You are on page 1of 175

PESAN SABAR DAN SYUKUR DALAM KISAH TIGA NABI:

STUDI ATAS PENAFSIRAN AL-ṬABARĪ

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan ,emperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh :
DINAR NOVIANTI
11160340000065

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1443 H
PESAN SABAR DAN SYUKUR DALAM KISAH TIGA NABI:
STUDI ATAS PENAFSIRAN AL-ṬABARĪ

Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:
DINAR NOVIANTI
11160340000065

Pembimbing

Moh. Anwar Syarifuddin, M.A


NIP: 197205181998031003

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1443 H
PENGESAHAN SIDANG MUNAQASYAH

Skripsi yang berjudul PESAN SABAR DAN SYUKUR DALAM KISAH


TIGA NABI: STUDI ATAS PENAFSIRAN AL-ṬABARĪ telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 09 Agustus 2021. Skripsi
ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Agama (S.Ag) pada Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir.
Jakarta, 11 Oktober 2021
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Dr. Eva Nugraha, M.Ag dc Aktobi Ghozali, M.A


NIP. 19710327 199803 1 002 NIP. 19730520 200501 1 003

Anggota,
Penguji I, Penguji II,

Kusmana, Ph.D Dr. Abd. Moqsith, M.Ag


NIP. 19650424 199503 1 001 NIP. 19710607 200501 1 002

Pembimbing,

VT Moh. Anwar Syarifuddin, M.A


NIP. 19720518 199803 1 003
LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:


Nama : Dinar Novianti
NIM : 11160340000065
Fakultas : Ushuluddin
Jurusan : Ilmu al-Qur’an dan Tafsir
Judul Skripsi :PESAN SABAR DAN SYUKUR DALAM
KISAH TIGA NABI: STUDI ATAS
PENAFSIRAN AL-ṬABARĪ

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk


memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan merupakan
hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya
orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 2021

Dinar Novianti

v
vi
ABSTRAK

DINAR NOVIANTI, 11160340000065.


“Pesan Sabar dan Syukur dalam kisah Tiga Nabi: Studi atas
Penafsiran al-Ṭabarī”
Skripsi ini membahas tentang pesan sabar dan syukur dalam kisah tiga
Nabi yang terdapat dalam Surah al-Anbiyā’ ayat 78 sampai 84 pada
penafsiran Ibn Jarīr al-Ṭabarī. Terdapat tiga Nabi yang disebutkan pada
ayat tersebut, yaitu Nabi Daud, Nabi Sulaiman dan Nabi Ayyub. Ada tiga
pokok cerita yang disajikan, pertama yaitu kisah tentang perselisihan yang
terjadi antara pemilik kambing dan pemilik kebun, lalu Nabi Daud dan
Nabi Sulaiman memberikan keputusan atas mereka. Kedua, yaitu tentang
nikmat-nikmat yang Allah berikan kepada Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
dan yang ketiga yaitu nikmat dan ujian dari Allah yang dilimpahkan
kepada Nabi Ayyub.
Adapun metode penulisan dalam skripsi ini adalah metode library
research yaitu mencari dan mengumpulkan berbagai literatur yang relevan
dengan pokok masalah yang penulis kaji, lalu diidentifikasi secara
sistematis dan analisis dengan dua jenis sumber data, yaitu data primer dan
data sekunder. Sumber data primer dari penelitian ini adalah kitab Tafsir
Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ay al-Qur’ān karya Ibnu Jarīr al-Ṭabarī dan
data sekundernya adalah buku-buku atau jurnal serta media cetak yang
mendukung dalam penelitian ini.
Hasil dari penelitian ini penulis menemukan bahwa pesan sabar dan
syukur dalam kisah Nabi Daud, Nabi Sulaiman dan Nabi Ayyub dalam
penafsiran Ibn Jarīr al-Ṭabarī adalah bahwa semua ujian yang Allah
berikan baik dalam bentuk cobaan maupun kenikmatan, semua itu agar
manusia dapat mengambil hikmah dan pelajaran. Kapan pun Allah dapat
menguji siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sebagai orang yang beriman,
kita dianjurkan untuk menerima semua takdir Allah dengan penuh
kesabaran dan kesyukuran.

Kata Kunci: Sabar, Syukur, Kisah Nabi, Tafsir al-Ṭabarī

vii
viii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan syukur kehadirat Allah Swt yang telah
memberikan taufik, hidayah dan inayah-Nya sehingga skripsi yang
berjudul “PESAN SABAR DAN SYUKUR DALAM KISAH TIGA
NABI: STUDI ATAS PENAFSIRAN AL-ṬABARĪ” dapat penulis
selesaikan.

Shalawat serta salam tak lupa selalu tercurah kepada Baginda Nabi
Muhammad Saw serta keluarga dan para sahabatnya serta pengikutnya
hingga akhir zaman.
Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa
adanya bantuan dan dukungan dari kedua orang tua, keluarga, dosen
pembimbing dan teman-teman yang selalu mensupport dan mendoakan
penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. Hj. Prof. Dr. Amani Lubis, M.A, Rektor Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A, Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Eva Nugraha, M.A, Ketua Program Studi Ilmu al-Qur’an dan
Tafsir dan Bapak Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH Sekretaris Prodi
Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.
4. Dr. Eva Nugraha, M.A, Dosen Penasehat Akademik Fakultas
Ushuluddin Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Moh. Anwar Syarifuddin, M.A, Dosen Pembimbing yang selalu
meluangkan waktunya serta memberikan bimbingan dan arahan

ix
x

kepada penulis dengan sabar sehingga Skripsi ini dapat


terselesaikan dengan baik. Semoga beliau selalu diberikan
kesehatan dan keberkahan oleh Allah Swt.
6. Segenap Dosen Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir beserta
staf dan karyawan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta .
7. Muhammad Syauqy Rabbany, S.Sos yang selalu mendoakan,
menemani dan menyemangati serta mendengarkan keluh kesah dan
berbagai cerita dalam keadaan apapun. Semoga Allah selalu
menjaganya.
8. Sahabat kecilku, Dinda Lestari yang selalu berbagi baik suka
maupun duka. Moga persahabatan kita selalu terjalin mesra hingga
akhir hayat.
9. Sahabat tercinta, “Elite” : Anggita Eka, Dinda Luthfiyah, Marwah
Shiva Hasim, Mia Wahdaniyah, Muthiah Ulfah, Novi Astriani,
Syifa Fauziah yang selalu mensuport dan mendoakan penulis serta
bertanya “Kapan Lulus?” hingga penulis termotivasi untuk cepat
menyelesaikan skripsi ini.
10. Sahabat tersayang, “Cabe Rawit Squad” : Aisyah Nureani Hanifah,
Aminah Lubna, Erfira tiara Finanda, Hanna Abimafy
Mawadatunnisa, Nabilah Muthi’ah Farras, Qotrun Nada yang telah
melewati hari-hari bersama penulis semasa menjalani perkuliaha
serta berbagi kisah dalam suka maupun duka.
11. Sahabat Aliyah hingga saat ini: Bintang Jasmin Kurnia Putri,
Febby Farhani dan Siti Najihah yang selalu setia berbagi kisah
bersama penulis. Moga kalian selalu sehat dan panjang umur.
12. Teman-teman Iqtaf B Angkatan 2016 yang menjadi kelas pertama
diawal perkuliahan serta angkatan 2016 Fakultas Ushuluddin dan
xi

Filsafat Prodi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir semoga kalian semua


selalu kompak dan sukses.
13. Teman-teman KKN 069 PARADUTA UIN JAKARTA 2019 yang
telah memberikan kesan dan pengalaman selama sebulan bersama
di Desa Cimayang, Pamijahan, Bogor.
14. Majlis Ta’lim Assuruur Pimpinan al-Habib Muhammad Syafiq bin
Syihab, Ustadz Naumar BA, S.Pd, Ustadz Muhammad Badri
Tamam, M.A, Ustazdz Ahmad Faishal Kamal, S.Pd beserta
jajarannya.
15. Teman-teman Karang Taruna IRHAN’07 yang selalu mensuport
dan mendoakan penulis serta seluruh elemen pendukung yang
tidak dapat penulis sebutkan. Semoga kalian semua selalu dalam
lindungan dan Rahmat-Nya.
Terkhusus kedua orang tua tercinta, Ayahanda Junaedi dan Ibunda
Dahlia yang selalu mendidik, merawat dan menyayangi penulis dengan
penuh cinta dan kasih sayang serta tak henti menyemangati dan
mendoakan penulis. Semoga Allah ta’ala selalu memberikan kesehatan
dan umur yang panjang serta melimpahkan rahmat-Nya.

Ciputat, 2021

Dinar Novianti
xii
PEDOMAN TRANSLITERASI

Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan


bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
R.I. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
A. Konsonan
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin
dapat dilihat pada halaman berikut:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

‫ا‬ - Tidak dilambangkan

‫ب‬ b Be

‫ت‬ t Te

‫ث‬ ṡ Es (dengan titik di atas)

‫ج‬ j Je

‫ح‬ ḥ h (dengan titik di bawah)

‫خ‬ kh Ka dan Ha

‫د‬ d De

‫ذ‬ ż Zet (dengan titik di atas)

‫ر‬ r Er

‫ز‬ z Zet

‫س‬ s Es

‫ش‬ sy Es dan Ye

‫ص‬ ṣ Es dengan titik di bawah

xiii
xiv

‫ض‬ ḍ De dengan titik di bawah

‫ط‬ ṭ Te dengan titik di bawah

‫ظ‬ ẓ Zet dengan titik di bawah

‫ع‬ ‘ Apostrof terbalik

‫غ‬ g ge dan ha

‫ف‬ f Ef

‫ق‬ q Qi

‫ك‬ k Ka

‫ل‬ l El

‫م‬ m Em

‫ن‬ n En

‫و‬ w We

‫ھ‬ h Ha

‫ء‬ ` Apostrof

‫ي‬ y Ye

Hamzah (‫ )ء‬yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa

diberi tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis
dengan tanda (’).
B. Tanda Vokal
xv

Vokal dalam bahasa Arab-Indonesia terdiri dari vokal tunggal atau


monoftong dan vokal rangkap atau disebut diftong. Untuk vokal tunggal
sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

َ a Fatḥah

َ i Kasrah

َ u Ḍammah

Adapun untuk vokal rangkap, sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫َي‬ ai a dan i

‫َو‬ au a dan u

Dalam bahasa Arab untuk ketentuan alih aksara vokal panjang


(mad) dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

‫ى‬ ā a dengan garis di atas

‫ىي‬ ī i dengan garis di atas

‫ىو‬ ū u dengan garis di atas

C. Kata Sandang
Kata sandang dilambangkan dengan “al-“, yang diikuti huruf
syamsiyah dan huruf qamariyah.
al-Qamariyah ‫املن ْي‬ al-Munīr

al- Syamsiyah ‫الْرجال‬ al-Rijāl


xvi

D. Syaddah atau Tasydîd


Dalam bahasa Arab syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan “ ّ “
ketika dialihkan ke bahasa Indonesia dilambangkan dengan huruf, yaitu:
al-Qamariyah ‫الْق َّوة‬ al-Quwwah

al- Syamsiyah ‫الْضر ْورة‬ al-Ḍarūrah

E. Ta Marbūṭah
Transliterasi untuk ta marbūṭah ada dua, yaitu: ta marbūṭah yang
hidup atau mendapat harkat fatḥah, kasrah, dan ḍammah, transliterasinya
adalah [t]. Sedangkan ta marbūṭah yang mati atau mendapat harkat sukun,
transliterasinya adalah [h]. Kalau pada kata yang berakhir dengan ta
marbūṭah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta
bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbūṭah itu ditransliterasikan
dengan ha (h). Contoh:
No Kata Arab Alih Aksara
1 ‫طرْي قة‬ Ṭarīqah

2 ‫ا ْْلامعة اْإل ْسالميَّة‬ al-Jāmi’ah al-Islāmiah

3 ‫و ْحدة الْوج ْود‬ Waḥdah al-Wujūd

F. Huruf Kapital
Penerapan huruf kapital dalam alih aksara ini, juga mengikuti Ejaan
Bahasa Indonesia (EBI) yaitu, untuk menuliskan permulaan kalimat, huruf
awal nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Jika nama diri
didahului oleh kata sandang, maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap
huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal atau kata sandangnya.
Contoh: Abū Hāmīd al-Gazālī, al-Kindī.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang
berasal dari Indonesia sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meskipun
xvii

akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis Abdussamad al-
Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbānī; Nuruddin al-Raniri, tidak
Nūr al-Dīn al-Rānīrī
G. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa
Indonesia
Kata istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata istilah
atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Kata, istilah
atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan
bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa
Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya
kata al-Qur’an (dari al-Qur’an), Sunnah, khusus dan umum. Namun, bila
kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka
mereka harus ditransliterasi secara utuh, Contoh: Fī ẓilāl al-Qur’ān al-
‘Ibārāt bi ‘umūm al-lafẓ lā bi khuṣūṣ al-sabab.

H. Singkatan
Beberapa singkatan dibakukan adalah:
a. Swt : Subḥānahu wa ta’ālā
b. Saw : Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam
c. Qs : Qur’an Surah
d. M : Masehi
e. H : Hijriyah
xviii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................... xi
PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................... xv
DAFTAR ISI ......................................................................................... xxi
BAB I PENDAHULUAN..................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Identifikasi Masalah ...................................................................... 12
C. Rumusan Masalah ......................................................................... 13
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 13
E. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 14
F. Metodologi Penelitian ................................................................... 21
G. Sistematika Penulisan.................................................................... 24

BAB II BIOGRAFI IBN JARĪR AL-ṬABARĪ DAN


KARAKTERISTIK UMUM KITAB TAFSIR JĀMI’
AL-BAYĀN ‘AN TA’WĪL AY AL-QUR’ĀN .......................... 27

A. Biografi Singkat Ibn Jarīr al-Ṭabarī............................................. 27


B. Karya-karya Ibn Jarīr al-Ṭabarī ................................................... 32
C. Profil Kitab Tafsir Ibn Jarīr al-Ṭabarī ........................................ 36
1. Sejarah Penulisan Kitab Tafsir Ibn Jarīr al-Ṭabarī .............. 36
2. Sistematika Penulisan Kitab Tafsir Ibn Jarīr al-Ṭabarī ....... 39
3. Metode Penafsiran Kitab Tafsir Ibn Jarīr al-Ṭabarī ............ 40
4. Corak Penafsiran Kitab Tafsir Ibn Jarīr al-Ṭabarī ............... 41
5. Sumber Penafsiran Kitab Tafsir Ibn Jarīr al-Ṭabarī ............ 42
D. Pendapat Para Ulama tentang Ibn Jarīr al-Ṭabarī dan Kitab
Tafsirnya........................................................................................ 44

xix
xx

BAB III SABAR DAN SYUKUR PADA KISAH NABI DALAM


AL-QUR’AN ......................................................................................... 47
A. Ayat-ayat Sabar dan Syukur dalam al-Qur’an .............................. 47
B. Definisi Makna Sabar dan Syukur dalam al-Qur’an ..................... 56
C. Perintah Bersabar dalam Segala Kondisi dan Para Nabi yang
dikenal Penyabar ........................................................................... 62
D. Perintah Bersyukur atas Nikmat Allah yang diberikan Kepada
Para Nabi dan Orang Beriman ...................................................... 79
E. Relasi Sabar dan Syukur dalam Kehidupan Sehari-hari................ 84
BAB IV PESAN SABAR DAN SYUKUR DALAM KISAH
NABI AYYUB, NABI DAUD DAN NABI
SULAIMAN PADA Q.S AL-ANBIYĀ’ AYAT 78-84
DALAM PENAFSIRAN AL-ṬABARĪ ............................... 91
A. Kelompok Ayat-ayat, Terjemah dan Munasabah.......................... 92
B. Penafsiran Kisah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dalam
Menghadapi Perselisihan ............................................................... 97
C. Penafsiran atas Nikmat Allah yang Diberikan Kepada Nabi
Daud dan Nabi Sulaiman............................................................... 106
D. Nikmat dan Ujian Allah yang Diberikan Kepada Nabi
Ayyub............................................................................................ 116
E. Bentuk-bentuk Sabar dan Syukur Nabi Daud, Nabi Sulaiman
dan Nabi Ayyub ............................................................................ 144
F. Relevansi Sabar Menghadapi Ujian dan Bersyukur atas Nikmat
Allah dalam Konteks Kekinian ..................................................... 148

BAB V PENUTUP ................................................................................ 155


A. Kesimpulan.................................................................................... 155
xxi

B. Saran.............................................................................................. 155
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 158
xxii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pada dasarnya, manusia memiliki keinginan untuk senang dan
selamat. Tetapi, dalam meraih kesenangan dan keselamatan tersebut
biasanya harus melewati berbagai rintangan, sehingga tidak semua
yang diinginkan dapat tercapai dengan mudah. 1 Salah satu masalah
yang sering terjadi pada kehidupan manusia zaman sekarang adalah
manusia kehilangan makna hidup yang menjadi tekad utama dalam
menjalani kehidupan yang penuh dengan tantangan. Terkadang, setiap
manusia mengalami kesulitan dalam hidupnya sehingga
mengakibatkan dirinya depresi dan putus asa. Bahkan, banyak orang
yang kehilangan akal atau gila dan mencari jalan pintas yang tidak
diridhai oleh Allah. Segala hal yang dilakukan harus selalu mengikuti
gaya hidup dan tuntutan sosial.
Manusia zaman sekarang seperti kehilangan cerminan diri dalam
menyelami nilai-nilai kerohanian yang menjadi landasan dasar untuk
mengendalikan hasrat dan hawa nafsu untuk memenuhi segala
keinginan. Ketidakmampuan mengendalikan hasrat dan hawa nafsu
tersebut membuat manusia melakukan segala cara untuk memenuhi
keinginannya tanpa mempertimbangkan asas-asas moral dan agama
sebagai landasan utamanya. Keadaan ini bisa menjadi cermin
bagaimana generasi muslim kian hari semakin terbuai dengan gaya
hidup bebas, mewah dan perilaku berfoya-foya yang dapat menjadi

1 Yunasril Ali, Pilar-pilar Tasawuf (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), 82.

1
2

penyakit atau virus bagi terciptanya pribadi-pribadi yang berakhlakul


karimah. Tidak heran bila manusia zaman sekarang semakin jauh dari
jalan kesufian dan kerohanian yang menjadi pendorong untuk semakin
dekat dengan sang pencipta.2
Pada dasarnya, dunia ini adalah tempat bagi manusia menjalani
segala ujian dan cobaan. Adapun ujian yang dihadapi manusia
berbeda-beda. Kebanyakan manusia berpandangan bahwa ujian itu
hanya dalam hal kesulitan atau cobaan yang terasa berat untuk dijalani.
Padahal, makna ujian yang sebenarnya tidak sesempit itu, karena ujian
juga bisa berwujud dalam hal kesenangan atau kenikmatan yang
membuat manusia terlena, seperti harta yang melimpah, kedudukan
sosial yang tinggi, wajah yang cantik dan tampan, dan lain sebagainya.
Maka disinilah kita harus cerdas untuk akhirat, bukan hanya cerdas
untuk dunia. Dan yang wajib kita ketahui adalah bahwa semua ujian
itu adalah pemberian dari Allah, baik ujian berupa kesulitan maupun
kenikmatan.
Manusia memiliki sikap yang bermacam-macam dalam
menghadapi ujian yang dialaminya. Ada yang menganggap ujian itu
adalah nikmat dari Allah sehingga menjadikannya semakin bertakwa,
dan ada pula yang menganggap ujian itu adalah petaka, sehingga ia
akan merasa tertekan dan frustasi sampai berpikir bahwa jika ia mati
semua masalah akan selesai. Padahal seharusnya ia dapat bersabar,
karena sabar itu berarti memiliki ketabahan dan kekuatan jiwa dalam

2 Muhammad Takdir, Suplemen Jiwa untuk Menggapai Kebahagiaan Sejati

(Authentic Happiness) (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2018), 2.


3

menghadapi kesengsaraan, penderitaan, dan kesulitan dalam


kehidupan.3 Di dalam al-Qur’an telah ditegaskan bahwa semua
manusia akan mendapatkan ujian dari Allah, karena Allah telah
berfirman:
ِۗ ٍ ‫ولن ْب لونَّك ْم بش ْي ٍء ِّمن ا ْْل ْوف وا ْْل ْوع ون ْق‬
‫شر‬
ِّ ‫ص ِّمن ْاْل ْموال و ْاْل ْن فس والثَّم ٰرت وب‬
ِّٰ
‫الصِبيْن‬
“Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Qs.
al-Baqarah: 155)
Ayat tersebut menyatakan dengan jelas bahwa semua orang akan
mendapatkan ujian dan ujian tersebut bermacam-macam. Akan tetapi, di
akhir ayat ditegaskan bahwasanya bagi orang yang sabar maka akan
mendapatkan berita gembira dari Allah ta’ala.
Agama Islam adalah agama yang mengandung ajaran-ajaran dan
nilai-nilai yang sempurna untuk menuntun manusia agar hidup bahagia di
dunia dan di akhirat. Al-Qur’an dan hadis merupakan sumber hukum
islam yang menjadi sebuah pedoman dan petunjuk bagi manusia agar
dapat menjalankan kehidupan di dunia dan tidak menyimpang dari aturan-
aturan Agama.4 Manusia yang berhasil dalam menjalani kehidupan di
dunia salah satunya adalah manusia yang sabar. Nabi Muhammad Saw
memberitahukan kepada manusia bahwa sabar itu baik dan penuh
kebaikan, dan beliau berkata bahwa “tidak ada anugerah yang lebih baik

3 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama dalam Qur’an, terj. Mansyuruddin Djoely


(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), 158.
4 Mariana Eka S, “Pendidikan sabar dalam Kisah Nabi Ayyub (Kajian tafsir su ra h

Shād ayat 41-44)” (Skripsi S1., UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019), 3.
4

dari pada sabar”.5 Namun sering kita temukan bahwa beberapa manusia
sering kali berkata “sabar itu ada batasnya”. Padahal, kata-kata tersebut
tidaklah tepat. Sikap sabar yang diajarkan al-Qur’an bukanlah sikap
menerima kehinaan. Tetapi, yang diupayakan adalah komitmen yang kuat
untuk mencapai cita-cita yang diharapkan.6 Kesabaran menjadi kunci
dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan yang datang silih berganti
dan mempunyai hubungan dengan kesehatan mental seseorang dalam
menghadapi kenyataan yang menimpa dirinya.7 Orang yang sabar tidak
akan putus asa dalam menjalankan ibadah kepada Allah ta’ala. Oleh sebab
itu, perintah bersabar bukan hanya perintah berdiam diri, tetapi perintah
untuk terus berjuang tanpa putus asa.8
Sabar ketika diberi cobaan dan syukur ketika diberi nikmat adalah
dua sifat yang harus ada dalam diri orang yang beriman. Sabar dan syukur
adalah dua sifat mulia, dimana sabar dan syukur itu tidak pernah dimiliki
oleh manusia-manusia selain orang yang beriman. Dari Shuhaib bin
Sinan ra. dia berkata9 :

‫عجبًا ِل ْمر الْم ْؤمن إ َّن أ ْمره كلَّه خ ْي ول ْيس ذاك ِلح ٍد إَّْل للْم ْؤمن إ ْن أصاب تْه‬
‫ياله‬
ً ْ ‫ياله وإ ْن أصاب ْته ض َّراء صِب فكان خ‬ ً ْ ‫س َّراه شكر فكان خ‬
“Alangkah mengagumkan keadaan orang yang beriman, karena
semua keadaannya (membawa) kebaikan (untuk dirinya), dan ini
hanya ada pada seorang mukmin; jika dia mendapatkan kesenangan

5 Tim Panca Aksara, Keajaiban Sabar dan Syukur (Temanggung: Desa Pustaka

Indonesia, 2020), 8.
6 Hasanul Rizka, “Hikmah Sabar dan Syukur, 2020,” Diakses, 02 Oktober, 2020,

https://republika.co.id/berita/q9t72q458/hikmah-sabar-dan-syukur
7 Zulhami, “Tingkah Laku Sabar Relevansinya dengan Kesehatan Mental”. Jurn a l

Darul ‘Ilmi, vol.4, no.1 (Januari 2016): 41.


8 Syarifah Habibah, “Akhlak dan Etika dalam Islam”. Jurnal Pesona Dasar, vol.1 ,

no.4 (Oktober 2015): 79.


9 Muhammad Irham A. Muin, “Syukur dalam Perspektif al-Qur’an”. Jurnal

Tafsere, vol.5, no.1 (Oktober 2017): 12.


5

dia akan bersyukur, maka itu adalah kebaikan baginya, dan jika dia
ditimpa kesusahan dia akan bersabar, maka itu adalah kebaikan
baginya.”10 (HR. Muslim).
Hadis ini menunjukkan besarnya keutamaan bersyukur disaat senang
maupun susah, bahkan kedua sifat inilah yang menjadi penyempurna
keimanan seorang hamba. Abdullah bin Mas’ud berkata: “Iman itu terbagi
menjadi dua bagian; sebagiannya adalah sabar dan sebagian lainnya
adalah syukur.”11 Ada empat ayat di dalam al-Qur’an yang menyebut kata
sabar dan syukur dalam satu ayat secara bersamaan, diantaranya pada
surah Ibrāhim ayat 5, al-Luqmān ayat 31, Sabā ayat 19 dan al-Syurā ayat
33. Dalam ayat-ayat tersebut, Allah sebutkan kalimat sabar dan syukur
secara bersamaan untuk memperjelas bahwa sabar dan syukur memang
sangat erat kaitannya.12
Bersyukur adalah rasa terimakasih seorang hamba terhadap nikmat
dan semua yang telah Allah berikan kepadanya. Bersyukur bukan hanya
sekedar kewajiban semata, tetapi kewajiban tersebut memang perintah
langsung dari Allah ta’ala dan telah tertulis dalam al-Qur’an. Ungkapan
syukur dapat dilakukan dengan ucapan dan perbuatan. Syukur dalam
ucapan dapat kita lakukan seperti mengucap kalimat hamdalah dan syukur
dalam perbuatan dapat kita lakukan dengan cara menggunakan nikmat
Allah dengan semestinya dan tidak pernah mengeluh atas apa yang terjadi
pada dirinya.13 Allah akan memberi ganjaran bagi orang yang bersabar
tanpa batas, apalagi jika seseorang itu selalu bersyukur. Maka

10 Imam al-Nawawi, Shahih Muslim, juz 9 (Kairo: Darul Hadis, 1998), 352.
11 Bahron Anshori,“Kisah tentang Sabar dan Syukur, 2017.” Diakses, 02 Oktober,
2020, https://minanews.net/kisah-tentang-sabar-dan-syukur/
12 Abdullah al-Yamani, Sabar, terj. Iman Firdaus (Jakarta: Qisthi Press, 2008), 12.
13 Syarifah Habibah, “Akhlak dan Etika dalam Islam, 79.
6

beruntunglah bagi orang muslim dan beriman karena Allah selalu


memberi pahala kepada kita baik dalam keadaan senang maupun susah.14
Salah satu aspek yang memberikan banyak pelajaran dalam
kehidupan yaitu mengenai kisah-kisah umat terdahulu yang sangat
bermanfaat bagi manusia, seperti dalam kisah para nabi, peristiwa-
peristiwa terdahulu dan lain-lain. Peristiwa yang terdapat dalam al-
Qur’an salah satunya adalah perjuangan para Nabi dalam menyeru umat
manusia menuju jalan Allah Swt.15 Kisah-kisah dalam al-Qur’an
merupakan kisah nyata bukan rekayasa maupun khayalan. Kisah dalam al-
Qur’an merupakan kebenaran yang mutlak.16 Kisah-kisah yang
ditampilkan al-Qur’an adalah agar dapat dijadikan pelajaran sekaligus
petunjuk bagi setiap manusia yang beriman dan bertakwa serta
memberikan pengertian tentang sesuatu yang terjadi dengan keadaan yang
sebenarnya agar dijadikan pelajaran untuk memperkokoh keimanan dan
membimbing manusia ke arah perbuatan yang benar dan lebih baik. 17
Kisah-kisah di dalam al-Qur’an disusun dengan kata-kata yang
mengandung arti sangat dalam dan sempurna serta memiliki banyak
hikmah dan pelajaran bagi orang yang berakal untuk diaplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari sebagai petunjuk hidup. Hal ini menunjukkan
bahwa kisah dalam al-Qur’an mempunyai tujuan, yaitu membentuk

14 Eva F. Hasan, “Keutamaan Bersyukur dan Bersabar, 2016.” Diakses, 02


Oktober, 2020, https://www.islampos.com/keutamaan-bersyukur-dan-bersabar-556/.
15 Syafe’i Rahmat, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2012), 128.
16 J.M.S. Baljon, Tafsir Qur’an Muslim Modern (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991),

1.
17 Fajrul Munawir, Al-Qur’an (Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga ,

2005), 107.
7

pribadi manusia dengan nilai keislaman dan mendidik manusia untuk


beriman kepada Allah swt.18
Atas kehendak-Nya, Allah memilih manusia tertentu untuk
menyampaikan pesan-pesan-Nya, baik untuk periode dan masyarakat
tertentu maupun untuk seluruh manusia di setiap waktu dan tempat.
Mereka yang mendapat tugas tersebut adalah Nabi sebagai penyampai
berita dan Rasul sebagai utusan-Nya.Sejak Nabi pertama Adam
‘Alaihissalam hingga Nabi Muhammad SAW, seluruhnya menyatakan diri
sebagai Muslim sebagaimana dinyatakan dalam surah āli-Imrān ayat 84:

‫ق ْل اٰمنَّا ِب ِّّٰلل ومآ انْزل علْي نا ومآ انْزل ع ٰلٓى ا ْب ٰره ْيم وا ْْسٰع ْيل وا ْس ٰحق وي ْعق ْوب‬
ْۖ
‫و ْاْل ْسباط ومآ ا ْوِت م ْو ٰسى وع ْي ٰسى والنَّبُّي ْون م ْن َّرِّّب ْْۖم ْل ن ف ِّرق ب ْْي اح ٍد ِّمْنه ْم و ْنن‬
‫له م ْسلم ْون‬
“Katakanlah (Muhammad), “Kami beriman kepada Allah dan
kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak cucunya, dan apa
yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan
hanya kepada-Nya kami berserah diri.” (Qs. āli-Imrān: 84)

Seluruh Nabi dan Rasul hanya membawa satu ajaran Allah, yakni
ajaran Islam.19 Al-Qur’an menyebutkan secara tegas dua puluh lima nama
nabi, delapan belas diantaranya disebutkan dalam surah al-An’ām ayat 83-
86:
ِۗ ۤ ٍ ‫وتلْك ح َّجت نآ اٰت ْي نٰهآ ا ْب ٰرهيْم ع ٰلى ق ْوم ِۗه ن ْرفع در ٰج‬
‫ت مَّ ْن نَّشاء ا َّن ربَّك حكيْم‬
ِۗ
‫﴾ ووهْب نا لهٓ ا ْس ٰحق وي ْعق ْوب ك ًال هد ْي نا ون ْو ًحا هد ْي نا م ْن ق بْل‬٨٣﴿ ‫عليْم‬

18 Vita
Fitriyatul Ulya, “Peran Orang Tua dalam Pembentukan Nilai Karakter Anak
Usia Dini Melalui Metode Qashash al-Qur’an”. Journal of Early Childhood Islamic
Education, vol.4, no.1 (2019): 62.
19 Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah (Bandung: Salamadani Pustaka

Semesta, 2010), 20.


8

‫وم ْن ذ ِّريَّته داود وسل ْي ٰمن وايُّ ْوب وي ْوسف وم ْو ٰسى وهٰر ْون ِۗوك ٰذلك َْنزى‬
‫ٰ ن‬ ِۗ ‫ن‬
﴾ ٨٥﴿ ‫الصلح ْْي‬
ِّ ‫ ﴾وزكرَّّي و َْي ٰي وع ْي ٰسى والْياس كل ِّمن‬٨٤﴿ ‫الْم ْحسن ْْي‬
‫ن‬ ِۗ
﴾٨٦﴿‫وا ْْسٰع ْيل والْيسع وي ْونس ول ْوطًا وك ًال فضَّلْنا على الْعٰلم ْْي‬

“Dan itulah keterangan Kami yang Kami berikan kepada Ibrahim


untuk menghadapi kaumnya. Kami tinggikan derajat siapa yang
Kami kehendaki. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Bijaksana, Maha
Mengetahui. Dan Kami telah menganugerahkan Ishaq dan Yakub
kepadanya. Kepada masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan
sebelum itu Kami telah memberi petunjuk kepada Nuh, dan kepada
sebagian dari keturunannya (Ibrahim) yaitu Daud, Sulaiman, Ayyub,
Yusuf, Musa, dan Harun. Dan demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik, dan Zakaria, Yahya, Isa, dan
Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh, dan Ismail,
Ilyasa‘, Yunus, dan Luth. Masing-masing Kami lebihkan
(derajatnya) di atas umat lain (pada masanya).” (Qs. al-An’ām: 83-
86).

Sesungguhnya pada diri nabi-nabi terdapat bukti dan contoh


kesabaran yang hebat, karena mereka lebih banyak diuji oleh Allah
dengan ujian yang lebih berat daripada ujian yang diberikan kepada
manusia. Sebagai salah satu contoh relevansi kisah para nabi dengan sikap
sabar dan syukur yang penulis ingin kaji adalah mengenai kisah Nabi
Ayyub, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, yang mana kisah mereka telah
disebutkan secara beruntun dalam al-Qur’an pada surah al-Anbiyā’ ayat
78 hingga 84.
Dikisahkan bahwa Nabi Daud dan Nabi Sulaiman mengalami
berbagai cobaan dan kenikmatan yang dihadapi. Mereka berdua termasuk
diantara para nabi yang Allah pilih untuk disebutkan kisahnya dalam al-
Qur’an. Kepada mereka Allah karuniakan ilmu dan hikmah, kemudian
Allah lebihkan Nabi Sulaiman dalam hal pemahaman (al-Fahmu) pada
9

kasus tertentu. Nabi Daud beserta Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam


memperoleh berbagai nikmat yang tiada tara. Allah berpesan kepada
mereka:
ٍ ‫ي ْعملون له ما يش ۤاء من ََّّماريْب وَتاث ْيل وجف‬
ٍِۗ ‫ان كا ْْلواب وقد ْورٍ ِّٰرسٰي‬
‫ت ا ْعمل ْوٓا اٰل‬ ْ ْ
َّ ‫ْرا ِۗ وقل ْيل ِّم ْن عبادي‬
‫الشك ْور‬ ً ‫داود شك‬
“Mereka (para jin itu) bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa
yang dikehendakinya di antaranya (membuat) gedung-gedung yang
tinggi, patung-patung, piring-piring yang (besarnya) seperti kolam
dan periuk-periuk yang tetap (berada di atas tungku). Bekerjalah
wahai keluarga Daud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit
sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Qs. Sabā’: 13)

Yang dimaksud dengan bekerja adalah menggunakan nikmat yang


diperoleh itu sesuai dengan tujuan penciptaan atau penganugerahan-Nya.20
Diantara pelajaran yang dapat dipetik dari kisah mereka adalah sifat
syukurnya. Beliau-beliau sangat pandai bersyukur dan memiliki semangat
yang tinggi untuk menggerakkan hati dan lisannya agar selalu dan
menyandarkan nikmat tersebut kepada Allah Swt.
Selanjutnya yaitu tentang kisah Nabi Ayyub. Nabi Ayyub adalah
seorang yang sabar dan berkelimpahan nikmat dari Allah. Namanya
diabadikan dalam al-Qur’an dan Allah memujinya dengan hal yang mulia
karena kesabaran dan ketabahannya dalam menghadapi cobaan. 21 Allah
ta’ala berfirman:
ٍِۗ ‫ب َّوعذ‬ َۘ
﴾ ٤١﴿ ‫اب‬ ٍ‫ص‬ْ ‫الش ْيطٰن بن‬
َّ ‫سن‬ ِّْ ‫واذْك ْر ع ْبدَنٓ ايُّ ْوب اذْ َندٰى ربَّهٓ ا‬
َّ ‫ن م‬
ٌۢ َۚ
‫﴾ ووهْب نا لٓه ا ْهله وم ْث له ْم مَّعه ْم‬٤٢﴿ ‫ض بر ْجلك ٰهذا مغْتسل ِبرد َّوشراب‬ ْ ‫ا ْرك‬

20 Akhmad Sagir, “Pertemuan Sabar dan Syukur dalam Hati”. Jurnal Studi Insania,
vol.2, no.1 (April 2014): 26.
21 Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta:

Djambatan, 1992), 141.


10

‫ب بِّهٖ وْل‬
ْ ‫ضر‬
ْ ‫﴾ وخ ْذ بيدك ض ْغثًا فا‬٤٣﴿ ‫ر ْْح ًة ِّمنَّا وذ ْك ٰرى ْلوِل ْاْللْباب‬
﴾٤٤﴿ ‫ث ِۗا ََّن وج ْدنٰه صاب ًرا ِۗن ْعم الْع ْبد ِۗانَّهٓ ا َّواب‬
ْ ‫َْتن‬
“Dan ingatlah akan hamba Kami Ayyub ketika dia menyeru
Tuhannya, “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan penderitaan
dan bencana.” Allah berfirman), “Hentakkanlah kakimu; inilah air
yang sejuk untuk mandi dan untuk minum.” Dan Kami anugerahi dia
(dengan mengumpulkan kembali) keluarganya dan Kami lipat
gandakan jumlah mereka, sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran
bagi orang-orang yang berpikiran sehat. Dan ambillah seikat
(rumput) dengan tanganmu, lalu pukullah dengan itu dan janganlah
engkau melanggar sumpah. Sesungguhnya Kami dapati dia (Ayyub)
seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sungguh, dia sangat
taat (kepada Allah).” (Qs. Shād: 41-44)
Pada awalnya, Nabi Ayyub adalah seorang lelaki yang kaya raya
dengan berbagai macam harta kekayaan yang dimiliki, seperti hewan
ternak maupun tanah pertanian yang terbentang luas. Meskipun dikaruniai
segala kemewahan yang melimpah, ia tetap rajin dan tekun untuk
beribadah. Segala nikmat dan kesenangan yang dikaruniakan kepadanya
tidak membuatnya lupa kepada Allah Swt. Bahkan, beliau selalu rajin
untuk berbuat kebajikan dan suka menolong orang yang menderita
khususnya dari golongan fakir miskin. Ia juga sangat sabar dan rendah
hati. Kekayaannya tidak membuatnya sombong dan angkuh serta selalu
mensyukuri nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya. Dan ketika
ia mendapat ujian dari Allah, ujian tersebut dianggap sebagai nikmat dari-
Nya. Ia selalu mengabdikan dirinya sepenuhnya kepada-Nya. Namun
Allah mengujinya dan mengambil semua yang dimilikinya dengan
mengambil anak, keluarga, dan hartanya serta mengujinya dengan
penyakit yang menjijikan. Tubuhnya diuji dengan berbagai macam
penyakit sehingga tidak ada satu anggota tubuhnya yang sehat kecuali hati
11

dan lidahnya. Kondisi seperti itu beliau hadapi dengan rasa sabar, tabah
dan selalu berzikir kepada Allah dengan hati dan lisannya pada pagi,
siang, petang maupun malam hari.22 Cobaan itu diterimanya dengan rasa
sabar, syukur dan ridha dengan segala ketentuan-Nya. Karena kesabaran
dan ketaqwaan Nabi Ayyub kepada Allah, maka Allah mengembalikan
semua yang telah diambil-Nya dan mengabadikan dirinya di dalam al-
Qur’an sebagai orang yang sabar.
Pembelajaran mengenai penafsiran dalam al-Qur’an telah banyak
dilakukan oleh para ulama termasuk para sahabat pada zaman Rasulullah.
Hal tersebut tidak terlepas dari keahlian yang dimiliki oleh mereka
masing-masing. Ada yang mencoba menggabungkan dan mengekspolarsi
melalui perspektif keimanan historis, bahasa sastra, pengkodifikasian,
kemukjizatan penafsiran serta telaah pada huruf-hurufnya. Kondisi seperti
itu bukan hanya artikulasi tanggung jawab seorang muslim dalam
memahami bahasa-bahasa agama. Tetapi, sudah berkembang pada nuansa
lain yang menitik beratkan kepada studi yang bersifat ilmiah yang dapat
memberikan kontribusi dalam perkembangan pemikiran dunia Islam.
Kalangan sarjana Barat banyak yang melibatkan diri dalam mengkaji al-
Qur’an dengan motivasi dan latar belakang kultural maupun intelektual
yang berbeda.23
Oleh karena itu, melalui skripsi ini penulis ingin mencoba
menguraikan bagaimana sikap sabar dan syukur yang terdapat dalam
ketiga kisah para Nabi yang telah penulis paparkan yang bersumber pada
al-Qur’an dan kitab tafsir. Maka penulis memutuskan untuk memilih judul

22 Ibnu Katsir,
Kisah Para Nabi (Jakarta: Qisthi Press, 2015), 353.
23 Asep Abdurrohman, “Metodologi al-Ṭabarī dalam Tafsir Jāmi’ al-Bayān ‘an
Ta’wīl Ay al-Qur’ān”. Jurnal Kordinat, vol.17, no.1 (01 April 2018): 66.
12

“PESAN SABAR DAN SYUKUR DALAM KISAH TIGA NABI:


STUDI ATAS PENAFSIRAN AL-ṬABARĪ”.
Alasan penulis memilih judul tersebut bahwa manusia pasti diuji
dengan cobaan, baik kekurangan harta atau bahkan kekayaan. Disini
penafsiran surah al-Anbiyā’ ayat 78-84 dianggap penting dan relevan agar
manusia masa kini dan pembaca al-Qur’an dimasa kapan saja dapat
mencontoh sikap yang ditunjukkan oleh para nabi sebagai suri tauladan
yang baik dan dapat dicontoh sebagai sikap hidup yang ideal. Untuk dapat
menafsirkan penafsiran yang tepat, diperlukan Kitab Tafsir yang mengulas
aspek kesejarahan dengan penjelasan yang detail dan mencukupi. Kitab
Tafsir yang Penulis pilih adalah Kitab Tafsir Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ay
al-Qur’ān karya Ibn Jarīr al-Ṭabarī, karena menurut penulis kitab Tafsir
al-Ṭabarī merupakan kitab tafsir yang membahas aspek kesejarahan,
ibadah, fiqih dan akidah. Tafsir ini juga menggunakan metode tahlili, yaitu
suatu metode yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menjelaskan segala
aspek yang terkandung di dalamnya dan urutannya sesuai dengan tertib surah
yang ada dalam mushaf Utsmani. Tafsir ini juga menjelaskan tentang kosa kata
atau susunan kalimat, munasabah atau korelasi antar ayat maupun antar surah,
menjelaskan asbāb al-Nuzūl, dan mengutip dalil-dalil dari nabi, sahabat dan
tabi’in. Kitab tafsir ini banyak dijadikan rujukan oleh sebagian mufassir yang lain
seperti Ibn Katsir dan lain sebagainya.

B. Identifikasi Masalah
Permasalahan yang penulis angkat dari latar belakang diatas dapat
diidentifikasi menjadi:
1. Penafsiran tentang sikap sabar dan syukur para Nabi (Nabi Ayyub,
Nabi Daud dan Nabi Sulaiman).
13

2. Relevansi sikap sabar dalam menghadapi ujian dan bersyukur atas


nikmat Allah dalam konteks kekinian.
Penulis melakukan pembatasan terhadap masalah yang akan dikaji
agar lebih fokus dan tercapai tujuan dari penelitian ini. Penulis membatasi
masalah ini hanya pada satu Surah dalam al-Qur’an, yaitu Surah al-
Anbiyā’ ayat 78-84. Ayat tersebut menceritakan tentang kisah-kisah yang
terjadi pada masa Nabi Ayyub, Nabi Daud dan Nabi Sulaiman
‘Alaihissalam. Dalam meneliti ayat tersebut, penulis merujuk pada Kitab
Tafsir Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl ay al-Qur’ān karya Ibn Jarīr al-Ṭabarī
serta buku-buku yang dianggap relevan dan berkaitan dengan kisah para
Nabi tersebut.

C. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah :
1. Bagaimana Ibn Jarīr al-Ṭabarī menginformasikan hubungan ketiga
kisah nabi terkait pesan sabar dan syukur yang terkandung pada Qs.
al-Anbiyā’ ayat 78-84?
2. Apa relevansi dengan temuan lain terkait pesan sabar dan syukur
dalam kisah tiga nabi tersebut?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Subjek aktivitas yang ditulis oleh penulis tentu memiliki tujuan
tersendiri. Sama halnya dengan penelitian ini. Berdasarkan latar belakang,
pembatasan dan rumusan masalah yang diuraikan diatas, maka tujuan
penelitian ini adalah:
1. Mengetahui penafsiran Ibn Jarīr al-Ṭabarī tentang Sikap Sabar dan
Syukur dalam kisah para Nabi pada Qs. al-Anbiyā’ ayat 78-84.
14

2. Mengetahui keterkaitan antara sikap sabar dalam menghadapi ujian


dan bersyukur atas nikmat Allah dalam konteks kehidupan zaman
sekarang.
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Secara akademis, skripsi ini memberikan kontribusi pengetahuan
tentang sikap sabar dan syukur yang terdapat dalam Kisah para Nabi
pada Qs. al-Anbiyā’ ayat 78-84 yang dapat menambah wawasan
dalam bidang kajian tafsir.
2. Secara normatif, skripsi ini memberikan gambaran tentang sikap
sabar dan syukur dalam kisah para Nabi yang terkandung dalam Qs.
al-Anbiyā’ ayat 78-84.
3. Secara praktis, skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan
pemahaman bagi pembaca tentang rasa sabar dan syukur dalam
kisah para nabi dan dapat dijadikan sebagai bahan penelitian
selanjutnya.
E. Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari terjadinya kesamaan pembahasan pada skripsi


ini dengan skripsi yang lain, penulis menelusuri kajian-kajian yang pernah
diteliti atau memiliki kesamaan. Selanjutnya hasil penelusuran ini akan
menjadi acuan penulis untuk tidak mengangkat metodologi yang sama,
sehingga diharapkan kajian ini tidak terkesan plagiat dari kajian yang telah
ada. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, penulis menemukan ada
sebuah karya yang membahas permasalahan ini, diantaranya:
Pertama, Skripsi yang ditulis oleh Ika Tyas Andini Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga 2016 yang berjudul,
“PENDIDIKAN NILAI KESABARAN DALAM KISAH NABI AYYUB
15

STUDI TERHADAP AL-QUR’AN SURAT SHĀD AYAT 41-44”.24


Skripsi ini meneliti tentang pendidikan nilai kesabaran dalam Surat Shād
ayat 41 sampai 44 bahwa kesabaran sebagaimana dicontohkan oleh Nabi
Ayyub yang mengandung beberapa sikap, yaitu sikap menghamba kepada
Allah, Allah tempat bergantung, mengajarkan selalu berusaha, optimis dan
menepati janji. Hikmah dari sifat sabar tersebut adalah agar manusia dapat
mengenal Allah lebih dekat, tidak kufur dengan nikmat Allah, sifat sabar
dapat membersihkan hati,sabar sebagai obat dan sikap sabar juga
mendapatkan pahala yang besar dari Allah.
Kedua, Skripsi yang ditulis oleh Azka Miftahuddin Fakultas
Tarbiyah dan Keguruan IAIN Purwokerto 2016 yang berjudul,
“PENANAMAN NILAI SYUKUR DALAM TRADISI SEDEKAH
BUMI DI DUSUN KALITANJUNG DESA TAMBAKNEGARA
RAWALO BANYUMAS”.25 Skripsi ini membahas tentang waktu
pelaksanaan tradisi sedekah bumi yang diadakan satu tahun sekali pada
bulan Sura yaitu hari Kamis Wage dan Jum’at Kliwon. Jika tidak ada hari
kamis wage dan jum’at kliwon, maka diganti hari Senin Wage dan Selasa
Kliwon. Sejarah pelaksanaan kegiatan tradisi sedekah bumi di dusun
Kalitanjung dimulai tahun 1500-an masehi pada zaman Kadipaten Bonjok.
Proses-proses kegiatan dalam tradisi sedekah bumi di dusun Kalitanjung
meliputi bersih desa, ruwat bumi, selamatan sedekah bumi, adapun filosofi
kegiatan tradisi sedekah bumi di Kalitanjung adalah sebagai ungkapan

24 Ika Tyas Andini, “Pendidikan Nilai Kesabaran Nabi Ayyub Studi Terhadap al-
Qur’an Surat Shād ayat 41-44” (Skripsi S1., Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Salatiga, 2016), xi.
25 Azka Miftahuddin, “Penanaman Nilai Syukur dalam Tradisi Sedekah Bumi di

Dusun Kalita njung Desa Tambaknegara Rawalo Banyumas” (Skripsi S1., Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Purwokerto, 2016), v.
16

rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Penanaman nilai syukur dalam
tradisi sedekah bumi di dusun Kalitanjung dilakukan dengan cara:
Mensyukuri nikmat yang terdapat dalam dalam tradisi sedekah bumi yaitu
nikmat keselamatan, kesehatan, dan hasil-hasil pertanian. Tradisi sedekah
bumi di dusun Kalitanjung dijadikan sebagai program tahunan pemerintah
desa Tambaknegara (Tradisi yang sudah turun-temurun dan mendidik
masyarakat agar mau saling berbagi atau bersedekah).
Ketiga, Tesis yang ditulis oleh Nur Rifatul Fauziyah Fakultas Adab
dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016 yang berjudul, “AL-
SYAHSYIYĀT FI QISYAH SULAIMAN 'ALAIH AL-SALAM FI AL-
QUR'ĀN AL-KARĪM: TAHLĪL LI NAFSI ADABI FI DHOU’
NADHARIYAH SYGMUND FREUD”.26 Thesis ini berisi tentang
kepribadian tokoh-tokoh (Nabi Sulaiman, Nabi Daud dan Ratu Bilqis)
yang terdapat dalam kisah Nabi Sulaiman As yang diceritakan dalam al-
Qur’an. Kepribadian Nabi Sulaiman, Nabi Daud dan Ratu Bilqis menurut
teori Sigmund Freud dalam al-Qur’ān terdapat dalam surat al-Anbiyā’, al-
Naml dan Shād. Kepribadian Nabi Sulaiman dalam surat al-Anbiyā’
terdapat 1 ayat, dalam surat an-Naml terdapat 12 ayat dan dalam surat
Shād terdapat 1 ayat. Sedangkan kepribadian Nabi Daud hanya terdapat 1
ayat dalam surat al-Anbiyā’. Dan kepribadian Ratu Bilqis terdapat 8 ayat
dalam surah an-Naml.
Keempat, Skripsi yang ditulis oleh Budi Barmawanto Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo 2017 yang berjudul,
“REPRESENTASI SABAR DAN SYUKUR SEORANG AYAH

26 Nur Rifatul Fauziyah, “Al-Syakhsiyah Fi Qisyah Sulaiman ‘Alaihi al-Salam Fi


al-Qur’an al-Karim: Tahlīl Li Nafsi Adaby Fi Dhou’ Nadhariyah Sigmund Freud” (Tesis
S2,. Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016), v.
17

DALAM FILM JOKOWI 2013: ANALISIS SEMIOTIK TERHADAP


TOKOH NOTOMIHARJO”.27 Skripsi ini membahas tentang sikap sabar
dan syukur seorang ayah yaitu Notomiharjo dalam menjalani hidup.
Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik Roland Barthes dengan
signifikasi dua tahap, yaitu denotasi dan konotasi. Dari penelitian tersebut,
peneliti menemukan tanda-tanda sabar, diantaranya nilai sabar dalam
ketaatan kepada Allah, sabar terhadap ujian dari Allah, nilai syukur dalam
lisan, serta syukur dalam wujud tindakan.
Kelima, Skripsi yang ditulis oleh Adrian Darmawan Fakultas Ilmu
dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017 yang
berjudul, “ANALISIS SEMIOTIK MAKNA SABAR DAN SYUKUR
DALAM FILM GADIS DI RUANG TUNGGU”.28 Skripsi ini membahas
tentang makna sabar dan syukur baik konotasi, denotasi serta mitos dalam
film Gadis Di Ruang Tunggu. Penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif, dengan film Gadis Di Ruang Tunggu sebagai subjek
penelitiannya. Teori yang digunakan peneliti adalah semiotik Roland
Barthes. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh banyak adegan-adegan
yang mencerminkan makna sabar dan syukur secara langsung dan tidak
langsung. Mitos yang bisa diambil oleh masyarakat umumnya dengan
tingkatan pemahaman yang berbeda-beda.
Keenam, Tesis yang ditulis oleh Nur Chasanah Fakultas Tarbiyah
dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga 2018 yang berjudul, “KONSEP

27 Budi Barmawanto, “Representasi sabar dan syukur seorang ayah dalam film
Jokowi 2013: analisis semiotik terhadap tokoh Notomiharjo” (Skripsi S1., Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo, 2017), viii.
28 Adrian Darmawan, “Analisis Semiotik Makna Sabar & Syukur Dalam Film

Gadis Di Ruang Tunggu” (Skripsi S1., Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017), i.
18

SABAR DALAM KITAB NASHAIHUL ‘IBAD KARYA IMAM


NAWAWI AL-BANTANI”.29 Thesis ini membahas tentang menunjukkan
konsep sabar dalam kitab Nashaihul ‘Ibad karya Imam Nawawi al-Bantani
ini sangat dibutuhkan bagi dunia pendidikan sekarang ini. Ciri pemikiran
beliau dapat digolongkan dalam corak praktis yang tetap berpegang teguh
dengan al-Qur’an dan Hadits serta atsar para ulama’. Beliau menjelaskan
bahwa sabar adalah tidak suka mengeluh atas kesedihan yang timbul
daripada musibah yang menimpanya, kepada selain Allah serta ridha
kepada-Nya. Konsep sabar yang terdapat dalam kitab Nashaihul ‘Ibad
adalah konsep sabar terhadap kesusahan, orang sabar merupakan orang
yang paling bahagia, sabar merupakan tanda iman dan sabar atas
penghinaan orang lain. Para penuntut ilmu sekarang juga dapat mengambil
dan menerapkan konsep sabar dari kitab ini yaitu sabar terhadap Allah
SWT, sabar terhadap dirinya sendiri dan sabar terhadap lingkungan
sekitar.
Ketujuh, Skripsi yang ditulis oleh Wawan Hardianto Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ponorogo 2018 yang berjudul,
“NILAI-NILAI KETELADANAN KISAH NABI DAUD A.S. DALAM
KITAB QISHASHUL ANBIYA KARYA IBNU KATSIR DAN
RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN AKHLAK MTS KELAS
VIII SEMESTER GANJIL”.30 Skripsi ini berisi tentang pendidikan
menjadi salah satu ujung tombak yang diandalkan untuk membangun

29 Nur Chasanah, “Konsep Sabar dalam Kitab Nashaikul ‘Ibad Karya Imam
Nawawi al-Bantani” (Tesis S2., Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga,
2018), xiii.
30 Wawan Hardianto, “Nilai-nilai Keteladanan Kisah Nabi Daud AS. Dalam Kitab

Qishashul Anbiya Karya Ibnu Katsir da n Relevansinya dengan Pendidikan Akhlak MTS
Kelas VII Semester Ganjil” (Skripsi S1., Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN
Ponorogo, 2018),
19

karakter dan menanamkan berbagai nilai-nilai moral kepada anak. Lebih


spesifiknya pada pendidikan akhlak yang telah dirumuskan dalam
pendidikan agama Islam oleh pemerintah. Dan kisah menjadi begitu
penting dipahami, apalagi bagi seorang pendidik, karena banyak sekali
ibrah yang bisa diambil dari kisah-kisah tersebut.
Kedelapan, Tesis yang ditulis oleh Ahmad Ainur Rofiq Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo 2019 yang berjudul, “KONSEP
SABAR IBNU QAYYIM AL-JAUZZY DAN RELEVANSINYA
DENGAN KESEHATAN MENTAL”.31 Thesis ini membahas tentang
sabar dalam pandangan Ibnu Qayyim yaitu sabar menjadikan jiwa
seseorang menjadi tenang dalam menghadapi berbagai macam rintangan,
cobaan yang datang dari dalam dirinya, maupun dari lingkungan
eksternalnya, baik sabar dalam menghadapi musibah, ketaatan,
meninggalkan maksiat dan melawan hawa nafsu. Sementara sabar
relevansinya dengan kesehatan mental ialah sabar bisa membentuk
integrasi dalam diri seseorang. Integrasi diri berarti adanya keseimbangan
antara kekuatan jiwa dalam diri, kesatuan pandangan dalam hidup, dan
kesanggupan mengatasi stress. Jadi, untuk memperoleh kesehatan mental,
maka seseorang harus berusaha menciptakan integrasi diri dengan cara
bersabar.
Kesembilan, Skripsi yang ditulis oleh Mustolih Rifin Fakultas
Ushuluddin dan Studi Agama UIN Raden Intan Lampung 2019 yang
berjudul, “KARAKTERISTIK SYUKUR DALAM AL-QUR’N (KISAH

31 Ahmad Ainur Rofiq, “Konsep Sabar Ibnu Qayyim al-Jauzzy dan Relevansinya
dengan Kesehatan Mental” (Tesis S2., Fa kultas Dakwah dan Komunikasi UIN
Walisongo, 2019), ix.
20

NABI AYYUB DAN SULAIMAN)”.32 Skripsi ini berisi tentang ekspresi


syukur serta persamaan dan perbedaan sikap sabar dan syukur dalam kisah
Nabi Ayyub dan Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam.
Kesepuluh, Skripsi yang ditulis oleh Imas Maulida Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019 yang
berjudul, “TELISIK DO’A NABI AYYUB AS DALAM TAFSIR AL-
ṬABARĪ PADA SURAH AL-ANBIYĀ’ AYAT 83-84 DAN SHĀD
AYAT 41-44”.33 Hasil penelitian ini adalah doa Nabi Ayyub memohon
penyembuhan memiliki konteks yaitu ketika syetan mulai mengganggunya
dengan cobaan berupa penyakit Ayyub berdoa dengan penuh keimanannya
membuktikan bahwa Allah SWT Maha Penyayang kepada seluruh
umatnya. Ujiannya pun dijalani dengan sabar. Nabi Ayyub berdoa kepada
Allah SWT dengan penuh ketabahan untuk disesuaikan keinginannya
dengan takdir. Doa ini dengan jelas menggambarkan bagaimana titik akhir
kelemahan ikhtiar manusia yang tengah berupaya menerima semua
musibah dalam setiap kehidupan dengan rahmat dan kasih sayang Tuhan
kepada hamba-hamba-Nya yang beriman.
Dari tinjauan sebelumnya, dapat penulis katakan bahwa pembahasan
skripsi ini berbeda dengan karya-karya di atas. Karena, karya-karya
sebelumnya membahas ayat-ayat yang berbeda dari ayat yang penulis kaji.
Lalu diantaranya ada yang membahas tentang makna sabar dan syukur
melalui film yang berkaitan dengan pendekatan semiotik. Kemudian ada

32 Mustolih Rifin, “Karakteristik Syukur dalam al-Qur’an (Kisah Nabi Ayyub dan
Nabi Sulaiman)” (Skripsi S1., Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN Raden Intan
Lampung, 2019), iii.
33 Imas Maulida, “Telisik Doa Nabi Ayyub As dalam Tafsir al-Tabari Pada Surah

al-Anbiya’ ayat 83-84 dan Sad ayat 41-44” (Skripsi S1., Fakultas Ushuluddin UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2019), i.
21

juga yang membahas makna sabar dan syukur lalu mengaitkannya dengan
tradisi sedekah di salah satu desa. Kemudian penulis menemukan adanya
salah satu persamaan dalam pemilihan kitab tafsir yaitu tafsir al-Ṭabarī
pada Skripsi yang ditulis oleh Imas Maulida, tetapi dalam pembahasan
tema yang dikaji dan ayat serta konteksnya berbeda.

F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kepustakaan (library research) yaitu serangkaian kegiatan dengan
mengumpulkan data-data pustaka, membaca, mencatat, mengolah bahan
penelitian serta menelaah sejumlah referensi dari kitab-kitab yang
berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. 34
2. Sumber Data
Dalam penelitian ini dilakukan dengan dua jenis sumber data, yaitu
data primer dan data sekunder. Sumber data primer dari penelitian ini
adalah kitab Tafsir Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay al-Qur’ān karya Ibn
Jarīr al-Ṭabarī. Sedangkan sumber data sekundernya adalah buku-buku
atau jurnal serta media cetak lain yang mendukung dalam penelitian ini.

3. Analisis Data
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kualitatif untuk memperoleh data, fakta dan informasi yang akan
mengungkapkan dan menjelaskan permasalahan dalam skripsi ini.35
Skripsi ini juga menggunakan al-Qur’an sebagai objek penelitian. Metode

34 Mestika Zed, Metodologi Penelitian Kepustakaan (Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 2004), 3.
35 Winamo Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmu Teknik dan Metode (Ban d u n g:

Tarsito, 1982), 138.


22

yang digunakan yaitu metode Maudhu’i (tematik)36 dengan menggunakan


pendekatan sosio-historis atau memahami al-Qur’an dalam konteks
sejarah dan harfiahnya, kemudian merelevansikan sikap sabar dan syukur
pada kondisi zaman sekarang dalam menjelaskan kisah Nabi Ayyub,
Sulaiman dan Daud pada Q.S al-Anbiyā’ ayat 78-84 dengan menganalisa
kitab tafsir al-Ṭabarī. Menurut al-Farmawi ada delapan langkah dalam
sistematika Tafsir Maudhu’i yaitu:
1. Menetapkan masalah yang akan dibahas
2. Menghimpun seluruh ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan
dengan masalah tersebut.
3. Menyusun urutan-urutan ayat yang terpilih sesuai dengan
perincian masalah atau masa turunnya, sehingga terpisah antara
ayat Makkiyah dan Madaniyah.
4. Mempelajari atau memahami korelasi (munasabah) masing-
masing ayat dengan surah-surah dimana ayat tersebut
tercantum (setiap ayat berkaitan dengan tema pada suatu
surah).
5. Melengkapi bahan-bahan dengan hadis-hadis yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas.
6. Menyusun outline pembahasan dalam kerangka yang sempurna
sesuai dengan hal studi masa lalu, sehingga tidak dikaitkan
dengan hal-hal yang berkaitan dengan pokok masalah.
7. Mempelajari semua ayat terpilih secara keseluruhan atau
mengkompromikan antara yang umum dengan yang khusus,
yang mutlak dan yang relatif, dan lain lain. Sehingga semuanya

36 Abdul Hayy al-Farmawi, Metode Tafsir Maudhu’i: Sebuah Pengantar, terj.

Surya A. Samran (Jakarta: PT.Grafindo Persada , 1996), 36.


23

bertemu dalam muara tanpa perbedaan atau paksaan dalam


penafsiran.
8. Menyusun kesimpulan penelitian yang dianggap sebagai
jawaban al-Qur’an terhadap masalah yang dibahas.37

Namun langkah-langkah tersebut tidak penulis gunakan semua,


sebatas yang terkait dengan pembahasannya, yaitu penulis hanya
menggunakan langkah dari nomer satu hingga enam saja.

4. Teknik penulisan
Adapun teknik penulisan dalam penelitian ini merujuk kepada buku
pedoman penulisan skripsi berdasarkan transliterasi yang dipergunakan
dan mengacu pada SKB antara Menteri Agama serta Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan RI, masing-masing No. 158 Tahun 1987 dan No.
0543b/U/1987 dengan beberapa adaptasi. Penulis menggunakan al-Qur’an
terjemahan dari aplikasi al-Qur’an Kemenag untuk referensi dalam
mengutip ayat al-Qur’an dan terjemahnya.

G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan merupakan hal yang penting, karena
mempunyai fungsi untuk menyatakan garis-garis besar dari masing-
masing bab yang saling berkaitan dan berurutan. Hal ini dikarenakan agar
tidak terjadi kekeliruan dalam penyusunannya. Adapun sistematika
penulisan dalam skripsi ini sebagai berikut:
Bab pertama merupakan langkah awal dalam penelitian ini, dimulai
dengan pendahuluan yang menguraikan latar belakang masalah
penelitian, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat

37 Fahmi Muhammad, “Abd Hayy al-Farmawi” Diakses, pada 20 Oktober, 2020,

http://www.academia.edu/8402088/abd_Hayy_al-Farmawi
24

penulisan, tinjauan kepustakaan, metodologi penelitian, dan sistematika


penulisan.
Bab kedua membahas mengenai biografi singkat Ibn Jarīr al-Ṭabarī,
karir intelektualnya, karya-karyanya serta profil kitab yang meliputi
sistematika penulisan, metode dan corak penafsiran serta pandangan
ulama terhadap Ibn Jarīr al-Ṭabarī dan Kitab tafsirnya yaitu Kitab Jāmi’
al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay al-Qur’ān.
Bab ketiga membahas seputar sabar dan syukur para nabi dalam al-
Qur’an, ayat-ayat sabar dan syukur dalam al-Qur’an, definisi dan hakikat
kata sabar dan syukur dalam al-Qur’an, perintah bersabar dalam segala
kondisi dan para Nabi yang dikenal penyabar, bersyukur atas nikmat Allah
yang diberikan kepada para Nabi dan orang yang beriman, serta korelasi
sabar dan syukur dalam kehidupan sehari-hari.
Bab keempat membahas tentang Analisis ayat dan terjemah serta
munasabah ayat pada Qs. al-Anbiyā’ ayat 78-84, kemudian penafsiran
kisah Nabi Daud dan Sulaiman dalam menghadapi perselisihan, penafsiran
atas nikmat Allah yang diberikan kepada Nabi Daud dan Nabi Sulaiman,
penafsiran atas nikmat dan ujian Allah yang diberikan kepada Nabi
Ayyub, serta relevansi sikap sabar dalam menghadapi ujian dan bersyukur
atas nikmat Allah dalam konteks kekinian.
Bab kelima yaitu kesimpulan dari seluruh rangkaian masalah,
sekaligus menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini. Kemudian
akhir bab dilengkapi dengan kritik dan saran untuk bahan evaluasi dalam
rencana pembuatan karya ilmiah selanjutnya.
BAB II

BIOGRAFI IBN JARĪR AL-ṬABARĪ DAN KARAKTERISTIK


UMUM KITAB TAFSIR JĀMI’ AL-BAYĀN ‘AN TA’WĪL AY AL-
QUR’ĀN

A. Biografi Singkat Ibn Jarīr al-Ṭabarī


Nama lengkap Ibn Jarīr al-Ṭabarī yaitu Abū Ja’far Muḥammad
Ibn Jarīr Ibn Yazid Ibn Khalid Ibn Katsir Ibn Ghālib al-Ṭabarī.1
Beliau lahir di Amul, ibu kota dari provinsi Thabaristan. Kawasan
tersebut termasuk daerah terbesar di Sahlah. 2 Dari nama daerah inilah
ia diberi laqab Ṭabarī dan dinisbatkan kepadanya. Selain dinisbatkan
pada daerah Tabaristan, beliau pun dinisbatkan pada kota Amul,
sehingga ia dijuluki al-Ṭabarī al-Āmuli. Lalu ia mempunyai kunyah
Abu Ja’far, tetapi hal tersebut bukanlah penisbatan seperti budaya
Arab ketika menyebut nama seorang ayah dengan si Fulan, melainkan
Abu Ja’far adalah panggilan kehormatan baginya karena kebesaran
dan kemuliaannya. Ia tidak pernah mempunyai istri dan anak selama
hidupnya.3
Al-Ṭabarī memiliki rambut hitam dan memiliki jenggot yang
panjang. Kulitnya berwarna sawo matang, badannya kurus tegap dan
selalu berbuat kebaikan.4 Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan

1 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay al-

Qur’ān, terj. Ahsan Ahkan, jilid I (Beirut: Dar al-Fikr), 3.


2 Manna Khalil al-Qhattan, Mabahis Fi Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakir (Bogor:

Litera antar Nusa, 2009), 527.


3 Asep Abdurrohman, “Metodologi al-Ṭabarī dalam Tafsir Jāmi’ al-Bayān ‘an

Ta’wīl Ay al-Qur’ān, Jurnal Kordinat, vol.17, no.1 (01 April 2018): 70.
4 Asep Abdurrohman, “Metodologi al-Ṭabarī dalam Tafsir Jāmi’ al-Bayān ‘an

Ta’wīl Ay al-Qur’ān, 71.

25
26

keluarga yang memberikan perhatian terhadap masalah pendidikan


terutama dalam bidang keagamaan bersamaan dengan keadaan Islam
yang sedang mengalami kejayaan dan kemajuan. Kondisi yang
demikian, secara psikologis sangat berperan untuk membentuk
kepribadian al-Ṭabarī dalam menumbuhkan kecintaannya terhadap
ilmu sejak kecil. Aktivitas menghafal al-Qur’an ia mulai sejak usia
tujuh tahun, menjadi imam shalat ketika berusia delapan tahun serta
mulai menulis hadis-hadis nabi sejak berusia sembilan tahun.5
Semangatnya tinggi dalam menuntut ilmu dan melakukan ibadah
dibuktikannya dengan melakukan perjalanan ilmiah ke berbagai
negara untuk memperkaya pengetahuan dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan.6
Al-Ṭabarī seorang ulama yang sulit ditandingi7 dalam segi amal,
ilmu dan pengetahuannya mengenai al-Qur’an dan jalan-jalan riwayat,
baik yang shahih maupun yang dhaif.8 Beliau adalah seorang ilmwuan
yang sangat mengagumkan dan kemampuannya mencapai peringkat
tertinggi dalam berbagai bidang ilmu.9 Mengenai paham teologinya,
al-Ṭabarī menganut aliran Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah. Pada
awalnya, ia adalah pengikut mazhab Syafi’i, lalu ia berijtihad sendiri

5 Faizah ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern

(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), 1.


6 Muhammad Maulana Nur Kholis, “Ayat Toleransi Perspektif Ibn Jarīr al-Ṭab a rī

(Telaah Deskriptif Surah al-Baqarah: 256)”. Jurnal Agama Sosial dan Budaya, vol.2,
no.1 (Januari 2019): 64.
7 Manna’ Khalil al-Qatthan, Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an (Jakarta: Pusta k a a l-

Kautsar, 2005), 477.


8 Asep Abdurrohman, “Metodologi al-Ṭabarī dalam Tafsir Jāmi’ al-Bayān ‘an

Ta’wīl Ay al-Qur’ān, 69.


9 Said Agil Husin al-Munawar, al-Qur’an Membangun Kesalehan Hakiki (Jakarta:

Ciputat Press, 2005), 96.


27

dalam masalah fiqih10 dan berhasil mendirikan sebuah mazhab,


pendapat-pendapatnya yang terhimpun diberi nama Mazhab al-
Jarīriyah.11 Tetapi, mazhab ini tidak bertahan lama seperti mazhab-
mazhab yang lain dan mazhab ini lebih dekat dengan mazhab Syafi’i
dalam teori fiqihnya.12
Al-Ṭabarī merupakan seorang ahli dalam ilmu linguistik, yaitu
penguasaan terhadap ilmu nahwu, morfologi, dan bhalaghah. 13 Ia
adalah seorang sastrawan dalam ilmu Bahasa Arab. Ia memiliki
ungkapan kata-kata yang sangat indah yang jarang digunakan oleh
sastrawan lainnya. Ia merupakan seorang pakar sejarah dan
mempunyai karangan kitab sejarah yang sangat terkenal. Ia juga
seorang pakar hadis dan satu-satunya figur yang tak ada duanya. Di
usia dini, beliau dibimbing untuk menuntut berbagai ilmu dan
mempelajari ilmu-ilmu agama.14 Ia dikenal dengan seseorang yang
sangat disiplin, rapi dan sangat zuhud. 15 Dari kampung halamannya ia
memulai pendidikannya, dimana tempat tersebut cukup kondusif untuk
membangun konsep dasar diawal pendidikannya. Ia di rawat oleh
ayahnya, kemudian dikirim ke Rayy, Basrah, Kufah, Mesir dan Suriah
dalam rangka “travelling in Quest of Knowledge” (al-Rihlah Lī Talab

10 Faizah ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, 3.
11 M. Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufasirūn, jilid 1 (Beirut: Dar al-Kutub,

1976), 180.
12 A.M. Ismatulloh, “Konsepsi Ibn Jarīr al-Ṭabarī Tentang al-Qur’an Tafsir dan

Ta’wil”. Jurnal Fenomena, vol.4, no.2 (Oktober 2012): 206.


13 Choirul Rosikin, “Makna Layalin ‘Ash Dalam Surat al-Fajr Ayat 2 (Studi

Komparatif Penafsiran Ibn Jarīr al-Ṭabarī dan M. Abduh)” (Skripsi S1., Fakultas
Ushuluddin dan filsafat Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019), 37.
14 Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi (Kajian Komprehensif Metode Para

Ahli Tafsir) (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2006), 67.


15 Ismail Ubaidilah, “Kata Serapan Bahasa Asing dalam al-Qur’an dalam

Pemikiran al-Ṭabarī”, Journal of Pesantren Education, vol.8, no.1 (Juni 2013): 122.
28

al-‘Ilm) saat usianya yang masih sangat muda. Di Rayy, ia berguru


kepada Ibn Humaid (Abu Abdillah Muhammad bin Humaid al-Razi).
Ia juga menimba ilmu Khusus di bidang hadis dari al-Mutsanna bin
Ibrahim al-Irbili. Ia pernah pula pergi ke Baghdad untuk belajar
kepada Ahmad bin Hanbal, tetapi sesampainya disana ternyata Ahmad
bin Hanbal telah wafat.16 Kemudian Ia segera putar balik menuju ke
dua kota besar Selatan yang berada di Baghdad, yaitu Basrah dan
Kufah sambil mampir ke Wasit karena satu jalur perjalanan dalam
rangka studi dan riset. Lalu di Basrah ia berguru kepada Muhammad
bin ‘Abd al-A’la al-San’ani, Muhammad bin Musa al-Harasi, Abu al-
As’ad Ahmad bin al-Miqdam, dan Abu al-Jawza Ahmad bin Usman.
Khusus di bidang tafsir Ia berguru kepada Basrah Humaid bin
Mas’adah dan Bisyr bin Mu’adz al-‘Aqadi, walaupun sebelumnya
pernah banyak menyerap pengetahuan tentang tafsir dari seorang
Kufah Hanad bin al-Sari’.
Setelah beberapa waktu berada di dua kota tersebut, Ia kembali
ke Baghdad dan menetap untuk waktu yang lama. Ia masih
memusatkan perhatian pada qira’ah dan Fiqih dengan bimbingan
gurunya, yaitu Ahmad bin Yusuf al-Sa’labi, al-Hasan Ibn Muhammad
al-Sabbah al-Za’farani dan Abi Sa’id al-Astakhari. Belum puas
dengan apa yang telah ia capai, ia melanjutkan perjalanan ke berbagai
Kota untuk mendapatkan ilmu, terutama pendalaman gramatika, sastra
arab dan qira’ah. Hamzah dan Warasy termasuk orang-orang yang
telah memberikan kontribusi kepadanya. Keduanya tidak saja dikenal
di Baghdad, tetapi juga di Mesir, Syam, Fustat dan Beirut. Dorongan
16 Faiza h ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, 1.
29

kuat untuk menulis kitab tafsir diberikan oleh salah seorang gurunya
yaitu Sufyan ibn ‘Uyainah dan Waqi’ ibn al-Jarah, Syu’bah bin al-
Hajjaj, Yazid bin Harun dan ‘Abd ibn Hamid.
Tempat tinggal terakhir al-Ṭabarī sepulang dari mesir adalah
Baghdad dan tempat singgahnya adalah di Tabaristan. Sejumlah karya
telah berhasil ia kembangkan. Doktor Muhammad al-Zuhaili berkata
bahwa berdasarkan berita yang dapat dipercaya, sesungguhnya semua
waktu al-Ṭabarī telah dikhususkan untuk mencari ilmu. Beliau
bersusah payah menempuh perjalanan yang jauh untuk mencari ilmu
sampai masa mudanya dihabiskan untuk berpindah dari satu daerah ke
daerah yang lainnya. Beliau tidak tinggal menetap kecuali setelah
usianya mencapai antara 35 sampai 40 tahun. Dalam masa ini, beliau
hanya memiliki sedikit harta, karena semua hartanya dihabiskan untuk
menempuh perjalan jauh dalam perjalanan menimba ilmu, menyalin
dan membeli kitab.17
Al-Ṭabarī wafat di Baghdad pada hari Senin, 27 Syawal 310 H
bertepatan dengan 17 Februari 923 M dalam usia 85 tahun. 18 Riwayat
hidup al-Ṭabarī berakhir seperti yang digambarkan oleh Ibn Kamil,
yaitu beliau meninggal pada dua hari akhir bulan Syawal tahun 300 H.
Beliau dikuburkan di dalam rumah dan tidak diubah sampai sekarang.
Beliau di shalatkan siang dan malam di atas kuburnya beberapa bulan
lamanya. Banyak sekali orang-orang yang meratapi kematiannya

17 Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, terj. Masturi Irham dan Asmu’i
Taman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006), 604.
18 Asep Abdurrohman, “Metodologi al-Ṭabarī dalam Tafsir Jāmi’ al-Bayān ‘an

Ta’wīl Ay al-Qur’ān, 71.


30

diantaranya dari para penyair, para ulama dan kalangan masyarakat


biasa.19

B. Karya-karya Ibn Jarīr al-Ṭabarī


Ada beberapa riwayat yang mengatakan bahwa al-Ṭabarī adalah
seorang yang aktif menulis. Khatib al-Baghdadi mendengar dari Ali
bin Ubaidillah al-Lughawi al-Syamsi bahwa al-Ṭabarī aktif menulis
selama empat puluh tahun dengan perkiraan setiap harinya menulis
empat puluh lembar. Dengan demikian, diperkirakan selama empat
puluh tahun al-Ṭabarī telah menulis sebanyak 1.768.000 lembar. Suatu
kesaksian lainnya pernah dilontarkan oleh Abdullah al-Farghani, ia
menyebutkan bahwa sebagian murid al-Ṭabarī menghitung bila
jumlah kertas yang pernah ditulisnya dibagi oleh usianya semenjak
baligh sampai wafatnya. Maka dapat disimpulkan bahwa setiap hari al-
Ṭabarī menulis 14 lembar.20
Ketenaran al-Ṭabarī semakin meluas ketika dua buah karyanya
terkenal, yaitu Tarikh al-Umam wa al-Muluk dan Jāmi’ al-Bayān ‘an
Ta’wīl Ay al-Qur’ān. Keduanya menjadi rujukan penting bagi para
sejarawan dan mufassir yang menaruh perhatian terhadap kedua buku
tersebut selain karya-karya penting lainnya yang berhasil ditulis.
Belum ditemui secara tepat mengenai berapa jumlah buku yang
berhasil diproduksi dan terpublikasi. Yang pasti, dari catatan sejarah
membuktikan bahwa karya-karya al-Ṭabarī meliputi banyak bidang

19 Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir: Kajian Komprehensif Metode


Para Ahli Tafsir), 76.
20 Asep Abdurrahman, “Metodologi al-Ṭabarī dalam Tafsir Jāmi al-Bayān Fī

Ta’wīl al-Qur’ān, 73.


31

keilmuan dan ada sebagian yang sampai ke tangan kita. Sejumlah


karyanya adalah sebagai berikut:
1. Bidang Hukum
a) Adāb al-Manāsik. Kitab ini berisi tentang segala hal yang harus
dipersiapkan bagi seorang calon haji.
b) Adāb al-Qadhāh. Kitab ini berisi tentang pujian dan etika yang
harus dimiliki oleh para hakim, persaksian, tuduhan dan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh para hakim.
c) Al-Basīth atau Basīth al-Qaūl fī Ahkām Syarā’i al-Islām. Kitab
ini menguraikan masalah fiqih yang dimulai dari bab Thaharah
(bersuci) hingga masalah yang dimungkinkan muncul dimasa
depan. Dalam setiap pembahasan, al-Ṭabarī mengemukakan
perbedaan pendapat dari kalangan sahabat, tabi’in dan tokoh
agama dari setiap umat atau daerah. Kitab ini berisi 1500
lembar.
d) Ikhtilāf al-‘Ulama atau Ikhtilāf al-Fuqahā atau Ikhtilāf ‘Ulamā
al-Amshār fi Ahkām Syarā’i al-Islām. Kitab ini menguraikan
tentang perdebatan para ahli Fiqih dalam berbagai masalah
hukum, terutama yang berkaitan dengan muamalah. Kitab ini
terdiri dari 3000 lembar.
e) Ahkām Syarā’i al-Islām atau Lathīf al-Qaūl Fī al-Bayān ‘an
Ushūl al-Ahkām dan telah diringkas dengan judul al-Khafif fī
Ahkām Syarā’i al-Islām. Kitab ini menguraikan tentang kaidah-
kaidah Ushuliyyah dalam menetapkan suatu hukum. Dalam
kitab ini sangat terlihat ketajaman berfikir, analisis, dan
kekuatan al-Ṭabarī berargumentasi dalam menerapkan hukum.
32

Karena itu, kitab ini dianggap sebagai kumpulan mazhabnya


dalam bidang fiqih.
f) Mujaz (belum sempurna ditulis).
g) Radd ‘ala Ibn ‘Abd al-Hakam.
2. Bidang al-Qur’an
a) Jāmi’ al-Bayān ‘An Ta’wīl Ay al-Qur’ān. Kitab tafsir ini
terdiri dari delapan belas jilid yang dimulai dari surah al-
Fatihah hingga al-Nas. Dalam penafsirannya al-Ṭabarī
mengutip riwayat dari Nabi Muhammad Saw, pendapat sahabat
dan tabi’in serta melakukan tarjih (menguatkan pendapat
tertentu setelah melakukan analisis atau kritik). Al-Ṭabarī juga
menyinggung masalah kebahasaan dan qira’at dalam
penafsirannya.
b) Kitab al-Qira’at atau Jāmi’ al-Qira’at. Kitab ini terdiri dari
delapan belas jilid. Di dalamnya, al-Ṭabarī menyebutkan
qira’at yang masyhur dan syadz, menjelaskan alasan-alasannya,
kemudian memilih bacaan untuk dirinya diantara bacaan-
bacaan tersebut.
3. Hadis
a) ‘Ibarah al-Ru’ya,
b) Faḍa’il (belum sempurna ditulis).
c) Al-Musnad al-Mujarrad.
4. Teologi
a) Dalalah.
b) Faḍail ‘Ali bin Abi Thalib.
c) Radd ‘ala al-Asfar berupa risalah dan belum sempurna ditulis.
33

d) Al-Radd ‘ala al-Mahrusiyyah.


e) Kitab al-Tabshīr. Kitab ini berisi tentang surat menyurat al-
Ṭabarī ke penduduk Amul, Tabaristan. Kitab ini berisi tiga
puluh lembar.
5. Etika Keagamaan
a) Adāb al-Nufūs al-Jayyidah wa al-Akhlaq al-Nafisah. Kitab ini
menjelaskan tentang akhlak yang seharusnya dimiliki dan
diamalkan oleh seorang muslim.
b) Adab al-Tanzīl (berupa risalah)
6. Sejarah
a) Tārīkh Rijāl min al-Shahābah wa al-Tabi’in. Kitab ini
menguraikan riwayat hidup singkat para sahabat dan tabi’in.
b) Tarikh al-Umam wa al-Mulūk atau Tarikh al-Rasūl wa al-
Mulūk, kitab sejarah yang amat terkenal. Tetapi kitab ini
dikenal dengan nama Tarikh al-Ṭabarī Kitab ini berisi tentang
sejarah permulaan waktu, penciptaan Adam atau manusia, para
Nabi dan Rasul, kisah Nabi Muhammad Saw hingga
pembahasan sejarah pada 302 H.
c) Tahdzīb al-Ātsār wa Tafshīl al-Tsabīt ‘ala Rasulullah Saw min
al-Akhbār. Kitab ini memulai pembahasannya dari Abu Bakar
ra. Yang menurutnya dianggap shahih, kemudian menjelaskan
kedudukan setiap hadis, permasalahan fiqih dan pendapat para
ulama tentang fiqih. Namun, al-Ṭabarī meninggal dan belum
sempat menyempurnakannya.21

21 Faizah Ali Syibromalisi & Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, 3.
34

Dengan melihat karya-karyanya, al-Ṭabarī dapat


dikategorikan sebagai ilmuwan yang multitalent, menguasai
berbagai bidang keilmuan yang dapat memberikan pencerahan
kepada umat sepanjang masa termasuk pada Kitab Tafsir Jāmi’ al-
Bayān ‘an Ta’wīl Ay al-Qur’ān yang sedang penulis kaji ini. Al-
Nawawi dalam tahdzibnya berkata, “Kitab Ibn Jarīr al-Ṭabarī
didalam bidang ilmu tafsir adalah kitab yang tak ada
bandingannya”.22

C. Profil Kitab Tafsir Al-Ṭabarī


1. Sejarah Penulisan Kitab Tafsir Al-Ṭabarī
Al-Ṭabarī dipandang sebagai tokoh pewaris terpenting dalam
keilmuan Islam klasik, seperti ilmu hadis, fiqh, lughah, dan tarikh
al-Qur’an. Dua karya besarnya yaitu, Tarikh al-Umam wa al-Mulk
yang membahas tentang sejarah dan Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay
al-Qur’ān menjadi rujukan utama, sehingga berhasil membuatnaya
terkenal di tengah-tengah masyarakat. Kitab tersebut merupakan
sebuah ensiklopedi tentang komentar dan pendapat tafsir yang
pernah ada sampai masa hidupnya. Tafsir bi al-ma’tsur yang
dikembangkan oleh al-Ṭabarī telah mengilhami dan menyemangati
para mufassir generasi selanjutnya, seperti Ibn Katsir yang banyak
mengutip tafsir ini. semasa hidupnya dari abad sembilan hingga
pertengahan abad sepuluh Masehi, kaum muslim dihadapkan pada
keanekaragaman suku, ras, agama, ilmu pengetahuan dan
keagamaan serta kebudayaan dan peradaban. Secara langsung

22 Hasbi al-Shiddieqy, Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Media-media Pokok dalam


Menafsirkan al-Qur’an (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988), 222.
35

maupun tidak, telah terjadi kebudayaan dengan ragam muatannya.


Perubahan masyarakat terus berjalan, tentu saja hal ini mewarnai
sudut pandang dan pola pikir kaum muslim sebagai sesuatu yang
tak dapat dihindarkan.
Dalam bidang keilmuan, tafsir sudah menjadi disiplin ilmu
keislaman tersendiri setelah beberapa saat merupakan bagian
inheren studi hadis selain bidang-bidang keilmuan yang lain.
Kemunculan aliran tafsir bi al-ma’tsur dan bi al-ra’yi turut
memberikan warna bagi pemikiran muslim. Disisi lain, ada
persoalan yang cukup serius pada tafsir bi al-ma’tsur, yaitu dengan
munculnya berbagai riwayat, mulai dari riwayat yang shahih dan
jelas hingga riwayat yang tidak bisa di pertanggung jawabkan
menurut ukuran sanad dan rijal al-hadis dalam ilmu ‘Ulumul
Hadits. Itulah sebabnya, pada waktu yang bersamaan tafsir bi al-
ma’tsur sedang menghadapi masalah serius, karena telah terjadi
penyebaran dari berbagai riwayat.
Dari beberapa keterangan disebutkan, bahwa salah satu latar
belakang penulisan kitab Tafsir Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay al-
Qur’ān adalah karena keprihatinan al-Ṭabarī terhadap umat islam
dalam memahami al-Qur’an. Mereka bisa membacanya tetapi tidak
mengetahui makna yang sesungguhnya. Oleh sebab itu, al-Ṭabarī
menunjukkan berbagai kelebihan al-Qur’an dengan mengungkap
berbagai makna sehingga kelebihan susunan bahasanya seperti
nahwu, balaghah dan lain sebagainya. Bahkan jika dilihat dari
namanya, kitab ini merupakan kumpulan keterangan pengetahuan
36

yang cukup luas dan meliputi berbagai disiplin keilmuan seperti


Aqidah, Fiqih dan Qira’at.23
Kitab tafsir karya al-Ṭabarī memiliki nama ganda yang dapat
ditemui. Kitab yang pertama yaitu Jāmi’ aI-Bayān ‘an Ta’wīl Ay
al-Qur’ān dan yang kedua bernama Jāmi’ al-Bayān fi Tafsir al-
Qur’ān. Kitab tersebut terdiri dari 30 juz atau jilid besar. Al-Ṭabarī
mencoba mengkolaborasikan term takwil dan tafsir menjadi sebuah
konstruksi pemahaman yang utuh dan menyeluruh. Baginya, kedua
istilah itu adalah mutaradif atau sinonim dan merupakan sumber
intelektual untuk memahami kitab suci al-Qur’an yang pada
umumnya tidak cukup hanya di analisis melalui kosa katanya saja,
tetapi memerlukan peran aktif logika dan aspek-aspek penting
lainnya, seperti munasabah ayat atau surah, tema (maudhu’i),
asbāb al-Nuzūl dan lain sebagainya.
Pada awalnya, kitab ini pernah hilang dan tidak jelas
keberadaannya. Tetapi, ternyata tafsir ini muncul kembali berupa
manuskrip yang tersimpan di maktabah atau koleksi pustaka
pribadi seorang Amir (pejabat) Najed, Hammad ibn ‘Amir ‘Abd
a1-Rasyid. Goldziher berpandangan bahwa naskah tersebut
ditemukan lantaran terjadi kebangkitan kembali percetakan pada
awal abad ke dua puluh. Bentuk tafsir yang sekarang ini adalah
ringkasan dari kitab aslinya.24

23 SaifulAmin Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur’an (Yogyakarta: Insan


Madani, 2007), 68.
24 Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir (Yogyakarta: Teras, 2004), 29.
37

2. Metode Penafsiran
Penafsiran al-Qur’an secara keseluruhan berawal pada abad keempat
hijriyah yang dipelopori oleh Ibn Jarīr al-Ṭabarī dalam karyanya Jāmi al-
Bayān ‘an Ta’wīl Ay al-Qur’ān. Dalam metode tafsirnya, ia menggunakan
sistem isnad yang bersandar pada hadits, pertanyaan sahabat dan tabi’in.
Hal inilah yang kemudian dikenal dengan tafsir bi al-matsur.25 Metode
yang digunakan oleh al-Ṭabarī pada kitab tafsirnya adalah metode tahlili,
yaitu suatu metode yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan
menjelaskan segala aspek yang terkandung di dalamnya dan urutannya
sesuai dengan tertib surah yang ada dalam mushaf Utsmani. Metode tafsir
ini juga menjelaskan tentang kosa kata atau susunan kalimat, munasabah
atau korelasi antar ayat maupun antar surah, menjelaskan asbāb al-Nuzūl,
dan mengutip dalil-dalil dari nabi, sahabat dan tabi’in. Metode tahlili ini
merupakan metode tafsir yang menganalisis ayat al-Qur’an dari berbagai
bidang keilmuan.26
Secara sederhana, metodologi tafsir al-Ṭabarī dapat dirumuskan
sebagai berikut: a). Menempuh jalan tafsir atau takwil, b). Melakukan
penafsiran ayat dengan ayat (munasabah ayat), c). Menafsirkan al-Qur’an
dengan al-Sunnah (bi al ma’tsur), d). Bersandar pada analisis bahasa
(lughoh) untuk kata yang riwayatnya diperselisihkan, e). Mengkaji syair
dan menganalisis prosa Arab (lama) ketika menjelaskan makna kosakata
dan kalimat, f). Memperhatikan aspek i’rab dengan proses pemikiran
analogis untuk ditashih dan tarjih, g). Menguraikan ragam qiraat dalam

25 Sofyan Saha, “Perkembangan Penulisan Tafsir al-Qur’an di Indonesia Era


Reformasi”. Jurnal Lektur Keagamaan, Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan
Balitbang Kemenag, vol.13, no. 1 (April, 2018): 61.
26 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, 6.
38

rangka mengungkap makna ayat, h). Memaparkan perdebatan di bidang


fiqih dan teori hukum islam (Ushul al-Fiqh) untuk kepentingan analisis
dan istinbath hukum, i). Mencermati munasabah (hubungan) ayat sebelum
dan sesudahnya, walaupun dalam kemampuan yang relatif kecil, j).
Melakukan penyesuaian antar makna ayat untuk memperoleh kejelasan
dalam rangka untuk mengambil makna secara utuh, k). Melakukan
kompromi (al-Jam’u) antar pendapat bila dimungkinkan selama tidak
bertentangan dari berbagai aspek termasuk kesesuaian kualitas sanad. 27

3. Sumber Penafsiran
Sumber penafsiran Tafsir al-Ṭabarī adalah bi al-ma’tsur, yaitu
penafsiran yang bersumber kepada ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat-
riwayat yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, pendapat para
sahabat, dan tabi’in. Namun, penafsiran al-Ṭabarī sedikit berbeda dan
lebih unggul dari pada para mufassir generasi sebelumnya. Karena beliau
tidak hanya mengutip riwayat Nabi Muhammad saw dan pendapat para
mufasir sebelumnya saja, melainkan juga mengkritisi mana riwayat yang
shahih dan tidak shahih serta mengutip pendapat yang paling kuat bila
terjadi perbedaan pendapat dikalangan sahabat dan tabi’in.
Tafsir al-Ṭabarī pembahasannya mencakup beberapa disiplin ilmu,
seperti kebahasaan, nahwu, syair dan ragam qira’at disertai dengan
pentarjihan terhadap riwayat qira’at-qira’at yang dikutip. Beberapa
disiplin yang dibahas ini salah satunya berfungsi untuk memperjelas
makna kata atau ayat dalam al-Qur’an yang akan dibahas. Ia juga

27 Muhammad Yusuf, Studi Kitab Tafsir, 33.


39

menyeleksi dan memilih keterangan atau pendapat yang menurut beliau


paling kuat diantara pendapat lain yang dikutip.
4. Corak Penafsiran
Tafsir al-Ṭabarī tidak memiliki corak khusus dalam penafsiran.
Karena, beliau menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan riwayat
meskipun sering kali beliau melakukan tarjih terhadap riwayat dan
pendapat yang dikutip.28 Beliau menafsirkan berdasarkan pandangan
sahabat dan tabi’in yang diriwayatkan secara lengkap dengan metode
tafsir bi al-ma’tsur. Beliau juga menggunakan pendekatan komparasi
kritis yaitu menjelaskan segala riwayat atau pendapat yang berkaitan
dengan ayat yang ditafsirkan kemudian mentarjihkan. Pendekatan bahasa
pun digunakan jika hal itu dianggap penting, terutama dalam aspek
i’rabnya. Begitu pula dengan pendekatan fiqih yang biasanya digunakan
dalam mengistinbathkan suatu hukum dalam tafsirnya. Ia juga
meriwayatkan kisah kisah- israiliyat, tetapi beliau tetap memberikan sikap
yang kritis dalam pembahasannya. Ada sebagian yang berpendapat bahwa
dalam tafsir al-Ṭabarī menggunakan corak fiqih karena adanya istinbath
hukum yang kuat dalam penafsirannya. Tetapi ada pula yang mengatakan
tafsir al-Ṭabarī ini tidak memiliki corak khusus karena banyak penjelasan
dari al-Ṭabarī ini sangat lengkap dan mencakup semuanya.
Al-Ṭabarī menggunakan metode ilmiah yang memiliki unsur-unsur
yang jelas dan sempurna. Beliau menggunakan antara riwayat, dirayat dan
ashalah (keotetikan). Sisi riwayatnya didapatkan dari sejarah, sirah
nabawiyah, bahasa, syair, qira’at, dan ucapan orang-orang terdahulu.
Adapun sisi riwayat beliau peroleh dari perbandingannya terhadap
28 Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-

Modern, 11.
40

pendapat-pendapat para fuqaha setelah ia ketahui dalil dari masing-masing


para fuqaha dan cara pentarjihannya. Satu hal yang mempertajam sisi
dirayahnya adalah karena ia pandai ilmu perdebatan (ilmu jadal), yaitu
ilmu yang menjadi sasaran untuk mengadu dalil dan argumentasi, dimana
al-Ṭabarī adalah sebagai pakarnya.29
5. Sistematika Penafsiran
Sistematika penafsiran al-Ṭabarī adalah mengawali penafsirannya
dengan menyebutkan nama surah terlebih dahulu dan penjelasan asbāb al-
Nuzūl. Jika ayat itu memiliki asbāb al-Nuzūl, maka selanjutnya masuk ke
penafsiran surah atau ayat al-Qur’an dengan menampilkan riwayat-riwayat
dari Nabi Muhammad saw, sahabat dan tabi’in pada setiap penafsirannya.
Al-Ṭabarī tidak menjelaskan kategori surah-surah dalam al-Qur’an,
apakah surah tersebut termasuk ke dalam surah Makkiyah atau
Madaniyah. Jika ayat al-Qur’an yang dibahas mengandung perbedaan,
maka beliau menjelaskannya. Apabila terdapat perbedaan riwayat tentang
makna kata dari suatu ayat al-Qur’an, ia menampilkan terlebih dahulu
perbedaan tersebut lalu melakukan tarjih (memilih riwayat atau pendapat
yang paling kuat) terhadap riwayat atau pendapat yang dikutip.
Menurut al-Ṭabarī, Kitab Tafsir Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay al-
Qur’ān adalah karya terbesarnya. Dalam kitab tafsir tersebut, yang
dijelaskan adalah latar belakang lahirnya kitab tafsir itu lalu menerangkan
ayat-ayat yang sesuai dengan dialek-dialek yang dikenal pada saat itu dan
dialek bangsa lain yang digunakan oleh al-Qur’an, yaitu bahasa arab.
Terkait tentang ayat-ayat hukum, al-Ṭabarī menjelaskan berdasarkan
hadis, pendapat para sahabat dan tabi’in lalu mentarjih dari beberapa
29 Amaruddin, “Mengungkap Tafsir Jāmi’ al-Bayān fī Tafsir al-Qur’ān Karya al-

Ṭabarī”. Jurnal Syahadah, vol.2, no. 2 (Oktober 2014): 12.


41

pendapat yang diperdebatkan diantara mereka. Tetapi, ia tidak mentarjih


jika pendapat tersebut diperselisihkan oleh sahabat. Ia hanya memilih dari
beberapa pendapat yang ada atau pendapat yang dianggapnya lebih kuat
terutama dari segi sanad.30

D. Pendapat Para Ulama tentang Ibn Jarīr al-Ṭabarī dan Kitab


Tafsirnya
Beberapa ulama mendefinisikan tentang sosok Ibn Jarīr al-Ṭabarī
dan kitab tafsirnya. Imam Suyuthi berpendapat bahwa kitab karangan Ibn
Jarīr al-Ṭabarī adalah kitab tafsir yang paling mulia dan terbesar. Kitab
tersebut menerangkan pendapat-pendapat para ulama dan menyatakan
salah satu pendapat yang paling benar serta menerangkan i’rab dan
istinbath ayat. Kitab tafsir tersebut adalah kitab yang lebih tinggi daripada
kitab-kitab tafsir sebelumnya dan juga telah mengumpulkan antara
pendapat dan riwayat yang tidak seorang pun yang sebelum atau
sesudahnya mengarang seperti ini.
Al-Khatib mengatakan bahwa Ibn Jarīr al-Ṭabarī adalah salah satu
imam dan pemimpin umat, perkataannya dapat dijadikan hukum dan
pendapatnya dapat dijadikan rujukan. Hal ini karena keilmuan dan
kelebihan yang dimilikinya. Al-Ṭabarī memiliki berbagai macam ilmu
pengetahuan yang tidak ada bandingannya pada masa itu. Ia adalah
seorang penghafal al-Qur’an dan mengenal sunnah-sunnah dari segi
perawinya maupun kedudukannya baik yang shahih maupun tidak. Ia
mengetahui perkataan para sahabat dan tabi’in serta ulama penerusnya. Ia

30 A.Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir: Kumpulan Kitab-ki t a b


Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer (Jawa barat: Lingkar Studi al-
Qur’an, 2013), 9.
42

juga mengetahui tentang masalah yang dihalalkan dan yang diharamkan,


dan mengetahui tentang sejarah dan kisah masa lalu. 31
Ignaz Goldziher mengatakan bahwa al-Ṭabarī merupakan salah satu
diantara sekian banyak pemikir Islam di sepanjang masa. Di Barat pun
prestasinya yang cemerlang sangat dihargai, karena diantara banyak
keahliannya, beliau merupakan bapak sejarah Islam. Kitab tafsir ini
merupakan sumber primer yang paling kaya dalam kajian tentang masa-
masa awal dalam sejarah islam.32
Abu al-Abbas bin Juraij juga berpendapat bahwa Muhammad Ibn
Jarīr al-Ṭabarī adalah seorang faqih yang alim. Kehati-hatian beliau dapat
dilihat dari perkataannya, ia berkata bahwa dirinya beristikharah kepada
Allah Swt sebelum mengarang kitab tafsir tersebut. Ia sudah mempunyai
niat tiga tahun sebelum membuat buku tafsir itu dan meminta pertolongan
Allah, kemudian Allah menolongnya sehingga ia dapat membuat tafsir
tersebut.33 Syaikh Ibnu Taimiyyah berkata bahwa adapun tafsir yang ada
di tangan manusia dan yang paling shahih adalah Tafsir Muhammad bin
Jarīr al-Ṭabarī. Sebab tafsir tersebut menyebutkan perkataan para salaf
dengan sanad-sanad yang terpercaya dan didalamnya tidak terdapat
bid’ah. Al-Ṭabarī tidak menukil dari orang-orang yang tertuduh
berbohong, seperti Muqatil bin Bukair dan al-Kalbi.34 Oleh karena itu,
tafsirnya dipandang setinggi-tinggi tafsir bi al-ma’tsur dan seshahih-

31 A. Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir: Kumpulan Kitab-ki t a b

Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer, 5.


32 Lihat Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir dari Klasik Hingga Modern (Yogyakarta:

ElSaq Press, 2006), 112.


33 Lihat Mani’ Abd Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif

Metode Para Ahli Tafsir (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 65.
34 Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah dan Syi’ah, jilid I (Jakarta: Pustaka a l-

Kautsar, 2001): 543.


43

shahihnya. Para ulama mengakui bahwa tafsir Ibn Jarīr al-Ṭabarī tak ada
bandingannya.
Al-Nawawi dalam Tahdzibnya juga mengatakan bahwa Kitab Ibn
Jarīr al-Ṭabarī dalam bidang ilmu tafsir adalah kitab yang tak ada
bandingannya.”35 Pada masanya, al-Ṭabarī menguasai banyak ilmu yang
tak seorang ulama pun bisa seperti dirinya. Beliau mampu menghafal al-
Qur’an beserta qiraatnya dan mengetahui makna serta hukum-hukum yang
dikandungnya. Ibnu Khalkan berpendapat bahwa Abu Ja’far al-Ṭabarī
adalah ulama besar yang telah mengeluarkan karya dalam bidang tafsir
dan sejarah. Beliau merupakan imam dalam berbagai disiplin ilmu yang
ilmunya dituangkan dalam bentuk karya. Karya-karya tersebut
menunjukkan bahwa Imam al-Ṭabarī merupakan sosok yang kaya dan
dalam ilmunya. Oleh karena itu, dia adalah imamnya para imam. Al-Qifti
berkata: “Imam al-Ṭabarī adalah Imam yang mempunyai banyak ilmu,
jarang dijumpai orang seperti dirinya yang ada di setiap masa. Beliau
berkarya dalam bidang sejarah dan tafsir. Karya-karyanya tersebut sudah
masyhur dalam masyarakat. Beliau juga memiliki syair diatas syair-syair
para ulama”.
Ibnu Katsir mengatakan bahwa al-Ṭabarī adalah satu diantara sekian
banyak ulama yang menguasai dan mempraktikkan Kitab Allah, al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah Saw. Dan al-Dzahabi mengatakan bahwa al-
Ṭabarī adalah orang yang hafizh, shadiq dan tsiqah. Beliau merupakan
tokoh terdepan dalam dunia tafsir, imam dalam bidang fiqih dan ijma’
serta dalam masalah ikhtilaf (perbedaan). Selain itu, beliau juga memiliki

35 T.M. Hasbi al Shiddieqy, Ilmu-ilmu al-Qur’an (Jakarta: NV. Bulan Bintang,

1972), 222.
44

ilmu yang sangat luas. Dalam bidang sejarah menguasai ilmu qira’at al-
Qur’an, bahasa dan berbagai disiplin ilmu yang lain”. 36

36 Syaikh Ahmad Farid, 60 Biografi Ulama Salaf, 602.


BAB III
SABAR DAN RASA SYUKUR PADA KISAH NABI DALAM AL-
QUR’AN

A. Ayat-ayat Sabar dan Syukur dalam al-Qur’an


1. Ayat-ayat Sabar dalam al-Qur’an
Sabar merupakan akhlak mulia yang banyak disebutkan di dalam al-
Qur’an pada ayat dan surah-surahnya, baik makkiyah maupun
madaniyyah.1 Dapat dikatakan bahwa sabar adalah sesuatu yang penting
dan sabar bukanlah hal pelengkap, tetapi hal yang dibutuhkan oleh setiap
manusia untuk meningkatkan kualitas mental, moral, dan spiritualnya.
Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah ayat atau kata sabar
di dalam al-Qur’an. Dalam hitungan para ulama, kata sabar di dalam
al-Qur’an disebutkan sebanyak tujuh puluh ayat atau seratus kata lebih.
Abu Thalib al-Makki menyebutkan bahwa kata sabar dalam al-Qur’an
disebutkan lebih dari sembilan puluh kali. Sedangkan Abu Hamid al-
Ghazali, menyebutkan kata sabar dalam al-Qur’an lebih dari tujuh puluh
tempat.2
Dalam Kitab al-Mu’jam al-Mufahras li al-fadẓ al-Qur’ān, asal kata
‫ر‬- ‫ص –ب‬ disebutkan dalam al-Qur’an lebih dari seratus kali, di
antaranya sebagai berikut:3

1 Syofrianisda, Tafsir Maudhu’i (Yogyakarta: Deepublish, 2015), 7.


2 Sopyan Hadi, “Konsep Sabar dalam al-Qur’an”. Jurnal Madani: Ilmu
Pengetahuan Teknologi dan Humaniora, vol.1, no.2 (Oktober 2018): 475.
3 Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fadẓ al-Qur’ān

(Beirut: Dar a l-Fikr 1981), 400.

45
46

Tabel 3.1 Ayat-ayat tentang sabar dalam al-Qur’an.


NO. TERM AL-QUR’AN SURAT DAN AYAT AL-
QUR’AN
1. َ‫ب‬
ََ ‫ص‬
َ -Qs. al-Syūrā: 43
-Qs. al-Ahqāf: 35.

2. َ‫صَ َ ْبُْت‬ -Qs. al-Ra’d: 24.


-Qs. al-Nahl: 126.

3. َ‫ص ََْبن‬
َ -Qs. Ibrāhīm: 21.
-Qs. al-Furqān: 42.

4. ‫بوا‬
ُ َ ‫ص‬.
َ -Qs. al-An’ām: 34.
-Qs. al-A’rāf: 137.
-Qs. Hūd: 11.
-Qs. al-Ra’d: 22.
-Qs. al-Nahl: 42, 96, 110.
-Qs. al-Mu’minūn: 111.
-Qs. al-Furqān: 75.
-Qs. al-Qashash: 54.
-Qs. al-Ankabūt: 59.
-Qs. al-Sajdah: 24.
-Qs. al-Fusshilāt: 35.
-Qs. al-Hujurāt: 5.
-Qs. al-Insān: 12
5. ُ ِ‫ص‬
َ‫ب‬ ْ َ‫ت‬ -Qs. al-Kahfi: 68.

6. ‫بوا‬ٌ ِ‫ص‬
ْ َ‫ت‬ -Qs. āli-Imrān: 120, 125, 186.
-Qs. an-Nisā: 25.
47

-Qs. al-Thūr: 16.

7. َ‫بْون‬ ُ ِ‫ص‬ْ َ‫أَت‬ -Qs. al-Furqān: 20.


8. ََ ِ ‫ص‬
‫ب‬ ْ َ‫ن‬ -Qs. al-Baqarah: 61.
9. َ ِ‫ص‬
‫ب َن‬ ْ َ‫َولَن‬ -Qs. Ibrāhīm: 12.

10. ْ ِ‫ص‬
َ‫ب‬ ْ َ‫ي‬ -Qs. Yūsuf: 90.
11. ‫بوا‬ ُ ِ‫ص‬ْ َ‫ي‬ -Qs. al-Fusshilāt: 24.

12. َْ ِ ‫َص‬
‫ب‬ ْ ‫أ‬ -Qs. Yūnus: 109.
-Qs. Hūd: 49, 115.
-Qs. al-Nahl: 127.
-Qs. al-Kahfi: 68.
-Qs. Tāhā: 130.
-Qs. al-Rūm: 60.
-Qs. Luqmān: 17.
-Qs. Shād: 18.
-Qs. Ghāfir: 55, 77.
-Qs. al-Ahqāf: 30.
-Qs. Qāf: 39.
-Qs. al-Thūr: 48.
-Qs. al-Qolām: 48.
-Qs. al-Ma’arij: 5.
-Qs. al-Muzammil:10.
-Qs. Qāf: 39.
-Qs. al-Thūr: 48.
-Qs. al-Qolām: 48.
-Qs. al-Ma’arij: 5.
48

-Qs. al-Muzammil:10.
-Qs. al-Mudatsir: 7.
-Qs. al-Insān: 24.
13. ُ ِ‫ص‬
‫بو‬ ْ َ‫ا‬ -Qs. āli-Imrān: 200.
14. ُ ِ‫اص‬
‫بوا‬ ْ َ‫ف‬ -Qs. al-A’rāf: 87, 128.
-Qs. al-Anfāl: 46.
-Qs. Shād: 6.
-Qs. al-Thūr: 16.
15. ‫صَابِ ُروا‬ -Qs. āli-Imrān: 200.

16. َ‫ب ُه ْم‬


َْ ‫ص‬
َ َ‫ماا‬ -Qs. al-Baqarah: 175.
17. َْ َِ‫صط‬
‫ب‬ ْ َ‫ا‬ -Qs. Maryam: 19.
-Qs. Thāhā: 132.
-Qs. al-Qamar: 27.
18. َ‫ب‬
ُ ْ ‫الص‬
َّ -Qs. al-Baqarah: 45, 153.
-Qs. Yūsuf: 18, 83.
-Qs. al-Balad: 17.
-Qs. al-‘Ashr: 3.
19. ‫با‬
ًْ ‫ص‬
َ -Qs. al-Baqarah: 250.
-Qs. al-A’rāf: 126.
-Qs. al-Kahfi: 67, 72, 75, 78,
82.
-Qs. al-Ma’arij: 5.
20. ‫ب ََك‬
ُْ ‫ص‬َ -Qs. al-Nahl: 127.
21. ‫صابِ ًرا‬
َ -Qs. al-Kahfi: 69.
-Qs. Shād: 44.
22. َ‫الصَّابِ ُرون‬ -Qs. al-Anfāl: 65.
49

-Qs. al-Qashash: 70.


-Qs. al-Zumar: 10.
23. َ‫الصَّابِرِيْ َن‬ -Qs. al-Baqarah: 53, 155, 177,
249.
-Qs. āli-Imrān: 17, 142, 146.
-Qs. al-Anfāl: 46, 66.
-Qs. al-Nahl: 126.
-Qs. al-Anbiyā’: 85.
-Qs. al-Hajj: 35.
-Qs. al-Ahzāb: 35.
-Qs. al-Shāffat: 102.
-Qs. Muẖammad: 31.
24. ٌ‫صابَِرَة‬َ -Qs. al-Anfāl: 66.
25. َِ ‫الصَّابِ َر‬
‫ات‬ -Qs. al-Ahzāb: 35.
26. َ‫صبَّار‬
َ -Qs. Ibrāhīm: 5.
-Qs. Luqmān: 31.
-Qs. Sabā’: 19.
-Qs. al-Syūrā: 33.
Perbedaan perhitungan di atas tidak bertentangan. Karena di dalam
satu tempat terkadang asal kata ‫َر‬- َ ‫ ص َ – َب‬disebutkan lebih dari satu
kali, sebagian ulama menganggapnya satu tempat dan sebagian lainnya
menganggap dua tempat atau lebih.4
Menurut al-Qardhawi, adanya perbedaan yang terjadi di kalangan
para ulama dalam menentukan jumlah kalimat sabar yang terdapat di
dalam al-Qur’an bukan berarti terdapat konflik di dalam al-Qur’an itu

4 Syofrianisda, Tafsir Maudhu’i, 11.


50

sendiri. Perbedaan tersebut terjadi karena dalam beberapa ayat terdapat


dua kalimat sabar atau lebih yang sebagian ulama menghitungnya satu dan
sebagian yang lain menghitungnya dua atau lebih.5
2. Ayat-ayat Syukur dalam al-Qur’an
Kalimat syukur dalam berbagai bentuknya ditemukan di berbagai
ayat dan surah dalam al-Qur’an.6 Di dalam Kitab al-Mu’jam al-Mufahras
li al-Fadẓ al-Qur’ān, asal kata ‫ ر‬- ‫ش – َك‬ disebutkan di antaranya
sebagai berikut:7
Tabel 3.2 Ayat-ayat Syukur dalam al-Qur’an.
NO. TERM AL-QUR’AN SURAT DAN AYAT AL-QUR’AN

1. َ‫تَ ْش ُك ُرون‬ -Qs. al-A’rāf: 10.


-Qs. al-Anfāl: 26.
-Qs. al-Nahl: 14, 78.
-Qs. al-Hajj: 36.
-Qs. al-Mu’minūn: 78.
-Qs. al-Qashash: 73.
-Qs. al-Rūm: 46.
-Qs. al-Sajdah: 9.
-Qs. Fathir: 12.
-Qs. al-Jātsiyah: 12.
-Qs. al-Wāqi’ah: 70.
-Qs. al-Mulk: 23
2. َ‫يَ ْش ُك ُر‬ -Qs. al-Naml: 40.

5 Sopyan Hadi, “Konsep


Sabar dalam al-Qur’an, 475.
6 Choirul
Mahfud, “The Power Of Syukur: Tafsir Kontekstual Konsep Syukur
dalam al-Qur’an”. Jurnal Episteme Pengembangan Ilmu Pengetahuan , vol.9, no.2
(Desember 2014): 383.
7 Muhammad Fuad Abdul Baqi, al-Mu’jam al-Mufahras li al-fazh al-Qur’ān, 386.
51

-Qs. Luqmān: 12.


3. َ‫يَ ْش ُك ُرون‬ -Qs. al-Baqarah: 243.
-Qs. al-A’rāf: 58.
-Qs. Yūnus: 60.
-Qs. Yūsuf: 38.
-Qs. Ibrāhīm: 37.
-Qs. al-Naml: 73.
-Qs. Yāsin: 35.
-Qs. Ghāfir: 61.
4. َ‫اَ ْش ُك ْر‬ -Qs. al-Luqmān: 12, 14.
5. ‫اَ ْش ُك ُرؤا‬ -Qs. al-Baqarah: 152, 172.
-Qs. al-Nahl: 114.
-Qs. al Ankabūt: 17.
-Qs. Sabā: 15.
6. ‫ْرا‬
ً ‫ُشك‬ -Qs. Sabā: 13.
-Qs. al-Furqān: 62.
-Qs. al-Insān: 9.
7. ‫ورا‬
ً ‫ُش ُك‬ -Qs. al-Isrā: 3.
-Qs. al-Furqān: 62.
8. َ‫اكِ ٌر‬
َ ‫َش‬ -Qs. al-Baqarah: 158.

9. ‫َشاكِ ًرا‬ -Qs. al-Nisā: 147.


-Qs. al-Nahl: 121.
-Qs. al-Insān: 3.
10. َ‫اكِ َُر ْون‬
َ ‫َش‬ -Qs. al-Anbiyā’: 80.
11.
‫الشاكِرِيْ ََن‬َّ -Qs. āli-Imrān: 144, 145.
-Qs. al-An’ām: 53, 63.
-Qs. al-A’rāf: 17, 144, 189.
52

-Qs. Yūnus: 22.


-Qs. al-Zumar: 66.
12. َ‫َش ُكور‬ -Qs. Ibrāhīm: 5.
-Qs. Luqmān: 31.
-Qs. Sabā: 13, 19.
-Qs. Fāthir: 30, 34.
-Qs. al-Syūrā: 23, 33.
-Qs. al-Taghābun: 17.
13. ‫ورا‬
ً ‫َش ُك‬ -Qs. al-Isrā: 3.

14. ‫ورا‬
ً ‫َم ْش ُك‬ -Qs. al-Isrā: 19.
-Qs. al-Insān: 22.

Dari tabel di atas, kalimat syukur yang terdapat di dalam al-Qur’an


salah satunya adalah kalimat “Syukuran” yang terdapat pada surah al-
Furqān ayat 62. Ayat syukur ini seringkali ditafsirkan bahwa Allah yang
telah menciptakan siang dan malam silih berganti. Dalam menafsirkan
ayat tersebut, Ibnu Katsir berpendapat bahwa Allah Yang Maha Agung
menjadikan siang dan malam silih berganti yang semuanya itu adalah
sebagai tanda-tanda kekuasaan-Nya dan seharusnya diperhatikan serta
direnungkan oleh orang-orang yang ingat dan bersyukur kepada-Nya.8
Kemudian terdapat kalimat “Syakara” yang diungkap pada surah
Ibrāhīm ayat 7. Dalam konteks ini, kalimat “Syakara” sebagai asal mula
kalimat syukur dan diartikan “menampakkan nikmat”. Abu Ja’far al-
Ṭabarī mengatakan bahwa jika kalian bersyukur dan menaati Allah
dengan syukur, maka Allah akan tambahkan faktor-faktor yang dapat

8 Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4 (Jakarta: Darus

Sunnah, 2014), 1015.


53

membantu untuk bersyukur.9 Para mufasir juga menjelaskan bahwa ayat ini
mengandung perintah untuk mengingat Allah dan patuh kepada-Nya.
Selain kalimat syukur, di dalam al-Qur’an juga terdapat kata
“Syakūr”. M. Quraish Shihab menegaskan bahwa terdapat hamba-hamba
Allah yang syakur meskipun tidak banyak, sebagaimana firman-Nya di dalam
surah Sabā’ ayat 13:10

‫ان كا ْْلواب وقدورٍ َّراسيَّ ٍاٍت ْعملوا‬


ٍ ‫ي ْعملون له مايشآء من ََّّماريْب وَتاث ْيل وجف‬
ْ ْ
َّ ‫ْرا وقل ْيل ِّم ْن عبادي‬
‫الشك ْور‬ ً ‫ءال داود شك‬
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari
gedung-gedung yang tinggi dan patung-patung dan piring-piring
yang besarnya seperti kolam dan periuk yang tetap berada di atas
tungku. Bekerjalah hai keluarga Daud untuk bersyukur kepada
Allah. Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima
kasih.” (Qs. Sabā: 13(
Manusia yang bersyukur terhadap manusia atau makhluk yang lain
adalah yang memuji kebaikan serta membalasnya dengan sesuatu yang
lebih baik atau lebih banyak dari apa yang telah dilakukan terhadap yang
disyukurinya itu. Hal yang demikian merupakan bagian dari syukur
kepada Allah.11 Rasulullah saw bersabda:

‫وم ْن َلْ ي ْشكر النَّاس َلْ ي ْشكر للا‬


“Dan siapa yang tidak pandai berterima kasih (bersyukur) atas
kebaikan manusia, maka ia pun tidak akan pandai mensyukuri Allah.
Sebab, kebaikan orang lain yang diterimanya itu bersumber dari
Allah”. (H.R Abu Daud)

9 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, 440.


10 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbāh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 359.
11 Choirul Mahfud, “The Power Of Syukur: Tafsir Kontekstual Konsep Syukur

dalam al-Qur’an, 383.


54

Menurut Penulis, penafsiran ayat-ayat sabar dan syukur yang


terdapat dalam al-Qur’an dapat menginspirasi untuk menafsirkan ayat
secara relevan agar tidak terjebak pada pemahaman yang sempit dan kaku.

B. Definisi Makna Sabar dan Syukur dalam al-Qur’an


1. Makna dan Hakikat Sabar dalam al-Qur’an
Kalimat sabar berasal dari kata ‫ صِبا‬- ‫صِب – يصِب‬ yang berarti
sabar, tabah hati dan berani.12 Dalam Kamus Bahasa Indonesia, sabar
adalah tabah menghadapi cobaan, tidak tergesa-gesa dan tidak terburu-
buru.13 Dalam Lisan al-‘Arab, kata sabar digunakan untuk
menggambarkan sifat Allah yang menahan azab untuk hamba-hamba-Nya
yang berbuat maksiat.14 Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sabar artinya
menahan diri dari rasa gelisah, cemas dan amarah, menahan lidah dari
keluh kesah dan menahan anggota tubuh dari kekacauan. 15 Menurut
Quraish Shihab, sabar merupakan sesuatu kekuatan jiwa yang membuat
orang menjadi tabah ketika menghadapi kesulitan dalam melaksanakan
pekerjaan yang baik atau ketika berupaya mengatasi perasaan tidak puas
karena terhambat dari sebuah kesenangan. Karena, untuk memperolehnya
harus melalui cara yang bertentangan dengan kebenaran.16 Sabar
merupakan sikap mental dan jiwa yang terlatih dalam menghadapi segala
bentuk cobaan, tumbuh atas ketabahan dan menerima dengan ikhlas,

12 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penafsiran al-Qur’an, 1973), 211


13 Departemen Pendidikan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. III

(Jakarta: Bala i Pustaka, 1990), 763.


14 Ibnu Mandzur, Lisan al-‘Arab (Kairo: Darul Ma’arif, 1119), 2391.
15 Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah:

Penjabaran Konkrit: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, terj. Kathur Suhardi (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2003), 206.
16 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi (Bandung: Mizan, 2007), 165.
55

menahan diri dari hawa nafsu dan segala cobaan yang menimpa serta
selalu taat kepada perintah-Nya agar memperoleh kebahagiaan di dunia
dan akhirat.17
Fakhruddin al-Razi berkata bahwa sabar adalah membawa jiwa
untuk meninggalkan sifat untuk berkeluh-kesah. Jika seseorang dapat
mengendalikan diri dan amarahnya maka ia disebut orang yang sabar. 18
Abu Hayyan berkata bahwa sabar adalah menahan jiwa dari hal-hal yang
dibenci oleh Allah swt.19 Sebagaimana yang dikutip oleh al-Qurthubi
makna sabar adalah meminta pertolongan kepada Allah swt. 20 Abu Abbas
al-Anjari berpendapat bahwa sabar adalah menahan nafsu agar dapat
menaati hukum Tuhan. Ibn ‘Asyur berpandangan bahwa sabar adalah
sebab kesuksesan dalam berjuang dan memperoleh pertolongan Allah
swt.21 Wahbah al-Zuhaili berpendapat bahwa sabar adalah cinta kepada
Allah ta’ala dan takut akhirat.22
Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi, di dalam al-Qur’an terdapat
banyak aspek kesabaran, diantaranya:23
1. Sabar terhadap Petaka Dunia
Cobaan hidup baik fisik maupun non fisik, akan menimpa semua
orang. Baik berupa lapar, haus, sakit, rasa takut kehilangan orang-orang
yang dicintai, kerugian harta benda dan lain sebagainya. Cobaan seperti itu

17 Syofrianisda, TafsirMaudhu’i, 01.


18 Lihat Fakhr al-Din al-Razi, Mafatih al-Ghaib, jilid 4 (Beirut: Dar Ihya al-Turats
al-‘Arabi, 1420 H), 131.
19 Lihat Abu Hayyan Muhammad Ibn Yusuf, al-Bahr al-Muhith, jilid 3 (Beirut:

Dar al-Fikr, 1420 H), 323.


20 Abu ‘Abdillah al-Qurthubi, al-Jāmi’ li Ahkam al-Qur’ān, jilid 2 (Kairo: Dar al-

Kutub al-Mishriyyah, 1384 H), 174.


21 Ibn ‘Asyur, al-Tahrīr wa al-Tanwīr, jilid 4 (Tunisia: Dar al-Tunisi, 1984), 107.
22 Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir wa al-Wasith, jilid 2 (Damaskus: Dar al-Fikr, 1422

H), 1027.
23 Yusuf Qardhawi, al-Qur'an Menyuruh Kita Sabar, terj. Aziz Salim Basyarahil

(Jakarta: Gema Insani Press, 1990), 39.


56

bersifat alami dan manusiawi. Oleh sebab itu, tidak ada seorang pun yang
dapat menghindari. Yang diperlukan adalah menerimanya dengan penuh
kesabaran dan memasrahkan segala sesuatunya kepada Allah swt. Firman
Allah:
ِۗ ٍ ‫ولن ْب لونَّك ْم بش ْي ٍء ِّمن ا ْْل ْوف وا ْْل ْوع ون ْق‬
‫شر‬
ِّ ‫ص ِّمن ْاْل ْموال و ْاْل ْن فس والثَّم ٰرت وب‬
ِۗ
﴾١٥٦﴿ ‫﴾ الَّذيْن اذآ اصاب ْته ْم مُّصْي بة ِۗ قال ْوٓا ا ََّن ِّّٰلل واَنَّٓ ال ْيه ٰرجع ْون‬١٥٥﴿ ‫الصِبيْن‬ ِّٰ ۤ
ۤ
﴾١٥٧﴿ ‫اولٰ ِٕىك عل ْيه ْم صل ٰوت ِّم ْن َّرِّّب ْم ور ْْحة ِۗواولٰ ِٕىك هم الْم ْهتد ْون‬
”Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan
sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu)
orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata “Inna
lillahi wa inna ilaihi raji‘un” (sesungguhnya kami milik Allah dan
kepadaNyalah kami kembali). Mereka itulah yang memperoleh
ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang
yang mendapat petunjuk.” (Qs. al-Baqarah: 155-157)

2. Sabar terhadap Gejolak Nafsu

Hawa nafsu menginginkan segala macam kenikmatan hidup,


kesenangan dan kemewahan dunia. Untuk mengendalikan segala
keinginan itu diperlukan kesabaran. Jangan sampai semua kesenangan
hidup dunia membuat seseorang lupa diri, apalagi lupa dengan Sang
Pencipta. Al-Qur’an telah mengingatkan, jangan sampai harta benda dan
anak-anak menjadikan seseorang lalai dalam mengingat Allah. Allah
berfirman:
‫ّيأيُّها الَّذين ءامنوا ْلت لْهك ْم أ ْموالك ْم وآلأ ْوْلدك ْم ع ْن ذ ْكر للا وم ْن ي ْفع ْل ذلك‬
‫فأ ْولئك هم ا ْْلاسرون‬
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah harta bendamu dan
anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Dan
57

barangsiapa berbuat demikian, maka mereka itulah orang-orang


yang rugi.” (Qs. al-Munafiqūn: 9)

3. Sabar dalam Taat kepada Allah Swt.


Dalam mentaati perintah Allah, terutama dalam beribadah kepada-
Nya diperlukan kesabaran. Allah berfirman:

ِۗ
‫ِب لعبادته ه ْل ت ْعلم له ْس ًيا‬
ْ ‫اصط‬
ْ ‫الس ٰم ٰوت و ْاْل ْرض وما ب ْي نهما فا ْعب ْده و‬
َّ ‫ب‬ُّ ‫ر‬
“Dialah Tuhan (yang menguasai) langit dan bumi dan segala yang
ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah
dalam beribadah kepada-Nya. Apakah engkau mengetahui ada
sesuatu yang sama dengan-Nya?.” (Qs. Maryam: 65)

Penggunaan kata ‫ِب‬


ْ ‫اصط‬
ْ ‫و‬ menunjukkan bahwa dalam beribadah
diperlukan kesabaran yang berlipat ganda, karena banyaknya rintangan
yang datang baik dari dalam maupun luar diri.24
4. Sabar dalam Berdakwah
Jalan dakwah adalah jalan panjang dan berliku-liku yang penuh
dengan segala kesulitan dan rintangan. Seseorang yang melalui jalan itu
harus memiliki kesabaran. Luqman al-Hakim menasehati putranya agar
bersabar menerima cobaan dalam berdakwah. Hal tersebut terdapat dalam
Surah al-Luqmān: ayat 17:
ِۗ
‫ِب ع ٰلى مآ اصابك ا َّن‬ ْ ‫ن اقم الصَّ ٰلوة وأْم ْر ِبلْم ْعر ْوف وانْه عن الْم ْنكر و‬
ْ ‫اص‬ َّ ‫ٰي ب‬
‫ٰذلك م ْن ع ْزم ْاْلم ْور‬
“Wahai anakku! Laksanakanlah shalat dan suruhlah (manusia)
berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpamu, sesungguhnya yang
demikian itu termasuk perkara yang penting.” (Qs. Luqmān: 17)

5. Sabar dalam Pergaulan

24 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak (Yogyakarta: LPPI, 2004), 134.


58

Dalam pergaulan sesama manusia baik antara orang tua dengan


anak, suami dengan istri, tetangga dengan tetangga, guru dan murid, atau
dalam masyarakat yang lebih luas akan ditemui hal-hal yang tidak
menyenangkan atau menyinggung perasaan. Oleh karena itu, dalam
pergaulan sehari-hari diperlukan kesabaran agar tidak cepat marah atau
memutuskan hubungan apabila menemui hal-hal yang tidak disukai.
Firman Allah dalam surah an-Nisā ayat 19:

ۤ
ٓ‫ّٰٓييُّها الَّذيْن اٰمن ْوا ْل َيلُّ لك ْم ا ْن ترثوا النِّساء ك ْر ًها ِۗ وْل ت ْعضل ْوه َّن لت ْذهب ْوا بب ْعض ما‬
‫اٰت ْي تم ْوه َّن اَّْلٓ ا ْن ََّّيْت ْْي بفاحشةٍ مُّب يِّنةٍ َۚ وعاشر ْوه َّن ِبلْم ْعر ْوف َۚ فا ْن كر ْهتم ْوه َّن ف ع ٰسٓى‬
‫يا‬
ً ْ ‫يا كث‬ ِّٰ ‫ا ْن تكْره ْوا ش ْيًا َّو َْيعل‬
ً ْ ‫اّلل ف ْيه خ‬
“Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi
perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan
mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang
telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan
perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut
cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka
bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya.” (Qs. an-
Nisā: 19)

Adapun hakikat sabar adalah perilaku jiwa mulia yang dapat


menahan diri dari perbuatan yang tidak baik. Sabar adalah kekuatan jiwa
yang dapat mendatangkan kebaikan bagi dirinya dan perbuatannya. 25
Sabar yang sebenarnya adalah dapat bersikap dan menerima segala
sesuatu yang telah menjadi ketetapan Tuhannya dan diiringi dengan upaya
yang cukup tangguh dalam menghadapinya.26 Bagi orang yang telah
menanamkan sikap sabar dan syukur dalam jiwanya, segala yang datang

25 Khalilal-Musawi, Bagaimana Membangun Kepribadian Anda (Jakarta: Lentera


Hati, 1999), 26.
26 Yunasril Ali, Pilar-pilar Tasawuf, 86.
59

dari Allah adalah nikmat bagi dirinya. Rasulullah Saw bersabda, bahwa
beliau menyebutkan ada tiga macam kesabaran, yaitu sabar terhadap
musibah, sabar dalam mentaati Allah dan sabar dalam menjauhi maksiat. 27
Pada suatu hari Rasulullah didatangi malaikat jibril, ia
menyampaikan pertanyaan Allah untuknya: “Manakah yang paling engkau
sukai, menjadi nabi yang kaya raya seperti Nabi Sulaiman atau menjadi
nabi miskin seperti Nabi Ayyub?” lalu Rasulullah menjawab: “Saya lebih
suka makan sehari dan lapar sehari.” Jibril bertanya:”Mengapa demikian?”
Rasulullah pun menjawab: “Di waktu kenyang, saya bersyukur kepada
Allah dan di waktu lapar saya memohon ampun kepada-Nya.”28
Allah juga menjanjikan pertolongan bagi orang-orang yang sabar,
sehingga dinyatakan bahwa Dia bersama orang-orang yang sabar. Apabila
orang yang sabar akan diserang oleh musuh, maka Allah akan
melindunginya dan mengarahkan bala tentara pertolongan-Nya yang
sangat kuat. Hal ini dibuktikan pada Firman Allah:
ۤ
ٍ ‫صِبوا وت تَّقوا وَّيْت وكم ِّمن ف ورهم ٰهذا ُيْددْكم ربُّكم ِبمسة اْٰل‬
‫ف ِّمن الْم ٰل ِٕىكة‬ ٓ
ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ْ ‫ب ٰلى نا ْن ت‬
‫مس ِّوم ْْي‬
“Ya” (cukup). Jika kamu bersabar dan bertakwa ketika mereka
datang menyerang kamu dengan tiba-tiba, niscaya Allah
menolongmu dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda.” (Qs.
āli-Imrān: 125)

2. Makna dan Hakikat Syukur dalam al-Qur’an


Kata syukur merupakan bentuk mashdar dari kata kerja – ‫شكر‬
‫ وشكراَن‬- ‫ شكرا – وشكورا‬- ‫يشكر‬. Kata kerja ini berasal dari huruf-huruf
‫ ر‬- ‫ ش – ك‬yang memiliki makna “pujian atas kebaikan” dan

27 Yunasril Ali, Pilar-pilar Tasawuf, 87.


28 Yunasril Ali, Pilar-pilar Tasawuf, 108.
60

“penuhnya sesuatu”. Di dalam al-Qur’an, kata syukur lebih dikenal


dengan kata hamdallah, yaitu sebuah ucapan terimakasih dalam bentuk
ucapan dan perbuatan sebagai bentuk ketaatan seorang hamba kepada sang
pencipta.29 Menurut istilah syara’ syukur adalah pengakuan terhadap
nikmat yang dikaruniakan Allah disertai dengan ketundukan kepadanya
dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak Allah.
Syukur dalam ilmu tasawuf berarti ucapan, sikap, dan perbuatan terima
kasih kepada Allah Swt dan pengakuan yang tulus atas nikmat dan karunia
yang diberikan-Nya. Imam al-Qusyairi mengatakan bahwa hakikat syukur
adalah pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan Allah yang
dibuktikan dengan ketundukan kepada-Nya. Jadi, syukur itu adalah
mempergunakan nikmat Allah menurut kehendak Allah sebagai pemberi
nikmat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa syukur yang sebenarnya
adalah mengungkapkan pujian kepada Allah dengan lisan, mengakui
dengan hati akan nikmat Allah, dan mempergunakan nikmat itu sesuai
dengan kehendak Allah. Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyebutkan
bahwa hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah
pemilik karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala
nikmat berasal dari Allah swt. Kemudian anggota badannya tunduk
kepada pemberi nikmat itu. Yang disebut tunduk adalah mentaati dan
patuh karena seseorang tidak disebut tunduk, kecuali jika dia mentaati
perintah Allah dan patuh kepada syariat-Nya. Dengan demikian syukur
merupakan pekerjaan hati dan anggota badan.30

29 Mohammad Takdir, Psikologi Syukur; Suplemen Jiwa untuk Menggapai


Kebahagiaan Sejati (Authentic Happiness), 12.
30 Akmal Masyhuri, “Konsep Syukur (GRATEFULNESS); Kajian Empiris Makna

Syukur bagi Guru Ponpes Daarun Nahdhah Thawalib Bangkinang Seberang, Kampar,
Riau”. Jurnal Komunikasi dan Pendidikan Islam, vol.7, no.2 (Desember 2018): 7.
61

Imam Ghazali menerangkan dalam Kitab Ihya Ulumuddin bahwa


syukur merupakan salah satu tahapan yang lebih tinggi dibandingkan
sabar. Beliau juga membagi hakikat syukur ke dalam tiga perkara,
diantaranya sebagai berikut:
1. Syukur adalah ilmu, yaitu mengenal dan menyadari nikmat dari sang
pemberi nikmat. Bersyukur hendaknya diawali dengan kesadaran
penuh betapa besar nikmat dan anugerah-Nya bahwa nikmat itu
datang hanya dari Allah swt. Jadi ilmu yang dimaksud disini adalah
kita harus mengetahui bahwa seluruh nikmat yang kita rasakan
adalah murni dari Allah swt.
2. Syukur adalah keadaan atau kegembiraan yang terjadi saat nikmat
itu diterima. Hakikat syukur adalah keadaan gembira yang meliputi
seluruh jiwa dan raga. Kegembiraan ini hendaknya tertuju kepada
pemberi nikmat, bukan nikmat yang diberikan. Dimana seseorang
bergembira karena dengan nikmat tersebut manusia lebih dekat
kepada-Nya dan memudahkan-Nya bermunajat serta bersujud
kepada-Nya.
3. Syukur adalah amal, yaitu tindakan untuk melaksanakan apa yang
menjadi keinginan pemberi nikmat. Syukur adalah amal perbuatan
yang muncul dari kegembiraan dan kesadaran kepada Allah swt.
setelah ia menyadari hakikat nikmat, ia melakukan amal shaleh yang
diridhai Allah dan melakukan perintah dan menjauhi larangan-
Nya.31
Syukur adalah amal perbuatan yang muncul dari kegembiraan dan
kesadaran kepada Allah ta’ala. Dengan bersyukur, tubuh akan bersih dari
31 Haris Priyatna, 2 Syarat Utama Bahagia Dunia Akhirat: Mengamalkan Sabar

dan Syukur Sepanjang Hayat (Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2016), 80.
62

sifat-sifat yang tercela seperti sombong dan lupa daratan. Syukur ini bisa
dilatih dan dibiasakan dengan tiga hal:
1. Syukur dengan hati, yaitu dengan cara selalu berbaik sangka, baik
terhadap Allah maupun manusia, serta membersihkan hati dari sifat
kesombongan dan takabur.
2. Syukur dengan lisan, yaitu dengan cara selalu berusaha untuk
berzikir dan berdoa, memperbanyak baca al-Qur’ān, membersihkan
dari ucapan-ucapan kotor, kata-kata yang menyakitkan dan melukai
hati serta perasaan orang lain.
3. Syukur dengan perbuatan, yaitu dengan memperbanyak shalat,
sedekah, suka menolong dan memberi, bersikap ramah, dan
membersihkan diri dari membanggakan diri atau riya.
Jika bersyukur kepada Allah, maka syukur tersebut akan bermanfaat
untuk diri sendiri. Allah akan memberikan nikmat yang lebih banyak lagi
dan berlimpah ruah serta hidup yang semakin berkah. Sebaliknya, jika
kufur nikmat dan tidak mau bersyukur maka Allah Swt akan menurunkan
azabnya yang pedih. Hidup dan kehidupannya akan menjadi hancur dan
merugi serta akan dimasukkan ke dalam neraka jahanam.32

C. Perintah Bersabar dalam Segala Kondisi dan Para Nabi yang


dikenal Penyabar
Di dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan manusia untuk bersabar
guna mengangkat harkat dan martabat agar tidak terjerumus ke dalam jiwa
yang sesat. Allah berfirman:

32 HabibSyarif Muhammad Alaydrus, Agar Hidup Selalu Berkah: Meraih


Ketentraman Hati dengan Hidup Penuh Berkah (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2009),
213.
63

‫ن‬
‫استعْي ن ْوا ِبلصَّ ِْب والصَّ ٰلوة ِۗ وا ََّّنا لكب ْية اَّْل على ا ْْلٰشع ْْي‬
ْ‫و‬
“Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan
shalat. Dan (shalat) itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang
khusyuk.” (Qs. al-Baqarah: 45)

Al-Qur’an memerintahkan orang-orang yang beriman untuk


menanamkan kesabaran dalam dirinya. Karena sabar mempunyai manfaat
yang besar dalam mendidik diri, memperkuat kepribadian, meningkatkan
kemampuan manusia dalam menghadapi kesulitan dan berbagai beban
kehidupan.
Kesabaran perlu diperhatikan dalam memperjuangkan kehidupan
untuk meperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak, dan jalan
terbaik untuk menghadapi berbagai macam persoalan adalah sabar. Karena
orang yang sabar akan memperoleh pahala yang besar dan jalan
kemudahan dari Allah Swt. Perintah untuk bersabar juga terdapat d alam
beberapa hadis nabi. Rasulullah selalu menganjurkan sahabat dan
pengikutnya untuk bersabar dalam menghadapi keadaan dan situasi
apapun.33
Nabi Muhammad saw selalu dianjurkan untuk bersabar dalam
menghadapi kesulitan, kemudian beliau diminta mengatakan kepada
umatnya untuk memperoleh kekuatan melalui shalat. Allah ta’ala
berfirman:
ِۗ ِۗ ِۗ
‫ِب علْيها ْل ن ْس لك ر ْزقًا ْنن ن ْرزقك والْعاقبة للتَّ ْق ٰوى‬ ْ ‫وأْم ْر ا ْهلك ِبلصَّ ٰلوة و‬
ْ ‫اصط‬
“Dan perintahkanlah keluargamu melaksanakan salat dan sabar
dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu,
Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik di
akhirat) adalah bagi orang yang bertakwa.” (Qs. Thāhā: 132)

33 Amirullah Syarbini, Dahsyatnya Sabar, Syukur & Ikhlas Muhammad Saw

(Bandung: Ruang Kata, 2010), 6.


64

Agar orang beriman dapat bersabar terhadap permasalahan hidup


yang dihadapinya, Allah ta’ala telah mengajarkan bagaimana seharusnya
seorang mukmin dapat bersabar dengan menurunkan ayat-ayat al-Qur’an
yang menceritakan tentang kisah para nabi yang penuh kesabaran ketika
dihadapkan dengan berbagai macam ujian. Salah satunya terdapat pada
surah al-Anbiyā’ ayat 85, dimana dalam ayat tersebut telah disebutkan tiga
nabi yang namanya diabadikan didalam al-Qur’an karena kesabarannya,
yaitu Nabi Ismail, Nabi Idris, Nabi Dzulkifli.

ِۗ
ِّٰ ‫وا ْْسٰع ْيل وا ْدريْس وذا الْك ْفل كل ِّمن‬
‫الصِبيْن‬
“Dan (ingatlah kisah) Ismail, Idris dan Dzulkifli. Mereka semua
termasuk orang-orang yang sabar.” (Qs. al-Anbiyā’: 84)

Apa yang Allah kisahkan kepada manusia yang disebutkan dalam al-
Qur’an adalah sebaik-baiknya kisah. Sebagaimana Firman-Nya:
ْۖ
‫ص عل ْيك ا ْحسن الْقصص ِبآ ا ْوحْي نآ ال ْيك ٰهذا الْق ْراٰن وا ْن ك ْنت م ْن‬ ُّ ‫ْنن ن ق‬
‫ق ْبله لمن الْ ٰغفل ْْي‬

“Kami menceritakan kepadamu (Muhammad) kisah yang paling


baik dengan mewahyukan Al-Qur'an ini kepadamu, dan
sesungguhnya engkau sebelum itu termasuk orang yang tidak
mengetahui." (Qs. Yusuf: 3)

Maksud dari “sebaik-baik kisah” dalam ayat ini mencakup seluruh


apa yang dikisahkan Allah dalam al-Qur’an. Kisah yang Allah sebutkan
dalam al-Qur’an tampak beragam, diantaranya berupa kabar, fakta, makna
dan metode antara yang hak dan yang batil agar manusia dapat mengambil
hikmah dan pelajaran. Seperti kisah yang Allah sampaikan kepada kita
tentang kisah para nabi dan apa yang telah menimpa mereka serta para
pengikutnya berupa gangguan di jalan Allah, Lalu Allah menolong dan
65

menjadikan akhir yang baik untuk mereka. Maka disinilah terdapat suri
tauladan bagi kaum muslim.34 Sebagaimana firman-Nya:
ِۗ
ْ ‫لق ْد كان ِْف قصصه ْم ع ِْبة ِّْلوِل ْاْللْباب ما كان حد ْي ثًا يُّ ْف َٰتى ولٰك ْن ت‬
‫صديْق‬
‫الَّذ ْي ب ْْي يديْه وت ْفص ْيل ك ِّل ش ْي ٍء َّوه ًدى َّور ْْحةً لِّق ْوٍم يُّ ْؤمن ْون‬

“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi


orang yang mempunyai akal. (al-Qur’an) itu bukanlah cerita yang
dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya,
menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman.” (QS. Yusuf: 111)

1. Kesabaran Nabi Ismail dalam menerima Perintah Allah


Nabi Ismail adalah putra Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam dengan
istrinya yang bernama Siti Hajar. Nabi Ibrahim menikah dengan Siti Hajar
atas permintaan dari istri pertamanya, yaitu Siti Sarah. Siti Sarah
bersikeras meminta Nabi Ibrahim untuk menikahi Siti Hajar agar
mendapatkan keturunan. Nabi Ismail lahir di Kan’an, Palestina. Kelahiran
Nabi Ismail membawa kebahagiaan yang besar karena sudah lama Nabi
Ibrahim dan istrinya menantikan kehadiran seorang anak. Nampaknya,
kelahiran Nabi Ismail membuat Siti Sarah merasa cemburu. Ia meminta
kepada Nabi Ibrahim untuk membawa Siti Hajar dan anaknya pergi. Atas
izin Allah, Nabi Ibrahim mendapat petunjuk untuk membawa anak dan
istrinya hijrah ke Mekkah dan meninggalkan Palestina. Ketika mereka tiba
di padang pasir yang tandus dan di sekelilingnya hanya terdapat hamparan
pasir dan perbukitan, Allah memerintahkan Nabi Ibrahim untuk
meninggalkan istri dan anaknya di tempat itu. Istrinya merasa sedih dan
khawatir berada di tempat itu karena hanya berdua saja dengan Nabi

34 Abdul Karim Zaidan, Hikmah Kisah-Kisah dalam al-Qur’an (Jakarta: Darus

Sunnah, 2015), 5.
66

Ismail. Tetapi istrinya yakin, jika Allah yang memerintahkan, maka Allah
pula yang akan menjaganya. Nabi Ibrahim juga merasa sedih karena harus
meninggalkan anak dan istrinya, namun beliau harus mentaati perintah
Allah Swt.35 Kemudian beliau berdoa:
‫ِت بو ٍاد غ ْي ذ ْي ز ْر ٍع ع ْند ب ْيتك الْمح َّر نم ربَّنا ليق ْيموا الصَّ ٰلوة‬ْ َّ‫نٓ ا ْسك ْنت م ْن ذ ِّري‬
ِّْ ‫ربَّنآ ا‬
‫ي ال ْيه ْم و ْارزقْه ْم ِّمن الثَّم ٰرت لعلَّه ْم ي ْشكر ْون‬
ْٓ ‫اجع ْل افْ ِٕد ًة ِّمن النَّاس َتْو‬ْ ‫ف‬
“Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian
keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di
dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang
demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati
sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka
rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.” (Qs.
Ibrāhim: 37)

Saat itu Siti Hajar hanya membawa bekal secukupnya. Ketika air
yang dibawanya telah habis, Nabi Ismail mulai menangis. Ia pun
kebingungan karena sudah tidak ada setetes air pun di tempat minum yang
dibawa. Tangisan Nabi Ismail semakin kencang. Siti Hajar segera
beranjak dan mencari air. Ia melihat ada genangan air di sebuah Bukit
(Bukit Shafa) dan ia segera berlari ke sana. Ternyata yang ia lihat
hanyalah fatamorgana dan tidak ada air di sana.
Kemudian dari Bukit Shafa, Siti Hajar melihat ada genangan air di
Bukit Marwa, ia pun segera berlari ke sana. Lagi-lagi, ia tidak menemukan
air. Ia berlari-lari dari bukit Shafa ke Bukit Marwa sebanyak tujuh kali.
Lalu Siti Hajar menghampiri Nabi Ismail yang masih menangis sambil
menghentakkan kakinya ke tanah berpasir. Tiba-tiba terjadilah mukjizat.
Bekas hentakkan kaki Nabi Ismail mengeluarkan air. “Zamzam

35 Ifsya Hamasah, Kisah Teladan 25 Nabi dan Rasul (Jakarta: Cikal Aksara, 2010),
45.
67

(berkumpullah)”, Kata Siti Hajar sambil mengumpulkan air dengan kedua


telapak tangannya. Lalu ia memberi minum kepada putranya. Ia juga
minum untuk menghilangkan rasa hausnya. Mata air zamzam terus
memancarkan air. Daerah yang semula tandus kini menjadi subur.
Burung-burung mulai berdatangan untuk minum dan tinggal di tempat itu.
Kabilah-kabilah dagang juga singgah di tempat itu untuk beristirahat.
Beberapa dari mereka menetap di sana, sehingga Hajar dan Nabi Ismail
tidak kesepian lagi. Nabi Ismail tumbuh menjadi anak yang cerdas. 36 Bukit
Shafa dan Marwah adalah dua bukit kecil yang ada di kota Mekkah. Yang
dilakukan Siti Hajar diabadikan dalam salah satu rangkaian ibadah haji,
yaitu berlari kecil antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah yang disebut
sa’i.
Dahulu ketika belum dikaruniai seorang anak, Nabi Ibrahim pernah
berkata bahwa Jangankan hanya binatang, anaknya pun siap dikurbankan
kepada Allah dan disembelih dengan tangannya sendiri. Ucapannya itu
semata-mata karena kecintaan dirinya kepada Tuhannya. Lalu suatu
malam ketika ia tidur, ia bermimpi mendapat perintah dari Allah untuk
menyembelih putranya dengan tangannya sendiri. Dan ketika terbangun
dari tidurnya, hatinya berdebar-debar. Selama tujuh malam berturut-turut
dan ia bermimpi dengan mimpi yang sama.37 Allah berfirman:
‫نٓ اذَْبك فانْظ ْر ماذا ت ٰر ِۗى قال‬ ِّْ ‫نٓ ا ٰرى ِف الْمنام ا‬
ِّْ ‫ن ا‬
َّ ‫الس ْعي قال ٰي ب‬
َّ ‫ف ل َّما ب لغ معه‬
ۤ ْۖ
‫﴾ ف ل َّمآ ا ْسلما وت لَّه‬١٠٢﴿ ‫الصِبيْن‬ ِّٰ ‫اّلل من‬ِّٰ ‫نٓ ا ْن شاء‬ ْ ‫د‬ ‫ج‬‫ت‬‫س‬ ‫ر‬ ‫ّٰٓيبت افْع ْل ما ت ْؤم‬
‫الر ْؤّي َۚا ََّن ك ٰذلك َْنزى‬ َۚ
ُّ ‫ ﴾ ق ْد ص َّدقْت‬١٠٤﴿ ‫﴾ وَند ْي نٰه ا ْن ِّّٰٓي ْب ٰره ْيم ن‬١٠٣﴿ ‫للْجب ْْي‬
36 Ririn Astutiningrum, Kisah 25 Nabi & Rasul: Nabi Ismail (Solo: Tiga Ananda,
2019), 6.
68

ۤ
‫ ﴾ وفد ْي نٰه بذبْ ٍح عظ ْي ٍم‬١٠٦﴿ ‫ ﴾ ا َّن ٰهذا َلو الْب ٰلؤا الْمب ْْي‬١٠٥﴿ ‫الْم ْحسن ْْي‬
﴾١٠٧﴿
“Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya,
(Ibrahim) berkata, “Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia
(Ismail) menjawab, “Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan
(Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang
yang sabar.” Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim)
membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (untuk melaksanakan perintah
Allah). Lalu Kami panggil dia, “Wahai Ibrahim! sungguh, engkau telah
membenarkan mimpi itu.” Sungguh, demikianlah Kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar
suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor
sembelihan yang besar.” (Qs. Ash-Shāffāt: 102-107)

Keesokan harinya, Nabi Ibrahim memanggil putranya dan


menjelaskan tentang mimpinya. Kemudian dengan tenang, Nabi Ismail
berkata kepada ayahnya bahwa kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah.
Insya Allah dirinya termasuk orang-orang yang sabar. Nabi Ismail
menerima perintah itu tidak hanya dalam keadaan taat dan menyerahkan
dirinya saja, namun juga dengan keridhaan dan keyakinan. Yang demikian
itu merupakan benar-benar wujud ketaatan seorang anak kepada orang tua
dan juga Tuhannya.
Kemudian keduanya sepakat untuk menjalankan perintah-Nya dan
mereka berangkat menuju suatu tempat di daerah yang berbukit-bukit, di
kaki sebelah gunung, yaitu daerah yang disebut Mina. Nabi Ibrahim dan
Nabi Ismail benar-benar beriman dan yakin untuk menyerahkan diri
dengan penuh keridhaan kepada Allah ta’ala. Ketika mereka berserah diri,
maka turunlah firman Allah kepada Nabi Ibrahim sekaligus sebagai berita
gembira kepadanya karena kepatuhannya kepada Allah. Allah membalas
mereka yang telah melakukan kebenaran dengan sepenuh hati. Mereka
diangkat derajatnya karena ketabahan dan kesabarannya dalam
menghadapi cobaan. Setelah nyata kesabaran dan ketaatan Nabi Ibrahim
69

dan Nabi Ismail, maka Allah melarang untuk menyembelih Nabi Ismail.
Allah menggantinya dengan seekor sembelihan (domba). Peristiwa ini
terjadi pada 10 Dzulhijjah dan menjadi dasar di syariatkannya qurban yang
dilakukan pada hari raya Idul Adha.

2. Kesabaran Nabi Idris dalam Berdakwah


Nabi Idris adalah Nabi kedua yang diutus oleh Allah swt untuk
berdakwah di daerah Irak Kuno. Nama asli Nabi Idris adalah Akhnukh
(Henokh). Ia lahir di Babilonia. Ayahnya bernama Yarid bin Mahlail bin
Qinan bin Anusy bin Syits bin Adam.38 Nabi Idris mendapatkan pujian
dari Allah serta kenabian pada dirinya. Beliau termasuk ke dalam silsilah
nasab Rasulullah menurut sejumlah ulama ahli nasab dan ia adalah
manusia pertama yang diberikan tanggung jawab kenabian setelah Nabi
Adam dan Nabi Syits. Beberapa ulama juga mengatakan bahwa Nabi Idris
adalah orang pertama yang dapat menulis menggunakan pasir, sehingga ia
sering disebut Hermes sang ahli perbintangan (Ilmu Nujum) dan lain
sebagainya.39 Dinamakan Idris karena ia banyak mempelajari kitab-kitab
dan mushaf Nabi Adam dan Nabi Syits. Nabi Idris adalah seorang yang
sangat cerdas, pandai, pemberani dan memiliki semangat belajar yang
tinggi. Beliau adalah manusia pertama yang diberi mukjizat dalam
berbagai ilmu dan dianugerahi dengan berbagai kepandaian oleh Allah. 40
Beberapa kepandaian yang dimilikinya yaitu menaiki kuda, baca tulis dan
berhitung. Ia pula menjadi orang pertama yang dapat menjahit pakaian dan
menggunakan pakaian berjahit. Selain itu, ia menguasai berbagai macam

38 IipSyarifah, Cerita Teladan 25 Nabi dan Rasul, 8.


39 Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi, 96.
40 Ibnu Katsir, Kisah Para Nabi, 95.
70

bahasa sehingga dapat berkomunikasi dengan manusia lainnya dan juga


pandai membuat arsitektur rumah yang sederhana dan indah, sehingga
banyak orang yang mengikuti dan meminta bantuannya.
Nabi Idris menerima wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril
sebanyak 30 lembaran yang berisi ajaran-ajaran yang harus disampaikan
kepada umatnya.41 Pada zaman Nabi Idris, mulai banyak manusia yang
durhaka kepada Allah. Mereka berbuat kezaliman, kekacauan dan tak
segan-segan untuk saling menyakiti dan melukai. Suatu ketika,
sekelompok penjahat berbadan kekar datang menyerang kampung
penduduk dan mengancam kepada penduduk tersebut untuk menyerahkan
harta benda mereka. Penduduk yang tinggal di kampung itu tak berdaya
dan sangat ketakutan serta ingin menyerah lantaran hampir setiap hari para
penjahat selalu mendatangi mereka. Para penduduk juga mempunyai niat
untuk mengungsi ketempat yang lebih aman dan damai. Tetapi dengan
kesabarannya, Nabi Idris melarang para penduduk agar tidak menyerah
begitu saja. Nabi Idris membangkitkan semangat untuk melawan para
penjahat. Ia sangat pemberani dan tak kenal takut pada apapun. Hanya
Allah saja yang ditakutinya.
Saat para penjahat datang, Nabi Idris pun segera menghadang dan
berdiri memimpin para penduduk yang sedang cemas dan ketakutan. Nabi
Idris berseru kepada para penjahat agar mereka bertaubat dan kembali ke
jalan yang lurus dan penuh kasih serta bekerja secara halal dan baik tanpa
menindas orang lain. Tetapi, Para penjahat itu tertawa terbahak-bahak dan
menganggap perkataan Nabi Idris tersebut adalah sebuah lelucon. Lalu
Penjahat itu segera menyerang Nabi Idris dan penduduk yang

41 Iip Syarifah, Cerita Teladan 25 Nabi dan Rasul, 9.


71

mengikutinya. Nabi Idris dengan sigap menyambut serangan itu dan


berjuang melawan para penjahat serta bertempur dengan gagah perkasa
hingga akhirnya para penjahat itu terkalahkan oleh Nabi Idris dan para
penduduk menyambut kemenangan itu dengan sukacita. Nabi Idris sangat
tegas terhadap kezaliman. Ia sangat menegakkan kebenaran dan tak segan
menghukum orang yang berbuat kejahatan. Keberanian Nabi Idris dijuluki
sebagai “Asadul Asad” yaitu “Singa dari segala singa”.42
Tidak hanya itu, Nabi Idris juga adalah orang yang sabar. Kesabaran
Nabi Idris dalam berdakwah tak perlu diragukan. Beliau tidak pernah
putus asa dalam menyeru umatnya untuk menyembah Allah dan
senantiasa selalu menjalankan tugas dengan penuh kesungguhan. Ia selalu
memerintahkan umatnya untuk shalat, berpuasa, zakat dan mengharamkan
minum-minuman keras. Ia juga mengajarkan untuk hidup sederhana agar
tidak boros, pelit dan tamak. Dakwahnya pun berhasil. Satu persatu
umatnya mulai mengikuti ajarannya. Selanjutnya jumlah pengikutnya
semakin banyak dan kerasulannya membawa perubahan yang sangat
berarti untuk peradaban dunia pada saat itu.43

3. Kesabaran Nabi Dzulkifli dalam Menahan Hawa Nafsu


Nabi Dzulkifli adalah anak dari Nabi Ayyub dari istrinya yang
bernama Siti Rahma. Nama aslinya adalah Basyar, dan diberi nama
Dzulkifli karena beliau sanggup untuk selalu taat dan takwa kepada Allah
dan bertanggung jawab disertai dengan kesabaran. Oleh karena itu, ia
diangkat menjadi rasul dan dimasukkan ke dalam golongan orang-orang
yang sabar dan berbuat baik.44 Setelah Nabi Ayyub wafat, Allah mengutus

42 Iip
Syarifah, Cerita Teladan 25 Nabi dan Rasul, 9.
43 Iip
Syarifah, Cerita Teladan 25 Nabi dan Rasul, 10.
44 Nasiruddin, Kisah Orang-orang Sabar, 20.
72

Nabi Dzulkifli untuk menjadi nabi dan rasul. Ia tinggal di Negeri Syam
dan mendakwahi penduduk negeri tersebut.45 Beliau diutus untuk
mengajarkan tauhid kepada kaumnya yang menyembah berhala agar
menyembah Tuhan Yang Maha Esa, taat beribadah, dan membayar zakat.
Pada waktu itu, negeri Syam dipimpin oleh seorang raja. Raja
tersebut adalah raja yang adil dan disayangi oleh rakyatnya. Tetapi, sang
raja sudah berusia lanjut. Beliau merasa kondisi fisiknya sudah mulai
menurun. Tubuhnya sudah mulai melemah dan pendengarannya sudah
mulai berkurang. Oleh sebab itu, beliau mulai berpikir untuk mencari
orang yang mampu menggantikannya. Raja tersebut tidak ingin rakyatnya
dipimpin oleh pemimpin yang zalim. Akhirnya sang raja memutuskan
untuk mengumpulkan semua rakyatnya dengan harapan akan menemukan
pengganti yang ia cari. Maklumat Raja segera tersebar ke penjuru negeri
tersebut. Orang-orang berdatangan menuju kerajaan dan bertanya-tanya
apa maksud Raja mengumpulkan mereka semua. Dan Raja pun sudah
menyiapkan cara yang tepat untuk menemukan pengganti dirinya kelak.
Rakyat mulai gaduh karena raja yang mereka sayangi akan segera
turun tahta. Kemudian raja tersebut tidak memilih siapa orang yang akan
menggantikannya, tetapi beliau membacakan tiga syarat. Syarat yang
pertama adalah sanggup berpuasa pada siang hari. Kedua adalah sanggup
beribadah pada malam hari, dan yang ketiga adalah sanggup untuk
menahan amarah. Dan barangsiapa yang sanggup melaksanakan tiga
syarat tersebut, maka ia berhak menggantikan posisi raja. Semua yang
hadir terdiam. Tak ada satupun yang menyanggupi ketiga syarat tersebut.
Tiba-tiba ada seorang pemuda mengangkat tangannya dengan tegas dan

45 Ifsya Hamasah, Kisah Teladan 25 Nabi & Rasul, 77.


73

mengatakan bahwa dirinya bersedia dan menyanggupi syarat yang


diberikan tersebut. Tetapi, sang raja berfikir bahwa pemuda tersebut hanya
bercanda. Kemudian raja menyebutkan kembali ketiga syarat tersebut.
Lalu pemuda itu kembali mengacungkan tangannya. Sejak saat itulah ia
diberi julukan “Dzulkifli” yang artinya “orang yang sanggup menepati
janji”.46
Nabi Dzulkifli memimpin rakyatnya dengan adil dan bijaksana.
Keberhasilan Nabi Dzulkifli tersebut membuat raja yang bernama Braja
dari negeri sebelah merasa iri. Ia bahkan menyusun kekuatan untuk
menyerang negeri Syam. Nabi Dzulkifli mendengar rencana penyerangan
Raja Braja dan segera mengumpulkan penduduk Syam, seraya
mengatakan bahwa Negeri mereka akan diserang dan menyeru rakyatnya
agar bersatu untuk menghadapinya. Mendengar ajakan sang raja, para
penduduk Syam mengajukan syarat yang cukup sulit, yaitu mereka
bersedia. Tetapi, mereka meminta untuk didoakan agar mereka tidak mati
kecuali mereka menginginkannya Lalu. Nabi Dzulkifli tidak memiliki
pilihan lain dan kemudian ia berdoa kepada Allah. Allah pun
mengabulkan atas doa Nabi Dzulkifli. Dalam peperangan melawan Raja
Braja, penduduk Syam selamat dan meraih kemenangan. Umur mereka
pun semakin panjang dan terus hidup tanpa ada yang mati. Tetapi, Negeri
Syam terasa semakin sempit karena terus bertambahnya jumlah penduduk.
Atas bujukkan Nabi Dzulkifli, penduduk Syam mau mencabut doa mereka
kembali dan perlahan-lahan jumlah mereka mulai berkurang.
Nabi Dzulkifli memiliki kunci keberhasilan untuk menyelesaikan
semua permasalahan. Ia selalu menjaga waktunya dengan baik sehingga

46 Ifsya Hamasah, Kisah Teladan 25 Nabi & Rasul, 79.


74

membuat setan-setan selalu berusaha menggodanya. Suatu hari, setan


bermaksud mengganggu jadwal kegiatan harian Nabi Dzulkifli untuk
membuatnya marah. Ia sengaja datang pada tengah hari ketika Nabi
Dzulkifli akan beristirahat. Lalu Nabi Dzulkifli bertanya kepada setan
yang menyamar sebagai manusia. Setan pun menjawab dengan cerita
palsu. Ia terus saja bercerita hingga sore hari sampai Nabi Dzulkifli
kehilangan waktu istirahatnya. Lalu Nabi Dzulkifli memerintahkan setan
tersebut untuk datang kembali ke majlisnya esok hari dan ia akan
memutuskan tentang perkara yang diceritakan oleh setan tersebut.
Keesokan harinya, Nabi Dzulkifli menunggu kedatangan setan itu
yang menyamar menjadi tamunya di majelis. Namun sang tamu tidak
kunjung datang. Ketika Nabi Dzulkifli pulang dan hendak beristirahat,
setan itu datang. Lalu Nabi Dzulkifli bertanya kepadanya mengapa
tamunya tidak datang ke majlisnya padahal dirinya telah menunggunya.
Kemudian setan yang licik memberikan alasan lagi dan pada hari itu setan
kembali mengarang permasalahan sehingga Nabi Dzulkifli kehilangan
waktu istirahatnya lagi.
Kemudian Nabi Dzulkifli memerintahkan tamunya itu untuk datang
nanti malam karena ia akan akan memikirkan dulu bagaimana
menyelesaikan masalah tamunya itu. Lalu pada malam hari Nabi Dzulkifli
menunggu kedatangan tamunya. Namun hingga larut malam, sang tamu
tak kunjung datang. Keesokan harinya, Nabi Dzulkifli beraktivitas seperti
biasanya. Dan ketika menjelang waktu beristirahat, ia berpesan kepada
penjaga rumahnya agar jangan izinkan siapapun masuk ke rumahnya
karena ia ingin beristirahat. Setelah itu, Setan kembali datang lagi dan
ingin mengganggu Nabi Dzulkifli. Setan itu datang dan bertemu dengan
75

penjaga Nabi Dzulkifli dan mengatakan bahwa dia ingin bertemu dengan
tuannya. Tetapi, penjaga Nabi Dzulkifli melarangnya dan memberitahukan
kepadanya bahwa tuannya sedang lelah sehingga setan itu diperintahkan
untuk nanti saja menemui tuannya. Setan berupaya memaksa untuk masuk
dan beralasan bahwa dirinya telah membuat janji untuk bertemu Nabi
Dzulkifli, tetapi penjaga pun bersikeras menahannya. Tetapi, Setan tidak
kehabisan akal, ia menerobos masuk ke dalam rumah melalui lubang
angin. Nabi Dzulkifli yang belum tidur terkejut melihat kehadiran setan. Ia
menyadari bahwa tamunya bukanlah manusia biasa. Ia bertanya kepada
setan untuk apa datang menemuinya. Setan pun mengatakan bahwa ia
ingin mengganggu Nabi Dzulkifli agar tidak memiliki waktu untuk
beristirahat. Setan mengira bahwa Nabi Dzulkifli akan marah, ternyata
dirinya adalah orang yang sangat sabar.
Nabi Dzulkifli tetap menjaga pembagian waktunya dengan baik. ia
selalu menahan amarah sepanjang hidupnya.47 Nabi Dzulkifli wafat pada
usia 95 tahun di Damaskus, Syiria. Namanya Allah abadikan dalam al-
Qur’an pada surah al-Anbiyā’ ayat 85 dan surah Shād ayat 38. Kisah Nabi
Dzulkifli tidak banyak disebutkan dalam al-Qur’ān, namun Allah
menjadikan suri tauladan yang patut untuk dicontoh dari kisah dan
perjalanan hidup beliau.48
D. Perintah Bersyukur atas Nikmat Allah yang diberikan Kepada
Para Nabi dan Orang Beriman
Apa yang Allah janjikan kepada orang-orang yang bersyukur
tidak pernah sedikitpun Allah ingkari. Dalam berbagai ayat al-Qur’an,

47 Ririn
Astuti Ningrum, Kisah 25 Nabi dan Rasul: Nabi Dzulkifli, 4.
48 Komaruddin Ibnu Mikam , 25 Nabi dan Rasul dalam al-Qur’an (Jakarta:
Gramedia, 2010), 102.
76

disebutkan bahwa salah satu dari misi kenabian mengingatkan manusia


kepada nikmat-nikmat Illahi.49 Di antara ayat-ayat tersebut salah
satunya adalah surah al-A’rāf ayat 69:
ۤ ِۗ ۤ
‫اوعجْب ت ْم ا ْن جاءك ْم ذ ْكر ِّم ْن َّربِّك ْم ع ٰلى رج ٍل ِّم ْنك ْم لي ْنذرك ْم واذْكر ْوٓا اذْ جعلك ْم خلفاء‬
ۤ ٌۢ
‫اّلل لعلَّك ْم ت ْفلح ْون‬
ِّٰ ‫صط ًة َۚفاذْكرْٓوا اْٰلء‬
ْ ‫م ْن ب ْعد ق ْوم ن ْو ٍح َّوزادك ْم ِف ا ْْللْق ب‬
“Dan herankah kamu bahwa ada peringatan yang datang dari
Tuhanmu melalui seorang laki-laki dari kalanganmu sendiri, untuk
memberi peringatan kepadamu? Ingatlah ketika Dia menjadikan
kamu sebagai khalifah-khalifah setelah kaum Nuh, dan Dia lebihkan
kamu dalam kekuatan tubuh dan perawakan. Maka ingatlah akan
nikmat-nikmat Allah agar kamu beruntung.” (Qs. al-A’rāf: 69)

Pada dasarnya, manusia tidak mampu mensyukuri nikmat Allah


dengan sempurna, baik dalam hati maupun lisan, apalagi dalam bentuk
perbuatan. Oleh karena itu, sedikit sekali hamba Allah yang pandai
bersyukur. Hal ini berkali-kali ditegaskan oleh Allah di dalam al-Qur’an
pada Surah al-Baqarah: 243:
ْۖ
ِّٰ ‫اَلْ تر اِل الَّذيْن خرج ْوا م ْن دّيره ْم وه ْم ال ْوف حذر الْم ْوت ف قال َلم‬
َّ‫اّلل م ْوت ْوا ِۗ ُث‬
‫ض ٍل على النَّاس وٰلك َّن ا ْكثر النَّاس ْل ي ْشكر ْون‬ ِّٰ ‫ا ْحياه ْم ِۗ ا َّن‬
ْ ‫اّلل لذ ْو ف‬
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang keluar dari
kampung halamannya, sedang jumlahnya ribuan karena takut mati?
Lalu Allah berfirman kepada mereka, “Matilah kamu!” Kemudian
Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah memberikan
karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak
bersyukur.” (Qs. al-Baqarah: 243)
Kemudian Allah berfirman:
ِۗ ۤ ٌۢ
‫ُثَّ ْلٰتي نَّه ْم ِّم ْن ب ْْي ايْديْه ْم وم ْن خلْفه ْم وع ْن ا ُْياَّن ْم وع ْن َشا ِٕىله ْم وْل َتد ا ْكثره ْم‬
‫ٰشكريْن‬

49 H. Amirulloh Syarbini, Dahsyatnya Sabar, Syukur dan Ikhlas (Bandung: Ruang

Kata, 2010), 6.
77

“Pada ayat di at kemudian pasti aku akan mendatangi mereka dari


depan, dari belakang, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau
tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (Qs. al-A’rāf:
17)
Ayat di atas telah jelas bahwa hidup senang banyak melalaikan
manusia, sehingga terbuai dan terlena didalamnya serta lupa untuk
mensyukurinya.50
Itulah sebab Nabi Sulaiman selalu memohon pertolongan kepada
Allah agar diberi kemampuan untuk mensyukuri nikmat-Nya. Doa nya
diabadikan oleh Allah dalam Surah an-Naml ayat 19:
‫ِت ا ْن ع ْمت عل َّي وع ٰلى‬
ْٓ َّ‫ن ا ْن ا ْشكر ن ْعمتك ال‬
ْٓ ‫ب ا ْوز ْع‬
ِّ ‫سم ضاح ًكا ِّم ْن ق ْوَلا وقال ر‬َّ ‫ف ت ب‬
‫الصلح ْي‬ ِّٰ ‫ْن بر ْْحتك ِْف عبادك‬ ْ ‫ي وا ْن ا ْعمل صاِلًا ت ْرضٰىه وا ْدخل‬ َّ ‫والد‬
“Maka dia (Sulaiman) tersenyum lalu tertawa karena (mendengar)
perkataan semut itu. Dan dia berdoa, “Ya Tuhanku, anugerahkanlah
aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau
anugerahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku
mengerjakan kebajikan yang Engkau ridai; dan masukkanlah aku
dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang
saleh.” (Qs. an-Naml: 19)
Allah telah melimpahkan nikmat yang sangat banyak kepada Nabi
Sulaiman. Allah memberikan kepadanya kerajaan yang kokoh dan luas.
Khusus untuk Nabi Sulaiman, Allah telah menganugerahkan kelebihan
yang tidak diberikan kepada siapa pun, yaitu kemampuan untuk dapat
mengerti bahasa binatang seperti semut dan burung-burung. Dari nikmat
yang sangat besar ini, doa ini menjadi harapan bagi Nabi Sulaiman agar
selalu dapat mengucapkan syukur atas nikmat yg telah dianugerahkan
Allah kepadanya. Dengan bersyukur kepada-Nya, maka niscaya Allah
akan terus menambahkan nikmat-Nya. Sedangkan jika ia kufur, maka

50 SyamruddinNasution, “Sabar dan Syukur sebagai Pakaian, 2016,” Di akses,


pada 02 Februari, 2021, https://uin-suska.ac.id/2016/01/22/sabar-dan-syukur-sebagai-
pakaian-prof-dr-syamruddin-nasution/
78

niscaya Allah akan mengazabnya dengan siksa yang pedih. Selain


ungkapan rasa syukur, doa ini juga mengajarkan sebuah pengharapan agar
dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba Allah yang shaleh melalui
perbuatan amal shaleh yang dilaksanakan dengan ridha-Nya.51 Kesalehan
yang diharapkan adalah agar menjadi tonggak bagi munculnya kenangan,
baik tentang pribadi para Nabi maupun menjadi contoh suri tauladan bagi
generasi penerus di kemudian hari.
Doa ini relevan untuk siapa saja yang memiliki peran sosial besar
dikalangan masyarakat agar dimasa yang akan datang dapat dikenang
sebagai pribadi pemimpin yang baik dan memberikan manfaat bagi
masyarakat yang luas. Kenangan sebagai pribadi yang shaleh terutama
disebabkan karena dirinya selalu mendapat petunjuk dari Allah agar selalu
mensyukuri nikmat yang telah didapat. Banyaknya kenikmatan dan
kemasyhuran menjadi faktor yang membuat seseorang dikenal dalam
sejarah. Dengan petunjuk dan bimbingan Allah yang selalu
mengarahkannya untuk bersyukur, maka beliau pun akan terbentuk
menjadi pribadi yang shaleh, sebuah predikat yang menunjang
kemasyhuran namanya karena amal perbuatan yang diridhai serta
anugerah rahmat-Nya yang dilimpahkan kepadanya.52
Kemudian Allah berfirman dalam Surah al-Ahqāf ayat 15, bahwa
Allah memerintahkan manusia untuk memanjatkan doa bagi orang yang
telah mencapai usia 40 tahun agar tetap selalu mensyukuri nikmat yang
telah diberikan-Nya bagi dirinya dan kedua orang tuanya, dan dalam

51 M.Anwar Syarifuddin dan Mar’atun Sholihah , Mengungkap Makna dan


Hikmah: Tafsir Ayat-ayat Do’a dalam al-Qur’an (Bandung: Lekkas, 2020), 131.
52 M. Anwar Syarifuddin dan Mar’atun Sholihah, Mengungkap Makna dan

Hikmah: Tafsir Ayat-ayat Do’a dalam al-Qur’an, 132.


79

melaksanakan amal shaleh dan mendapatkan ridha-Nya serta memohon


untuk diberikan kebaikan bagi anak keturunannya dan bertaubat kepada-
Nya dari kesalahan serta penegasan bahwa dirinya termasuk dalam
golongan orang-orang yang berserah diri. Firman-Nya:
‫ْحله وفصٰله ث ٰلث ْون‬ ْ ‫صْي نا ْاْلنْسان بوالديْه ا ْحسا ًَن ِْۗحل ْته ا ُّمه ك ْر ًها َّووضع ْته ك ْر ًها ِۗو‬ َّ ‫وو‬
‫ن‬
ْٓ َّ‫ن ا ْن ا ْشكر ن ْعمتك ال‬
‫ِت‬ ْٓ ‫ب ا ْوز ْع‬
ِّ ‫ت اذا ب لغ اش َّده وب لغ ا ْربع ْْي سن ًة قال ر‬ ِّٰٓ ‫ش ْه ًرا ِۗح‬
ِۗ
‫ن ت ْبت ال ْيك‬ ِّْ ‫ِت ا‬
ْ َّ‫صل ْح ِْل ِْف ذ ِّري‬ ْ ‫ي وا ْن ا ْعمل صاِلًا ت ْرضٰىه وا‬ َّ ‫ا ْن ع ْمت عل َّي وع ٰلى والد‬
‫ن من الْم ْسلم ْْي‬ ِّْ ‫وا‬
“Dan Kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada
kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah
payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Masa
mengandung sampai menyapihnya selama tiga puluh bulan,
sehingga apabila dia (anak itu) telah dewasa dan umurnya mencapai
empat puluh tahun dia berdoa, “Ya Tuhanku, berilah aku petunjuk
agar aku dapat mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau
limpahkan kepadaku dan kepada kedua orang tuaku dan agar aku
dapat berbuat kebajikan yang Engkau ridhai; dan berilah aku
kebaikan yang akan mengalir sampai kepada anak cucuku.
Sesungguhnya aku bertobat kepada Engkau dan sungguh, aku
termasuk orang muslim.” (Qs. al-Ahqāf: 15)

Secara psikologis, umur 40 tahun merupakan batas akhir dalam


proses pematangan akal pikiran seseorang. Hal ini juga yang menandai
kebanyakan pengangkatan seorang Nabi setelah mereka mencapai usia
empat puluh tahun. Dalam usia ke empat puluh tahun, manusia
biasanya ditandai dengan kestabilan karir dan kesempurnaan keluarga.
Seperti anak-anak yang sudah beranjak remaja dan orang tua yang
masih bisa berkumpul bersama-sama. Oleh karena itu, pencapaian
kesempurnaan usia dan kestabilan ini sudah pasti diiringi dengan
nikmat yang banyak dan wajib disyukuri. Allah juga mengingatkan
80

kita kepada kedua orang tua yang telah mendidik kita sejak kecil.
Ketika telah mencapai usia empat puluh tahun, umumnya orang tua
kita sudah memasuki usia pensiun dan memulai masa tua yang
memerlukan perhatian serta kasih sayang dari kita sebagai anak yang
sudah dirawat dan dibesarkannya. Kondisi ini menjadi wujud bakti kita
sebagai anak sekaligus rasa terimakasih atas perhatian dan kasih
sayang mereka, sehingga sikap untuk mensyukuri semua nikmat
menjadi hal yang harus selalu diingat.
Jika melihat makna doa ini, maka ungkapan yang hampir mirip
juga dinyatakan dalam doa Nabi Sulaiman sebagai pribadi yang
memiliki kematangan akal, kekayaan, kedudukan politik dan
kesempurnaan kehidupan rumah tangga. Ia memohon agar selalu dapat
mengungkap syukur atas nikmat yang sangat besar yang telah
diberikan kepadanya dan kedua orang tuanya.53

E. Relasi Sikap Sabar dan Syukur dalam Kehidupan Sehari-hari


Relasi antara sikap sabar dan syukur adalah hubungan yang
saling melengkapi. Ketika tidak memperoleh nikmat dan sesuatu yang
diinginkan, maka sikap yang tepat adalah sabar. Sedangkan ketika
memperoleh nikmat dan sesuatu yang diinginkan, maka sikap yang
tepat adalah bersyukur. Relasi ini diperjelas oleh sabda Nabi
Muhammad saw yang berbunyi:54 Ada empat ayat dalam al-Qur’an

53 M. Anwar Syarifuddin dan Mar’atun Sholihah, Mengungkap Makna dan


Hikmah: Tafsir Ayat-ayat Do’a dalam al-Qur’an, 149.
54 Muhammad Irham A. Muin, “Syukur dalam Perspektif al-Qur’an”. Tafsere,

vol.5, no.1 (September 2017): 12.


81

yang menyebut kata sabar dan syukur dalam satu ayat secara
bersamaan, diantaranya:
Pertama, Surah Ibrāhim ayat 5:
‫ولق ْد ا ْرسلْنا م ْو ٰسى ِبٰ ٰيتنآ ا ْن ا ْخر ْج ق ْومك من الظُّل ٰمت اِل الن ُّْور ەن وذ ِّك ْره ْم ِب ٰيِّىم‬
ٍ‫ت لِّك ِّل صبَّارٍ شك ْور‬ ٍ ٰ‫اّلل ِۗا َّن ِْف ٰذلك ْلٰي‬
ِّٰ
“Dan sungguh, Kami telah mengutus Musa dengan membawa tanda-
tanda (kekuasaan) Kami, (dan Kami perintahkan kepada nya),
“Keluarkanlah kaummu dari kegelapan kepada cahaya terang-
benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah.”
Sungguh, pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (Qs.
Ibrāhīm: 5)

Ayat ini menjelaskan bahwa rasul-rasul yang telah diutus oleh Allah
kepada manusia mempunyai tugas yang sama, yaitu menyampaikan ayat-
ayat Allah untuk membimbing manusia ke jalan yang benar dan
mengeluarkan mereka dari kegelapan yang disebabkan karena kebodohan,
kekafiran, dan kemaksiatan menuju cahaya yang terang benderang karena
iman, hidayah dan ilmu pengetahuan serta akhlak yang mulia. Pada ayat
ini telah dikisahkan bahwa Nabi Musa telah diutus untuk menyampaikan
tugas dan diperintahkan untuk menyeru kaumnya agar bersabar dan
bersyukur ketika Allah melepaskan mereka dari perbudakan Fir’aun dan
siksa Allah yang ditimpa untuk diri mereka karena telah ingkar kepada-
Nya.55
Kedua, Surah al-Luqmān ayat 31:
ٍ ‫اّلل لييك ْم ِّم ْن اٰ ٰيت ِۗه ا َّن ِْف ٰذلك ْلٰ ٰي‬
‫ت‬ ِّٰ ‫اَلْ تر ا َّن الْفلْك َْتر ْي ِف الْب ْحر بن ْعمت‬
ٍ‫لِّك ِّل صبَّارٍ شك ْور‬

55 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Lubāb (Jakarta: Lentera Hati, 2020), 91


82

“Tidakkah engkau memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu


berlayar di laut dengan nikmat Allah, agar diperlihatkan-Nya
kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)-Nya. Sungguh,
pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran)-Nya bagi
setiap orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur. .” (Qs.
Luqmān: 31).

Allah menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi di bumi dan


menjadi bukti kekuasaan dan kemahakuasaan-Nya. Karena kapal itu
berlayar di laut dan tidak tenggelam atas rahmat-Nya melalui pengetahuan
yang Allah anugerahkan sehingga dapat mengangkut barang-barang, agar
dengan itu semua Allah perlihatkan sebagai tanda kebesaran-Nya. Yang
demikian itu terdapat tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang yang sangat
sabar dalam menghadapi ujian dari-Nya dan banyak bersyukur atas
nikmat-Nya.56
Ketiga, Surah Sabā ayat 19:
َّ‫ف قال ْوا ربَّنا بٰع ْد ب ْْي ا ْسفارَن وظلم ْوٓا ا ْن فسه ْم فجعلْنٰه ْم احاديْث ومزَّقْنٰه ْم كل‬
ٍ ٰ‫َّق ا َّن ِْف ٰذلك ْلٰي‬ ٍِۗ
ٍ‫ت لِّك ِّل صبَّارٍ شك ْور‬ ‫ُمز‬

“Maka mereka berkata, “Ya Tuhan kami, jauhkanlah jarak


perjalanan kami,” dan (berarti mereka) menzalimi diri mereka
sendiri; maka Kami jadikan mereka bahan pembicaraan dan Kami
hancurkan mereka sehancur-hancurnya. Sungguh, pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
bagi setiap orang yang sabar dan bersyukur. .” (Qs. Sabā: 19)

Ayat ini menjelaskan tentang keingkaran kaum saba atas nikmat-


nikmat Allah dengan berkata: “Yaa Tuhan, jauhkanlah jarak perjalanan
kami. Yakni jarak antar wilayah dan antar negara, agar perjalanan menjadi
panjang dan tidak banyak orang yang masuk ke negara kami dan orang-

56 Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 7 (Jakarta: Gema Insani, 2020), 55.


83

orang miskin tidak mampu menempuh jarak tersebut karena keterbatasan


kendaraan mereka. Dengan begitu kami dapat memonopoli hasil negeri
kami dan perdagangan, sehingga keuntungan kami lebih besar.” Tanpa
disadari, permintaan mereka menjadikan mereka zalim terhadap diri
mereka sendiri karena mengakibatkan tertutupnya akses perdagangan
antarnegara. Maka akibat dari kezaliman itu, Allah hancurkan negeri
mereka yang subur dan makmur karena mereka tidak beriman dan
bersyukur atas nikmat dan karunia-Nya. Sebab itu, Allah memenuhi
permintaan mereka dengan meniadakan tempat singgah dalam perjalanan
mereka, sehingga mereka sulit melakukan perdagangan dan kehidupan
mereka menjadi susah. Hilanglah wujud mereka sebagai umat yang
dulunya sangat terkenal dan mulia yang mempunyai kebudayaan dan
peradaban yang tinggi dan yang tertinggal hanyalah cerita-cerita.
Sesungguhnya yang dialami kaum Saba’ ini patut menjadi pelajaran bagi
orang-orang yang sabar dalam menerima cobaan dan selalu bersyukur atas
segala nikmat yang diberikan Allah kepadanya. 57
Keempat, Surah asy-Syurā ayat 33:
ٍ ‫الريْح ف يظْللْن رواكد ع ٰلى ظ ْهر ِۗه ا َّن ِْف ٰذلك ْلٰ ٰي‬
‫ت لِّك ِّل صبَّارٍ شك ْو نٍر‬ ِّ ‫ا ْن يَّشأْ ي ْسكن‬
“Jika Dia menghendaki, Dia akan menghentikan angin, sehingga
jadilah (kapal-kapal) itu berhenti di permukaan laut. Sungguh, pada
yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi
orang yang selalu bersabar dan banyak bersyukur.” (Qs. al-Syurā:
33)

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa jika Allah menghendaki kapal yang
berlayar tak dapat berlayar lagi, maka Dia akan menghentikan angin yang

57 Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid 7 305.


84

mendorong kapal-kapal itu berhenti dan tidak dapat bergerak maupun


berlayar, tak dapat maju ataupun mundur di permukaan laut sampai ke
tempat tujuannya. Berhenti dan berlayarnya kapal adalah tanda-tanda ke
Maha Kuasaan-Nya. Adanya suatu bencana yang terjadi seperti gempa
bumi, tanah longsor, tsunami dan lain sebagainya dianggap oleh sebagian
orang hanyalah kejadian alam yang tidak ada hubungannya sedikitpun
dengan ke Maha Kuasaann-Nya. Padahal fenomena tersebut adalah tanda-
tanda Kekuasaan-Nya bagi orang-orang yang selalu sabar dalam menerima
musibah dan banyak bersyukur dalam mendapat nikmat yang
dianugerahkan Allah kepadanya.58
Dari keempat ayat diatas sangatlah jelas bahwa sikap sabar dan
syukur memang sangatah berkaitan antara keduanya, sehingga Allah
abadikan di dalam firman-Nya. Allah akan memberi ganjaran bagi orang
yang bersabar tanpa batas, apalagi jika seseorang itu selalu bersyukur.
Maka beruntunglah kita sebagai seorang muslim dan beriman, karena
Allah selalu memberi pahala kepada kita baik dalam keadaan senang
maupun susah.59 Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai makna
sabar dan syukur. Sebagian orang berpendapat bahwa sabar lebih utama
dan sebagian yang lain berpendapat bahwa syukur lebih utama. Rasulullah
bersabda: “Di antara hal-hal yang diberikan oleh Allah kepadamu yang
terbaik adalah yakin dan tetapnya kesabaran dalam hatimu.” Dalam hadis
lain, Rasulullah juga berkata: “orang yang makan kemudian bersyukur
sama derajatnya dengan seseorang yang berpuasa lalu bersabar.”60

58 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Lubāb, 676.


59 Eva F. Hasan, “Keutamaan Bersyukur dan Bersabar, 2016,” Diakses, 02
Oktober, 2020, https://www.islampos.com/keutamaan-bersyukur-dan-bersabar-556/
60 Imam al-Ghazali, Sabar dan Syukur, terj. Al-Haj Maulana Fazlul-Karim

(Bandung: Marja, 2019), 205.


85

Kemudian Rasulullah bersabda kembali: “Diantara para Nabi dan Rasul,


yang paling akhir masuk surga adalah Nabi Sulaiman, karena beliau
penguasa atas kerajaannya. Diantara para sahabatku, yang paling akhir
masuk surga adalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf karena hartanya yang tak
terkira.”Dari hadis tersebut dapat disimpulkan bahwa sabar lebih utama
dibanding syukur.61
Menurut penulis, kesimpulan relasi sikap sabar dan syukur yaitu
hubungan kedua sikap tersebut saling berkaitan erat. Karena dengan
kesabaran dapat membentuk manusia menjadi pribadi yang lebih
bersyukur atas apa yang telah dimilikinya, dan dengan bersyukur dapat
membuat manusia lebih bersabar dalam menahan nafsu dunia,
menginginkan sesuatu hal, dan lain sebagainya. Kehidupan seorang
mukmin tidak dapat terlepas dari dua perkara tersebut, karena dalam
kehidupan tidak akan terlepas dari rasa gelisah, sedih, susah, senang,
gembira, kaya dan miskin. Ketika susah, manusia harus bersabar dan
ketika senang, maka manusia harus bersyukur. Menahan nafsu memang
sangat sulit, tetapi dibalik kesulitan tersebut akan datang kebahagiaan dari
Allah yang tak terduga. Oleh karena itu, tidak ada batasan atas kesyukuran
seorang hamba kepada Rabb-Nya. Baik nikmat maupun ujian, semuanya
mengandung hikmah yang sangat berharga bagi setiap hamba-Nya.

61 Imam al-Ghazali, Sabar dan Syukur, 206.


86
BAB IV
PESAN SABAR DAN SYUKUR DALAM KISAH NABI DAUD,
NABI SULAIMAN DAN NABI AYYUB PADA QS. AL-ANBIYĀ’
AYAT 78-84 DALAM PENAFSIRAN
AL-ṬABARĪ
Keterkaitan erat antara sikap sabar dan syukur dapat dilihat dari
susunan ayat-ayat al-Qur’an dalam Qs. al-Anbiyā’ ayat 78-84 yang
berkisah tentang kemampuan Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dalam
menyelesaikan sengketa antara pemilik kebun dan pemilik kambing. Pada
awalnya Nabi Daud memberikan keputusan sepihak yang menguntungkan
pemilik kebun, tetapi Nabi Sulaiman diberikan pemahaman yang lebih
oleh Allah untuk memberikan keputusan yang memperhatikan keadilan
bagi pemilik kambing. Kondisi seperti itu dimungkinkan karena Allah
memberikan ilmu dan hikmah kepada keduanya. Dengan ilmu dan hikmah
itulah Allah mengajarkan bagaimana keselamatan para Nabi dari siksa
yang menimpa umat-umat mereka dibuktikan. Ilmu dan hikmah juga yang
dimiliki para Nabi mengarahkan mereka untuk senantiasa memiliki sikap
sabar dan bersyukur sebagai dua sikap yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain.
Pembahasan tentang penafsiran Qs. al-Anbiyā’ ayat 78-84 dapat
diklasifikasikan ke dalam ayat-ayat berikut:
1. Di ayat 78-79 bagian awal Allah menguji Nabi Daud dan Nabi
Sulaiman AS dengan kasus sengketa antara pemilik kebun dan
pemilik kambing. Dengan ilmu dan hikmah yang dimiliki keduanya,
mereka terhindar dari kesalahan dalam memberikan keputusan yang
tidak adil.

89
90

2. Ayat 79 bagian akhir hingga ayat 82, Allah menggambarkan nikmat


yang diberikan kepada Nabi Daud berupa penundukkan gunung-
gunung dan burung-burung untuk bertasbih bersamanya serta Allah
berikan ilmu bagaimana cara membuat baju besi agar mudah
digunakan ketika berperang. Kemudian Allah juga memberikan
nikmat kepada Nabi Sulaiman dengan menundukkan angin yang
sangat kencang tiupannya yang dapat berhembus ke negeri yang
telah diberkati Allah (Negeri Syam) atau berhembus sesuai dengan
yang diperintah Nabi Sulaiman serta Allah tundukkan segolongan
setan-setan dari jenis jin untuk menyelam ke dalam laut dan
mengerjakan pekerjaan selain itu yang diperintahkan oleh Nabi
Sulaiman. Lalu Allah jaga setan-setan itu agar tidak ingkar
kepadanya. Yang dengan demikian itu mereka berdua bersyukur.
3. Ayat 83-84 Allah memberikan nikmat yang banyak bagi Nabi
Ayyub yang kemudian diuji dengan kekurangan dan penyakit,
namun beliau tetap bersabar dan menerima ujian dengan ikhlas
seraya berdoa untuk mendapatkan kesembuhan. Kemudian Allah
mengabulkan doanya dan memberi kesembuhan kepada Nabi Ayyub
dan mengembalikan kekayaan yang pernah dimiliki sebelumnya
karena kesabarannya.

A. Kelompok Ayat-ayat, Terjemah dan Munasabah

1. Bagian Pertama
‫ت فيه غنم الْق ْوم وكنَّا‬
ْ ‫وداود وسل ْيمان إ ْذ َْيكمان ِف ا ِْل ْرث إ ْذ ن فش‬
‫ْما‬ً ‫َّمناها سل ْيمان وكالً ءات ْي نا حك‬ ْ ‫﴾ ف فه‬٧٨﴿‫ِلكْمه ْمشاهدين‬
﴾٧٩﴿…‫وعل ًْما‬
91

“Dan ingatlah kisah Daud dan Sulaiman diwaktu keduanya


memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu
dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan
Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka
itu.” “Maka Kami telah memberikan pengertian kepada
Sulaiman tentang hukum yang lebih tepat, dan kepada masing-
masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu...” (Qs.
al-Anbiyā: 78-79)
2. Bagian kedua

‫﴾ وعلَّ ْمناه‬٧٩﴿ ‫ وسخ َّْرَنمع داودا ْْلبال يسبِّ ْحن و الطَّ ْي وكنَّا فاعل ْْي‬...
‫﴾ ولسل ْيمان‬٨٠﴿ ‫وس لَّك ْم لت ْحصنك ْم ِّم ْن َبْسك ْم فه ْل أنت ْم شاكرون‬ ٍ ‫صْن عةلب‬
‫ِت ِبرْكنا فْيها وكنَّا بك ِّل ش ْى ٍء عالمْي‬َّ
ْ ‫الريْح عاصفةً َْتر ْي َب ْمره إِل اِْل ْرض ال‬
ِّ
َّ ‫﴾ ومن‬٨١﴿
‫الشياط ْْي م ْن ي غ ْوص ْون له وي ْعمل ْون عمالً د ْون ذالك وكنَّاَل ْم‬
﴾٨٢﴿ ‫حافظْي‬
“Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-
burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang
melakukannya. Dan telah Kami ajarkan kepada Daud
membuat baju besi untuk kalian, guna memelihara kalian
dalam peperangan kalian, maka hendaklah kalian bersyukur
kepada Allah. Dan telah Kami tundukkan untuk Sulaiman
angin yang sangat kencang tiupannya yang berhembus dengan
perintahnya ke negeri yang Kami telah memberkatinya. Dan
Kami Maha Mengetahui segala sesuatu. Dan Kami telah
tundukkan pula kepada Sulaiman segolongan setan-setan yang
menyelam ke dalam laut untuknya dan mengerjakan pekerjaan
selain daripada itu, dan adalah Kami memelihara mereka itu.”
(Qs. al-Anbiyā’: 79-82)
3. Bagian Ketiga

‫﴾استجْب نا له‬
ْ ٨٣﴿ ‫الراْحْي‬ َّ ‫سن الضُُّّر وأنْت أ ْرحم‬ َّ ‫وأيُّ ْوب إذْ َنداى ربَّه أ ِّن م‬
‫فكش ْفنا مابه من ضٍِّر وءات ْي ناه أ ْهله وم ْث لهم مَّعه ْم ر ْْح ًة ِّم ْن ع ْندَن وذ ْكرى‬
﴾٨٤﴿ ‫للْعابدين‬
“Dan ingatlah kisah Ayub ketika Ia menyeru Tuhannya, “Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan
Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang diantara semua
92

penyayang. Maka kami pun memperkenankan semuanya itu,


lalu Kami lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami
kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan
bilangan mereka, sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan
untuk menjadi peringatan bagi semua yang menyembah
Allah,” (Qs. al-Anbiyā’: 83-84)
4. Munasabah antar Ayat
Pada ayat yang lalu yaitu ayat 74 dan 75, telah diterangkan tentang
kisah Nabi Luth yang tinggal di negeri Sodom, dimana penduduknya
selalu berbuat keji karena sering melakukan perbuatan homoseks secara
terang-terangan tanpa malu dan sungkan. Sehingga Allah mengazab dan
menghancurkan negeri tersebut bersama penduduknya yang melakukan
perbuatan keji tersebut. Allah selamatkan Nabi Luth serta Allah beri
hikmah dan ilmu kepadanya, lalu Allah masukkan beliau kedalam
golongan orang-orang yang shaleh dan taat dalam menjalankan perintah
dan menjauhi segala larangan-Nya serta selalu menyeru kepada kebaikan
dan menjauhi segala hal-hal maksiat.1
Kemudian pada ayat selanjutnya yaitu ayat 76 dan 77 Allah telah
menyebutkan kisah Nabi Nuh bersama kaumnya yang telah mendustakan
ayat-ayat-Nya. Mereka orang-orang yang jahat dan buruk dalam
perbuatan, suka bermaksiat kepada Allah dan selalu menentang perintah-
Nya. Nabi Nuh berdoa kepada Allah agar membinasakan kaumnya yang
mendustakan-Nya dan mendustakan kebenaran yang dibawa beliau dari
Tuhannya. Allah pun memperkenankan atas doa Nabi Nuh. Allah
mendatangkan angin topan dan banjir yang sangat besar kepada kaumnya
yang berdusta. Tetapi, Allah menyelamatkan Nabi Nuh dan keluarganya

1 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, terj. Ahsan Ahkan,

jilid 18 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2009), 163.


93

serta kaumnya yang beriman. Itulah nikmat yang Allah berikan kepada
Nabi Nuh.2
Lalu pada ayat 78 dan 79, Allah memberikan ujian dan nikmat
kepada Nabi Daud dan Nabi Sulaiman yang dengan demikian mereka
berdua mampu memberikan solusi yang tepat bagi perselisihan antara
pemilik kebun dan pemilik kambing. Nabi Daud menerima keputusan
Nabi Sulaiman tanpa perdebatan. Karena keputusan Nabi Sulaiman
dianggap lebih memperhatikan keadilan bagi kedua belah pihak yang
berselisih. Walaupun demikian, Allah tidak menyalahkan atas keputusan
Nabi Daud, karena Allah telah memberikan hikmah dan ilmu serta nikmat
kepada mereka masing-masing. Keduanya sangat bersyukur dengan
nikmat yang telah diberikan Allah. Nikmat yang Allah berikan kepada
Nabi Daud yaitu Allah telah menundukkan gunung-gunung dan burung-
burung untuk bertasbih bersama beliau. Lalu Nabi Daud juga merupakan
orang pertama yang diberi nikmat secara khusus oleh Allah dengan
diberikan ilmu untuk membuat baju besi agar mudah digunakan ketika
berperang, dimana pada masa beliau saat itu belum ada yang menemukan
alat pelindung diri, yang ada hanyalah pedang yang lebar.3 Allah juga
memberikan nikmat yang tiada terkira kepada Nabi Sulaiman dengan
menundukkan angin dan setan-setan, dimana angin itu dapat berhembus
sesuai yang diperintah olehnya kemana pun yang dikehendakinya. Dan
juga setan-setan yang menyelam ke dasar laut untuk mengambil permata
dan marjan untuk beliau. Selain menyelam ke dasar laut, setan-setan itu
melakukan pekerjaan lain seperti pembangunan gedung-gedung, patung-

2 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 165.


3 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 180.
94

patung, mihrab-mihrab dan lain sebagainya yang diperintahkan oleh Nabi


Sulaiman.4
Setelah itu pada ayat 83 dan 84, Allah menceritakan tentang kisah
Nabi Ayyub yang mendapatkan nikmat yang banyak, tetapi kemudian
diuji dengan penyakit supaya bersabar. Karena ia bersyukur dan juga
sangat bersabar terhadap ujiannya, maka Allah kabulkan doanya dan Allah
berikan kesembuhan untuknya. Beberapa nabi yang terkenal penyabar
selain Nabi Ayyub adalah Nabi Ismail, Nabi Idris dan Nabi Dzulkifli yang
mana namanya Allah abadikan pada ayat 85. Allah memasukan mereka
kedalam rahmat-Nya dan kedalam golongan orang-orang shaleh.5 Penulis
telah menuliskan kisah ketiga nabi tersebut pada bab sebelumnya.
Jadi, refleksi kisah dalam ayat 74-75 dengan ayat 78-79, sama-sama
Allah berikan hikmah dan ilmu kepada Nabi Luth, Nabi Daud dan Nabi
Sulaiman. Yang dengan demikian itu Allah memasukan mereka kedalam
rahmat-Nya dan kedalam golongan orang-orang yang shaleh. Dan refleksi
kisah dalam ayat 76-77 dengan ayat 83-84 adalah sama-sama Allah
kabulkan atas doa Nabi Nuh dan Nabi Ayyub terhadap ujian yang
menimpa mereka.
Kesimpulan munasabah yang telah dipaparkan dari ayat 74 sampai
84 menurut penulis adalah bahwa Allah telah memberi hikmah dan ilmu,
nikmat dan rahmat serta ujian kepada nabi-nabi yang telah dikehendaki-
Nya. Lalu Allah pelihara dan lindungi mereka dalam menghadapi ujian,
baik itu ujian berupa pendustaan atau penganiyaan yang dilakukan
kaumnya terhadap nabi-nabi tersebut, maupun anugerah, nikmat dan

4 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 181


5 Abū Ja’far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 235.
95

rahmat yang diberikan Allah kepada mereka. Dengan bersabar, dapat


menguatkan keimanan serta mensyukuri apa yang sudah dimiliki.

B. Penafsiran Kisah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dalam


Menangani Perselisihan
Suatu ketika pada malam hari, ada sejumlah kambing milik suatu
kaum merusak tanaman milik kaum lain. Kedua kaum tersebut adalah
kaum Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Kemudian terjadi perselisihan di
antara mereka. Firman-Nya dalam surah al-Anbiyā’ ayat 78-79 :

‫ت فيه غنم الْق ْوم وكنَّا ِلكْمه ْم‬ ْ ‫وداود وسل ْيمان إذْ َْيكمان ِف ا ِْل ْرث إذْ ن فش‬
﴾٧٩﴿…‫ْما وعل ًْما‬ ً ‫َّمناها سل ْيمان وكالً ءات ْي نا حك‬
ْ ‫﴾ ف فه‬٧٨﴿ ‫شاهدين‬
“Dan ingatlah kisah Daud dan Sulaiman di waktu keduanya
memberikan keputusan mengenai tanaman karena tanaman dirusak
oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami
menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” (Qs. al-
Anbiyā: 78)
Pada surah al-Anbiyā ayat 78, al-Ṭabarī menafsirkan bahwa para
ulama berbeda pendapat mengenai makna lafaẓ ِ ‫ا ْْلر‬,
َ‫ث‬ yaitu sebagian
َْ
ulama berpendapat bahwa makna lafaẓ tersebut adalah “tanaman” dan
sebagian yang lain berpendapat “pohon anggur”. Dalam riwayat Ibn Juraij
yang berasal dari Atha, dikatakan bahwa lafaẓ ِ ‫ا ْْلر‬
َ‫ث‬ maknanya adalah
َْ
“tanaman”.6 Kemudian dalam riwayat Qatadah dikatakan bahwa kambing-
kambing suatu kaum telah merusak tanaman kaum lain pada malam hari. 7
Lalu Tamim bin al-Muntasir dari Syuraih berkata bahwa lafaẓ ِ ‫ا ْْلر‬
َ‫ث‬ َْ
maknanya adalah “pohon anggur”. Dan Ibnu Mas’ud berkata bahwa pohon

6 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 166.


7 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 167.
96

anggur yang dimaksud adalah yang sudah tumbuh tandanya. Sedangkan


al-Ṭabarī berkata bahwa pendapat yang paling tepat dalam hal ini
menurutnya adalah seperti yang ditegaskan oleh Allah, bahwa ِ ‫ا ْْلر‬
َ‫ث‬ َْ
maknanya adalah “tanaman bumi”. Bisa saja berupa “tanaman” dan bisa
saja berupa “pepohonan”. Menurutnya, tidak apa-apa jika tidak
mengetahui makna yang sesungguhnya.8 Kemudian Firman-Nya, ‫ت‬
ْ ‫إذْ ن فش‬
‫فيه غنم الْق ْوم‬ memiliki arti “Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-
kambing milik kaumnya.” Dalam hal ini, Abu Kuraib dan Harun bin Idris
dari Ibnu Mas’ud berkata, bahwa maksud potongan ayat tersebut adalah
pohon anggur yang sudah tumbuh tandanya kemudian ada kambing-
kambing yang merusaknya.9
Sebagaimana yang ditulis oleh al-Ṭabarī dalam tafsirnya, sikap
sabar yang dilakukan Nabi Daud dalam menetapkan hukum yang terjadi
pada pemilik kebun dan pemilik kambing diceritakan dalam riwayat Ibnu
Abbas, bahwa dikatakan ada dua orang laki-laki masuk ke dalam rumah
Nabi Daud, yang satu pemilik kebun dan yang satu lagi pemilik kambing.
Pemilik kebun berkata kepada Nabi Daud bahwa si pemilik kambing itu
telah melepaskan kambing-kambingnya hingga masuk ke kebunnya dan
merusak tanamannya sampai habis tak tersisa. Lalu Nabi Daud
memberikan keputusan bahwa semua kambing itu telah menjadi milik si
pemilik kebun tersebut. Setelah itu, si pemilik kambing hendak pulang dan
berjalan di depan Nabi Sulaiman. Lalu Nabi Sulaiman bertanya apa hasil
keputusan yang diberikan oleh Nabi Daud. Kemudian si pemilik kambing
memberitahu keputusan yang diberikan oleh Nabi Daud. Setelah
mengetahui hal tersebut, Nabi Sulaiman pun menemui Nabi Daud dan
8 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 167.
9 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 168.
97

mengatakan bahwa keputusan yang benar bukanlah demikian. Karena


sesungguhnya si pemilik kebun pasti tahu hasil tanaman yang
diperolehnya setiap tahun, maka si pemilik kebun diperbolehkan untuk
menjual anak yang dilahirkan dari kambing tersebut dan bulu-bulunya
sampai mencukupi dan setara seperti hasil tanamannya. Kambing itu pasti
akan beranak pada setiap tahunnya. Lalu Nabi Daud mengatakan bahwa
keputusan Nabi Sulaiman adalah keputusan yang benar. Sikap sabar Nabi
Daud dalam menerima keputusan tersebut adalah beliau menyetujui atas
keputusan Nabi Sulaiman tanpa perdebatan10
Dalam riwayat Ibn Abi Ziyad, dikatakan bahwa ada dua orang laki-
laki yang datang kepada Syuraih, lalu salah seorang dari mereka
mengatakan bahwa domba seseorang telah memutuskan benang tenunnya.
Syuraih lalu bertanya kapan hal tersebut terjadi. Jika siang hari, maka
pemilik domba tidak bersalah. Tetapi, jika terjadinya pada malam hari
maka ia harus bertanggung jawab. Kemudian Syuraih membaca firman-
Nya: ‫ت فيه غنم الْق ْوم‬
ْ ‫وداود وسل ْيمان إذْ َْيكمان ِف ا ِْل ْرث إذْ ن فش‬. Maknanya
adalah “Perusakan kebun tersebut terjadi pada malam hari.11
Said dari Qatadah berkata tentang firman Allah, ْ‫وداود وسل ْيمان إذ‬
‫ َْيكمان ِف ا ِْل ْرث‬memiliki arti “Dan ingatlah kisah Daud dan Sulaiman di
waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman.” Maknanya
adalah perusakan terjadi pada malam hari dan kelalaian terjadi pada siang
hari. Ia menyebutkan bahwa kambing-kambing tersebut menjadi milik
pemilik kebun. Kemudian Nabi Sulaiman berkata bahwa keputusan yang
tepat bukanlah seperti itu, tetapi hendaknya kambing-kambing tersebut
diserahkan kepada pemilik kebun untuk diambil manfaatnya seperti
10 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 169.
11 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 172.
98

anaknya, bulunya dan susunya. Lalu pada tahun depan, setelah tanaman
kembali seperti semula, kambing-kambing tersebut dikembalikan kepada
pemiliknya lagi dan pemilik kebun mendapati kebunnya kembali. Itulah
makna dari lafaẓ ‫َّمناها سل ْيمان‬
ْ ‫ف فه‬ “Maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman.”12 Muammar dan al-Zuhri berkata bahwa
perusakan tidak terjadi kecuali pada malam hari, sedangkan kelalaian
terjadi pada siang hari.13
Dalam riwayat Ibnu Humaid dikatakan tentang lafaẓ ‫النَّ ْفس‬
maknanya adalah mennggembala pada malam hari.14 Dikatakan bahwa
Unta milik al-Barra bin Azib masuk ke pagar tembok milik orang Anshar
dan merusaknya. Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Rasulullah
Saw kemudian beliau membaca ayat ‫ت فيه غنم الْق ْوم‬
ْ ‫إذْ ن فش‬ yang artinya
“Karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing milik kaumnya.”
Lalu beliau memutuskan bahwa al-Barra bertanggung jawab atas
kerusakan yang disebabkan oleh untanya. Kepada para pemilik ternak
hendaknya menjaga ternaknya pada malam hari, dan kepada pemilik pagar
tembok hendaknya menjaga pagar temboknya pada siang hari.”
Sikap sabar yang dimiliki Nabi Daud pun disebutkan dalam riwayat
al-Zuhri, ia berkata bahwa ada seorang laki-laki yang ternaknya masuk ke
dalam kebun milik orang lain dan merusak tanamannya pada malam hari.
Kemudian kedua kaum tersebut mendatangi Nabi Daud. Lalu Nabi Daud
memberikan keputusan bahwa kambing tersebut menjadi milik si pemilik
kebun. Akhirnya keduanya pun pulang. Ketika mereka lewat di depan
Nabi Sulaiman, Nabi Sulaiman bertanya bagaimana ayahnya memberikan

12 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 173.


13 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 174.
14 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 176.
99

keputusan kepada mereka. Keduanya pun memberi tahu kepada Nabi


Sulaiman hasil keputusan Nabi Daud, yaitu kambing-kambing tersebut
menjadi milik si pemilik kebun. Kemudian Nabi Sulaiman berkata bahwa
seharusnya keputusannya tidak demikian dan ia segera mendatangi
ayahnya seraya mengatakan bahwa semestinya keputusan yang diberikan
bukan demikian. Seharusnya kambing tersebut diserahkan kepada si
pemilik kebun, lalu izinkan si pemilik kebun tersebut untuk mengambil
susunya, minyak saminnya, dan bulunya. Sementara itu, berikan kebun
kepada pemilik kambing agar ia mengelolanya. Dan setelah tanaman
kembali seperti semula, maka kambing tersebut harus dikembalikan
kepada pemiliknya dan kebun pun dikembalikan kepada pemiliknya juga.
Kemudian Nabi Daud pun menyetujui keputusan Nabi Sulaiman tanpa
perdebatan.15
Lalu pada akhir ayat ini, ‫وكنَّا ِلكْمه ْم شاهدين‬ memiliki arti “Dan
Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu”. Maknanya
adalah Allah menerangkan bahwa Dia menyaksikan dan mengetahui apa
yang telah dilakukan oleh Nabi Daud dan Nabi Sulaiman dalam
memeriksa dan memutuskan perkara tersebut. Sehingga tidak ada satupun
yang tersembunyi dari-Nya.
Dalam kitab tafsirnya, al-Ṭabarī tidak menjelaskan alasan tentang
mengapa keputusan Nabi Sulaiman dianggap lebih tepat. Oleh karena
ketidak adaan alasan tersebut, penulis menemukan penjelasan yang lebih
rinci dari penafsiran Hamka dalam Kitab Tafsir al-Azhar. Hamka
menyajikan riwayat yang berasal dari an-Nahs. Ia menulis, al-Nahs
meriwayatkan bahwa Nabi Daud memutuskan kambing itu diserahkan

15 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 177.


100

kepada pemilik kebun, karena harga kerugiannya hampir sama dengan


harga kambing. Sedangkan keputusan Nabi Sulaiman adalah kambing itu
diserahkan kepada pemilik kebun dahulu sampai pohon yang dirawat oleh
pemilik kambing tumbuh kembali, karena harga hasil yang diambil dari
kambing tersebut dapat membayar harga yang dirusak oleh kambing
tersebut.16 Hamka juga menyebutkan alasan tentang maksud ilmu dan
hikmah yang Allah berikan kepada Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, yaitu
kesadaran atau rasa keadilan yang ada pada diri orang-orang yang berjiwa
kemanusiaannya sangat mendalam. Dapat juga diartikan sebagai
kekuasaan menjatuhkan hukum, karena selain menjadi nabi dan rasul,
Nabi Daud dan Nabi Sulaiman adalah raja. Dan ilmu-ilmu itu muncul dari
banyaknya pergaulan dan pengalaman yang bermanfaat untuk mengetahui
ilmu tentang manusia serta ilmu berperang dan memerintah. Baik hukum
hasil kebijaksanaan Nabi Daud maupun Nabi Sulaiman, keduanya adalah
hasil ijtihad. Nabi Muhammad Saw selalu menganjurkan umatnya untuk
berijtihad, terutama kepada seseorang yang akan memutuskan suatu
hukum.17
Dalam kitab tafsirnya, al-Ṭabarī juga tidak menjelaskan mengapa
Nabi Sulaiman dapat memutuskan suatu perkara dengan keputusan yang
sangat tepat. Disini penulis menemukan penjelasannya pada penafsiran
Sayyid Quthb dalam kitab Tafsir Fi Zhilalil Qur’ān. Ia menulis, dalam
riwayat al-Zuhri dikatakan bahwa Nabi Sulaiman menjadikan keadilan
sebagai motivasi bagi pembangunan dan kemakmuran. Itulah keadilan

16 Hamka, Tafsir al-Azhar, juz XVII (Jakarta: PT. Citra Serumpun Padi, ), 81.
17 Hamka, Tafsir al-Azhar, 82.
101

hidup yang positif dan hal tersebut merupakan pancaran ilham dari Allah
yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.18
Al-Ṭabarī juga tidak menjelaskan makna kalimat “yahkumāni” dan
“fafahamnāhā” secara detail. Di sini penulis menemukan penjelasan yang
lebih rinci pada penafsiran M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbāh,
beliau berkata bahwa lafaẕ “yahkumāni” dipahami oleh banyak ulama
dalam arti “menetapkan hukum”, yaitu antara Nabi Daud dan Nabi
Sulaiman masing-masing menetapkan hukum. Sedangkan sebagian ulama
berpendapat bahwa lafaẓ yahkumāni bukan berarti masing-masing
menetapkan hukum, tetapi dalam arti mereka berdua berdiskusi untuk
menetapkan hukum. Pada awalnya, mereka sepakat untuk menetapkan
ganti rugi bagi pemilik kebun tetapi mereka berbeda pendapat tentang
pemberian ganti rugi itu. Dalam hal ini, Nabi Sulaiman diberi pemahaman
yang lebih oleh Allah, sehingga keputusan yang diambil adalah keputusan
salah satu dari mereka, bukan dua putusan yang berbeda. Yang jelas, ayat
tersebut menjelaskan perbedaan pendapat antara dua orang Nabi yang
mana keduanya adalah sosok ayah dan anak yang ijtihadnya menyangkut
satu kasus yang sama.19
M. Quraish Shihab lebih lanjut menjelaskan mengenai makna lafaẓ
“fafahamnāhā”, yaitu pemahaman yang telah dianugerahkan kepada Nabi
Sulaiman adalah yang lebih tepat. Karena dalam hal menetapkan ganti
rugi, Nabi Daud hanya mewujudkan keadilan semata. Sedangkan pendapat
Nabi Sulaiman adalah keadilan yang sekaligus dapat menciptakan

18 Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’ān: Di Bawah Naungan al-Qur’an, terj. M.


Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, jilid 8 (Jakarta: Robbani Press, 2009), 562.
19 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,

vol.8 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 487.


102

pembinaan dan pembangunan. Selain itu, ganti rugi yang diputuskan Nabi
Sulaiman tidak menyebabkan hilangnya modal si pemilik kambing, karena
kambingnya akan dikembalikan hingga waktunya selesai. Kasus tersebut
membuktikan bahwa dua orang hakim yang menghadapi kasus yang sama
bisa berbeda keputusan dalam tingkat pemahaman. Yang terbaik adalah
yang pemahamannya lebih dalam terhadap kasus, petunjuk teks, jiwa,
ajaran dan kondisi sosial budaya yang dihadapi. Oleh sebab itu, bagi
seorang hakim, sekedar keinginan untuk berlaku adil dan pengetahuan
hukum saja belum cukup, karena semua itu harus disertai dengan apa yang
ditetapkan oleh al-Qur’an dengan kemampuan penetapan. Sehingga
keadilan dapat tercapai dan kemudharatan dapat dihindarkan. M. Quraish
Shihab mengutip dalam riwayat yang berasal Bukhari, Muslim, Abu Daud
dan Amr Ibn Ash Quraish Shihab disebutkan bahwa “Apabila seorang
hakim memutuskan hukum dan dia telah berijtihad dan ternyata
putusannya benar, maka ia memperoleh dua ganjaran, dan jika ia
berijtihad lalu keliru, maka ia memperoleh satu ganjaran.”20
Walaupun keputusan Nabi Sulaiman dianggap lebih benar, bukan
berarti Nabi Daud tidak memperoleh ganjaran. Karena yang berijtihad pun
bisa keliru dan memperoleh ganjaran, dan memang Allah telah berikan
kemampuan kepada mereka dalam menetapkan hukum dan telah diberikan
hikmah dan kenabian serta menganugerahkan ilmu yang bermanfaat. Apa
yang terjadi kepada Nabi Daud sama sekali tidak mengurangi kemuliaan
Nabi Daud. Hal ini dibuktikan pada ayat selanjutnya. 21

20 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,


488.
21 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,
486.
103

C. Penafsiran atas Nikmat Allah yang Diberikan Kepada Nabi


Daud dan Nabi Sulaiman
1. Penafsiran atas Nikmat Allah yang Diberikan Kepada Nabi
Daud
Apa yang terjadi kepada Nabi Daud setelah menentukan suatu
hukum sama sekali tidak mengurangi kemulian nya. Justru Allah
memberikan nikmat-Nya secara khusus kepadanya dan anaknya, yaitu
Nabi Sulaiman. Dimulai dari nikmat Nabi Daud yang diterangkan dalam
surah al-Anbiyā ayat 79:

‫ وسخ َّْرَن مع داود ا ْْلبال يسبِّ ْحن والطَّ ْي وكنَّا فاعلْي‬...


“...Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung,
semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya.”
(Qs. al-Anbiyā’: 79)
Al-Ṭabarī mengutip riwayat Said yang berasal dari Qatadah, beliau
berkata tentang firman Allah, ‫وسخ َّْرَن مع داود ا ْْلبال يسبِّ ْحن والطَّ ْي وكنَّا فاعل ْْي‬
yang memiliki arti “Dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan
burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang
melakukannya.” Maknanya adalah jika Nabi Daud shalat, gunung-gunung
dan burung-burung ikut shalat bersamanya. Allah telah memutuskan hal
tersebut dan Dialah yang menundukkan gunung-gunung serta burung-
burung untuk bertasbih kepada-Nya bersama Nabi Daud sebagaimana
yang telah disebutkan dalam al-Qur’an.
Dalam tafsirnya, al-Ṭabarī tidak menjelaskan mengapa gunung-
gunung dan burung-burung dapat bertasbih bersama Nabi Daud. Disini
penulis menemukan penjelasan yang lebih rinci pada penafsiran M.
Quraish Shihab dalam kitab tafsirnya. Beliau berkata bahwa pada
104

hakikatnya memang gunung-gunung dan burung-burung memiliki


kemampuan untuk bertasbih pada dirinya masing-masing. lafaẓ ‫وسخ َّْرَن مع‬
‫ داود ا ْْلبال يسبِّ ْحن والطَّ ْي‬pada firman-Nya, kata ‫ مع‬didahulukan dari pada
kata ‫حن‬ ْ ِّ‫ يسب‬dan ‫ داود‬, ini mengisyaratkan bahwa hal tersebut merupakan
keistimewaan Nabi Daud yang tidak dapat diraih oleh siapa pun selain
beliau.22 M. Quraish Shihab menulis, dikatakan dalam riwayat Thahir Ibn
Asyur bahwa apa yang dialami Nabi Daud adalah suatu mukjizat dan
terjadi setelah beliau diangkat menjadi Nabi. Ia juga berkata bahwa
kalimat, ‫وكنَّافاعلْي‬ memiliki arti “Dan Kamilah yang melakukannya.”
Menurutnya, ayat ini adalah untuk menyingkirkan segala keraguan yang
bisa jadi terlintas dibenak seseorang tentang keistimewaan atau mukjizat
yang Allah anugerahkan kepada Nabi Daud. Potongan ayat ini
menegaskan bahwa jangan meragukan tentang informasi ini, karena Allah
yang Maha Kuasalah yang melakukan dan menganugerahkannya kepada
Nabi Daud.23
Kemudian dalam penafsirannya, al-Ṭabarī tidak menjelaskan
bagaimana suara Nabi Daud sampai gunung-gunung dan burung-burung
ikut bertasbih bersamanya. Penulis menemukan kembali penjelasan yang
rinci dalam penafsiran Hamka pada kitab tafsirnya. Hamka menulis, telah
ditafsirkan dari Ibnu Katsir bahwa suara Nabi Daud itu sangat merdu bila
beliau menyanyikan Mazmur atau Zabur yang diturunkan Allah kepada

22 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an,


489.
23 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an,
491.
105

beliau. Maka jika beliau bertasbih, gunung-gunung pun ikut bertasbih.24


Dan burung-burung yang sedang terbang pun berhenti dan hinggap untuk
menikmati suara yang amat merdu tersebut. Dalam ayat ini, gunung-
gunung disebutkan terlebih dahulu daripada burung-burung karena,
lantunan tasbih burung-burung lebih cepat dipahami dari pada lantunan
tasbih yang dilantunkan gunung-gunung. Suara dan nyanyian berbagai
unggas dalam dunia benar-benar mengandung tasbih yang selalu
mengucap syukur dan kesucian kepada Tuhan semesta alam.25
Lalu disebutkan kembali nikmat selanjutnya yang diberikan oleh
Allah kepada Nabi Daud pada Surah al-Anbiyā’ ayat 80:

‫وس لَّك ْم لت ْحصنك ْم ِّم ْن َبْسك ْم فه ْل أنت ْم شاكرون‬


ٍ ‫وعلَّ ْمناه صْن عة لب‬
“Dan telah Kami ajarkan kepada Daud membuat baju besi untuk
kalian, guna memelihara kalian dalam peperangan, maka hendaklah
kalian bersyukur kepada Allah.” (Qs. al-Anbiyā’: 80)
Dalam penafsiran al-Ṭabarī, lafaẓ ‫اللَّبوس‬ yaitu memiliki makna
seluruh macam senjata, baik berupa baju besi, pedang, maupun tombak.
Adapun maksud dalam ayat ini, para mufassir berkata bahwa itu
merupakan baju besi.26
Al-Ṭabarī mengutip dari riwayat Qatadah tentang firman Allah,
‫وس لَّك ْم‬
ٍ ‫وعلَّ ْمناه صْن عة لب‬ yang memiliki arti “Dan telah Kami ajarkan
kepada Daud membuat baju besi untuk kamu”, maknanya yaitu dahulu
sebelum Nabi Daud bisa membuat baju besi, yang ada hanyalah pedang

24 Hamka, Tafsir al-Azhar,


82.
25 Hamka, Tafsir al-Azhar,
84.
26 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 179.
106

yang lebar. Maka dapat dikatakan bahwa orang yang pertama kali dapat
membuat baju besi adalah Nabi Daud ‘Alaihissalam.
Pada penafsiran al-Ṭabarī dikatakan bahwa para ahli qira’at berbeda
pendapat tentang kalimat ‫لت ْحصنك ْم‬ . Mayoritas ahli qira’at negeri islam
membacanya dengan huruf “ya”, yang memiliki arti agar baju besi
melindungi kalian dalam peperangan. Mereka menjadikannya mudzakkar
karena mengikuti lafaẓ ٍ ‫لب‬. Kemudian Abu Ja’far Yazid
‫وس‬ bin al-Qa’qa
membacanya dengan huruf “ta” yang artinya agar pembuatannya
melindungi kalian. Mereka menjadikannya muannas karena mengikuti
lafaẕ ‫صْن عة‬. Dan Syaibah bin Nishah dan Asim bin Abi Nujud
membacanya dengan huruf “nun”, yang artinya “Agar Kami melindungi
kalian dari peperangan kalian.”27 Sedangkan Abu Ja’far al-Ṭabarī berkata
bahwa Qira’at yang paling tepat menurutnya adalah dengan huruf “ya”,
karena itu merupakan qira’at mayoritas yang dapat menjadi hujjah
meskipun ketiga qira’at tersebut memiliki makna yang berdekatan. lafaẓ
‫صْن عة‬ artinya ٍ ‫لب‬
‫وس‬ dan lafaẓ ٍ ‫لب‬
‫وس‬ artinya ‫صْن عة‬. Maka makna “Allah”
adalah Dia yang melindungi umatnya dari peperangan. Jadi dalam
penafsiran al-Ṭabarī, baju dapat menjadi pelindung umat karena kehendak
Allah.28
Kemudian Firman-Nya ‫فه ْل أنت ْم شاكرون‬ memiliki arti “Maka
hendaklah kamu bersyukur kepada Allah”. Maknanya adalah tidakkah
semua manusia bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat-Nya yang

27 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 180.


28 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 181.
107

telah dilimpahkan, yaitu mengajarkan kepada manusia cara membuat baju


besi yang dapat menjadi pelindung dalam peperangan, serta nikmat-
nikmat lainnya yang telah dianugerahkan kepada manusia. Oleh karena
itu, Allah memerintahkan untuk bersyukur kepada-Nya atas hal itu.
Dalam penafsirannya, al-Ṭabarī tidak menjelaskan mengapa Nabi
Daud diberikan nikmat oleh Allah untuk membuat baju besi. Penulis
menemukan penjelasan secara rinci dalam penafsiran Hamka pada kitab
tafsirnya. Ia menulis, bahwa Allah telah memberikan petunjuk dan ilham
kepada Nabi Daud bagaimana cara membuat baju besi untuk digunakan
ketika perang agar mudah dibawa bergerak. Hamka menulis, menurut
keterangan Qatadah Allah mengajarkan kepada Nabi Daud tentang
membuat baju besi untuk peperangan. Dahulu besi tipis dipasangkan di
dada dan susah untuk dibawa bergerak. Kemudian Nabi Daud diberi ilham
oleh Allah untuk membuat baju besi secara menyambung yang terbuat dari
rantai. Sebelumnya, pada surah Sabā ayat 10 dan 11 Allah telah
menjelaskan bahwa Dia telah melunakkan besi untuk Nabi Daud dan
beliau diperintahkan untuk membuat baju besi. Sangat jelas bahwa Allah
mengajarkan Nabi Daud untuk membuat baju besi agar mudah bergerak.
Tetapi harus diukur baik-baik dan sedang, karena jika terlalu besar akan
berat untuk dibawa ketika berjuang. Dan kepada keluarga serta umatnya
Nabi Daud diperintahkan agar beramal shalih dan bekerja serta bermanfaat
untuk semua orang.29

29 Hamka, Tafsir al-Azhar, 86.


108

2. Penafsiran atas Nikmat Allah yang Diberikan Kepada Nabi


Sulaiman
Setelah menyebutkan nikmat-nikmat yang Allah limpahkan kepada
Nabi Daud, kini ayat selanjutnya disebutkan tentang nikmat-nikmat yang
Allah limpahkan kepada anaknya, yaitu Nabi Sulaiman. Firman-Nya:

‫ِت ِبرْكنا فْيها وكنَّا بك ِّل‬َّ


ْ ‫الريْح عاصفةً َْتر ْي َب ْمره إِل اِْل ْرض ال‬
ِّ ‫ولسل ْيمان‬
‫ش ْى ٍء عالمْي‬
“Dan telah Kami tundukkan untuk Sulaiman angin yang sangat
kencang tiupannya yang berhembus dengan perintahnya ke negeri
yang Kami telah memberkatinya. Dan Kami Maha Mengetahui
segala sesuatu.” (Qs. al-Anbiyā’: 81)
Al-Ṭabarī mengutip dari riwayat Wahab bin Munabbih, ia berkata
bahwa jika Nabi Sulaiman keluar dari dalam majelisnya, hinggaplah
burung-burung di atasnya, lalu berdirilah jin dan manusia untuk
menghormatinya hingga beliau duduk di tempat tidurnya. Beliau
merupakan orang yang suka berperang dan jarang sekali berhenti untuk
berperang.30 Jika hendak berperang, maka beliau memerintahkan
tentaranya agar memasang kayu untuknya, kemudian kayu itu ditegakkan
dan beliau duduk di atasnya. Kemudian manusia, binatang dan peralatan
perang semuanya dibawa di atasnya, sehingga ketika ia dibawa kemana
saja yang dikehendaki. Ia memerintahkan kepada angin agar berhembus
kencang, lalu ia masuk ke bawah kayu tersebut dan ia pun dibawanya.
Sikap sabar Nabi Sulaiman ketika dibawa oleh angin tersebut adalah ia
menurut saja. Perjalanan tersebut adalah selama sebulan. Dan dalam
waktu sebulan pula Nabi Sulaiman kembali kemana saja yang
dikehendakinya. Allah berfirman: “Kemudian Kami tundukkan

30 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 182.


109

kepadanya angin yang berhembus dengan baik menurut kemana saja yang
dikehendaki-Nya.” (Qs. Shād: 36) Dan Allah berfirman: “Dan Kami
tundukkan angin bagi Sulaiman, yang perjalannya di waktu pagi sama
dengan perjalanan sebulan, dan perjalanannya di waktu sore sama dengan
perjalanan sebulan pula.” (Qs. Sabā’: 12)
Diceritakan bahwa ada sebuah rumah di daerah Dijlah yang terdapat
sebuah tulisan dan yang menulisnya ialah bagian dari sahabat Nabi
Sulaiman, entah dari jenis jin atau manusia. Tempat itu pernah
disinggahinya, tetapi tidak pernah dibangunnya dan mereka
mendapatkannya telah dibangun. Lalu mereka berangkat dari Istakhar
serta tidur siang di sana dan akan berangkat kembali dan tidur siang
sebentar di negeri Syam.31 Ibnu Zaid Berkata bahwa angin yang
berhembus dengan perintahnya ke negeri yang telah Kami berkati
maksudnya adalah negeri Syam.32
Dalam penafsirannya, al-Ṭabarī mengatakan bahwa Para ahli qira’at
berselisih pendapat tentang firman-Nya, ‫الريْح عاصف ًة‬
ِّ ‫ولسل ْيمان‬ yang
mempunyai arti “Dan telah Kami tundukkan untuk Sulaiman angin yang
sangat kencang tiupannya.” Mayoritas ulama membaca lafaẕ ‫الريْح‬
ِّ dengan
posisi manshub. Sedangkan al-Ṭabarī berkata bahwa Qira’at yang tidak
beliau perbolehkan adalah selain qira’at jumhur, karena hal tersebut telah
menjadi ijma’ mereka.
Lalu Firman-Nya ‫وكنَّا بك ِّل ش ْى ٍء عالمْي‬ memiliki arti “Dan adalah
Kami Maha Mengetahui segala sesuatu.” Maknanya adalah Allah ta’ala
menegaskan bahwa Dia Maha Mengetahui segala sesuatu dan apa yang
dilakukan atas sikap syukur yang dilakukan Nabi Sulaiman, yaitu
31 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 183.
32 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 184.
110

penundukkan angin, anugerah kerajaan, dan kedamaian makhluk.


Semuanya Allah ketahui dengan baik dan tidak ada sesuatu pun yang
tersembunyi dari-Nya.33
Dalam kitab Tafsirnya, al-Ṭabarī tidak menjelaskan daerah mana
saja yang menjadi wilayah kekuasaan Nabi Sulaiman. Penulis menemukan
penjelasan mengenai daerah wilayah kekuasaan Nabi Sulaiman pada
penafsiran Hamka dalam tafsirnya. Ia menulis, dikatakan menurut
keterangan dari ahli-ahli tafsir adalah wilayah kekuasaan Nabi Sulaiman
meliputi bumi Syam yang melingkungi negeri-negeri yang sekarang
dinamai Suriah, Lebanon, Yordania dan Palestina yang biasa disebut juga
Mesopotamia. Dalam sejarah lama disebutkan bahwa daerah kekuasaan
Nabi Sulaiman sangat luas, yaitu meliputi Laut Merah dan Laut Tengah. 34
Selanjutnya, dalam surah al-Anbiyā’ ayat 82 Allah juga memberikan
nikmat-Nya kembali untuk Nabi Sulaiman, yaitu berupa penundukkan
segolongan setan-setan untuknya. Firman-Nya:

َّ ‫ومن‬
‫الشياط ْْي م ْن ي غو َْص ْون له وي ْعمل ْون عمالً د ْون ذالك وكنَّا َل ْم حافظْي‬
“Dan Kami telah tundukkan pula kepada Sulaiman segolongan
setan-setan yang menyelam ke dalam laut untuknya dan
mengerjakan pekerjaan selain daripada itu, dan adalah Kami
memelihara mereka itu.” (Qs. al-Anbiyā’: 82)
Al-Ṭabarī menafsirkan bahwa maksud ayat diatas adalah Allah
ta’ala telah menundukkan segolongan setan untuk Nabi Sulaiman yang
menyelam ke dalam laut dan mengerjakan pekerjaan selain itu, seperti
pembangunan gedung, patung-patung dan mihrab-mihrab. Allah
senantiasa menjaga setan-setan itu, sehingga setan-setan tersebut tidak

33 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 184.


34 Hamka, Tafsir al-Azhar,90.
111

merusak, tidak bermain-main, tidak melarikan diri serta tidak


membangkang dalam melakukan pekerjaannya dengan cara yang telah
dikehendaki-Nya.35
Dalam kitab tafsirnya, al-Ṭabarī tidak menjelaskan untuk apa setan-
setan menyelam ke dasar laut, beliau hanya menyebutkan pekerjaan selain
itu. Penulis menemukan penjelasan yang rinci pada penafsiran M. Quraish
Shihab dalam tafsirnya. Beliau berkata bahwa Allah telah menundukkan
segolongan setan-setan kepada Nabi Sulaiman dari jenis jin yang
menyelam ke dasar laut dan sungai untuk mengambil mutiara dan marjan.
Semua itu mereka lakukan bukan untuk kepentingan mereka, tetapi untuk
memenuhi perintah Nabi Sulaiman. Dan selain menyelam, mereka pun
mengerjakan berbagai pekerjaan berat yang diperintahkan oleh Nabi
Sulaiman seperti pembangunan gedung-gedung yang tinggi serta
pembuatan patung-patung dan piring-piring yang besarnya seperti kolam
dan periuk yang sangat besar dan sangat sulit untuk dipindahkan karena
berat, sehingga selalu berada di atas tungku. Hal ini telah dijelaskan pada
surah sabā ayat 13:
ٍ ‫ان كا ْْلواب وقدورٍ راسي‬
‫ات‬ ٍ ‫ي ْعملون له ما يشاء من ََّّماريْب وَتاث ْيل وجف‬
ْ ْ ْ
َّ ‫ْرا وقل ْيل م ْن عبدي‬
‫الشك ْور‬ ً ‫إ ْعملوا اآلداود شك‬
“Mereka para Jin itu bekerja untuk Sulaiman sesuai dengan apa yang
dikehendakinya diantaranya membuat gedung-gedung yang tinggi,
patung-patung, piring-piring yang besarnya seperti kolam dan
periuk-periuk yang tetap berada diatas tungku.” (Qs. Sabā: 13)
Dan dalam surah shād ayat 36 juga telah dinyatakan bahwa:
‫ااء ح ْيث اصاب‬
ً ‫الريْح َْتر ْي ِب ْمره رخ‬
ِّ ‫فسخ ْرَنله‬
35 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 185.
112

“Kemudian Kami tundukan kepadanya angin yang berhembus


dengan baik menurut perintahnya ke mana saja yang
dikehendakinya.” (Qs. Shād: 36)
Hal ini menunjukkan bahwa atas izin Allah, Nabi Sulaiman dapat
mengendalikan angin sesuai dengan kebutuhan dan perintahnya. Seperti
ketika beliau menghendaki perahu-perahu yang mengangkut barang atau
pasukan, maka beliau berdoa kepada Allah agar angin itu berhembus
kencang untuk mendorong laju perahu tersebut. Dan jika beliau
menghendaki angin segar untuk berhembus sepoi-sepoi, itu pun bisa
terjadi karena izin Allah. Dapat dikatakan angin yang ditundukkan untuk
beliau adalah angin yang baik dan tidak merusak. Walaupun angin
tersebut dalam keadaan ً‫( عاصفة‬sangat kencang), maka angin tersebut tidak
menghancurkan sesuatu.36

D. Penafsiran atas Nikmat dan Ujian Allah yang Diberikan Kepada


Nabi Ayyub

Setelah memaparkan penafsiran tentang kisah kenikmatan yang


Allah berikan kepada Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, sekarang penulis
akan membahas tentang kisah nikmat dan ujian Nabi Ayyub pada Firman-
Nya:

‫استجْب نا له‬
ْ ‫﴾ ف‬٨٣﴿ ‫الراْحْي‬ َّ ‫سن الضُُّّر وأنْت أ ْرحم‬ َّ ‫وأيُّ ْوب إذْ َنداى ربَّه أ ِّن م‬
‫فكش ْفنا مابه من ضٍِّر وءات ْي ناه أ ْهله وم ْث لهم مَّعه ْم ر ْْحةً ِّم ْن ع ْندَن وذ ْكرى‬
﴾٨٤﴿ ‫للْعابدين‬
“Dan ingatlah kisah Ayub ketika ia menyeru Tuhannya, “Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau
adalah Tuhan Yang Maha Penyayang diantara semua penyayang.

36 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an,


492.
113

Maka kami pun memperkenankan semuanya itu, lalu Kami


lenyapkan penyakit yang ada padanya dan Kami kembalikan
keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan mereka,
sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan
bagi semua yang menyembah Allah.” (Qs. al-Anbiyā’: 83-84)
Penyakit yang dialami Nabi Ayyub serta musibah yang menimpanya
merupakan ujian dari Allah ta’ala. Adapun tentang sebabnya diceritakan
dalam beberapa riwayat pada kitab tafsir al-Ṭabarī di antaranya yaitu
dalam riwayat Wahab bin Munabbih. Dikatakan bahwa awal mula kisah
Nabi Ayyub adalah beliau seorang yang dikenal amat baik. Jika Allah
menyebut seorang hamba yang baik, maka Malaikat Jibril, Mikail dan
sekitar-Nya yang mengelilingi Arsy menerimanya. Berita tersebut
kemudian tersebar di antara para malaikat, sehingga para malaikat
mendoakan Nabi Ayyub. Jika para malaikat telah mendoakannya, maka
Jibril turun ke bumi untuk memerintahkan malaikat yang ada di bumi agar
mendoakannya juga.37 Tidak ada yang menggetarkan Iblis selain doa-doa
para malaikat di langit yang terus menerus diberikan kepada Nabi Ayyub
setelah Allah memujinya. Ketika Iblis mendengar doa para malaikat yang
dipanjatkan untuk Nabi Ayyub, timbullah rasa iri dan dengki dalam
dirinya. Maka Iblis pun dengan cepat naik ke langit lalu berdiri
menghadap Allah. Kemudian Iblis meminta kepada Allah untuk menguji
Nabi Ayyub dengan musibah dan kesusahan karena Nabi Ayyub selalu
diberikan nikmat yang berlimpah oleh Allah. Kemudian Allah
menyetujuinya dan memerintahkan serta memberikan kuasa kepada Iblis
atas harta bendanya, tetapi Allah tidak mengizinkan atas akal dan jasadnya
Nabi Ayyub.38

37 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 187.


38 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 188.
114

Gambaran kekayaan Nabi Ayyub diceritakan bahwa ia memiliki


sebuah desa dari seluruh negeri Syam dan segala isinya dari Timur sampai
Barat. Beliau juga memiliki seribu kambing dengan penggembalanya,
mempunyai tanah yang luasnya lima ratus hektar, mempunyai lima ratus
budak, dan setiap budak memiliki istri, anak dan harta. Peralatan setiap
hektar dibawa oleh keledai betina, dan setiap keledai betina mempunyai
dua anak, tiga, empat dan seterusnya.39
Sikap iri hati Iblis terhadap Ayub muncul, sehingga ketika ia
mengumpulkan setan-setan, iblis bertanya kepada mereka apa saja
pengetahuan yang mereka miliki agar dapat membantunya menyerang
Nabi Ayyub. Kemudian Ifrit mengatakan bahwa ia memiliki kekuatan
untuk menciptakan badai dari api yang dapat mengubah beserta membakar
harta benda yang dimiliki Nabi Ayyub. Lalu Iblis memerintahkan Ifrit
untuk mendatangi unta milik Nabi Ayyub serta penggembalanya. Ifrit
mendatangi tempat unta itu ketika unta-unta tersebut tinggal di tempat
penggembalanya. Tidak ada seorang pun merasakan sesuatu tanda-tanda
akan datangnya suatu musibah, sampai tiba-tiba datang badai api dari
bawah tanah yang meniupkan bau racun, sehingga tidak ada seorang pun
yang berani mendekat. Badai api itu terus membakar unta-unta dan
penggembalanya hingga habis tak tersisa. Iblis pun menyamar menjadi
sebagai pengawas pengegembala dan bergegas menemui Nabi Ayyub
yang sedang shalat.40 Iblis hendak menghasut Nabi Ayyub dan berkata
bahwa Tuhan yang selama ini beliau sembah telah menghancurkan unta
dan penggembala miliknya hingga tidak ada satu pun yang tersisa. Tetapi,
kesabaran Nabi Ayyub membuatnya tidak tergoda oleh hasutan iblis
39 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 189.
40 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 189.
115

tersebut. Nabi Ayyub mengatakan bahwa harta benda yang ia miliki


adalah pinjaman dari Allah. Jadi, Allah berhak untuk mengambil dan
mencabutnya kapan saja.
Orang-orang sangat heran melihat musibah yang menimpa Nabi
Ayyub yang sebenarnya tergolong orang yang taat. Di antara mereka ada
yang berkata, “Tidaklah Ayyub menyembah sesuatu dan ia bangga atas
dirinya.” Sebagian lain berkata, “Seandainya Tuhannya Ayyub mampu
melakukan sesuatu, niscaya Dia akan melindungi wali-Nya.” Dan
sebagian lain berkata, “Justru apa yang dilakukan Tuhannya bertujuan
untuk membuat musuhnya menjadi gembira dan membuat temannya
menjadi sedih atas kejadian tersebut.” Lalu sikap sabar Nabi Ayyub
membuatnya berkata bahwa segala puji bagi Allah ketika ia memberi dan
mengambil dari dirinya. Ia keluar dari perut ibunya dalam keadaan
telanjang, maka ia akan kembali kepada-Nya dalam keadaan telanjang dan
akan dibangkitkan dalam keadaan telanjang juga. Oleh karena itu, tidak
pantas jika seseorang bergembira ketika Allah memberikan pinjaman dan
bersedih ketika Allah mengambilnya. Allah yang lebih berhak atas apa
yang diberikan kepada hamba-Nya.41
Saat melihat Nabi Ayyub tetap bersabar dengan musibah yang
dialaminya, Iblis kemudian kembali kepada teman-temannya dengan rasa
hina. Selanjutnya, Iblis memerintahkan kepada teman-temannya untuk
mendatangi kambing-kambing dan para penggembala milik Nabi Ayyub.
Mereka pun pergi ke tempat kambing-kambing dan penggembala tersebut.
Ketika iblis itu hadir ditengah-tengah mereka, ia berteriak dengan suara
keras sehingga semua yang ada disekitarnya mati dan tidak ada satupun

41 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 190.


116

yang tersisa. Lalu Iblis keluar dan menyamar sebagai pemimpin


penggembala. Ia pergi mendatangi Nabi Ayyub yang sedang shalat. Iblis
mengatakan bahwa seluruh kambing dan pengembala yang dimilikinya
telah binasa dan tak ada satupun yang tersisa. Tetapi Nabi Ayyub tetap
sabar, sehingga ia berkata seperti perkataannya yang pertama yaitu bahwa
seluruh yang dimilikinya adalah milik Allah. Kapan pun Allah dapat
mengambil darinya.
Upaya Iblis gagal kembali. Ia kemudian kembali mendatangi teman-
temannya dan membuat rencana selanjutnya untuk menguji kesabaran
Nabi Ayyub lagi. Ifrit berkata bahwa ia memiliki kekuatan angin badai
yang dapat menghempaskan segala sesuatu hingga habis tak tersisa. Lalu
iblis memerintahkan Ifrit untuk mendatangi para peternak dan tanaman-
tanaman milik Nabi Ayyub.42 Ifrit pun pergi mendatangi peternak yang
sedang mengurus ternak dan bercocok tanam serta keledai dan anak-
anaknya yang sedang makan rumput. Tiba-tiba angin topan berhembus
sangat kencang dan menyapu semuanya hingga bersih seakan-akan tidak
terjadi apa-apa sebelumnya. Iblis lalu keluar menyerupai penguasa kebun
dan tanaman, hingga tiba di tempat Nabi Ayyub yang sedang berdiri
shalat. Iblis pun mendatangi Ayyub dan mengatakan bahwa seluruh ternak
beserta penggembalanya mati dan tidak ada yang tersisa. Lalu Nabi Ayyub
tetap dengan sikap sabarnya seraya berkata seperti kejadian sebelumnya,
bahwa semua yang dimilikinya adalah milik Tuhannya. Kapan saja
Tuhannya mengambil darinya itu hak-Nya. Di sini, Iblis pun kembali
gagal untuk menguji kesabaran Nabi Ayyub. Ketika Iblis melihat semua
harta benda Nabi Ayyub sudah tidak ada yang tersisa dan ia belum

42 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 191.


117

berhasil menggodanya, maka iblis pun naik ke langit dan berdiri di sisi
Allah seraya mengatakan bahwa ia meminta izin kepada Allah untuk
mengajukan dirinya mengambil nyawa anak-anaknya. Allah
mengizinkannya tetapi Allah tidak mengizinkan atas akal, hati, dan jasad
Nabi Ayyub.
Lalu Iblis pun pergi dengan menunggangi kuda ke tempat anak-anak
Nabi Ayyub berada, yaitu di istana. Iblis mengguncang mereka hingga
tiang-tiangnya berguguran dan menghancurkan dinding-dindingnya serta
melemparinya dengan kayu dan batu yang besar. Setelah ia membinasakan
mereka, ia mengangkat dan menghancurkan istana beserta isinya.43
Setelah itu, Iblis pergi menemui Nabi Ayyub menyerupai guru yang
mengajari mereka ilmu hikmah dengan berpura-pura berdarah dan terluka.
Banyaknya luka dan wajahnya yang berubah membuat Nabi Ayyub tidak
mengenalinya. Ketika Nabi Ayyub melihatnya, Iblis berpura-pura sedih
sambil meneteskan air mata dan mengatakan bahwa dia selamat dari
tempat musibah tersebut dan mengatakan kalau saja Nabi Ayyub melihat
bagaimana anak-anaknya dibalik, dicincang dan disiksa hingga kepala
mereka berdarah dan otaknya mengalir dari hidung serta mulut mereka,
perutnya dirobek-robek hingga isinya menyembur keluar. Lemparan kayu
dan batu yang besar membuat hancur otak, mematahkan dan meremukkan
tulang-tulang dan menyobek-nyobek wajah serta kulit mereka. Iblis terus
berbicara dan berusaha membuat hati Nabi Ayyub hancur. Akhirnya Nabi
Ayyub menangis dan mengambil segenggam tanah dan meletakkan di
kepalanya. Iblis pun mengambil kesempatan dari hal itu. Naiklah dia ke
langit dengan gembira setelah melihat Nabi Ayyub bersedih. Tetapi, Nabi

43 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 192.


118

Ayyub tidak menyerah. Tak lama kemudian Nabi Ayyub sadar lalu
beristighfar. Lalu naiklah para malaikat untuk menyampaikan taubatnya
kepada Allah sebelum Iblis sampai kepadanya. Akhirnya Iblis mengetahui
bahwa Nabi Ayyub telah diterima taubatnya. Sehingga Iblis kembali
merasa sedih dan merasa hina.44
Belum puas dengan apa yang sudah Iblis perbuat terhadap Nabi
Ayyub, ia meminta kembali kepada Allah untuk menguasainya atas
jasadnya Nabi Ayyub. Lalu Allah mengizinkan kepada Iblis atas jasadnya
Nabi Ayyub, tetapi tidak menguasakan atas akal, hati, dan lisannya. Iblis
pun kembali mendatangi Nabi Ayyub dengan menunggangi kuda dan
mendatanginya ketika ia sedang bersujud. Maka cepat-cepat Iblis
mendatanginya sebelum Nabi Ayyub bangun dari sujudnya. Dari bawah
tempat sujudnya, Iblis meniupkan tiupan di hidungnya, sehingga membuat
badan Nabi Ayyub terbakar, dagingnya menjadi lunak, dan tumbuh kutil-
kutil yang membuatnya menjadi gatal-gatal. Sehingga ketika Nabi Ayyub
menggaruknya semuanya berjatuhan. Beliau menggarukanya dengan
tulang dan batu yang keras sampai dagingnya habis dan terpotong-potong
serta kulitnya rusak dan membusuk.
Nabi Ayyub kemudian diasingkan oleh penduduk desanya dan
dibuatkan gubuk di atas anak bukit. Semua orang menjauhinya kecuali
istrinya. Hanya istrinya yang merawatnya selama Nabi Ayyub ditimpa
penyakit. Bahkan, pengikut Nabi Ayyub yang setia pun menjauhinya. Ada
tiga orang yang mengikuti agamanya, ketika mereka mengetahui keadaan
Nabi Ayyub, mereka menjauhinya dan mengingkarinya, tetapi tidak
meninggalkan agamanya. Mereka adalah Bildad, Alifaz dan Safir. Ketiga

44 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, 193.


119

orang tersebut bahkan datang dan mencelanya. Nabi Ayyub sempat


mengeluh mendengar ucapan mereka. Ia berkata kepada Tuhannya untuk
apa ia diciptakan jika Tuhannya membencinya dalam kebaikan. Ia
mengatakan jika seandainya saja dirinya berupa darah haid yang dibuang
ibunya dan dirinya mati dalam perut ibunya. Ia juga mengeluh ketika
mengatakan dosa apa pula yang diperbuatnya dan orang lain tidak
melakukannya serta pekerjaan apa yang dikerjakan sampai Tuhannya
memalingkan wajah-Nya darinya.
Alifaz al-Taimani berkata bahwa musibah yang menimpa Nabi
Ayyub telah membuat orang-orang lelah. Jika mereka berbicara
kepadanya, maka tidak ada gunanya. Dan jika mereka diam melihat
musibah yang menimpa Nabi Ayyub, maka mereka keliru. Mereka telah
melihat sejumlah amalan yang dikerjakan Nabi Ayyub dan mereka
berharap beliau mendapat pahala atas selain yang mereka lihat. Karena
seseorang yang menanam akan menuai apa yang ditanamnya dan akan
memperoleh balasan atas amalannya. Mereka bersaksi dihadapan Allah
yang keagungan-Nya tak dapat diukur dan kenikmatan-Nya yang tak dapat
dihitung. Yang menurunkan hujan dari langit dan menghidupkan yang
mati.45 Meninggikan yang rendah dan menguatkan yang lemah hingga
mereka bergejolak karena sakit dalam kegelapan. Barang siapa mengharap
pertolongan-Nya, maka Dialah Yang Maha Kuat, dan Barangsiapa yang
bertawakal kepada-Nya maka Allah lah yang mencukupi, Dialah Yang
Maha Menghancurkan, Yang Memulihkan, Yang Melukai dan Yang
Mengobati.

45 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 195.


120

Namun demikian, Nabi Ayyub menghadapi semua cobaan ini


dengan sabar, ketika berkata bahwa beliau adalah hamba-Nya, maka apa
yang telah ditetapkan Allah atasnya pasti akan menimpanya. Dan tidak
ada kekuatan selain yang diberikan Allah kepadanya. Ia mengatakan
bahwa seandainya tulangnya terbuat dari besi, tubuhnya terbuat dari
tembaga dan hatinya terbuat dari batu, maka ia tidak merasa berat atas
cobaannya. Tetapi memang itu adalah cobaan baginya yang telah Allah
limpahkan kepada dirinya. Nabi Ayyub mengatakan bahwa mereka
mendatanginya dalam keadaan marah seolah-olah mereka takut sebelum
ditakut-takuti dan menangis sebelum dipukuli. Lalu bagaimana jika Nabi
Ayyub meminta kepada mereka agar bersedekah untuknya dengan harta
mereka yang dengan itu bisa saja Allah menyembuhkannya atau
menyembelih kurban darinya, siapa tahu Allah menerima dirinya dan
meridhoinya. Nabi Ayyub berharap, jika tertidur nyawanya seakan-akan
hendak dicabut, jari-jari tangannya semuanya putus. Beliau mengangkat
sesuap makanan dengan semua tangannya, tapi tidak sampai kepada
mulutnya kecuali dengan susah payah. Gigi-giginya rontok, kepalanya
busuk dan telinganya tertutup. Otaknya mengalir dari mulutnya, bulu
matanya berjatuhan seakan wajahnya terbakar api. Dagunya lunak, dan
lidahnya luka sampai mulutnya hingga tak ada sedikitpun makanan yang
masuk kecuali tersekat oleh kerongkongannya. Kedua bibirnya terluka
hingga bagian atasnya menutupi hidungnya dan bagian bawah menutupi
dagunya. Isi perutnya terputus di dalam perutnya, sehingga saat d imasuki
makanan keluar lagi, tidak terasa dan tidak berguna bagi dirinya. Kekuatan
kakinya telah hilang yang tak sanggup untuk digerakkan. Ia membawa
selimutnya dengan tangan dan giginya serta tak mampu membawanya
121

tanpa bantuan orang lain. Hartanya lenyap sehingga ia meminta kepada


orang lain dengan telapak tangannya. Tetapi, orang-orang yang dulunya
pernah berada dalam tanggungannya enggan memberinya makanan satu
suapan dan meminjamkannya. Anak-anaknya semua binasa. Seandainya
salah satu dari anaknya ada yang masih hidup, niscaya mereka akan
menolong dan berguna baginya. Beruntunglah orang yang memiliki
tempat istirahat yang penduduknya tidak pernah pindah dari rumahnya.
Orang yang bahagia adalah orang yang hidup bahagia di sana, dan orang
yang sengsara adalah orang yang hidupnya sengsara di sana.46
Bildad menduga Nabi Ayyub sudah ingkar kepada Tuhannya,
sehingga ia diberi cobaan yang sangat berat. Ia mengatakan bagaimana
lisan Nabi Ayyub dapat berbicara dengan fasih seperti itu. Apakah
keadilan berubah menjadi aniaya? Apakah orang yang kuat menjadi
lemah? Bildad mengajak Nabi Ayyub untuk kembali kepada Tuhannya,
siapa tahu Tuhannya akan menyayanginya dan mengampuni dosa-dosanya
dan siapa tahu jika Nabi Ayyub sembuh Tuhannya akan menjadikan ini
sebagai tabungan di akhirat. Jika hatinya telah mengeras, maka
sesungguhnya perkataan yang Bildad katakan tidak berguna bagi Nabi
Ayyub. Barang siapa pasrah kepada yang lemah, maka tidak akan
mendapat perlindungan. Dan barangsiapa yang mengingkari sesuatu yang
hak, maka tidak akan mungkin dipenuhi haknya.
Respon Nabi Ayyub terhadap ejekan Bildad membuatnya
mengatakan bahwa sesungguhnya ia mengetahui bahwa inilah yang hak
dari Tuhannya. Tidak mungkin seorang hamba bisa mengalahkan dan
mendebat Tuhannya. Allahlah yang membentangkan dan mendirikan

46 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 196.


122

langit dengan membuka dan menutup nya serta menghujani bumi jika
berkehendak atas itu. Allah pula yang menciptakan bumi dan
mengokohkannya sendiri dan Dia juga yang menggoncangkannya dari
arah paling bawah. Sehingga yang berada di atas menjadi di bawah dan
yang di bawah menjadi berhamburan ke atas. Nabi Ayyub berkata, bahwa
jika ia memiliki kata-kata maka apakah pantas diucapkan sedangkan Allah
yang menciptakan Arsy dan yang dengan satu kalimat lalu seluruh isi
bumi dan langit merasa takut kepada-Nya. Dia lah yang dapat berbicara
kepada laut dan memahami firman-Nya serta melaksanakan perintah tanpa
ada pertentangan. Dia pula yang menciptakan ikan di laut, hewan melata
dan burung. Dia lah yang mampu berbicara kepada yang mati lalu
menghidupkannya dengan firman-Nya dan dapat berbicara dengan
bebatuan dan seluruhnya menaati atas semua perintahnya-Nya.47
Alifaz juga kembali berkata kepada Nabi Ayyub bahwa sungguh
agung perkataan yang diucapkan beliau. Kulitnya merinding jika
mengingat perkataan tersebut. Alifaz menuding Nabi Ayyub dan
mengatakan bahwa sungguh cobaan yang menimpa Nabi Ayyub bukan
disebabkan oleh dosa yang telah dilakukannya. Perkataannya telah
menempatkannya pada posisi itu. Besar kesalahannya dan banyak
permintaannya. Beliau telah merampas harta yang menjadi hak mereka
dan berpakaian saat mereka telanjang. Makan saat mereka lapar dan
menutup pintu dari orang-orang yang lemah. Menghindarkan makanan
dari orang yang lapar serta membutuhkan kebaikannya. Menyembunyikan
semuanya di rumah sambil menampakkan perbuatan yang mereka lihat.
Bisa jadi Allah tidak menampakkan hal-hal yang telah tersembunyi di

47 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 198.


123

dalam rumahnya dan bagaimana Allah tidak menampakkan hal tersebut


padahal Allah mengetahui apa yang disembunyikan oleh lapisan bumi-
bumi dan gelapnya udara.
Menanggapi tuduhan Alifaz Nabi Ayyub pun tetap bersabar
menerima ujian yang diberikan kepadanya. Ia mengatakan bahwa
pembicaraan yang mereka lontarkan sama sekali tidak akan memberi
manfaat untuknya. Jika mereka diampuni Tuhannya, maka itu tidak akan
mengubah apapun pada dirinya. Nabi Ayyub berkata kepada mereka
bahwa inilah kenyataan yang dialami dirinya. Allah telah marah
kepadanya karena kesalahannya dan semua musuh mencelanya.
Menurutnya, Allah menjadikannya harus menuai bala’ dan mendapatkan
fitnah serta tidak memberi ruang kepadanya bahkan menurunkan bala’
yang bertubi-tubi. Padahal Nabi Ayyub pernah menjadi orang yang
memberi tempat berteduh bagi orang asing, mengambil keputusan bagi
orang miskin, menjadi wali bagi anak yatim, dan penopang hidup untuk
janda-janda.48 Harta dan keluarga yang dimiliki Nabi Ayyub adalah harta
dan keluarga mereka juga Ia pun selalu menjadi ayah untuk anak yatim
dan tidak pernah melihat janda yang tidak ia topang hidupnya. Ia berkata
bahwa dirinya adalah hamba yang hina. Jika berbuat baik maka tidak ada
kata yang pantas untuk membalas kebaikannya, karena anugerah adalah
milik Tuhan, bukan miliknya. Jika ia berbuat jahat maka pantas baginya
siksaan dan dirinya telah terkena bala’ yang ditimpakan kepadanya. Maka
bagaimana ia memikul kelemahannya.
Alifaz berkata lagi kepada Nabi Ayyub, apakah Nabi Ayyub ingin
mendebat Allah atas apa yang ditimpakan kepadanya atau ingin membagi

48 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 199.


124

kesalahan kepada-Nya padahal beliau yang salah. Bahkan mungkin Nabi


Ayyub ingin membebaskan dirinya padahal tidak bebas dari hal tersebut.
Allah menciptakan langit dan bumi dengan hak dan telah menghitung
makhluk yang ada di dalamnya. Lalu bagaimana Allah tidak mengetahui
rahasia dan perbuatan beliau sampai memberi ganjaran kepadanya. Allah
telah menempatkan para malaikat bershaf-shaf di sekeliling Arsy-Nya dan
di seluruh penjuru langit. Selalu mengawasi dan selalu merasa kuat atas
kelemahan manusia serta selalu dalam kondisi mulia dihadapan yang hina.
Alifaz berkata, bahwa Nabi Ayyub mengira jika beliau mendebat maka
hukum akan berpihak kepadanya. Apakah Nabi Ayyub melihat kemudian
membagi kesalahan kepada-Nya. Dan apakah Nabi Ayyub mendengarnya
kemudian dapat berdiskusi dengan-Nya.49 Sesungguhnya Allah Dzat yang
jika Dia mengangkat maka Dia menghinakannya dan jika Dia ingin
menghinakannya maka Dia akan mengangkatnya.
Menanggapi tuduhan yang bertubi-tubi dari Alifaz Nabi Ayyub tetap
dengan kepasrahan. Ia tetap sabar seraya berkata bahwa Jika Allah
membinasakan dirinya, maka siapa yang akan menyebarkan ajaran islam
kepada hamba-Nya. Tidak ada yang dapat menolak rahmat-Nya kecuali
rahmat itu tidak bermanfaat bagi hamba-Nya yang tidak patuh kepada-
Nya. Nabi Ayyub berdoa kepada Allah seraya berkata, “Ya Allah,
terimalah diri kami dengan rahmat-Mu dan beritahukanlah dosa apa yang
telah ku perbuat kepada-Mu. Mengapa Engkau palingkan wajahMu dariku
dan menjadikanku seperti musuh-Mu padahal sebelumnya Engkau
memuliakanku? Sungguh tidak sedikit hal yang tersembunyi dari-Mu.
Kulitku telah menjadi seperti kain yang kasar. Oleh karena itu,

49 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 200.


125

anugerahkanlah aku kesabaran yang dengan kekuasaan-Mu Engkau


mengirimkan kematian seorang hamba. Selayaknya tidak ada hukum yang
berbentuk kezaliman dan tidak ada percepatan untuk siksaan. Dan apakah
Engkau tidak memberitahu dosa dan kesalahanku? Ingatlah ketika Engkau
menciptakanku dari tanah lalu menjadikanku segumpal darah, daging dan
tulang serta Engkau bungkus tulang dan daging dengan kulit, kemudian
Engkau jadikan aku berotot dan kuat serta berurat kencang.” 50 Nabi
Ayyub menambahkan ucapannya, “Engkau memeliharaku saat aku kecil
dan memberiku rezeki saat aku dewasa. Kemudian aku menjaga perjanjian
dengan-Mu dan melaksanakan perintah-Mu. Jika aku salah, maka
jelaskanlah kesalahanku dan jangan binasakan aku dalam kebingungan.
Beritahulah kesalahanku dan jika Engkau tidak ridha terhadapku maka aku
pantas mendapat siksa. Jika aku berbuat baik kepadamu, maka aku tidak
akan mengangkat kepalaku. Dan jika aku berbuat tidak baik, maka Engkau
tidak akan meringankan penderitaanku. Padahal secara jelas Engkau telah
melihat kelemahanku di bawah-Mu dan memohon kepada-Mu. Lalu
mengapa Engkau menciptakanku dan mengeluarkanku dari perut ibuku?
Seandainya aku tidak menjadi seperti sekarang ini tentu hal itu lebih baik
bagiku. Dunia bagiku bukan sesuatu yang membahayakan dihadapan
kemarahan-Mu, dan jasadku sama sekali tak sanggup berdiri atas siksa-
Mu, maka rahmatilah aku dan berilah aku waktu untuk merasakan
kesehatan sebelum aku merasakan sempitnya alam kubur, gelapnya dunia
dan sesaknya kematian.” Itulah doa yang Nabi Ayyub panjatkan kepada
Allah.

50 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 201.


126

Pengikutnya yang ketiga bernama Zhafir juga mencela Nabi Ayyub


saat ia berkata bahwa Nabi Ayyub telah berbicara dan tak ada satu orang
pun yang dapat menutup mulutnya. Nabi Ayyub mengira bahwa dirinya
tidak terbebani oleh dosa dan ada orang yang menghitung amalannya serta
Allah akan mengampuni dosa yang telah diperbuatnya. Lalu Zhafir
mengatakan bahwa apakah Nabi Ayyub mengetahui jarak langit dari
dirinya, mengetahui dalamnya udara, mengetahui bumi mana yang telah
dibentangkan Allah, mengetahui berapa kedalaman laut, mengetahui apa
hal itu dapat bertahan, mengetahui ilmu dan apakah memiliki ukuran
terhadap hal yang demikian.51 Tentu saja dirinya mengetahui demikian,
tetapi Allah telah menciptakan dan menghitung semua. Jika Nabi Ayyub
meninggalkan banyak kata dan permintaan kepada Tuhannya, maka Zhafir
berharap Allah akan merahmati Nabi Ayyub dengan rahmat-Nya. Jika
Nabi Ayyub tetap dalam kesalahannya, tetapi ia tetap berdoa seraya
mengangkat tangannya, maka pada saat memanjatkan hajat kepada Allah
menurut Zhafir wajah orang-orang jahat menghitam dan mata-mata
mereka menjadi gelap. Saat itu juga mereka yang meninggalkan nafsu dan
bersimpuh mengharap rahmat-Nya akan digembirakan karena
keberhasilan hajat.
Menanggapi perkataan Zhafir, Nabi Ayyub mengatakan bahwa
sebenarnya mereka adalah kaum yang merasa heran terhadap dirinya
sendiri. Disebut mengherankan, karena menanyakan padanya sesuatu yang
gaib, padahal hanya Allah yang mengetahui hal tersebut sedangkan dirinya
tidak mengetahui. Menurut Nabi Ayyub, seharusnya seseorang tidak
memberi nasehat seperti itu kepada saudaranya yang sedang tertimpa

51 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 202.


127

bala’. Nabi Ayyub masih tetap dengan kepasrahannya dan ia berkata


kepada mereka agar bertanya kepada burung di langit, “Apakah ia akan
memberitahu kalian. Tanyakan pada hamparan bumi apakah ada respon
kepada kalian. Tanyakan pada binatang buas, apakah ia bisa menjawab
pertanyaan kalian. Tanyakan pada ikan di lautan, apakah mereka akan
menghitung setiap hal yang kalian hitung.” Ketahuilah bahwa Allah
menjadikan semua ini dengan hikmah dan menyiapkan dengan lafazh-
Nya.52 Ayyub melanjutkan pertanyaan retorisnya, apakah anak Adam
mengetahui perkara yang didengar dengan kedua telinganya, yang
dirasakan dengan mulutnya dan yang dicium dengan hidungnya.
Sesungguhnya pertanyaan yang mereka tanyakan itu hanya Allah yang
mengetahui jawabannya. Allah yang memiliki hikmah, ke Maha
perkasaan, Maha Agung nan lembut, serta Maha Tinggi lagi Maha Kuasa.
Dialah yang membuat semua raja terkagum atas kerajaan dan membuat
segenap ulama keliru atas keilmuan-Nya. Allah yang membuat orang-
orang bijak terlihat seperti kanak-kanak karena pepatah bijaknya. Dialah
yang mengingatkan orang yang lupa serta yang menjalankan kegelapan
dan cahaya. Inilah ilmu-Nya, ciptaan-Nya lebih agung daripada
menghitung dengan akal.
Baldad kembali menuduh Nabi Ayyub sebagai seorang munafik saat
ia berkata bahwa sesungguhnya orang munafik akan mendapat ganjaran
sesuai dengan kemunafikannya dan akan disesatkan secara nyata sesuai
dengan kebohongannya serta ditimpa ganjaran sesuai dengan
perbuatannya. Dibinasakan di dunia dan mendapat kegelapan di akhirat.
Jalannya akan terjal, namanya terputus dari bumi, tidak akan dikenang,

52 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 204.


128

dan tidak ada pemakmuran ajarannya. Tidak akan mewariskan anak yang
shalih yang menjadi penerusnya serta hanya deretan syair yang
mengenangnya.
Nabi Ayyub menanggapi tuduhan Baldad dengan berkata bahwa jika
dirinya terlena, maka ia akan menanggungnya. Jika ia terbebas dari dosa,
maka pembelaan apa yang ia miliki. Jika ia berteriak, maka siapakah yang
akan mendengar teriakannya. Jika ia diam, maka siapa yang akan
mendengar teriakannya. Hilang harapan dan usai sudah mimpi-mimpinya.
Ia berteriak kepada umatnya, tetapi umatnya tidak merahmatinya. Bala’
telah menimpa dirinya dan semua orang mencampakkannya. Mereka lebih
keras dan lebih menyakitkan dari pada bala yang menimpanya. Mereka
heran atas penyakit yang menimpa jasadnya. Jika seorang hamba
mendebat Tuhannya, maka ia berharap akan menang di hadapan para
penegak hukum, namun dirinya mempunyai Tuhan yang Maha Kuasa di
atas langit dan Dia menendangnya ke tempat seperti itu. Ia terus mendekat
kepada Tuhannya. Allah mendengar sedangkan dirinya tidak mendengar-
Nya. Dia melihatnya sementara dirinya tidak melihat-Nya. Jika Allah
muncul, maka melelehlah raganya dan rohnya seolah-olah berteriak. Jika
Allah memberinya nafas, maka ia akan berbicara dengan sepenuhnya, lalu
kewibawaannya telah tercabut dari dirinya. Lalu dirinya memohon kepada
Tuhannya, dosa apa yang telah membuat Tuhannya mengazabnya.
Setelah itu, tiba-tiba Allah yang memanggil-manggil Nabi Ayyub
dan berseru, “Wahai Ayyub. Inilah Aku telah mendekatimu. Berdirilah
dan angkat sarungmu. Jiwamu telah diberi sesuatu yang tidak sanggup
dipikul oleh kekuatanmu. Saat itu yang aku ingat adalah tuduhan yang
129

terus menerus dilontarkan kepadamu.53 Dan kamu hendak mendebat-Ku


dengan kebodohan-Ku atau kamu ingin agar Aku menyelamatkanmu dari
kesalahanmu? Atau kamu hanya ingin Aku menambah lebih banyak beban
kepadamu.” Itulah ucapan Tuhannya kepada Nabi Ayyub. Lalu Allah
bertanya lagi kepada Nabi Ayyub apakah ia mengetahui semua proses
penciptaan yang ada di bumi. Sesungguhnya Maha Suci Tuhannya. Nabi
Ayyub mengakui bahwa dirinya telah lalai dari apa yang telah dikatakan
oleh Alifaz kepadanya. Seandainya bumi terbelah untuknya dan
masalahnya lenyap, maka ia tidak akan berbicara yang dapat membuat
Tuhannya murka. Beliau mengatakan telah terkumpul musibah yang
menimpa dirinya. Tuhannya membebani dirinya seperti musuh, padahal
sebelumnya ia telah dimuliakan-Nya. Namun, semua itu adalah bentuk-
bentuk hikmah dari-Nya. Sekalipun musibahnya lebih besar dari pada itu,
semua diserahkan kepada Allah saja. Tidak ada satupun yang dapat
mengalahkan dan yang tersembunyi dari-Nya. Beliau takut ketika
menerima musibah dari-Nya. Sesungguhnya dirinya telah mendengar
kemurkaan-Nya dan sekarang ia menyaksikannya. Ia berbicara demikian
agar Tuhannya mengampuni dan ia diam agar Allah mengasihi dirinya.
Adapun kata yang telah keliru ia berjanji tidak akan mengulanginya. Ia
telah meletakkan tangannya pada mulutnya, ia gigit lidahnya lalu ia
tempelkan pipinya di atas debu. Wajahnya ia injak karena kehinaannya.
Oleh karena itu, ia memohon ampun atas perkataannya dan tidak akan
mengulangi sesuatu yang Allah benci dari dirinya.54
Menanggapi kesabaran Ayyub, Allah ta’ala berfirman bahwa Dia
telah memalingkan murka-Nya kepada Nabi Ayyub dengan kasih-Nya,
53 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 205.
54 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī 208.
130

Dia telah mengampuninya dan dikembalikan kepadanya keluarga serta


harta bendanya dua kali lipat dari sebelumnya. Allah memerintahkan Nabi
Ayyub untuk mandi dengan air dari-Nya yang mengandung kesembuhan.
Dan Allah memerintahkan kepada Nabi Ayyub agar berkurban untuk
sahabatnya serta memohon ampun atas mereka. Karena sesungguhnya
mereka telah bermaksiat kepada-Nya karena sikapnya terhadap Nabi
Ayyub.55 Dalam hal ini, Nabi Ayyub juga dikenal dengan sikap pandai
bersyukur atas nikmat Allah yang diberikan kepadanya dengan cara
menunaikan hak Allah atas kekayaannya, sehingga Iblis tidak dapat
menggodanya seperti Iblis menggoda manusia hingga lengah dan lupa
terhadap Allah Swt.
Nabi Ayyub telah bersikap sangat sabar dalam menanggung
musibah yang diterimanya. Menurut al-Hasan, Nabi Ayyub menanggung
masalahnya selama tujuh tahun enam bulan. Dan beliau dibuang di sebuah
kandang di pinggir desa. Wahab bin Munabbih berkata bahwa tidak ada
yang tersisa dari keluarganya kecuali istrinya yang melayaninya dan
mencarikan makan untuknya. Ketika musibah tersebut berkepanjangan
dan orang-orang merasa bosan dengannya, maka istrinyalah yang
mencarikan makan dan minum untuknya.56 Suatu hari istrinya mencarikan
makan untuknya, tetapi ia tidak mendapatkannya. Maka ia memotong
gelungan rambut kepalanya dan menjualnya dengan sepotong roti. Lalu ia
membawanya dan memberikannya kepada Nabi Ayyub untuk dimakan. Ia
tetap menanggung musibah tersebut selama beberapa tahun hingga orang

55 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 209.


56 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabar, 213.
131

yang lewat berkata: “Sekiranya orang ini baik di sisi Allah, maka Allah
akan membebaskannya.”57
Pendapat lain mengatakan bahwa Nabi Ayyub berada dalam kondisi
seperti itu selama tiga tahun, tidak lebih satu hari pun. Ketika Iblis kalah
dan tak dapat memperdaya Nabi Ayyub, iblis pun menggoda istrinya dan
mendatanginya dengan sosok makhluk yang lain dalam bentuk manusia
yang tubuhnya, tulangnya, tingginya, kendaraannnya dan ketampanannya
bukan seperti manusia pada umumnya. Iblis menggoda istri Nabi Ayyub
dan mengatakan bahwa dirinya Tuhan bumi dan mengaku-ngaku bahwa
dia lah yang membuat suaminya seperti itu karena menyembah Tuhan
langit sehingga hal tersebut membuatnya marah. Lalu iblis menghasut istri
Nabi Ayyub dan menyerunya agar Nabi Ayyub mau sujud kepadanya
sekali saja dengan mengiming-imingi bahwa ia akan mengembalikan
seluruh anak dan harta benda Nabi Ayyub. Tak lupa iblis menghasut
istrinya untuk menyeru Nabi Ayyub agar tidak membaca basmallah ketika
makan dan menjanjikan kesembuhan untuknya jika
melakukannya.Datanglah istri Nabi Ayyub dan menemuinya untuk
memberitahu apa yang Iblis katakan kepadanya. Mendengar hal tersebut
Nabi Ayyub marah dan bersumpah jika Allah menyembuhkannya, maka ia
akan memukul istrinya sebanyak seratus kali.58
Pendapat lain mengatakan bahwa ketika musibah yang menimpa
Nabi Ayyub semakin berkepanjangan, datanglah orang-orang beriman dan
ditambah juga seorang anak muda yang beriman kepadanya. Selain 3
orang pengikutnya: Alifaz, Baldad, dan Zhafir, Tabari tidak menjelaskan
nama pemuda yang disebut terakhir datang kepada Nabi Ayyub.
57 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 214.
58 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 215.
132

Diceritakan bahwa mereka yang beriman tidak mengerti kedudukan dan


kemuliaan pemuda yang hadir dan mendengarkan perkataan yang orang-
orang beriman itu lontarkan kepada Nabi Ayyub. Karena kelancangan dan
kebodohan mereka dalam berbicara, maka Allah hendak membuat mereka
menjadi kerdil di hadapannya dan memperbodohkan mereka. Pemuda itu
mengatakan kepada mereka yang mencela Nabi Ayyub bahwa
sesungguhnya orang-orang yang beriman itu telah berbicara sebelum
dirinya. Dan orang-orang beriman itu lebih berhak berbicara lebih dahulu
karena mereka lebih tua dari pada pemuda tersebut. Karena orang-orang
tersebut lebih banyak pengalaman dan lebih banyak ilmu pengetahuan dari
padanya. Tetapi mereka tidak mengatakan sesuatu yang lebih baik dan
tidak menyatakan pendapat yang lebih benar atas pendapat yang dimaksud
serta tidak menyampaikan nasihat dan wejangan yang lebih sejuk dari apa
yang mereka sampaikan, padahal Nabi Ayyub memiliki hak atas mereka
yang lebih mulia dari apa yang mereka katakan.59 \
Nabi Ayyub menanggapi ejekan kaumnya dengan sikap sabar seraya
berkata bahwa sesungguhnya Allah telah menanam hikmah dan rahmat
dalam hati anak kecil dan orang dewasa. Allah akan menampakkan atas
lisan manusia dan mendatangkan hikmah dari faktor usia muda dan tua
serta banyak pengalaman. Dan ketika Allah telah menjadikan seseorang
memiliki hikmah ketika masih kecil, maka kedudukannya tidak akan jatuh
di sisi para ahli hikmah, mereka melihatnya adalah cahaya karomah dari
Allah. Akan tetapi manusia telah kagum terhadap dirinya dan mengira
akan selalu sehat dengan segala kebaikan yang telah dilakukan, sehingga
manusia merasa dirinya mulia. Seandainya manusia melihat apa yang ada

59 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 216.


133

di antara mereka dengan Tuhannya, maka mereka akan menemukan


sejumlah keburukan pada dirinya yang Allah tutupi dengan kesehatan
yang dimilikinya. Nabi Ayyub berkata bahwa dahulu perkataannya
didengar, haknya dipenuhi dan disegani oleh para musuh, tempatnya
sangat ditakuti dan orang-orang selalu mendengarkan dan
menghormatinya.60 Tetapi sekarang sudah terputus harapannya.
Kewibawaannya dicabut, keluarganya bosan dan kufur kepadanya, hak-
haknya diabaikan, kerabatnya menjauhinya, orang-orang yang
mengenalnya mengingkarinya, teman-temannya membencinya dan
memutuskan hubungan dengannya, dan segala kebaikannya dilupakan.
Nabi Ayyub berteriak dan meminta maaf, tetapi mereka semua
mengabaikannya dan tidak memaafkan. Nabi Ayyub berkata
sesungguhnya takdir dan kekuasaan-Nya yang telah menghinakannya dan
membuatnya sakit serta menggerogoti tubuhnya. Jika Allah mencabut
keteguhan yang ada pada hati dan lisannya yang dapat membuatnya
berbicara yang macam-macam, maka semestinya Allah mengutuk dirinya.
Tetapi justru Allah membuangnya dan menjauhkannya. Sehingga Nabi
Ayyub memohon maaf dan memusuhi dirinya sendiri.
Ketika Nabi Ayyub berpendapat seperti itu di depan sahabat-
sahabatnya, tiba-tiba ada awan yang memayunginya sehingga sahabatnya
mengira bahwa itu adalah siksaan, padahal itu adalah tanda pertolongan
Allah. Nabi Ayyub dipanggil Allah dan dikatakan kepadanya: “Wahai
Ayyub, inilah Aku telah mendekat kepadamu dan terus mendekat
kepadamu, maka bangkitlah dan sampaikanlah permohonan maafmu yang
engkau maksud dan musuhilah dirimu serta kencangkanlah sarungmu.”61
60 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 218.
61 Abū Ja’far Muūammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 219.
134

Allah berkata: “Rahmat-Ku telah telah mendahului murka-Ku, maka


hentakkanlah kakimu ke tempat ini, niscaya akan mengalir air yang sejuk
untuk diminum. Di dalamnya terdapat obat bagimu. Dan Aku telah
memberikan keluarga dan kerajaan dua kali lipat kepadamu agar menjadi
tanda kekuasaan bagi orang sesudahmu dan menjadi pelajaran bagi orang
yang terkena musibah serta hiburan bagi orang-orang yang sabar.”
Sikap syukur Nabi Ayyub diceritakan oleh Wahab bin Munabbih al-
Yamani. Ia berkata: menurut cerita, Nabi Ayyub merupakan seorang laki-
laki dari bangsa Romawi, dan Allah telah memilihnya sebagai salah satu
nabi-Nya. Allah mengujinya dengan kekayaan berupa anak dan harta yang
banyak. Allah juga membentangkan dunia baginya sehingga beliau sangat
mudah memperoleh rezeki. Nabi Ayyub memiliki sebuah desa di negeri
Syam dengan seluruh dataran dimana di dalamnya terdapat segala macam
harta seperti unta, sapi, kambing, kuda, dan keledai yang jumlahnya tidak
seorang pun yang memilikinya seperti beliau. Allah juga telah
menganugerahkan kepada beliau keluarga, anak laki-laki dan perempuan.
Nabi Ayyub termasuk orang yang berbakti, bertakwa, dan penyayang
terhadap orang-orang miskin. Beliau suka memberi makan orang miskin
dan menolong janda-janda, mengasuh anak yatim, memuliakan tamu dan
memberi bekal kepada para musafir. Semua sikap tersebut merupakan
bentuk kedermawanan Nabi Ayyub yang terbentuk dari sikap syukur atas
nikmat yang diberikan kepadanya.
Kemudian Nabi Ayyub diperintahkan menghentakkan kakinya
sehingga terpancarlah mata air untuknya dan ia masuk ke dalamnya untuk
mandi. Lalu Allah lenyapkan seluruh penyakit yang ada pada dirinya.
Setelah itu beliau keluar dan duduk dalam keadaan segar bugar seperti
135

sedia kala. Tak lama kemudian, datanglah istrinya dan mencarinya di


tempat tidurnya, tetapi ia tidak menemukannya dan ia kebingungan. Ia
bertanya kepada Nabi Ayyub yang belum ia kenali. Nabi Ayyub
tersenyum dan berkata “Inilah aku. Allah telah membebaskanku dari
musibah yang menimpaku.” Istrinya langsung memeluknya. Abdullah bin
Abbas berkata: “Demi Dzat yang jiwa Abdullah berada dalam kekuasaan-
Nya, tidaklah ia melepaskannya dari pelukannya sampai lewatlah di
hadapan keduanya anak-anak dan semua harta mereka.”62 Wahab
melanjutkan penafsirannya: “Kemudian Allah mewahyukan kepadanya
tentang sumpahnya agar memukul istrinya atas perkataan yang telah
diucapkan kepadanya, “Sesungguhnya Kami dapati Ayyub seorang yang
sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia sangat taat kepada
Tuhannya.” (Qs. Shād: 43-44)
Tentang berapa lama Nabi Ayyub mengalami musibah, Fudhail bin
Iyadh dari Hisyam dari al-Hasan berkata bahwa Nabi Ayyub dibuang di
sebuah kandang selama tujuh tahun beberapa bulan. Selama itu Nabi
Ayyub tidak pernah meminta kepada Allah untuk disembuhkan dari
penyakitnya. Tidak ada seorang makhluk pun di bumi ini yang lebih mulia
dari pada beliau. Namun orang-orang mengira bahwa sebagian berkata:
“Sekiranya Tuhan orang ini membutuhkannya, niscaya Dia tidak akan
memperlakukannya seperti itu!” Pada saat itulah Nabi Ayyub berdoa. 63
Dalam riwayat Yunus dari al-Hasan juga dikatakan bahwa Nabi Ayyub
tinggal di sebuah kandang bani Israil selama tujuh tahun beberapa bulan.
Binatang keluar masuk pada tubuhnya. Wahab bin Munabbih al-Yamani
berkata bahwa binatang yang menggerogoti nabi Ayub seperti payudara
62 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 220.
63 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 221.
136

wanita kemudian pecah.64 Al-Hasan berkata bahwa Nabi Ayyub berucap:


“Ya Allah, aku telah ditimpa penyakit.” Kemudian Nabi Ayyub
memasrahkan semuanya kepada Allah dan berkata: “Ya Allah, Engkau
Tuhan yang Maha penyayang.” Kemudian Abdullah bin Ubaid bin Umar
berkata: “Dikatakan kepada Nabi Ayyub: ‘Angkatlah kepalamu,
sesungguhnya doamu telah dikabulkan.”
Setelah mendapat kesembuhan, Nabi Ayyub kembali muda. Ia
merasa lebih baik dan terlihat lebih tampan dari sebelumnya. Diceritakan
bahwa air tempat Nabi Ayyub mandi berubah menjadi belalang dari
emas.65 Para mufassir berselisih pendapat tentang keluarga yang
disebutkan Allah dalam ayat, ‫وءات ْي ناه أ ْهله وم ْث لهم مَّعه ْم‬ “Dan Kami
kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan
mereka.” Apakah keluarganya dikembalikan kepadanya di dunia, atau
janji Allah kepadanya bahwa akan memberinya di akhirat.
Al-Qasim berkata bahwa Allah memberi pilihan, dibinasakan di
akhirat lalu dikembalikan di dunia atau dikembalikan di akhirat lalu
diganti seperti mereka di dunia.66 Sebagian berpendapat bahwa justru
Allah mengembalikan dan memberinya dua kali lipat seperti mereka.
Seperti riwayat Ibnu Mas’ud tentang ‫“ وءات ْي ناه أ ْهله وم ْث لهم مَّعه ْم‬Dan Kami
kembalikan keluarganya kepadanya, dan Kami lipat gandakan bilangan
mereka.” Maksudnya yaitu keluarganya yang seperti semula. Ibnu Abbas
berkata bahwa ketika Nabi Ayyub berdoa, Allah mengabulkan doanya
kemudian mengganti segala sesuatu yang hilang darinya dua kali lipat.
Allah mengembalikan hartanya dua kali lipat seperti mereka. Ibn Jarir

64 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 222.


65 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 228.
66 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 231.
137

menceritakan kepada kami dari al-Laits dari mujahid bahwa Nabi Ayyub
memilih keluarganya di akhirat dan yang seperti mereka di dunia. Said
menceritakan kepada kami dari Qatadah bahwa Allah menghidupkan
keluarganya yang sebelumnya dan menambahkannya seperti mereka.
Penafsiran dari kata ً‫ ر ْْحة‬yang berkedudukan manshub yang berarti
‘Kami lakukan hal itu sebagai rahmat dari Kami untuk-Nya.’67 Kemudian
Firman Allah ‫ر ْْحةً ِّم ْن عنْدَن وذ ْكرى للْعابدين‬ dengan arti “Sebagai suatu
rahmat dari sisi Kami dan untuk menjadi peringatan bagi semua yang
menyembah Allah.” Maknanya yaitu Allah memberi peringatan bagi
orang-orang yang menyembah Tuhannya agar mereka dapat mengambil
pelajaran dan mengetahui bahwa Allah bisa saja menguji orang-orang
yang dicintai-Nya di dunia dengan berbagai macam bala’ dan cobaan yang
menyangkut dirinya, hartanya dan keluarganya tanpa menyepelekan
mereka sedikitpun. Semua itu sebagai pelajaran bagi dirinya atas
kesabaran kepada-Nya. Keyakinan dan kedudukan atas-Nya telah
dijanjikan Allah sebagai bentuk pemuliaan kepadanya.
Muhammad bin Ka’ab al-Qardhi berkata tentang firman Allah ً‫ر ْْحة‬
‫ِّم ْن ع ْندَن وذ ْكرى للْعابدين‬ “Sebagai suatu rahmat dari sisi Kami dan untuk
menjadi peringatan bagi semua yang menyembah Allah.” Serta Firman-
Nya, ‫“ ر ْْح ًة ِّمنَّا وذ ْكر ْلوِل ْاْللْباب‬Sebagai rahmat dari Kami dan pelajaran
bagi orang-orang yang mempunyai pikiran.” Yaitu orang mukmin yang
tertimpa musibah kemudian ingat dengan musibah yang menimpa Nabi
Ayyub, hendaklah berkata: “Telah ditimpa musibah orang yang lebih baik
dari kami, yaitu seorang nabi dari para nabi.”68

67 Abu Ja’far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 233.


68 Abu Ja’far Muhammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsīr al-Ṭabarī, 234.
138

Kata ‫ الضُّر‬jika huruf ‫ ض‬berharkat fathah, berarti maknanya “segala


macam kesulitan yang menimpa”, sedangkan jika huruf ‫ ض‬berharkat
dammah pada lafaẓ ‫ الض ُّر‬maka memiliki makna “segala kesulitan yang
menimpa diri sesorang”, misalnya penyakit. Kemudian Firman-Nya, ‫مابه‬
ٍ‫ من ضِّر‬yang memiliki arti “Apa yang ada padanya dari kesulitan.” Dengan
tidak menyebut jenis kesulitan yang dialaminya, bertujuan untuk
menggambarkan derita yang dialami Nabi Ayyub dan lamanya masa
penderitaan itu.69
Ketika mengadu kepada Tuhannya, Nabi Ayyub mengungkapkannya
dengan sangat halus dan bersungguh-sungguh. Beliau menyatakan bahwa
penderitaan yang dialami beliau seolah-olah sedikit, padahal apa yang
dialami adalah ujian yang besar. Tetapi beliau menyampaikan kead aannya
kepada Allah tanpa menggerutu bahkan tanpa memohon. Beliau hanya
menyebut sifat Allah yang sangat menonjol yaitu “‫الراْحْي‬
َّ ‫”أ ْرحم‬ sambil
berserah diri sepenuhnya kepada Allah karena Dia Maha Mengetahui dan
Dia adalah sumber segala rahmat.
Sedangkan lafaẓ ‫وءات ْي ناه أ ْهله‬ diartikan “Kami menganugerahkan
kepadanya keluarganya.” Sebagaimana dalam beberapa riwayat maknanya
adalah anggota keluarga yang masih hidup kembali menyatu dengan
keluarga besar. Dan yang telah meninggal dunia, digantikan oleh Allah
dengan kelahiran anak-anak yang lain dan kedatangan pengikut-pengikut
baru dengan kualitas yang sama atau yang lebih baik.70

69 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an,


494.
70 M.Quraish Shihab, Tafsir al-Misbāh: Pesan, Kesan dan keserasian al-Qur’an,
495.
139

E. Bentuk Sikap-sikap Sabar dan Syukur Nabi Daud, Nabi


Sulaiman dan Nabi Ayyub
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada poin-poin sebelumnya,
penulis menemukan beberapa sikap sabar dan syukur para nabi yang
tercantum dalam surah al-Anbiyā’ ayat 78 sampai 84 pada kitab Tafsir al-
Ṭabarī, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Bentuk Sikap Sabar dan Syukur Nabi Daud
Sikap sabar yang dimiliki Nabi Daud dalam menetapkan suatu
hukum yang terdapat dalam surah al-Anbiyā’ ayat 78 adalah beliau dapat
menerima keputusan Nabi Sulaiman dan menyetujuinya tanpa adanya
perdebatan.71 Kemudian bentuk syukur yang diterapkan Nabi Daud adalah
beliau selalu bertasbih dan memuji Tuhannya atas seluruh nikmat-Nya
yang telah diberikan kepadanya.72
2. Bentuk Sikap Sabar dan Syukur Nabi Sulaiman
Sikap sabar yang dimiliki Nabi Sulaiman adalah ketika ia
mendengar hasil keputusan Nabi Daud, beliau tidak menyalahkan hasil
keputusannya. Tetapi beliau menjelaskan bagaimana memutuskan hukum
yang lebih tepat, sehingga Nabi Daud dapat memahami maksud keputusan
Nabi Sulaiman dan dapat menerimanya tanpa perdebatan. Lalu sikap sabar
selanjutnya yang dimiliki Nabi Sulaiman adalah jika hendak berperang,
Nabi Sulaiman memerintahkan tentaranya agar memasang kayu untuknya,
kemudian kayu itu ditegakkan dan beliau duduk di atasnya. Kemudian
manusia, binatang dan peralatan perang semuanya dibawa di atasnya,
hingga ketika ia dibawa kemana saja yang dikehendaki. Beliau
memerintahkan kepada angin kencang, lalu ia masuk ke bawah kayu
71 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, 169.
72 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, 178.
140

tersebut dan ia pun dibawanya. Saat Nabi Sulaiman dibawa oleh angin
tersebut, ia menurut saja.73
Tak lupa, Nabi Sulaiman selalu bersyukur kepada Allah atas nikmat
yang telah dianugerahkan kepadanya dengan menundukkan angin untuk
memudahkan akses kaumnya dalam berdagang. Meskipun ia raja, tetapi ia
selalu mementingkan kedamaian kaumnya. Semuanya Allah ketahui
dengan baik dan tak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari-Nya.74
3. Bentuk Sikap Sabar dan Syukur Nabi Ayyub
Bentuk kesabaran yang dimiliki Nabi Ayyub dalam menghadapi
ujian yang dialaminya adalah beliau tidak tergoda hasutan Iblis yang telah
mengambil anak dan keluarganya, merusak harta bendanya serta telah
menyebabkan dirinya sakit yang menjijikan. Nabi Ayyub mengatakan
bahwa anak, keluarga dan seluruh harta benda yang dimilikinya adalah
pinjaman dari Allah. Jadi menurutnya, Allah berhak untuk mengambil dan
mencabutnya kapan saja yang dikehendaki-Nya. Nabi Ayyub mengatakan
bahwa beliau adalah hamba-Nya, maka apa yang telah ditetapkan Allah
atasnya, pasti akan menimpanya. Dan tidak ada kekuatan selain yang
diberikan Allah kepadanya. Nabi Ayyub berkata bahwa tidak pantas jika
seseorang bergembira ketika Allah memberikan pinjaman dan bersedih
ketika Allah mengambilnya. Allah yang lebih berhak atas apa yang
diberikan kepada hamba-Nya.75 Nabi Ayyub pernah satu kali mengeluh
atas kepergian anaknya, tetapi dengan cepat ia mengucap istighfar dan
bertaubat kepada Allah.76 Selama menanggung ujiannya, Nabi Ayyub

73 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, 183.


74 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, 184.
75 Abū Ja’far Muḥammad bin Ja rīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, 190.
76 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, 193.
141

tidak pernah memaksa kepada Allah untuk disembuhkan dari penyakitnya,


ia memasrahkan semuanya kepada-Nya.
Selanjutnya, sikap sabar yang dimiliki Nabi Ayyub dalam
menghadapi ujiannya yaitu ketika kewibawaannya dicabut, saudaranya
bosan dan kufur kepadanya, hak-haknya diabaikan, kerabatnya
menjauhinya, orang-orang yang mengenalnya mengingkarinya, teman-
temannya membencinya dan memutuskan hubungan dengannya serta
segala kebaikannya dilupakan, beliau berteriak-teriak dan meminta maaf,
tetapi mereka semua mengabaikannya dan tidak memaafkan. Sehingga
Nabi Ayyub memusuhi dirinya sendiri. Ia mengakui bahwa dirinya telah
lalai dari apa yang telah dikatakan orang-orang kepadanya dan tidak akan
berbicara yang dapat membuat Tuhannya murka. Nabi Ayyub mengatakan
telah terkumpul musibah yang menimpa dirinya dan Tuhannya telah
membebani dirinya seperti musuh. Namun, semua itu menurutnya adalah
bentuk-bentuk hikmah dari Allah kepadanya. Sekalipun musibahnya lebih
besar dari pada itu, semua ia serahkan kepada Allah saja. Menurutnya,
tidak ada satupun yang dapat mengalahkan dan tersembunyi dari-Nya. Ia
berbicara demikian agar Allah mengampuni dan ia diam agar Allah
mengasihi dirinya. Adapun kata yang telah keliru ia berjanji tidak akan
mengulanginya. Ia telah meletakkan tangannya pada mulutnya, ia gigit
lidahnya lalu ia tempelkan pipinya di atas debu. Wajahnya ia injak karena
kehinaannya. Oleh karena itu, ia memohon ampun atas perkataannya dan
tidak akan mengulangi sesuatu yang Allah benci dari dirinya.77
Lalu, ketika Nabi Ayyub mengadu kepada Tuhannya, ucapannya
sangat halus dan bersungguh-sungguh. Ia menyatakan bahwa penderitaan

77 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, 208.


142

yang dialaminya seolah-olah sedikit, padahal apa yang dialami adalah


ujian yang besar dan luar biasa. Tetapi beliau menyampaikan keadaannya
kepada Allah tanpa menggerutu bahkan tanpa memohon. Beliau hanya
menyebut sifat Allah yang sangat menonjol yaitu “‫الراْحْي‬
َّ ‫”أ ْرحم‬ sambil
berserah diri sepenuhnya kepada Allah karena Dia Maha Mengetahui dan
Dia adalah sumber segala rahmat. Dengan penyakit yang menjijikan
selama bertahun-tahun, Nabi Ayyub tetap bersabar dan ikhlas menjalani
ujian dan semua yang terjadi tanpa mengeluh.
Nabi Ayyub juga dikenal sebagai orang yang pandai bersyukur atas
nikmat Allah yang diberikan kepadanya dengan cara menunaikan hak
Allah atas kekayaannya seperti memberi makan orang miskin dan
menolong janda-janda, mengasuh anak yatim, memuliakan tamu dan
memberi bekal kepada para musafir.78 Nabi Ayyub selalu mensyukuri
semua nikmat yang telah Allah berikan kepadanya dengan berdoa dan
berdzikir setiap hari kepada-Nya dalam kondisi apapun.

F. Relevansi Sikap Sabar Menghadapi Ujian dan Bersyukur atas


Nikmat Allah dalam Konteks Kekinian
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh penulis, para Nabi dan
Rasul memiliki banyak sifat mulia, seperti berjuang menyebarkan ajaran
tauhid, sabar dalam menghadapi cobaan yang datang dan selalu bersyukur
atas segala nikmat yang telah diberikan Allah kepada mereka. Sebagai
seorang hamba yang beriman, kita wajib mengikuti sifat-sifat mulia yang
telah dicontohkan para Nabi dan Rasul-Nya. Karena, dalam menjalani
kehidupan kita akan dihadapkan pada godaan-godaan dunia. Apakah kita
sanggup melewatinya ataukah kita terjatuh di dalamnya. Seorang muslim

78 Abū Ja’far Muḥammad bin Jarīr al-Ṭabarī, Tafsir al-Ṭabarī, 219.


143

seharusnya dapat menahan diri dari godaan hawa nafsu dunia agar tidak
terlena karena selalu mengingat Allah dimanapun berada dan memilih
untuk menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, 79 Allah berfirman:
‫﴾ فا َّن ا ْْلنَّة هي‬٤٠﴿ ‫وامَّا م ْن خاف مقام ربِّهٖ وَّنى النَّ ْفس عن ا َْل ٰو نى‬
﴾٤١﴿ ‫الْمأ ْٰو ِۗى‬
“Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan
menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh, surgalah
tempat tinggalnya .” (Qs. an-Nazi’at: 40-41
Seorang muslim yang baik adalah yang mampu bersabar dan
bersyukur. Karena kehidupan di dunia tidak terlepas dari nikmat dan
musibah. Ada nikmat yang membawa musibah, dan ada pula musibah
yang membawa nikmat. Bahkan terkadang nikmat dan musibah datang
secara bersamaan. Allah berfirman:
َۚ
‫سكم الضُُّّر فال ْيه َْتر ْون‬ ِّٰ ‫وما بك ْم ِّم ْن نِّ ْعمةٍ فمن‬
َّ ‫اّلل ُثَّ اذا م‬
“Dan segala nikmat yang ada padamu (datangnya) dari Allah,
kemudian apabila kamu ditimpa kesengsaraan, maka kepada-Nyalah
kamu meminta pertolongan. .” (Qs. an-Nahl: 53)

Lalu Allah berfirman:


‫ٰب ِّم ْن ق ْبل ا ْن نَّ ِْباها ِۗا َّن‬ ْٓ ‫مآ اصاب م ْن مُّصْي بةٍ ِف ْاْل ْرض وْل‬
ٍ ‫ِف ا ْن فسك ْم اَّْل ِْف كت‬
ْۖ
ِّٰ ‫ ﴾ لِّك ْيال َتْس ْوا ع ٰلى ما فاتك ْم وْل ت ْفرح ْوا ِبآ اٰتٰىك ْم ِۗو‬٢٢﴿ ‫اّلل يس ْي‬
‫اّلل ْل‬ ِّٰ ‫ٰذلك على‬
﴾٢٣﴿ ٍ‫ال فخ ْو نر‬ ٍ ‫ب ك َّل ُمْت‬
ُّ ‫َي‬

“Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu


sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh)
sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah
bagi Allah. Agar kamu tidak bersedih hati terhadap apa yang luput
dari kamu, dan jangan pula terlalu gembira terhadap apa yang

79
Yanuardi Syukur, Kisah Perjuangan Nabi-nabi ‘Ulul Azmi (Jakarta: al-
Maghfiroh, 2014), 285.
144

diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang


yang sombong dan membanggakan diri.” (Qs. al-Hadīd: 22-23)

Kedua ayat di atas menjelaskan bahwa semua nikmat yang ada pada
manusia baik kecil maupun sebesar-besarnya, baik nikmat yang diketahui
atau tidak, semua itu bersumber dari Allah atas kehendak dan ketentuan-
Nya.80 Sebagai orang yang beriman, kita harus mengaplikasikan rasa sabar
dan syukur dalam kehidupan sehari-hari. Dalam keadaan menderita
sekalipun, kita dianjurkan untuk selalu bersikap sabar dan menerima
semua takdir Allah dengan penuh keikhlasan, sehingga kita semua dapat
menjadi pribadi yang selalu bersyukur kepada-Nya.81
Sebagai contoh relevansi sikap sabar dan syukur dalam kehidupan
sehari-hari dapat dilihat dari nikmat-nikmat dan ujian yang Allah berikan
kepada nabi-nabi yang telah dipaparkan oleh penulis. Diantaranya:
1. Dari Kisah Nabi Daud dan Nabi Sulaiman, kita dapat melihat
pengaplikasiannya dalam kehidupan sehari-hari mengenai kasus
tentang penetapan suatu hukum di pengadilan. Baik Jaksa maupun
hakim, berperan penting dalam suatu perkara dari awal pemeriksaan
hingga mengadili. Jaksa bertugas menyampaikan dakwaan dan
tuntutan dalam pengadilan, sementara hakim memiliki fungsi dan
tanggung jawab besar karena bertugas menentukan keadilan bagi
terdakwa di pengadilan. Yang dengan demikian kita dapat
bersyukur, karena ketika ada suatu masalah yang harus menetapkan
suatu putusan yang adil, maka hal yang tepat adalah melapor kepada

80
Yanuardi Syukur, Kisah perjuangan Nabi-Nabi ‘Ulul Azmi, 264.
81 Muhammad Takdir, Suplemen Jiwa untuk Menggapai Kebahagiaan Sejati
(Authentic Happiness), 102.
145

pihak yang berwajib agar mendapat perlakuan dengan seadil-


adilnya.
2. Kita juga dapat melihat dari kisah Nabi Daud tentang nikmatnya
yang diberikan Allah dalam pembuatan baju besi. Yang mana,
hingga saat ini, manusia dapat membuat baju besi yang dapat
digunakan oleh banyak pekerja untuk melindungi diri dari hal-hal
yang dapat membahayakan dirinya. Dengan demikian sudah
seharusnya manusia dapat bersyukur atas ilmu pengetahuan dan
anugerah yang telah diberikan Allah melalui Nabi Daud kepada
hamba-Nya.
3. Kemudian kita dapat melihat dari kisah Nabi Sulaiman yang dapat
menundukkan angin dan setan-setan yang menyelam ke dasar laut,
membuat gedung-gedung dan lain sebagainya yang diperintah oleh
Nabi Sulaiman. Dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat pada
nelayan yang bekerja di laut dengan menggunakan angin sebagai
bantuan untuk pekerjaannya. Dimana angin ini sangat berguna dan
berpengaruh terhadap pekerjaannya. Begitupun sebaliknya, jika
angin sedang kencang, maka nyawa lah taruhannya. Yang dengan
demikian kita harus bersabar dan bersyukur atas nikmat dan cobaan
yang Allah berikan kepada kita semua. Lalu contoh lain dari pada
itu, kita dapat melihat pekerja bangunan dalam pembuatan gedung-
gedung besar, jalan tol dan lain sebagainya. Yang mana semua itu
mereka pelajari melalui ilmu-ilmu yang didapati.
4. Lalu seperti kisah Nabi Ayyub yang ditimpa penyakit, zaman
sekarang pun dunia sedang berduka karena hadirnya sebuah virus
yang menyebar begitu cepat, yaitu Corona Virus Disease (COVID
146

19) atau lebih dikenal dengan virus Corona. Penyakit ini pertama
kali muncul pada bulan Desember 2019 dan sejak saat itu mulai
menyebar secara global atau ke seluruh dunia sampai saat ini (tahun
2021). Ketika wabah ini menyebar luas, baik yang kaya maupun
yang miskin, tua maupun yang muda sibuk untuk melindungi dan
menyelamatkan diri. Penularan virus Corona yang begitu cepat
membuat semua orang begitu was was dan takut untuk berinteraksi
dengan orang lain. Segala aktivitas, baik belajar, bekerja maupun
aktivitas yang lain diliburkan sejenak demi mencegah penularan
virus tersebut.82 Bahkan banyak orang yang kehilangan
pekerjaannya karena tempat ia bekerja mengalami dampak
pengurangan pemasukan, sehingga beberapa perusahaan dan tempat-
tempat kerja yang lain harus mengurangi beberapa karyawannya.
Berdiam di dalam rumah selama pandemi, membuat masyarakat
dapat melakukan banyak hal, seperti menyelesaikan tugas, mengurus
rumah dan lain sebagainya. Apabila diteliti, perilaku masyarakat
selama masa pandemi ada banyak kegiatan yang dilakukan. Ada
yang menghabiskan waktunya dengan melakukan hal-hal negatif,
seperti orang yang tidak peduli terhadap himbauan pemerintah.
Mereka dengan santai nongkrong di tempat yang ramai dan
menghabiskan waktunya dengan bermalas-malasan. Ada pula orang
yang menghabiskan waktunya untuk bermain game, membuka sosial
media setiap waktu tanpa bermanfaat dan lain sebagainya tanpa
disadari dapat menjerumuskan kedalam dosa-dosa besar, seperti
gibah, bahkan sibuk membaca berita dan mengkritik berbagai
82 Taufiq A. Gani, Antologi dari Bumi Paguntaka: Covid-19 Dampak dan Solusi

(Aceh: Syiah Kuala University Press, 2020), 28.


147

kebijakan pemerintah yang dianggap salah.83 Sebagai salah satu


sikap syukur yang harus diterapkan dalam hal ini adalah kita harus
menyadari bahwa waktu adalah nikmat Allah yang wajib kita
syukuri. Kita harus bersikap positif dalam arti lebih dekat dengan
sang pencipta dengan cara lebih khusyuk dalam beribadah. Dengan
melakukan hal-hal positif selama di rumah saja, kita dapat
menjadikan diri lebih baik, baik kepada Allah maupun kepada
sesama makhluk.
Sebagai orang yang beragama dan beriman, kita harus yakin bahwa
apapun yang terjadi pada kehidupan sehari-hari baik nikmat maupun
cobaan, semua itu merupakan ujian bagi keimanan kita agar semakin
menjadi pribadi yang selalu sabar dan bersyukur kepada sang pencipta.
Bersyukur sudah menjadi kewajiban bagi setiap umat manusia. Tidak
hanya mengeluh dan selalu membandingkan kehidupan yang dijalani
dengan kehidupan orang lain, tetapi harus bersyukur dan bahagia dengan
apa yang telah dimiliki. Kehidupan yang telah kita jalani tidak luput dari
peran Sang Maha Pencipta. Sebagai manusia, ada banyak hal yang wajib
kita syukuri. Seperti, udara yang masih dapat kita hirup, makanan yang
bisa kita makan, dan hal-hal kecil lainnya. Ada banyak cara yang bisa
dilakukan sebagai bentuk rasa syukur kita atas segala nikmatnya. Kita
semua adalah penerus dakwah para Nabi dan Rasul. Keimanan kita kepada
Nabi dan Rasul menuntun kita untuk menjadi penerusnya. Meneruskan
perjuangan Nabi berarti kita mengkaji al-Qur’an, karena ajaran para Nabi
dan Rasul telah tercantum di dalam al-Qur’an. Setelah mengetahui kisah
Nabi Allah dan teladan yang dapat kita ambil dari para Nabi, penulis
83 Taufiq A. Gani, Antologi dari Bumi Paguntaka: Covid-19 Dampak dan Solusi,
29.
148

berharap mudah-mudahan penelitian ini dapat menjadi inspirasi bagi kita


semua untuk meniru dan mengamalkan kesabaran dan kebersyukuran
mereka. Walaupun kita manusia biasa, kita perlu menerapkan teladan-
teladan dan akhlak mulia yang diajarkan para nabi dan rasul-Nya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang penulis kaji, penulis menyimpulkan
bahwa pesan sabar dan syukur dalam kisah Nabi Daud, Nabi Sulaiman dan
Nabi Ayyub pada surah al-Anbiyā’ ayat 78 sampai 84 dalam penafsiran
Ibn Jarīr al-Ṭabarī adalah bahwa semua ujian yang Allah berikan baik
dalam bentuk cobaan maupun kenikmatan, semua itu agar manusia dapat
mengambil hikmah dan pelajaran. Kapan pun Allah dapat menguji para
wali-Nya serta siapa saja yang dikehendaki-Nya. Sebagai orang yang
beriman, kita dianjurkan untuk selalu menerima semua takdir Allah
dengan penuh keikhlasan dan kesabaran, sehingga kita dapat menjadi
pribadi yang selalu bersabar dan bersyukur atas segala ketetapan-Nya.
Dengan bersabar, kita dapat merenungi nikmat apa saja yang terlupa untuk
kita syukuri. Dan dengan bersyukur, kita dapat menjalani semuanya
dengan rasa sabar dan berserah diri kepada-Nya. Jadi, hargai dan
syukurilah semua yang sudah kita miliki, seperti nikmat iman, harta,
kesehatan, usia dan sebagainya yang menjadi pengendali atas setiap
aktivitas yang kita lakukan setiap hari.

B. Saran
Penulis berharap adanya penelitian lebih lanjut terkait tentang kisah
Nabi Daud, Nabi Sulaiman dan Nabi Ayyub maupun nabi-nabi Allah yang
lain serta tidak hanya menggunakan kitab Tafsir al-Ṭabarī saja. Dengan
mengetahui pesan sabar dan syukur para Nabi yang telah Penulis
paparkan, mudah-mudahan penelitian ini dapat menambah ilmu
pengetahuan bagi pembaca serta dapat mengambil hikmah dan dapat
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari dan di masa yang akan
datang.

149
150
DAFTAR PUSTAKA

Buku Referensi:
Aksara, Tim Panca. Keajaiban Sabar dan Syukur. Temanggung: Desa
Pustaka Indonesia, 2020.
Alaydrus, Habib Syarif Muhammad. Agar Hidup Selalu Berkah: Meraih
Ketentraman Hati dengan Hidup Penuh Berkah. Bandung: PT.
Mizan Pustaka, 2009.
Ali, Yunasril. Pilar-pilar Tasawuf. Jakarta: Kalam Mulia, 2005.
Astutiningrum, Ririn. Kisah 25 Nabi & Rasul: Nabi Ismail. Solo: Tiga
Ananda, 2019.
‘Asyur, Ibnu. al-Tahrīr wa al-Tanwīr, jilid 4, Tunisia: Dar al-Tunisi, 1984.
Baljon, J.M.S. Tafsir Qur’an Muslim Modern. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1991.
Baqi, Muhammad Fuad Abdul. al-Mu’jam al-Mufahras li al-fazh al-
Qur’ān. Beirut: Dar al-Fikr, 1981.
Al-Dhahabi, M. Husain. al-Tafsir wa al-Mufasirûn, jilid 1. Beirut: Dar al
Kutub, 1976.
Al-Farmawi, Abdul Hayy. Metode Tafsir Maudhu’i: Sebuah Pengantar,
terj. Surya A. Samran. Jakarta: PT.Grafindo Persada, 1996.
Faizah ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik
Modern. Ciputat Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2011.
Farid, Syaikh Ahmad. 60 Biografi Ulama Salaf, terj. Masturi Irham dan
Asmu’i Taman. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2006.
Gani, Taufik A. Antologi dari Bumi Paguntaka: Covid-19 Dampak dan
Solusi. Aceh: Syiah Kuala University Press, 2020.
Al-Ghazali, Imam. Sabar dan Syukur, terj. Al-Haj Maulana Fazlul-Karim.
Bandung: Marja, 2019.
Ghofur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir al-Qur’an. Yogyakarta: Insan
Madani, 2007.
Goldziher, Ignaz. Mazhab Tafsir dari Klasik Hingga Modern. Yogyakarta:
El-Saq Press, 2006.
Hamasah, Ifsya. Kisah Teladan 25 Nabi dan Rasul. Jakarta: Cikal Aksara,
2010.
Hamka. Tafsir al-Azhar, jilid 7. Jakarta: Gema Insani, 2020.
Hamka. Tafsir al-Azhar, juz XVII. Jakarta: PT. Citra Serumpun Padi.
Hidayatullah, Tim Penulis IAIN Syarif. Ensiklopedi Islam Indonesia.
Jakarta: Djambatan, 1992.

151
152

HIMZI, A. Husnul Hakim. Ensiklopedi Kitab-Kitab Tafsir: Kumpulan


Kitab-kitab Tafsir dari Masa Klasik sampai Masa Kontemporer.
Jawa barat: Lingkar Studi al-Qur’an, 2013.
Ilyas, Yunahar. Kuliah Akhlak. Yogyakarta: LPPI, 2004.
Izutsu, Toshihiko. Etika Beragama dalam Qur’an, terj. Mansyuruddin
Djoely. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993.
Jarīr al-Ṭabarī, Abu Ja’far Muhammad Ibn. Jāmi’ al-Bayān ‘an Ta’wīl Ay
al Qur’ān, terj. Ahsan Ahkan, jilid I. Beirut Dar al-Fiqr.
Al-Jauziyyah, Ibnu Qayyim. Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah:
Penjabaran Konkrit: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, terj.
Kathur Suhardi. Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003.
Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Jakarta: Qisthi Press, 2015.
Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi, terj. Dudi Rosyadi. Jakarta: al-Kautsar,
2011.
Mahmud, Mani’ Abd Halim. Metodologi Tafsir Kajian Komprehensif
Metode Para Ahli Tafsir. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
Mandzur, Ibnu. Lisan al-‘Arab. Kairo: Darul Ma’arif, 1119.
Mikam, Komaruddin Ibnu. 25 Nabi dan Rasul dalam al-Qur’an. Jakarta:
Gramedia, 2010.
Al-Munawar, Said Agil Husin. Al-Qur’an Membangun Kesalehan Hakiki.
Jakarta: Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Munawir, Fajrul. Al-Qur’an. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga, 2005.
Al-Musawi, Khalil. Bagaimana Membangun Kepribadian Anda. Jakarta:
Lentera Hati, 1999.
Al-Nawawi, Imam. Shahih Muslim, juz. 9. Kairo: Darul Hadits, 1998.
Al-Salus, Ali Ahmad. Ensiklopedi Sunnah dan Syi’ah, jilid I. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2001.
Al-Shiddieqy, Hasbi. Ilmu-Ilmu al-Qur’an: Media-media Pokok dalam
Menafsirkan al-Qur’an. Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1988.
Al-Shiddieqy, T.M Hasbi. Ilmu-ilmu al-Qur’an. Jakarta: NV. Bulan
Bintang, 1972.
Pendidikan Kebudayaan, Departemen. Kamus Besar Bahasa Indonesia,
cet. III. Jakarta: Balai Pustaka, 1990.
Priyatna, Haris. 2 Syarat Utama Bahagia Dunia Akhirat: Mengamalkan
Sabar dan Syukur Sepanjang Hayat. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer,
2016.
Qardhawi, Yusuf. al-Qur'an Menyuruh Kita Sabar, terj. Aziz Salim
Basyarahil. Jakarta: Gema Insani Press, 1990.
Al-Qatthan, Manna’ Khalil. Pengantar Studi Ilmu al-Qur’an. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2005.
153

Al-Qattan, Manna’ Khalil. Mabahits Fi Ulum al-Qur’an, terj. Mudzakir.


Bogor: Litera antar Nusa, 2009.
Al-Qurthubi, Abu ‘Abdillah. al-Jāmi’ li Ahkam al-Qur’ān, jilid 2. Kairo:
Dār al-Kutub al-Mishriyyah, 1384 H.
Al-Razi, Fakhr al-Din. Mafatih al-Ghaib, jilid 4. Beirut: Dar Ihya al Turats
al-‘Arabi, 1420 H.
Quthb, Sayyid. Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an: Di Bawah Naungan al-Qur’an,
terj. M. Misbah Aunur Rafiq Shaleh Tamhid, jilid 8. Jakarta:
Robbani Press, 2009.
Rahmat, Syafe’i. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Pustaka Setia, 2012.
Shihab, M. Quraish. Secercah Cahaya Ilahi. Bandung: Mizan, 2007.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Lubāb. Jakarta: Lentera Hati, 2020.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbāh: Pesan, Kesan dan Keserasian al
Qur’an, vol. 8. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Surakhmad, Winarno. Pengantar Penelitian Ilmu Teknik dan Metode.
Bandung: Tarsito, 1982.
Suryanegara, Ahmad Mansur. Api Sejarah. Bandung: Salamadani Pustaka
Semesta, 2010.
Syakir, Syaikh Ahmad. Mukhtashar Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4. Jakarta:
Darus Sunnah, 2014.
Syarbini, Amirullah. Dahsyatnya Sabar, Syukur & Ikhlas Muhammad
Saw. Bandung: Ruang Kata, 2010.
Syarbini, H. Amirullah. Dahsyatnya Sabar, Syukur dan Ikhlas. Bandung:
Ruang Kata, 2010.
Syarifah, Iip. Cerita Teladan 25 Nabi dan Rasul. Jakarta: Cikal Aksara,
2018.
Syarifuddin, M. Anwar dan Mar’atun Sholihah , Mengungkap Makna dan
Hikmah: Tafsir Ayat-ayat Do’a dalam al-Qur’an, Bandung: Lekkas,
2020.
Syofrianisda. Tafsir Maudhu’i. Yogyakarta: Deepublish, 2015.
Syukur, Yanuardi. Kisah Perjuangan Nabi-nabi ‘Ulul Azmi. Jakarta: al
Maghfiroh, 2014.
Syurfah, Ariany. Kisah Teladan & Menakjubkan 25 Nabi. Jakarta: Cerdas
Interaktif, 2014.
Takdir, Mohammad. Suplemen Jiwa untuk Menggapai Kebahagiaan
Sejati (Authentic Happiness). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo,
2018.
Al-Yamani, Abdullah. Sabar, terj. Iman Firdaus. Jakarta: Qisthi Press,
2017.
Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penafsiran al-Qur’an, 1973.
Yusuf, Muhammad. Studi Kitab Tafsir. Yogyakarta: Teras, 2004.
154

Zed, Mestika. Metodologi Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 2004.
Al-Zuhaili, Wahbah. al-Tafsir wa al-Wasith, jilid 2. Damaskus: Dār al
Fikr, 1422 H.

SKRIPSI/TESIS:
Andini, Ika Tyas, “Pendidikan Nilai Kesabaran Nabi Ayyub Studi
Terhadap al-Qur’an Surat Shād ayat 41-44.” Skripsi S1., Fakultas
Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Salatiga, 2016.
Barmawanto, Budi, “Representasi sabar dan syukur seorang ayah dalam
film Jokowi 2013: analisis semiotik tearhadap tokoh Notomiharjo.”
Skripsi S1., Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo,
2017.
Chasanah, Nur, “Konsep Sabar dalam Kitab Nashaihul ‘Ibad Karya Imam
Nawawi al-Bantani.” Tesis S2., Fakultas Tarbiyah dan Ilmu
Keguruan IAIN Salatiga, 2018
Darmawan, Adrian, “Analisis Semiotik Makna Sabar & Syukur Dalam
Film Gadis Di Ruang Tunggu.” Skripsi S1., Fakultas Ilmu Dakwah
dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Eka S, Mariana, “Pendidikan sabar dalam Kisah Nabi Ayyub (Kajian tafsir
surah Shād ayat 41-44).” Skripsi S1., UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2019.
Fauziyah, Nur Rifatul, “Al-Syakhsiyah Fi Qisyah Sulaiman ‘Alaih al-
Salam Fi al-Qur’an al-Karim: Tahlīl Li Nafsi Adaby Fi Dhou’
Nadhariyah Syigmund Freud.” Thesis S2,. Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya, 2016.
Hardianto, Wawan, “Nilai-nilai Keteladanan Kisah Nabi Daud AS. Dalam
Kitab Qishasul Anbiya Karya Ibnu Katsir dan Relevansinya dengan
Pendidikan Akhlak MTS Kelas VII Semester Ganjil.” Skripsi S1.,
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Ponorogo, 2018.
Maulida, Imas, “Telisik Doa Nabi Ayyub As dalam Tafsir al-Ṭabarī Pada
Surah al-Anbiyā’ ayat 83-84 dan Sad ayat 41-44.” Skripsi S1.,
Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019.
Miftahuddin, Azka, “Penanaman Nilai Syukur dalam Tradisi Sedekah
Bumi di Dusun Kalitanjung Desa Tambaknegara Rawalo
Banyumas.” Skripsi S1., Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Purwokerto, 2016.
Rifin, Mustolih, “Karakteristik Syukur dalam al-Qur’an (Kisah Nabi
Ayyub dan Nabi Sulaiman).” Skripsi S1., Fakultas Ushuluddin dan
Studi Agama UIN Raden Intan Lampung, 2019.
155

Rofiq, Ahmad Ainur, “Konsep Sabar Ibnu Qayyim al-Jauzzy dan


Relevansinya dengan Kesehatan Mental.” Tesis S2., Fakultas
Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo, 2019.
Rosikin, Choirul, “Makna Layalin ‘Ash Dalam Surat al-Fajr Ayat 2 (Studi
Komparatif Penafsiran Ibn Jarīr al-Ṭabarī dan M.Abduh).” Skripsi
S1., Fakultas Ushuluddin dan filsafat Jurusan Tafsir Hadis UIN
Sunan Ampel Surabaya, 2019.

JURNAL/ARTIKEL:
Abdurrohman, Asep. “Metodologi al-Ṭabarī dalam Tafsir Jāmi’ al-Bayān
‘an Ta’wīl Ay al-Qur’ān.” Jurnal Kordinat. vol. 17, no. 1 (01 April
2018): 66-88.
Amaruddin. “Mengungkap Tafsir Jāmi’ al-Bayān fī Tafsir al-Qur’ān
Karya al-Ṭabarī.”Jurnal Syahadah. vol. 2, no. 2 (Oktober 2014):
6-15.
Habibah, Syarifah. “Akhlak dan Etika dalam Islam.” Jurnal Pesona
Dasar. vol. 1, no. 4 (Oktober 2015): 73-87.
Hadi, Sopyan. “Konsep Sabar dalam al-Qur’an”, Jurnal Mada
Pengetahuan Teknologi dan Humaniora, vol. 1, no. 2 (Oktober
2018): 473-488.
Ismatulloh, A.M. “Konsepsi Ibn Jarīr al-Ṭabarī Tentang al-Qur’an Tafsir
dan Ta’wil.” Jurnal Fenomena. vol. 4, no. 2 (Oktober 2012): 203-
219.
Kholis, Muhammad Maulana Nur. “Ayat Toleransi Perspektif Ibn Jarīr al
Ṭabarī (Telaah Deskriptif Surah al-Baqarah: 256).” Jurnal Agama
Sosial dan Budaya. vol. 2, no.1 (Januari 2019): 62-75.
Mahfud, Choirul. “The Power Of Syukur: Tafsir Kontekstual Konsep
Syukur dalam al-Qur’an.” Jurnal Episteme Pengembangan Ilmu
Pengetahuan. vol. 9, no. 2 (Desember 2014): 378-400.
Masyhuri, Akmal. “Konsep Syukur (GRATEFULNES); Kajian Empiris
Makna Syukur bagi Guru Ponpes Daarun Nahdhah Thawalib
Bangkinang Seberang, Kampar, Riau.” Jurnal Komunikasi dan
Pendidikan Islam. vol. 7, no. 2 ( Desember 2018): 1-22.
Muin, Muhammad Irham A. “Syukur dalam Perspektif al-Qur’an.” Jurnal
Tafsir. vol. 5, no. 1 (September 2017): 1-17.
Sagir, Akhmad. “Pertemuan Sabar dan Syukur dalam Hati.” Jurnal
Studi Insania. vol. 2, no. 1 (April 2014): 19-31.
Saha, Sofyan. “Perkembangan Penulisan Tafsir al-Qur’an di Indonesia Era
Reformasi.” Jurnal Lektur Keagamaan, Puslitbang Lektur dan
Khazanah Keagamaan Balitbang Kemenag. vol. 13, no. 1 (April
2018): 60-84.
156

Ubaidillah, Ismail. “Kata Serapan Bahasa Asing dalam al-Qur’an dalam


Pemikiran al-Ṭabarī.”vol. 8, no. 1 (Juni 2013): 120-132.
Ulya, Vita Fitriyatul. “Peran Orang Tua dalam Pembentukan Nilai
Karakter Anak Usia Dini Melalui Metode Qashash al Qur’an.”
Journal of Early Childhood Islamic Education, vol. 4, no. 1
(Oktober 2019): 52-65.
Zulhami. “Tingkah Laku Sabar Relevansinya dengan Kesehatan Mental.”
Jurnal Darul ‘Ilmi. vol. 4, no.1 (Januari 2016): 40-53.

WEBSITE:
Anshori, Bahron. “Kisah tentang Sabar dan Syukur, 2017.” Diakses, 02
Oktober, 2020, https://minanews.net/kisah-tentang-sabar-dan
syukur/.
Hasan, Eva F. “Keutamaan Bersyukur dan Bersabar, 2016.” Diakses, 02
Oktober, 2020, https://www.islampos.com/keutamaan-bersyukur
dan-bersabar-556/.
Muhammad, Fahmi. “Abd Hayy al-Farmawi.” Diakses, pada 20 Oktober,
2020, http://www.academia.edu/8402088/abdHayyal-Farmawi.
Nasution, Syamruddin. “Sabar dan Syukur sebagai Pakaian, 2016.” Di
akses, pada 02 Februari, 2021, https://uinsuska.ac.id/2016
/01/22/sabar-dan-syukur-sebagai-pakaian-prof.dr-syamruddin-
nasution
Rizka, Hasanul. “Hikmah Sabar dan Syukur, 2020.” Diakses, 02 Oktober,
2020, https://republika.co.id/berita/q9t72q458/hikmah-sabar-dan
syukur.

You might also like