You are on page 1of 18

AKAD-AKAD EKONOMI SYARIAH DALAM KAJIAN FILSAFAT HUKUM

Khoiriyah Roihan
3210130012@student.uinsgd.ac.id
Abstract
And to realize justice, Islamic economics has the basic principles of economic
activity, economic principles, conditions, and pillars. The main elements in general
economic activity are production, distribution, and consumption. All production,
distribution, and consumption activities are universal and unrelated to ideology. All
human beings need them. However, even though there is no real difference in the
economic element in terms of needs, Islamic economics is full of values that aim to make
the economy worth worship and justice.
Akad is an essential instrument for early identification, whether the economic
transaction activity is following sharia economic law. In Islam, economic activity is about
profit. It includes contracts for good and not for profit, so all Islamic economic actors
need to understand the limitations in conducting transactions to avoid economic activities
that cause maysir, gharar and usury.
In Islamic economic philosophy, every financial transaction policy has a vision
and mission to create justice and prosperity among humans. Economic activity is also part
of worship to get closer to God because Islamic economic philosophy has three
fundamental concepts, namely the philosophy of God. Human (cosmic) and nature
(cosmos). The key to Islamic economic philosophy lies in humans with God, soul, and
other humans. Provide the most comprehensive opportunity for every business actor by
maximizing natural resources for the universal common interest.
Keywords: contract, sharia economics, legal philosophy

‫ملخص‬
‫ادية‬00‫ادئ االقتص‬00‫ فإن لالقتصاد اإلسالمي المبادئ األساسية للنشاط االقتصادي والمب‬، ‫ولتحقيق العدالة‬
‫ع‬00‫اج والتوزي‬00‫ام هي اإلنت‬00‫ادي الع‬00‫اط االقتص‬00‫ية في النش‬00‫ر الرئيس‬00‫ العناص‬.‫ان‬00‫اع واألرك‬00‫واألوض‬
‫ل‬00‫ ك‬.‫ة‬00‫ا باأليديولوجي‬00‫ة له‬00‫ة وال عالق‬00‫تهالك عالمي‬00‫ع واالس‬00‫اج والتوزي‬00‫ جميع أنشطة اإلنت‬.‫واالستهالك‬
‫ادي من‬00‫ر االقتص‬00‫ على الرغم من عدم وجود فرق حقيقي في العنص‬، ‫ ومع ذلك‬.‫البشر يحتاجون إليهم‬
‫ادة‬00‫ فإن االقتصاد اإلسالمي مليء بالقيم التي تهدف إلى جعل االقتصاد يستحق العب‬، ‫حيث االحتياجات‬
.‫والعدالة‬
‫ريعة‬00‫ع الش‬00‫ادية يتب‬00‫امالت االقتص‬00‫اط المع‬00‫ان نش‬00‫ا إذا ك‬00‫ر على م‬00‫رف المبك‬00‫ية للتع‬00‫اد أداة أساس‬00‫العق‬
، ‫ة‬00‫ير وليس الربحي‬00‫ود الخ‬00‫مل عق‬00‫ وهي تش‬.‫الربح‬00‫ النشاط االقتصادي في اإلسالم يتعلق ب‬.‫االقتصادية‬
‫امالت لتجنب‬00‫راء المع‬00‫ود في إج‬00‫الميين إلى فهم القي‬00‫اديين اإلس‬00‫اعلين االقتص‬00‫ع الف‬00‫اج جمي‬00‫ذلك يحت‬00‫ل‬
.‫األنشطة االقتصادية التي تسبب الميسر والغرار والربا‬
‫ار بين‬00‫ لكل سياسة معاملة مالية رؤية ورسالة لخلق العدل واالزده‬، ‫في الفلسفة االقتصادية اإلسالمية‬
‫المية‬00‫ضا جزء من العبادة للتقرب من هللا ألن الفلسفة االقتصادية اإلس‬ ً ‫ النشاط االقتصادي هو أي‬.‫البشر‬
‫فة‬00‫اح الفلس‬00‫ يكمن مفت‬.)‫ون‬00‫ة (الك‬00‫ اإلنسان (الكوني) والطبيع‬.‫ وهي فلسفة هللا‬، ‫لها ثالثة مفاهيم أساسية‬
ً‫موال‬00‫ثر ش‬00‫ة األك‬00‫ير الفرص‬00‫ توف‬.‫ر‬00‫االقتصادية اإلسالمية في اإلنسان مع هللا والروح وغيرهم من البش‬
‫تركة‬00‫لحة المش‬00‫ل المص‬00‫ة من أج‬00‫وارد الطبيعي‬00‫ة من خالل تعظيم الم‬00‫ال التجاري‬00‫ل في األعم‬00‫ل فاع‬00‫لك‬
.‫العالمية‬
‫ فلسفة قانونية‬، ‫ اقتصاديات شرعية‬، ‫ عقد‬:‫الكلمات المفتاحية‬

Abstrak
Unsur utama dalam kegiatan ekonomi yang sifatnya general adalah produksi,
distribusi dan konsumsi. Semua kegiatan Produksi, distribusi dan konsumsi bersifat
universal dan tidak terkait dengan ideologi, serta dibutuhkan oleh semua manusia. Namun
demikian, sekalipun unsur ekonomi tidak ada pebedaan nyata dalam kebutuhan tetapi
ekonomi islam sarat nilai-nilai yang bertujuan agar ekonomi itu bernilai ibadah dan
berkeadilan. Dan untuk mewujudkan keadilan itu maka ekonomi islam memiliki prinsip-
prinsip dasar aktifitas ekonomi, asas-asas ekonomi, syarat serta rukun.
Akad adalah instrumen penting untuk identifikasi awal, apakah aktifitas transaksi
ekonomi itu sesuai dengan hukum ekonomi syariah. Dalam islam, aktifitas ekonomi
bukan tentang keuntungan saja, tetapi meliputi juga akad-akad yang sifatnya untuk
kebaikan dan bukan untuk keuntungan saja, sehingga penting bagi semua pelaku ekonomi
islam untuk memahami batasan-batasan dalam melakukan transaksi agar terhindar dari
aktifitas ekonomi yang menimbulkan maysir, gharar dan riba.
Dalam filsafat ekonomi islam, dalam setiap kebijakan transaksi ekonomi memiliki
visi dan misi untuk menciptakan keadilan dan lesejahteraan yang merata di kalangan
manusia, aktifitas ekonomi juga menjadi bagian dari ibadah untuk mendekatkan diri
kepada tuhan, karena Filsafat ekonomi Islam berpedoman pada tiga konsep dasar yakni
filsafat Tuhan, manusia (kosmis) dan alam (kosmos). Kunci filsafat ekonomi Islam
terletak pada manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam dan manusia dengan manusia
lainnya. Memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada setiap pelaku usaha dengan cara
memanfaatkan semaksimal mungkin sumber daya alam untuk kepentingan bersama
secara universal.
Keyword : akad, ekonomi syariah, filsafat hukum

PENDAHULUAN

Dunia ekonomi dalam Islam adalah dunia bisnis atau investasi. Hal ini bisa dicermati
mulai dari tanda-tanda eksplisit untuk melakukan investasi (ajakan bisnis dalam Al Qur’an dan
Sunnah) hingga tanda-tanda implisit untuk menciptakan sistem yang mendukung iklim investasi
(adanya sistem zakat sebagai alat disinsentif atas penumpukan harta, larangan riba untuk
mendorong optimalisasi investasi, serta larangan maysir atau judi dan spekulasi untuk
mendorong produktivitas atas setiap investasi). Dalam prakteknya, investasi yang dilakukan baik
oleh perorangan, kelompok, maupun institusi dapat menggunakan pola nonbagi hasil (ketika
investasi dilakukan dengan tidak bekerja sama dengan pihak lain) maupun pola bagi hasil (ketika
investasi dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak lain).
Secara umum bank syariah dapat didefinisikan sebagai bank dengan pola bagi hasil yang
merupakan landasan utama dalam segala operasinya, baik dalam produk pendanaan,
pembiayaan, maupun dalam produk lainnya. Produk-produk bank syariah mempunyai kemiripan
tetapi tidak sama dengan produk bank konvensional karena adanya pelarangan riba, gharar, dan
maysir. Oleh karena itu, produk-produk pendanaan dan pembiayaan pada bank syariah harus
menghindari unsur-unsur yang dilarang tersebut.1

METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan penelitian ini adalah kualitatif deskriptif, yaitu prosedur penelitian yang dihasilkan
dari data deskriptif berupa tulisan atau kalimat dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati.2 Teknik analisis tyang digunakan adalah content analysis (analisis isi). Dengan
mengumpulkan dan menganalisis muatan dari sebuah teks, Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian pustaka, dengan cara mengumpulkan informasi secara sistematik dari berbagai
sumber agar mudah memahami aspek-aspek penerapan hukum akad syariah. Pendekatan
masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu metode
yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah hukum melalui data-data sekunder.
Metodologi Ilmu Ekonomi Islam terbagi dua tingkat, yaitu :
Pertama, kajian metodologi dengan menggali prinsip-prinsip atau asas-asas ekonomi Islam.
Dalam kajian epistemologi Islam, wahyu menjadi sumber pengetahuan yang penting, karena
wahyu menempati posisi sebagai pembentuk konstruksi mengenai realitas, sebab wahyu
memberikan pedoman bagi tindakan seorang Muslim.3
Kedua, kajian metodologi dalam rangka penyusunan bangunan ilmu ekonomi Islam, dengan
melakukan hal-hal sebagai berikut :
 Identifikasi fungsi dasar dari kegiatan ekonomi, yaitu produksi, konsumsi dan distribusi
yang tidak memandang perbedaan ideologi.

1
Ascayra, Akad dan Produk Bank Syariah, Konsep dan Praktek di beberapa Negara, (Jakarta : Bank Indonesia,
2006) h.1
2
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002, Cet. XVII, hlm. 3
3
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), hlm. 17
 Merangkum prinsip/asas-asas ekonomi islam yang memiliki makna universal, abadi dan
diterapkan dalam semua fungsi faktor ekonomi. Metode yang dilakukan dalam perumusan
prinsip/asas ini dengan metode induktif tematik.
 Melakukan identifikasi sistem konsep ekonomi yang praktis dengan variabel-variabel yang
berakar pada syariah. Namun konsep ini tidak bersifat abadi, terbuka peluang untuk
direkonstruksi dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip universal di atas.
 Menguraikan mengenai berbagai macam akad dalam transaksi ekonomi islam, barang dan
jasa sebagai instrument asas-asas dibangun di atas dengan mempertimbangkan kondisi riil
dari sosio-ekonomi masyarakat setempat. Dengan menggunakan teori kebenaran pragmatis
dan positifis untuk merumuskan konsep berpikir rasional-empiris, yakni dengan melihat
kenyataan yang terjadi di masyarakat sebagai acuan menentukan akad yang relevan untuk
transaksi yang dilakukan.
 Merumuskan Hakikat (maqasid syariah) sebagai nilai-nilai yang terkandung di dalam akad,
terutama dengan nilai utama dari ekonomi islam adalah pemerataan dan keadilan.

PEMBAHASAN
Unsur utama dalam kegiatan ekonomi yang sifatnya general adalah produksi, distribusi
dan konsumsi, Produksi adalah kegiatan membuat barang-barang yang dibutuhkan manusia,
distribusi adalah kegiatan pengiriman arus barang agar sampai ke tangan konsumen, sedangkan
konsumsi adalah kegiatan pemakaian barang hasil produksi tadi, ketiga kegiatan itu sangat
penting dalam kegiatan ekonomi. kegiatan Produksi, distribusi dan konsumsi adalah kegiatan
yang bersifat universal dan tidak terkait dengan ideologi, serta dibutuhkan oleh semua manusia.
Namun demikian, sekalipun unsur ekonomi tidak ada pebedaan nyata dalam kebutuhan tetapi
ekonomi islam sarat nilai-nilai yang bertujuan agar ekonomi itu bernilai ibadah dan berkeadilan.
Beberapa pendapat para ahli ekonomi islam mengenai produksi diantaranya adalah :
 Muhammad Rawwas Qalahji berpendapat, produksi berasal dari kata al-intaj yg bermakna
ijadu sil’atin (mewujudkan sesuatu) atau khidmtu mu’ayyanatin bi istikhdami muzayyin min
‘anashir alintaj dhamina itbaru zamanin muhaddadin (pelayanan jasa yang jelas yang
menuntut penggabungan unsur produksi yang terbingkai dalam waktu terbatas).4

4
Muhammad Rawwas Qalahji, Mabahis Di al-Iqtishad Al-Islamy min Ushulihi Al-Fiqhiyyah (Beirut : Dar An-
Nafes, 2000), cet.ke-4, h.62.
 Dr. Abdurrahman Yusro Ahmad (dalam buku Muqaddimah fi “ilm al-iqtishad al-Islamiy)
berpendapat, yang jadi ukuran utama dalam proses produksi adalah adanya manfaat (utility)
yang dihasilkan dalam produksi tersebut dan kehalalan produk, sesuai dengan bunyi QS
2:219 yang mempertanyakan manfaat dari produksi khamar.
Peranan penting produksi dalam suatu ekonomi untuk menunjukkan kemandirian suatu
bangsa dan untuk mengukur taraf hidup masyarakatnya, semakin banyak kebutuhan sekunder
yang mereka cari, maka kualitas hidup dianggap semakin baik. Meskipun bumi dan seisinya
diciptakan Allah untuk manusia, tetapi islam tetap mengatur pengelolaannya dengan batasan-
batasan tertentu, agar produksi bisa berkesinambungan dari masa ke masa dan setiap manusia
bisa menikmatinya. Menurut Nejatullah Ash-Shiddiqi diantara tujuan produksi dalam islam
adalah5 :
 Kebutuhan individu secara wajar, kebutuhan keluarga, kebutuhan untuk generasi
selanjutnya.
 Bantuan kepada masyarakat untuk kepentingan ibadah.
 Ibnu Khaldun terdapat 3 kategori kelompok dalam Pemenuhan kebutuhan indvidu yaitu
dharuriyat, hajjiyat dan tahsiniyat.
Distribusi adalah porses penyampaian barang atau jasa dari produsen ke konsumen serta
semua pengguna.6 Islam sangat mendukung proses distribusi barang dan jasa agar tersebar
dengan merata, namun pertukaran itu tetap mengindahkan prinsip-prinsip keadilan, pemerataan,
menjaga kepentingan individu dan masyarakat serta bertransaksi secara sukarela tanpa paksaan.
Menurut Qal’aji sumber daya alam merupakan milik Allah, manusia menerima amanah
untuk mengelolanya sesuai kebutuhan dengan cara bekerja, dan nyatanya dari sumber daya yang
ada itu ada kekayaan yang sudah menjadi milik manusia dan ada yang masih tidak bertuan.7
Konsumsi adalah kegiatan untuk menghabiskan manfaat (utiliy) barang dan jasa, meliputi
benda yg tahan lama ataupun sebentar, dari sisi keperluannya barang konsumsi terbagi 3 jenis,
yakni kebutuhan primer, kebutuhan sekunder dan kebutuhan tersier. 8 Menurut Al Ghazali dan Al
Shatibi sifat dari barang yang dikonsumsi itu adalah al-tayyibat (baik), sedangkan menurut
Monzer Kahf berpendapat Teori konsumsi dalam islam transaksi dilakukan masyarakat,

5
Mawardi, Ekonomi Islam, (Pekanbaru : Alaf Riau : 2007) h.67-68
6
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Kencana, Jakarta : 2010), h.119Islam
7
Qal’aji, Mabahis fi al-Iqtishad al Islamy min Ushulihi Al Fiqhiyyah (Beirut : Dar An Nafaes,2000), h.87
8
Samuelson, Paul, Nordhaus, William D, 2000, Macroeconomics, John Willey & Sons, New York.
pendistribusian kekayaan melalui zakat, anti riba, mudharabah betul-betul terjadi dalam realitas
dan perilaku pelaku ekonomi mepedomi Rasulullah SAW.9
Konsumsi yang dilakukan dalam Islam mengajarkan umat untuk tidak bermewah-
mewahan sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup (needs) bukan pemenuhan keinginan
(wants), sehingga ada keseimbangan antara kebutuhan dan kewajiban.
Dalam melakukan muamalah, Islam mengatur kegiatan muamalah dengan meletakkan
Prinsip-Prinsip Dasar Ekonomi Islam, diantaranya :
1. Prinsip Kepemilikan Harta
Dalam ekonomi konvensional, motif ekonomi bertujuan pemenuhan keinginan (wants)
manusia yang tak terbatas dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang terbatas.
Masalah utama dalam ekonomi konvensional adalah masalah kelangkaan (scarcity) dan
adanya pilihan (choices).
Sedangkan dalam ekonomi islam, aktifitas ekonomi mengarah pada kebutuhan (needs)
manusia yang memiliki keterbatasan, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS.Luqman :
20) dan (QS.An Nahl:5)
Kepuasan pemenuhan kebutuhan dalam Islam tidak terbatas pada benda-benda konkrit
(materi), namun tergantung pula pada sesuatu yang bersifat abstrak, seperti amal saleh yang
dilakukan manusia. Perilaku ekonomi dalam Islam didominasi oleh nilai alami yang dimiliki
oleh setiap individu manusia, dan nilai di luar diri manusia sehingga membentuk perilaku
ekonomi mereka, Islam diyakini sebagai tuntunan utama dalam hidup dan kehidupan
manusia. Begitu juga perilaku ekonomi dalam Islam cenderung mendorong pelaku ekonomi
sesuai dengan kebutuhannya, yang dapat direalisasi dengan adanya nilai dan norma dalam
akidah dan akhlak Islam.
Ekonomi dalam Islam adalah aktifitas yang menjamin berputarnya harta di antara manusia
dengan memaksimalkan fungsi hidupnya sebagai makhluk untuk mecapai kedamaian di
dunia dan akhirat (hereafter). Dan setiap aktivitas ekonomi dalam Islam adalah aktifitas
kolektif, bukan individual.
2. Prinsip Peralihan Properti/Asset/Kekayaan
Pemanfaatan harta untuk kegiatan ekonomi hanya ditujukan kepada investasi yang halal,
mulai dari proses memulai investasi hingga proses akhir berupa hasilnya harus jelas

9
Monzer Kahf, The Islamic Economy : An Analytical Study of the Functioning of The Islamic, 1984
kehalalannya. Nilai kehalalan dalam islam bukan hanya mengenai materi objeknya,
mencakup juga proses yang dilewati selama transaksi berlangsung hingga mencapai proses
akhir, contoh transaksi jual beli ayam untuk konsumsi pasar, ayam adalah makanan yang
halal, namun jika proses pemotongan ayam dilakukan tanpa mengindahkan tata cara
penyembelihan yang benar sesuai syariat, maka dari materi yang halam berubah menjadi
haram pada saat proses pengolahan. Akibatnya hasil akhir produk ayam pun menjadi tidak
halal.
Contoh lainnya, jika seseorang melakukan perjanjian kerjasama dengan seorang pengusaha
untuk mengolah sebuah usaha waralaba restaurant, lalu mereka membuat akad mudharabah.
Akan tetapi dalam perjalanan usaha tersebut ternyata ada menu yang terdaftar mengandung
babi, maka meskipun akadnya syariah tetapi karena materi yang dijual mengandung babi,
maka kegiatan usaha tersebut menjadi tidak halal.
3. Prinsip anti Riba.
Riba berarti adalah mengambil tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil, disebut
bathil sebab pemilik dana (shahibul maal) mewajibkan peminjam untuk membayar lebih dari
yang dipinjam, tidak memperhatikan apakah peminjam mendapat keuntungan atau
mengalami kerugian dari pinjaman yang diperolehnya;
Riba dalam islam terbagi 2 (dua), yaitu :
3.1. Riba pinjaman (riba dayn), berupa tambahan, yaitu pembayaran premi atas setiap jenis
pinjaman dalam transaksi hutang-piutang maupun perdagangan yang harus dibayarkan
oleh peminjam kepada pemberi pinjaman di samping pengembalian pokok, yang
ditetapkan sebelumnya
3.2. Riba karena perdagangan (riba bai’).
3.2.1. Riba Fadl yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak
seimbang;
3.2.2. Riba Nasiah yaitu riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya
dilebihkan karena melibatkan jangka waktu;
Proses pelarangan riba dalam islam terdiri dari 3 tingkatan, yaitu :
 Tahap pertama, praktek riba menjauhkan kekayaan dari keberkahan Allah, sedangkan
sedekah meningkatkan keberkahan rezeki menjadi berlipat ganda (QS 30: 39).
 Tahap kedua, Praktek riba dikutuk keras oleh Allah (QS 4: 161).
 Tahap ketiga, jika umat islam menghendaki kesejahteraan yang sebenarnya sesuai
Islam, maka Allah menyerukan agar kaum muslimin menjauhi riba (QS 3: 130-132).
Allah menegaskan perbedaan yang jelas antara jual beli dan riba, dan memerintahkan
umat islam untuk mengambil pokokya saja.
4. Prinsip Anti Maysir (spekulasi)
Maysir secara harfiah adalah memperoleh sesuatu dengan mudah tanpa perlu kerja keras
atau mendapat keuntungan tanpa kerja. seperti judi, taruhan, permainan atau aktivitas bisnis
yang mengandung unsur judi. Judi dalam segala bentuknya dilarang dalam syariat Islam
secara bertahap.
 Tahap pertama, judi merupakan kejahatan yang memiliki mudharat (dosa) lebih besar
daripada manfaatnya (QS 2: 219).
 Tahap berikutnya, judi dan taruhan dengan segala bentuknya dilarang dan dianggap
sebagai perbuatan zalim dan sangat dibenci (QS 5: 90-91).
Judi dilarang karena merupakan usaha ditekankan pada unsur spekulasi yang irasional, tidak
logis, dan tidak berdasar. Dampak judi terhadap ekonomi, tidak memberikan peningkatan
produksi pada barang dan jasa di sektor riil. Pelarangan judi ini sama dengan pelarangan
penimbunan barang yang juga akan berdampak pada berkurangnya penawaran agregat dari
barang dan jasa. Judi menjadi bentuk investasi yang tidak produktif karena tidak terkait
langsung dengan sektor riil dan tidak memberikan dampak meningkatkan penawaran barang
dan jasa. sehingga judi dilarang dalam Islam (selain alasan moralitas).
5. Prinsip Anti Grarar
Secara lughawi, gharar berarti altaghri yaitu penampilan yang menimbulkan kerusakan,
sesuatu yang terlihat menyenangkan tetapi justru menimbulkan kebencian, al-dunya ma al-
ghurur (dunia adalah kesenangan yang menipu QS 3 : 185), beberapa konsep grarar menurut
para ulama diantaranya :
5.1. Al-Khattabi menerangkan gharar adalah Sesuatu yang tidak diketahui akibatnya, inti
dan rahasianya tersembunyi.10 Sesuatu yang tidak diketahui dengan jelas bendanya dan
tidak jelas takarannya termasuk gharar, contoh menjual ikan di kolam, menjual anak
sapi yang dalam kandung dsb, ketidaktahuan pihak pembeli atas materi yang dibelikan
termasuk dalam tindakan gharar.
10
Abu Sulaiman Hamdi bin Muhammad al-Khattabi al-Busti, Ma’alim al-Sunan Sharh Sunan Abu Dawud, (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cet. 1 Jil.3, 1991), 75.
5.2. Menurut Ibnu Mundhir Rasulullah Saw melarang jual beli gharar, yaitu semua jual beli
yang diakadkan oleh pihak-pihak yang bertransaksi dan mengandung ketidaktahuan
baik pada penjual dan pembeli, maupun salah satu di antara keduanya.11
5.3. Imam Nawawi menjelaskan, prinsip larangan melakukan gharar sangat penting dalam
islam, diantara jual beli yg gharar itu seperti menjual barang yang cacat, jual beli yang
barangnya belum ada, jual beli yang tidak dimiliki secara sempurna oleh pemiliknya.12
5.4. Wahbah al-Zuhayli mengatakan bahwa gharar adalah al-khida’ (penipuan), yaitu suatu
tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan.
5.5. Ibn Taimiyah mengatakan bahwa gharar bermakna al-majhu ‘aqibatuh, yaitu tidak
diketahui akibatnya, sesuatu tersembunyi dan urusannya kabur. Hasilnya meragukan di
antara bisa terwujud dan tidak. Bila hasil akhirnya baik bagi pembeli, maka maksud
akad terlaksana. Tapi sebaliknya, bila tidak terwujud maka maksud akad tidak
terlaksana, kemungkinan antara bisa terwujud dan tidak. Inilah yang dimaksud dengan
tersembunyi atau kabur hasil akhirnya.
Tidak semua sependapat dengan pengertian gharar diatas, Menurut Vogel dan Hayes “as
with riba, fiqh scholars have been unable to define the exact scope of gharar”. mereka
menilai para pakar tidak mampu untuk memaknai istilah gharar secara tepat. Al-Qur’an
dengan tegas mengatakan pihak yang terlibat dalam transaksi keuangan tidak dibenarkan
untuk saling menzalimi dan dizalimi, hal ini disebabkan makna gharar dan resiko usaha
tidak bisa dibedakan, karena keduanya mengandung unsur ketidakpastian, Resiko adalah
sesuatu yang dapat diperkirakan secara teoritis namun jika aktifitas ekonomi itu sama sekali
tidak diketahui jawabannya, perkiraan atas risiko ini hanya mengandalkan keberuntungan
(game of chance), maka ini yang disebut gharar. Resiko adalah sebuah konsekuensi dari
aktifitas ekonomi sebagaimana ungkapan no risk no return. Atas dasar prinsip ini, maka
yang terpenting dan yang perlu dihindari adalah risiko yang memang tidak dapat
diperkirakan, karena risiko seperti ini, dalam terminologi fikih, dikenal dengan istilah
gharar. Rasulullah secara tegas melarang gharar, karena benar-benar bersifat spekulatif.
6. Prinsip Distribusi Kekayaan.

11
Abu Bakar bin Muhammad bun Ibrahim bin al-Mundzir al-Naisaburi, Al-Ausat fi alSunan wa al-Ijma’ wa al-
Ikhtilaf, Tahqiq oleh Dr. Sagir Ahmad bin Muhammad Hanif, (Riyad: Dar Tayyibah, Cet. 2, 1998), h. 314.
12
Sahih Muslim Bisharhi al-Nawawi (Kairo: Dar al-Rayyan, Jil. 10, 1407H), 156.
Salah satu pola distribusi kekayaan dalam islam adalah melalui zakat dan shadaqah, zakat
dan shadaqah menjadi mekanisme untuk menjamin terdistribusinya pendapatan dan
kekayaan sehingga tidak terjadi penumpukan produksi pada sekelompok orang yang
berpotensi menghambat perputaran ekonomi, zakat dan shadaqah juga memelihara tingkat
permintaan dalam ekonomi, pasar selalu tersedia bagi produsen untuk memberikan
penawaran. Zakat juga mengakomodasi masyarakat yang tidak memiliki akses ke pasar
karena tidak punya daya beli atau modal, lalu menjadi pelaku aktif dalam ekonomi sehingga
volume aktivitas ekonomi menjadi semakin besar (jika dibandingkan dengan aktivitas
ekonomi konvensional).

Akad memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat. Sistem ekonomi merupakan
interaksi dari konsumen dan produsen ke dalam unit ekonomi yang lebih besar pada suatu
wilayah tertentu. Kekuatan pola interaksi antara produsen dan konsumen sangat ditentukan oleh
akad yang menyertainya. Akad memfasilitasi setiap orang yang menjalani kegiatan ekonomi,
termasuk aktivitas pengadaan/produksi), penyebaran/distribusi dan konsumsi, merupakan
sejumlah perilaku manusia yang sangat ditentukan oleh akad yang menyertainya.

Akad Ekonomi Syariah dan Filsafat Hukum

Akad merupakan kajian hukum ekonomi Islam atau muamalah. Term akad berasal dari
bahasa Arab, al-‘aqada-ya’qidu-aqdan, yang berarti mengikat, menyambung atau
menghubungkan.13 Secara terminologis hukum, akad atau kontrak berarti perjanjian yang terjadi
antara dua orang atau pihak untuk saling melakukan atau memberikan sesuatu yang memberikan
konsekwensi bagi mereka sebuah ikatan untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka
perjanjikan.14 Dari pengertian itu ada beberapa hal yang bisa dirangkum :

 Akad bisa menjadi hubungan hukum jika ada ijab dan kabul, Karena ijab merupakan
penawaran yang diajukan oleh satu pihak, sedangkan kabul adalah jawaban persetujuan yang
diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap penawaran pihak yang pertama.
 Akad memberi konsekwensi bagi kedua pihak untuk melakukan sesuatu seperti yang
diperjanjikan.
13
Ahmad Abu Fath, al-Mu’amalat fi al-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qawanin al-Misriyyah (Kairo: ‘Isa al-Babi al-
Halabi, 1947), h. 139.
14
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat, Cet.2, (Jakarta:
Rajawali Pers, 2010), 44-45.
Landasan akad dalam al-Qur’an diantaranya :

َ‫بَلَىٰۚ َمنۡ َأ ۡوفَىٰ بِ َعهۡ ِد ِهۦ َوٱتَّقَىٰ فَِإ َّن ٱهَّلل َ يُ ِحبُّ ٱۡل ُمتَّقِين‬

(Bukan demikian), sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertakwa,
maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertakwa. (Surat Ali Imran : 76)

‫وا بِٱۡل ُعقُو ِدۚ ُأ ِحلَّتۡ لَ ُكم بَ ِهي َمةُ ٱۡلَأنۡ َٰع ِم ِإاَّل َما يُتۡلَىٰ َعلَيۡ ُكمۡ غَيۡ َر ُم ِحلِّي ٱلصَّيۡ ِد َوَأنتُ ۡم حُ ُر ٌمۗ ِإ َّن ٱهَّلل َ يَحۡ ُك ُم َما ي ُِري ُد‬
ْ ُ‫يَٰ َٓأيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمنُوٓ ْا َأوۡف‬
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang
ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan
berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum_hukum
menurut yang dikehendaki-Nya.(Surat Al Maidah : 1)
Menurut Muhammad Abu Zahrah, “Akad diartikan untuk menggabungkan antara ujung
sesuatu dan mengikatnya, lawannya adalah al-hillu (melepaskan), juga diartikan mengokohkan
sesuatu dan memperkuatnya.15
Rukun adalah unsur yang membentuk substansi sesuatu. Rukun akad yang disepakati ada
empat macam16, yaitu:
a. Para pihak yang membentuk akad
b. Pernyataan kehendak para pihak
c. Objek akad, dan
d. Tujuan akad.
Menurut mazhab Hanafi, yang dimaksud rukun akad adalah unsur-unsur pokok yang
membentuk akad. Akad sendiri adalah pertemuan kehendak para pihak dan kehendak itu
diungkapkan melalui pernyataan kehendak yang berupa ucapan atau bentuk ungkapan lain dari
masing-masing pihak. unsur pokok yang membentuk akad itu hanyalah pernyataan kehendak
masing-masing pihak berupa ijab dan kabul. adanya para pihak dan objek akad merupakan unsur
luar, tidak menjadi esensi terjadinya akad, dan karena itu bukan rukun akad. Namun mazhab
Hanafi mengakui, jika unsur para pihak dan objek itu harus ada untuk terbentuknya akad.17
Setiap rukun akad memiliki syarat-syarat agar rukun itu berfungsi membentuk akad.
Tanpa adanya syarat-syarat itu, rukun tidak dapat membentuk akad. Syarat-syarat dalam rukun
akad adalah :
15
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2013), 110.
16
Ibid h. 68
17
Op.cit h.97
1. Pihak yang membentuk akad harus (1) tamyiz, dan (2) berbilang pihak.
2. Ijab dan Kabul membutuhkan syarat: (1) adanya persesuaian ijab dan kabul, atau kata
sepakat, dan (2) kesatuan majelis akad.
3. Objek akad harus memenuhi syarat: (1) objek itu dapat diserahkan, (2) tertentu atau dapat
ditentukan, dan (3) objek itu dapat ditransaksikan.
4. Tujuan akad memerlukan syarat yakni tidak bertentangan dengan syarat.18
Rukun dan syarat merupakan dua hal yang harus dipenuhi, yaitu apabila salah satu atau
keduanya tidak ada, maka sesuatu itu menjadi tidak ada atau tidak sah. Misalnya sholat, maka
tidak sah sholat seseorang ketika dalam sholat tidak melakukan salah satu rukun sholat, yakni
membaca al-Fatihah, atau tidak memenuhi salah satu syarat, yaitu bersuci (berwudlu). Perbedaan
keduanya adalah jika rukun itu menjadi bagian dari suatu ibadah, sedangkan syarat menjadi
urusan luar dari sesuatu tersebut.19
Menurut fiqh, akad syariah yang dilakukan oleh kedua belah pihak harus memiliki asas-
asas sebagai landasan agar tujuan dari konsep islam mengenai muamalah secara islami dapat
tercpai, diantara asas-asas akad syariah adalah :
1. Asas kebolehan (ibahah), Asas ini dirumuskan dari kaidah fiqh, al ashlu fi asya’i al ibahah
(Pada asasnya segala sesuatu dalam muamalah itu boleh dilakukan)”, maksudnya segala
sesuatu itu sah saja dilakukan asal tidak ada larangan tegas atas kegiatan muamalah tersebut.
2. Asas kebebasan (mabda hurriyah al-’aqd). Asas ini menyatakan setiap orang bebas
melakukan transaksi akad jenis apapun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah
ditentukan dalam undang-undang syariah dan memasukkan klausal apa saja ke dalam akad
yang dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip
syariah. Asas kebebasan berdasarkan dalam kaidah “Kebebasan seseorang terbatasi oleh
kebebasan orang lain”.
3. Asas Konsesualisme (mabda’ ar-radha’iyyah). bahwa untuk menciptakan perjanjian cukup
mencapai kata sepakat antara para pihak tanpa perlu dipenuhinya formalitas-formalitas
tertentu karena pada dasarnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual. Sesuai kaidah,
“Pada dasarnya perjanjian itu adalah kesepakatan para pihak dan akibat hukumnya adalah
apa yang mereka tetapkan melalui janji”.

18
Ibid h.98
19
Abdul Waha>b Khallaf, Ilmu Us}ul Fiqh, Cet. 3, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995), 143.
4. Asas kesepakatan itu mengikat, kesepakatan yang telah dibuat oleh para pihak mengikat
terhadap pihak-pihak yang membuatnya sehingga pihak lain tidak bisa membatalkan
kesepakatan tersebut secara sepihak.
5. Asas keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al-mu’ awdhah). Meskipun faktanya jarang terjadi
keseimbangan antara kedua belah pihak dalam bertransaksi, namun hukum perjanjian Islam
tetap menerapkan keseimbangan dalam memikul risiko. Asas keseimbangan dalam transaksi
(antara apa yang diberikan dengan apa yang diterima) tercermin pada dibatalkannya suatu
akad yang mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok.
6. Asas kemaslahatan akad yang dibuat oleh para pihak bertujuan mewujudkan kemaslahatan
bagi mereka dan tidak menimbulkan kerugian (mudharat) atau memberatkan (masyaqqah).
Apabila dalam pelaksanaan akad terjadi suatu perubahan keadaan yang tidak dapat diketahui
sebelumnya serta membawa kerugian yang fatal bagi pihak bersangkutan dan memberatkan,
maka kewajibannya dapat diubah dan disesuaikan kepada batas yang masuk akal.
7. Asas amanah. Kedua pihak yang melakukan transaksi harus beritikad baik dan tidak
dibenarkan salah satu pihak mengeksploitasi ketidaktahuan pihak lainnya. Saat ini banyak
sekali obyek transaksi yang dihasilkan oleh satu pihak melalui suatu keahlian yang spesialis
dan profesionalisme yang tinggi sehingga ketika ditransaksikan, pihak lain yang menjadi
mitra transaksi tidak banyak mengetahui seluk beluknya. Oleh karena itu, ia sangat
bergantung kepada pihak yang menguasainya. Dalam transaksi ekonomi Islam dituntut
adanya sikap amanah pada pihak yang menguasainya untuk memberikan informasi yang
benar epada pihak lain yang tidak mengetahuinya.
8. Asas keadilan. keadilan merupakan ruh dari setiap perjanjian/kesepakatan yang dibuat oleh
para pihak. Seringkali perkembangan modern yang sibuk membuat akses akad ditutup oleh
suatu pihak lain tanpa memiliki kesempatan untuk melakukan negosiasi mengenai klausal
akad tersebut, karena klausal akad itu telah di bakukan oleh pihak lain. Keterpaksaan tersebut
bisa didorong oleh kebutuhan ekonomi atau yang lainya. Dalam hukum Islam kontemporer,
demi keadilan, syarat baku dapat diubah oleh pengadilan apabila memang ada alasan yang
kuat untuk dapat dilakukan hal tersebut.20
Antara akad dan transaksi syariah sangat terkait erat, Ditinjau dari bentuknya, akad
terbagi 2 yaitu akad-akad tabarru’ dan akad Tijarah.
20
Yayid Affandi, Fiqh Muamalah dan Diemplementasikan ke dalam Lembaga Keuangan Syariah (Yogyakarta:
Logung Pustaka, 2009), 46-50.
1. Akad Tabarru (akad untuk melakukan transaksi yang sifatnya non profit) seperti akad
wadiah, qardh, wakalah, kafalah, hiwalah dan rahn.
1.1. Tabarru’ dalam meminjamkan uang.
 Jika meminjamkan uang ke orang lain dengan maksud membantu disebut qardh.
 Jika meminjamkan uang kepada pihak lain, tetapi dengan jaminan barang maka
disebut rahn.
 Jika mengambil alih tanggungjawab pembayaran pinjaman pihak lain, maka
disebut hiwalah.
1.2. Tabarru dalam memberikan jasa.
 Jika meminjamkan keahlian untuk melakukan sesuatu, maka disebut wakalah.
 Jika menawarkan jasa untuk menerima titipan dari pihak lain, maka disebut
wadi’ah.
 Jika menjadi pengganti untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain, maka
disebut kafalah.
1.3. Tabarru dalam memberikan sesuatu, jika memberikan sesuatu itu sebagai hadiah maka
disebut hibah, tetapi jika memberi sesuatu kepada orang lain dengan maksud membantu
maka disebut shadaqah, sedangkan jika pemberian itu dimaksudkan untuk kepentingan
umat dalam jangka panjang, maka hal itu disebut wakaf.
Isu mengenai gharar, maysir, dan sebagainya menjadi tidak relevan dalam pembahasan akad
tabarru’ karena akad tabarru’ adalah akad satu arah, tidak mensyaratkan persetujuan atau
kerelaan dari penerima. Unsur-unsur ketidakpastian, perjudian, spekulasi, dan lain
sebagainya hanya menjadi persoalan dalam akad-akad bernilai komersil (tijârah)
2. Akad Tijarah (akad untuk melakukan transaksi yang sifatnya profit atau mencari
keuntungan), akad tijarah sendiri terbagi 2, yaitu :
2.1. Transaksi untuk mencari keuntungan yang mengandung kepastian (natural certainly
contract), yaitu akad dengan prinsip non bagi hasil seperti akad ijarah, sharf,
murabahah, salam, istisna’, musawwamah, yang mengacu kepada teori pertukaran.
2.2. Transaksi untuk mencari keuntungan yang mengandung ketidakpastian (natural
uncertainly contract), yaitu akad dengan prinsip bagi hasil seperti
mudharabah,musyarakah, muzaraah dan musaqah, yang mengacu kepada teori
pencampuran peran antara pemilik modal (shahibul maal dengan pengelola).
Filsafat Ekonomi Islam.
Filsafat hukum Islam terdiri dari tiga kata; filsafat, hukum dan Islam. Filsafat berasal dari
bahasa yunani, yaitu filo dan sofia. Filo dalam bahasa Arab diartikan dengan mengutamakan (al-
itsar), sedangkan sofia berarti mengerti dengan mendalam atau cinta kebijaksanaan. Secara
umum, berfilsafat berarti berfikir secara sistematis, radikal dan menyeluruh untuk memecahkan
masalah dan mencari jawaban tentang sesuatu.21
Menurut Amir Syarifuddin, hukum adalah Seperangkat peraturan tentang tingkah laku
manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun orang- orang yang diberi wewenang oleh
masyarakat itu, berlaku dan mengikat untuk seluruh anggotanya. Sedangkan hukum islam
didefinikan sebagai Beliau dengan Seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah
Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua
yang beragama Islam.22 Maka, filsafat hukum Islam berarti berpikir mendalam untuk
mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar tentang hukum Islam, atau mengenai
hakikat hukum Islam untuk berusaha mencari, menemukan dan mengutamakan hikmah
kebijaksanaan melalui perenungan, perumusan nilai-nilai dan menyerasikan dengan akal
fikiran.23
Filsafat ekonomi Islam berlandaskan teori triangle: yakni filsafat Tuhan, manusia dan
alam yang saling mempengaruhi dalam implementasi ekonomi dalam realitas masyarakat. Ciri
filsafat ekonomi islam adalah adanya hubungan yang kuat antara tuhan dengan manusia, tuhan
dengan alam, alam dengan manusia. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah yang membedakan
ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan sosialisme. Filsafat ekonomi
yang Islami, sarat dengan nilai-nilai logis, etis dan estetis yang Islami yang kemudian
difungsionalkan ke tengah tingkah laku ekonomi manusia.
Berdasarkan filsafat ekonomi yang ada akan dirumuskan tujuan tujuan yang
hendak dicapai, seperti tujuan dari aktifitas produksi, distribusi dan konsumsi, Dimensi filsafat
ekonomi Islam inilah yang membedakan ekonomi Islam dengan sistem ekonomi
lainnya (kapitalisme dan sosialisme). Sistem ekonomi kapitalis lebih bersifat individual,
sistem ekonomi sosialis memberikan hampir semua tanggung jawab kepada warganya. Akan

21
Sofuan Jauhari, Akad dalam Persfektif Filsafat Hukum Islam, Jurnal Tafaqquh; Vol. 3 No. 2, Desember 2015, h.4
22
Amir Syarifuddin, Us}ul Fiqh Jilid 1, Cet.III, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005), 5-6.
23
Asymawi, Filsafat Hukum Islam, Cet.1, (Yogyakarta: Teras, 2009), h.8
tetapi Sistem ekonomi Islam memberikan peluang yang sama kepada pelaku ekonomi secara
adil untuk menciptakan kesejahteraan yang seluas-luasnya bagi masyarakat.
Ekonomi Islam memiliki 3 fondasi utama yang diimplementasikan dalam aktivitas
ekonomi , yaitu tauḣîd , syarî’ah dan akhlaq, Amalan syariah dan akhlak merupakan refleksi
dari tauhid. Landasan tauhid merupakan sesuatu yang dhoruri agar implementasi syariah dan
akhlak tidak terganggu. Prinsip syariah menuntun dalam beraktivitas ekonomi agar tidak
keluar dari kaidah syariah. Sedangkan akhlak membina aktivitas ekonomi agar selalu
berperilaku dan bersikap sesuai dengan moral dan etika Islam karena semua perilaku muslim
bersumber dan tunduk dengan al-Quran dan Hadits sebagai prinsip universal. aktivitas aksiologi
filsafat ekonomi Islam dapat kita lihat dari sifat kenabian nabi Muhammad yang shiddiq.
amanah, tabligh dan fathonah. Setidaknya hal ini menjadi pedoman yang harus diteladani oleh
semua manusia (pelaku bisnis, pemerintah dan segenap manusia).

KESIMPULAN
Unsur utama dalam kegiatan ekonomi yang sifatnya general adalah produksi, distribusi
dan konsumsi, Produksi adalah kegiatan membuat barang-barang yang dibutuhkan manusia,
distribusi adalah kegiatan pengiriman arus barang agar sampai ke tangan konsumen, sedangkan
konsumsi adalah kegiatan pemakaian barang hasil produksi tadi, ketiga kegiatan itu sangat
penting dalam kegiatan ekonomi
Peranan penting produksi dalam suatu ekonomi untuk menunjukkan kemandirian suatu
bangsa dan untuk mengukur taraf hidup masyarakatnya, semakin banyak kebutuhan sekunder
yang mereka cari, maka kualitas hidup dianggap semakin baik
Akad memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat. Sistem ekonomi merupakan
interaksi dari konsumen dan produsen ke dalam unit ekonomi yang lebih besar pada suatu
wilayah tertentu. Kekuatan pola interaksi antara produsen dan konsumen sangat ditentukan oleh
akad yang menyertainya. Akad memfasilitasi setiap orang yang menjalani kegiatan ekonomi,
termasuk aktivitas pengadaan/produksi), penyebaran/distribusi dan konsumsi, merupakan
sejumlah perilaku manusia yang sangat ditentukan oleh akad yang menyertainya.
Filsafat ekonomi Islam berlandaskan teori triangle: yakni filsafat Tuhan, manusia dan
alam yang saling mempengaruhi dalam implementasi ekonomi dalam realitas masyarakat. Ciri
filsafat ekonomi islam adalah adanya hubungan yang kuat antara tuhan dengan manusia, tuhan
dengan alam, alam dengan manusia
Ekonomi Islam memiliki 3 fondasi utama yang diimplementasikan dalam aktivitas
ekonomi , yaitu tauḣîd , syarî’ah dan akhlaq, Amalan syariah dan akhlak merupakan refleksi
dari tauhid. akhlak membina aktivitas ekonomi agar selalu berperilaku dan bersikap sesuai
dengan moral dan etika Islam karena semua perilaku muslim bersumber dan tunduk dengan al-
Quran dan Hadits sebagai prinsip universal.

REFERENSI
Ascayra, Akad dan Produk Bank Syariah, Konsep dan Praktek di beberapa Negara,
(Jakarta : Bank Indonesia, 2006).
Abu Sulaiman Hamdi bin Muhammad al-Khattabi al-Busti, Ma’alim al-Sunan Sharh
Sunan Abu Dawud, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cet. 1 Jil.3, 1991).
Abu Bakar bin Muhammad bun Ibrahim bin al-Mundzir al-Naisaburi, Al-Ausat fi alSunan
wa al-Ijma’ wa al-Ikhtilaf, Tahqiq oleh Dr. Sagir Ahmad bin Muhammad Hanif, (Riyad: Dar
Tayyibah, Cet. 2, 1998).
Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2013).
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 1, Cet.III, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2005)
Asymawi, Filsafat Hukum Islam, Cet.1, (Yogyakarta: Teras, 2009).
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Us}ul Fiqh, Cet. 3, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1995)
Ahmad Abu Fath, al-Mu’amalat fi al-Syari’ah al-Islamiyyah wa al-Qawanin al-
Misriyyah (Kairo: ‘Isa al-Babi al-Halabi, 1947).
Kuntowijoyo, Islam sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2006).
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2002, Cet. XVII)
Muhammad Rawwas Qalahji, Mabahis Di al-Iqtishad Al-Islamy min Ushulihi Al-
Fiqhiyyah (Beirut : Dar An-Nafes, 2000).
Mawardi, Ekonomi Islam, (Pekanbaru : Alaf Riau : 2007).
Mustafa Edwin Nasution, Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam, (Kencana, Jakarta :
2010).
Monzer Kahf, The Islamic Economy : An Analytical Study of the Functioning of The
Islamic, 1984.
Qal’aji, Mabahis fi al-Iqtishad al Islamy min Ushulihi Al Fiqhiyyah (Beirut : Dar An
Nafaes,2000.,
Samuelson, Paul, Nordhaus, William D, 2000, Macroeconomics, John Willey & Sons,
New York.
Sahih Muslim Bisharhi al-Nawawi (Kairo: Dar al-Rayyan, Jil. 10, 1407H).
Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah: Studi Tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, Cet.2, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
Sofuan Jauhari, Akad dalam Persfektif Filsafat Hukum Islam, Jurnal Tafaqquh; Vol. 3 No.
2, Desember 2015.
Yayid Affandi, Fiqh Muamalah dan Diemplementasikan ke dalam Lembaga Keuangan
Syariah (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009).

You might also like