You are on page 1of 14

MAKALAH

METODE IJTIHAD

Dosen Pembimbing

Drs. H. Suansar Khatib, SH.M,Ag.

Disusun oleh Kelompok 3 :


Putra Afriansyah : 2011110067
Putri Huma Tamaila : 2011110068

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah
membimbing manusia melalui petunjuk-Nya sebagaimana yang terkandung dalam
Al-qur’an dan sunnah, petunjuk menuju ke jalan yang lurus dan jalan yang
diridhoiNya. Syukur Alhamdulillah kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai
dengan rencana. Makalah ini kami susun dengan judul Tinjauan Makalah
“Meteode Ijtihad”

Shalawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita


Nabi agung Muhammad SAW, keluarga, sahabat, tabiin, dan kita semua sebagai
umat yang taat dan turut terhadap risalah yang dibawanya sampai di hari
kiamat.Selanjutnya saya ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Drs. H.
Suansar Khatib,SH,M.Ag. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Ushul Fiqh, yang
telah membimbing kami. Dan kepada semua pihak yang terlibat dalam penyusunan
makalah ini.

Kami menyadari makalah ini jauh dari sempurna.Oleh sebab itu, kami
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah
selanjutnya.Terlepas dari kekurangan makalah ini, kami berharap semoga makalah
ini dapat bermanfaat bagi kami khususnya dan para pembaca pada
umumnya.Aamiin.

Bengkulu, 10 Oktober 2021

Penulis

II
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. iii

A. Latar Belakang Masalah ........................................................................................


B. Rumusan Masalah ..................................................................................................
C. Tujuan Masalah ......................................................................................................

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................................

A. Pengertian Ijtihad ....................................................................................................

B. Syarat-Syarat Ijtihad ...............................................................................................

C. Objek Ijtihad ...........................................................................................................

D. Terbuka Dan Tertutupnya Ijtihad............................................................................

BAB III PENUTUP ..........................................................................................................

A. Kesimpulan .............................................................................................................
B. Saran .......................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................

III
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Ijtihad adalah suatu jalan untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum dalil-


dalil ketentuan itu dan sebagai suatu cara untuk memberikan ketentuan hukum yang
timbul karena tuntunan kepentingan dalam muamalah ijtihad disini mempunyai objek
dan metode-metode tertentu.

Pada umumnya sumber hukum islam ada dua yaitu al-Qur’an dan Hadist, namun
ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi untuk
menetapkan suatu hukum yang tidak secara ditetapkan dalam al-Qur’an maupun
Hadist. Namun, demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan al-Qur’an
dan Hadist.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ijtihad
2. Apa Saja Syarat-Syarat Ijtihad
3. Apa Saja Objek Ijtihad
4. Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad
5.

C. Tujuan Masalah
1. Mampu Memahami Apa Pengertian Ijtihad
2. Mampu Memahami Apa Saja Syarat-Syarat Ijtihad
3. Mampu Memahami Apa Saja Objek Ijtihad
4. Mampu Memahami Terbuka dan Tertutupnya Pintu Ijtihad
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad (‫( االجتهاد‬dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada (‫ (اجتهد‬yang berarti
bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi,
menurut bahasa, ijtihad ialah berupaya serius dalam berusaha atau berusaha yang
bersungguh-sungguh. Sementara secara istilah, para ulama ushul mendefinisikan
ijtihad sebagai berikut:

1. Wahbah al-Zuhaili
‫ الجتهاد‬: ‫الشريعة في التفصيلية أدلتها من الشرعية األحكام استنباط عملية هو‬.

Ijtihad adalah melakukan istimbath hukum syari`at dari segi dalildalilnya


yang terperinci di dalam syari`at. 1

2. Imam al-Ghazali

Ijtihad adalah suatu istilah tentang mengerahkan segala yang diushakan dan
menghabiskan segenap upaya dalam suatu pekerjaan, dan istilah ini tidak digunakan
kecuali terdapat beban dan kesungguhan. Maka dikatakan dia berusaha keras untuk
membawa batu besar, dan tidak dikatan dia berusaha (ijtihad) dalam membawa batu
yang ringan. Dan kemudian lafaz ini menjadi istilah secara khusus di kalangan ulama,
yaitu usaha sungguh-sungguh dari seorang mujtahid dalam rangka mencari
pengetahuan hukum-hukum syari`at. Dan ijtihad sempurna yaitu mengerahkan
segenap usaha dalam rangka untuk melakukan penncarian, sehingga sampai merasa
tidak mampu lagi untuk melakukan tambahan pencarian lagi.2
3. Abdul Hamid Hakim

Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan dalam rangka untuk


memperoleh hukum syara’ dengan jalan istinbath dari alqur’an dan as-sunnah.3

1
Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, (Bairut: dar al-fikr al-Mu’ashir, 1999), hlm 231.

2
Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul, ditahqiq dan diterjemahkan kedalam bahasa inggris oleh Ahmad
Zaki hamad, (Riyadh KSA: Dar al-Maiman linasr wa al-tauzi’, tt), hlm. 640.
3
Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awaliyah, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt), hlm.

5
4. Abdul hamid Muhammad bin Badis al-shanhaji
‫ الشرعي الدليل من الحكم استنباط في الجهد بدل هو االجتهاد‬،‫في المتبحر هو وأهله بالقواعد‬
‫ لمقاصد الواسع اإلدراك ذو والسنة الكتاب علوم‬،‫العربي للكَلم الصحيح والفهم الشريعة‬
Ijtihad adalah mengerahkan segenap kemampuan untuk melakukan istibath
hukum dari dalil syara’ dengan kaidah-kaidah. Dan orang melakukan ijtihad tersebut
adalah orang yang pakar dalam bidang ilmu-ilmu al-Quran dan al-sunnah, memiliki
pengetahuan yang luas tentang maqasid syariah (tujuan-tujuan hukum islam), dan
memiliki pemahaman yang benar terkait dengan bahasa Arab.4

Dari definisi di atas, dapat difahami bahwa ijtihad itu, pertama usaham
intelektual secara sungguh-sungguh; kedua, usaha yang dilakukan itu adalah
melakukan istibath (menyimpulkan) dan menemukan hukum; ketiga, pencarian hukum
dilakukan melalui dalildalil baik dari alqur’an dan Sunnah; keempat, orang yang
melakukan. ijtihad itu adalah seorang ulama yang memiliki kompetensi, dan keluasan
wawasan serta pengetahuan dalam bidang hukum Islam.

Dasar Ijtihad itu merupakan usul syariat yang mempunyai landasan/sandaran


yang sangat kuat secara Naqli adalah al-Qur’an dan sunah. Sandaran ijtihad dari al-
Qur’an Disebutkan dalam firman Allah swt. QS al-Nisa>’/4:59 yang berbunyi:

َ ‫س ْو َل َواُو ِلى ْاْلَ ْم ِر ِم ْن ُك ْۚ ْم فَا ِْن تَنَازَ ْعت ُ ْم فِ ْي‬


‫ش ْيء‬ َ ‫اَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْْٓوا اَ ِط ْيعُوا ه‬
َّ ‫ّٰللا َواَ ِط ْيعُوا‬
ُ ‫الر‬ ْٰٓ ٰٰ
‫سنُ تَأ ْ ِوي ًْل‬
َ ْ‫اْل ِخ ِۗ ِر ٰذلِكَ َخي ٌْر َّواَح‬
ٰ ْ ‫اّٰلل َو ْاليَ ْو ِم‬
ِ ‫س ْو ِل ا ِْن ُك ْنت ُ ْم تُؤْ ِمنُ ْونَ بِ ه‬
ُ ‫الر‬ ِ ‫فَ ُرد ُّْوهُ اِلَى ه‬
َّ ‫ّٰللا َو‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul (Muhammad),
dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.5

Kemudian, Secara terminologi sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad Abu

Zahra, ijtihad yaitu: ‫في طابنتسا ماكحألا ةيلمعل نم اهتلدأ ةيليصفتل لذبة ويقفل عسو‬

4
Abdul Hamid Muhammad Bin Badis Al-Shanhaji, Mabadi’ al-Ushul, ditahqiq oleh Dr. Amar Thalibiy, (TTp: al-Syirkah
al-wathaniyah li al-nasr wa al-tauzi’,1980), Hlm. 47.
5
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2004), hlm. 87.

6
"Pengerahan segala kemampuan seorang ahli fikih dalam menetapkan (istinbat})
hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan dari dalilnya secara terperinci (satu
persatu)”.6

Inilah beberapa pengertian ijtihad, yang menurut Wahbah al-Zuhaili, ijtihad


merupakan nafasnya bagi hukum Islam, yakni bila ijtihad terhenti, maka dinamika
hukum Islam juga terhenti, dan akan tertinggal oleh perkembangan budaya kehidupan
manusia yang semakin hari semakin melahirkan persoalan-persoalan baru yang segera
membutuhkan dan menuntut jawaban-jawaban yuridis dari para hukum Islam. 7

B. Syarat-syarat Ijtihad
Ijtihad merupakan tugas besar dan berat bagi seorang mujthid. Oleh karena itu para
ulama ushul menetapkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang
yang akan melakukan ijtihad, baik syarat-syarat yang menyangkut pribadi maupun
syarat-syarat keilmuan yang harus dimilikinya.8 Menurut Abdul hamid Hakim bahwa
seorang mujtahid harus memenuhi empat syarat ijtihad, yaitu:
1. Mempunyai pengetahuan yang cukup (alim) tentang al-kitab dan al-Sunnah.
2. Mempunyai kemampuan berbahasa Arab yang memadai, sehingga mampu
menafsirkan kata-kata yang asing (gharib) dari Alquran dan sunnah.
3. Menguasai ilmu ushul fiqh.
4. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang nasikh dan mansukh.

Ijtihad menurut ulama ushul merupakan pokok syari’at yang ditetapkan oleh Allah
SWT dan rasul-Nya, dan dapat diketahui melalui kitabnya, Alquran dan al-Sunnah.
Sebagaimana tercantum dalam Q.S An-nisa: 105,
ِ ‫ٱّٰللُ ْۚ َو َْل تَ ُكن ِل ْل َخا ْٓئِنِينَ خ‬
‫َصي ًما‬ َّ َ‫اس بِ َما ْٓ أَ َر ٰىك‬
ِ َّ‫ق ِلتَحْ ُك َم بَيْنَ ٱلن‬ َ َ‫إِنَّا ْٓ أَنزَ ْلنَا ْٓ إِلَيْكَ ْٱل ِك ٰت‬
ِ ‫ب بِ ْٱل َح‬
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepada
kepadamu,”.9

6
Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh (Damaskus: Da>r al-Fikr al-‘Arabi,t.th.), h. 379.
7
Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasit fi Usul al-Fiqh al-Isla>mi (Damaskus: Darr al-Kutub, 1978), h. 529.
8
Wahbah al-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr, ), hlm. 594.
9
Referensi: https://tafsirweb.com/1637-surat-an-nisa-ayat-105.html

7
Ayat ini menunjukan ketetapan ijtihad dengan jalan menetapkan hukum melalui
Alquran dan al-Sunnah. Cara seperti ini, menurut para ulama adalah ijtihad dengan
jalan qiyas, yaitu menyamakan ketentuan hukum yang sudah ada ketetapannya di dalam
nash dengan kasus yang terjadi yang belum ada ketentuanya hukumnya dengan melihat
persamaan illat di antara keduanya. Sementara ketentuan ijtihad dari al-Sunnah
sebagaimana yang dikutip oleh Imam Asy- Syafi’iy di dalam kitabnya Al-Risalah.
Beliau meriwayatkan dengan sanad yang berasal dari Amr bin Ash yang mendengar
dari Rasulullah saw bersabda:
“Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan ijtihad di dalam hal itu,
kemudian ia benar maka ia mendapatkan dua pahala, akan tetapi apabila ia
menetapkan hukum, berijtihad dan ia salah as mendapatkan satu pahala
saja”.10

Dari ayat dan potongan arti hadis di atas, dapat difahami bahwa ijtihad merupakan
suatu hal yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid dalam setiap zaman dalam rangka
untuk menjawab persoalan yang terus berkembang. Ulama Hanabilah berpendapat
bahwa tidak boleh adanya kekosongan mujtahid dalam setiap zaman yang mana mereka
itu menjelaskan hukum-hukum Allah SWT. Pendapat ini juga dikuatkan oleh Imam al-
Syatibi.11

C. Objek Ijtihad
Tidak boleh melakukan ijtihad dalam masalah yang terdapat nash yang jelas dan
pasti.Jika kejadian yang hendak diketahui hukum syara’nya itu telah ditunjukkan oleh dalil
yang sharih (jelas) dan petunjuk serta maknanya adalah pasti,maka tidak ada peluang untuk
ijtihad.12 Menurut Al-Ghazal,objek ijtihad adalah setiap hukum syara’ yang tidak memiliki
dalil yang qathi.Dari pendapatnya itu,diketahui ada permasalahan yang tidak bisa
dijadikan objek ijtihad. Dengan demikian,syari’at Islam dalam kaitannya dengan ijtihad
terbagi dalam dua bagian :

10
Abu Abdullah Muhammad Bin Idris Bin Al-Abbas Al-Syafii, Al-Risalah, ditahqiq oleh Ahmad Syakir, (Mesir: Maktabah al-
halabiy, 1940)
11
Hakim, Abdul Hamid, al-Bayan, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt), hlm.171.
12
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih. (Cet I,Jakarta:Pustaka Amani,2003) hlm317 6 Rachmat Syafe’i, MA.ILMU USHUL
FIQIH.(Cet IV,Bandung: CV Pustaka Setia,2010) hlm107.

8
1. Syari’at yang tidak boleh dijadikan lapangan ijtihad,yaitu hukum-hukum yang telah
dimaklumi sebagai landasan pokok islam,yang berdasarkan dalil-dalil yang qathi,seperti
kewajiban melaksanakan shalat,zakat,puasa,haji,atau haramnya melakukan
zina,mencui,dan lain-lain.Semua itu telah ditetapkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan As-
Sunnah.
2. Syari’at yang bisa dijadikan lapangan ijtihad,yaitu hukum yang didasarkan pada dalil-
dalil yang bersifat dzanni,baik maksudnya,petunjuknya,serta hukum-hukum yang belum
ada nash-nya dan ijma’ para ulama’.
Apabila ada nash yang keberadaannya masih dzanni,hadis ahad misalnya,maka yang
menjadi lapangan ijtihad di antaraya adalah meneliti bagaimana sanadnya,derajat para
perawinya,dan lain-lain. Sedangkan terhadap permasalahan yang tidak ada nash- nya,maka
yang menjadi lapangan ijtihad adalah dengan cara menggunakan kaidah-kaidah yang
bersumber dari akal,seperti qiyas,istihsan,maslahah mursalah,dan lain-lain.

D. Tertutup dan Terbukanya Pintu Ijtihad

Aktifitas ijtihad sesungguhnya telah dimulai sejak masa Nabi, bahkan tindakan
nabi dalam memberikan fatwa yang kemudian dibenarkan oleh wahyu dipandang
sebagai bentuk ijtihad oleh mereka yang beranggapan bahwa Nabi sah sah saja
melakukan ijtihad, seperti kasus tawanan perang badar, di mana setelah beliau
bermusyawarah dengan para sahabat lantas beerijtihad dan memutuskan untuk
membebaskan tawanan dengan membayar tebusan. Setelah itu turunlah surat al-Anfal:
67 yang mengklarifikasi tindakan beliau tersebut. Ayat tersebut berisi:
‫اْل ِخ َر ِۗةَ َو ه‬
ُ‫ّٰللا‬ ‫ض ال ُّد ْنيَ ۖا َو ه‬
ٰ ْ ‫ّٰللاُ ي ُِر ْي ُد‬ َ ‫ع َر‬ ِۗ ِ ‫َما َكانَ ِلنَبِي ٍّ اَ ْن يَّ ُك ْونَ لَ ْٓه اَس ْٰرى َحتهى يُثْ ِخنَ فِى ْاْلَ ْر‬
َ َ‫ض ت ُ ِر ْيد ُْون‬
‫ع ِزي ٌْز َح ِك ْي ٌم‬
َ
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melulmpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiah sedangkan Allah
menghendaki pahala akhirat untukmu. Dan Allah maha kuasa lagi bijaksana.”13
Sementara itu aktifitas sahabat dalam menjelaskan al-Qur’an maupun as-Sunnah atau
menentukan hukum yang belum dijelaskan oleh nash dengan menggunakan akal juga
dipandang sebagai aktifitas ijtihad. Mereka melakukannya sesuai dengan pengetahuan,

13
Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil Cipta Media, 2004), hlm. 87.

9
pengalaman dan kecerdasan mereka yang didukung dengan integritas, kecintaan dan
kesetiaan kepada agama yang dibawa oleh Nabi.
Pada masa sahabat ini terdapat dua kategori ijtihad. Pertama, adalah masa dimana
ijtihad dari sahabat masih dalam bimbingan dan pengawasan Nabi. Ijtihad yang salah akan
mendapatkan pembetulan secara langsung dari beliau dan ijtihad yang dianggap benar
akan mendapat pengukuhan dari beliau. Pengukuhan inilah yang pada akhirnya dikenal
dengan sebutan sunnah taaqririyah. Ijtihad jenis ini seperti yang terjadi pada kasus dua
orang sahabat yang menjalankan ibadah sholat tanpa wudhu dan hanya melakukan
tayamum karena ketiadaan air. Tidak lama kemudian keduanya mendapatkan air. Seorang
sahabat yang satu mengulangi sholatnya dan seorang sahabat lainnya tidak
mengulanginya. Ketika mereka berdua bertemu dan mengadukan kejadian tersebut,
Rasulullah lantas membenarkan keduanya. Kedua, ijtihad sahabat sepeninggal Nabi, pada
masa ini ijtihad sahabat benar-benar berfungsi sebagai aktifitas penggalian hukum, bahkan
dipandang sebagai sebuah kebutuhan yang harus dilaksanakan sebagai problem solving.
Dengan dipelopori sahabat-sahabat besar seperti Abu bakar, Umar, Utsman, Ali dan tokoh-
tokoh sahabat lainnya semangat dan dinamika ijtihad semakin berkembang. Dengan
bertambah luasnya daerah kekuasaan Islam, maka persoalan-persoalan hukumpun banyak
bermunculan. Hal ini karena kaum muslilmin yang menjadi penduduk-penduduk baru itu
telah mempunyai tata cara dan adat istiadat tersendiri sebelum memeluk Islam. Karena
faktor inilah kemudian para sahabat merasa perlu untuk memberikan penjelasan dan
penafsiran terhadap nash-nash hukum dan memberikan fatwa pada kasus-kasus tersebut.
Pada masa selanjutnya, yaitu masa tabi’in dan tabi’it tabi’in kegiatan ijtihad semakin besar
dan berkembang. Pada masa ini mulai muncul aliran ra’yu dan aliran hadits. Para ulama
tidak hanya sekedar berijtihad, tetapi pada masa ini mereka juga gencar melakukan
kodifikasi atas hasil ijtihad mereka sehingga pada gilirannya masa ini disebut sebagai masa
tadwin dan ulama mujtahidin. Periode ini berlangsung sejak awal abad kedua Hijriyah
hingga pertengahan abad keempat Hijriyah.
Sebagaimana deskripsi di atas, pasca wafatnya Rasulullah hingga pertengahan abad
ke empat, ijtihad mengalami perkembangan yang begitu mengesankan. Ibarat pelita,
ijtihad mampu menjadi penerang syariat Islam. Bak sebuah kunci, ia mampu membuka
sekaligus menjawab berbagai macam persoalan zaman yang selalu berjalan dinamis. Dari
sinilah kemudian muncul apa yang disebut dengan “Tsarwah Fiqhiyyah” (khazanah fiqih)
dan pada puncaknya fiqih mengalami puncak kejayaannya pada sekitar abad empat
Hijriyah.
10
Namun, setelah masa tersebut berlalu, kekuasaan Islam yang mulai terpecah belah ke
dalam beberapa negara sedikit banyak mempengaruhi tradisi keilmuan. Aktivitas ijtihad
mulai menampakkan kelesuan, melemahnya kebebasan berfikir, bekunya semangat dan
terjadi dekadensi antusiasme keilmuan di bidang agama. Tidak hanya berhenti sampai di
situ, pada masa ini benih-benih fanatisme bermazhab mulai menyebar, perdebatan kusir
antar pengikut mazhab yang semakin memuncak ditambah lagi dengan merebaknya para
hakim yang tidak memiliki kompetensi di bidangnya. Pada masa ini, Aktivitas keilmuan
tak lebih dari sekedar kodifikasi terhadap pemikiran-pemikiran mujtahid terdahulu atau
hanya sebatas melakukan resume dan komentar terhadap ulama-ulama pendahulu. Dari
sinilah kemudian muncul seruan agar kaum muslimin konsisten untuk selalu berpegang
teguh pada pendapat-pendapat mujtahid terdahulu sebagai salah satu langkah untuk
melestarikan kemurnian fiqih. Mereka juga mendeklarasikan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup.14
Dalam karya ushulnya, az-Zuhaili menilai bahwa tindakan menutup pintu ijtihad
merupakan salah satu bentuk kebijakan yang bermuatan politis-temporal, atau sebagai
langkah antisipatif terhadap munculnya produk-produk ijtihad yang ditelorkan oleh orang-
orang yang bukan ahlinya. Dengan demikian ketika muatan-muatan maupun faktor-faktor
itu telah tiada maka seharusnya kembali pada hukum semula, yaitu terbukanya pintu
ijtihad. Menurutnya, klaim tertutupnya pintu ijtihad adalah klaim kosong yang
berlangsung secara turun menurun dan tidak berlandaskan argumentasi syara’ maupun
akal. Terkait problem stagnasi ijtihad ini, Josep Schaht dalam An Introduction To Islamic
Law, sebagaimana dikutip Abdus salam menyatakan bahwa alasan penutupan pintu ijtihad
ini kemungkinan merupakan akibat tekanan-tekanan eksternal dan bukan karena faktor
internal.
Sebagaimana dikutip az-Zuhaili, Sekelompok ulama Syiah mengatakan“Tertutupnya
pintu ijtihad pada abad ke empat Hijriyah serta pembatasan ruang aktivitas ijtihad
merupakan salah satu kesalahan besar. Sekitar lebih dari tiga abad sebelumnya, pinyu
ijtihad terbuka lebar bagi ahlinya hingga memunculkan kekayaan intelektual dalam
berbagai macam ilmu baik fiqih maupun ushulnya.” Berdasarkan hal tersebut, maka tak
ada alasan untuk menutup pintu ijtihad.

14
Abu Zahrah,Ushul al Fiqh,(Kairo,Dar al Araby,tt),hal 379

11
Terbukanya pintu ijtihad ini diperkuat dengan penjelasan as-Suyuthi dalam karyanya “Ar-
Radd ila man akhlada ilal ardl”. Dalam karyanya tersebut ia menyebutkan pendapat
seluruh mujtahid atas kewajiban mengerahkan segenap kemampuan untuk menganalisis
permasalahan-permasalahan agama dengan melakukan penggalian hukum dari sumbernya
serta mencela perilaku taqlid.15

15
Abu Zahrah,Ushul al Fiqh,Kairo,Dar al Araby,tt

12
BAB III

KESIMPULAN

A. KESIMPULAN
Dari pembahasan yang telah dikemukakan diatas, dapat ditarik kesimpulan
bahwa Ijtihad (‫( االجتهاد‬dari segi bahasa berasal dari kata ijtihada (‫ (اجتهد‬yang berarti
bersungguh-sungguh, rajin, giat atau mencurahkan segala kemampuan (jahada). Jadi,
menurut bahasa, ijtihad ialah berupaya serius dalam berusaha atau berusaha yang
bersungguh-sungguh. Adapun pendapat para ulama yaitu : Wahbah al-Zuhaili, Imam al-
Ghazali, Abdul Hamid Hakim, dan Abdul hamid Muhammad bin Badis al-
shanhaji.Ijtihad berfungsi sebagai penggerak, tanpa ijtihad sunber syari’at islam itu akan
rapuh,itulah sebabnya ijtihad sebgai sumber ketiga yang tidak dapat dipisahkan dari Al-
Qur’an dan Hadis.

B. SARAN
Demikianlah tugas penyusunan makalah ini kami persembahkan.Harapan
kami untuk mengembangkan potensi yang ada dengan harapan dapat bermanfaat
dan bisa difahami oleh para pembaca.Kritik dan saran sangat kami harapkan dari
para pembaca, khususnya dari bapak Dosen yang telah membimbing kami dan
para Mahasiswa demi kesempurnaan makalah ini. apabila ada kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

1. Wahbah al-Zuhaili, al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, (Bairut: dar al-fikr al-Mu’ashir, 1999), hlm
231.
2. Abu Hamid Al-Ghazali, al-Mustasfa min Ilmi al-Ushul, ditahqiq dan diterjemahkan kedalam
bahasa inggris oleh Ahmad Zaki hamad, (Riyadh KSA: Dar al-Maiman linasr wa al-tauzi’,
tt), hlm. 640.
3. Abdul Hamid Hakim, Mabadi’ Awaliyah, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt), hlm.
4. Abdul Hamid Muhammad Bin Badis Al-Shanhaji, Mabadi’ al-Ushul, ditahqiq oleh Dr. Amar
Thalibiy, (TTp: al-Syirkah al-wathaniyah li al-nasr wa al-tauzi’,1980), hlm. 47.
5. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil
Cipta Media, 2004), hlm. 87.
6. Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh (Damaskus: Da>r al-Fikr al-‘Arabi,t.th.), h. 379.
7. Wahbah al-Zuhaili, Al-Wasit fi Usul al-Fiqh al-Isla>mi (Damaskus: Da>r al-Kutub, 1978),
hlm. 529.
8. Wahbah al-Zuhaili, Al-Wajiz fi Ushul al-Fiqh, (Damaskus: Dar al-Fikr, ), hlm. 594.
9. Referensi: https://tafsirweb.com/1637-surat-an-nisa-ayat-105.html
10. Abu Abdullah Muhammad Bin Idris Bin Al-Abbas Al-Syafii, Al-Risalah, ditahqiq oleh Ahmad
Syakir, (Mesir: Maktabah al-halabiy, 1940)
11. Hakim, Abdul Hamid, al-Bayan, (Jakarta: Penerbit Sa’adiyah Putra, tt), hlm.171.
12. Abdul Wahhab Khallaf.Ilmu Ushul Fiqih.(Cet I,Jakarta:Pustaka Amani,2003)hlm317 6
Rachmat Syafe’i, MA.ILMU USHUL FIQIH.(Cet IV,Bandung: CV Pustaka Setia,2010)
hlm107.
13. Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: Syaamil
Cipta Media, 2004), hlm. 87.
14. Abu Zahrah,Ushul al Fiqh,(Kairo,Dar al Araby,tt),hal 379
15. Abu Zahrah,Ushul al Fiqh,Kairo,Dar al Araby,tt

14

You might also like