You are on page 1of 6

MAKALAH

“Norma - Norma Akad dalam Fiqih Islam”

Dosen pengampu :
Rahmawaty, S.HI., M.SI

Disusun oleh :
Aslan Lantemona (20141002)
Mohamad Iksan Lamba (20141013)
Salwa Jilan I Firani (20141017)
Sinatrya Fidianto (20141027)
Fauzia Salsabila Hiola (20141028)
Fadillah Shafa Simbuka (20141031)

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MANADO
2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

BAB II
PEMBAHASAN

2.2 Pengertian Akad


Dalam istilah bahasa kata ‘Aqada – ya’qidu – ‘aqdan berarti ikatan dan tali pengikat. Jika
dikatakan Aqada al-habla maka itu menggabungkan antara dua ujung tali lalu mengikatnya,
kemudian makna ini berpindah dari hal yang bersifat hissi (indra) kepada ikatan yang tidak
tampak antara dua ucapan dari kedua belah pihak yang sedang berdialog.

Dalam terminology ahli bahasa akad mencakup makna ikatan, pengokohan dan penergasan dari
satu pihak atau kedua belah pihak. Makna secara bahasa ini sangat sesuai sekali dengan apa yang
dikatakan oleh kalangan ulama fiqh, di mana kita mendapati kalangan ulam fiqh menyebut akad
adalah setiap ucapan yangkeluar sebagai penjelas dari dua keinginan yang ada kecocokan
sebagaimana mereka juga menyebut arti akad sebagai setiap ucapan yang keluar yang
menerangkan keinginan walaupun sendirian.

Abu BAkar Al-Jashshash berkata : “Setiap apa yang diikatkan oleh seseorang terhadap satu
urusan yang akan dilaksanakannya atau diikatkan kepada orang lain untuk dilaksanakan secara
wajib, karena makna asal dari akad adalah ikatan lalu dialihkan kepada makna sumpah dan akad
seperti akad jual beli dan yang lainnya maka maksudnya adalah ilzam (mengharuskan) untuk
menunaikan janji dan ini dapat terjadi jika ada harapan-harapan tertentu yang akan didapatkan
pada waktu-waktu tertentu. Dinamakan jual beli, nikah, sewa menyewa, dan akad –akad jual beli
yang lain karena setiap pihak telah memberikan komitmen untuk memenuhi janjinya dan
dinamakan sumpah terhadap sesuatu di masa mendatang sebagai akad karena pihak yang
bersumpah telah mengharuskan dirinya untuk memenuhi janjinya baik dengan berbuat ata
dengan meninggalkan.
Adapun makna akad secara syari’I yaitu: “Hubungan antara ijab dan qabul dengan cara yang
dibolehkan oleh syariat yang mempunyai pengaruh secara langsung.” Ini artinya bahwa akad
termasuk dalam kategori hubungan yang mempunyai nilai menurut pandangan syara’ antara dua
orang sebagai hasil dari kesepakatan antara keduannya yang kemudian dua keinginan itu
dinamakan ijab dan qabul.

Dan sebagian ulama fiqih mendefinisikan sebagai ucapan yang keluar untuk menggambarkan
dua keinginan yang ada kecocokan, sedangkan jika hanya dari satu pihak yang berkeinginan
tidak dimakan akad tapi dinamakan janji. Dengan landasan, ath-Thusi. Membedakan antara akad
dan janji, karena akad mempunyai makna meminta diyakinkan atau ikatan, ini tidak akan terjadi
kecuali dari dua belah pihak, sedangkan janji dapat dilakukan oleh satu orang.

2.3 Macam-macam Akad


Akad dapat dibagi kepada beberapa bagian dengan meninjaunya dari beberapa segi. Hukum dan
sifatnya, dari segi watak dan adanya hubungan antara hukum dengan shighat-nya, dan dari segi
maksud dan tujuan.

1. Ditinjau dari seg hukum dan sifatnya


Ditinjau dari segi hukum dan sifatnya akad, menurut jumhruh ulama, terbagi kepada dua
bagian:
a. Akad shahih.
b. Akad ghair shahih (batil fasid).
Sendangkan menurut hanafiah akad terbagi kepada tiga bagian dengan membagi akad
ghair shahih menjadi dua bagian:
a. Akad shahih.
b. Akad ghair shahih.
1). Akad yang batil.
2). Akad yang fasid.
Dari pembagian tersebut terlihat adanya perbedaan antara jumhur.ulama dan hanifa.
Jumhur ulama membagi akad kepada shahih dan batil atatu fasid, sementara hanafiah
membaginya kepada tiga bgian yaitu shahih fasid, dan batil. Jumhur ulama tidak
membedakan antara fasid dan batil. Sendagkan hanafia menganggap bahwa fasid
tidak sama dengan batil. Perbedaan antara fasid dan batil akan dijelaskan dalam
uraian berikut ini.

2.4 Rukun-rukun Akad


1. Shighat (Ijab Qabul)
 Shighat terjadi ketika ada hubungan dan timbale balik antara ijab dan qabul
 Shighat terjadi ketika ada shighat ijab dari satu pihak (menurut sebagian fuqaha)
2. Pelaku akad (ahliyah & wilayah)
 Pihak akad boleh mengatasnamakan diri sendiri
 Pihak akad boleh mengatasnamakan (wakil) orang lain
 Pihak akad boleh sebagai fudhuli
3. Objek barang (Ma’qud ‘alaih)
 Boleh berupa asset
 Boleh berupa manfaat
 Boleh berupa utang
 Boleh berupa pekerjaan

2.5 Syarat-syarat akad


Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsure asasi dari
akad. Rukun akad tersebut adalah :

a) Al-Aqid atau pihak-pihak yang berakad adalah orang, persekutuan atau badan
usaha yang memiliki kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum. Karena itu,
orang gila dan anak kecil yang belum mummayid tidak sah melakukan transaksi
jual beli, kecuali membeli sesuatu yang kecil-kecil atau murah seperti korek
api,korek kuping, dan lain-lain.
b) Shighat atau perbuatan yang menunjukkan terjadinya akad berupa ijab dan Kabul.
Dalam akad jual beli, ijab adalah ucapan yang diucapkan oleh penjual, sedangkan
Kabul adalah ucapan setuju dan rela yang berasal dari pembeli.
c) Al-Ma’qud alaih atau objek akad. Objek akad adalah amwal atau jasa yang
dihalalkan yang dibutuhkan masing-masing pihak
d) Tujuan pokok akad. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’ dan tujuan akad itu
terkait erat dengan berbagai bentuk yang dilakukan. Misalnya tujuan akad jual
beli adalah untuk memindahkan hak penjual kepada pembeli dengan imbalan.

2.6 Tujuan Akad


Tujuan akad (maudhu al-‘aqd) ialah maksud utama disyariatkan akad itu sendiri.
Misalnya, seorang nasabah ingin melakukan jual beli melalui lembaga perbankan syariah
tujuannya tentu selain mendapatkan keuangan secara ekonomi, juga dalam rangka mengamalkan
firman Allah (QS al-Baqarah (2):275). Karena dalam firman tersebut ditegaskan bahwa Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Dengan demikian, jika seseorang hamba
Allah yang ingin mendapatkan keuntungan hakiki bukan dilakukan dengan cara riba, melainkan
dengan cara jual beli . adapun tujuan jual beli itu sendiri dapat dicapai melalui jenis akad yang
digunakan. Namun apabila dalam jual beli niatnya bukan karena Allah melainkan hanya untuk
mencari keuntungan semata, maka hasilnya pun sesuai dengan apa yang diniatkannya itu.

Dengan menempatkan tujuan akad secara lahir dan batin pada waktu permulaan akad, maka
diharapkan akan lebih menuntut ke sungguhan dari masing-masing pihak yang terlibat sehingga
apa yang menjadi tujuan akad dapat tercapai.

2.7 Berakhirnya Akad


suatu akad yang dipandang berakhir apabila telah tercapai tujuannya. Dalam akd jual beli
misalnya, akad dipa nadang telah berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli
dan harganya telah menajadi pemilik penjual.

Selain tercapai tujuannya, akad dipandang berakhir apabila terjadi fasakh (pembatalan) atau
telah berakhir waktunya.
Fasakh terjadi dengan sebab-sebab sebagai berikut:
1. Di-fasakh(dibatalkan), karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan syara’, seperti yang
disebutkan dalam akad rusak. Misalnya jual beli barang yang tidak memenuhi syarat
kejelasan.
2. Dengan sebab adanya khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat, atau majelis.
3. Salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena menyesal atas akad
yang baru saja dilakukan. Fasakh dengan cara ini desebut iqalah.
4. Karena kewajiban yang ditimbulkan, oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak
bersangkutan. Misalnya, dalam khiyar pembayaran (khiyar naqd) penjual mengatakan,
bahwa ia menjual barangnya kepada pembeli, denga ketentuan apabila dalam waktu yang
ditentukan tidak membayar maka akad menjadi batal.
5. Karena habis waktunya seperti dalam akad sewa-menyewa brjangka waktu tertentu dan
tidak dapat diperpanjang.
6. Karena tidakk dapa izin pihak yang berwenang.
7. Karena kematian.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

REFERENSI

You might also like