You are on page 1of 25

HUKUM PERLINDUNGAN ANAK DAN

PEREMPUAN
BAB VIII
PERLINDUNGAN
ANAK DI BIDANG
HUKUM PERDATA

A. Akta Kelahiran Anak.


Anak merupakan anugerah dan karunia yang diberikan oleh Tuhan
Yang Mahakuasa kepada manusia dalam kehidupannya yang harus dirawat
dan dilindungi baik ketika anak masih berada dalam kandungan ibunya,
saat kelahirannya dan setelah kelahirannya agar dapat tumbuh dan
berkembang menjadi manusia yang seutuhnya. Anak yang bam lahir di
dunia tentunya merupakan individu yang tidak dapat melakukan atau
berbuat sesuatu apapun sehingga segala kebutuhannya memerlukan
kehadiran orang lain atau menjadi tanggung jawab orang tua atau keluarga
yang merawat anak tersebut. Oleh karena itu, orang tua, keluarga atau
siapa pun juga yang diberikan hak untuk mengasuh atau merawat anak
tersebut diharapkan dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya untuk
memenuhi segala kebutuhan dan hak-hak anak.
Menurut ketentuan hukum internasional, yakni Konvensi Hak-Hak
Anak dalam salah satu konsiderannya menyatakan bahwa anak harus
sepenuhnya disiapkan untuk menjalani kehidupan sebagai pribadi
masyarakat dan dibesarkan dalam masyarakat dari cita-cita yang
dinyatakan dalam Piagam PBB, khususnya dalam semangat perdamaian,
bermartabat, toleransi, kemerdekaan, kebersamaan dan solidaritas. Anak
karena ketidakmatangan fısik dan mentalnya membutuhkan perlindungan
dan perawatan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum
dan sesudah lahir. Hal tersebut berarti bahwa pemenuhan hak-hak anak
dalam menjalani kehidupannya membutuhkan orang lain karena anak
belum memiliki kematangan fısik dan mental, serta belum dapat berpikir
dan bertindak sebagaimana halnya orang dewasa.
Setiap anak mempunyai hak-hak dalam kehidupannya, termasuk
anak yang dilahirkan mempunyai hak untuk didaftarkan sejak anak
tersebut lahir sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Konvensi Hak-Hak Anak
yang menyatakan bahwa anak akan didaftarkan segera setelah lahir dan
berhak atas sebuah nama, berhak memperoleh kewarganegaraan dan
sejauh mungkin berhak mengetahui dan diasuh oleh orang tuanya. Untuk
hal tersebut, Negara-negara peserta akan menjamin pelaksanaan hak-hak
ini sesuai dengan hukum nasional dan kewajiban-kewajiban mereka
berdasarkan perangkat-perangkat hukum internasional yang terkait dalam
bidang ini, khususnya jika anak akan menjadi tanpa kewarganegaraan.
Ketentuan tersebut di atas mengamanatkan kepada Negara Peserta
untuk menjamin pemenuhan hak anak yang dilahirkan di dunia oleh
ibunya untuk segera didaftarkan terkait peristiwa kelahirannya tersebut ke
instansi yang mempunyai tugas untuk melakukan pencatatan sipil dan
kemudian anak tersebut berhak untuk mendapatkan akta kelahiran sebagai
bukti autentik yang diberikan oleh negara terhadap peristiwa kelahiran
anak tersebut serta untuk menunjukkan siapa orang tuanya. Selain itu, anak
yang dilahirkan tersebut berhak untuk memiliki sebuah nama sebagai
pengenal dirinya yang dapat diberikan oleh orang tuanya atau pihak lain
atas seizin atau sepengetahuan dari orang tua anak tersebut. Anak yang
baru lahir juga berhak untuk mendapatkan status kewarganegaraan
termasuk bagi anak di mana kedua orang tuanya memiliki
kewarganegaraan yang berbeda.
Menurut ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, hak-hak anak
merupakan hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Dasar 1945, antara lain Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa setiap anak
berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pasal 28D ayat (1)
bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Ayat (4) menyatakan bahwa setiap orang berhak atas status
kewarganegaraan. Pasal 28H ayat (2) bahwa setiap orang mendapat
kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan
manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal 28I ayat
(1) salah satunya hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum yang
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pencantuman hak-hak anak dalam UUD 1945, mempunyai makna
berarti bahwa hak-hak anak dijamin secara konstitusional, di mana negara
mempunyai kewajiban untuk menjamin dan memenuhi hak-hak anak
tersebut dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara. Merupakan
kewajiban negara untuk menjamin kelangsungan hidup anak sejak anak
berada dalam kandungan ibunya, setelah anak dilahirkan, pada saat
tumbuh kembang anak, perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan
diskriminasi sehingga anak dapat tumbuh menjadi manusia Indonesia
seutuhnya. Setiap anak berhak atas status kewarganegaraan setelah
dilahirkan, selanjutnya dalam tumbuh kembangnya, anak berhak
mendapatkan perlakuan khusus serta hak untuk memperoleh akses
keadilan karena anak merupakan individu yang belum memiliki
kematangan fısik dan mental dalam masa pertumbuhan fısik dan
mentalnya.
Hak-hak anak merupakan hak asasi manusia sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi
Manusia, Pasal 52 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas
perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat dan negara di mana hak
anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak diakui
dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Berkaitan
dengan hak untuk mendapatkan identitas diatur dalam Pasal 53 bahwa
setiap anak dalam kandungan berhak untuk hidup, mempertahankan hidup
dan meningkatkan taraf kehidupannya, dan setiap anak sejak kelahirannya
berhak atas suatu nama dan status kewarganegaraan. Ketentuan pasal
tersebut mengamanatkan bahwa anak sejak dalam kandungan berhak untuk
hidup dan lahir ke dunia, kemudian setelah kelahirannya, anak berhak
untuk mendapatkan nama sebagai pengenal dirinya serta hak atas
kewarganegaraan.
Berkaitan dengan perlindungan anak khususnya hak untuk
mendapatkan akta kelahiran diatur dalam Undang-Undang Nomor 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal 5 menyatakan bahwa setiap anak
berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.
Lebih lanjut dalam Pasal 27 menyatakan bahwa identitas diri setiap anak
harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam akta kelahiran
yang dibuat berdasarkan pada surat keterangan dari orang tua yang
menyaksikan atau membantu proses kelahiran. Apabila anak yang proses
kelahirannya tidak diketahui dan orang tuanya tidak diketahui
keberadaannya, maka pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut
didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya dan dilengkapi
dengan berita acara pemeriksaan dari pihak kepolisian.
Anak sejak kelahirannya berhak untuk mendapatkan nama sebagai
identitas dirinya termasuk hak untuk mendapatkan status kewarganegaraan
untuk menghindari agar ketika anak lahir tanpa adanya status
kewarganegaraan apalagi jika anak tersebut lahir dari perkawinan orang
tuanya yang berbeda kewarganegaraan. Hak atas nama sebagai identitas
anak tersebut kemudian dituangkan dalam akta kelahiran anak yang dibuat
berdasarkan surat keterangan kelahiran yang dikeluarkan oleh pihak yang
mengetahui atau menyaksikan proses kelahiran anak misalnya rumah sakit,
puskesmas atau fasilitas kesehatan lainnya tempat anak dilahirkan maupun
keterangan dari orang tua anak tersebut. Namun apabila kelahiran anak
tidak diketahui karena tidak diketahui kedua orang tua dalam hal ini anak
tersebut dititipkan di panti asuhan atau bahkan ditelantarkan, maka
pencatatan akta kelahiran anak berdasarkan keterangan orang yang
menemukan anak dilengkapi dengan berita acara dari pihak kepolisian.
Lebih lanjut, untuk menjamin pelaksanaan dan pemenuhan hak anak
untuk mendapatkan identitas diri sejak kelahirannya diatur dalam Pasal 28
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan
dengan tegas bahwa perbuatan akta kelahiran bagi anak dilakukan oleh
instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
administrasi kependudukan yang pencatatannya diselenggarakan paling
rendah pada tingkat kelurahan atau desa, di mana pembuatan akta
kelahiran diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hart terhitung sejak
tanggal dipenuhinya semua persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang dalam pelaksanaan permohonan akta kelahiran
bagi anak tidak dikenakan biaya.
Ketentuan tersebut memberikan tugas dan kewenangan pembuatan
akta kelahiran anak oleh instansi pemerintah yang menyelenggarakan
urusan di bidang administrasi kependudukan atau dikenal dengan nama
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil pada masing-masing Kabupaten
atau Kota di mana anak tersebut dilahirkan. Pembuatan akta kelahiran anak
harus memenuhi persyaratan antara lain surat keterangan kelahiran anak,
identitas dan alamat domisili kedua orang tua anak apabila orang tua anak
apabila diketahui keberadaannya, atau surat keterangan dari pihak
kepolisian apabila orang tua anak tersebut tidak diketahui berdasarkan
keterangan orang yang menemukan anak, serta dokumen lainnya terkait
dengan kelahiran anak. Untuk memberikan kepastian hukum, maka akta
kelahiran anak diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh)
hart, di mana proses pembuatan akta kelahiran tersebut tidak dipungut
biaya yang merupakan bentuk pelayanan pemerintah kepada warganya.
Pendaftaran anak dalam akta kelahiran lebih lanjut diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi
Kependudukan, Pasal 27 menyatakan bahwa setiap kelahiran wajib
dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya
peristiwa kelahiran paling lambat 60 (enam puluh) hart sejak dilahirkan,
dan berdasarkan laporan tersebut pejabat pencatatan sipil mencatat pada
register akta kelahiran dan menerbitkan kutipan akta kelahiran. Kemudian
dalam Pasal 28 mengatur bahwa pencatatan dalam register akta kelahiran
dan penerbitan akta kelahiran terhadap peristiwa kelahiran seorang anak
yang tidak diketahui asal-usulnya atau keberadaan orang tuanya
didasarkan pada laporan yang menemukan dilengkapi berita acara
pemeriksaan dari kepolisian.
Dalam hal anak lahir di luar negeri karena orang tua anak tersebut
sedang berada di luar negeri karena sedang bekerja, melanjutkan
pendidikan atau sebab lain, maka pencatatan kelahiran anak tersebut
dilaksanakan oleh perwakilan pemerintah Indonesia di negara tersebut
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan mengatur tentang pencatatan
kelahiran di luar wilayah Republik Indonesia wajib dicatatkan pada
instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan kepada
perwakilan Republik Indonesia untuk dilakukan pencatatan peristiwa
kelahiran dalam register akta kelahiran dan menerbitkan kutipan akta
kelahiran, di mana pencatatan kelahiran tersebut kemudian dilaporkan

152
kepada instansi pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh hart sejak warga
negara Indonesia tersebut kembali ke Indonesia.
Selanjutnya terhadap kelahiran anak yang terjadi di atas kapal laut
pada saat pelayanan atau di atas pesawat terbang dalam suatu penerbangan
maka pencatatannya dilakukan setelah kapal laut atau pesawat terbang
tersebut singgah di tempat transit atau tiba di tempat tujuan sebagaimana
diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, yang menyatakan bahwa pencatatan
kelahiran warga negara Indonesia di atas kapal laut atau pesawat terbang
wajib dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat
tujuan atau tempat singgah berdasarkan keterangan kelahiran dari nakhoda
kapal laut atau kapten pesawat terbang. Apabila tempat tujuan atau tempat
singgah berada di luar negeri, kelahiran dilaporkan kepada negara tujuan
atau negara tempat singgah atau perwakilan Republik Indonesia setempat,
di mana pencatatan kelahiran tersebut wajib dilaporkan oleh penduduk
kepada instansi pelaksana paling lambat 30 (tiga puluh) hart sejak yang
bersangkutan kembali ke Indonesia.
Untuk melaksanakan pencatatan kelahiran anak apabila telah
melebihi batas waktu yang telah ditentukan namun kelahiran anak tersebut
belum dicatatkan pada instansi yang berwenang maka kelahiran anak
tersebut dilakukan setelah mendapat persetujuan kepala instansi pencatatan
setempat atau telah mendapat penetapan pengadilan negeri sebagaimana
diatur dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Administrasi Kependudukan, mengatur tentang pencatatan kelahiran yang
telah melampaui batas waktu, yang menyatakan bahwa pelaporan peristiwa
kelahiran yang telah melampaui batas waktu selama 60 (enam puluh) hart
sampai dengan 1 (satu) tahun sejak tanggal kelahiran, maka pencatatan
kelahiran dilaksanakan setelah mendapat persetujuan Kepala Instansi
pelaksana setempat. Pencatatan peristiwa kelahiran yang telah melampaui
batas waktu 1 (satu) tahun, maka pencatatan kelahiran tersebut
dilaksanakan berdasarkan penetapan pengadilan negeri.

B. Status Anak dalam Perkawinan Tidak Resmi.


Secara konstitusional, setiap warga negara Indonesia mempunyai
hak untuk membentuk keluarga dalam suatu ikatan perkawinan

153
sebagaimana diatur dalam Pasal 28B UUD 1945, yang menyatakan bahwa
setiap berhak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah, di mana setiap anak mempunyai hak atas
kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Oleh karena itu, Negara
menjamin hak kepada anak untuk melangsungkan hidupnya dan tumbuh
berkembang sebagai hasil dari adanya suatu ikatan perkawinan yang
merupakan generasi penerus kehidupan di masa yang akan datang tanpa
adanya perbedaan atau diskriminasi.
Perihal perkawinan setiap warga negara Indonesia diatur dalam
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ketentuan Pasal 1
menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan yang Maha Esa. Kemudian dalam Pasal 2 menyatakan bahwa
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaan itu, di mana tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari ketentuan pasal tersebut
berarti bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan
menurut agama dan kepercayaan orang yang melaksanakan perkawinan
tersebut, dan perkawinan tersebut dicatatkan oleh instansi pemerintah yang
berwenang menurut ketentuan hukum yang berlaku, sehingga suatu
perkawinan dianggap yang sah apabila memenuhi kedua hal tersebut.
Konsekuensi dari perkawinan yang dikatakan sah sebagaimana
diuraikan di atas, akan berlanjut kepada status anak yang dilahirkan dari
perkawinan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah, Kemudian
dalam Pasal 43 yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibunya. Ketentuan pasal tersebut menyebabkan terjadinya ketidakpastian
hukum terhadap hak anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak sah
maupun anak yang dilahirkan di luar perkawinan. Anak tersebut akan

154
mengalami kesulitan untuk memperoleh hak-haknya di kemudian hart
karena perkawinan kedua orang tuanya tidak tercatatkan pada instansi
yang berwenang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Berkaitan dengan hal tersebut, fenomena yang terjadi dalam
kehidupan masyarakat, di mana tidak selamanya anak terlahir dari suatu
perkawinan yang sah, banyak juga anak yang terlahir di luar perkawinan
yang akan mengakibatkan status anak menjadi beragam. Apabila
perkawinannya sah, anak yang terlahir pun menjadi anak yang sah, namun
apabila perkawinan yang dilaksanakan tidak sah, maka akan memberikan
status anak luar kawin bagi anak tersebut. Demikian pula anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatatkan berarti bahwa
perkawinan tersebut tidak pernah ada sehingga anak yang lahir dari
perkawinan tersebut dikategorikan sebagai anak yang lahir di luar
perkawinan yang hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya saja
sedangkan dengan ayah biologisnya dan keluarganya tidak mempunyai
hubungan keperdataan. 7’
Pengakuan terhadap hak anak yang lahir di luar perkawinan yang
sah kemudian mendapatkan jaminan setelah adanya Mahkamah Konstitusi
mengeluarkan Putusan Nomor: 46/PUU-VIII/2010 tanggal 17 Februari
2012 dengan amar putusan bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang dimaknai
menghilangkan hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya,
sehingga ayat tersebut harus dibaca anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain
menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata
dengan keluarga ayahnya.

7’ Rika Saraswati, hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2015, hlm. 47.
Dengan demikian, sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut di atas, maka anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah
tetap mempunyai hubungan darah dan hubungan perdata dengan ayah anak
tersebut sepanjang hal tersebut dapat dibuktikan dengan menggunakan
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi misalnya penggunaan tes DNA
dengan tingkat akurasi yang tinggi hingga 99,9% sehingga hasil tes
tersebut dapat digunakan sebagai alat bukti yang kuat yang menunjukkan
bahwa anak yang dilahirkan tersebut mempunyai hubungan biologis
dengan ayahnya meskipun anak tersebut lahir di luar perkawinan yang sah.
Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut telah menjawab permasalahan
yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat berkaitan dengan anak
yang dilahirkan dari perkawinan di luar nikah serta dapat memberikan
kepastian hukum status dan hubungan perdata anak dengan ayah
biologisnya sehingga anak tersebut dapat memperoleh hak-haknya.

C. Perkawinan Anak.
Perlindungan terhadap anak merupakan salah satu perwujudan hak-
hak asasi manusia sebagai warga negara Indonesia sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 28B ayat (2) menyatakan bahwa
setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hal tersebut
berarti negara menjamin perlindungan terhadap setiap anak Indonesia
termasuk perlindungan dari perkawinan yang dilakukan di bawah umur
atau pada usia anak. Setiap anak sebagai generasi penerus cita-cita
peıjuangan bangsa dan negara Indonesia berhak untuk tumbuh dan
kembang, melangsungkan kehidupannya termasuk menikmati hak-haknya
sebagai anak antara lain hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak
sesuai dengan perkembangan fisik dan mentalnya, serta hak untuk
mendapatkan perlindungan agar tidak menikah pada usia anak.
Upaya perlindungan terhadap anak kemudian tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal
52 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh
orang tua, keluarga, masyarakat dan negara, di mana hak anak adalah hak
asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak tersebut diakui dan
dilindungi oleh hukum. Hal tersebut berarti bahwa setiap anak berhak atas

156
perlindungan dari orang tua dan keluarganya, anak tidak dapat dipaksa
mengikuti kehendak kedua orang tuanya atau oleh anggota keluarganya
yang lain untuk melangsungkan perkawinan pada usia anak sementara
anak tersebut masih ingin melanjutkan kehidupannya misalnya
melanjutkan pendidikannya atau menikmati masa hidupnya sebagai anak.
Meskipun anak dalam hidupnya masih berada di bawah kuasa orang
tuanya, namun kedua orang tuanya tidak semestinya memperlakukan anak
sekehendak hatinya tanpa memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak.
Secara khusus berkaitan dengan perlindungan terhadap anak diatur
dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Pasal
1 angka 1 menyatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan
untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi. Ketentuan pasal tersebut memberikan
pengertian perlindungan anak yang meliputi kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dalam kehidupannya sehingga anak dapat hidup,
terpenuhi hak-haknya sesuai dengan pertumbuhan fısik dan mentalnya, hak
untuk mendapatkan perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan
diskriminasi dalam pemenuhan hak-haknya.
Setiap anak mempunyai hak-hak dalam tumbuh kembangnya
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat
dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak-anak yang sebaya,
bermain, berekreasi dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat dan tingkat
kecerdasan demi pengembangan diri. Kemudian Pasal 20, menyatakan
bahwa Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, keluarga,
orang tua dan wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak. Pasal 26 mengatur tentang kewajiban
dan tanggung jawab orang tua, yaitu mengasuh, memelihara, mendidik dan
melindungi anak, menumbuh kembangkan anak sesuai kemampuan, bakat
dan minatnya, mencegah terjadinya perkawinan pada anak usia dini dan

157
memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada
anak.
Perlindungan terhadap anak khususnya untuk mencegah terjadinya
perkawinan pada usia anak merupakan tanggung jawab dan kewajiban
negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga dan orang
tua anak tersebut. Orang tua berkewajiban untuk mengasuh, memelihara,
mendidik dan melindungi anak dalam proses tumbuh kembang anak secara
fısik dan mental, serta mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak
karena anak belum siap secara fisik dan mental serta belum memiliki
kematangan pikiran dan emosional untuk menjalani kehidupan rumah
tangga. Secara fısik, kondisi tubuh anak belum siap untuk mengandung
dan melahirkan karena organ reproduksi anak belum matang. Secara
psikologis, anak belum memiliki kondisi emosional yang stabil agar dapat
menjalani kehidupan rumah tangga sehingga mudah mengalami depresi
atau stres ketika anak tersebut menghadapi berbagai permasalahan dalam
kehidupannya.
Perkawinan yang dilangsungkan oleh anak (child marriage)
mempunyai risiko yang ditinjau dari aspek kesehatan sebagaimana
dilaporkan oleh UNICEF bahwa anak-anak yang hamil di bawah umur
cenderung melahirkan bayi prematur, komplikasi melahirkan, bayi kurang
gizi, kematian ibu dan bayi yang lebih tinggi, apabila usia ibu di bawah 15
(lima belas) tahun, dapat berisiko mengalami pendarahan, sepsis,
preeklamsia/eklampsia, serta kesulitan melahirkan, bahkan dapat
menyebabkan kematian di kalangan ibu yang berusia anak-anak yang
diestimasikan 2 (dua) hingga 5 (lima) kali lebih banyak dibanding dengan
ibu yang berusia dewasa. Di samping itu, ibu yang melahirkan di usia di
bawah 18 (delapan belas) tahun memiliki kemampuan yang rendah untuk
mengasuh anak sehingga seringkali salah mengambil keputusan terhadap
anak mereka karena pengetahuan yang kurang tentang cara membesarkan
anak 76
Untuk menghindari terjadinya perkawinan pada usia anak,
Pemerintah telah mengatur batas minimal usia perkawinan sebagaimana
diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang

76 Gadis Arivia dalam Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2015, hlm. 49.

158
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, menyatakan bahwa perkawinan didasarkan atas persetujuan
kedua calon mempelai, dan untuk melaksanakan perkawinan seorang yang
belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua, apabila orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup
diperoleh dari salah satu orang tua yang masih hidup atau orang tua yang
mampu menyatakan kehendaknya, apabila tidak ada dapat diberikan oleh
wali atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis
keturunan, namun apabila tidak ada maka pengadilan dalam daerah tempat
tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan tersebut.
Lebih lanjut, berkaitan dengan perlindungan anak dari perkawinan
yang dilaksanakan di bawah umur atau pada usia anak diatur dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa
perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur
19 (sembilan belas) tahun, namun dalam hal terjadi penyimpangan
terhadap ketentuan umur tersebut, orang tua pihak pria dan wanita dapat
meminta dispensasi kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak
disertai dengan bukti-bukti pendukung yang cukup, di mana dalam
pemberian dispensasi oleh Pengadilan wajib mendengarkan pendapat
kedua belah pihak calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.

D. Sanksi bagi Pelaku.


Anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa dan negara
Indonesia di masa yang akan datang sehingga perlu mendapatkan
perlindungan dari segala komponen bangsa dan negara agar dapat
menjamin tumbuh kembang anak dalam menjalani kehidupannya. Negara
mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk menjamin dan memenuhi
hak-hak anak, termasuk melakukan upaya dan tindakan untuk mencegah
terjadinya perbuatan atau tindakan yang dapat merugikan bagi anak
misalnya tindakan kekerasan terhadap anak, diskriminasi dan tindakan lain
yang menyebabkan anak tidak dapat memperoleh hak-haknya. Selain itu,
perlindungan terhadap anak juga merupakan tanggung jawab orang tua,
keluarga dan masyarakat untuk bersama-sama dalam rangka menjamin

159
tumbuh dan kembang anak, dan tidak seorang pun dapat melakukan
berbagai tindakan yang merampas hak-hak anak di segala bidang
kehidupan.
Sehubungan dengan itu, Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, Pasal 2 menyatakan bahwa penyelenggaraan
perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-
Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak
yang meliputi non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, hak untuk
hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan dan penghargaan terhadap
pendapat anak. Kemudian Pasal 3 menyatakan bahwa perlindungan anak
bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,
tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi Indonesia yang berkualitas, berakhlak
mulia dan sejahtera.
Anak berhak mendapatkan perlindungan dari berbagai tindakan atau
perlakuan yang diskriminasi, tindakan eksploitasi secara fisik dan seksual
serta bentuk-bentuk tindakan lainnya yang dapat merugikan anak
sebagaimana diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa setiap anak dalam
pengasuhan orang tua, wali atau pihak lain mana pun yang bertanggung
jawab atas pengasuhan, berhak mendapatkan perlindungan dari perlakuan
diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran,
kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah
lainnya. Pasal 15 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk
memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik,
pelibatan dalam sengketa bersenjata, kerusuhan sosial, peristiwa yang
mengandung unsur kekerasan, peperangan dan kejahatan seksual.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, bentuk-bentuk perbuatan yang
dilarang dilakukan terhadap anak diatur dalam 76A s.d. 76J Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu sebagai berikut:
1. Perbuatan memperlakukan anak secara diskriminatif yang
mengakibatkan anak mengalami kerugian baik materiil maupun

160
moril sehingga menghambat fungsi sosialnya atau memperlakukan
anak penyandang disabilitas secara diskriminatif (Pasal 76A);
2. Perbuatan menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh,
melibatkan anak dalam situasi salah dan penelantaran (Pasal 76B);
3. Perbuatan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh,
melakukan atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak
(Pasal 76C);
4. Perbuatan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain
(Pasal 76D);
5. Perbuatan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa,
melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau
membujuk anak melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan
cabul (Pasal 76E);
6. Perbuatan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan,
dan/atau perdagangan anak (Pasal 76a;
7. Perbuatan menghalang-halangi anak untuk menikmati budayanya
sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya dan/atau
menggunakan bahasanya sendiri tanpa mengabaikan akses
pembangunan masyarakat dan budaya (Pasal 76G);
8. Perbuatan merekrut atau memperalat anak untuk kepentingan militer
dan/atau lainnya dan membiarkan anak tanpa perlindungan jiwa
(Pasal 76H);
9. Perbuatan menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual terhadap anak (Pasal 76I);
10. Perbuatan menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh
melibatkan anak dalam penyalahgunaan, serta produksi dan
distribusi narkotika dan/atau psikotropika, serta produksi dan
distribusi alkohol dan zat adiktif lainnya (Pasal 76J).
Pelanggaran terhadap bentuk-bentuk perbuatan terlarang
sebagaimana diuraikan di atas, maka akan dikenakan sanksi pidana bagi
pelakunya sebagaimana diatur dalam Pasal 76A s.d. 89 Undang-Undang

161
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, sebagai berikut:
1. Perbuatan melanggar Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal 77);
2. Perbuatan aborsi terhadap anak yang masih dalam kandungan
dengan alasan dan tata cara yang tidak dibenarkan oleh ketentuan
peraturan perundang-undangan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda Rp1.000.000.000,- (satu
miliar rupiah) tPasal 77A);
3. Perbuatan melanggar ketentuan Pasal 76B, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dengan paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal 77B);
4. Perbuatan membiarkan anak dalam situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum, anak yang tereksploitasi secara ekonomi
dan seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, korban
penculikan, korban perdagangan atau anak korban kekerasan,
padahal anak tersebut memerlukan pertolongan dan harus dibantu,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
dengan paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal
78);
5. Perbuatan yang melakukan pengangkatan anak yang bertentangan
dengan ketentuan yang berlaku, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau dengan paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal 79);
6. Perbuatan yang melanggar ketentuan Pasal 76C, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau
denda paling banyak Rp72.000.000.- (tujuh puluh dua juta rupiah)
(Pasal 80);
7. Perbuatan yang melanggar Pasal 76D, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) tPasal 81);

162
8. Perbuatan yang melanggar Pasal 76E, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima
miliar rupiah) tPasal 82);
9. Perbuatan yang melanggar Pasal 76F, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan denda paling sedikit Rp60.000.000,- (enam puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah)
(Pasal 83);
10. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan transplantasi
organ dan./atau jaringan tubuh anak untuk pihak lain dengan
maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
denda paling banyak Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) (Pasal
84);
11. Perbuatan melakukan jual beli organ tubuh dan/atau jaringan tubuh
anak dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan/atau dengan paling banyak Rp300.000.000,- (tiga ratus
juta rupiah) (Pasal 85);
12. Perbautan menggunakan tipu muslihat, rangkaian kebohongan atau
membujuk anak untuk memilih agama lain bukan atas kemauannya
sendiri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah)
(Pasal 86);
13. Perbuatan melanggar Pasal 76G, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal 86A);
14. Perbuatan melanggar Pasal 76H, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Pasal 87);
15. Perbuatan melanggar Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak
Rp200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) (Pasal 88);
16. Perbuatan melanggar Pasal 76J ayat (1), dipidana dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling

163
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan
pidana dengan paling sedikit Rp50.000.000,- (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
(Pasal 89);
Selain sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, kepada pelaku tindak kekerasan
terhadap anak yang terjadi dalam lingkup rumah tangga dapat dikenakan
sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 44 s.d. 49 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah
Tangga, yaitu sebagai berikut:
1. Perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau dengan
paling banyak Rp15.000.000.- (lima belas juta rupiah) (Pasal 44 ayat

2. Perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga, dipidana


dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau dengan paling
banyak Rp9.000.000.- (sembilan juta rupiah) (Pasal 45 ayat 1);
3. Perbuatan kekerasan seksual, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,-
(tiga puluh enam juta rupiah) (Pasal 46 ayat 1);
4. Perbuatan menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangga,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp15.000.000,- (lima belas juta rupiah).

E. Anak dari Perkawinan Campuran.


Pada hakikatnya setiap manusia yang lahir di dunia tidak dapat
memilih di negara mana dan dikeluarga siapa dia akan dilahirkan karena
sejatinya kelahiran merupakan kehendak dari Tuhan Yang Mahakuasa, dan
tidak seorang pun manusia dapat menentukan akan dilahirkan pada tempat
dan dari keluarga tertentu sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu,
setiap anak yang lahir di dunia tanpa terkecuali mempunyai hak-hak asasi
manusia yang sama dengan anak yang lain tanpa adanya perbedaan atau
diskriminasi. Kelahiran seorang anak merupakan anugerah dan karunia

164
bagi kedua orang tua yang telah melahirkannya sehingga sudah semestinya
disyukuri, dijaga, dirawat dalam rangka tumbuh kembang anak, termasuk
pemenuhan segala hak-hak anak tersebut setelah kelahirannya.
Sehubungan dengan itu, menurut asas-asas kewarganegaraan yang
berlaku secara universal, dikenal asas-asas untuk menentukan status
kewarganegaraan seseorang yang lahir di dunia, yaitu asas ins sanguinis
(law of the blood), yaitu asas yang menentukan status kewarganegaraan
seseorang berdasarkan keturunan, bukan dari negara tempat kelahiran, asas
ins soli (las of the soil) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan
seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, dan asas campuran yang
merupakan gabungan dari asas ius sanguinis, yaitu berdasarkan keturunan
dan asas ins soli, yaitu berdasarkan negara tempat kelahiran. 77
Perihal hak anak untuk mendapatkan kewarganegaraan akibat dari
perkawinan campuran merupakan salah satu hak konstitusional setiap
warga negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan bahwa yang menjadi warga negara adalah orang-orang
bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang-undang sebagai warga negara. Kemudian Pasal 28D ayat (4)
bahwa setiap orang berhak atas status kewarganegaraan. Lebih lanjut Pasal
26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Hak Asasi
Manusia menyatakan bahwa setiap orang berhak memiliki, memperoleh,
mengganti atau mempertahankan status kewarganegaraannya. Kemudian
Pasal 53 ayat (2) mengatur tentang hak anak atas suatu nama dan status
kewarganegaraan sejak kelahirannya.
Pengaturan lebih lanjut tentang kewarganegaraan Indonesia secara
khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan, Pasal 4 menyatakan bahwa warga negara Indonesia
adalah:
a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
dan/atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia
dengan negara lain sebelum undang-undang ini berlaku sudah
menjadi warga negara Indonesia;

77 Rika Saraswati, I-Iukum Perlindungan Anak di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2015, hlm. 55.

165
b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga
negara Indonesia dan ibu warga negara Indonesia;
C. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga
negara Indonesia dan ibu warga negara asing;
d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari ayah warga negara
asing dan ibu warga negara Indonesia;
e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara Indonesia tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan
atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan
kewarganegaraan kepada anak tersebut;
f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga) ratus hart setelah
ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya
warga negara Indonesia;
g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara Indonesia;
h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga
negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia
sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin;
Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada
waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya;
Anak yang bam lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik
Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui;
k. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah
dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui
keberadaannya;
l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah negara Republik Indonesia
dari seorang ayah dan ibu warga negara Indonesia yang karena
ketentuan dari negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan;
m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia
sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

166
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, dalam hal terjadi perkawinan
campuran antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing, maka
anak yang dilahirkan dari perkawinan campuran tersebut masih berhak
untuk mendapatkan status sebagai warga negara Indonesia. Hak untuk
mendapatkan kewarganegaraan Indonesia juga berlaku bagi anak yang
lahir di luar perkawinan yang satt antara warga negara Indonesia dengan
warga negara asing. Hal tersebut untuk mencegah anak kehilangan
kewarganegaraan karena anak tersebut lahir di luar perkawinan yang sah
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Status sebagai warga negara
Indonesia juga dapat diberikan kepada anak yang lahir di Indonesia namun
kedua orang tuanya tidak diketahui kewarganegaraannya atau tidak
diketahui keberadaannya. Demikian pula bagi anak yang lahir di luar
negeri, di mana ketentuan di negara tersebut memberikan status
kewarganegaraan bagi anak yang lahir di negara tersebut, maka anak
tersebut juga berhak mendapatkan kewarganegaraan Indonesia.
Lebih lanjut dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan, bahwa anak warga negara Indonesia yang lahir
di luar perkawinan yang satt, belum berusia 18 (delapan belas) tahun dan
belum kawin diakui secara satt oleh ayahnya berkewarganegaraan asing
tetap diakui sebagai warga negara Indonesia, dan bagi anak warga negara
Indonesia yang belum berusia 5 (lima) tahun diangkat secara satt sebagai
anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan, tetap
diakui sebagai warga negara Indonesia. Pasal 6 mengatur tentang anak
yang mempunyai status kewarganegaraan ganda setelah berusia 18
(delapan belas) tahun atau sudah kawin, maka anak tersebut harus memilih
salah satu kewarganegaraannya yang dibuat secara tertulis dan
disampaikan kepada pejabat yang berwenang paling lambat 3 (tiga) tahun
setelah anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah kawin.
Kemudian ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan menyatakan bahwa anak yang belum
berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin, berada dan bertempat
tinggal di wilayah negara Republik Indonesia, dari ayah atau ibu yang
memperoleh kewarganegaraan Republik Indonesia dengan sendirinya
berkewarganegaraan Republik Indonesia. Kemudian anak yang warga
negara asing yang belum berusia 5 (lima) tahun yang diangkat secara satt

167
menurut penetapan pengadilan sebagai anak oleh warga negara Indonesia
memperoleh kewarganegaraan Indonesia, namun apabila anak tersebut
memperoleh kewarganegaraan ganda, maka anak tersebut harus memilih
salah satu kewarganegaraan setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau
sudah kawin.

F. Pengasuhan, Perwalian dan Pengangkatan Anak.


Setiap anak yang dilahirkan ke dunia sudah semestinya
mendapatkan perawatan dan pengasuhan dari kedua orang tuanya guna
memenuhi segala kebutuhan anak dalam rangka tumbuh kembang anak
secara fısik dan mental. Namun demikian, tidak selamanya anak dapat
memperoleh perawatan, pengasuhan dan kasih sayang dari kedua orang
tuanya disebabkan oleh berbagai penyebab, misalnya karena orang tuanya
meninggal dunia, keberadaan orang tua yang jauh dari anak karena suatu
pekerjaan atau hal lain, atau karena terjadinya perceraian sehingga anak
tidak dapat hidup bersama kedua orang tuanya. Oleh karena itu, anak
membutuhkan orang lain baik yang masih keluarganya sendiri atau pihak
lain untuk memenuhi kebutuhan anak dalam kehidupannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
Pasal 7 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui orang
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri, namun dalam hal
karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang
anak, atau anak dalam keadaan telantar maka anak tersebut berhak diasuh
atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Lebih lanjut, Pasal
14 ayat (1) menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang
tuanya sendiri, kecuali dengan alasan atau aturan hukum yang sah
menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi
anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pengasuhan anak merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya, di
mana anak berhak untuk mengetahui siapa orang tua kandungnya, hak
untuk dibesarkan, diasuh oleh orang tuanya sendiri termasuk hak untuk
mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sudah semestinya
anak dalam masa pertumbuhannya diasuh secara langsung oleh kedua

168
orang tuanya agar anak dapat tumbuh dan kembang dengan baik. Namun
demikian, hak pengasuhan anak dapat dialihkan kepada orang lain apabila
diketahui bahwa orang tuanya tersebut tidak dapat melaksanakan tugas dan
kewajibannya untuk mengasuh anak dengan baik, misalkan kebiasaan
orang tuanya yang tidak baik antara lain sering mengkonsumsi minuman
keras, narkotika, beıjudi, dan kebiasaan buruk lainnya yang dikhawatirkan
dapat memengaruhi perkembangan fısik dan mental anak.
Selanjutnya Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, mengatur tentang kewajiban dan tanggung
jawab orang tua untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi
anak, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan
minatnya, mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak dan
memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada
anak. Namun dalam hal orang tua tidak ada atau tidak diketahui
keberadaannya atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan
kewajiban dan tanggung jawabnya, maka dapat beralih kepada keluarga
anak tersebut sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan tersebut di atas selain mengatur tentang kewajiban dan
tanggung jawab orang tua untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan
melindungi anak dalam rangka tumbuh kembang anak sesuai dengan
kemampuan, bakat dan minatnya juga mengatur tentang peralihan
kewajiban dan tanggung jawab tersebut kepada orang lain baik yang
berasal dari keluarga anak maupun orang lain untuk mengasuh,
memelihara dan mendidik anak menggantikan kedua orang tuanya. Hak
pengasuhan anak dapat diberikan kepada orang lain apabila kedua orang
tua anak tersebut tidak diketahui keberadaannya meskipun pihak keluarga
telah berusaha mencari, atau karena kedua orang tuanya yang telah
bercerai dan meninggalkan anak tersebut sehingga menyebabkan anak
tersebut menjadi telantar karena tidak ada orang yang mengasuh dan
merawatnya.
Berkaitan dengan kuasa asuh diatur dalam Pasal 1 huruf k Undang-
Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan pengertian
kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik,

169
memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak
sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan bakat serta
minatnya. Apabila orang tua tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung
jawabnya maka kuasa asuh dapat dicabut sebagaimana diatur dalam Pasal
30, bahwa dalam hal orang tua melalaikan kewajibannya, terhadapnya
dapat dilakukan tindakan pengawasan atau kuasa asuh orang tua dapat
dicabut yang dilakukan melalui penetapan pengadilan.
Lebih lanjut berkaitan dengan kuasa asuh terhadap anak diatur
dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,
bahwa salah satu orang tua, saudara kandung, atau keluarga sampai derajat
ketiga dapat pengajuan permohonan ke pengadilan untuk mendapatkan
penetapan pengadilan tentang pencabutan kuasa asuh orang tua atau
melakukan tindakan pengawasan apabila terdapat alasan yang kuat untuk
itu. Namun apabila salah satu orang tua, saudara kandung atau keluarga
sampai derajat ketiga tidak dapat melaksanakan fungsinya, maka
pencabutan kuasa asuh orang tua dapat diajukan oleh pejabat berwenang
atau lembaga lain yang berwenang, di mana penetapan pengadilan dapat
menunjuk seseorang atau lembaga pemerintah/masyarakat untuk menjadi
wali bagi anak yang bersangkutan, dengan syarat perseoranga harus
seagama dengan agama yang dianut oleh anak yang akan diasuhnya.
Kemudian Pasal 32 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa penetapan pengadilan tentang
pengasuhan anak memuat ketentuan bahwa tidak memutuskan hubungan
darah antara anak dan orang tua kandungnya, tidak menghilangkan
kewajiban orang tuanya untuk membiayai hidup anaknya dan batas waktu
pencabutan pengasuhan orang tua anak tersebut. Pasal 37 mengatur bahwa
pengasuhan ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat
menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar baik fısik, mental,
spiritual, maupun sosial yang dilaksanakan oleh lembaga yang mempunyai
kewenangan untuk itu dengan ketentuan lembaga yang berlandaskan
agama harus sama dengan agama yang dianut oleh anak tersebut yang
dapat dilakukan di dalam dan di luar panti sosial, dan bagi perseorangan
yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga tersebut.

170
Pelaksanaan pengasuhan terhadap anak diatur dalam Pasal 38
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa
pengasuhan dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan,
jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan
kelahiran anak dan kondisi fisik dan mentalnya. Pengasuhan anak
diselenggarakan melalui bimbingan, pemeliharaan, perawatan, dan
pendidikan secara berkesinambungan, serta dengan memberikan bantuan
biaya atau fasilitas lain untuk menjamin tumbuh kembang anak secara
optimal baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial tanpa mempengaruhi
agama yang dianut oleh anak tersebut.
Selain upaya pengasuhan bagi anak dalam rangka tumbuh kembang
anak juga dikenal istilah perwalian untuk menggantikan tanggung jawab
kedua orang tuanya sebagaimana diatur dalam Pasal 33 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa dalam hal orang tua tidak
dapat melakukan perbuatan hukum atau tidak diketahui tempat tinggal atau
keberadaannya, maka seseorang atau badan hukum yang memenuhi
persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan
melalui penetapan pengadilan dengan ketentuan wali yang ditunjuk harus
seagama dengan agama yang dianut oleh anak tersebut, di mana wali
mempunyai kewajiban untuk kepentingan anak, yakni mengelola harta
milik anak yang bersangkutan.
Selanjutnya Pasal 34 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyatakan bahwa wali yang ditunjuk berdasarkan
penetapan pengadilan dapat mewakili anak untuk melakukan perbuatan
hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan untuk kepentingan terbaik
bagi anak. Pasal 35 menyatakan bahwa dalam hal anak belum mendapat
penetapan pengadilan mengenai wali, maka harta kekayaan anak tersebut
dapat diurus oleh Balai Harta Peninggalan atau lembaga lain yang
berwenang setelah mendapat penetapan pengadilan. Pasal 36 bahwa dalam
hal wali yang ditunjuk ternyata di kemudian hart tidak dapat melakukan
perbuatan hukum atau menyalahgunakan kekuasaannya sebagai wali,
maka status perwaliannya dicabut dan ditunjuk orang lain sebagai wali

171
melalui penetapan pengadilan, dan apabila wali meninggal dunia, ditunjuk
orang lain sebagai wali melalui penetapan pengadilan.
Selain pengasuhan dan perwalian anak yang bertujuan untuk
memelihara, mendidik serta melindungi anak guna menjamin tumbuh
kembang dan kelangsungan hidup anak, juga dikenal istilah pengangkatan
terhadap anak atau anak angkat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 9
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak memberikan
pengertian anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke
dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan.
Perihal pengangkatan anak diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, bahwa pengangkatan anak hanya
dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan
berdasarkan kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-
undangan, di mana pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah
antara anak dengan orang tua kandungnya, dan pengangkatan anak
dicatatkan dalam akta kelahiran dengan tidak menghilangkan identitas
awal anak, dengan ketentuan calon orang tua angkat harus seagama dengan
agama yang dianut oleh anak. Pengangkatan anak oleh warga negara asing
hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir, dan dalam hal anak tidak
diketahui asal-usulnya, orang yang akan mengangkat anak tersebut harus
menyertakan identitas anak dari orang yang menemukannya, dan agama
anak disesuaikan dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Lebih lanjut ketentuan tentang pengangkatan anak oleh seseorang
yang karena hal tertentu tidak mempunyai anak atau seseorang yang ingin
menjadikan seorang anak menjadi anak angkatnya diatur dalam Pasal 40
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan
bahwa orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal usulnya dan orang tua kandungnya di mana pemberitahuan
asal usul dan orang tua kandungnya dilakukan dengan memperhatikan
kesiapan anak yang bersangkutan. Kemudian Pasal 41 mengatur tentang
kewajiban Pemerintah, Pemerintah Daerah dan masyarakat untuk
senantiasa melakukan bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan

You might also like