Surat Camat Medan Kota Nomor: 188.342/10/SK/MK/IX/2010 namun

dari anggota organisasi Pemuda Pancasila, terdakwa melakukan pengutipan uang

tersebut karena terdakwa disuruh oleh paman terdakwa yang bernama CALEX,

uang hasil pengutipan tersebut akan diberikan CALEX kepada terdakwa,

saksi Sudarwan als Kunang dan saksi Faisal Rahman als Maman sebesar Rp.

150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah), Bahwa pada pukul 15.00 Wib

berdasarkan informasi masyarakat bahwa ada pengutipan uang kepada

pemilik toko- toko yang berada dijalan Rahmadsyah Kel. Kota Matsum III Kec.

Medan Kota sehingga saksi Tonny Purba, S.H., saksi Zul Hizri, S.H., saksi

Isherianto (selaku polisi pada Polrestabes Medan) langsung menuju tempat

kejadian di Jalan Radmasyah depan toko Gg. Kemala Kel. Kota Matsum III,

Kec. Medan Kota menangkap terdakwa, saksi SUDARWAN als KUNANG, dan
82

FAISAL RAHMAN als MAMAN dan mengamankan barang bukti lalu

membawanya ke Polrestabes Medan untuk diproses lebih lanjut, Bahwa pada saat

dilakukan penangkapan disita dari terdakwa yaitu uang sebesar Rp. 365.000,-

(tiga ratus enam puluh lima ribu rupiah), 2 (dua) lembar kwitansi, 1 (satu) blok

kwitansi, dan 1 (satu) buah tas warna hitam.

-------- Perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana pasal

368 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

3. Keterangan Saksi

Pengaturan mengenai keterangan saksi diatur dalam Pasal 185 ayat (2)

KUHAP, “keterangan seorang saksi sajatidak cukup untuk membuktikan bahwa

terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”. Dari adanya

hal tersebut maka dalam upaya pembuktiannya JPU harus mendapatkan

keterangan dari saksi yang jumlahnya lebih dari satu. Sehingga hakim dapat

mendengarkan dan mempertimbangkan keterangan yang muncul dari setiap saksi

untuk dinilai kesesuaiannya antara yang satu dengan yang lain. Karena dalam

Pasal 185 ayat (4) dibahas mengenai keterangan beberapa saksi yang berdiri

sendiri dalam persidangan, tanpa adanya hubungan antara yang satu dengan yang

lain, yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan

tertentu, sangatlah tidak berguna. Karena apabila kesaksian yang diberikan adalah

yang sesungguhnya seharusnya terdapat benang merah yang dapat disimpulkan

sebagai bukti terjadinya tindak pidana yang didakwakan kepada

terdakwa.§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§§
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan
Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali), Sinar Grafika, (Jakarta : 2000), hlm. 286-289.
83

Para saksi yang dihadirkan dalam persidangan untuk dimintai

keterangannya sehubungan dengan tindak pidana yang didakwakan terhadap

terdakwa Abdul Rahim adalah sebagai berikut :

1) Saksi LATIF;

2) Saksi MULYATI;

3) Saksi ISHERIANTO;

4) Saksi ZUL HIZRI, SH;

5) Saksi ROMI YUDISTIRA, SH;

6) Saksi FRENGKI SIANIPAR;

7) Saksi S. RAJA GUKGUK, SH;

8) Saksi ENDRAYANI;

9) Saksi FAISAL RAHMAN ALS MAMAN;

10) Saksi SUDARWAN.

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Medan No.

2534/Pid.B/2018/PN.Mdn, dengan terdakwa ABDUL RAHIM, penulis akan

memberikan analisa mengenai saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan

untuk dimintai keterangannya, dikaitkan dengan ketentuan tersebut di atas syarat

keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah adalah sebagai berikut :

a) Sebelum memberikan kesaksiannya di muka persidangan para saksi

telah disumpah terlebih dahulu, sesuai dengan agama dan kepercayaan

yang para saksi anut, sehingga diharapakan hal yang diceritakan oleh

para saksi adalah yang sesungguhnya mereka dengar, lihat dan alami

sendiri.
84

b) Keterangan yang diberikan oleh masing-masing saksi, saling

bersesuaian antara satu dengan yang lainnya, bahkan berhubungan erat

dengan pengakuan terdakwa. Sehingga hal ini dapat menambah

keyakinan hakim mengenai perkara yang didakwakan kepada terdakwa.

c) Para saksi yang dimintai keterangan sehubungan dengan tindak pidana

yang didakwakan kepada terdakwa terdakwa ABDUL RAHIM masing-

masing memberikan keterangannya di muka sidang Pengadilan.

d) Dalam pelaksanaan pembuktian di persidangan dengan terdakwa

terdakwa ABDUL RAHIM telah dihadirkan 10 (sepuluh) saksi, yaitu :

LATIF; MULYATI; ISHERIANTO; ZUL HIZRI, SH; ROMI

YUDISTIRA, SH; FRENGKI SIANIPAR; S. RAJA GUKGUK, SH;

ENDRAYANI; FAISAL RAHMAN ALS MAMAN; SUDARWAN.

Jadi dalam proses pembuktian dapat dipenuhi asas unus testis nullus

testis yang menyatakan bahwa satu saksi tidak dapat dianggap sebagai

saksi. Karena dalam persidangan telah berhasil dihadirkan saksi untuk

dimintai keterangannya, yang berjumlah lebih dari satu saksi, yaitu

berjumlah 10 (sepuluh) saksi.

e) Dari saksi-saksi yang dihadirkan dalam sidang pengadilan untuk

dimintai keterangannya, keterangan yang diberikan oleh para saksi

tidak berdiri sendiri namun saling bersesuaian antara keterangan saksi

yang satu dengan saksi yang lain.


85

4. Tuntutan

Pada pasal 1 butir 7 KUHAP tercantum definisi penuntutan sebagai

berikut: “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan

perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut

cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa

dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”**************************

Tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum yang diajukan di persidangan pada

hari Kamis tanggal 6 Desember 2018 yang pada pokoknya mohon kepada Hakim

yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan;

1) Menyatakan terdakwa ABDUL RAHIM telah terbukti secara sah

dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-

sama melakukan pemerasan “Dengan maksud menguntungkan diri

sendiri atau orang lain dengan melawan hak, memaksa orang

dengan kekerasan/ ancaman kekerasan supaya orang itu memberikan

barang, yang sama sekali/ sebagian termasuk kepunyaan orang itu

sendiri, kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat utang

atau menghapuskan piutang”, sebagaimana diatur dan diancam pidana

Kesatu Pasal 368 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP.

2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ABDUL RAHIM berupa

pidana penjara selama 7 (tujuh) bulan dikurangi selama terdakwa

berada dalam tahanan sementara dan agar terdakwa tetap ditahan.

**************************
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Sinar Grafika,
Jakarta : 2012), hlm.286.
86

3) Menetapkan barang bukti berupa : Uang tunai sebesar Rp. 365.000 (tiga

ratus enam puluh ribu rupiah), Dirampas untuk Negara, 2 (dua) lembar

kwitansi, 1 (satu) blok kwitansi, 1 (satu) buah tas warna hitam

Dirampas untuk dimusnahkan.

4) Menghukum terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar

Rp.2.000,- (lima ribu rupiah).

1. Pertimbangan Hakim

Majelis Hakim akan mempertimbangkan apakah Para Terdakwa dapat

dinyatakan telah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya,

Menimbang, bahwa untuk menyatakan seseorang telah melakukan

suatu tindak pidana, maka perbuatan orang tersebut haruslah memenuhi

seluruh unsur-unsur dari tindak pidana yang didakwakan kepadanya;

Menimbang, bahwa Para Terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum

dengan Dakwaan tunggal yaitu dakwaan Kesatu terdakwa melanggar pasal 368

ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan

Tunggal yaitu melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1)

KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

a. Barang siapa;

b. Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain

dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau

ancaman kekerasan, supaya orang itu memberikan barang yang


87

sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain atau

supaya orang itu membuat utang atau menghapuskan piutang;

c. Dilakukan secara bersama-sama.

Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur tersebut, Majelis Hakim

mempertimbangkannya sebagai berikut :

a.1 : “barang siapa” ;

Menimbang, bahwa unsur barang siapa dalam perkara ini menunjuk

kepada subjek hukum atau pelaku tindak pidana sebagaimana yang

didakwakan oleh Penuntut Umum dan dari fakta-fakta hukum yang terungkap

dipersidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, keterangan para

terdakwa, petunjuk dan barang bukti yang disita dari para terdakwa bahwa pelaku

tindak pidana sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum dalam

perkara ini adalah terdakwa yang didepan persidangan mengaku bernama

FAISAL RAHMAN ALS MAMAN dan SUDARMAN ALS KUNANG yang

identitasnya sesuai dengan identitas terdakwa dalam surat dakwaan jaksa

penuntut umum dan para terdakwa mengerti akan surat dakwaan tersebut

dan selama dalam proses persidangan berlangsung tidak dijumpai dalam diri

para terdakwa adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar atas perbuatan para

terdakwa sehingga atas diri terdakwa dapat dimintai pertanggung jawaban

atas perbuatannya. Sehingga dengan demikian unsur ini telah terpenuhi.

b.1 : “Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain

dengan melawan hak, memaksa orang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan,
88

supaya orang itu memberikan barang yang sama sekali atau sebagiannya

termasuk kepunyaan orang lain atau supaya orang itu membuat utang atau

menghapuskan piutang” ;

c.1 : Dilakukan secara bersama-sama;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan

dari keterangan saksi-saksi, keterangan terdakwa serta barang bukti dan adanya

petunjuka maka diperoleh bermula pada waktu dan tempat tersebut diatas

terdakwa dan tidak berapa lama kemudian disusul oleh saksi Sudarwan als

Kunang dan saksi Faisal Rahman als Maman masuk kedalam toko milik saksi

korban Latif yang bernama TOKO KAPUAS, kemudian terdakwa

mengatakan kepada saksi Latif bahwa terdakwa selaku pemuda selaku

pemuda sekitar ingin meminta uang untuk jaga malam di sekitar Jl. Rahmadsyah /

Japaris, kemudian saksi korban Latif tidak mau memperdulikan atas permintaan

terdakwa tersebut, kemudian terdakwa mengatakan “APABILA TIDAK

MENYERAHKAN UANG JAGA MALAM, MAKA KEAMANAN

TERHADAP TOKO KOKO AKAN DIGANGGU OLEH OKNUM –

OKNUM YANG TIDAK BERTANGGUNG JAWAB DAN KEAMANAN

TERHADAP TOKO KOKO TIDAK AKAN TERJAMIN, sehingga atas

penyataan tersebut saksi korban Latif merasa takut terancam terhadap

keamanan toko saksi Latif sehingga akhirnya saksi korban Latif

menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa sebesar Rp 50.000,- (lima

puluh ribu rupiah) dan terdakwa juga menyerahkan 1 (satu) lembar kwitaasi

tanda terima uang dengan stempel PEMUDA PANCASILA KOTA MATSUM


89

III. Apabila saksi korban Latif tidak memberikan uang maka saksi Faisal

Rahman als Maman masuk kedalam toko dan selanjutnya pemilik toko

memberikan uang kepada terdakwa, selain itu saksi Faisal Rahman als Maman

menunjukkan toko dan ruko yang akan diminta uangnya sedangkan saksi

Sudarwan als Kunang mengikuti terdakwa saja. Bahwa terdakwa, saksi Sudarwan

als Kunang dan saksi Faisal Rahman als Maman bukan petugas jaga malam atau

tidak termasuk dalam anggota Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) yang

dibentuk pada tanggal 03 September 2010 sesuai dengan Surat Camat Medan

Kota Nomor: 188.342/10/SK/MK/IX/2010 namun dari anggota organisasi

Pemuda Pancasila, terdakwa melakukan pengutipan uang tersebut karena

terdakwa disuruh oleh paman terdakwa yang bernama CALEX, uang hasil

pengutipan tersebut akan diberikan CALEX kepada terdakwa, saksi Sudarwan

als Kunang dan saksi Faisal Rahman als Maman sebesar Rp. 150.000,-

(seratus lima puluh ribu rupiah), Bahwa pada pukul 15.00 Wib berdasarkan

informasi masyarakat bahwa ada pengutipan uang kepada pemilik toko- toko

yang berada dijalan Rahmadsyah Kel. Kota Matsum III Kec. Medan Kota

sehingga saksi Tonny Purba, SH., saksi Zul Hizri, SH., saksi Isherianto

(selaku polisi pada Polrestabes Medan) langsung menuju tempat kejadian di

Jalan Radmasyah depan toko Gg. Kemala Kel. Kota Matsum III, Kec. Medan

Kota menangkap terdakwa, saksi SUDARWAN als KUNANG, dan FAISAL

RAHMAN als MAMAN dan mengamankan barang bukti lalu membawanya

ke Polrestabes Medan untuk diproses lebih lanjut, Bahwa pada saat dilakukan

penangkapan disita dari terdakwa yaitu uang sebesar Rp. 365.000,- (tiga ratus
90

enam puluh lima ribu rupiah), 2 (dua) lembar kwitansi, 1 (satu) blok kwitansi,

dan 1 (satu) buah tas warna hitam.

Berdasarkan fakta-fakta persidangan telah terbukti Terdakwa

melakukan pengutipan/pemerasan kepada para korban secara bersama-sama

dengan temannya yang mana mereka bukanlah pihak yang bertanggung jawab

atas penjagaan lingkungan sekitar, maka itu adalah merupakan hasil kejahatan,

sehingga dengan demikian unsur ini telah terbukti menurut hukum;

Menimbang, bahwa oleh karena seluruh unsur dari Pasal 368 ayat (1)

KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP telah sebagaimana yang dimaksud dalam

dakwaan terpenuhi, maka Terdakwa haruslah dinyatakan telah terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan

dalam dakwaan Kedua sehingga dengan demikian majelis hakim sependapat

dengan tuntutan Penuntut Umum yang menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti

melakukan perbuatan pidana;

Menimbang, bahwa Terdakwa dan Penasehat Hukumnya dalam Nota

Pembelaannya pada pokoknya menyatakan kepada majelis hakim untuk

memberikan hukuman yang seringan-ringannya kepada terdakwa karena para

terdakwa masih bisa untuk disadari dan menyadari akan perbuatan yang telah

dilakukan oleh terdakwa itu tidak benar;

Menimbang, bahwa terhadap Nota Pembelaan Penasehat Hukum

terdakwa tersebut majelis hakim tidak sependapat oleh karena perbuatan

terdakwa telah dapat dibuktikan didalam mempertimbangkan unsur-unsur Delik


91

dalam dakwaan Kedua diatas, sehingga dengan demikian Nota Pembelaan

Penasehat Hukum terdakwa tersebut harus dinyatakan tidak beralasan hukum dan

harus dikesampingkan.

Menimbang, bahwa selanjutnya oleh karena semua unsur yang

didakwakan dalam dakwaan Kedua penuntut umum telah terbukti, sedangkan

didalam peridangan majelis hakim tidak melihat ataupun menemukan adanya

alasan pembenar maupun adanya alasan pemaaf dalam diri maupun

perbuatan terdakwa yang dapat menghilangkan/menghapuskan sifat melawan

hukum perbuatan pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa, maka kepada

terdakwa harus dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana “Secara

bersama-sama melakukan pemerasan” dan kepada terdakwa harus dijatuhi

pidana penjara yang setimpal dengan perbuatannya.

Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa telah dinyatakan terbukti

bersalah dan harus dijatuhi pidana penjara sedangkan dalam perkara ini

terhadap Terdakwa telah dikenakan penahanan yang sah, maka masa

penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari pidana yang

dijatuhkan;

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa ditahan dan penahanan

terhadap Para Terdakwa dilandasi alasan yang sah, maka perlu ditetapkan

agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan;

Menimbang, bahwa terhadap barang bukti yang diajukan di persidangan

untuk selanjutnya akan dipertimbangkan dalam amar putusan dibawah ini:


92

Menimbang, bahwa oleh karena barang bukti berupa Uang tunai sebesar

Rp. 365.000 (tiga ratus enam puluh ribu rupiah), maka barang bukti tersebut

haruslah dirampas untuk negara sedangkan 2 (dua) lembar kwitansi, 1 (satu) blok

kwitansi, 1 (satu) buah tas warna hitam Dirampas untuk dimusnahkan ,maka

barang bukti tersebut haruslah dinyatakan dirampas untuk dimusnahkan.

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa dijatuhi pidana maka haruslah

dibebani pula untuk membayar biaya perkara;

Menimbang, bahwa Majelis Hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap

Terdakwa bukanlah didasarkan oleh rasa dendam atau kebencian kepada

Terdakwa pribadi, akan tetapi merupakan konsekwensi logis dari perbuatan

Terdakwa yang melanggar hukum sehingga Terdakwa harus menjalani

hukuman yang bertujuan untuk membina atau memperbaiki perbuatan/tingkah

laku Terdakwa agar menjadi lebih memperlihatkan tanggung jawab dalam

menjalankan tugasnya dimasa yang akan datang sehingga Majelis

berpendapat pidana yang dijatuhkan telah memenuhi rasa keadilan;

Menimbang, bahwa untuk menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa maka

perlu dipertimbangkan terlebih dahulu keadaan yang memberatkan dan yang

meringankan Terdakwa sebagai berikut:

Hal-Hal Yang Memberatkan :

- Bahwa perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;

- Bahwa Perbuatan terdakwa merugikan saksi korban;

Hal-Hal Yang Meringankan :


93

Bahwa terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya;

 Bahwa terdakwa bersikap sopan didepan persidangan;

 Bahwa terdakwa belum pernah dihukum;

Memperhatikan Pasal 368 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) KUHP,

Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana serta peraturan

perundang-undangan lain yang bersangkutan.

5. Amar Putusan

Dari adanya pertimbangan hakim terhadap perkara tersebut, kemudian

hakim mengadakan perundingan dan musyawarah untuk memutus perkara yang

didakwakan kepada terdakwa, hingga akhirnya hakim mengeluarkan Putusan

Nomor : 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn, yang pada amar putusannya berbunyi:

MENGADILI:

1. Menyatakan Terdakwa ABDUL RAHIM telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Secara bersama-sama

melakukan pemerasan”;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 4 (empat) bulan dan 11 (sebelas) hari;

3. Menetapkan masa penangkapan dan penahanan yang telah dijalani

Terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan;

4. Menetapkan Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;

5. Menetapkan barang bukti berupa : Uang tunai sebesar Rp. 365.000 (tiga ratus

enam puluh ribu rupiah), Dirampas untuk Negara, 2 (dua) lembar kwitansi, 1
94

(satu) blok kwitansi, 1 (satu) buah tas warna hitam, Dirampas untuk

dimusnahkan;

6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara sejumlah

Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) ;

B. Analisa Putusan Hakim

Penerapan hukum Pidana Materil yang merupakan landasan dalam

menjatuhkan hukuman Pidana, Dalam putusan perkara nomor

2534/Pid.B/2018/PN.Mdn, atas nama terdakwa ABDUL RAHIM yang Terdakwa

terbukti secara sah melanggar Pasal 368 ayat (1) KUHP Jo Pasal 55 ayat (1)

KUHP tentang tindak pidana pemerasan yang dilakukan secara bersama-sama,

Karena :

(1). Telah memenuhi semua unsur yang ada dalam pasal tersebut.

(2). Adanya fakta hukum yang didapat dalam persidangan

(3). Terdapat pembuktian dengan semua barang bukti yang ada maupun melalui

keterangan yaang diberikan oleh saksi dan terdakwa.

Setelah membaca serta menganalisa Putusan Nomor

2534/Pid.B/2018/PN.Mdn maka penulis dalam hal ini menyatakan bahwa jaksa

maupun hakim yang menanagani perkara tindak pidana pemerasan dalam putusan

tersebut sudah tepat dalam melakukan penerapan hukum yang terdapat dalam

ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam hal ini, jaksa menuntut

terdakwa dengan Pasal 368 ayat (1) KUHP jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP

dikarenakan berdasarkan kronologi perkara, terdakwa melakukan tindak pidana

secara bersama-sama melakukan pemerasan.


95

Delik secara bersama-sama melakukan pemerasan tersebut menjadi delik

selesai adalah memang karena kehendak yang diinginkan oleh si pelaku, hal ini

merupakan salah satu syarat suatu kejahatan dapat dikatakan sebagai secara

bersama-sama melakukan pemerasan, selain itu terdakwa juga telah nyata

memiliki niat untuk melakukan pemerasan dengan memaksa meminta uang

kepada korban, yang mana apabila korban tidak memberikan uang maka

keamanan akan terancam guna memuluskan niat terdakwa untuk meminta uang.

Dengan melihat fakta yang ada dan kronologis yang terjadi dihubungkan

dengan Pasal-Pasal yang terdapat dalam KUHP maka terdakwa telah bersalah

melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan. Selain itu,

hakim sudah tepat memutus perkara terdakwa dengan menjatuhi hukuman pidana

penjara selama 4 bulan dan 11 hari. Hal ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang

menuntut pidana penjara selama 7 bulan dikurangi selama terdakwa berada dalam

tahanan. Dalam hal ini, hakim memperhatikan ketentuan Pasal 55 ayat (1) KUHP

tentang penyertaan bahwa yang mana dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP pidana

penjara adalah 9 bulan. Namun dikarenakan hakim mempunyai pertimbangan

mengenai keadaan yang meringankan bagi terdakwa, maka hakim berhak untuk

menghukum terdakwa dibawah ancaman 9 bulan yakni selama 4 bulan dan 11

hari. Dan berdasarkan posisi kasus sebagaimana telah diuraikan diatas, maka

dapat disimpulkan bahwa dakwaan Penuntut Umum,tuntutan Penuntut Umum,

dan pertimbangan hakim pengadilan dalam amar putusannya telah memenuhi

unsur dan syarat dipidananya terdakwa.


96

Putusan Hakim dalam suatu perkara di dasarkan pada pertimbangan-

pertimbangan tertentu yang digunakan demi adilnya putusan terhadap perkara

tersebut. Dimana sebagian besar hakim di indonesia menggunakan jenis

pertimbangan yang sifatnya yuridis maupun non yuridis dalam menjatuhkan

putusannya terhadap suatu perkara. Berikut penulis jelaskan pemaparaan

mengenai teori pertimbangan hakim :

a) Pertimbangan yang bersifat yuridis

Dalam suatu persidangan mengenai suatu perkara, akan didapat fakta

hukum atau fakta yuridis. Dalam Undang-Undang pun telah ditetapkan hal-hal

yang harus dimuat dalam putusan. Inilah yang disebut sebagai pertimbangan yang

bersifat yuridis, yang digunakan hakim. Hal tersebut merupakan hal pokok yang

harus ada untuk dapat dipertimbangkan sebelum hakim menjatuhkan putusannya

terhadap suatu perkara. Hal-hal yang dimaksud tersebut antara lain :

(1). Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Dakwaan merupakan dasar hukum dalam beracara pidana karena

berdasarkan dakwaan tersebut pemeriksaan di persidangan dilakukan.

Dakwaan yang dijadikan dasar pertimbangan hakim adalah dakwaan yang

telah dibacakan di depan sidang pengadilan. Dakwaan antara lain memuat :

i. Identitas terdakwa

ii. Locus dan tempus delicti

iii. Tindak pidana yang didakwakan

iv. Pasal yang dilanggar oleh terdakwa karena perbuatnnya

(2). Keterangan saksi


97

Hal lain yang mempunyai arti yang tak kalah penting dalam suatu proses

peradilan adalah mengenai keterangan saksi, karenamelalui keterangan saksi

dapat digali informasi yang sebenarnya mengenai perkara yang terjadi.

Keterangan saksi dapat dikategorikan sebagai alat bukti sepanjang keterangan itu

mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, alami sendiri, dan harus

disampaikan di dalam persidangan dengan mengangkat sumpah. Keterangan saksi

menjadi pertimbangan utama dan selalu dipertimbangkan oleh hakim dalam

putusannya. Dijelaskan dalam Pasal 185 KUHAP, bahwa keterangan saksi dapat

berwujud keterangan secara lisan di muka persidangan maupu keterangan yang

diberikan secara tertulis. Dalam hal ini saksi memberikan keterangannya secara

tertulis setelah disumpah sebelumnya. Kemudian keterangan tertulis tersebut

dibacakan di muka persidangan ketika pemeriksaan terhadap saksi yang tidak

dapat hadir tersebut dilaksanakan.

(3). Keterangan terdakwa

Pengaturan mengenai keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189

KUHAP. Dimana yang disebut sebagai keteranganterdakwa adalah apa yang

terdakwa nyatakan dalam sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia

ketahui sendiri atau alami sendiri. Keterangan dari seorang terdakwa juga dapat

diberikan di luar persidangan untuk selanjutnya dibacakan dalam persidangaan,

namun dalam ayat (2) Pasal 189 KUHAP disebutkan bahwa hal itu harus disertai

dengan persyaratan, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu niat bukti yang

sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.

(4). Barang-barang bukti


98

Pengertian barang bukti disini adalah semua benda yang dapat dikenakan

penyitaan dan diajukan oleh penuntut umum di depan persidangan. Barang-

barang bukti tidak termasuk alat bukti. Sebab undang-undang menetapkan lima

macam alat bukti yaitu: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan

keterangan terdakwa. Adanya barang bukti yang terungkap pada persidangan

akan menambah keyakinan hakim dalam menilai benar tidaknya perbuatan yang

didakwakan kepada terdakwa, dan sudah barang tentu hakim akan lebih yakin

apabila barang bukti itu dikenal oleh terdakwa ataupun saksi-saksi. Macam dari

barang bukti antara lain meliputi :

i. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa seluruhnya atau sebagian yang

diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;

ii. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana

atau untuk mempersiapkannya;

iii. Benda yang digunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak

pidana;

iv. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengantindak pidana yang

dilakukan.

(5). Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana

Pasal-pasal yang ada dalam peraturan pidana telah menjelaskan mengenai

unsur-unsur yang harus dipenuhi hingga seseorang terbukti melakukan tindak

pidana yang didakwakan kepadanya. Sehingga dalam pemeriksaan di persidangan

hakim harus jeli dalam melihat unsur-unsur tersebut, apakah benar si terdakwa

sudah memenuhi semua unsur yang disebutkan dalam Pasal perundangan yang
99

mengatur mengenai tindak pidana yang didakwakan atau belum. Apabila sudah

terbukti maka Pasal tersebut bisa dikenakan padaanya.

b) Pertimbangan yang bersifat non yuridis

Pertimbangan yang bersifat non yuridis terdiri dari beberapa hal. Dimana

melalui pertimbangan non yuridis ini diharapkan keadilan yang sesungguhnya

dapat lahir dari suatu putusan yang dibuat oleh Majelis Hakim dalam suatu

persidangan. Macam dari pertimbangan non yuridis antara lain adalah :

(1). Latar belakang terdakwa serta agama atau keyakinan yang dianut terdakwa.

Hal yang mendasari terjadinya tindak pidana adalah hal yang mempunyai

kekuatan yang utama yaitu latar belakang terdakwa. Dimana yang disebut dengan

latar belakang terdakwa adalah suatu hal atau keadaan, yang karena adanya

keadaaan tersebut maka menyebabkan timbulnya keinginan serta dorongan keras

pada diri terdakwa untuk melakukan tindak pidana. Karena dalam suatu perkara

belum tentu si terdakwa sebenarnya menginginkan terjadinya suatu perkara yang

ia lakukan tersebut, namun dorongan tersebut yang membuatnya melakukan suatu

tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Sedangkan agama atau pun

keyakinan yang dianut terdakwa ternyata mempunyai arti penting pula bagi

hakim dalam menjatuhkaan putusannya. Dengan meneliti lebih lanjut mengenai

hal-hal yang diajarkan dalam agama ataupun keyakinan terdakwa hakim dapat

mengetahui alaasan terdakwa melakukan tindak pidana yang ia lakukan. Hakim

dapat pula mempelajari hukuman apa yang menurut agama yang ia percayai

pantas dikenakan kepadanya. Kalimat “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”

yang terdapat dalam setiap kepala putusan juga dapat mewakilkan bawasannya
100

dalam memutus setiap perkara, hakim tidak hanya mendasarkannya pada nilai

keadilan yaang tumbuh dalam kehidupan bermasyarakat namun juga atas dasar

nilai Ketuhanan, yang tentunya ada dalam agama ataupun kepercayaan yang

dianut oleh terdakwa.

(2). Kondisi jasmani maupun rohani terdakwa.

Keadaan fisik maupun psikis terdakwa sebelum melakukan kejahatan,

termasuk pula status sosial yang melekat pada terdakwa, merupakan hal yang

dapat mempengaruhi terdakwa dalam melakukan suatu perbuatan pidana. Usia

dan tingkat kedewasaan terdakwa, juga mempunyai arti penting bagi terlaksanya

suatu perbuatan pidana. Dimana usia ternyata tak dapat dijadikan patokan apabila

tidak dikaitkan dengan tingkat kedewasaan, karena belum tentu seorang

mempunyai usia dan tingkat kedewasaan yang selaras. Status sosial yang dimiliki

seseorang dalam pranata hidup di masyarakat juga mempunyai arti yang tak kalah

penting dalam potensinya menimbulkan tindak pidana. Bagi seseorang yang

merasa punya kedudukan tersendiri dalam kehidupan sosialnya tentu akan terjadi

proses pemikiran ulang sebelum ia melakukan suatu perbuatan pidana, lain

halnya dengan seseorang yang merasa bahwa kehadirannya di masyarakat tak

mempunyai arti penting. Keadaan psikis seseorang pada suatu waktu mempunyai

potensi yang besar terhadaap terjadinya tindak pidana oleh orang tersebut.

Keadaan psikis tersebut dapat dipengaruhi oleh perasaan seseorang, yang dapat

berubah apabila terpengaruh beberapa hal , misalnya karena adanya pengaruh dari

orang lain, adanya keadaan yang tidak mengenakkan hati, amarah dan emmosi

yang meluap-luap, dan lain sebagainya.


101

(3). Akibat perbuatan terdakwa

Hal ini merupakan suatu point yang tak kalah penting untuk dikaji,

karena akibat yang timbul dari suatu perkara yang sama yang dilakukan di tempat

yang berbeda atau di waktu yang berbeda maupun oleh orang yang berbeda dapat

mempengaruhi akibat yang ditimbulkan. Suatu perbuatan pidana yang dilakukan

terdakwa sudah pasti membawa korban atau kerugian dari pihak lain. Bahkan

akibat dari perbuatan terdakwa yang dilakukan tersebut dapat pula berpengaruh

buruk terhadap masyarakat luas, paling tidak keamanan dan ketentraman mereka.

Hal ini didasarkan pada pemeriksaan dalam persidangan dimana alat bukti

yang diajukan oleh Penuntut Umum termasuk didalamnya keterangan saksi-saksi

dan keterangan terdakwa yang saling berhubungan antara satu dengan yang

lainnya. Keterangan terdakwa yang mengakui secara jujur perbuatan yang telah

dilakukannya dan menyesalinya. Oleh karena itu, Hakim Pengadilan Negeri

Medan menyatakan dalam amar putusannya bahwa terdakwa telah terbukti secara

sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan

pemerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP Jo. Pasal 55 ayat

(1) ke-1 KUHP menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama 4 bulan dan

1 hari. Dengan demikian penulis menyatakan bahwa penerapan hukum dalam

perkara dengan Putusan Nomor 2534/Pid.B/2018/PN.Mdn sudah tepat dan sesuai

dengan ketentuan hukum yang ada.


102

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah penulis paparkan, maka penulis

mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan hukum terhadap pelaku tindak pidana secara bersama-sama

melakukan pemerasan diatur dalam KUHP pasal 368 ayat (1) yang berbunyi “

Barangsiapa dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain

secara melawan hukum memaksa seseorang dengan kekerasan atau ancaman

kekerasan untuk memberikan suatu barang, yang seluruhnya atau sebagian

kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat utang atau

menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan dengan pidana penjara

paling lama sembilan bulan” jo pasal 55 ayat (1) Dipidana sebagai pembuat

tindak pidana: Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan dan yang

turut sertamelakukan perbuatan; dan Mereka yang memberi atau menjanjikan

sesuatu, dengan menyalahgunakankekuasaan atau martabat, dengan kekerasan,

ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau

keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.

2. Penyebab terjadinya tindak pidana secara bersama – sama melakukan

pemerasan dan upaya penanggulangannya :

a) Penyebab terjadinya tindak pidana secara bersama-sama melakukan

pemerasan adanya ketidakpastian pelayanan sebagai akibat dari prosedur

pelayanan yang panjang dan melelahkan sehingga masyarakat menyerah


103

ketika berhadapan dengan pelayanan publik yang korup; Faktor ekonomi,

faktor kultural dan budaya lingkungan sekitar yang terbentuk dan berjalan

terus menerus di suatu lingkungan menyebabkan pemerasan menjadi suatu

hal yang biasa; terbatasnya sumber daya manusia, dam lemahnya sistem

kontrol dan pengawasan oleh masyarakat.

b) Upaya penanggulangannya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara

preventif (pencegahan) yaitu : Melakukan penyuluhan kepada pengusaha

serta para pemuda agar tidak memberikan pungutan-pungutan diluar

ketentuan yang telah berlaku; Mengadakan patroli di sekitar wilayah

hukum Polda Sumut, di mana dari masing-masing Polres bekerja

berdasarkan wilayahnya masing-masing; Penempatan anggota kepolisian

di tempat-tempat yang memang di curigai sebagai daerah yang rawan

kejahatan seperti kejahatan pemerasan; Upaya yang dilakukan oleh

masyarakat, dapat memberikan laporan kepada pihak kepolisian apabila

menjadi korban ataupun melihat terjadinya kejehatan pemerasan dan upaya

represif yang dapat dilakukan untuk menanggulangi kejahatan dapat

berupa melakukan penangkapan terhadap para pelaku pemerasan;

Memberikan hukuman kepada para pelaku kejahatan pemerasan;

Memberikan penyuluhan hukum, agama, moral, dan etika; Memberikan

pembinaan dan latihan keterampilan sebagai modal agar mereka bisa

hidup.

3. Penerapan hukum pidana materil terhadap pelaku tindak pidana secara

bersama-sama melakukan pemerasan dalam putusan pengadilan negeri medan


104

dengan perkara NO.2534.PID.B/2018/PN.MDN terhadap terdakwa yang

pengaturannya dimuat dalam KUHP dan dikarenakan tindak pidana secara

bersama-sama melakukan pemerasan merupakan suatu tindakan yang

dilakukan dengan tujuan untuk menguntungkan diri si pelaku dan dengan

melawan hak dengan cara memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancama

kekerasan supaya orang tersebut memberikan barang yang merupakan

kepunyaan orang yang dipaksa tersebut, atau untuk membuat utang atau

menghapuskan piutang merupakan delik yang diatur dalam KUHP, maka

sudah pasti delik tersebut menimbulkan keresahan dalam masyarakat, dan

terdakwa sudah tentu diberikan sanksi, yang mana dalam Pasal 368 KUHP

pelaku tindak pidana pemerasan dihukum pidana penjara selama-lamanya

sembilan bulan, Dalam kasus ini pemerasan Jo pasal 55 ayat (1) KUHP.

B. Saran

Sebagai pelengkap dalam hal penulisan skripsi ini, maka penulis akan

memberikan beberapa saran yang terkait dengan penulisan skripsi ini sebagai

berikut :

1. Perlunya pelaksanaan peraturan yang tegas mengenai Tindak pidana secara

bersama-sama melakukan pemerasan, melihat begitu banyaknya terjadi

tindak pidana pemerasan di Indonesia khususnya di kota medan yang

dilakukan oleh beberapa Oknum yang memegang kekuasaan dan pemerasan

yang dilakukan bukan dalam skala kecil melainkan skala yang besar.

2. Diharapkan pemerintah dan masyarakat berperan aktif dalam menciptakan

suasana yang kondusif dalam masyarakat seperti memberikan penyuluhan


105

hukum dilingkungan masyarakat sebagai upaya preventif dengan

membangun kecerdasan spiritual serta meningkatkan kordinasi antara pihak-

pihak yang terkait dengan Polri dan Masyarakat dalam hal ini membantu

pihak kepolisian dalam proses upaya penanggulangan tindak pidana secara

bersama-sama melakukan pemerasan agar tidak terjadi atau setidaknya

meminimalisir kejadian pemerasan.

3. Penerapan hukum pidana materil yang dilakukan oleh penegak hukum

dalam memeriksa dan memutus perkara tindak pidana secara bersama-sama

melakukan pemerasan, supaya meningkatkan kinerjanya dalam

memberantas perbuatan pidana yang dilakukan di wilayah hukum Medan,

khususnya pada tindak pidana yang dilakukan oleh oknum – oknum dalam

hal penagihan uang keamanan. Bagi hakim dalam menjatuhkan putusan

supaya lebih cermat dan teliti melihat latar belakang terjadinya suatu

perkara, sehingga putusan dan lama pemidanaan agar tepat pada sasaran.

Mengingat agar efek jera dari tujuan pemidanaan dapat terealisasikan.

Bahwa hakim dalam hal pengambilan keputusaan perkara pelaku tindak

pidana secara bersama-sama melakukan pemerasan agar lebih teliti supaya

efisiensi dari penerapan hukum pidana materil yang ada di indonesia agar

nantinya menjadi penilaian serta pertimbangan untuk kasus-kasus yang

sama di masa yang akan datang.


106

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU :

Atmasasmita, Romli, Teori Dan Kapita Selekta Kriminologi. Bandung: PT.


Eresco. 1992

Alweni, Mohammad Kenny, Kajian Tindak Pidana Pemerasan Berdasarkan Pasal


368 KUHP, Lex Crimen ,2019

Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian III Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2002

---------, Pelajaran Hukum Pidana, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2002

---------, Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-Teori Pemidanaan & Batas


Berlakunya Hukum Pidana Pelajaran Hukum Pidana 1, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada. 2005

Djamali R. Abdoel, , Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : PT. Raja Grafindo


Persada. 2013

Ekaputra, Mohammad , Dasar-dasar Hukum Pidana Edisi 2, Medan, USU Press.


2010

Farid, Andi Zainal Abidin, dan A. Hamza, Bentuk – Bentuk Khusus Perwujudan
Delik (Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Delik) dan Hukum
penitensier. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 2006

Gunadi, Isnu dan Jonaedi Effendi, Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana,
Jakarta : Kencana. 2014

Hamzah, Andi , Delik-delik tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP Edisi


Kedua, Jakarta, Sinar Grafika. 2015

---------, Sistem Pidana dan Sistem Pemidanaan Indonesia, Jakarta: Pradnya


Paramita. 1993

Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, Fifth Edition USA : West
Publishing Company.

Huda, Chairul, Dari Tiadak Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggujawaban Pidana Tanpa Kesalahan. Kencana, Jakarta. 2008

Ishaq, Pengantar Hukum Indonesia, Depok: Rajawali Pers, 2018.


107

Kanter, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Dan Penerapannya. Jakarta:


Storia Grafika. 2002

---------, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Jakarta : Storia Grafika, Alumni-PTHM. 1982
Kenny alweny, mohammad, kajian tindak pidana

Kristian dan Yopi Gunawan, Tindak Pidana Korupsi, Kajian terhadap


Harmonisasi antara Hukum Nasional dan The United Nations Convention
Against Corruption (UNCAC), Bandung, Reflika Aditama. 2015

Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra


Aditya Bakti. 2011

---------, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.


1997

---------, Dasar-Dasar Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika. 2014

Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan Dan Gabungan Tindak Pidana, Jakarta:


Universitas Tarumanegara UPT Penerbitan. 1995

Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP


(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan
Kembali). Jakarta: Sinar Grafika. 2000

Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta:


Rajawali Persada. 2012

Marpaung, Leden, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Jakarta : Sinar Grafika.
2005

------------------------, Tindak pidana Terhadap Nyawa Dan Tubuh, Jakarta : Sinar


Grafika. 2005

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana Prenada Media


Group. 2014

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana : Edisi Revisi, Jakarta: Rineka Cipta. 2008

---------, Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta : Bina Aksara. 2002

Muchsin, Ikhtisar Ilmu Hukum, akarta: Badan Penerbit Iblam. 2006

Prasetyo, Teguh, Hukum Pidana. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.


108

---------, HukumPidana. Jakarta: PT RajaGrafindoPersada. 2014

Santoso, Topo Dan Eva Achiani Zulfa, Kriminologi Cetakan Ketiga. Jakarta: PT
Grafindo Persada. 2003

Setiadi, Edi, Perkembangan Hukum Pidana di Indonesia, Yogyakarta : Graha


Ilmu. 2013

Siku, Abdul Salam, HukumPidana II. Ciputat: Pustaka Rabbani Indonesia. 2015

Soerodibroto, Soenarto, KUHP DAN KUHAP. Jakarta: PT. Raja Grafindo


Persada. 2012

Soekanto Soerjono dan Mamudji Sri, Penelitian Hukum Normatif. Suatu


Tinjauang Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2013

Soesilo, R, , Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-


komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politeia. 1988

Sudarto, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto Fakultas Hukum


Universitas Diponegoro. 1990

Sugiarto,Umar Said, Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta Timur: Sinar Grafika.


2015

Surayin, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Bandung: Yrama Widya. 2005

Suryabrata, Sumadi, Metodologi Penelitian. Jakarta: Rajawali Press. 1993

Susanto, I.S, Kriminilogi,Yogyakarta, Genta Publishing. 2011

Syamsuddin, Rahman dan Ismail Aris, Merajut Hukum di Indonesia. Jakarta :


Mitra Wacana Medika. 2014

Tutik, Triwulan Titik, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Prestasi Pustakaraya.


2006

Widianti, Ninik, Kejahatan Dalam Masyarakat Dan Pencegahannya, Jakarta:


Bina Aksara. 1987

Wirdjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika


Aditama. 2003

---------, 1996, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: PT. Eresco. 1996
109

B. Peraturan Perundang-Undangan :

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang – Undang Hukum Pidana

You might also like