You are on page 1of 10

MAKALAH

“Norma - Norma Akad dalam Fiqih Islam”

Dosen pengampu :
Rahmawaty, S.HI., M.SI

Disusun oleh :
Aslan Lantemona (20141002)
Mohamad Iksan Lamba (20141013)
Salwa Jilan I Firani (20141017)
Sinatrya Fidianto (20141027)
Fauzia Salsabila Hiola (20141028)
Fadillah Shafa Simbuka (20141031)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia secara lengkap dan
menyeluruh, tidak hanya terbatas pada urusan hamba dengan tuhannya melainkan anatar
manusia dengan manusia. Dalam islam suatu kegiatan antara manusia dengan manusia
disebut mauamalah. Mualmalah merupakan aturan-aturan (hukum) Allah untuk mengatur
manusia dalam kaitannya dengan urusan duniawi dan pergaulan sosial, muamalah yang
diperbolehkan adalah muamalah yang sesuai dengan syari’at islam. Dalam muamalah
terdapat berbagai macam akad di bidang transaksi perekonomian.

Akad menjadi penting dalam masyarakat. Karena akad merupakan penghubung


setiap orang dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingannya yang tidak dapat di penuhinya
sendiri tanpa bantuan dan jasa orang lain. sehingga dapat dikatakan bahwa akad merupakan
sesuatu yang membantu manusia dalam bertransaksi.
Akad merupakan keterkaitan antara ijab dan qabul yang berakibat timbulnya akbiat
hukum. Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak sendagkan qabul adalah
jawaban persetujuan sebagai tanggapan terhadap pihak yang pertama. Akad tidak akan
terjadi apabila pernyataan masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain, karena akad
adalah kerterkaitan antara kedua pihak yang tercermin dalam ijab dan qabul.
Akad juga merupakan perjanjian tertulis yang memuat ijab (penawaran) dan qabul
(permintaan) antara satu pihak dengan pihak yang lain yang berisi hak dan kewajiban
masing-masing sesuai dengan prinsip syariah. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang
perbankan syari’ah telah memutuskan maksud dari akad, bahwa “ Akad adalah kesepakatan
tertulis antara Bank Syari’ah atau Unit Usaha Syari’ah dan pihak lain yang membuat adanya
hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syari’ah”.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Akad?


2. Apa saja macam-macam Akad?
3. Bagaimana rukun dan syarat Akad?
4. Apa tujuan dari Akad?
5. Bagaiamana proses berakhirnya akad?
BAB II
PEMBAHASAN

2.2 Pengertian Akad


Dalam istilah bahasa kata ‘Aqada – ya’qidu – ‘aqdan berarti ikatan dan tali
pengikat. Jika dikatakan Aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali lalu
mengikatnya, kemudian makna ini berpindah dari hal yang bersifat hissi (indra) kepada
ikatan yang tidak tampak antara dua ucapan dari kedua belah pihak yang sedang berdialog.

Dalam terminology ahli bahasa akad mencakup makna ikatan, pengokohan dan
penergasan dari satu pihak atau kedua belah pihak. Makna secara bahasa ini sangat sesuai
sekali dengan apa yang dikatakan oleh kalangan ulama fiqh, di mana kita mendapati
kalangan ulam fiqh menyebut akad adalah setiap ucapan yangkeluar sebagai penjelas dari
dua keinginan yang ada kecocokan sebagaimana mereka juga menyebut arti akad sebagai
setiap ucapan yang keluar yang menerangkan keinginan walaupun sendirian.

Abu BAkar Al-Jashshash berkata : “Setiap apa yang diikatkan oleh seseorang
terhadap satu urusan yang akan dilaksanakannya atau diikatkan kepada orang lain untuk
dilaksanakan secara wajib, karena makna asal dari akad adalah ikatan lalu dialihkan kepada
makna sumpah dan akad seperti akad jual beli dan yang lainnya maka maksudnya adalah
ilzam (mengharuskan) untuk menunaikan janji dan ini dapat terjadi jika ada harapan-harapan
tertentu yang akan didapatkan pada waktu-waktu tertentu. Dinamakan jual beli, nikah, sewa
menyewa, dan akad –akad jual beli yang lain karena setiap pihak telah memberikan
komitmen untuk memenuhi janjinya dan dinamakan sumpah terhadap sesuatu di masa
mendatang sebagai akad karena pihak yang bersumpah telah mengharuskan dirinya untuk
memenuhi janjinya baik dengan berbuat ata dengan meninggalkan.

Adapun makna akad secara syari’I yaitu: “Hubungan antara ijab dan qabul dengan
cara yang dibolehkan oleh syariat yang mempunyai pengaruh secara langsung.” Ini artinya
bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan
syara’ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduannya yang kemudian dua
keinginan itu dinamakan ijab dan qabul. Dan sebagian ulama fiqih mendefinisikan sebagai
ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua keinginan yang ada kecocokan, sedangkan
jika hanya dari satu pihak yang berkeinginan tidak di makan akad tapi di namakan janji.
Dengan landasan, ath-Thusi. Membedakan antara akad dan janji, karena akad mempunyai
makna meminta diyakinkan atau ikatan, ini tidak akan terjadi kecuali dari dua belah pihak,
sedangkan janji dapat dilakukan oleh satu orang.

2.3 Macam-macam Akad


Akad dapat dibagi kepada beberapa bagian dengan meninjaunya dari beberapa segi.
Hukum dan sifatnya, dari segi watak dan adanya hubungan antara hukum dengan shighat-
nya, dan dari segi maksud dan tujuan.

1. Ditinjau dari seg hukum dan sifatnya


Ditinjau dari segi hukum dan sifatnya akad, menurut jumhruh ulama, terbagi kepada dua
bagian:
a. Akad shahih.
b. Akad ghair shahih (batil fasid).
Sendangkan menurut hanafiah akad terbagi kepada tiga bagian dengan membagi akad
ghair shahih menjadi dua bagian:
a. Akad shahih.
b. Akad ghair shahih.
1). Akad yang batil.
2). Akad yang fasid.
Dari pembagian tersebut terlihat adanya perbedaan antara jumhur.ulama dan hanifa.
Jumhur ulama membagi akad kepada shahih dan batil atatu fasid, sementara hanafiah
membaginya kepada tiga bgian yaitu shahih fasid, dan batil. Jumhur ulama tidak
membedakan antara fasid dan batil. Sendagkan hanafia menganggap bahwa fasid
tidak sama dengan batil.

2.4 Rukun-rukun Akad


1. Shighat (Ijab Qabul)
 Shighat terjadi ketika ada hubungan dan timbale balik antara ijab dan qabul
 Shighat terjadi ketika ada shighat ijab dari satu pihak (menurut sebagian fuqaha)
2. Pelaku akad (ahliyah & wilayah)
 Pihak akad boleh mengatasnamakan diri sendiri
 Pihak akad boleh mengatasnamakan (wakil) orang lain
 Pihak akad boleh sebagai fudhuli
3. Objek barang (Ma’qud ‘alaih)
 Boleh berupa asset
 Boleh berupa manfaat
 Boleh berupa utang
 Boleh berupa pekerjaan

2.5 Syarat-syarat akad


1. Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsur asasi
dari akad. Syarat akad tersebut adalah :
a) Al-Aqid atau pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan atau badan
usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Karena itu,
orang gila dan anak kecil yang belum mummayid tidak sah melakukan transaksi
jual beli, kecuali membeli sesuatu yang kecil-kecil atau murah seperti korek
api,korek kuping, dan lain-lain.
b) Shighat atau perbuatan yang menunjukkan terjadinya akad berupa ijab dan Kabul.
Dalam akad jual beli, ijab adalah ucapan yang diucapkan oleh penjual, sedangkan
Kabul adalah ucapan setuju dan rela yang berasal dari pembeli.
c) Al-Ma’qud alaih atau objek akad. Objek akad adalah amwal atau jasa yang
dihalalkan yang dibutuhkan masing-masing pihak
d) Tujuan pokok akad. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’ dan tujuan akad itu
terkait erat dengan berbagai bentuk yang dilakukan. Misalnya tujuan akad jual
beli adalah untuk memindahkan hak penjual kepada pembeli dengan imbalan.
2. Syarat Objek Akad (Ma;qud ‘Alaih)
a. Barang yang masyru’ (Ilegal)
Barang yang harus merupakan sesuatu yang menurut hukum silam sah
dijadikan objek kontrak, yaitu harta yang dimiliki secara halal.
b. Bisa diserah terimakan waktu akad
Objek akad harus dapat diserahkan ketika terjadi kontrak, namun tidak berarti
harus dapat diserahkan seketika. Barang ynag tidak bisa diserahterimakan itu
tidak boleh dijadikan objek akad.
c. Jelas diketahui oleh para pihak akad
Objek akad harus jelas dan diketahui oleh kedua belah pihak. Ketidak jelasan
objek kontrak selain ada larangan Nabi untuk menjadikannya sebagai objek
kontrak, ia juga mudah menimbulakan persengketaan dikemudian hari.
d. Objek akad harus ada pada waktu akad
Objek akad harus sudah ada secara konret ketika kontrak dilangsungkan atatu
diperkirakan akan adapada masa akan datang dalam konrak-kontrak tertentu
seperti dalam kontrak salam, ishtishna’, ijarah dan mudharabah.

2.6 Tujuan Akad


Tujuan akad (maudhu al-‘aqd) ialah maksud utama disyariatkan akad itu sendiri.
Misalnya, seorang nasabah ingin melakukan jual beli melalui lembaga perbankan syariah
tujuannya tentu selain mendapatkan keuangan secara ekonomi, juga dalam rangka
mengamalkan firman Allah (QS al-Baqarah (2):275). Karena dalam firman tersebut
ditegaskan bahwa Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dengan
demikian, jika seseorang hamba Allah yang ingin mendapatkan keuntungan hakiki bukan
dilakukan dengan cara riba, melainkan dengan cara jual beli. adapun tujuan jual beli itu
sendiri dapat dicapai melalui jenis akad yang digunakan. Namun apabila dalam jual beli
niatnya bukan karena Allah melainkan hanya untuk mencari keuntungan semata, maka
hasilnya pun sesuai dengan apa yang diniatkannya itu.

Dengan menempatkan tujuan akad secara lahir dan batin pada waktu permulaan
akad, maka diharapkan akan lebih menuntut ke sungguhan dari masing-masing pihak yang
terlibat sehingga apa yang menjadi tujuan akad dapat tercapai.
2.7 Berakhirnya Akad
suatu akad yang dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad
jual beli misalnya, akad dipa nadang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik
kepada pembeli dan harganya telah menajadi pemilik penjual.

Selain tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh


(pembatalan) atau telah berakhir waktunya.

Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagai berikut:

1. Di-fasakh(dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yang
disebutkan dalam akad rusak. Misalnya jual beli barang yang tidak memenuhi syarat
kejelasan.
2. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat, atau majelis.
3. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena menyesal atas akad
yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini desebut iqalah.
4. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak
bersangkutan. Misalnya, dalam khiyar pembayaran (khiyar naqd) penjual mengatakan,
bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, denga ketentuan apabila dalam waktu yang
ditentukan tidak membayar maka akad menjadi batal.
5. Karena habis waktunya seperti dalam akad sewa-menyewa berjangka waktu tertentu dan
tidak dapat diperpanjang.
6. Karena tidakk dapa izin pihak yang berwenang.
7. Karena kematian.
BAB III
PENUTUP

2.6 Kesimpulan

Dalam istilah bahasa kata ‘Aqada – ya’qidu – ‘aqdan berarti ikatan dan tali
pengikat. Jika dikatakan Aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali
lalu mengikatnya, kemudian makna ini berpindah dari hal yang bersifat hissi (indra)
kepada ikatan yang tidak tampak antara dua ucapan dari kedua belah pihak yang sedang
berdialog.
Adapun makna akad secara syari’I yaitu: “Hubungan antara ijab dan qabul dengan
cara yang dibolehkan oleh syariat yang mempunyai pengaruh secara langsung.” Ini
artinya bahwa akad termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut
pandangan syara’ antara dua orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduannya yang
kemudian dua keinginan itu dinamakan ijab dan qabul. Dan sebagian ulama fiqih
mendefinisikan sebagai ucapan yang keluar untuk menggambarkan dua keinginan yang
ada kecocokan, sedangkan jika hanya dari satu pihak yang berkeinginan tidak di makan
akad tapi di namakan janji.

Akad dapat dibagi kepada beberapa bagian dengan meninjaunya dari beberapa segi.
Hukum dan sifatnya, dari segi watak dan adanya hubungan antara hukum dengan shighat-
nya, dan dari segi maksud dan tujuan.

Ditinjau dari segi hukum dan sifatnya akad, menurut jumhruh ulama, terbagi
kepada dua bagian: Akad shahih., Akad ghair shahih (batil fasid). Sendangkan menurut
hanafiah akad terbagi kepada tiga bagian dengan membagi akad ghair shahih menjadi dua
bagian: Akad shahih, Akad ghair shahih.: Akad yang batil, Akad yang fasid.

Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsure
asasi dari akad. Syarat akad tersebut adalah :

Al-Aqid atau pihak-pihak yang berakad

Shighat atau perbuatan yang menunjukkan terjadinya akad berupa ijab dan Kabul.

Al-Ma’qud alaih atau objek akad


Tujuan pokok akad. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’ dan tujuan akad itu
terkait erat dengan berbagai bentuk yang dilakukan.

Tujuan akad (maudhu al-‘aqd) ialah maksud utama disyariatkan akad itu sendiri.
Misalnya, seorang nasabah ingin melakukan jual beli melalui lembaga perbankan syariah
tujuannya tentu selain mendapatkan keuangan secara ekonomi, juga dalam rangka
mengamalkan firman Allah (QS al-Baqarah (2):275). Karena dalam firman tersebut
ditegaskan bahwa Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dengan
demikian, jika seseorang hamba Allah yang ingin mendapatkan keuntungan hakiki bukan
dilakukan dengan cara riba, melainkan dengan cara jual beli.

suatu akad yang dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akad
jual beli misalnya, akad dipa nadang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik
kepada pembeli dan harganya telah menajadi pemilik penjual
DAFTAR PUSTAKA

1. Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat Volume 1. Jakarta: Amzah.


2. Mardani.2012. Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana Pustaka Spirit.
3. Azam, Abdul Aziz M. 2017. Fiqh Muamalat Volume 3. Jakarta: Amzah.
4. Doi, Rahman I. 1999. Syariah III Muamalah. Sriganting
5. Oni, Sahroni dan M Hasanuddin. Jakarta: Fajar Interpratama Mandiri.

You might also like