You are on page 1of 5

Syauqi Khaikal Zulkarnain

Paradigma Profetik Sebagai Katalisator Gerakan IMM


PK IMM Fakultas Sastra, Budaya, dan Komunikasi

VISI:

“Paradigma Profetik Sebagai Katalisator Gerakan IMM”.

MISI:

1. Membentuk Kesadaran Profetik.


2. Transformasi Kaderisasi.
3. Tradisi Ilmu sebagai Ruh Gerakan IMM.
4. Membangun Basis Gerakan IMM.
5. Memenangkan Musyawarah Cabang XVII.

Paradigma Profetik disarikan dari Ilmu Sosial Profetik yang digaungkan oleh Kuntowijoyo.
Dalam gagasannya, Kunto menyebutkan secara tersirat bahwa Islam dapat menjadi kekuatan
yang terus memotivasi dan mentransformasikan masyarakat dengan berbagai aspeknya ke
dalam skala yang bersifat praktis maupun teoritis. Kuntowijoyo menyebutkan bahwa salah
satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah
masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi
dan filsafat sosial bertujuan pokok untuk mengubah masyarakat dari kondisinya sekarang
menuju keadaan yang lebih ideal.

Dasar Ilmu Sosial Profetik Kuntowijoyo adalah Q.S. Ali Imran ayat 110:

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik. (Q.S. Ali Imran:110)

Dari ayat tersebut di atas Kuntowijoyo kemudian merumuskan tiga pilar Ilmu Sosial Profetik,
yaitu “humanisasi, liberalisasi, dan transendensi. Rumusan ini merupakan suatu cita-cita
profetik yang diderivasikan dari misi historis Islam yang terkandung dalam surah Ali Ilmran :
110” (Kuntowijoyo, 2001, h. 106).

Menurut Kuntowijoyo ada empat hal yang tersirat dalam surah Ali Imran: 110, yaitu: Pertama,
konsep tentang umat terbaik (the chosen people). Umat Islam akan menjadi umat terbaik
(khaira al-ummah) dengan syarat mengerjakan amar ma’ruf, nahi al-mungkar, dan tu’minuna
bi allah. Konsep umat terbaik dalam Islam berupa sebuah tantangan untuk berkerja lebih
keras, kearah aktivisme sejarah. Dengan kata lain, umat Islam tidak secara otomatis menjadi
umat terbaik. Kedua, aktivisme sejarah. Islam adalah agama ‘amal, sehingga berkerja di
tengah-tengah manusia memiliki arti bahwa secara ideal bagi Islam ialah keterlibatan umat
dalam sejarah. Ketiga, ayat tersebut menyebut tentang pentingnya kesadaran. Dalam Islam
nilai-nilai ilahiah (al-ma’ruf, al-munkar, iman), menjadi tumpuan aktivisme. Empat, etika
Profetik. Ayat tersebut juga berlaku secara umum. Dengan kata lain, ayat tersebut berlaku
bagi kalangan siapapun, baik individu (orang awam, atau ahli), lembaga (akademi, ormas,
orsospol), maupun kolektivitas (jama’ah, umat, kelompok masyarakat). Ilmu sebagai
pelembagaan dari keagamaan, penelitian dan pengetahuan, diharuskan melaksanakan ayat
tersebut, dan memberikan perintah untuk amar ma’ruf (menyuruh kebaikan), nahi mungkar
(mencegah kejelekan), dan tu’minuna bi allah (beriman kepada Allah) (Kuntowijoyo 2001, h.
357-358).

Kemudian daripada itu jika kita tarik kembali pada Q.S. Ali Imran ayat 104, akan ada
segolongan umat yang menyeru pada kebajikan dan mencegah pada kemungkaran. Kiai
Dahlan menerjemahkan ungkapan “segolongan umat” pada ayat tersebut dengan pendirian
sebuah organisasi modern yang kini kita kenal sebagai Persyarikatan Muhammadiyah. Maka
cukup teranglah persoalan tersebut di atas, yakni Paradigma Profetik sebagai landasan dan
katalisator segolongan umat yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah.
Terlebih lagi jika pembahasan kita tarik lebih dalam lagi pada Trikoda atau Tri Kompetensi
Dasar IMM; religiusitas, intelektualitas, dan humanitas. Kunto membahasakan liberasi,
humanisasi, dan transendensi dalam konsep Ilmu Sosial Profetik. Begitulah mestinya kader
IMM mengaktualisasikan perannya sebagai kader profetik yang mengemban misi kenabian
guna menjawab persoalan yang ada.

Liberasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah ditekankan pada proses pengilmuan yang


senantiasa dilakukan untuk dapat mengerti sebentuk persoalan yang akan dihadapi oleh
organisasinya. Barangkali jika kita hendak bertamasya ke khazanah sejarah Muhammadiyah
mula-mula, jelas sudah proses dakwah dan gerakan Muhammadiyah senantiasa didasarkan
pada paradigma berpikir maju, hal ini yang sering dilewatkan ketika membahas Persyarikatan.
Bagaimana tidak, kita seringkali termakan narasi demikian hebatnya Kiai Dahlan
memberanikan diri untuk meluruskan kiblat masjid di sepanjang Kauman dan sekitarnya.
Namun yang luput untuk disorot ialah, proses Kiai Dahlan dalam melakukan kerja-kerja dan
syiar Islam yang selain didasari atas keimanan kepada Allah dan kecintaan kepada agama,
juga didasarkan pada paradigma berpikir maju, Islam Berkemajuan, dan proses pengilmuan
yang panjang.

IMM sejak awal dimaksudkan untuk mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang
berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Gamblang disebut kata
akademisi Islam yang kemudian menjadi keniscayaan bagi setiap anggotanya untuk
senantiasa bergerak di Ikatan dan atas nama Ikatan dengan mengedepankan tradisi ilmu
untuk mewujudkan khaira al-ummah. Kemudian setelah hal demikian di atas, Kunto
membahasakan dalam Ilmu Sosial Profetik, menjadi keniscayaan bahwa setelah proses liberasi
mestilah diarahkan pada proses humanisasi. Tidak boleh tidak. Wajib. Senada dengan apa
yang disampaikan oleh Kuntowijoyo, Djazman Al-Kindi membahasakan: “Meskipun sekecil biji
zarah ilmu yang kita miliki, agama memaksa kita untuk senantiasa
mempertanggungjawabkannya”.

IMM sebagai ornamen gerakan mahasiswa mestilah sekali lagi mematenkan perannya dalam
kerja-kerja sosial. Kerja-kerja sosial tersebut senantiasa didasarkan pada proses analisis
ilmiah, kritis, dan berdasarkan pada realitas sosial yang terjadi di tengah-tengah
masyarakatnya. Persoalan tersebut di atas akan demikian purna jika kita sebagai kader IMM
memiliki paradigma profetik, yang mana paradigma profetik ini sentiasa berpegang teguh
pada prinsip transendensi, atau religiusitas jika dibahasakan oleh kader IMM. Semoga kitalah
orang-orang beruntung itu.

Seorang anggota IMM seharusnya berjuang tidak sekadar sebagai mahasiswa, tetapi
sebagai manusia yang dianugerahi akal budi, dan secara sadar memegang teguh nilai-nilai
yang bersumber pada firman-firman Allah serumit apapun masalahnya. (Djazman Al-Kindi)

Paradigma
Profetik

Kaderisasi

Liberasi Humanisasi Transendensi

Membentuk Kesadaran Profetik

Manusia dalam pandangan IMM adalah segolongan umat yang setiap pikiran, perkataan, dan
perbuatannya didasarkan pada paradigma profetik. Memiliki kesadaran kenabian,
bertransformasi sesuai kompetensi yang dimilikinya. Kader Profetik senantiasa mengaktualkan
perannya, memastikan bahwa sejatinya manusia senantiasa berupaya mewujudkan
eksistensinya sebagai insan kamil. Sekumpulan manusia heterogen yang memiliki paradigma
profetik ini akan semakin purna jika dikembalikan pada Q.S. Ali Imran ayat 104. Maka menjadi
keniscayaan bagi setiap kader IMM untuk selalu menegaskan kesamaan maksud dan tujuan
dalam bingkai kolektivisme gerakan.

Transformasi Kaderisasi

IMM sebagai organisasi kaderisasi adalah mutlak, tak dapat lagi ditawar. Setiap anggota IMM
bukan saja berperan sebagai kader umat dan kader bangsa, lebih dari itu juga sebagai kader
Persyarikatan Muhammadiyah yang telah diamanahi oleh Kiai Dahlan untuk senantiasa
berpegang teguh pada khittah dan tidak menduakan Muhammadiyah. Kader IMM harus
senantiasa mengorbankan pikiran, tenaga, bahkan harta bendanya untuk kemajuan IMM dan
Muhammadiyah. Maka berdasarkan atas kerja-kerja yang demikian berat tersebut perlu
adanya transformasi kaderisasi IMM yang orientasinya dimaksudkan untuk menguatkan
kuantitas sekaligus kualitas kader. Strategi penjaringan kader haruslah dibahas sebelum
akhirnya kita mengarah pada transformasi kaderisasi, maka penting adanya penekanan bahwa
sistem penguatan kaderisasi di IMM Djazman Al-Kindi mestilah didasarkan pada prinsip
berkemajuan dan menggembirakan, serta menegaskan paradigma profetik sebagai pokok
pikiran dan pedoman yang wajib dipegang teguh oleh setiap kader yang berproses dan
bergerak di IMM.

Tradisi Ilmu Sebagai Ruh Gerakan

IMM wajib menggiatkan gerakan ilmu yang dimaksudkan untuk mewujudkan khoiru ummah.
Gerakan khoiru ummah ditandai dengan masyarakat ilmu yang merupakan cerminan dari
kader yang berparadigma profetik. IMM mempunyai tujuan membentuk akademisi Islam yang
berarti posisinya adalah sebagai seorang terpelajar di kampus namun kegiatan keilmuan yang
dihasilkan dapat diperoleh manfaatnya bagi sesama. Sulit rasanya jika akademisi yang
berumah di kampus tidak mengerti persoalan di sekitarnya. Terlebih akademisi tersebut tidak
punya penghayatan keagamaan yang komprehensif

Kita akan mencoba mengklarifikasi penyematan kata cendekiawan. Dalam jurnal yang ditulis
Imam Moedjiono (Cendekiawan dan Kebebasan Akademik), dia melontarkan beberapa
pertanyaan yang berusaha diarahkan untuk memberi batasan pada istilah cendekiawan.
Apakah Gus Dur, Muhammad Sobari, Cak Nun adalah seorang cendekiawan dan intelektual
walaupun tidak punya selembar ijazah? Apakah Kosim Nurseha dan Syukron Makmun adalah
cendekiawan dan intelektual meskipun tidak mempunyai ijazah namun selalu dirindukan oleh
jutaan umat sebab kemampuan komunikasi keagamaan yang mumpuni? Apakah Romo
Mangun layak disebut sebagai cendekiawan dan intelektual walaupun berasal dari latar
belakang pendidikan arsitektur namun banyak berbicara di bidang sosial dan kebudayaan?

Apakah para guru besar dengan sederet gelar beserta ijazah dan perhargaan layak disebut
sebagai cendekiawan dan intelektual walapun telah kehilangan gairah meneliti dan menulis,
bahkan sudah tidak peka dengan keadaan masyarakat sekitar? Inilah pertanyaan yang cukup
menggambarkan batasan-batasan seperti apa yang dapat kita taruh pada penyematan istilah
cendekiawan dan Intelektual. Perlu diketahui, mencari definisi tepat dalam ilmu sosial
sehingga mencakup kesepakatan umum para ahli bukanlah hal yang sepele. Termasuk dalam
menentukan definisi yang pas pada kata cendekiawan dan intelektual. Cendekiawan diartikan
sebagai orang-orang yang mempunyai kemampuan nalar yang baik, tertarik pada hal-hal
rohani seperti seni, ide-ide seni, serta memiliki kemampuan berpikir bebas.

Bisa kita tarik kesimpulan, dalam penelesuran singkat di atas bahwa cendekiawan berpribadi
yang dimaksud dalam Mars IMM juga bermakna intelektual berpribadi. Jadi kedua istilah ini
bukan hal baru dalam khazanah pemikiran IMM. Sebelum melangkah lebih jauh, mengutip
sedikit pernyataan Mohammad Hatta mengenai peran cendekiawan dan intelektual: “Memberi
petunjuk dan memberi pimpinan kepada perkembangan hidup kemasyarakatan dan bukannya
menyererahkan diri pada golongan yang berkuasa yang memperjuangkan kepentingan
mereka masing-masing”. Saya kira dengan pernyataan tegas dari Hatta ini dapat kita ambil
hikmah bahwa IMM diharapkan mampu menjadi seperti apa yang didawuhkan oleh Hatta.
Maka kata “berpribadi” memiliki makna berprinsip atau autentik sehingga tidak mudah
terguncang oleh situasi maupun godaan yang mengalihkan dia dari tujuan mulia cendekiawan
dan intelektual, yakni kebenaran.

Membangun Basis Gerakan IMM

Membahas IMM tak akan pernah lengkap jika kita tak mengulik IMM dalam perannya sebagai
organisasi pergerakan mahasiswa Islam. Jika Muhammadiyah hadir dalam ruang lingkup
keumatan dan kebangsaan maka IMM mesti hadir dalam ruang akademisi, kemahasiswaan,
dan persoalan yang terjadi di akar rumput. Dalam ruang akademisi, IMM menegaskan dirinya
sebagai pemilik basis gerakan ilmu dengan pengarusutamaan masyarakat ilmu, gerakan
khoiru ummah, seperti yang telah cukup panjang dijabarkan dalam sub-bab Tradisi Ilmu
Sebagai Ruh Gerakan.

Sebagai penegas identitas mahasiswa, IMM harus eksis dalam khazanah gerakan sosial,
berpadu dengan organisasi yang sama-sama berjuang atas nama keadilan dan kebenaran,
memperkuat konsolidasi, dan semakin menegaskan keberpihakannya terhadap kaum-kaum
mustadh’afin, kaum-kaum yang lemah dan dilemahkan. Bahwa gerakan IMM senantiasa
diabadikan untuk kepentingan rakyat. Kuntowijoyo menyebutkan, “Sebagai hadiah, malaikat
menanyakan, apakah aku ingin berjalan di atas mega dan aku menolak karena kakiku masih
di bumi sampai kejahatan terakhir dimusnahkan, sampai dhuafa dan mustadh’afin diangkat
Tuhan dari penderitaan”.

Kemudian daripada itu, yang menjadi pembeda gerakan IMM dengan gerakan lain, yakni posisi
gerakan dakwah. Gerakan dakwah IMM akan disebut sebagai Gerakan Kembali ke Masjid.
Gerakan ini timbul dari keresahan dalam menyaksikan kecenderungan kader IMM yang
seringkali mengesampingkan masjid dan fungsinya, masjid dimaknai sebatas tempat ritus-
ritus ibadah digaungkan, padahal jauh dari itu, sejarah mencatat bahwa masjid merupakan
bagian terpenting dari gerakan sosial yang pernah dicatat oleh sebagian besar umat Islam
dunia. Begitulah IMM membangun basis gerakannya, dari masjid. Menorehkan tiga gerakan
arus utama, yakni; gerakan ilmu, gerakan mahasiswa, dan gerakan dakwah.

Penutup

Demikianlah beberapa pokok pikiran yang muncul sebab persoalan-persoalan umum yang
timbul-tenggelam dalam dinamika organisasi, diantaranya; kaderisasi, pengilmuan, dan
progresifitas gerakan. Kemudian paradigma profetik hadir untuk menjawab persoalan-
persoalan yang disebutkan di atas, menegaskan bahwa gagasan ini dibentuk untuk menjawab
tantangan sebagaimana fungsinya sebagai katalisator gerakan. Di akhir, izinkan aku
menyerahkan segenap pokok pikiran ini sebagai bentuk pengabdian diri kepada Ikatan dan
Persyarikatan. Abadi Perjuangan Kami!

Muhammadiyah itu organisasi besar yang berdiri tegak di atas sistem, dengan amal usaha
dan jaringan yang luas. Kekuatan Muhammadiyah berada pada sistem, bukan hasrat dan
kehebatan individual. (Ayahanda Haedar Nashir)

You might also like