E4 TugasPerpajakan2 Klp4

You might also like

You are on page 1of 9

TUGAS MATA KULIAH PERPAJAKAN 2

Aji Setyawan F0320004


Angger Lintang N.M F0320011
Philip Divalo P F0320093
Sephiala Daniasty A F0320115

Andi adalah seorang pengusaha perdagangan besar hasil pertanian dengan bentuk usaha
perseorangan. Andi tinggal di Jakarta dan mengambil barang dari luar kota dan dijual di pasar-
pasar di Jakarta. Dalam Daftar Standar norma penghasilan netto yang dikeluarkan Dirjen Pajak,
Andi termasuk kriteria kode 61310 dengan norma 25%. Bila mempergunakan pembukuan
maka perhitungan rugi laba selama tahun 2009 sebagai berikut.

Penghasilan selama 1 tahun : Rp 1.000.000.000,00


Harga Pokok : Rp 600.000.000,00
Penghasilan Bruto : Rp 400.000.000,00
Biaya-Biaya berhubungan usaha dan diperkenankan
Rp 200.000.000,00
Penghasilan Netto Rp 200.000,00
PTKP (K/3-Kawin Rp 67.500.000
Tanggungan 3 orang)
Penghasilan Kena Pajak Rp 132.500.000
PPh Terutang
5% x Rp50.0000.000,00 : Rp 2.500.000,00
15% x Rp132.500.000,00. Rp 19.875.000,00
: Rp 22.375.000,00
Apabila omzetnya 1 miliar :
Karena, omzetnya kurang dari Rp4,8 miliar maka Andi dapat juga menghitung pajaknya
dengan mempergunakan standar norma. Perhitungan pajaknya adalah sebagai berikut.

Penghasilan selama 1 tahun : Rp1.000.000.000,00


Penghasilan Netto
(25% x Rp1.000.000.000,00):
Rp 250.0000.000,00 -.
PTKP (K/3-Kawin
tanggungan 3 orang) : Rp 67.500.000,00
Penghasilan Kena Pajak :
Rp182.500.000,00

PPh Terutang
5% x Rp 50.000.000,0 2.500.000,-00
15% x Rp 182.500.000,00: Rp27.375.000,00

: Rp29.875.000,00
Jadi, dalam kasus ini Andi lebih efisien mempergunakan pembukuan karena biaya yang dibebankan
lebih besar sehingga berpengaruh terhadap beban pajak yang lebih kecil.

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-17/PJ/2015 TENTANG NORMA


PENGHITUNGAN PENGHASILAN NETO (NPPN)

Abstrak
Self assessment system perpajakan ternyata memberi beban besar kepada Wajib Pajak untuk mampu
mendaftar sendiri, menghitung, memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri pajaknya.
Sementara banyak Wajib Pajak tidak mampu untuk melaksanakannya. Pada awal reformasi
perpajakan dengan berlakunya Undang-Undang KUP 1983 dan Undang-Undang PPh 1983, Direktur
Jenderal Pajak memberi dasar dan arahan bagi Wajib Pajak dan Pemeriksa Pajak untuk menggunakan
Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dalam menghitung Pajak Penghasilan.
Penggunaan NPPN ini juga dapat digunakan ketika Pemeriksa Pajak harus menetapkan pajak
terhutang Wajib Pajak secara jabatan baik bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha
atau pekerjaan bebas atau Wajib Pajak badan. Penggunaan NPPN ini termasuk kewenangan untuk
menetapkan pajak terhutang terhadap SPT Wajib Pajak yang sedang diperiksa ketika Wajib Pajak tidak
menyerahkan dokumen, buku, catatan /informasi yang dibutuhkan dalam pemeriksaan pajak.
Namun sejak tahun 2001, kewenangan Pemeriksa Pajak menetapkan pajak terhutang secara jabatan
dengan menggunakan NPPN untuk Wajib Pajak badan, dicabut seiring dengan keluarnya Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-536/PJ./2000 Tentang NPPN Bagi Wajib Pajak Yang Dapat
Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma Penghitungan.
Jumlah Wajib Pajak yang terus meningkat namun tidak sebanding dengan dan jumlah Pemeriksa
Pajak, menyebabkan pemeriksaan pajak harus dilaksanakan secara efektif dan efisien. Hal ini
termasuk jika Wajib Pajak tidak menyerahkan dokumen, buku, catatan /informasi yang dibutuhkan
dalam pemeriksaan pajak, sehingga Pemeriksa Pajak harus menetapkan pajak terutang secara
jabatan. Penulis berharap Menteri Keuangan untuk kembali memberikan aturan penggunaan NPPN
dalam pemeriksaan pajak untuk Wajib Pajak badan yang harus ditetapkan pajak terutangnya secara
jabatan.
Kata kunci: pemeriksaan pajak, penetapan pajak, secara jabatan, norma penghitungan.
Latar Belakang
Saat ini adanya kebingungan Pemeriksa Pajak untuk menyelesaikan pemeriksaan pajak terhadap
Wajib Pajak badan yang tidak menyerahkan dokumen, buku, catatan /informasi yang dibutuhkan dalam
pemeriksaan pajak. Undang-Undang KUP 2009 memberi kewenangan untuk menetapkan pajak
terutang secara jabatan. Namun kurangnya rambu-rambu /aturan dalam penetapan pajak terutang
secara jabatan, menyebabkan beragam cara Pemeriksa Pajak dalam menyelesaikan pemeriksaan
terhadap Wajib Pajak yang membandel. Hal ini juga dapat berdampak pada kekuatan hukum dari hasil
pemeriksaan tersebut. Dibutuhkan keseragaman dalam penetapan secara jabatan , diantaranya
dengan menggunakan NPPN. Sejak tahun 2001 sampai saat ini, tidak diperbolehkan penyelesaian
pemeriksaan yang ditetapkan secara jabatan dengan menggunakan NPPN bagi Wajib Pajak badan.
Penulis mengusulkan agar pemerintah memberikan solusi, salah satunya dengan memberlakukan
kembali penggunaan NPPN bagi Wajib Pajak badan yang membandel untuk ditetapkan pajaknya
secara jabatan.
Pembahasan
Pengertian Penghitungan Pajak Secara Jabatan
Pemeriksa Pajak berdasarkan kewenangannya dalam melakukan pemeriksaan pajak dapat
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dengan penghitungan secara jabatan seperti yang
diatur dalam Undang-Undang No.16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(selanjutnya disebut Undang-Undang KUP 2009) serta aturan turunannya terhadap Wajib Pajak berikut
ini:
1. Terhadap Wajib Pajak yang dilakukan pemeriksaan disebabkan Surat Pemberitahuannya
tidak disampaikan pada waktunya walaupun telah ditegur secara tertulis dan tidak juga
disampaikan dalam jangka waktu yang ditentukan dalam Surat Teguran sebagaimana
dimaksud pada pasal 13 ayat (1) huruf b Undang-Undang KUP 2009.
2. Pada saat pemeriksaan diketahui Wajib Pajak tidak menyelenggarakan
pembukuansebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Undang-Undang KUP 2009.
3. Pada saat dilakukan pemeriksaan Wajib Pajak tidak memenuhi permintaan buku, data,
dokumen serta informasi yang seharusnya diperoleh dari Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 Undang-Undang KUP 2009.
4. Dari rangkaian pemeriksaan dan/atau fakta-fakta yang diketahui besar dugaan Wajib Pajak
menyembunyikan dokumen atau data pendukung lain di suatu tempat tertentu sehingga dari
sikap demikian jelas Wajib Pajak telah tidak menunjukkan iktikad baiknya untuk membantu
kelancaran jalannya pemeriksaan (penjelasan pasal 13 ayat 1 Undang-Undang KUP 2009).
5. Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib
Pajak yang dilakukan pemeriksaan sehubungan dengan permohonan pengembalian
kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17B Undang-Undang KUP
2009:
a. tidak ditemukan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal Surat Pemberitahuan
Pemeriksaan Lapangan diterbitkan; atau
b. tidak memenuhi panggilan pemeriksaan dalam jangka waktu 4 (empat) bulan sejak tanggal
Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan Kantor diterbitkan
(hal ini sesuai dengan pasal 23 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013).
Berdasarkan hal-hal di atas, Pemeriksa Pajak harus menentukan dapat atau tidaknya melakukan
pengujian dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak berdasarkan bukti kompeten
yang cukup sesuai standar pelaksanaan Pemeriksaan.
Dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas atau Wajib Pajak badan, namun Pemeriksa Pajak tidak dapat melakukan pengujian
dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak, Pemeriksa Pajak dapat menghitung
penghasilan kena pajaksecara jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan (sesuai pasal 31 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013). Tetapi
terhadap Wajib Pajak Badan hal ini tidak diperbolehkan.
Penghitungan pajak secara jabatan adalah penghitungan pajak didasarkan pada data yang tidak
hanya diperoleh dari Wajib Pajak saja (penjelasan pasal 13 ayat 1 huruf b Undang-Undang KUP
2009). Data yang tidak diperoleh dari Wajib Pajak dapat berasal dari Direktorat Jenderal Pajak (data
Internal DJP) dan data dari luar /Eksternal DJP.
Sebelum melakukan penghitungan pajak secara jabatan, Pemeriksa Pajak sebaiknya melakukan
usaha yang maksimal dalam memperoleh data Wajib Pajak serta melakukan beberapa hal diantaranya:
a. Mempelajari Proses Bisnis Wajib Pajak dan Penentuan Jangkar Kegiatan Usaha.
Secara konsep, jangkar kegiatan usaha yang digunakan oleh DJP adalah "sesuatu" yang digunakan
di dalam kegiatan usaha untuk menghasilkan produk atau output yang apabila sesuatu tersebut tidak
ada maka kegiatan usaha tersebut tidak akan berjalan atau mengalami gangguan.
b. Mengumpulkan dokumen, data, informasi dan keterangan tentang Wajib Pajak yang bukan berasal
dari Wajib Pajak.W
c. Melakukan Analisis Data Wajib Pajak.
d. Melakukan Pengujian-Pengujian Pos-Pos di SPT dan Laporan Keuangan.
e. Mengidentifikasi Masalah Wajib Pajak.
f. Menyimpulkan Hasil Pemeriksaan.
Dalam penentuan secara jabatan, Pemeriksa Pajak juga harus memperhatikan cara penghitungan
Penghasilan Neto Wajib Pajak:
1. Wajib Pajak yang tidak menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto, maka
Pemeriksa Pajak harus menetapkan secara jabatan Jumlah Penghasilan Bruto dan
Pengurang Penghasilan Brutonya.
2. Wajib Pajak yang oleh peraturan perpajakan diperbolehkan menggunakan NPPN, maka
Pemeriksa Pajak terlebih dahulu harus menetapkan secara jabatan Jumlah Penghasilan
Brutonya.
Wajib Pajak yang diperbolehkan melakukan PENCATATAN dan Menggunakan NPPN menurut
Undang-Undang KUP 1983 dan Undang-Undang PPh 1983
Sejak reformasi perpajakan di Indonesia dimulai pada tahun 1984, dengan berlakunya Undang-Undang
No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut Undang-
Undang KUP 1983) dan Undang-Undang No.7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya
disebut Undang-Undang PPh 1983) dinyatakan bahwa pada prinsipnya Wajib Pajak yang harus
mengadakan pembukuan adalah Wajib Pajak Badan atau Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas di Indonesia (pasal 28 ayat 1 Undang-Undang KUP 1983).
Berdasarkan pembukuan yang diselenggarakan, Wajib Pajak diharapkan mampu menghitung dasar
pengenaan pajak. Namun pemerintah memberikan perkecualian bagi Wajib Pajak untuk tidak
menyelenggarakan pembukuan tetapi sekurang-kurangnya menggunakan pencatatan untuk
menghitung dasar pengenaan pajak (pasal 28 ayat 2). Konsekuensi bagi Wajib Pajak yang
menggunakan pencatatan adalah menghitung Penghasilan Netonya dengan menggunakan Norma
Penghitungan. Bagi Wajib Pajak yang karena kemampuannya belum memadai, dimungkinkan untuk
dibebaskan dari kewajiban mengadakan pembukuan. Yang dimaksud dengan "dibebaskan" dari
kewajiban mengadakan pembukuan tidak berarti bahwa Wajib Pajak untuk seterusnya tidak berusaha
untuk meningkatkan kemampuannya menyelenggarakan pembukuan secara lengkap dan baik,
sehingga sama sekali tidak memiliki pembukuan dalam menyelenggarakan usahanya. Sepanjang
kemampuan tersebut belum dimiliki, Wajib Pajak dibenarkan untuk hanya membuat catatan-catatan
yang merupakan pembukuan sederhana yang memuat data-data pokok yang dapat dipakai untuk
melakukan penghitungan pajak yang terhutang bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (penjelasan pasal
28 ayat 2).
Wajib Pajak yang diperbolehkan menggunakan pencatatan diatur pada Pasal 14 ayat 2 Undang-
Undang PPh 1983 yaitu Wajib Pajak yang peredaraan usahanya atau penerimaan bruto dari pekerjaan
bebasnya yang berjumlah kurang dari Rp. 60.000.000,- setahun, asalkan Wajib Pajak memberitahukan
kepada Direktur Jenderal Pajak dalam tenggang waktu 3 (tiga) bulan pertama dari tahun pajak yang
bersangkutan.
Bagi Wajib Pajak yang memenuhi kriteria ini baik Wajib Pajak Orang pribadi maupun badan dapat
menggunakan NPPN sesuai dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep.01/PJ.07/1991
Tentang NPPN Dan Tata Cara Pembuatan Catatan Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung
Penghasilan Netto Dengan Menggunakan NPPN.
Wajib Pajak yang seharusnya menyelenggarakan pembukuan tetapi tidak menyelenggarakan
pembukuan atau tidak memperlihatkan pembukuan saat pemeriksaan menurut Undang-
Undang KUP 1983 dan Undang-Undang PPh 1983
Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menetapkan besarnya jumlah pajak
yang terhutang dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan (pasal 29 Undang-Undang KUP 1983). Jika dalam pemeriksaan Wajib Pajak
(baik Wajib Pajak Badan dan Orang Pribadi) ternyata peredaraan usahanya atau penerimaan bruto dari
pekerjaan bebasnya berjumlah lebih darienam puluh juta (Rp. 60.000.000,-) setahun sebagaimana
dimaksud pasal 14 ayat 2 Undang-Undang PPh 1983 namun tidak menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana mestinya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dasar pengenaan pajak yang
terhutang dengan menggunakan norma tersendiri yaitu NPPN sesuai dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No. Kep.02/PJ.07/1991 Tentang NPPN Bagi Wajib Pajak Yang Wajib
Menyelenggarakan Pembukuan Tetapi Tidak Menyelenggarakan Sebagaimana Mestinya. Pajak
Penghasilan yang terutang dari penghitungan menurut Kep.02/PJ.07/1991 ini ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat 3 Undang-Undang KUP tahun
1983 (kenaikan 50%).
Penggunaan NPPN sesuai Kep.02/PJ.07/1991 ini juga berlaku dalam pemeriksaan, jika Wajib Pajak
tidak memperlihatkan buku dan catatan serta bukti lain yang diminta oleh Direktur Jenderal Pajak
sehubungan dengan kewajiban penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan tersebut(Pasal 14 Ayat
6 Undang-Undang KUP 1983). Dengan kata lain, bahwa NPPN sesuai Kep.02/PJ.07/1991 ini dapat
digunakan dalam pemeriksaan yang menghitung pajak penghasilan secara jabatan.
Terdapat perbedaan besaran angka prosentase antara Wajib Pajak yang diperbolehkan
menggunakan NPPN (melakukan pencatatan) Kep.01/PJ.07/1991 dengan Wajib Pajak yang
seharusnya melakukan pembukuan (Kep.02/PJ.07/1991). Contoh perbandingannya dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:
WP yg DAPAT menggunakan NPPN bagi WP yg Tdk
NPPN (Kep.01/1991) Menyelenggarakan
Pembukuan sebagaimana
mestinya (Kep.02/1991)
No. Kode Jenis Usaha 10 Kota Daerah 10 Kota Daerah
Urut ibukota Propinsi Lainnya ibukota Propinsi Lainnya
Propinsi lainnya Propinsi lainnya
Pertanian,
Peternakan,
Kehutanan,
Perburuan dan
Perikanan
WP Perseorangan
1 1100 Pertanian tanaman 30 30 37 36 36 37
pangan
3 1121 Tembakau 11,5 11 10 15 14 13,5
11 1500 Kehutanan 16 16 16 17,5 17,5 17,5
&penebangan hutan
13 1700 Perikanan Laut 30 27,5 26 35 32,2 31
WP Badan
1 1100 Pertanian tanaman 37 37 37 37 37 40
pangan
3 1121 Tembakau 15 13,5 12,5 18,5 18 17,5
11 1500 Kehutanan 17,5 17,5 17,5 19 19 19
&penebangan hutan
13 1700 Perikanan Laut 32,5 30 27,5 37,5 35 32,5

Angka prosentase NPPN bagi Wajib Pajak yang menyelenggarakan pembukuan namun tidak
menyelenggarakan pembukuan sebagaimana mestinya lebih besar dibandingkan dengan Wajib
Pajak yang diperbolehkan menggunakan NPPN. Angka prosentase yang lebih besar ini merupakan
sanksi bagi Wajib Pajak yang tidak melaksanakan ketentuan perpajakan/tidak menyelenggarakan
pembukuan. Angka prosentase pada NPPN berdasarkan Kep.01/PJ.7/1991 digunakan oleh Wajib
Pajak dalam menghitung penghasilan kena pajak pada SPT Wajib Pajak. Angka pada
Kep.01/PJ.7/1991 ini juga digunakan Pemeriksa Pajak dalam menghitung penghasilan kena pajak
berdasarkan hasil pemeriksaan. Sedangkan angka prosentase NPPN berdasarkan Kep.02/PJ.7/1991
hanya digunakan oleh Pemeriksa Pajak dalam menghitung penghasilan kena pajak menurut hasil
pemeriksaan, jika ternyata Wajib Pajak tidak menyelenggarakan pembukuan sebagaimana mestinya.

Direktur Jenderal Pajak kemudian mengeluarkan peraturan berupa Keputusan Direktur Jenderal Pajak
Nomor Kep - 536/PJ./2000 Tentang NPPN Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto
Dengan Menggunakan Norma Penghitungan yang isinya diantaranya adalah:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto di bawah Rp 600.000.000,00 dalam satu tahun wajib menyelenggarakan pencatatan
jika Wajib Pajak yang bersangkutan tidak memilih menyelenggarakan pembukuan, serta
2. Wajib Pajak yang wajib menyelenggarakan pencatatan tersebut wajib memberitahukan
mengenai penggunaan Norma Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3
(tiga) bulan sejak awal tahun pajak yang bersangkutan.Pemberitahuan penggunaan NPPN
yang disampaikan dalam jangka waktu 3 bulan tersebut dianggap disetujui kecuali
berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tidak memenuhi persyaratan untuk
menggunakan NPPN.
3. Ketentuan bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
yang wajib menyelenggarakan pembukuan adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto sebesar Rp 600.000.000,00 atau lebih dalam satu tahun,
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
bruto di bawah Rp 600.000.000,00namun Wajib Pajak tersebut memilih menyelenggarakan
pembukuan, dan
c. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan peredaran
brutodibawahnamun Wajib Pajak tersebut tidak memberitahukantentang penggunaan Norma
Penghitungan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lama 3 (tiga) bulan sejak awal tahun pajak
yang bersangkutan.
d. Terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan
bebasseharusnya menyelenggarakan pembukuan namun tidak menyelenggarakan pembukuan
sebagaimana mestinya penghasilan netonya dihitung dengan menggunakan NPPN.
e. Terhadap Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar berdasarkan angka 3 huruf ? d?
di atas? dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 50% (lima puluh persen) dari
Pajak Penghasilan yang tidak atau kurang dibayar (sesuai pasal 3 ayat 1 dan ayat 2 Kep
536/PJ/2000).
4. Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep.01/PJ./1991 dan Kep.02/PJ.1991 dinyatakan tidak
berlaku lagi sejak tanggal 1 Januari 2001.
5. Angka Prosentase NPPN yang digunakan adalah angka yang tertera pada Lampiran Keputusan
Direktur Jenderal Pajak No. Kep.536/PJ./2000 ini.
6. Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku untuk tahun pajak 2001 dan
seterusnya.
Sebagai catatan, Norma Penghitungan Penghasilan Neto ini masih berlaku sampai saat tulisan ini
dibuat (April 2015).
Dengan keluarnya Kep.Dirjen Pajak No.536/PJ./2000 ini maka:
• Wajib Pajak yang diperbolehkan menggunakan NPPN hanya Wajib Pajak orang pribadi
yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, dengan ketentuan seperti di atas.
• Penggunaan angka NPPN sesuai Kep.No.536/2000 ini dipakai oleh Wajib Pajak saat
pengisian Surat Pemberitahuannya serta juga digunakan oleh Pemeriksa Pajak dalam
menghitung penghasilan kena pajak terhadap Wajib Pajak dan memilih menggunakan
pembukuan jika berdasarkan hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak tersebut tidak
menyelenggarakan pembukuan sebagaimana mestinya.
Penggunaan NPPN pada Undang-Undang KUP 2009 dan Undang-Undang PPh 2008
Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(selanjutnya disebut Undang-Undang KUP 2009) mewajibkanWajib Pajak orang pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan di Indonesia
menyelenggarakan pembukuan (pasal 28 ayat 1). Namun diberikan perkecualian bagi Wajib Pajak
orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas. Dikecualikan dari kewajiban
menyelenggarakan pembukuan tetapi wajib melakukan pencatatan. Konsekuensi bagi Wajib Pajak
yang melakukan pencatatan adalah dalam menghitung penghasilan netonya menggunakan NPPN
(pasal 28 ayat 2 UU KUP).
Norma Penghitungan adalah pedoman untuk menentukan besarnya penghasilan neto yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak dan disempurnakan terus-menerus (penjelasan pasal 14 ayat
1 Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut Undang-
Undang PPh 2008).
Penggunaan Norma Penghitungan tersebut pada dasarnya dilakukan dalam hal:
a. a.tidak terdapat dasar penghitungan yang lebih baik, yaitu pembukuan yang lengkap; atau
b. b.pembukuan atau catatan peredaran bruto Wajib Pajak ternyata diselenggarakan secara
tidak benar.
Norma Penghitungan ini diharapkan akan membantu Wajib Pajak yang belum mampu
menyelenggarakan pembukuan untuk menghitung penghasilan neto.
Menurut Undang-Undang PPh 2008 ini yang diperbolehkan untuk menghitung penghasilan neto
dengan menggunakan NPPN adalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah), dengan syarat memberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak
dalam jangka waktu tiga bulan pertama dari tahun pajak yang bersangkutan (sesuai pasal 14 ayat 2
Undang-Undang PPh tahun 2008).
Wajib Pajak Badan, dapatkah menggunakan NPPN?
Wajib Pajak badan diwajibkan menyelenggarakan pembukuan sebagaimana dimaksud pasal 28 ayat
1 Undang-Undang KUP 2009. Sejak Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. Kep.01/PJ./1991 dan
Kep.02/PJ.1991 (yang memperbolehkan Wajib Pajak Badan menggunakan NPPN) dinyatakan tidak
berlaku seiring dengan berlakunya Kep.536/PJ./2000, dan terhadap Wajib Pajak Badan tidak
diperbolehkan menggunakan NPPN, baik saat Wajib Pajak mengisi Surat Pemberitahuannya maupun
saat Pemeriksa Pajak menghitung penghasilan kena pajak secara jabatan.
Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 Wajib Pajak UMKM Yang Memiliki Peredaran Bruto
Tertentu, Dikenai Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final tarif 1%
Dalam rangka peningkatan peran serta Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dalam
perpajakan melalui peningkatan voluntary tax compliance serta perlunya penerapan perlakuan
perpajakan bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha
Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu (disingkat PP 46).
Peraturan perpajakan ini juga dilatarbelakangi kontribusi UMKM dalamperekonomian Indonesia sangat
besar (56,5%), namun kontribusi UMKM dalam penerimaan perpajakan sangat kecil (0,5%). Untuk itu
pemerintah melalui PP 46 mengeluarkan peraturan perpajakan bagi UMKM yang sifatnya mudah
dilaksanakan (compliance cost-nya rendah) serta tidak rumit (collection cost rendah). Salah satu yang
dilakukan melalui PP 46 ini adalah menyederhanakan penghitungan perpajakan melalui
penyedehanaan perkiraan penghasilan kena pajak.
Beberapa poin penting dalam PP 46 ini adalah:
Pasal 2
(1)Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu, dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final.
(2)Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
Wajib Pajak yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a.Wajib Pajak orang pribadi atau Wajib Pajak badan tidak termasuk bentuk usaha tetap; dan
b.Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan
pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun p
(3)Tidak termasuk Wajib Pajak orang pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah Wajib
Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan dan/atau jasa yang dalam
usahanya:
a.menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang, baik yang menetap
maupun tidak menetap; dan
b.menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan umum yang tidak
diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan.
(4)Tidak termasuk Wajib Pajak badan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)adalah:
a.Wajib Pajak badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b.Wajib Pajak badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara
komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah).
Pasal 3
(1)Besarnya tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah
1% (satu persen).
(2)Pengenaan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada peredaran
bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari tahun pajak terakhir sebelum tahun pajak yang
bersangkutan.
(3)Dalam hal peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan telah melebihi jumlah
Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam suatu tahun pajak, Wajib Pajak
tetap dikenai tarif pajak penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan akhir tahun pajak yang bersangkutan.
(4)Dalam hal peredaran bruto Wajib Pajak telah melebihi jumlah Rp4.800.000.000,00 (empat miliar
delapan ratus juta rupiah) pada suatu Tahun Pajak, atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak pada Tahun Pajak berikutnya dikenai tarif Pajak Penghasilan berdasarkan ketentuan
Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Pada Pasal 8 PP 46 ini, Wajib Pajak badan dengan syarat tertentu diperbolehkan untuk menghitung
Pajak Penghasilannya sebesar 1% dari Peredaran Brutonya dan bersifat final. Wajib Pajak badan
dibebaskan untuk menyelenggarakan pembukuan atau tidak, kecuali terhadap Wajib Pajak badan
(yang peredaran brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00) diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Pajak Penghasilan tarif 1% ini juga dapat digunakan oleh Pemeriksa Pajak jika dalam pemeriksaan
terhadap SPT Wajib Pajak yang peredaran brutonya belum melebihi Rp4.800.000.000,00 terdapat
tambahan koreksi terhadap peredaran bruto namun secara keseluruhan jumlah peredaran brutonya
masih belum melebihi Rp4.800.000.000,00.
Contoh:
Januari 2014 dan Peredaran Bruto Januari 2014 sebesar Rp.300.000.000,00.
Peredaran Bruto tahun 2014 disetahunkan: 12 X Rp300.000.000,00= Rp3.600.000.000,00. Karena
Peredaran Bruto setahun belum melebihi Rp4.800.000.000,00, maka pada tahun 2014 PT. ABC
diperkenankan menghitung Pajak Penghasilannya sesuai PP 46 dengan tarif 1%.
Pada akhir tahun 2014, jumlah Peredaran Bruto PT ABC realisasi sebesar Rp3.000.000.000,00.
Jika pada Juni 2015 dilakukan pemeriksaan pajak terhadap SPT PT.ABC tahun 2014 dan hasil
pemeriksaan ditemukan Peredaran Bruto PT ABC tahun 2014 sebesar Rp4.500.000.000,00 maka
karena Peredaran Bruto tahun 2014belum melebihi Rp4.800.000.000,00, maka
Pajak Penghasilan menurut pemeriksa adalah: 1% x Rp4.500.000.000,00= Rp45.000.000,00.
Dengan berlakunya Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep.536/PJ./2000 tahun 2001 yang
mencabut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep.01/PJ.7/1991 dan Kep.02/PJ.71991, maka
sejak tahun 2001 terhadap Wajib Pajak badan tidak diperbolehkan lagi menggunakan NPPN dalam
menghitung Penghasilan Kena Pajak baik oleh Wajib Pajak dalam menyusun SPT nya, maupun oleh
Pemeriksa Pajak dalam menghitung pajak penghasilan secara jabatan. Hal ini menyebabkan hilangnya
salah satu cara penghitungan pajak penghasilan bagi Pemeriksa Pajak yang dalam pemeriksaan
harus dihitung secara jabatan karena pemeriksa tidak memperoleh data, dokumen, buku, catatan dan
informasi yang cukup.
Tetapi dengan keluarnya PP 46 tahun 2013 cukup membantu bagi Pemeriksa dalam menghitung Pajak
Penghasilan terutang menurut hasil pemeriksaan, terutama bagi Wajib Pajak yang masuk dalam
ketentuan PP 46 ini (Peredaran Bruto Wajib Pajak belum melebihi Rp4.800.000.000,00).
Namun PP 46 ini masih belum menjangkau Wajib Pajak Badan yang jumlah Peredaran Brutonya
telah melebihi Rp4.800.000.000,00, yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Sehingga dengan adanya PP 46 belum memberikan solusi secara keseluruhan terhadap pemeriksaan
jika pemeriksa harus menetapkan pajak penghasilan terutang secara jabatan (tidak ada Norma
Penghitungan Penghasilan Neto).

Kesulitan-kesulitan yang dapat dialami Pemeriksa Pajak dalam menghitung PENGHASILAN


KENA PAJAK SECARA JABATAN bagi Wajib Pajak badan, jika tidak ada aturan yang
membolehkan penghitungan Penghasilan Kena Pajak menggunakan NPPN
Jika Pemeriksa Pajak sama sekali tidak memperoleh data lain Wajib Pajak selain data yang ada pada
SPT Wajib Pajak, maka Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang dikeluarkan Pemeriksa Pajak hanya
berdasarkan penghitungan pajak pada SPT Wajib Pajak saja. Hasil pemeriksaan kemungkinannya
akan mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKP LB) jika SPT Wajib Pajaknya
menyatakan Lebih Bayar atau SKP Nihil jika SPT Wajib Pajaknya menyatakan Rugi atau Kurang
Bayar.
Masih kurang lengkapnya basis data yang dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak, menyebabkan
Pemeriksa mengalami kesulitan untuk mencari data lain selain data yang diperoleh dari Wajib Pajak
dalam menghitung SPT yang harus ditetapkan secara jabatan didalam pemeriksaan.
Tidak ada keseragaman dalam pemeriksaan, terutama dalam menetapkan pajak secara jabatan. Hal
ini dapat menimbulkan perbedaan pendapat di internal maupun eksternal DJP. Terutama jika
perbedaan pendapat itu berasal dari pihak eksternal Direktorat Jenderal Pajak yang melakukan
pemeriksaan terhadap hasil pemeriksaan tersebut (misalnya: pihak Inspektorat Jenderal, Badan
Pemeriksa Keuangan, dan lain-lain). Hal ini dapat menurunkan semangat pemeriksa dalam
melaksanakan tugas, jika ternyata pendapat Pemeriksa tersebut dipersalahkan oleh pihak eksternal
tadi.
Aturan perpajakan saat ini lebih mengedepankan penggunaan sanksi administrasi dibandingkan
penerapan sanksi pidana (ultimum remedium), dan hal ini diketahui oleh Wajib Pajak sehingga Wajib
Pajak merasa di atas angin. Hal ini berdampak pada proses pemeriksaan pajak, terlihat dari
kecenderungan Wajib Pajak untuk tidak menyerahkan/menyembunyikan data-data, dokumen,
informasi yang dibutuhkan dalam pemeriksaan pajak (terutama Wajib Pajak golongan menengah
kebawah yang berada pada Kantor Pelayanan Pratama). Karena potensi kerugian negara untuk tiap
Wajib Pajak menengah kebawah mungkin tidak terlalu besar, sehingga sangat jarang terhadap Wajib
Pajak yang tergolong menengah kebawah dilakukan pemeriksaan Bukti Permulaan sehubungan
dengan adanya dugaan tindak pidana perpajakan.
Lamanya waktu yang digunakan untuk melakukan pemeriksaan (4 s.d 8 bulan), sehingga jika Wajib
Pajak yang setelah satu bulan sejak penyampaian Surat Pemberitahuan Pemeriksaan/atau Surat
Panggilan masih belum menyerahkan buku, catatan, dokumen yang dibutuhkan dalam pemeriksaan
dan dibuatkan Berita Acaranya, pemeriksa diharuskan mencari cara lain untuk menetapkan jumlah
pajak terutang secara jabatan. Waktu yang panjang ini dapat berdampak pada berkurangnya jumlah
penyelesaian Laporan Hasil. Dan kemungkinan juga dapat berdampak pada tidak maksimalnya
jumlah pajak yang terhutang pada Surat Ketetapan Pajak yang dikeluarkan oleh Pemeriksa.
Menurut penulis, dengan jumlah Wajib Pajak yang semakin banyak saat ini (diatas 25 juta Wajib Pajak),
sangat dibutuhkan aturan untuk menggunakan NPPN dalam pemeriksaan dan penetapan pajaknya
secara jabatan khususnya bagi Wajib Pajak badan. Penggunaan NPPN tersebut seharusnya
merupakan sebuah sanksi administrasi bagi Wajib Pajak badan yang membandel dalam rangka
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.
KESIMPULAN
1. Undang-Undang KUP 1983 dan Undang-Undang PPh 1983 memberi dasar bagi Wajib Pajak dan
Pemeriksa menggunakan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN) dalam menghitung Pajak
Penghasilan. Peraturan perpajakan ini akhirnya mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak:
a. Nomor Kep.01/PJ.07/1991 Tentang NPPN Dan Tata Cara Pembuatan Catatan Bagi Wajib
Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Netto Dengan Menggunakan NPPN, dan
b. Nomor Kep.02/PJ.07/1991 Tentang NPPN Bagi Wajib Pajak Yang Wajib Menyelenggarakan
Pembukuan Tetapi Tidak Menyelenggarakan Sebagaimana Mestinya. Aturan ini dapat
digunakan dalam pemeriksaan yang menghitung pajak penghasilan secara jabatan.
c. Aturan diatas berlaku pada Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak orang pribadi yang
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, serta dapat dipakai oleh pemeriksa dalam
penetapan pajak terhutang secara jabatan.
2. Memberlakukan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 536/PJ./2000 Tentang NPPN
Bagi Wajib Pajak Yang Dapat Menghitung Penghasilan Neto Dengan Menggunakan Norma
Penghitungan. Kep - 536/PJ./2000 ini:
a. menyatakan tidak berlakunya Kep.01/PJ.7/1991 dan Kep.02/PJ.7/1991, serta yang dapat
menggunakan NPPN adalah hanya Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dengan peredaran bruto sebesar Rp 600.000.000,00 atau lebih dalam satu
tahun. Serta dapat dipakai oleh pemeriksa dalam penetapan pajak terhutang secara jabatan.
b. Angka NPPN yang berlaku berada pada Lampiran Kep.536/PJ/2000 dan Kep.536/PJ/2000 ini
masih berlaku sampai saat ini.
c. Wajib Pajak Badan tidak diperbolehkan menggunakan NPPN dalam mengisi SPT dan juga
tidak dapat digunakan oleh pemeriksa dalam penetapan secara jabatan.
3. Undang-Undang KUP 2009 dan Undang-Undang PPh 2008 dan aturan turunannya:
a. Menyatakan yang diperbolehkan untuk menghitung penghasilan neto dengan menggunakan
NPPN hanyalah Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00.
b. Dalam hal pemeriksaan dilakukan terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas atau Wajib Pajak badan, dan Pemeriksa Pajak tidak dapat
melakukan pengujian dalam rangka menghitung besarnya penghasilan kena pajak,
Pemeriksa Pajak dapat menghitung penghasilan kena pajaksecara jabatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (sesuai pasal 31 ayat 2
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17/PMK.03/2013).
c. Dalam penetapan pajak secara jabatan terhadap Wajib Pajak badan tidak boleh
menggunakan NPPN.
4. Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 46 tahun 2013 :
a. Memungkinkan Wajib Pajak badan dan Wajib Pajak yang peredaran brutonya belum melebihi
Rp4.800.000.000,00 diperbolehkan untuk menghitung Pajak Penghasilannya sebesar 1% dari
Peredaran Brutonya dan bersifat final.
b. Ketentuan ini dapat diterapkan dalam pemeriksaan secara normal maupun dalam
pemeriksaan yang diharuskan menetapkan pajak secara jabatan terhadap Wajib Pajak badan
dan Wajib Pajak yang peredaran brutonya belum melebihi Rp4.800.000.000,00.
5. Saat ini belum ada NPPN yang dapat dipergunakan dalam pemeriksaan dengan penentuan pajak
terhutang secara jabatan bagi Wajib Pajak Badan dan Wajib Pajak yang peredaran brutonya
melebihi Rp4.800.000.000,00.
6. Dibutuhkannya aturan untuk menggunakan NPPN dalam pemeriksaan dengan
penetapan secara jabatan khususnya bagi Wajib Pajak Badan, demi efisiensi dan
efektifitas.

You might also like