You are on page 1of 17

REFERAT

TORSIO TESTIS

Pembimbing :
dr. Sakti Hoetama, Sp.U

Disusun Oleh :
Ardliani Romadlaniyah
20190420055

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RSPAL DR.RAMELAN SURABAYA
2021
LEMBAR PENGESAHAN REFERAT

TORSIO TESTIS

Referat dengan judul “Torsio Testis” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah satu
tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik Dokter Muda di bagian Ilmu
Bedah Rumah Sakit Pendidikan Angkatan Laut Dr. Ramelan Surabaya.

Surabaya, 22 Desember 2021

Pembimbing,

dr. Sakti Hoetama, Sp.U


DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ............................................................................................ 3

B. Tujuan Penulisan ......................................................................................... 3

C. Manfaat Penulisan ....................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Testis........................................................................................ 4

B. Definisi ................................................................................................... 5

C. Epidemiologi .......................................................................................... 5

D. Etilogi ..................................................................................................... 5

E. Patogenesis ............................................................................................. 6

F. Manifestasi Klinis ................................................................................... 7

G. Diagnosis ................................................................................................ 7

H. Pemeriksaan Penunjang Radiologis ....................................................... 8

I. Diagnosis Banding.................................................................................. 14

J. Terapi......................................................................................................14

K. Prognosis.................................................................................................15

L. Komplikasi..............................................................................................15

BAB III KESIMPULAN................................................................................ 17

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................18

1
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Anatomi Testis dan Spermatic Cord .....................................................................4


Gambar 2.2. Tiga jenis torsio testis ...........................................................................................6
Gambar 2.3. Temuan spektrum normal dari aliran arteri normal ..............................................9
Gambar 2.4. Pembuluh darah normal intratestikular pada color Doppler ..............................10
Gambar 2.5. Torsio testis akut ................................................................................................11
Gambar 2.6. Snail shell pada torsio ….....................................................................................11
Gambar 2.7. Torsio komplit dengan aliran kapsular ...............................................................12
Gambar 2.8. MRI torsio testis .................................................................................................13

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord yang terpuntir yang
mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis dan
epididymis. Torsio testis merupakan suatu kegawatdaruratan vaskuler yang murni dan
memerlukan tindakan bedah yang segera. Jika kondisi ini tidak ditangani dalam waktu
singkat (dalam 4 hingga 6 jam setelah onset nyeri) dapat menyebabkan infark dari testis,
yang selanjutnya akan diikuti oleh atrofi testis (Sutton, 2013).
Torsio testis juga merupakan kegawatdaruratan urologi yang paling sering
terjadi pada laki-laki dewasa muda, dengan angka kejadian 1 diantara 4000 orang dibawah
usia 25 tahun. Torsio testis harus selalu dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan akut
skrotum hingga terbukti tidak, namun kondisi tersebut juga harus dibedakan dari keluhan
nyeri testis lainnya. Keterlambatan dan kegagalan dalam dignosis dan terapi akan
menyebabkan proses torsio yang berlangsung lama, sehingga pada akhirnya menyebabkan
kematian testis dan jaringan disekitarnya. Penatalaksanaan torsio menjadi tindakan darurat
yang harus segera dilakukan karena angka keberhasilan serta kemungkinan testis tertolong
akan menurun seiring dengan bertambahnya lama waktu terjadinya torsio (Cassar, et al,
2018).
B. Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui penjelasan dan gambaran
radiologi pada torsio testis sehingga diharapkan dapat membantu dalam pemahaman teori.
C. Manfaat
Penulisan referat ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi para tenaga
kesehatan dan khususnya bagi penulis sendiri untuk dijadikan acuan sebagai penegakkan
diagnostik.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI

Pada masa awal kehamilan, testis berkembang di retroperitoneum di bawah


ginjal. Bersamaan dengan perubahan duktus wolfii menjadi epididimis dan vas
deferens, gubernakulum berkembang menjadi peritoneum. Prosesus vaginalis dimulai
sebagai cekungan peritoneum pada minggu ke 10 gestasi dan memulai perpindahan
testis melalui abdomen menuju ke skrotum. Maternal chorionic gonadothropin
merangsang pertumbuhan testis dan kemungkinan juga memicu migrasinya (Williams,
et al, 2018).
Pada orang dewasa, testis merupakan sepasang struktur organ yang berbentuk
oval dengan ukuran 4x2,5x2,5cm dan berat kurang lebih 20 gram. Terletak di dalam
skrotum dengan axis panjang pada sumbu vertikal dan biasanya testis kiri terletak lebih
rendah dibanding kanan. Testis diliputi oleh tunika albuginea pada 2/3 anterior kecuali
pada sisi dorsal dimana terdapat epididimis dan pedikel vaskuler. Sedangkan epididimis
merupakan organ yang berbentuk kurva yang terletak disekeliling bagian dorsal dari
testis. Suplai darah arteri pada testis dan epididimis berasal dari arteri renalis. Antara
minggu ke12 dan 17 kehamilan, testis mengalami migrasi trans abdominal menuju
lokasi di dekat cincin inguinal interna (Sjamsuhidajat, 2017).

Gambar 2.1. Anatomi Testis dan Spermatic Cord

4
B. DEFINISI

Torsio testis adalah keadaan terpuntirnya spermatic cord karena rotasi testis
yang mengakibatkan terjadinya iskemia testis. Menurut terjadinya, torsio testis tebagi
menjadi torsi intravaginal dan torsi ekstravaginal. Torsi intravaginal merupakan
keadaan dimana posisi cord yang terpuntir berada di dalam tunika vaginalis, sedangkan
torsi ekstravaginal adalah torsi yang terjadi di atas level skrotum (Sutton, 2013).
Torsio testis terbagi menjadi torsi komplit dan torsi inklomplit, dan ada
kemungkinan terjadinya torsi spontan serta detorsi (Sutton, 2013). Derajat dari torsio
testis menentukan berat iskemia yang terjadi pada testis dan berpengaruh terhadap
kerusakan irreversible yang terjadi pada testis (Cassar, et al, 2018).

C. EPIDEMIOLOGI

Torsio testis merupakan kasus kegawatdaruratan bedah yang sering muncul,


dimana kasus ini terjadi sebanyak lebih dari 26%. Walaupun bisa terjadi pada semua
usia, torsio testis paling sering terjadi pada anak lelaki dan pria muda sebesar 1 dari
4000 pasien yang berusia kurang dari 25 tahun (Cassar, et al, 2018).
Bentuk yang paling sering terjadi adalah subtipe intravaginal yang merupakan
90% dari keseluruhan kasus dan biasa terjadi pada anak usia 12 sampai 18 tahun. Pada
infan dan neonatal lebih banyak terjadi torsio ekstravaginal sedangkan pada kelompok
usia yang lebih tua lebih banyak terjadi torsio intravaginal. Malformasi Bell dan
Clapper merupakan keadaan anatomis yang memicu terjadinya resiko rotasi testis dan
80% kasus ini terjadi secara bilateral dimana torsio bilateral simultan terjadi lebih dari
5% kasus (Sutton, 2013).

D. ETIOLOGI

Testis dapat terputar dalam kantong skrotum (torsio) akibat perkembangan


abnormal dari tunika vaginalis dan funikulus spermatikus dalam masa perkembangan
janin. Torsio dari funikulus spermatikus dan testis juga dapat terjadi pada masa janin
atau neonatus di dalam rahim atau sewaktu persalinan (Price dan Wilson, 2015).
Trauma dapat menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien, torsio timbul
ketika seseorang sedang tidur karena spasme otot kremaster (Price dan Wilson, 2015).
Kadang torsio dicetuskan oleh cedera olahraga (Sjamsuhidajat, 2017).

5
E. PATOGENESIS

Secara anatomis, terdapat dua jenis torsio testis: intravaginal dan ekstravaginal.
Terdapat jenis lain yaitu testis yang terpuntir di sepanjang mesenterika epididimis
(Norton, et al, 2018).
Torsio testis terjadi pada anak dengan insersi tunika vaginalis tinggi di funikulus
spermatikus sehingga funikulus dengan testis dapat terpuntir di dalam tunika vaginalis
(Sjamsuhidajat, 2017). Jenis torsio ini disebut sebagai torsio funikulus spermatikus
intravaginalis (Price dan Wilson, 2015).
Torsio di dalam rahim atau sewaktu persalinan terjadi pada funikulus bagian
inguinalis di atas insersi tunika vaginalis dan dikenal sebagai torsio funikulus
spermatikus ekstravaginalis. Torsio ekstravaginalis hanya terjadi pada neonatus;
umumnya asimtomatik dan seringkali sewaktu pemeriksaan fisik awal pada bayi baru
lahir, yaitu terdapat massa skrotum yang padat disertai daerah bewarna biru pada kulit
skrotum yang menutupi massa tersebut (blue dot sign) dan seringkali testis telah
menjadi nekrotik seluruhnya (Price dan Wilson, 2015).
Trauma karena spasme otot kremaster terjadi akibat testis kiri berputar
berlawanan arah jarum jam dan testis kanan berputar searah jarum jam. Aliran darah
berhenti, dan terbentuk edema; kedua keadaan tersebut menyebabkan iskemia testis
(Price dan Wilson, 2015).

Gambar 2. 2 Tiga jenis torsio testis. A. Intravaginal. B. Ekstravaginal.


C. Torsi di sepanjang mesenteri epididymis (Norton, et al, 2008)

F. MANIFESTASI KLINIS

6
Pasien mengeluh nyeri hebat di daerah skrotum, yang sifatnya mendadak dan
diikuti pembengkakan pada testis. Keadaan itu dikenal sebagai akut skrotum (Purnomo,
2011).
Nyeri dapat menjalar kearah daerah inguinal atau perut sebelah kanan bawah
sehingga jika tidak diwaspadai sering dikacaukan dengan apendisitis akut. Keadaan ini
biasanya tidak disertai dengan demam (Purnomo, 2011).
Hiperemia reaktif pada kulit skortum juga dapat terlihat. Pada umumnya,
berkurangnya aliran darah ke testis tidak terjadi dengan cepat atau komplit; akan tetapi,
terdapat penurunan bertahap seiring dengan meningkatnya edema. Oleh karena itu,
bukan hanya tidak terdapatnya aliran darah yang menjadi temuan diagnostik yang
penting, tetapi juga menurunnya aliran darah pada salah satu sisi skrotum dibandingkan
sisi kontralateral yang normal (Gourtsoyiannis dan Ros, 2005).

G. DIAGNOSIS

Aspek yang paling penting dalam menentukan diagnosis yang tepat adalah
anamnesis dan pemeriksaan fisik (Kandeel, 2007). Jika pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik telah begitu mengarahkan kepada torsio testis, dianjurkan untuk
segera dilakukan evaluasi bedah pada pasien (Perkin, et al, 2008).
Anamnesis mengenai durasi gejala, jenis dan kualitas nyeri, apakah terdapat
gejala mual dan muntah, onset terjadinya gejala, aktivitas yang sedang dilakukan ketika
gejala pertama kali muncul, dan respon pasien terhadap semua gejala, penting untuk
ditanyakan. Riwayat trauma juga penting, tetapi tidak harus ada pada torsio testis.
Riwayat operasi testis sebelumnya juga menurunkan kemungkinan terjadinya torsio
testis (Kandeel, 2007).
Riwayat nyeri skrotum sebelumnya yang terjadi tiba-tiba dan cepat teratasi
mengarahkan pada kemungkinan torsio intermiten. Lebih dari 50% pasien torsio testis
mengalami episode nyeri testis akut sebelumnya. Riwayat keluarga sebelumnya dapat
mendukung diagnosis karena familial torsion pada testis juga telah banyak dilaporkan
(Kandeel, 2007).
Pada pemeriksaan fisik, testis yang terpuntir terlihat tertarik atau terangkat pada
skrotum (Perkin, et al, 2008). Pada palpasi, dapat teraba puntiran, axis testis yang
abnormal, posisi epididimis pada skrotum yang abnormal, atau axis testis yang
abnormal jika dibandingkan dengan testis kontralateralnya. Terdapatnya salah satu dari

7
tanda tersebut sangat mendukung diagnosis torsio testis. Tidak adanya refleks
kremaster juga menunjukkan torsio testis, akan tetapi hal tersebut normal pada anak
laki-laki berumur kurang dari 30 bulan (Baren, 2008).
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada torsio testis dapat tidak cukup untuk
menentukan diagnosis torsio testis. Hal tersebut disebabkan oleh posisi epididimis
dapat terlihat normal pada rotasi 360º atau 720º (Baren, 2008).
Jika temuan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak meyakinkan untuk
menegakkan diagnosis, segera diindikasikan pemeriksaan radiologis skintigrafi, USG,
atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Baren, 2008). Pemeriksaan tersebut berguna
untuk membedakan torsio testis dengan keadaan akut skrotum yang lain. Pemeriksaan
sedimen urin tidak menunjukkan adanya leukosit dalam urin dan pemeriksaan darah
tidak menunjukkan tanda inflamasi, kecuali pada torsio testis yang sudah lama dan tidak
mengalami peradangan steril (Purnomo, 2011).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. Pemeriksaan Radiologi

Pencitraan harus dilakukan hanya dalam kasus yang samar-samar di mana


kecurigaan untuk torsi testis rendah. Setiap pasien dengan riwayat dan pemeriksaan
fisik yang mencurigakan untuk torsio testis harus menjalani operasi segera karena
kasus ini merupakan gawat darurat (Erika, 2006).
Pemeriksaan penunjang radiologis yang dapat dilakukan seperti skintigrafi,
USG, atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) (Baren, 2008) Pemeriksaan
radiologis tersebut akan dijelaskan masing-masingnya dibawah ini :
1. USG
Modalitas yang paling umum digunakan adalah Doppler ultrasonografi yang
merupakan Gold Standar untuk pemeriksaan torsio testis yang memiliki
sensitivitas 82-90% dan spesifisitas 100%. (Purnomo,2011).
Aliran darah Intratesticular dapat divisualisasikan dengan Doppler
ultrasonografi. Pada pasien dengan torsio testis, aliran darah di testis akan
menurun atau tidak ada dibandingkan dengan testis yang tanpa gejala.. Pada
awalnya, testis mungkin telah menurun ekogenisitasnya, meskipun
ekogenisitasnya dapat meningkat jika telah terjadi infark (Erika, 2006).

8
Doppler ultrasonografi juga dapat membedakan antara iskemia dan
inflamasi. Pada pasien dengan peradangan, seperti orchitis, aliran darah
intratesticularnya akaan meningkat. Pada epididimitis, testis dalam ukuran
normal, tapi epididimis menjadi besar. Ultrasonografi juga dapat membedakan
kelainan testis (misalnya, torsio, tumor) dari kelainan diluar testis (misalnya,
hidrokel, abses, hematoma). (Erika, 2006)

Gambar 2.4. Gambaran normal pembuluh darah intratestikular pada color Doppler
Sedangkan gambran torsio testis dapat dilihat pada gambara dibawah ini
dimana akan terliihat kurangnya atau bahkan tidak adanya aliran darah ke testis
(Sorin, et al, 2010):

Gambar 2.5. Torsio testis akut. Pengurangan aliran darah komplit intratestikular.

Gambar 2.7. Torsio komplit dengan aliran kapsular.

9
2. MRI
CDUS merupakan modalitas pencitraan terbaik untuk mengevaluasi awal
kelainan pada skrotum atau testis, termasuk torsio testis tetapi ternyata banyak
positif palsu dari CDU terutama pada torsio testis inkomplit sehingga dibutuhkan
modalitas lainnya seperti MRI (Gotto, et al, 2010).

I. DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding pada torsio testis diantaranya adalah torsio apendiks,


epididimis, trauma testis, tumor, polyorchidism, hernia inguinal inkarserata, purpura
Henoch-Schonlein, hidronefrosis akut, funikulitis, dan edema skrotum idiopatik.
Purpura Henoch-Schonlein merupakan vaskulitis yang dapat melibatkan skrotum dan
dapat menyerupai torsio testis (Kandeel, 2007).
Hilangnya nyeri dengan mengangkat skrotum (tanda Prehn), menyingkirkan
kemungkinan epididimitis. Piuria yang lebih menunjukkan kemungkinan epididimitis,
dapat terjadi pada 30% pasien torsio testis. Satu-satunya pemeriksaan fisik yang dapat
menyingkirkan kemungkinan diagnosis torsio testis adalah terdapatnya refleks
kremaster (Baren, 2008).

J. TERAPI

Penatalaksanaan torsio testis terbagi atas dua cara yaitu tanpa pembedahan dan dengan
tindakan pembedahan :

a. Non Operasi

Pada beberapa kasus torsio testis, detorsi manual dari funikulus spermatikus
dapat mengembalikan aliran darah (Purnomo, 2003).
Detorsi manual adalah mengembalikan posisi testis ke asalnya, yaitu dengan
jalan memutar testis ke arah berlawanan dengan arah torsio. Karena arah torsio
biasanya ke medial, maka dianjurkan untuk memutar testis ke arah lateral terlebih
dahulu, kemudian jika tidak ada perubahan, dicoba detorsi ke arah medial (Purnomo,
2011).

10
b. Operasi
Tindakan operasi ini dimaksudkan untuk mengembalikan posisi testis pada
arah yang benar (reposisi) dan setelah itu dilakukan penilaian viabilitas testis yang
mengalami torsio, mungkin masih viable (hidup) atau sudah mengalami nekrosis.
Jika testis masih hidup, dilakukan orkidopeksi (fiksasi testis) pada tunika dartos
kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral (Purnomo, 2011).
Orkidopeksi dilakukan dengan mempergunakan benang yang tidak diserap
pada 3 tempat untuk mencegah agar testis tidak terpuntir kembali, sedangkan pada
testis yang sudah mengalami nekrosis dilakukan pengangkatan testis (orkidektomi)
dan kemudian disusul orkidopeksi pada testis kontralateral. Testis yang telah
mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada dalam skrotum akan
merangsangterbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan
testis di kemudian hari (Purnomo, 2011).

K. PROGNOSIS

Bila dilakukan penangan sebelum 6 jam hasilnya baik, 8 jam memungkinkan


pulih kembali, 12 jam meragukan, 24 jam dilakukan orkidektomi. Viabilitas testis
sangat berkurang bila dioperasi setelah 6 jam.

L. KOMPLIKASI

Torsio testis dan spermatic cord akan berlanjut sebagai salah satu kegawat
daruratan dalam bidang urologi. Nekrosis tubular pada testis yang terlibat jelas terlihat
setelah 2 jam dari torsi. Keterlambatan lebih dari 6-8 jam antara onset gejala yang
timbul dan waktu pembedahan atau detorsi manual akan menurunkan angka
pertolongan terhadap testis hingga 55-85%. Putusnya suplai darah ke testis dalam
jangka waktu yang lama akan menyebabkan atrofi testis. Atrofi testikular dapat terjadi
dalam waktu 8 jam setelah onset iskemia. Insiden terjadinya atrofi testis meningkat bila
torsio telah terjadi 8 jam atau lebih. Komplikasi klinis dari TT adalah kesuburan yang
menurun dan hilangnya testikular apabila torsi tersebut tidak diperbaiki dengan cukup
cepat. Tingkat yang lebih ekstrim dari torsi testis mempengaruhi tingkat iskemia
testikular dan kemungkinan penyelamatan (Greenberg, 2005).
Komplikasi torsi testis yang paling signifikan adalah infark gonad. Kejadian ini
bergantung pada durasi dan tingkat torsi. Analisis air mani abnormal dan apoptosis

11
testikular kontralateral juga merupakan sekuele yang diketahui mengikuti ketegangan
testis. Oleh karena itu, resiko subfertilitas harus dibicarakan dengan pasien. Testis yang
telah mengalami nekrosis jika tetap dibiarkan berada di dalam skrotum akan
merangsang terbentuknya antibodi antisperma sehingga mengurangi kemampuan
fertilitas dikemudian hari. Komplikasi lain yang sering timbul dari torsio testis meliputi
yaitu hilangnya testis, infeksi, infertilitas sekunder, deformitas kosmetik (Graham,
2009).

12
BAB III

KESIMPULAN

Torsio testis adalah suatu keadaan dimana spermatic cord yang terpuntir yang

mengakibatkan oklusi dan strangulasi dari vaskularisasi vena atau arteri ke testis dan

epididymis. Torsio testis merupakan suatu kegawatdaruratan vaskuler yang murni dan

memerlukan tindakan bedah yang segera.

Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada torsio testis dapat tidak cukup untuk

menentukan diagnosis torsio testis. Jika temuan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik tidak

meyakinkan untuk menegakkan diagnosis, segera diindikasikan pemeriksaan radiologis

skintigrafi, USG, atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Pemeriksaan tersebut berguna

untuk membedakan torsio testis dengan keadaan akut skrotum yang lain.

Modalitas yang paling umum digunakan adalah Doppler ultrasonografi yang

merupakan Gold Standar. Aliran darah Intratesticular dapat divisualisasikan dengan Doppler

ultrasonografi. Pada pasien dengan torsio testis, aliran darah di testis akan menurun atau tidak

ada dibandingkan dengan testis yang tanpa gejala. Doppler ultrasonografi juga dapat

membedakan antara iskemia dan inflamasi. Pada pasien peradangan aliran darah

intratesticularnya akan meningkat. Pada epididimitis, testis dalam ukuran normal, tapi

epididimis menjadi besar. Ultrasonografi juga dapat membedakan kelainan testisdari kelainan

diluar testis. Pemeriksaan MRI ini juga dilakukan jika temuan klinis dan pemeriksaan USG

masih meragukan untuk menegakkan diagnosis.

Tatalakasana torsio testis dapat dilakukan dengan 2 metode yaitu detorsi manual atau

tanpa pembedahan dan dengan pembedahan atau operasi untuk reposisi testis yang terpluntir.

13
DAFTAR PUSTAKA

Baren JM. Pediatric Emergency Medicine. Philadelphia. Saunders Elseviers. 2008; 648-650.
Cassar S, Bhatt S, Paltiel HJ, Dogra VS. Role of Spectral Doppler Sonography in the
Evaluation of Partial Testicular Torsion. Journal of Diagnostic Medical Sonography.
2013;29: 225-231.
Dudea SM, Ciurea A, Chiorean A, Botar-Jid. Doppler Application in Testicular and Scrotal
Disease. 2010;12: 43-51.
Gotto GT, Chang SD, Nigro MK. MRI in the Diagnosis of Incomplete Testicular Torsion. The
British Journal of Radiology. 2010;83: 105-107.
Gourtsoyiannis NC, Ros PR. Radiologic-Phatologic Correlation from Head to Toe:
Understanding the Manifestations of Disease. Boston. Springer-Verlag. 2005; 566-568.
Kandeel FR. Male Reproductive Dysfunction: Pathophysiology and Treatment. New York.
Informa Healthcare USA, Inc. 2007; 166-167.
Norton JA, Barie PS, Bollinger RR, Chang AE, Lowry SF, Mulvihill SJ, et al. Pediatric
Surgery. New York. Springer Science+Bussiness Media, LLC. 2008; 679.
Perin RM. Pediatric Hospital Medicine : Textbook of Inpatient Management. 2nd Edition.
Philadelphia. Lippicott Williams & Wilkins, a Wolters Kluwer Bussiness. 2008; 665.
Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6. Jakarta.
EGC. 2005; 1381-1391.
Purnomo BB. Dasar-Dasar Urologi. Edisi 3. Jakarta. CV Sagung Seto. 2011; 233-236.
Ringdahl E, Teague L. Testicular Torsion. American Family Physician. 2006;74: 1739-1743.
Saleh O, El-Sharkawi MS, Imran MB. Scrotal Scintigraphy in Testicular Torsion: An
Experience at a Tertiary Care Centre. IMJM. 2012;11: 9-16.
Sjamsuhidajat R. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat – de Jong. Edisi 3. Jakarta. EGC. 2010;
916-917.
Sung KS, Setty BN, Castro-Aragon I. Sonography of Pediatric Scrotum on the Ts-Torsion
Trauma, and Tumors. American Journal of Roentgenology. 2012;198: 996-1003.
Sutton D. Textbook of Radiology and Imaging. 7th Edition. London. Churchill Livingstone.
2003; 1026-1027.
Tekgül S, Riedmiller H, Gerharz E, Hoebeke P, Kocvara R, Nijman R, Radmayr C, Stein R.
Guidelines on Paediatric Urology. European Society for Paediatric Urology. 2008; 14-
15.
William NS, Bulstrode CJK, O’Connell PR. Bailey & Love’s Short Practice of Surgery. 25th
Edition. London. Hodder Arnold. 2008; 1377-1380.

14
15

You might also like