You are on page 1of 14

MAKALAH

PERSIAPAN DASAR TAMBAK UNTUK BUDIDAYA UDANG VANNAME


(Litopenaeus vannamei)
PEMBESARAN UDANG VANNAME

Dosen: Ir. Rimal Hamal, M.P.

Oleh:

EVI NURSANTI
DANIAL
MAYADAH
AGUS SUSILO
IMRANA

BDP A

JURUSAN BUDIDAYA PERIKANAN


PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERIKANAN
POLITEKNIK PERTANIAN NEGERI PANGKEP
2020/2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Udang adalah komoditas andalan dari sektor perikanan yang merupakan salah satu
penghasil devisa bagi negara. Menurut Kusnendar, Indonesia pernah menikmati masa keemasan
dalam bidang budidaya udang, yaitu pada waktu udang windu masih mudah untuk dipelihara,
sekitar tahun 80an hingga pada awal 90an. Namun pada pertengahan tahun 90an dunia
pertambakan diguncang prahara yang memilukan. Dikarenakan udang windu yang dipeliharanya
mati secara masal akibat serangan virus white spot yang mewabah.

Pemerintah dan petambak mencari solusi untuk memecahkan permasalahan tersebut,


salah satunya dengan memelihara spesies baru yaitu udang vaname (Litopenaeus vannamei).
Udang vaname masuk ke Indonesia pada tahun 2001. Pada Mei 2002, pemerintah memberikan
izin kepada dua perusahaan swasta untuk mengimpor induk udang vaname sebanyak 2000 ekor
dan benur sebanyak lima juta ekor. Udang vaname di kalangan petambak semakin popular,
seiring dengan menurunya produksi udang windu akibat kondisi lngkungan yang buruk. Selain
itu udang vannamei juga lebih tahan terhadap goncangan kondisi lingkungan yang ekstrim,
bahkan sekarang sudah ada yang melakukan uji coba membesarkan udang vaname pada perairan
yang kadar garamnya 0 ppm, yang kondisi lingkunganya sangat jauh berbeda dengan habitat
aslinya.

Dengan semakin bertambah banyaknya pengusaha tambak di tanah air, maka diperlukan
teknik budidaya udang vaname yang tepat dan harus ramah lingkungan, agar hasil produksi dapat
optimal dan berkesinambungan. Karena dengan memelihara udang secara besar-besaran
dikhawatirkan limbah dari proses budidaya akan mencemari lingkungan, dan akan
mempengaruhi keberhasilan usaha budidaya tersebut. Salah satu teknik budidaya yang ramah
lingkungan dan dapat diterapkan ialah budidaya pembesaran dengan teknologi budidaya.

1.2. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan ini untuk mengetahui tentang budidaya udang vaname
dengan teknologi budidaya khususnya persiapan kolam di tambak budidaya udang vaname.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Klasifikasi Udang Vannamei

Udang vannamei digolongkan ke dalam genus Paneid pada filum arthropoda. Ada ribuan
spesies di filum ini. Namun yang mendominasi perairan berasal dari subfilum Crustacea. Ciri-ciri
crustacea yaitu memiliki tiga pasang kaki jalan yang berfungsi untuk mencapit, terutama dari
ordo Decapoda, seperti Litopenaeus chinensis, L. indhicus, L. japonicus. L. monodon, L.
stylirostris, dan L. vannamei.

Menurut Haliman dan Adijaya (2005), berikut ini adalah nama udang vannamei menurut
ilmu taksonomi:

Kingdom : Animalia
Sub Kingdom : Metazoa
filum : Arthropoda
Sub Filum : Crustacea
Kelas : Malacostraca
Sub Kelas : Eumalacostraca
Super Ordo : Eucarida
Ordo : Decapoda
Sub Ordo : Dendrobrachiata
Famili : Panaeidae
Genus : Litopenaeus
Spesies : Litopenaeus vannamei

2.2. Morfologi Udang Vannamei

Spesies udang penaeus mempunyai bentuk tubuh yang hampir sama, yaitu terbagi
menjadi tiga bagian antara lain: bagian kepala dan dada (Cephalothorax), badan (abdomen), dan
ekor. Bagian-bagian tubuh lainnya terdiri dari rostrum, sepasang mata, sepasang antenna,
sepasang antennule bagian dalam dan luar, tiga buah maxilliped (Amri, 2006).
Menurut Haliman dan Adijaya (2005), ada dua bagian utama dari udang vannamei antara lain :

1. Kepala (thorax)

Kepala udang vannamei terdiri dari antenna, antennula, mandibula, dan dua
pasang maxillae. Kepala udang vannamei juga dilengkapi dengan tiga pasang maxilliped
dan lima pasang kaki jalan (periopoda) atau kaki sepuluh (decapoda). Maxilliped sudah
mengalami modifikasi dan berfungsi sebagai organ untuk makan. Endopodite kaki
berjalan menempel pada cephalothorax yang dihubungkan oleh coxa. Bentuk periopoda
beruas-ruas yang berujung dibagian ductylus. Dactylus ada yang berbentuk capit (kaki
jalan ke-1, ke-2, dan ke-3) dan tanpa capit (kaki jalan ke-4 dan kaki jalan ke-5). Di antara
coxa dan dactylus terdapat ruang yang berturut-turut disebut basis, ischium, merus,
carpus, dan cropus. Pada bagian ischium terdapat duri yang biasa digunakan untuk
mengidentifikasi beberapa spesies Litopenaeus vannamei dalam taksonomi.

2. Perut (abdomen)

Abdomen terdiri dari enam ruas. Pada bagian abdomen terdapat lima pasang kaki
dan sepasang uropods (mirip ekor) yang membentuk kipas bersama-sama telson.

Dijelaskan lebih lanjut oleh Haliman dan Adijaya (2005), udang vannamei
memiliki tubuh berbuku-buku dan dapat melakukan aktivitas berganti kulit luar secara
periodik (moulting). Bagian tubuh udang vannamei sudah mengalami modifikasi untuk
keperluan sebagai berikut :

a. Makan, bergerak, dan membenamkan diri ke dalam lumpur (burrowing).


b. Menopang insang karena struktur insang udang mirip bulu unggas.
c. Organ sensor, seperti pada antena dan antenula.

2.3. Habitat Udang Vannamei

Habitat udang berbeda-beda tergantung dari jenis dan persyaratan hidup dari tingkatan-
tingkatan dalam daur hidupnya. Pada umumnya udang bersifat bentis dan hidup pada permukaan
dasar laut. Adapun habitat yang disukai oleh udang adalah dasar laut yang lumer (soft) yang
biasanya campuran lumpur dan pasir. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa induk udang putih
ditemukan diperairan lepas pantai dengan kedalaman berkisar antara70-72 meter (235 kaki).
Menyukai daerah yang dasar perairannya berlumpur. Sifat hidup dari udang putih adalah
catadromous atau dua lingkungan, dimana udang dewasa akan memijah di laut terbuka. Setelah
menetas, larva dan yuwana udang putih akan bermigrasi kedaerah pesisir pantai atau mangrove
yang biasa disebut daerah estuarine tempat nurseri groundnya, dan setelah dewasa akan
bermigrasi kembali ke laut untuk melakukan kegiatan pemijahan seperti pematangan gonad
(maturasi) dan perkawinan (Wyban dan Sweeney, 1991). Hal ini sama seperti pola hidup udang
penaeid lainnya, dimana mangrove merupakan tempat berlindung dan mencari makanan setelah
dewasa akan kembali ke laut (Elovaara, 2001).

2.4. Kebiasaan Makan Udang Vannamei

Makanan udang vannamei terdiri dari crustacea dan molusca yang terdapat 85 % didalam
pencernaan makanan dan 15 % terdiri dari invertebrata benthis kecil, mikroorganisme penyusun
detritus, udang putih demikian juga di alam merupakan omnivora dan scavenger (pemakan
bangkai). , amphipouda danplychacetes atau cacing laut (Wyban dan Sweeney, 1991). Lebih
lanjut dikatakan dalam pemeliharaan induk udang putih, pemberian pakan udang putih 16 % dari
berat total adalah cumi, 9 % cacing dengan pemberian pakan empat kali perhari. Udang
mempunyai pergerakan yang hanya terbatas dalam mencari makanan dan mempunyai sifat dapat
menyesuaikan diri terhadap makanan yang tersedia lingkungannya. Di alam larva udang
biasanya memakan zooplankton yang terdiri dari trochophora, balanos, veliger, copepoda, dan
larva polychaeta (Tricahyo, 1995). Udang putih termasuk golongan udang penaeid. Maka
sifatnya antara lain bersifat nocturnal artinya aktif mencari makan pada malam hari atau apabila
intensitas cahaya berkurang. Sedangkan pada siang hari yang cerah lebih banyak pasif, diam
pada rumpon yang terdapat dalam air tambak atau membenamkan diri dalam Lumpur (Nurdjana
et al., 1989)
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Persiapan Dasar Tambak

Semua tingkat teknologi budidaya tambak menghendaki persiapan berupa pengeringan


tanah dasar yang sempurna, yang dapat dilakukan pada periode musim kemarau. Pengeringan ini
dimaksudkan untuk mengurangi senyawa – senyawa asam sulfide dan senyawa beracun yang
terjadi selama tambak terendam air, memungkinkan terjadinya pertukaran udara dalam tambak
sehingga proses mineralisasi bahan organic yang diperlukan untuk pertumbuhan kelekap dapat
berlangsung, serta unutk membasmi hama penyakit dan benih- benih ikan liar yang bersifat
predator ataupun kompetitor.

Agar lebih mempermudah pelaksanaan pengeringan tambak dapat dilakukan pada saat air
laut surut. Pengeringan tambak berlangsung selama 1-2 minggu, sampai keadaan tanah retak-
retak, namun tidak terlalu kering atau berdebu.(gambar 1). Tambak yang terlalu kering kurang
baik untuk pertumbuhan klekap. Jadi yang dimaksud dengan tidak terlalu kering adalah bila
tanah dasar tambak diinjak, kaki masih melesak sedalam 10-20 cm. sebaliknya bila pengeringan
tambak kurrang sempurna, kelekap yang tumbuh didasar tambak kurang kuat melekat dan mudah
lepas dari substratnya. Hal ini akan menyebabkan kelekap mengapung kepermukaan air tambak
dan membusuk, keadaan ini mencemari tambak. Untuk mengetahui tingkat pengeringan tersebut
yaitu dengan cara mengukur ketinggian lekukan yang terjadi dalam tanah dasar yang retak- retak
tersebut, apabila lapisan telah mencapai 1-2 cm, maka pengeringan sudah dianggap cukup.

3.1.1. Kedok teplok

Pengangkatan Lumpur dasar sebaiknya dilakukan pada saat Lumpur dasar dapat
diangkat (gambar 2). Kebanyakan petambak melakukan kedok teplok pada saat tergenang
sehingga partikel- partikel Lumpur yang halus bercampur dengan air, sehingga kadar
NH3 –N dan H2S tetap tinggi.

3.1.2. Pengolahan tanah dasar tambak

Pengolahan tanah dasar dilakukan menggunakan hand tractor atau dicangkul,


dengan kedalaman tidak lebih dari 30 cm. hal ini dilakukan sehubungan dengan pengaruh
unsur hara terhadap pertumbuhan plankton pada kedalaman tertentu, dan kemampuan
unsur toksis berpengaruh terhadap kehidupan udang didasar tambak. Pengolahan tanah
dasar dilakukn hanya pada tambak masam dan tambak yang sudah lama beroperasi, dan
dilakukan pada musim tertentu, dimana unsur- unsur toksis dalam bongkahan tanah dapat
teroksidasi dengan sempurna (musim kemarau). Setelah tanah dasar tambak ditraktor,
kemudian dibalik dan Lumpur yang ada didalam caren harus diangkat sambil
memperbaiki pematang. Selanjutnya direndam air (10 – 20) selama ± 7 hari, lalu
dikeringkan kembali.

3.1.3. Pengapuran

Pengapuran adalah upaya peningkatan produktivitas tambak, utamanya tambak


masam yang bertujuan :

 Memperbaiki struktur tanah yaitu meningkatkan daya sanggah (buffer) tanah dan air
sehingga tidak terjadi perubahan kemasaman (pH) yang ekstrim.
 Menetralisasi unsur toksis yang disebabkan oleh aluminium dan zat besi dengan
ketersediaan kalsium dalam jumlah yang cukup, sehingga ketersediaan unsur hara
seperti posfat akan bertambah.
 Menstimulir aktivitas organisme tanah sehingga dapat menghambat organisme yang
membahayakan kehidupan udang (desinfectan)
 Dapat merangsang kegiatan jasad renik dalam tanah sehingga dapat meningkatkan
penguraian bahan organic dan nitrogen dalam tanah.

Pada tanah masam dengan pH<5, pengapuran dilakukan sesudah diadakan


reklamasi sehingga pH tanah tidak terjadi perubahan yang drastis. Sedangkan pada tanah
dasar tambak yang pH>7 tidak dilakukan pengapuran atau pengapuran dalam jumlah
yang sedikit sebgai desinfectan saja (poernomo 1992). Pengapuran dilakukan pada saat
tanah dasar tambak dalam keadaan lembab dan juga dilakukan pada saat pengolahan atau
pembalikan tanah dasar tambak. Setelah tanah dasar tambak dikapur dengan kaptan
selanjutnya dibiarkan kering dan terjemur.

Menurut Jayanti (2012), pemberian kapur ini bertujuan untuk menaikkan pH


tanah dan mempertahankannya dalam kondisi yang stabil. Selain itu, diharapkan, setelah
pemberian kapur tanah dasar menjadi subur, reaksi kimia yang terjadi di dasar tanah
menjadi baik, gas-gas beracun dapat terikat secara kimiawi. Pada umumnya, kapur yang
digunakan dalam pengapuran untuk persiapan tambak adalah kapur kaptan dan dolomite
yang mengandung unsur magnesium dengan dosis 20 ppm.

Dalam pengapuran ada beberapa jenis kapur lain selain kaptan dan dolomite yang
biasa digunakan yaitu batu kapur (crushet shell, CaCO3) dengan dosis 100 kg/ha, kapur
mati (slaked lime, Ca(OH)2), dengan dosis 50-100 kg/ha dan dolomit (dolomitic lime, Ca
Mg (CO)3) dengan dosis 200-300 kg/ha. Pemberian kapur dapat diberikan pada saat pH
kurang dari 7,5. Bila pH tanah lebih dari 8,5 maka perlu segera dilakukan pergantian air
dan penambahan kapur (Haliman dan Adijaya, 2005).

3.2. Pemberantasan Hama dan Penyakit

Pemberantasan hama dan penyakit di tambak bertujuan untuk mengurangi tingkat


kerugian yang diakibatkan oleh hama dan penyakit yang dapat menyerang udang vannamei.
Menurut Pendapat Herlina (2004), pemberantasan hama dapat dilakukan secara mekanis dan
secara kimia (menggunakan obat kimia berupa pestisida atau insektisida). Dalam pemilihan
pestisida menjadi sangat penting peranannya, karena pestisida yang dipergunakan untuk
pengendalian hama harus memiliki beberapa sifat, antara lain :

1. Tidak bersifat persisten namun degradable (Pemberantasan secara perlahan-lahan)


2. Memiliki kisaran pemberantasan yang spesifik
3. Tidak meninggalkan residu yang membahayakan.
4. Tidak bersifat fitotoksis, yang dapat membunuh alga.

Pemberantasan hama (terutama trisipan, kepiting dan udang / ikan liar) yang paling
efektif adalah melalui pengeringan tambak secara sempurna. Sedangkan pengapuran dengan
menggunakan kapur hidrat dan kapur oksida pada suhu tinggi juga dapat berfungsi untuk
memberantas hama udang liar (Mustafa 1991). Pemberantasan hama ikan dapat dilakukan
dengan menggunakan saponin, dimana keampuhannya sangat dipengaruhi oleh kondisi suhu dan
salinitas air tambak. Pada salinitas rendah yaitu salinitas <20 ppm sebaiknya diaplikasi pada
dosis 20-30kg/ha dan dilakukan pada siang hari, dan apabila salinitas >30 ppm, saponin
diaplikasikan dengan dosis 10-15 kg/ha.

Pemberantasan hama dan penyakit dapat pula dilakukan dengan pemberian klorin dan
saponim. Pemberian klorin berfungsi sebagai pembentuk CaO(Cl2) Calsium hypochlorite yang
berguna sebagai desinfektan. Selain itu klorin juga berfungsi sebagai pemberantas fitoplankton
sehingga air mudah dicerahkan. Sedangkan pemberian saponim berfungsi sebagai bahan racun
untuk membunuh ikan lain atau hama yang mengganggu atau merugikan udang vannamei
(Haliman dan Adijaya, 2005).

Sedangkan menurut Musthsu (2012), pemberantasan hama dan penyakit dapat dilakukan
dengan menggunakan insektisida sebanyak 10 liter/ha. Dengan tujuan untuk membunuh jenis
ikan-ikanan, kepiting dan udang-udangan. Aplikasi insektisida dilakukan 10 hari sebelum
penebaran benur. Hal ini bertujuan agar residu dari isektisida bisa terurai. Pemberantasan hama
dan penyakit dilakukan selama 1 minggu dengan membiarkan air tambak. Air tambak ini akan
dijadikan air media untuk pembesaran udang. Selain itu dapat juga digunakan saponin dan
kaporit dalam tahap pemberantasan hama dan penyakit.

3.3. Pemupukan

Pemupukan dilakukan sesudah pemberantasan hama, dan pada kondisi sekarang ini
pemupukan dilakukan pada semua tingkat teknologi. Jenis dan dosis pupuk ditentukan oleh
tingkat kesuburan dari masing- masing tanah dasar tambak. Kesuburan suatu perairan tergantung
pada produktivitas tanaman berklorofil, dan ini merupakan interaksi dari berbagai faktor
diantaranya tersedianya zat hara dalam perairan (andarias 1991). Kesuburan perairan juga
ditandai dengan kelimpahan dan jenis nabati air baik berupa fitoplankton maupun yang berupa
fitobentos, dimana kedua kelompok ini merupakan primer utama dalam budidaya udang dan ikan
ditambak.

Pemupukan berfungsi untuk mengembalikan kesuburan tanah, sehingga pakan alami


dasar dapat tumbuh dengan baik. Jenis pupuk yang digunakan dapat berupa pupuk alam maupun
pupuk buatan. Untuk pupuk dasar sebaiknya menggunakan pupuk alam, sedangkan untuk air
dapat digunakan pupuk buatan (Mujiman dan Suyanto, 2003).
Pada tahap awal air dimasukan ke dalam tambak secara bertahap dan dilakukan
pemupukan. Pemupukan dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk Urea dan TSP dengan
dosis masing-masing 200 dan 100 kg/ha dan sebaiknya dalam persiapan lahan tambak
digunakan juga pupuk organik (dari jenis pupuk kandang) antara 1000 – 2000 kg/ha (Pusat Riset
Perikanan Budidaya, 2007).

Dijelaskan lebih lanjut oleh Mujiman dan Suyanto (2003), penggunaaan pupuk anorganik
untuk menumbuhkan pakan alami dapat menggunakan pupuk urea 150 kg/ha dan TSP (Tripple
Superphosphate) 75 kg/ha. Sekitar 5 hari sesudah pemupukan pakan alami akan tumbuh,
selanjutnya air dapat ditinggikan.

Pemupukan tambak dimaksudkan unutk merangsang pertumbuhan makanan alami yang


diperlukan oleh udang dan ikan selama pemeliharaan. Didalam pemupukan tambak sebaiknya
dalam satu kali masa panen dilakukan dua kali pemupukan, yaitu :

3.3.1. Pemupukan Dasar

Pada pemupukan dasar yang ditumbuhkan terutama adalah klekap (lumut dasar).
Jenis dan dosis pupuk yang diperlukan dalam setiap hektar adalah : pupuk kandang
dicampur dengan dedak halus dengan dosis 1-2 ton/ha, kemudian disebar merata ke dasar
tambak. Selanjutnya campuran pupuk urea 100-150 kg/ha dan SP36 sebanyak 50-75
kg/ha, juga disebar merata keseluruh permukaan tambak. Masukkan air kedalam tambak
sampai mencapai ketinggian 10-20 cm dengan menggunakan saringan dan biarkan
menguap selama 2 minggu. Bila keadaan air dipermukaan telah menjadi jernih sedang
dasar tambak telah tampak hijau ditumbuhi klekap, maka air didalam tambak ditambah
secara bertahap sampai mencapai kedalaman 60-100 cm. Jika keadaan air sudah cukup
stabil, maka petakan siap untuk ditebari.

3.3.2. Pemupukan Susulan

Jika diperkirakan makanan alami ditambak hamper habis (masa pemeliharaan + 1


bulan), maka perlu dilakukan pemupukan susulan dengan menggunakan pupuk urea dan
SP36 dengan dosis urea 10-15 kg/ha dan SP36 5-10 kg/ha.
Pada pemupukan susulan ini yang ditumbuhkan adalah plankton, dan dilakukan
setiap 10-14 hari sekali. Pupuk susulan ditebarkan pada pelataran tambak. Pemupukan
tidak dianjurkan pada tambak-tambak yang mempunyai tanah dasar bersifat masam)
pH < 6). Dapat juga dilakukan pemupukan apabila sudah dilakukan proses pengapuran
(penebaran kapur tohor) atau menggantungkan batu kapur dimuka pintu-pintu air.

3.4. Persiapan Tambak

Setelah mengembalikan pH tanah menjadi normal, maka langkah selanjutnya yaitu :


a) Pembuangan lumpur sisa usaha budidaya sebelumnya dan pengeringan kolam.
b) Pemberian kapur pertanian (CaCO₃) 100 – 300 Kg/Ha, kapur tohor [Ca(OH)₂] 50
-100 Kg/Ha dan Dolomit [CaMg(CO)₃] sebanyak 200 – 300 Kg/Ha.
c) Pemupukan organic dengan pupuk kandang dan penyemprotan GDM Black BOS
dosis 5 Kg/Ha secara merata.
d) Pemupukan Urea 10 m- 20 Kg/Ha, SP 36 sebanyak 5 – 10 Kg/Ha.
e) Pemberian saponin 10 – 12 ppm dan diamkan 2 – 3 hari untuk memberantas hama
penyakit yang ada di kolam
f) Pengisian air secara bertahap dan aplikasi Suplemen Organik Cair GDM 6
liter/Ha.
g) Penumbuhan plankton sebagai pakan alami benur/udang dengan aplikasi rutin
SOC GDM 6 liter/Ha seminggu sekali.

Secara sedarhana, upaya yang dilakukan untuk mendekteksi lumpur yang


mengandung amoniak dan asam sulfida adalah dengan cara mencium bau lumpur
tersebut. Apabila  lumpur tersebut berbau busuk (seperti telur busuk), maka dapat
dipastikan mengandung amoniak dan asam sulfida dan harus dibuang.

3.5. Pembersihan dan Pencucian Tambak

 Pembersihan tambak bertujuan untuk membersihkan tambak dari segala macam kotoran
yang tidak berguna untuk udang, justru dapat membahayakan kelangsungan hidup udang.
Sebagai contoh lumpur hitam yang biasanya terbentuk dari sisa pakan bahan organik lainnya
yang tidak teroksidasi secara sempurna.  Seperti pada tambak plastik, pembersihan tambak
diawali pembuangan sampah atau lumpur hitam dan pengerukan tritip.  Namun, pencucian pada
tambak palstik tidaklah terlalu sulit, cukup dengan melakukan penyemprotan dinding dan dasar
tambak melalui selang dengan air ke arah central drain.

3.6. Pengecekan Sarana Pendukung

Pengecekan sarana pendukung tambak sangat penting dilakukan sebelum melakukan


usaha budidaya. Karena biasanya tambak yang dipanen sarana pendukung tambak banyak yang
rusak.  Sarana pendukung tambak antara lain :

a.     Filter 1, kerusakan yang sering di alami yaitu pecah dan patah


b.    Saringan, sering mengalami robek
c.     Plastik tambak rusak, robek, atau bocor.  Hal ini dapat terjadi akibat, pada saat
pengerukan tritip
d.    Kincir, pompa dan instalasinya, sering mengalami kerusakan pada bagian baling-baling
kincir, oli mesin belum terganti dan instalasinya tidak berfungsi
e.     Anco, kerusakan yang sering terjadi adalah saringan hijau robek dan rangkanya patah
f.     Stik level, skala pentunjuk ketinggian airnya sering luntur.

Apabila diketahui bahwa sarana pendukung tambak tersebut telah mangalami kerusakan
seperti yang disebutkan diatas, maka segara dilakukan perbaikan. Jika dalam proses perbaikan
sarana tersebut sudah tidak bisa lagi dilakukan perbaikan maka harus diganti dengan yang baru.
BAB IV
KESIMPULAN
4.1. Kesimpulan

Setelah mengembalikan pH tanah menjadi normal, maka langkah selanjutnya yaitu :


a) Pembuangan lumpur sisa usaha budidaya sebelumnya dan pengeringan kolam.
b) Pemberian kapur pertanian (CaCO₃) 100 – 300 Kg/Ha, kapur tohor [Ca(OH)₂] 50
-100 Kg/Ha dan Dolomit [CaMg(CO)₃] sebanyak 200 – 300 Kg/Ha.
c) Pemupukan organic dengan pupuk kandang dan penyemprotan GDM Black BOS
dosis 5 Kg/Ha secara merata.
d) Pemupukan Urea 10 m- 20 Kg/Ha, SP 36 sebanyak 5 – 10 Kg/Ha.
e) Pemberian saponin 10 – 12 ppm dan diamkan 2 – 3 hari untuk memberantas hama
penyakit yang ada di kolam
f) Pengisian air secara bertahap dan aplikasi Suplemen Organik Cair GDM 6
liter/Ha.
g) Penumbuhan plankton sebagai pakan alami benur/udang dengan aplikasi rutin
SOC GDM 6 liter/Ha seminggu sekali.

4.2. Saran

Sebaiknya dalam pembudidayaan udang vanami dilakukan persiapan dasar untuk


membasmi hama, penyakit dan memperbaiki kualitas tanah untuk budidaya udang vanname.
DAFTAR PUSTAKA

Haliman dan Hadijaya, 2005. Budidaya Udang Vaname Berwawasan Lingkungan. Departemen
kelautan dan Perikanan. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau. Jepara. 32

Departement Southeas Asian Fisheries Development Center, Tibgauan Iloilo Fhilippines.

Herlina. 2004. Budidaya Udang Vanamei. Swadaya Jakarta.

Amri. K, 2003. Budidaya Udang Windu Secara Intensif. Agromedia Pustaka Tangerang.

Musthsu. 2012. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Effendi, Hefni. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan
Perairan. Kanisius., Yogyakarta.

Eddy Afrianto dan Evi Liviawaty, 2006, Teknik Pembuatan Tambak Udang, Kanisius,
Yogyakarta.

Haliman, Rubiyanto. W dan Dian Adijaya. 2006. Udang Vannamei. Jakarta : Penebar Swadaya.
Kanna, Iskandar. 2004. Petunjuk Teknis Budidaya Udang Vaname Sistem Resirkulasi Semi
Tertutup. Karawang : BPBPLAPU.

Supriady, Eddy. 2008. Kupas Tuntas Balai Pengembangan Budidaya Perikanan Laut, Air Payau,
dan Udang Karawang. Karawang : BPBPLAPU.

Standar Prosedur Operasional (SPO) Budidaya Udang Vannamei di Tambak BPBPLAPU


Karawang. 2008.

Standar Prosedur Operasional Pembesaran Udang Vannamei. 2007. Departemen Kelautan dan
Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya.

Kordi, M.CH.. 2001. Usaha Pembesaran Ikan Kerapu di Tambakyokyakarta: Kanisius

You might also like