You are on page 1of 7

Analisis Laporan Keuangan PT Astra Internasional Tbk.

Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


Akuntansi Keuangan Menengah 3
Dosen Pengampu: Ika Putri Larasati, S.E., Mcom. Ak.

Disusun Oleh:
Offering O
1. Vida Silvia NIM. 200422620916
2. Vinika Triyandita NIM. 200422620808
3. Vivid Nur Indah Sari NIM. 200422620841
4. Winda Fandira NIM. 200422620824
5. Yosep Try Ananda NIM. 200422620849

Mahasiswa Jurusan Akuntansi


Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Negeri Malang
Malang 2022
Pembahasan
A. Effective Tax Rate dan Analisis Perbedaan Tarif Pajak
Beban pajak (Dalam Miliar Rupiah)
Laba Sebelum Pajak (Dalam Miliar Rupiah)
2018 2019 2020
2018 2019 2020
7623 7433 3170
34995 34053 21741

ETR (Effective Tax Rate)


2018 2019 2020
Decimal 0,217831119 0,218277391 0,145807461
Percentage 22% 22% 15%
Tax Rate 20% 20% 19%

Informasi terkait beban pajak penghasilan dan laba sebelum pajak penghasilan
dapat ditemukan dalam laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain
konsolidasian. Pos-pos tersebut sesuai dengan yang tertuang dalam PSAK 46 tentang
Pajak Penghasilan. Menurut Sjahril et al., (2020) effective tax rate atau tarif pajak
efektif merupakan tarif pajak sesungguhnya yang berlaku atas penghasilan wajib
pajak. Menurut Kieso et al., (2020) perhitungan untuk menentukan effective tax rate
diperoleh dari pembagian antara jumlah beban pajak penghasilan dengan laba sebelum
pajak penghasilan. Effective tax rate atau tarif pajak efektif digunakan untuk
mengukur dampak perubahan kebijakan perpajakan atas beban pajak perusahaan.
Menurut Astuti & Aryani, (2017) perusahaan dikatakan efektivitas melakukan
pembayaran pajak jika tarif pajak efektif dari perusahaan tersebut berada dibawah
20%, yang berarti jika tarifnya lebih tinggi dari 20% maka dapat dikatakan
perusahaan kurang efektif dalam melakukan pembayaran pajak. Berdasarkan hasil
perhitungan ETR di atas, PT Astra Internasional Tbk dapat dikatakan kurang efektif
dalam melakukan pembayaran pajak pada tahun 2018 dan 2019 karena persentase
ETR nya lebih tinggi dari 20%. Sedangkan untuk tahun 2020 PT Astra Tbk sudah
dapat dikatakan efektif dalam melakukan pembayaran pajak karena persentase ETR
nya lebih rendah dari 20%. Tarif tunggal untuk pajak penghasilan yang ditetapkan
oleh pemerintah adalah sebesar 25% untuk tahun 2018-2019, serta sebesar 22% untuk
tahun 2020. Akan tetapi, tarif tunggal untuk pajak penghasilan yang wajib dibayarkan
oleh PT Astra Internasional Tbk adalah sebesar 20% untuk tahun 2018-2019 dan
sebesar 19% untuk tahun 2020. Hal tersebut dikarenakan PT Astra Internasional Tbk
memenuhi syarat-syarat tertentu sebagai perusahaan yang berhak mendapatkan tarif
5% lebih rendah untuk tahun 2018-2019 dan 3% lebih rendah untuk tahun 2020 dari
pemerintah. Menurut Yustisia, (2020) syarat-syarat tertentu tersebut antara lain:
1. Perusahaan berbentuk terbuka (Tbk) yang minimal 40% sahamnya dilepas ke
bursa efek harus dimiliki oleh paling sedikit 300 pihak.
2. Masing-masing pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% dari
keseluruhan saham yang disetor penuh.
3. Ketentuan minimal setor saham, jumlah pihak, dan persentase kepemilikan saham
setiap pihak harus dipenuhi dalam waktu minimal 183 hari kalender dalam jangka
waktu satu tahun pajak.
4. Pemenuhan persyaratan dilakukan wajib pajak perseroan terbuka dengan
menyampaikan laporan kepada DJP.
Jika dilihat dari tabel perhitungan ETR di atas, untuk tahun 2018 dan 2019
ETR memiliki persentase lebih tinggi dibandingkan dengan tarif tunggal yang
ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan, untuk tahun 2020 ETR memiliki persentase
lebih rendah dari tarif tunggal yang ditetapkan oleh pemerintah. Menurut JNB Mulya,
AP Kuntjara, (2009) adanya perbedaan persentase dari ETR dengan tarif tunggal yang
ditetapkan oleh pemerintah merupakan hal yang wajar, karena pemerintah
menginginkan agar ETR perusahaan wajib pajak semakin meningkat mendekati tarif
tunggal atau bahkan melampaui tarif tunggal yang berarti jumlah pajak penghasilan
(PPh) yang dibayar mengimbangi atau bahkan telah melebihi target penerimaan
negara atas Pajak penghasilan. Dalam hal ini, perusahaan akan dirugikan. Bila ETR
lebih besar daripada tarif tunggal yang ditetapkan, maka penghasilan kena pajak
(PKP) perusahaan lebih besar daripada keuntungan ekonomis perusahaan sehingga
jumlah pajak yang benar-benar dibayar oleh perusahaan ke negara melebihi jumlah
pajak yang seharusnya dibayar ke negara. Dengan demikian, semakin meningkatnya
ETR menyebabkan penerimaan pajak negara akan semakin meningkat pula. Jika
melihat dari sisi perusahaan wajib pajak, tentu perusahaan menginginkan agar ETR
semakin menurun menjauhi tarif tunggal yang berarti jumlah PPh yang dibayar
semakin menurun dari target penerimaan negara atas PPh. Dalam hal ini, negara akan
dirugikan. Bila ETR lebih kecil daripada tarif tunggal yang telah ditetapkan, maka
PKP lebih kecil daripada keuntungan ekonomis perusahaan sehingga jumlah pajak
yang benar- benar dibayar oleh perusahaan ke negara lebih kecil daripada jumlah
pajak yang seharusnya dibayar ke negara. Dengan demikian, semakin menurunnya
ETR menyebabkan penerimaan pajak negara akan semakin menurun pula. Berikut ini
faktor-faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya ETR yaitu:
1. Laverage
Leverage adalah penggunaan dana utang atau pinjaman yang dipergunakan
untuk meningkatkan return atau keuntungan dalam sebuah bisnis atau investasi.
Perusahaan yang mempunyai leverage tinggi, maka tarif pajak efektif akan
semakin rendah dan sebaliknya. hutang perusahaan berpengaruh negatif terhadap
tarif pajak efektif yang menggambarkan bahwa hutang perusahaan dapat
membantu mengurangi beban pajak perusahaan.
2. Profitabilitas
Perusahaan yang mampu mengelola asetnya dengan baik akan memperoleh
keuntungan dari insentif pajak dan kelonggaran pajak lainnya. profitabilitas yang
tinggi memiliki kesempatan untuk melakukan efektifitas pajak guna
meminimalkan beban pajak yang harus dibayarkan. Naiknya profitabilitas selaras
dengan tarif efektif pajak dan sebaliknya.
3. Intensitas aset
Beban penyusutan yang ditimbulkan oleh aset dapat mengurangi
penghasilan. Intensitas aset tetap berpengaruh negatif terhadap tarif pajak efektif.
Jika jumlah intensitas aset tetap semakin tinggi, maka tarif pajak efektif semakin
rendah dan sebaliknya.
B. Conservatism Ratio
KONSit Rasio
T. Assets
Tahun Nit B. Depit CFOit KONSit Konservatifme
2018 27.372 9.422 27.692 9.102 344.711 2,64%
2019 26.621 13.452 19.175 20.898 351.958 5,94%
2020 18.571 15.057 37.683 -4.055 338.203 -1,20%

Analisis tabel:
Konservatifme atau dalam bahasa inggris conservatism merupakan prinsip
akuntansi yang wajib diikuti untuk melakukan penyusunan laporan keuangan agar
manajemen dapat menghadapi ketidakpastian di masa yang akan datang (Aristiya &
Budiharta, 2017). Sejalan dengan hal itu, Krismiaji & Astuti, (2020) menyatakan
bahwa conservatism merupakan reaksi hati-hati terhadap ketidakpastian untuk
memastikan bahwa ketidakpastian dan risiko yang melekat dalam situasi bisnis dapat
dipertimbangkan secara optimal. Rasio konservatifme dikatakan konservatif apabila
nilai yang terjadi selama beberapa tahun semakin tinggi dan semakin naik. Apabila
pada tahun tertentu terjadi penurunan nilai rasio konservatif maka konservatism akan
dianggap kurang konservatif. Menurut Munggaran & Adnyana, (2020) menjelaskan
bahwa perhitungan rasio konservatifme didasarkan atas laba bersih atau net income,
beban depresiasi dan amortisasi, arus kas dari aktivitas operasi, dan total assets yang
melekat dalam laporan keuangan.
Pembahasan untuk tabel di atas yaitu, pada tahun 2018 terjadi rasio
konservatifme sebesar 2,64% hal ini dikarenakan PT Astra Internasional Tbk.
Memiliki sejumlah net income atau laba bersih (Nit) sebesar Rp27.372 (dalam miliar),
beban depresiasi dan amortisasi sebesar Rp9.422 (dalam miliar), arus kas dari
aktivitas operasi (CFOit) sebesar Rp27.692 (dalam miliar), dan total assets sebesar
Rp344.711 (dalam miliar). Kemudian perhitungan dilakukan dengan rumus berikut:
KONSit = Nit + B Depit – CFOit
T. Assets
Dengan begitu didapatkan hasil 2,64%.
Tahun 2019 terjadi rasio konservatifme sebesar 5,94% hal ini dikarenakan PT
Astra Internasional Tbk. Memiliki sejumlah net income atau laba bersih (Nit) sebesar
Rp26.621 (dalam miliar), beban depresiasi dan amortisasi sebesar Rp13.452 (dalam
miliar), arus kas dari aktivitas operasi (CFOit) sebesar Rp19.175 (dalam miliar), dan
total assets sebesar Rp351.958 (dalam miliar). Kemudian perhitungan dilakukan
dengan rumus berikut:
KONSit = Nit + B Depit – CFOit
T. Assets
Dengan begitu didapatkan hasil 5,94%, untuk rasio konservatisme tahun 2019
dianggap konservtif karena nilai yang didapatkan lebih tinggi dari rasio tahun 2018
dan terjadi peningkatan.
Tahun 2020 terjadi rasio konservatif sebesar -1,20% hal ini dikarenakan PT
Astra Internasional Tbk. Memiliki sejumlah net income atau laba bersih (Nit) sebesar
Rp18.571 (dalam miliar), beban depresiasi dan amortisasi sebesar Rp15.057 (dalam
miliar), arus kas dari aktivitas operasi (CFOit) sebesar Rp37.683 (dalam miliar), dan
total assets sebesar Rp338.203 (dalam miliar). Kemudian perhitungan dilakukan
dengan rumus berikut:
KONSit = Nit + B Depit – CFOit
T. Assets
Dengan begitu didapatkan hasil -1,20%, nilai rasio konservatif di tahun 2020
dianggap kurang konservatif karena terjadi penurunan yang signifikan dari tahun 2019
ke 2020.
Menurut Retnaningtyas, (2016) menentukan conservatisme ratio setidaknya
ada 3 faktor yang mempengaruhi, diantaranya:
1) Kontrak utang
Kreditur memiliki asimetri pembayaran terkait dengan aset bersih perusahaan.
Saat pinjaman jatuh tempo dan aset bersih perusahaan di atas face value utang,
kreditur tidak menerima tambahan kompensasi.
2) Ekspektasi biaya litigasi atas penyajian laporan keuangan yang lebih tinggi dan
lebih besar dibandingkan ekspektasi biaya untuk penyajian laporan keuangan
yang lebih rendah.
3) Sejauh perusahaan bersifat menguntungkan dan penghasilannya dikenai pajak,
serta tingkat bunga yang positif, maka hubunganya antara pajak dengan
penghasilan yang dilaporkan memberikan insentif untuk menunda penghasilan
dalam rangka untuk mengurangi nilai sekarang dari pajak.
Daftar Pustaka

Aristiya, M. M., & Budiharta, P. (2017). Analisis Perbedaan Tingkat Konservatisme


Akuntansi Laporan Keuangan Sebelum Dan Sesudah Konvergensi Ifrs. Journal of
Chemical Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.
Astuti, T. P., & Aryani, Y. A. (2017). Tren Penghindaran Pajak Perusahaan Manufaktur Di
Indonesia Yang Terdaftar Di Bei Tahun 2001-2014. Jurnal Akuntansi, 20(3), 375–388.
https://doi.org/10.24912/ja.v20i3.4
JNB Mulya, AP Kuntjara, R. S. (2009). Bab I Pendahuluan ِ َ ٌ ‫ه ِ َ ي ي ْ ِ ِ ْ م ن م لو ُ ِّ َّ ي ُ ي َ ه ِ ت َ ي‬
ً ‫ق ع َْ ه ف ل ْ خ ُ ُ ه َ ل ح ق ِ ب هه ِ للل دل ر َ م ل ذ ِ ِ ِ ن م ِ ل َ ح و ن م ِ م ه ِ ِ ُ ْ ه َ أ ِ ب ا م لل ه ِ َ م ُ ْ م َ ال َ ف ل‬
‫ء َ س َ ْ ه هو د َ ُ ه َ ل د َ ْ س ف‬. Journal Information, 10(I), 1–16.
Kieso, D. E., Weygandt, J. J., & Warfield, T. D. (2020). Intermediate Accounting: IFRS
Edition, Volume 1.
KRISMIAJI, K., & ASTUTI, R. P. (2020). Accounting Conservatism and Earnings
Management–Indonesian Evidence. Jurnal Bisnis Dan Akuntansi, 22(1), 113–120.
https://doi.org/10.34208/jba.v22i1.631
Munggaran, E. A., & Adnyana, I. G. S. (2020). Analysis Of Conservatism Accounting And
Conflict Bondholders-Shareholder Against Quality Of Profit In Indonesia And Australia
And Its Comparison. Riset, 2(2), 264–276. https://doi.org/10.35212/riset.v2i2.57
Retnaningtyas, A. (2016). Pengukuran Dan Faktor-Faktor Yang Memengaruhi
Konservatisme Akuntansi. Tesis, Universitas Airlangga, 85.
Sjahril, R. F., Yasa, I. N. P., & Dewi, G. A. K. R. (2020). Analisis Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi Tarif Pajak Efektif Pada Wajib Pajak Badan. Jurnal Ilmiah Mahasiswa
Akuntansi, 11, 1–10.
Yustisia, D. (2020). No Title. https://news.ddtc.co.id/kriteria-fasilitas-penurunan-tarif-pph-
badan-untuk-perusahaan-tbk--22394

You might also like