You are on page 1of 41
PANDUAN MANAJEMEN NYERI SK DIREKTUR UTAMA NOMOR 790/UNI/RSA/YANMED/SK/2018 RUMAH SAKIT AKADEMIK UNIVERSITAS GADJAH MADA A TAHUN 2018 KEPUTUSAN DIREKTUR UTAMA RUMAH SAKIT AKADEMIK UNIVERSITAS GADJAH MADA. NOMOR 790/UN1/RSA/YANMED/SK/2018 rENTANG PEMBERLAKUAN PANDUAN MANAJEMEN NYERI RUMAH SAKIT AKADEMIK UNIVERSITAS GADJAH MADA. DIREKTUR UTAMA RUMAH SAKIT AKADEMIK UNIVERSITAS GADJAH MADA, Menimbang Mengingat a bahwa memperhatikan Surat Keputusan Direktur Utama nomor 371/SK/Dir-RSA/X1/2014 tentang Panduan Menejemen Nyeri memerlukan perubahan sesuai kemajuan ilmu kedokteran, agar dalam memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu dan paripuma bagi pasien, perlu pengelolaan penanganan nyeri yang terpadu; bahwa untuk mewujutkan sebagaiman tersebut pada huruf a, perlu adanya Panduan Mengjemen Nyeri; bahwa schubungan dengan hurufa dan b, diatas perlu ditetapkan dalam Keputusan Direktur Utama Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit; Undang-UndangNomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, ‘Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4431); Undang-UndangNomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); Undang-UndangNomor 44 Tahun 2009 tentang RumahSakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor $072); 10. ML. 12, 1B. 14, 15. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi; Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 49, ‘Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3637); Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512/MENKES/PER/IV/2007 Tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran; Peratum Menteri Kesehatan No 69 Tahun 2014 tentang Kewajiban Rumah Sakit dan Kewajiban Pasien Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Kesehatan nomor 2/V/PB/2013 dan Nomor 38 Tahun 2013 Tentang Rumah Sakit Perguruan Tinggi Negeri; Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 129/Menkes/SK/1/2008 tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Nomor 812/MENKES/PER/VIU/2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Dialisis pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan; Peraturan Majelis Wali Amanat Nomor 4/SK/MWA/2014 tentang Organisasi dan Tata Kelota (Governance) Universitas Gadjah Mada sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Majelis Wali Amanat Nomor 2 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Majelis Wali ‘Amanat Universitas Gadjah Mada Nomor 4/SK/MWAJ2014 tentang Organisasi dan Tata Kelola (Governance) Universitas Gadjah Mada; Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 17 Tahun 2017 tentang Tata Kelola Internal Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (Hospital By Laws) beserta perubahannya nomor 12 tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada nomor 17 Tahun 2017 Tentang Tata Kelola Intemal Rumah Sakit ‘Akademik Universitas Gadjah Mada (Hospital By Laws); Keputusan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 1831/UN1.P/SK/HUKOR/2017 tentang Perubahan Nama Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada menjadi Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada; dan Menetapkan KESATU KEDUA. KETIGA KEEMPAT KELIMA 16.Keputusan Rektor ‘Universitas Gadjah ~~ Mada_~—- Nomor 1101/UN1.P/SK/HUKOR/2018 tentang Pengangkatan Direktur Utama Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada; MEMUTUSKAN: Memberlakukan Panduan Panduan Manajemen Nyeri Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada. Panduan Panduan Manajemen Nyeri Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan, Segala biaya yang timbul akibat ditetapkannya Surat Keputusan ini dibebankan pada Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan Rumah Sekit Akademik Universitas Gadjah Mada, Dengan berlakunya surat keputusan ini maka Keputusan Direktur Utama nomor 371/SK/Dir-RSA/XIU/2014 tentang Panduan Menejemen Nyeri dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi. Keputusan Direktur Utama ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan, Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 1 Oktober 2018 DIREKTUR UTAMA, wc. Atte Budiytito, Ph.D., Sp. KK(K) NIP 19700421 1997021001 +f, DAFTAR ISI BAB Il RUANG LINGKUP. BAB III TATA LAKSANA. BAB IV DOKUMENTASI if x BABI DEFINISI Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan adanya kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman sensorik dan emosional yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan jaringan (interational association for the study of pain). . Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas, memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau penyakit. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama, Nyeri kronik yang terus menerus ada meskipun telah terjadi proses penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang pasti. BABII RUANG LINGKUP Ruang Lingkup panduan pelayanan nyeri meliputi pelayanan bagi pasien-pasien di Instalasi Gawat Darurat, Instalasi Rawat Jalan, Instalasi Rawat Inap, dan Instalasi Bedah Sentral (IBS) Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada. Setiap pemberi pelayanan kesehatan harus mengetahui atas berbagai perilaku dan budaya dari pasien, sehingga dalam penanganan terhadap nyeri, setiap orang dapat melakukan pengkaj dan tindakan pemberian terapi secara obyektif. Dalam panduan ini mencakup pengkajian nyeri yang terdiri dari pengkajian awal dan pengkajian ulang nyeri, serta tatalaksana manajemen nyeri sesuai rentang usia dan karakteristik pasien. Dengan disusunnya panduan manajemen nyeri ini, diharapkan adanya standarisasi dalam asesmen dan manajemen nyeri di Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada sehingga kualitas pelayanan kesehatan khususnya penanganan nyeri di Rumah Sakit Universitas Gadjah Mada semakin baik, BABII TATA LAKSANA. A. PENGKAJIAN NYERI 1, Anamnesis a. Riwayat Penyakit Sekarang Lakukan pengkajian nyeri dengan pendekatan PQRST antara lain P: provokes and palliates (kaji apakah penyebab nyeri, apa yang menyebabkan nyeri membaik, apa yang memperburuk nyeri) | Q quality (Kaji seperti apa kualitas nyeri yang dirasakan? Apakah nyeri dirasa tajam, tumpul, seperti tertusuk, terbakar, tertekan) R: region and radiation (kaji dimana letak nyeri dirasakan, apakah nyeri menetap pada satu tempat? Apakah nyeri menjalar? Bila iya, pada bagian mana saja. Apakah nyeri dimulai pada beberapa tempat atau terlokalisir pada satu tempat? S: severity (seberapa parah nyerinya, berapa skala yang dirasakan 0-10 (0 tidak nyeri, 10 sangat nyeri) T: time and treatment (Kaji kapan nyeri mulai dirasakan, apakah hilang timbul atau ‘menetap, kaji apakah sudah mendapatkan terapi untuk mengurangi nyeri) b. Riwayat pembedahan / penyakit dabulu ¢. Riwayat psiko- sosial 1) Riwayat konsumsi alkohol, merokok, atau narkotika 2) Identifikasi pengasuh / perawat utama (primer) pasien 3) Identifikasi kondisi tempat tinggal pasien yang berpotensi menimbulkan | eksaserbasi nyeri | 4) Pembatasan / restriksi partisipasi pasien dalam aktivitas sosial yang berpotensi | ‘menimbulkan pengaruh negatif terhadap motivasi dan kooperasi pasien dengan | rogram penanganan/ manajemen nyeri ke depannya. Pada pasien dengan masalah psikiatr, dipertukan dukungan psikoterapi / psikofarmaka 5) Tidak dapat bekerjanya pasien akibat nyeri dapat menimbulkan stres bagi pasien/keluarga. d. Riwayat pekerjaan Pekerjaan yang melibatkan gerakan berulang dan rutin, seperti mengangkat benda berat, membungkuk atau memutar merupakan pekerjaan tersering yang | berhubungan dengan nyeri punggung. 3 €. Obat-obat dan alergi 1) Daftar obat-obatan yang dikonsumsi pasien untuk mengurangi nyeri 2) Cantumkan mengenai dosis, tujuan minum obat, efektifitas, dan efek samping, 3) Direkomendasikan untuk mengurangi atau memberhentikan obat-obatan denga efek samping kognitif dan fisik. f. Riwayat keluarga Evaluasi riwayat medis terutama penyakit genetik 8. Asesmen sistem organ yang komprehensif: 1) —_Evaluasi gejala kardiovaskular psikiatri pulmoner, gastrointestial, neurolgi, Teumatologi, genitourinaria, endokrin dan muskuloskeletal. 2) Gejala kontitusional penurunan berat badan, nyeri malam hari, keringat malam, dan sebagainya, 2, Asesmen Nyeri Asesmen nyeri dibagi menjadi beberapa klasifikasi, Berikut asesmen nyeri berdasarkan rentang usia dan karakteristik khusus lainnya, antara lain: a. NIPS (Neonatal Infant Pain Score) 1) Indikasi: NIPS digunakan pada pasien usia 0-1 bulan 2) Instruksi: Perawat melakukan penilaian pada ekspresi wajah, tangisan, pola nafas, pergerakan lengan dan tungkai, serta tingkat kesadaran. ‘Tabel 1. Asesmen nyeri NIPS Parameter ‘Skor Ekspresi ORelaks wajah 1 Meringis Tangisan 0 tidak menangis 1 merengek 2 menangis kuat Pola nafas 0 Sesuai pola nafas bayi 1 berubah, tidak beraturan, cepat “Lengan ___ORileks, tidak ada otot yang tegang 1 fleksi/ekstensi, tegang, lengan kaku “Tungkai____O Rileks, tidak ada otot yang tegang 1 fleksi/ekstensi, tegang, lengan kaku “Keadaan —__O tertidur/terjaga, nampak tenang umum 1 rewel, tegang dan meronta-ronta 4 3) Interpretasi: skala nyeri 1-2 : nyeri ringan, 3-4: nyeri sedang, >4 : nyeri berat b, Asesmen nyeri menggunakan FLACC (Face Legs Activity Cry Consolability) 1) Indikasi: digunakan untuk anak usia 1 bulan-7 tahun) 2) Instruksi: Lakukan pengkajian pada pasien berdasarkan tingkat kesadaran. Pasien sadar: lakukan observasi dilakukan selama 1-5 menit atau lebih. Observasi 3 tahun) yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan angka, gunakan asesmen 2) Instruksi: pasien diminta untuk menunjuk / memilih gambar mana yang paling sesuai dengan nyeri yang ia rasakan, Tanyakan juga lokasi dan durasi nyeri 3) Interpretasi © O tidak nyeri © 1-3:nyeri ringan © 4-6: nyeri sedang 7-10: nyeri berat Gambar 1. Wong Baker Faces Pain Rating Scale OS es: ( -28- 2 4 6 8 10 wus urs nus rss UTTESTT UTTLEMORE EVENMORE WHOLELOT WORST 4. Asesmen nyeri menggunakan Numeric Rating Scale 1) Indikasi digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 3 tahun yang dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang dirasakannya, 2) Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan dan dilambangkan dengan angka antara 0 jika tidak ada rasa nyeri— 10 untuk nyeri yang sangat. Subyektifitas nyeri pasien akan divalidasi dengan hasil data obyektif respon nyeri. 3) Interpretasi: © 0 = tidak nyeri * 1-3 = nyeri ringan (secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik) * 4~6=nyeri sedang (secara obyektif pasien menyeringai, dapat menunjukan lokasi nyeri, atau mendeskripsikan, dapat mengikuti perintah dengan baik, tidak dapat diatasi dengan alih posisi, nafas dalam, distraksi) © 7 ~ 10 = nyeri erat (secara objektif pesien terkadang tidak mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan dan menunjukan lokasi nyeri, pada skala nyeri 10, pasien tidak dapat mendiskripsikan dan tidak dapat berkomunikasi, ekspresi wajah tampak kesakitan sekali) 6 ° No Huet e. Neontal Pain Assesment Tool (NPAT)/Modified Pain Assesment Tool (mPAT) 1) Indikasi: digunakan untuk mengkaji nyeri pada neonatus yang lahir dengan usia Kehamilan 24 minggu sampai cukup bulan, mPAT dilakukan dengan ‘melihat tanda dari perilaku dan tanda fisiologis pasien. 2) Instruksi: lakukan observasi perilaku dan parameter fisiologis pasi Perilaku yang dilihat antara lain: dari postur/tonus, pola tidur, ekspresi wajah, warna kulit, dan menangis Tande-tanda fisiologis yang dilihat antara lain: status respirasi, nadi, saturasi, dan tekanan darah 3) Instruksi: = Observasi neonatus dan lakukan penilaian status perilaku, wama kulit, dan cekspresi wajah ~ Kemdian sentuh dengan lembut badan neonatus untuk mengkaji tonus otot ~ Nilai neonatus untuk setiap parameter fisiologis dan perilaku, serta persepsi perawat ~ Setiap item dinilai dari 0-2, dan dikalkulasikan secara keseluruhan (total nilai 20 untuk level nyeri tertinggi) ~ Bila dalam penilaian tonus otot neonatus dinilai rileks, maka skor totalnya adalah 10, karena neonatus hanya dapat dinilai pada indikator fisiologis, bbukan perilaku nyeri - Nila 2 untuk persepsi perawat tethadap nyeri tidak boleh diberikan untuk faktor lain yang berkontribusi terhadap nyeri neonatus (misal adanya ETT, hhari pertama paska operasi, jenis operasi, dll). Namun skor ini harus iberikan bila neonatus saat itu dianggap kesakitan sebagai akibat dari faktor lain, Tabel 3. Neonatal Pain Assesment Tool (NPAT) A. Fisik B. Fisiologis Postur/t Fleksi atau 2 Ekstensi 1 Respirasi Apnea 2 Tachypnea onus —_tegang Pola Gelisahvlem 2 Tenang 0 Denyut fluktuas 2 Takikardi tidur ah jantng i Ekspresi Mringis 2 Mengeru ‘1 Saturasi Penura 2 Normal tkan dahi nan ‘saturasi Menang ya 2 Tidak 0 Tekanan Hipoten 2 Normal is darah if hiperte asi Wama Pucat/biru—=2 ‘Pink ~—~—~O C. Ne ik kulit _kemerahan Persepsi_nyeri anyeri perawat 4) Interpretasi: Nyeri ringan (skor 5): farmakologi (kolabolasi pemberian analgetik/paracetamol; nyeri berat (skor >10): farmakologi, kolaborasi pemberian analgetik, narkotik, dan sedasi) £ Non Verbal Pain Scale 1) Indikasi: digunakan untuk menilai nyeri pada pasien pada area perawatan kritis 2) Instruksi: Lakukan observasi pada wajah, aktivitas/pergerakan pasien, posisi tubuh, vital sign (tekanan darah sistole, heart rate (HR), dan respiration rate (RR)), serta status respirasi pasien, Tabel 4. Non verbal pain scale dewasa NON VERBAL PAIN SCALE DEWASA 0 7 Wajah Tanpa ekspresi_ Kadang meringis, Khas nyeri atau berlinang air mata, dapat cemberut, tersenyum mengernyitkan dahi Aktivitas Berbaring ——- Mencari perhatian (pergerakan) tenangposisi dengan bergerak- normal gerak Posisi Berbaring Tangan tenang, posisi_ menggenggam, normal tubuh menegang Vitalsign —Vitalsign—Tekanan dara stabil sitolik> 20 mmHg, HR > 20 kali/menit Respirasi. — RR/SpO2 RR>10 diatas nilai normal, selaras normal atau SpO2 dengan turun 5 %, Kadang ventilator tidak singkron dengan ventilator 3) Interpretasi 2 Selalu meringis, berlinang air mata, cemberut, mengemyitkan dahi Gelisah dan atau reek mencabut | | Kaku, menolak untuk diposisikan normal ‘Tekanan darah sistolik >30mmHg, HR >25 kali/menit RR>20 diatas nilai normal atau SpO2 turun 10 %, Sangat tidak singkron dengan ventilator ‘anpa nyeri, 3-6 : nyeri sedang, 7-10: Nyeni berat Tabel 5. Non verbal pain scale anak NON VERBAL PAIN SCALE ANAK 0 Wajah Tidak ada ekspresi atau senyum Aktivitas _Berbaring (pergerakan) tenang, posisi normal Posisi tubuh Berbaring tenang, tidak ada posisi tangan di atas tubuh Fisiologi Vital sign (Vital sign) stabil, tidak ada perubahan dalam 4 jam. Respirasi —_Respirasi sesui baseline » SpO2 sesuai setting ventilator T 2 Sesekali meringis, Sering menangis, mengeluarken air mengeluarkan air ‘mata, mengerutkan mata, mengerutkan dabi dahi Mencariperhatian’” Gerakan elisali dan dengan gerakan —ataumelawan berhatichati | Gerakan menggeliat, Kekakuan tubuh keteganga pada tubuh Perubahan dalam 4 — Perubahan dalam 4 jam dari salah 1 TDS jam dari salah satu 10, denyut jantung dari salah 1 TDS >20, >10, laju nafas >5 Denyut jantung >15, Laju nafas >10 Respirasi >5 diatas _ Respirasi >10 diatas baseline atau SpO2 _ baseline atau SpO2 S% asinkroni ringan 10% asinkroni berat dengan ventilator dengan ventilator 4) Interpretasi: 0: tidak ada nyeri; 1-3: nyeri ringan; 4-6: Nyeri sedang, 7-10: nyeri berat 8. Critical — Care Pain Observation Tool (CPOT) Indikasi: untuk menilai nyeri pada pasien dewasa yang tidak dapat berkomunikasi secara verbal dengan masalah ventilasi. CPOT dapat dilakukan pada pasien dengan kondisi antara lain: mengalami penurunan kesadaran dengan GCS >4, tidak ‘mengalami brain injuri, memiliki fungsi motorik yang baik. 10 Instruksi: Terdiri dari 4 domain yaitu ekspresi wajah, pergerakan tonus otot dan toleransi terhadap ventilator atau vokalisasi (pada pasien yang tidak menggunakan ventilator. Penilaian CPOT menggunakan skor 0-8, dengan total skor>2 menunjukkan adanya nyeri. Tabel 6. Pengkajian nyeri CPOT N Tndikator Deskripst Nilai ° | T Ekspresi wajah Relaks, ekspresi wajah netral, Tidak ada 0 ketegangan otot | “Tegang/kaku. Dahi-mengkerut, ais mata 1 | ‘menurun, orbital dan atau levator mengencang, | perubahan lain seperti membuka mata, atau | menangis selama prosedur dilakukan “Meringis, Semua gerakan diatas ditambah 2 kkelopak mata menuup rapat 2 Gerakan tubuh Posisi normal. Tidak bergerak sama sekali 0 Perlindungan. Gerakan lambat, berusaha 1 menyentuh daerah nyeri “Gelisab/agitasi. Berusaha menarik tabung atau 2 mencabut selang, _berusaha —_duduk, ‘menggerakkan kaki dan meronta, tidak mengikuti perintah, menyerang _petugas, berusaha keluar dari tempat tidur 3 mengikuti ventilator Ventilator toleran terhadap pergerakan. Alarm 0 (terintubasi) tidak berbunyi, ventilasi lancar “Batuk namun masih toleransi. Batuk, alam 1, bunyi,tetapi berhenti sendiri atau “Melawan ventilator. Asinkron, ventilator 2 _| tethambat, alarm sering bunyi ‘Vokalisasi (ekstubasi) ___Berbicara dengan intonasi nonmal/tanpa suara 0 Mendesah, merintih T Menangis, terisak-isak 2 4 Relaks. Tidak melawan saat dipindah posist 0 Fry Ketegangan otot (dengan Tegang, kaku. Melawan saat dipindah posisi 1 cara mengevaluasi pada “Melawan dengan sangat kuat seat dipindah 2 saat melakukan fleksi dan posisikan ekstensi pasif ekstremitas atas saat pasien istirahat atau pindah posisi) Interpretasi: Skor 1-2: nyeri ringan; 3-4; nyeri sedang, 5-6: nyeri berat, 7-8: nyen sangat berat Berikut pengkajian nyeri berdasarkan waktu pengkajian antara lain: a, Pengkajian awal 1) Rawat jalan: dilakukan setiap kali kunjungan diisikan di format EHR, untuk pasien dialysis dalam form Rekam Medis Hemodialisa 2) Rawat Inap: dilakukan 24 jam pertama dalam format pengkajian awal terintegrasi, bila Nyeri maka buat perencanaan pada formulir rencana penatalaksanaan b. Pengkajian ulang Pengkajian ulang nyeri dilakukan pada pasien yang dirawat lebih dari beberapa jam | dan menunjukan adanya rasa nyeri, ditulis dalam form intervensi dan pengkajian ulang nyeri. Pengkajian ulang nyeri dilakukn antara lain sebagai berikaut: 1) Lakukan asesmen nyeri yang komprehensif setiap kali melakukan pemeriksaan fisik pada pasien 2) Dilakukan pada pasien yang mengeluh nyeri 1 jam setelah tatalaksana nyeri, setiap empat jam (pada pasien yang sadar/bangun), pasien yang menjalani prosedur kedokteran yang menyakitkan, sebelum transfer pasien dan sebelum =| | pasien pulang dari rumah sakit, 3) Pada pasien yang mendapatkan intervensi nyeri obat injeksi, asesmen ulang nyeri dilakukan 15 menit setelah pemberian obat 4) Pada pasien dengan intervensi nyeri obat oral atau lainnya, asesmen ulang dilakukan 1 jam setelah pemberian obat oral 5) Pada pasien yang mengalami nyeri kardiak (jantung), lakukan asesmen ulang setiap 5 menit setelah pemberian nitrat atau obat-obatan intravena, Setelah emberian nitrat sublingual, lakukan pemeriksaan electrocardiogram (EKG), hhubungi tim jantung, | 6) Nyeri yang meningkat hebat secara tiba-tiba, terutama bila sampai menimbulkan perubahan tanda vital, merupakan tanda adanya diagnosis medis atau bedah yang baru (misalnya komplikasi pasca-pembedahan, nyeri neuropatik). 7) Skala 1-3 (ringan): pengkajian ulang dilakukan setiap 8 jam 8) Skala 4-6 (sedang): Pengkajian ulang tiap 3 jam s.d skala <3 9) Skala 7-10 (berat): Pengkajian tiap 1 jam B. PENATALAKSANAAN NYERI PASIEN DEWASA. Ma oon —> Stat i ¥ ¢—— das mounop srouis0ss0p {npar soe aps nes 0 APOIO NOS Gambar 2. WHO Analgesic Ladder Berikut penatalaksanaan nyeri berdasarkan skala nyeri sesuai algoritme WHO: + Skala 1-3 (ringan): Berikan terapi non farmakologi (teknik ditraksi, relaksasi, pengalihan perhatian, dil), atau obat oral Analgesic Ladder Step 1: Non opioid dengan atau tanpa analgesik adjuvant - Skala 4-6 (sedang): Laporkan pada DPJP, Bila 2x24 jam nyeri tidak berkurang, DPJP konsul tim nyeri/DPJP Anestesi, Pemberian obat Analgesic Ladder Step 2: Opioid untuk nyeri ringan sampai sedang ditambah non-opioid, dengan atau tanpa analgesik adjuvant ~ Skala 7-10 (berat): Konsul DPJP anestesi, Pemberian obat Analgesic Ladder Step 3: Opioid untuk nyeri sedang sampai berat ditambah non opioid, dengan atau tanpa analgesik ajuvant Penatalaksanaan nyeri pada pasien In partu: Penanganan dengan edukasi dan relaksasi (lihat di SPO Manajemen Nyeri Non Farmakologi 3B 1, Terapi Farmakologi Untuk terapi farmakologi: gunakan Step-Ladder WHO. me . OAINS efekif untuk nyeri ringan — sedang, opioid efektif untuk nyeri sedang-berat. ._ Mulailah dengan pemberian OAINS / opioid lemah (langkah 1 dan 2 ) dengan pemberian intermiten (pro renaia) opioid yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien, Jika langkah 1 dan 2 kurang efektif / nyeri menjadi sedang — berat, dapat 4itingkatkan menjadi 3 (ganti dengan opioid kuat dan analgesik dalam kurun waka 24 jam setelah langkah 1 ) |. Penggunaan opioid harus dititrasi. Opioid standar yang sering digunakan adalah morfin, kodein Jika pasien memiliki kontraindikasi absolut OAINS, dapat diberikan opioid ringan. Jika fase nyeri akut pasien telah terlewat, lakukan pengurangan dosis secara bertahap « Intravena: antikonvulsan, ketamine, OAINS, opioid © Oral: antikonvulsan, antidepresan, antihistamin, anxiolytie, kortikosteroid, anestesi lokal, OAINS, opioid, tramadol Rektal (supositoria): parasetamol, aspirin, opioid, fenotiazin, Topical, EMLA Subkutan : opioid, anestesi lokal 4 ——__ eae (ne tr er] af cn * ia 1 ‘skala nyeri eal ‘osiancresapan eno? |____o] natn ura reset — anstan spt Ont id = feecemnaeal! RR ne smn a Se ce + Amba 100mg pein dan eampur dengan sage aet Shor dat 0a 17 ‘eran abel pee ape Tok ‘Mints saran ke dotter senior 7 ‘Tunda dost ingga sor sedasl <2 ecieeae eat —eo emma a erences ia sagen] —_f we * ieee eects PaaS ‘aka sor nyo 46 berikan 1 mb cash ert ben sk ‘Heater npl beta ’ Gambar 3. Algoritma Pemberian Opioid Intermitten Algoritma di atas berlaku dengan syarat: ‘¢ Hanya digunakan oleh staf yang telah mendapat intruksi ‘* Tidak sesuai untuk pemberian analgesik secara rutin diruang rawat inap biasa ‘+ Efek samping dari dosis intravena dapat terjadi selama 15 diobservasi ketat selama fase ini it sehingga semua pasien harus Manajemen efek samping: © Opioid ~ Mual dan muntah : antiemetik 15 ~ Konstipasi: berikan stimulant buang air besar, hindari laksatif’ yang mengandung serat karena dapat menyebabkan produksi gas-kembung-kram perut. ~ gatal : ertimbangkan untuk mengganti opioid jenis lain, dapat juga menggunakan antihistamin, - Mioklonus: pertimbangkan untuk mengganti opioid, atau berikan benzodiazepine ‘untuk mengatasi mioklonus ~ Depresi pemapasan akibat opioid: berikan nalokson (campur 0,4 mg nalakson dengan NaCI 0,95% sehingga total volume mencapi 10 ml). Berikan kecepatan pernapasan meningkat. Dapat diulang jika pasien mendapat terapi opioid jangka Panjang. © OAINS: ~ Gangguan gastrointestinal: berikan PPI (proton pump inhibitor) ~ Pendarahan akibat disfungsi platelet: pertimbangkan untuk mengganti OAINS yang, tidak memiliki efek terhadap agregasi platelet. Farmakologi Obat Analgesik, antara lain: Lidokain tempel (Lidocaine patch) 5% 1) Berisi lidoknin 5% (700 mg) 2) Mekanisme kerja memblok aktivitas abnormal di kanal natrium neuronal. 3) Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal, tanpa adanya efek anestesi (baal), bekerja secara perifer sehingga tidak ada efek samping sistemik 4) Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misal : herpetik, neuropati, diabetik, neuralgia pasca- pembedahan), nyeri punggung bawah, nyeri miofasial. 5) Efek samping iritasi kulitringan pada tempat menempelkan lidokain ©) Dosis dan cara penggunaan: dapat menekan hingga 3 patches di lokasi yang paling nyeri (kulit harus bersih tidak boleh ada luka terbuka dan dipakai selama < 12 jam dalam periode 24 jam. . Eutectic Mixture of Local Anesthesia a) Mengandung lidokain 2,5% dan prokain HCl 2,5% 'b) Indikasi : anestesi mukosa topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak pada membrane mukosa genital untuk pembedahan minor dan sebagai pre-medikasi untuk anestesi umum 16 ©) Mekanisme kerja: efek anastesi (baal) dengan memblok total kanal natrium saraf sensorik 4) Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan, Efek anestesi lokal pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan ditutupi kassa oklusif dan menetap selama 1-2 jam setelah kassa dilepas ©) Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau kongenital. £) Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal pada kulit dan ‘tutuplah dengan kassa oklusif. ¢. Parasetamol 1) Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan antipiretik. Dapat dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek analgesik yang lebih besar. 2) Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk dewasa dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari. 4. Obat Anti- Inflamasi Non-Steroid (OAINS) 1) Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas ringan-sedang, anti- piretik 2) Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung, angioedema, dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid 3) Efek samping: gastrointestinal (erosi/ulkus gaster), disfungsi venal, penigkatan cenzim hari, 4) Ketorolac: a) Merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral, Efektif untuk nyeri sedang-berat b) Bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau dikombinasikan dengan opiod untuk mendapat efek sinergistik dan meminimalisasi efek samping opioid (despresi pemapasan, sedasi, statis gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi multi-analgesik. €. Efek analgesik pada antidepresan 1) Mekanisme Kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin sehingga meninggalkan efek neurotransmitter tersebut dan meningkatkan aktivitas neuron inhibisi nosiseptif. 2) Indikasi: nyeri neuropatik ( neuropati DM, neuralgia pasca-herpetik cedera saraf perifer, nyeri sentral) 7 3) Contoh obat yang sering dipakai amitriptilin, imipramine, despiramin, efek perifer. Dosis 50 — 300 mg, sekali sehari Anfi-konvulsan 1) Carbamazepine efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping somnolen, gangguan berjalan, pusing. Dosis : 400-1800 mg / hari (2-3 kali perhari). Mulai dengan dosis kecil (2 x 100 mg), ditingkatkan perminggu hingga dosis efekctif. 2) Gabapentin : merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri neuropatik. Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik. Dosis : 100-4800 mg/hari (3- 4 kali sehari), Antagonis kanalnatrium 1) Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca-operasi 2) Lidokain: dosis 2mg/kgBB selama 20 menit, talu dilanjutkan dengan 1- 3 mg / kgBB/jam titrasi 3) Prokain : 4-6,5 mg/kgBB/hari. . Anatagonis kanal kalsiuml 1) Ziconotide: merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling efektif sebagai analgesik. Dosis: 1-3ug/hari, Efek samping: pusing, mual, nistagmus, ‘ketidakseimbangan berjalan, kontipasi. Efek samping ini bergantung dosis dan reversibel jika dosis dikurangi atau obat dihentikan. 2) Nimodipin, Verapamil: megobat migraine dan sakit kepala kronik. Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang menggunakan eskalasi dosis morfin. Tramadol 1) Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral, dengan efek samping yang lebih sedikit/ringan. Bersifat sinergistik dengan medikasi OAINS. 2) Indikasi: efeltif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang (nyeri) kanker, osteoarthritis, nyeri punggung bawah neuropati DM, fibromyalgia, neuralgia ppasca- herpetik, nyeri pasca- operasi. 3) Efek samping : pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi. 4) Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal dan per oral 5) Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal: 400mg dalam 24 jam. 18 6) Titrasi terbulti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi terutama 70 tahun Efek kardiovaskular: Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian : status volume intravascular, serta, level aktivitas simpatetik Morfin menimbulkan vasodilatasi Petidin menimbulkan tadikardi Mual, muntah terapi untuk mual dan muntahdan pantau tekanan dara dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan pasca- bedah, atasi kecemasan pasien, obat antiemetik. ©) Pemberian oral : 4) Status efektifnya dengan pemberian parental pada dosis yang sesuai b) Digunakan segera setelah pasien dapat mentoleransi medikasi oral. 20 7) Injeksi intravascular ) Merupakan rute parenatal standar yang sering digunakan, b) Namun, injeksi menimbulkan nyeri dan efektivitas penyerapannya tidak dapat diandalkan, ©) Hindari pemberian via intravaskular sebisa mungkin. 8) Injeksi subkutan 9) Injeksi intravena: | ) Pilihan parentaral utama setelah pembedahan major b) Dapat digunakan sebagai bolus atau pemberian terus ~ menerus (melalui infus) ©) Terdapat risiko depresi pemapasan pada pemberian yang tidak sesuai dosis 10) Injeksi mikro injeksi 8) Lokasi mikroinjeksi tebaik : mesencephalic periaqueductal b) Mekanisme kerja: memblok respons nosiseptif di otak. ©) Opioid intraserebroventrikular digunakan sebagai pereda nyeri pada pasien kanker. 11) Injeksi spinal (epidural, intratekal): a) Secara selektif keluanya neurotransmitter di neuron komu dorsalis spinal. b) Sangat efektif sebagai analgesik. ©) Hanus dipantau dengan ketat 12) Injeksi Perifer ) Pemberian opioid secara langsung ke saraf perifer menimbulkan efek | anastesi lokal(pada konsentrasi tinggi). b) Sering digunakan pada: sendi lutut yang mengalami inflamasi 13)Pembedahan: injeksi epidural, supraspinal, infiltrasi anestesi lokal di tempat nyeri. 2, Terapi non-farmakologi: a b. c 4. Kompres dingin . Kompres hangat Pengaturan posisi |. Pijat a | ¢. Relaksasi dan pemafsan £ Musik 3, Pencegahan a. Edukasi pasien: 1) Berikan informasi mengenai kondisi dan penyakit pasien, serta tatalaksanya. 2) Dislusikan tujuan manajemen nyeri dan manfaatnya untuk pasien. 3) Beritahukan bahwa pasien dapat menghubungi tim medis jika memiliki pertanyan / ingin berkonsultasi mengenai kondisinya. 4) Pasien dan kelurga ikut dilibatkan dalam menyusun manajemen nyeri (termasuk penjadwalan medikasi, pemilihan analgesik, dan jadwal kontrol). b. Kepatuhan pasien dalam menjalani manajemen nyeri dengan baik, C. PENATALAKSANAAN NYERI PADA PEDIATRIK 1. Prevalensi nyeri yang sering dialami oleh anak adalah: sakit kepala kronik, trauma, sakit perut dan faktor psikologi. 2, Sistem nosiseptif pada anak dapat memberikan respon yang berbeda terhadap kerusakan jaringan yang sama atau sederajat. 3. Neonatus lebih sensitif terhadap stimulus nyeri. Terapi pada neonatus adalah sebagai berikut: a, Skala 0-1 (ringan): Berikan terapi non farmakologi (sukrosa oral (cairan sebanyak 20-30%), disusui/berikan ASI (air susu ibu), skin to skin carelKangaroo care (Kontak fisik langsung antar kulit ibworang tua dan bayi),, berikan pengaturan posisi, mengaktifkan reflek hisap bayi, swaddling (membedong dengan posisi yang benar, yang memungkinkan lengan dan kaki bayi bergerak bebas). b. Skala >2: Berikan terapi farmakologi 1) Skala 2: berikan topikal anestesi (lidocain 2,5%/prilocain 2,5% (EMLA) dengan dosis 0,5 g sampai 1 g dioleskan pada kulit yang akan dilakukan tindakan, tutup dengan occlusive dressing selama 45-60 menit sebelum prosedur sesuai dengan kebutuhan. Efek samping: jarang terjadi methemoglobinemia, ‘feck yang sering adalah iritasi 2) Skala 3: Acetaminophen oral 10 mg/kg setiap 6 jam atau 15 mg/kg setiap 8 jam 22 IV loading dose 20 mg/kg dan maintenance terapi diberikan 10 mg/kg setiap 6 jam total dosis harian neonatus<1bulan yang lahir pada usia kehamilan 37 dan 42 minggu 50-60 mg/kg/hari dan 60-7Smg/kg/hari untuk infant 1-3 bulan Rectal 20 mg/kg setiap 6-8 jam Digunakan pada prosedur ringan hingga sedang seperti pengambilan apus darah pada tumit, jari, perawatan luka, pengambilan darah arter, sirkumsi Bisa dikombinasikan dengan morphine Efek samping: renal dan hepatic toksik 3) Skala 4: Lokal anestesi dengan injeksi lidocain sub cutan (sc)/ntramuskular (IM) dengan dosis 0,5% (Smg/mL) atau 1% (10 mg/mL). Dosis maksimum 3- Smghkg. Digunakan untuk PIC line, arterial line, pemasangan central vonous line, pungsi lumbal, dan sirkumsisi Bisa dikombinasi dengan oral sukrosa atau acetaminophene, 4) Skala 5: Sedasi dalam Opiates: morphine intravena (IV): 0.005-0.1 mg/kg/dosis dan fentanyl TM/IV 0.5-Lng/kg/dosis, fentanyl intranasal 15-2 1yg/kg/dosis (untuk prosedur seperti insisi dan drainse, lumbal pungsi, tracheal intubasi, pemasangan chest tube, pemasangan CVC 4, Pemberian analgesik: a. “By the Inder” pemberian analgesik secara bertahap sesuai dengan level nyeri anak (ringan, sedang, berat) 1) Awalnya, berikan analgesik ringan — sedang (level 1) 2) Jika nyeri menetap dengan pemberian analgesik level 1, naikkan ke leve 2 (pemberian analgesik yang lebih poten) 3) Pada pasien yang mendapat terapi opioid, pemberian parasetamol 4) Analgesik adjuvant Merupakan obat yang memiliki indikasi primer bukan untuk nyeri tetapi dapat berefek analgesik dalam kondisi tertentu Pada anak dengan nyeri neuropatik, dapt diberikan analgesik adjuvant sebagai level 1 23 + Analgesik adjuvant ini lebih spesifik dan efektif untuk mengatasi nyeri neuropatik, * Kategori: ~ _Analgesik multi-tujuan: antidepressant, agonis adremergic alfa-2, kortikosteroid, anestesi topical. + Analgesik untuk nyeri neuropatik: antidepressant , antikonvulsan, agonis GABA, anestesi oral-lokal. ~ _Anagesik untuk nyeri musculoskeletal: relaksasi otot, benzodiazepine, inhibitor osteoklas, radiofarmaka, ‘By the clok’: mengacu pada waktu pemberian analgesik. Pemberian haruslah teratur, misalnya: setiap 4-6 jam (disesuaikan dengan masa kerja bat dan derajat keparahan nyeri pasien), tidak boleh pm (jika perlu) kecuali episode nyeri pasien benar-benar intermiten dan tidak dapat diprediksi, “By the child’: mengacu pada pemberian analgesik yang sesuai dengan kondisi masing- masing individu. 1) Lakukan monitor dan asesmen nyeri secara teratur 2) Sesuaikan dosis analgesik jika periu “By the mouth’: mengacu pada jalur pemberian oral. 1) Obat harus diberikan melalui jalur yang paling sederhana, tidak invasive dan efektif, biasanya per oral. 2) Karena pasien takut dengan jarum suntik, pasien dapat menyangkal bahwa mereka ‘mengalami nyeri atau tidak memerlukan pengobatan, 3) Untuk mendapatkan efek analgesik yang cepat dan langsung, pemberian parenteral terkadang merupakan jalur yang paling efisien. 4) Opioid kurang poten jika diberikan per oral 5) Sebisa mungkin jangan memberikan obat via intramuscular karena nyeri dan absorsi obat tidak dapat diandalkan 6) Infus kontinu memiliki keuntungan yang lebih dibandingkan IM, TV, dan subkutan intermiten, yaitu: tidak nyeri, mencegah terjadinya penundaan / keterlambatan pemberian obat, memberikan kontrol nyeri yang kontinu pada anak. Indikasi: pasien nyeri dimana pemberian per oral dan opioid parenteral intermitten tidak ‘memberikan hasil yang memuaskan, adanya muntah hebat (tidak dapat memberika bat per oral) 24 € Analgesik dan anetesi regional: epidural atau spinal 1) Sangat berguna untuk anak dengan nyeri kanker stadium lanjut yang sulit diatasi dengan terapi konservatié. 2) Harus dipantau dengan baik 3) Berikan edukasi dan pelatihan kepada staf, ketersediaan segera obat-obatan dan Peralatan resusitas, dan pencatatan yang akurat mengenai tanda vital /skor nyer. ‘{£Manajemen nyeri kronik: biasanya memiliki penyebab multipel, dapat melibatkan Komponen nosiseptif dan neuropatik | | 1) Lakukan anamnesis dan fisik menyeluruh 2) Pemeriksaan penunjang yang sesuai 3) Evaluasi faktor yang mempengaruhi 4) Program terapi: kombinasi terapi obat dan non-obat (kognitif,fisik dan perilaku). 5) Lakukan pendekatan multidisiplin @. Panduan penggunaan opioid pada anak: 1) Pilih rute yang paling sesuia. Untuk pemberian jangka panjang, pilih jalur oral, | 2) Pada penggunaan infus kontinu IV, sediakan obat opioid kerja singkat dengan dosis 50%-200% dari dosis infus per jam kontinu prn, 3) Jika dipertukan >6 kali opioid kerja singkat pm dalam 24 jam, naikkan dosis infus IV per-jam kontinu sejumlah total dosis opioid pm yang diberikan dalam 24 jam dibagi 24, Alternatif lainnya adalah dengan menaikkan kecepatan infus sebesar 50% 4) Pilih opioid yang sesuai dan dosisnya 5) Jika efek analgeseik tidak adekuat dan tidak ada toksisitas tingkatkan dosis sebesar 50% 6) Saat tapering-off atau penghentian obat: pada semua pasien yang menerima opioid > 1 minggu, harus dilakukan tapering-off (untuk menghindari gejala withdrawal). Kurangi dosis 50% selama 2 hari lalu kurangi sebesar 25 % setiap 2 hari, Jika dosis ‘ekuivalen dengan dosis morfin oral (0,6 mg/ kgBB/hari ), opioid dapat dihentikan, 25 Tabel 9. Obat Non-Opioid yang sering digunakan pada Pediatrik Obat Dosis keterangan Parasetamol10-ISmg/kgBB oral, Efek antinflamasi Keel, efek gastrointestinal setiap 4-6 jam dan hematologi minimal | Touprofen __5-10mekgBB oral, __Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien setiap 6-8 jam dengan gangguan hepar/renal, riwayat perdarahan gastrointestinal atau hipertensi, ‘Naproksen 10-20mg/kgBB/hari —_Efek antiinflamasi. Hati-hati pada pasien | oral, terbagidalam2 disfungsi renal, Dosis maksimal 1gr /hari. dosis Diklofenak —__Img/kgBB oral, setiap _Efek antiinilamasi. Efek samping sama | 8-12 jam dengan ibuprofen dan naproksen, Dosis | maksimal SOmg/kali | h. Terapi alternatif /tambahan ge 1) Konseling | 2) Manipulasi chiropractic | 3) Herbal | 5. Terapi non-obat a, Terapi kognitif: merupakan terapi yang paling bermanfaan dan memiliki efek yang besar dalam manajemen nyeri non-obat untuk anak b. Distraksi terhadap nyeri dengan mengalihkan atensi ke hal lain seperti music, cahaya, wama, mainan, permen, computer, permainan, film dan sebagainya. nyeri dan meningkatkan perilaku yang dapat menurunkan nyeri. | | | ¢. Terapi perilaku bertujuan untuk mengurangi perilaku yang dapat meningkatkan | | | . Terapi relaksasi: depat berupa mengepalkan dan mengendurkan j menggerakan kaki sesuai iram , menarik napas dalam. 26 Tabel 10. Terapi Non-Obat Kognitif Perilaku Fisik i © Informasi © Latihan © Pijat | Pilihan dan kontrol Terapi relaksasi « Fisioterafi © Distraksi dan atensi © ‘Umapan balik positif © ‘Stimulasi temal | Hypnosis + Modifikasi gaya hidup/ © Stimulasi sensorik © Paikoterapi perilaku * Akupuntur | a TENS | Algoritma Manajemen Nyeri Mendasar Pada Pediatrik’? 1. asesmen nyeri pada anak [+ Nilai katarekteristik nyeri ‘* Lakukan pemeriksaan medis dan penunjang yang sesuai ‘+ Evaluasi kemungkinan adanya ketelibatan mekanisme nosiseptik dan neuropatik '* _Kajian faktor yang mempengaruhi nyeri pada anak | 2. Diagnosis penyebab primer dan sekunder «Komponen nosiseptif dan neuropatik yang ada saat ini | ‘© Kumpulkan gejala-gejala fisik yang ada © Pikirkan faktor emosinal, kognitif, dan perilaku | . 3. Pilih terapi yang sesuai pede eeu See eee ee ; Bete | Obat ] | Non-obat Analgesik | ? '* Kognitif Analgesik adjuvani . © Fisk © Anestesi le Perilaku | Bae Pee er | ’ 4. Implementasi rencana menejemen nyeri |+ Berikan umpan balik mengenai penyebab dan faktor yang mempengaruhi nyeri | kepala orang tua (dan anak) '* Berikan rencana manajemen yang rasional dan terintegrasi ‘Asesmen ulang nyeri pada anak secara rutin | |+ Evaluasi efektifitas rencana manajemen nyeri | |e Revisi rencana jika dipertukan | Gambar 4, Algoritma Manajemen Nyeri Pada Pediatrik D. MANAJEMEN NYERI PADA KELOMPOK USIA LANJUT 1, Lanjut usia (lansia) didefinisikan sebagai orang-orang yang berusia > 65 tahun. 2. Pada lansia, prevalensi nyeri dapat meningkat hingga 2 kali lipatnya dibandingkan dewasa muda. 28 3. Penyakit yang sering menyebabkan nyeri pada lansia adalah artritis, kanker, neuralgia trigeminal, neuralgia pasca-herpetik, polimialgia, dan penyakit degeneratif. 4. Lokasi yang sering mengalami nyeri, sendi utama / penyangga tubuh, punggung, tungkai bawah dan kaki, $, Alasan seringnya terjadi manajemen nyeri yang buruk adalah: a. Kurangnya pelatihan untuk dokter mengenai manajemen nyeri pada geriatri. . Asesmen nyeri yang tidak adekuat ¢. Keengganan dokter untuk meresepkan opioid 6. Intervensi a. Terapi termal: pemberian pendinginan atau pemanasan di area nyeri untuk menginduksi pelepasan opioid endogen. b. Stimulasi listrik pada saraf transkutan: perkutan, akupuntur . Blok saraf dan radiasi area tumor 4. Intervensi medis pelengkap / tambahan atau altemnatif relaksasi umpan balik positf, hypnosis. . Fioterapi dan terapi okupasi 7. Intervesi farmakologi (tekanan pada keamanan pasien) a, Non-opiod: OAINS, parasetamol, COX-2 Inhibitor, antidepressant trisiklik, amitriptilin, ansiolitik, b. Opioi 1) Risiko adiksi rendah jika digunakan nyeri akut (jangka pendek). 2) Hindari yang cukup dan konsumsi serat / alking agent untuk mencegah konstipasi (preparat senna, serbital) 3) Berikan opioid jangka pendek 4) Dosis rutin dan teratur memberikan analgesik yang lebih baik daripada pemberian intermiten, 5) Mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan 6) Jika efek analgesik masih kurang adekuat , dapat menaikkan opioid sebesar 50- 100% dari dosis semula ¢. Analgesik adjuvant 1) OAINS dan amfetamin: meningkatkan opioid dan resolusi nyeri 2) Nortriptilin, klonazepam, karbamazepine, gabapentin, tramadol, mexiletine: efektif untuk nyeri neuropatik 29 3) Antikonvulsan: untuk neuralgia trigennital Gabapentin: neuralgia pasca-herpetik 1-3 x 100 mg sehari dan dapat ditingkatkan ‘menjadi 300 mg / hari 8. Risiko efek samping OAINS meningkat pada perdarahan gastrointestinal meningkat hampir dua kali lipat pada pasien > 6,5 tahun 9. Semua fase farmakokinetik dipengaruhi oleh termasuk absorbsi, distribusi, ‘metabolisme, dan eleminasi 10. Pasien lansia cederung memerlukan pengarahan dosis analgesik. Absorbsi sering tidak teratur karena adanya pemindahan waktu . sindrom malabsorbsi 11. Ambang batas nyeri sedikit meningkat pada lansia 12. Lebih disarankan menggunakan obat dengan waktu paruh yang lebih singkat. 13. Lakukan monitor ketatjika mengubah atau meningkatkan dosis pengobatan 14, Efek samping penggunaan opioid paling sering dialami konstipasi 15. Penyebab tersering timbulnya efek samping obat: polifarmasi (misalnya pasien ‘mengkonsumsi analgesik, antideprassant, dan sedasi secara rutin harian ) 16. Prinsip dasar terapi farmakologi: mulailah dengan dosis rendah, lalu naikkan perlahan hingga tercapai dosis yang dinginkan 17, Nyeri yang tidak dikontrol dengan baik dapat mengakibatkan: a, Penurunan /keterbatasan mobilisasi, pada akhimya mengarah ke depresi karena pasien frustasi dengan keterbatasan mobilitasnya dan menurunyan kemampuan fungsional b. Dapat menurunkan sosialisasi, gangguan tidur, bahkan dapat menurunkakn imunitas tubuh ©. Kontrol nyreri yang tidak adekuat dapat menjadi penyebab munculnya agitasi dan gelisah 4. Dokter cenderung untuk meresepkan obat-obatan yang lebih banyak. Polifarmasi dapat meningkatkan risiko jatuh dan delirium 18. Beberapa obat yang sebaiknya tidak digunakan (dihindari) pada lansia: a. OAINS: piroksikam (waktu paruh yang panjang dan efek samping gastrointestinal lebih besar) b. Opioid: pentazocine, butorphano (merupakan campuran antagonis dan agonis, cenderung memproduksi efek psikotomimetik pada lansia): metadon, levorphanol (waktu paruh panjang) ¢. Propoxyphene: neurotoksik 4, Antidepresan: tertiary amine tricyclise (efek samping antikolinergik) 19, Semua pasien yang mengkonsumsi opioid, sebelumnaya harus diberikan kombinasi preparat senna dan obat pelunak feses (bulking agents) 20. Pemilihan analgesik: menggunakan 3-step ladder WHO (sama dengan manajemen ada nyeri akut) a, Nyeri ringan-sedang: analgesik non-opioid b. Nyeri sedang: opioid minor, dapat dikombinasikan dengan OAINS analgesik adjuvant ¢.Nyeri berat: opioid poten 21. Satu-satunya perbedaan dalam terapi analgesik ini adalah penyesuaian dan hati-hati dalam memberikan obat kombinasi 31 2 BABIV DOKUMENTASI Form Assesment Awal Rawat Inap Terintegrasi Catatan Perkembangan Daftar Instruksi dan Implementasi Terintegrasi Ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 1 Oktober 2018 ‘NIP 19700421 1997021001 32 DAFTAR PUSTAKA 1. Argoff CE, McCleane G. Pain management secrets: questions you will be asked. Edisi ke-3. Philadelphia: mosby Elsevier;2009, Dickson, U. Pain management in children. In R. Skone, F. Reynolds, S. Cray, O. Bagshaw, & K. Bemy (Eds.), Managing the Critically Ill Child: A Guide for Anaesthetists and Emergency Physicians (pp. 250-257), Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9781 139107815.027. 2013 3. Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI). Health care guideline: assessment and ‘management of acute pain, Edisi ke-6. ICSI; 2008, 4, Institute for Clinical Systems Improvement (ICSI) health care guideline: assessment and ‘management of choronic pain. Edisi ke-S. ICSI; 2011. 5. Joint Commision on accreditation of Healthcare Organization, Pain: current understansing of asessment, management, and treatments. Nations Pharmaceutical Council, Ine: 2001, 6. National Instinte of Health Warren Grant Magnuson Clinical Center. Pain intensity instruments: numeric rating scale, 2003. 7. Non verbal pain scale for non verbal patients, {diakses tanggal 4 Oktober 2018] Diunduh dari www.mdealel.com cit Odhnet M, ef al. Assessing pain control in nonverbal critically ill adults. Dimens Crit care Nurs. 2003 Nov-Dec; 22 (6): 260-7 Pain management. (diakses tanggal 23 Februari 2012). Diunduh dari :www.hospitalsoup.com 9. Pain Management Task Group of the Hull & East Riding Clinical Policy Forum. Adult pain ‘management guidelines. NHS; 2006. 10. The Royal Children’s Hospital Melboume. Clinical Guidelines (Nursing): Neonatal Pain Asessment, The modified Pain Assessmem Tool. Diakses pada 1 Oktober 2018, https://www.rch.org.awrchepg/hospital_clinical_guideline index/Neonatal Pain_Assessme nt 11. Wallace Ms, Staats PS. Pain medicine and management: just the facts. Mgraw-bill; 2005, 12. Wong D, Whaley L. Clinical handbook of pediatric nursing. Edisi ke-2. St. Louis: CV. mosby Company: 1986. 33 LAMPIRAN gawnewmtapaae | han Ce om ‘ASESAREN AWAL RAT AP | To: ‘TERINTEGRAS! (1) aro: os am cx cone dn a pana us, a dh rg et Pe encase acta eieaonecne Ms ecaamenaaa ‘oun eps na a ‘eee at entre ep cer en Sl GG: eet ‘eee aot aa "ASSEN AL RAAT OP 34 35,

You might also like