You are on page 1of 13

SOSIOLOGI DAN POLITIK

“INTEGRASI POLITIK”

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 5 (KELAS F1)

I Gusti Ngurah Adhi Pratama (1907521084)

Steven Nathaniel Kurniawan (1907521107)

Nyoman Devi Novita Sri Jayati (1907521109)

Ni Kadek Sri Wahyuni (1907521111)

Dosen Pengampu:

Dr. Piers Andreas Noak, S.H., M.Si.

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTASEKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS UDAYANA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-
Nya makalah dengan judul “Integrasi Politik” dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Sosiologi dan Politik.
Dalam penyusunan makalah ini, Penulis mendapatkan banyak bantuan, masukan, bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyapaikan rasa terimakasi yang tulus
iklas kepada bapak Dr. Piers Andreas Noak, SH.,M.Si selaku dosen pengampu mata kuliah
Sosiologi dan Politik yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyusun
makalah ini. Selain itu, penulis memberikan rasa terimakasi kepada rekan – rekan yang telah
memberikan banyak bantuan, masukan, dan dukungan terkait penyusunan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut, karena kesempurnaan hanya milik Tuhan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat konstruktif. Akhir kata, penulis
berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Denpasar, 12 April 2022

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

1.2. Rumusan Masalah

1.3. Tujuan Penulisan


BAB II

PEMBAHASAN
MATERI INTEGRASI POLITIK

1. Integrasi Politik

Integrasi Politik menunjuk pada sebuah ‘proses kepada’ atau sebuah ‘produk akhir’
penyatuan politik di tingkat global atau regional diantara unit-unit nasional yang terpisah.
Menurut pandangan Nazaruddin Sjamsuddin (1989) tentang integrasi politik menekankan
pada aspek integrasi sebagai proses. Integrasi politik mengandung bobot politik
karenanya prosesnya bersifat politik pula. Ronald L. Watts: “integrasi politik adalah
penyatuan kelompok yang berbeda, masyarakat maupun wilayah, kedalaman suatu
organisasi politik yang bisa bekerja ataupun bertahan hidup”. “Proses integrasi politik di
Indonesia menurut A. Sartono Kartodirjo dapat dibagi dalam 2 jenis, yaitu:

a) Pertama, integrasi geopolitik yang dimulai sejak jaman prasejarah sampai awal abad
20;
b) Kedua, proses integrasi politik kaum elite sejak awal abad 20 sampai jaman Hindia
Belanda berakhir”.

Dalam proses integrasi geopolitik di Indonesia mulai menonjol pada awal abad 16 dan
dalam proses integrasi bangsa Indonesia tersebut banyak faktor yang berperan antara lain
pelayaran dan perdagangan antar pulau serta adanya bahasa Melayu sebagai bahasa
pergaulan. Para pedagang-pedagang Islam menjadi motor penggerak terjadinya proses
integrasi, hal ini karena dalam ajaran Islam tidak membedakan manusia baik berdasarkan
kasta, agama, suku/etnis atau golongan.

2. Jenis Integrasi Politik

Merujuk pada tulisan Ramlan Surbakti, integrasi politik dibagi menjadi lima jenis, yaitu: 

a) Integrasi Bangsa
Integrasi Bangsa merupakan proses penyatuan berbagai kelompok sosio
budaya kedalam suatu kesatuan wilayah kedalam suatu indentitas nasional. Integrasi
bangsa perlu dibangun dalam sebuah sistem politik jika dalam suatu negara terbentuk
atas dasar struktur masyarakat yang majemuk. Berbagai suku, ras, penganut agama,
pengguna bahasa, penganut adat, penghayat nilai, dan ideologi yang berbeda-beda
tersebut perlu disatukan dalam sebuah sistem politik yang integratif. Berbagai elemen
atau komponen bangsa yang berbeda-beda tersebut disatukan dalam satu kesatuan
yang utuh, sehingga perbedaan nilai-nilai kultural masing-masing komponen
pembentuk bangsa dalam bentuk hubungan yang saling berhubungan dan dalam
keadaan yang saling tergantung antara satu sama lain. Melalui proses dan upaya
penggabungan ini, maka paksi-paksi kecil dalam bentuk elemen bangsa akan
membentuk sebuah tatanan yang lebih besar yang disebut sebagai bangsa.
Cliford Geertz mengemukakan bahwa pada dasarnya ada lima pola nyata
keragaman primordial dalam masyarakat majemuk, yaitu : (1) pola kelompok
dominan dengan minoritas; (2) pola kelompok sentral dengan beberapa kelompok
menengah yang agak menentang; (3) pola tidak ada kelompok yang dominan; (4) pola
kelompok budaya yang seimbang; (5) pola berdasarkan pembagian etnik yang terdiri
atas banyak kelompok kecil. Berdasarkan lima pola tersebut, maka Ramlan Surbakti
merujuk pendapat Weiner mengajukan garis besar kebijakan yang bisa ditempuh oleh
pemerintah dalam mengintegrasikan bangsa. Kebijakan tersebut diantaranya :
1. Penghapusan sifat kultural utama dari kelompok-kelompok minoritas dan
mengembangkan semacam “kebudayaan nasional”, biasanya kebudayaan
kelompok budaya yang dominan. Kebijakan seperti ini biasanya disebut asimilasi.
2. Pembentukan kesetiaan nasional tanpa menghapuskan kebudayaan kelompok
budaya yang kecil-kecil. Kebijakan seperti ini disebut kebijakan unity of
diversity atau kesatuan dalam perbedaan, yang sevara politis ditandai dengan
penjumlahan etnik.

Masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang jika mengikuti


pendapat yang dikemukakan oleh Geertz tergolong dalam kelompok sentral dengan
beberapa kelompok menengah yang agak menentang, yaitu Jawa dan Luar Jawa.
Akan tetapi, pada kenyataannya justru bahasa nasional yang diambil tidak dari bahasa
Jawa, justru diambil dari bahasa budaya kelompok minorita, yaitu bahasa Melayu,
walaupun pada akhirnya bahasa tersebut dalam perkembangannya diperkaya dengan
kosa-kata dari bahasa Jawa, bahasa dari daerah lain, dan bahasa asing, sedangkan
dalam menangani masalah integrasi bangsa. Perbedaan antara unsur-unsur budaya
tersebut terangkum dalam prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Akan tetapi, asumsi ini juga
tidak benar seluruhnya, sebab dalam kenyataannya kebudayaan nasional Indonesia
lebih banyak didominasi kebudayaan Jawa. Hal ini dapat dilihat dari simbol-simbol,
lambang negara, dan kebiasaan politik di tingkat nasional yang acap kali
menggunakan simbol-simbol Jawa.

b) Integrasi Wilayah
Integrasi Wilayah adalah pembentukan kewenangan nasional pusat terhadap
wilayah atau daerah politik yang lebih kecil yang mungkin berdasarkan kelompok
sosial budaya tertentu. Yang dikemukakan oleh Organsky bahwa salah satu problema
yang dihadapi oleh pemerintah dalam negara-negara baru terbentuk adalah
pembentukan pemerintah pusat yang menguasai seluruh wilayah dan penduduk yang
ada dalam batas wilayah tersebut.
Pengertian Negara (state) ditujukan pada adanya pusat kekuasaan yang
menguasai wilayah-wilayah yang menjadi batas wilayahnya, pengertian
Bangsa (nation) lebih menunjukkan pada adanya kesamaan identitas pada penduduk
atau warga yang mendiami wilayah negara tersebut dan adanya kesetiaan kepada
negara. Pengertian ini mendasari asumsi bahwa integrasi wilayah suatu negara erat
kaitannya dengan pembinaan negara (state building) dan integrasi bangsa
berhubungan dengan pembinaan bangsa (nation building).

c) Integrasi Nilai
Integrasi nilai dipahami sebagai persetujuan bersama mengenai tujuan dan
prinsip dasar politik, prosedur-prosedur pemecahan masalah bersama, dan
penyelesaian konflik yang timbul dari dalam masyarakat itu sendiri. Integrasi nilai
akan menciptakan suatu sistem nilai tertentu yang akan menjadi tujuan bersama
masyarakat dan akan menjadi prosedur penyelesaian konflik yang timbul diantara
warga masyarakat atau warga negara. Maka kedua dasar ideologi dan konstitusional
tersebut dijadikan pijakan dalam setiap menentukan arah tujuan negara atau dasar
negara, sehingga melalui rumusan tersebut negara diselenggarakan. Sistem nilai yang
dirumuskan didalam Pancasila dan UUD 1945 tersebut menjadi tujuan berbangsa dan
bernegara dan menjadi pemersatu bangsa.

d) Integrasi Elite
Integrasi elite dengan khalayak adalah upaya untuk menghubungkan antara
kaum elite yang memerintah dengan khalayak atau rakyat yang diperintah. Kekuasaan
dipahami sebagai hubungan sosial dimasa seseorang atau sekelompok memiliki
kemampuan memengaruhi pihak lain terlepas dalam bentuk apa pengaruh itu, tetapi
pihak yang dipengaruhi merupakan kelompok yang secara riil menjadi pihak penurut
atas kehendak pihak yang memengaruhi.
Kewenangan merupakan bentuk pengaruh dari penguasa kepada pihak yang
dikuasai, tetapi bentuk pengaruh tersebut memiliki dasar persetujuan bersama. Antara
kekuasaan dan kewenangan adalah sama-sama dalam bentuk adanya pihak yang
memerintah dan yang diperintah, akan tetapi perbedaannya terletak pada sifat
memerintah dari pihak penguasa tersebut diakui kepemerintahannya oleh pihak yang
diperintah atau tidak. Didalam struktur pemerintahan negara yang merdeka dianggap
sebagai sistem pemerintahan yang lebih absah karena dasar kepemerintahan yang ada
adalah adanya kesepakatan nilai-nilai antara pihak yang memerintah dan pihak yang
diperintah.

e) Perilaku yang Integratif


Perilaku Integratif adalah kesediaan warga masyarakat untuk bekerjasama
dalam suatu organisasi (pemerintah) dan berperilaku sesuai dengan cara yang dapat
membantu pencapaian tujuan organisasi tersebut. Perilaku integratif dipahami sebagai
kesesuaian antara perilaku pihak yang memerintah dengan yang diperintah dalam
mencapai tujuan berbangsa dan bernegara. Dalam menghadapi berbagai tantangan,
suatu bangsa harus mengintegrasikan sikap dan perilaku antara pemerintah selaku
pembuat kebijakan dan rakyat yang akan menerima kebijakan tersebut. Perlu sekali
dalam program dan pelaksanaan pembangunan, perlu diintegrasikan antara sikap dan
perilaku rakyat dengan sikap dan perilaku para pemimpinnya, sehingga interaksi yang
terjadi didalam sistem politik tersebut berada dalam posisi konsensus.

3. Integrasi Politik di Indonesia

James J. Coleman dan Carl G. Roseberg melihat integrasi politik sebagai bagian
dari integrasi nasional yang memiliki dua dimensi yakni vertikal (elit-massa) dan
horizontal (atau teritorial). Menurut mereka, integrasi politik bersifat vertikal, yang
bertujuan untuk menjembatani perbedaan yang mungkin ada antara elit dan massa.
Adapun integrasi horizontal bertujuan untuk mengurangi ketegangan akibat rasa
keaderahan sehingga tercipta masyarakat politik yang homogen. Sementara sebagian
dari ilmuwan lain melihat integrasi nasional memiliki arti yang sama dengan integrasi
teritorial seperti yang dikemukakan Coleman dan Rosberg. Akan tetapi Claude Ake
menolak istilah integrasi nasional dan lebih memilih integrasi politik (Nazaruddin,
1989).

Senada dengan Ake, Nazaruddin (1989) juga lebih cenderung terhadap istilah
integrasi politik, sebab menurutnya integrasi politik tidak hanya sebatas hubungan
mempersatukan antara elit dengan massa saja. Secara definisi, menurut Nazaruddin
(1989) integrasi politik merupakan suatu proses integrasi yang mengandung bobot
politik dan karenanya prosesnya bersifat politik. Integrasi politik bisa mencakup
bidang vertikal maupun horizontal. Sehingga integrasi politik melibatkan dua hal,
pertama, membuat rakyat tunduk dan patuh pada tuntutan negara. Dalam hal ini
rakyat mengakui dan mematuhi hak-hak yang dimiliki oleh negara. Kedua, bagaimana
meningkatkan konsensus normatif yang mengatur tingkah laku politik anggota
masyarakat (Nazaruddin, 1989).

Merujuk pada Myron Weiner (1971), terdapat dua strategi yang dapat ditempuh
untuk mengatasi kedua masalah tersebut, yakni asimilasi dan persatuan dalam
keanekaragaman (di Indonesia dikenal dengan Bhinneka Tunggal Ika). Asimilasi
adalah dijadikannya kebudayaan suku yang dominan di sebuah negara sebagai
kebudayaan nasional. Sedangkan bhineka tunggal ika menyiratkan bahwa
pembentukan kesetiaan nasional tidak menghilangkan kebudayan kelompok
minoritas. Selain itu, kematangan budaya politik sebuah bangsa merupakan seuatu
prakondisi penting bagi terbentuknya integritas politik sebuah bangsa. Jika merujuk
pada Almond dan Verba (1963), kematangan suatu budaya politik sangat
berkesesuaian dengan struktur politik dan kebudayaan (Nazaruddin, 1989).

Dari sejarah pembentukan Indonesia bisa dibilang yang mempersatukan sebuah


daerah dengan daerah yang lain di Indonesia adalah adanya persamaan dijajah oleh
Belanda. Sehingga sebagai sebuah negara yang multi etnis, di awal-awal tahun
pertamanya, secara budaya politik Indonesia memang belum matang. Rakyat belum
mampu menerima struktur politik yang baru terbentuk, sementara mereka masih
berada di bawah pengaruh nilai-nilai tradisional mereka (Nazaruddin, 1989).

Dengan menggunakan konsep Coleman dan Rosberg mengenai integrasi vertikal


dan horizontal, Liddle mengidentifikasikan dua jenis halangan integrasi yang dihadapi
oleh negeri ini. Pertama, pembelahan horizontal akibat perbedaan suku, ras, agama
dan geografi. Secara kesukuan misalnya, Indonesia terdiri dari ratusan suku bangsa.
Dalam hal agama, penduduk Indonesia juga memiliki keragaman agama. Kedua,
hambatan yang bersifat vertikal yakni perbedaan antara elit dan massa. Kaum elit di
Indonesia memiliki latar belakang pendidikan yang lebih tinggi dari kaum massa
dengan gaya hidup kebarat-baratan.Perbedaan ini akan mengakibat terciptanya jurang
komunikasi, baik dalam hal perbedaan kepentingan ataupun perbedaan pola berfikir
(Nazaruddin, 1989).

Meski potensi perpecahan secara horizontal dan vertika telah ada sejak lama di
Indonesia, namun adanya perasaan senasib dan ingin memiliki masa depan yang sama
telah menumbuhkan nasionalisme di kalangan rakyat Indonesia. Sehingga kemudian
dengan nasionalisme itulah rakyat Indonesia mampu bersatu di bawah naungan
bendera merah putih. Akan tetapi setelah Indonesia terbentuk, kembali muncul
semangat kedaerahan. Sehingga bisa dikatakan nasionalisme dan patriotisme hanya
mampu mengusir penjajah namun tidak mampu untuk mengintegrasikan Indonesia
(Nazaruddin, 1989).

Ada berbagai perspektif ilmuwan yang mencoba menganalisis keadaan yang


mengancam integrasi politik di Indonesia yang diuraikan oleh Nazaruddin (1989)
dalam bukunya. Jika merujuk pada Nawawi, ia melihat bahwa kesukuan dan stagnasi
dan diperparah oleh dampak penjajahan merupakan akar dari regionalism yang terjadi
di Ambon. Sedangkan Herbert Feith melihat bahwa kurangnya integrasi ini kaena dua
budaya politik yakni aristokrasi jawa dan kewiraswastaan Islam, yakni adanya
benturan antara ideologi-ideologi Pancasila dan Islam. Sedangkan Hans O. Schmit
melihat sumber konflik dikarenakan perbedaan kepentingan ekonomi Jawa dan luar
Jawa (Nazaruddin, 1989).

Nazaruddin (1989) mengemukakan tesis-nya sendiri untuk menguraikan


permasalahan integrasi politik di Indonesia. Menurutnya ada tiga hal yang perlu
dilihat untuk memahami masalah integrasi di Indonesia. Pertama, masalah integrasi
politik timbul sebagai konsekuensi dari dimobilisasinya sebagian besar rakyat dan
penyebaran senjata di dalam revolusi nasional. Sehingga kemudian meningkatnya
komunikasi sosial antara kelompok-kelompok etnis tidak mampu meningkatkan
kesadaran nasional. Bahkan memperkuat kesukuan dan kedaerahan.
Adapun merujuk pada Indonesia di Orde Baru, untuk mengintegrasikan wilayah
Indonesia, Soeharo mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sentralistis bahkan
represif. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan lebih cenderung untuk melakukan
homogenisasi ketimbang mengakomodasi perbedaan. Salah satu bukti konkritnya
adalah ketika diharuskannya pemakaian baju bagi suku Asmat di Papua, yang ternyata
justru menimbulkan masalah. Meski demikian, kebijakan-kebijakan yang represif
tersebut ternyata tidak mampu meredam konflik integrasi di Indonesia. Di sejumlah
gerakan daerah masih melakukan perlawanan terhadap pemerintah pusat seperti GAM
di Aceh ataupun OPM di di Papua (Nazaruddin, 1989).

Baru di masa reformasi, pemerintah pusat mulai mengakomodasi keinginan


daerah dengan diberlakukannya kebijakan desentralisasi melalui otonomi daerah. Dan
terbukti bahwa integrasi politik justru menguat ketika pemerintah daerah mampu
mengakomodasi keinginan di daerah. Namun tidak dipungkiri masih banyak
kebijakan-kebijakan yang berbau homogenisasi dan tidak mengakomodasi
kepentingan daerah. Salah satu contoh konkrit adalah kebijakan kurikulum pendidikan
2013 yang menghilangkan pelajaran muatan lokal yang bermanfaat untuk
melestarikan pengetahuan mengenai kedaerahan. Tentu hal ini merupakan langkah
mundur dalam menuju integrasi politik Indonesia (Nazaruddin, 1989).
BAB III

PENUTUP
3.1. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

You might also like