Professional Documents
Culture Documents
Tugas Mid Korporasi - Ainun
Tugas Mid Korporasi - Ainun
Namun, dalam peraturan ini masih terdapat beberapa hal yang perlu dikaji dan
terdapat kekurangan yang menjadi dasar kelemahan dalam PerMA No. 13 tahun
2016 ini sehingga kemudian menyebabkan korporasi yang melakukan tindak
pidana dapat lolos dari jerat hukum karena adanya celah hukum yang masih
belum mampu dijangkau oleh peraturan perundang-undangan yang ada dan masih
belum cukup untuk menjawab permasalahan fundamental mengenai sulitnya
pertanggungjawaban pidana korporasi yang melakukan tindak pidana.
Pasal 1 angka 2 PerMa No.13 tahun 2016 juga menyatakan bahwa “korporasi
Induk (parent company) adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki dua
atau lebih anak perusahaan yang disebut perusahaan subsidiari yang juga memiliki
status badan hukum tersendiri.” Dengan demikian, terdapat suatu syarat bagi
korporasi agar dapat diketegorikan sebagai korporasi induk, yaitu adanya dua atau
lebih anak perusahaan yang memiliki status badan hukum sendiri. Dalam kondisi
demikian, maka korporasi yang hanya memiliki satu anak perusahaan tidak dapat
dianggap sebagai Korporasi Induk menurut PerMa No. 13 tahun 2016 tersebut.
Dengan demikian, pasal 4 PerMA No.13 tahun 2016 tersebut sama sekali tidak
bertentangan dengan doktrin ajaran asas ultra vires. Alasan yang mendasarinya
bahwa asas ultra vires membatasi pertanggungjawaban korporasi sampai sejauh
ruang lingkup tujuan korporasi. Dengan demikian, jika korporasi mendapatkan
keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut maka tindak pidana tersebut
dilakukan dalam ruang lingkup tujuan korporasi. Begitu juga dengan alasan
korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana tersebut dan/atau tidak melakukan
langkah-langkah pencegahan, maka korporasi juga dianggap sebagai pelaku
tindak pidana dan dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana korporasi.
Berdasarkan ketentuan pasal 8 PerMA No. 13 tahun 2016 tersebut, hal ini
kemudian menimbulkan adanya celah hukum bagi pengurus korporasi yang ingin
lepas dari pertanggungjawaban pidana dapat melakukan perbuatan hukum berupa
pembubaran korporasi. Hal tersebut dapat terjadi karena PerMA No. 13 tahun
2016 ini lebih mengutamakan pengembalian aset milik Korporasi dari hasil tindak
pidana atau aset yang digunakan untuk melakukan tindak pidana. Ketentuan pasal
8 PerMA No. 13 tahun 2016 tersebut dapat digunakan oleh oknum-oknum yang
hendak melakukan suatu tindak pidana. Mereka dapat mendirikan korporasi untuk
melakukan kejahatan lalu membubarkannya agar mereka tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban pidana.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 ini hanya mengatur hal-hal
yang bersifat formal-prosedural, belum mengatur hal-hal yang subtansial. Seperti
menarik pertanggungjawaban pidana korporasi, kapan suatu perbuatan dapat
dibebankan kepada korporasi, dan kapan suatu perbuatan tidak dapat dibebankan
kepada korporasi.
PerMa Nomor 13 Tahun 2016 juga belum menyentuh korporasi dalam bentuk
non badan hukum. Dalam PerMA Nomor 13 Tahun 2016 tidak menjelaskan apa-
apa saja korporasi yang merupakan badan hukum dan apa-apa saja korporasi yang
merupakan bukan badan hukum serta bagaimana pengaturan antara yang satu
dengan yang lain. Selain itu belum jelasnya batasan dalam menentukan perbuatan
seseorang yang tidak punya kewenangan mengambil keputusan namun dapat
mengendalikan atau mempengaruhi kebijakan korporasi atau dalam Perma disebut
"Pengurus".
Lalu apakah peraturan ini telah efektif ? Menurut saya peraturan ini sudah
cukup efektif guna mengisi kekosongan hukum yang ada serta mendorong
efektivitas penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/ atau
Pengurus. karena pada dasarnya telah banyak undang-undang di Indonesia yang
menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dimintai
pertanggungjawaban, namun perkara dengan subjek hukum korporasi yang
diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas. Salah satu penyebabnya
adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana
masih belum jelas, sehingga menimbulkan terjadinya kekosongan hukum acara
tentang tata cara penanganan tindak pidana korporasi. Maka dari itu, menurut saya
hadirnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 13 Tahun 2016 ini cukup efektif
untuk mengisi kekosongan hukum dalam penanganan perkara tindak pidana
korporasi, meskipun ada beberapa peraturan didalamnya yang perlu dikaji lebih
lanjut.