You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hadist adalah segala apa yang berasal dari Nabi Muammad SAW
baik itu berupa perbuatan, perkataan, maupun ketetapan. Dengan
pengertian hadist tersebut, maka dapat dikatakan jika hadist termasuk
salah satu sumber hukum dalam ajaran agama islam.

Sebagai salah satu sumber hukum ajaran islam, hadist memiliki


kedudukan yang penting. Hadist adalah tempat untuk mempelajari
berbagai macam hukum berkaitan dengan hubungan sesama manusia,
akhlak terpuji, tata cara beribadah dan lain sebagainya.

Fungsi hadis bagi umat Islam adalah sebagai dasar hukum dan


menempatkannya pada tempat kedua setelah Al-Qur’an karena hadis
memperoleh dasar kebenarannya dari Al-Quran dan bimbingan dari Allah
SWT, yang selalu terjaga kebenarannya. Hadis mempunyai fungsi sebagai
penjelas dari Al-Quran yang masih bersifat umum, contohnya tentang tata
cara shalat, puasa, haji, dan lain-lain, menguatkan hukum-hukum yang
terdapat dalam Al-Quran. Contohnya: perintah melaksanakan shalat yang
bertujuan mencegah perbuatan keji dan munkar.

Kemudian, dikuatkan oleh hadis bahwa shalat adalah tiang agama,


barang siapa mendirikan shalat berarti dia mendirikan agama dan barang
siapa meninggalkannya berarti dia merusak agama, dan menetukan hukum
tersendiri. Contoh: Nabi menetapkan bahwa seorang muslim tidak boleh
mewariskan kepada seorang kafir dan sebaliknya orang kafir tidak
mewariskan kepada orang muslim.

1
Dari beberapa jenis hadist, salah satunya ada yang hadist gharib.
Hadits gharib secara kebahasaan bermakna menyendiri, atau jauh dari
kerabat-kerabatnya. Secara istilah Ibnu Shalah mendefinisikan hadis
gharib sebagai hadis yang menyendiri sebagian rawinya, disifati dengan
asing, begitupun dengan hadits yang menyendiri di dalamnya sesuatu yang
tidak di sebutkan di selainnya. Entah itu pada matan atau sanad.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas, dapat ditarik beberapa rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan hadist?
2. Apa yang dimaksud dengan hadist gharib?
3. Apa saja contoh dari hadist gharib?
4. Apa saja pembagian dari hadist gharib?
5. Bagaimana hukum hadist gharib itu sendiri?

C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1. Mengetahui dan memahami pengertian dari hadist dan hadist gharib.
2. Mengetahui contoh dan pembagian hadist gharib.
3. Mengetahui hukum hadist gharib.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengetian Hadist
Hadits merupakan salah satu panduan yang digunakan oleh umat Islam
dalam melaksanakan berbagai macam aktivitas baik yang berkaitan dengan
urusan dunia maupun aktivitas yang berkaitan dengan urusan akhirat. Hadits
merupakan sumber hukum agama Islam yang kedua setelah kitab suci Al –
Qur’an. Jika suatu perkara tidak dijelaskan di dalam Al – Qur’an, maka umat
Islam akan menggunakan sumber yang kedua yaitu Hadits.

Istilah hadits pada dasarnya berasal dari bahasa Arab yaitu dari kata
“Al-hadits” yang artinya adalah perkataan, percakapan atau pun berbicara. Jika
diartikan dari kata dasarnya, maka pengertian hadits adalah setiap tulisan yang
berasal dari perkataan atau pun percakapan Rasulullah Muhammad SAW.
Dalam terminologi agama Islam sendiri, dijelaskan bahwa hadits merupakan
setiap tulisan yang melaporkan atau pun mencatat seluruh perkataan, perbuatan
dan tingkah laku Nabi Muhammad SAW.

Seperti yang telah dijelaskan di atas, hadits merupakan salah satu


panduan yang dipakai oleh umat islam dalam melaksanakan aktivitas atau pun
mengambil tindakan. Dalam definisi di atas hadits mencakup empat hal, yaitu;
Perkataan, perbuatan, taqrir dan sifat-sifat atau keadaan Nabi saw. Hadits
dikenal juga dengan istilah-istilah lain, seperti; al Khabar, al Atsar dan as
Sunnah. Kedudukan Hadits dalam IslamAl Sunnah atau al Hadits memiliki dua
fungsi, yaitu sebagai;
a. Mubayyin
Yaitu sebagai penjelas hal-hal yang disebutkan secara global dan
umum dalam al Qur’an. Seperti; penjelasan tentang tatacara shalat, puasa,
haji dsb. dan mengecualikan hal-hal yang umum dalam al Qur’an, seperti;

3
Ahli Warits yang berhak menerima warits. Hal ini sebagaimana disebutkan
dalam al Qur’an:
َ‫َّاس َم ا نُ ِّز َل ِإلَي ِْه ْم وَ لَ َعلَّ ُه ْم يَتَ َف َّكرُ ون‬ ‫َأ‬
ِ ‫ات وَ الزُّ بُ ِر ۗ وَ ْنزَ ْلنَ ا ِإلَ ْي كَ ال ِ ّذ ْكرَ ِلتُبَ ِيّنَ ِللن‬
ِ َ‫ِبا ْلبَ ِيّن‬
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab, agar kamu menerangkan
kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan.

b. Sumber Hukum tersendiri

As Sunnah sebagai sumber hukum tersendiri dalam hal-hal yang


tidak dibahas dalam al Qur’an baik secara global maupun terperinci,
seperti; hukum haramnya menikahi dengan polygami ponakan dan
bibinya, haramnya binatang yang bertaring, bercakar dsb. berdasarkan:
1. Al Qur’an:
Sebagaimana firman Allah SWT:
ْ‫س و َل وَ ُأو ِلي اَأْلمْ ِر ِم ْن ُك ْم ۖ َف ِإن‬
ُ َّ‫يَ ا َأيُّ َه ا الَّذِينَ آ َمنُ وا َأ ِطي ُع وا اللَّ َه وَ َأ ِطي ُع وا الر‬
َ‫شيْ ٍء َفرُ دُّو ُه ِإلَى اللَّ ِه وَ ال َّرسُو ِل ِإنْ ُك ْنتُ ْم تُْؤ ِمنُونَ ِباللَّ ِه وَ ا ْليَ وْ ِم اآْل ِخ ِر ۚ ٰ َذ ِل ك‬
َ ‫تَنَازَ عْ تُ ْم ِفي‬
‫خَ ْي ٌر وَ َأ ْحسَنُ تَْأ ِوياًل‬
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.( QS an Nisa; 59)
Dan firmanNya:

‫ُم َع ْن ُه‬ ُ ‫ول َف‬


ْ ‫خ ُذو ُه َو َما نَ َه اك‬ ُ ‫س‬ُ ‫الر‬
َّ ‫ُم‬
ُ ‫َو َما آتَ اك‬
‫َفان َت ُهوا‬
Artinya: Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan
apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah

4
kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.
(QSalHasyr:7)

2. Al Hadits
Sebagaiman sabda Rasulullah SAW:
Ingatlah sesungguhnya aku diberi al Kitab dan (wahyu)
sebangsanya bersamanya. Akan datang (suatu masa) ada seorang laki-
laki yang kekenyangan diatas sofanya memberi fatwa kepada kalian
dengan al Qur’an ini (semata). Maka apa saja yang kalian dapatkan
dalam al Qur’an dari yang halal maka halakanlah, dan apa yang
kalian temukan di dalamnya dari yang haram maka haramkanlah.
Ingatlah tidak halal buat kalian keledai piaraan dan setiap yang
bertaring dari binatang buas dan barang yang tercecer milik seorang
kafir mu’ahad kecuali jika dia merelakannya..HR Abu Daud dari
Abdurrahman bin Auf.

Demikian juga taqrir Rasulullah saw terhadap Muadz ibn Jabal


ketika beliau bertanya; jika ternyata tidak ada (yang bisa kamu rujuk) dalam
al Qur’an? Dia menjawab: Aku akan merujuk kepada as Sunnah.

B. Pengertian Hadits Gharib


Hadits gharib secara kebahasaan bermakna menyendiri, atau jauh dari
kerabat-kerabatnya. Secara istilah Ibnu Shalah mendefinisikan hadis gharib
sebagai hadis yang menyendiri sebagian rawinya, disifati dengan asing,
begitupun dengan hadits yang menyendiri di dalamnya sesuatu yang tidak di
sebutkan di selainnya. Entah itu pada matan atau sanad.

Mahmud Thahhan menyebutnya sebagai hadis yang diriwayatkan oleh


seorang perawi, entah itu terjadi pada setiap tingkatan (thabaqat), atau di
salah satu dari sekian tingkatan, meski hanya terjadi pada satu tingkatan saja.

5
Dalam bait manzhumah-nya, al-Baiquny menjelaskan makna hadis gharib
dengan ungkapan :

‫و قل غريب ما روى راو فقط‬

Dan katakanlah : bahwa yang dimaksud dengan hadis gharib adalah


hadis yang diriwayatkan oleh seorang saja.

Hadis gharib adalah bagian dari hadis ahad, yakni hadis yang
diriwayatkan oleh segelintir perawi saja pada setiap tingkatannya. Kebalikan
dari ahad adalah hadis mutawatir, yakni hadis yang diriwayatkan oleh banyak
perawi pada setiap tingkatannya melebihi 10 perawi.

Imam-imam qurra’ yang berjumlah tujuh atau biasa disebut dengan


imam qira’ahsab’ah adalah para Imam qurra’yang paling masyhur diantara
para Imam qurra’ yang lain. Diantara ketujuh imam itu ada salah satu
imam qira’ah yang paling banyak diikuti bacaannya. Beliau adalah Abu
Bakar Ashim bin Abi An-Najud atau yang lebih dikenal dengan nama Imam
Ashim. Imam Ashim berasal dari Kufah dan pernah berguru pada Imam Abu
Abdurrahman As-Sulami yang merupakan murid dari Sahabat Ali bin Abi
Thalib. Imam Abu Abdurrahman juga belajar Al-Qur’an dari Zurr bin
Hubaisy yang merupakan murid dari Abdullah bin Mas’ud.

Imam Ashim mengajarkan Al-Qur’an yang sanadnya berasal dari jalur


sahabat Ali bin Abi Thalib kepada muridnya yaitu Hafs bin Sulaiman (Hafs).
Sedangkan sanad yang berasal dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, beliau
mengajarkan kepada Abu Bakar bin Iyasy Syu’bah (Syu’bah). Para Ulama
yang masyhur pada masa tabi’in banyak yang pernah berguru kepada Imam
Ashim, diantaranya Hafs bin Sulaiman, Abu Bakar bin Iyasy Syu’bah, al-
A’masy, Nua’im bin Maisarah, dan Atha’ bin Abi Rabah.

Diantara murid-murid Imam Ashim tersebut hanya Hafs dan Syu’bah


yang paling masyhur dan menjadi perawi utama. Qira’ah Imam Ashim

6
riwayat Hafs mulai berkembang dan menyebar luas pada masa pemerintahan
Turki Utsmani yang didukung oleh banyaknya cetakan Al-Qur’an dari Arab
Saudi sampai menyebar ke seluruh dunia, waktu penyebarannya terutama
pada musim-musim haji. 

Gharib menurut bahasa artinya tersembunyi atau samar, sedangkan


menurut istilah Ulama qurra’, gharib artinya sesuatu yang perlu penjelasan
khusus dikarenakan samarnya pembahasan atau karena peliknya
permasalahan baik dari segi huruf, lafadz, arti maupun pemahaman yang
terdapat dalam Al-Qur’an. Adapun bacaan-bacaan yang
dianggap gharib (tersembunyi/samar) dalamqira’ah Imam Ashim riwayat
Hafs diantaranya adalah :  Imalah, Isymam,  Saktah, Tashil, Naql, Badal dan
Shilah.

Perbedaan bacaan-bacaan dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs


dengan Imam qira’ah yang lain adalah lebih pada letak bacaan-bacaan
tersebut. Berikut penjelasan tentang bacaan gharib menurut Imam Ashim
riwayat Hafs :  
1.)  Imalah
Imalah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz  ‫َأ َما َل‬ yaitu – ‫ ُل‬K‫َأ َما َل – يَ ِم ْي‬
ً‫ة‬KKَ‫ِإ َمال‬yang artinya memiringkan atau membengkokan, sedangkan menurut
istilah yaitu memiringkan fathah kepada kasrah atau
memiringkan alif kepada ya’. Bacaanimalah banyak dijumpai
pada qira’ah Imam Hamzah dan Al-Kisa’i, diantaranya pada lafadz-lafadz
yang diakhiri oleh alif layyinah, contoh: ‫دَى‬Kُ‫ ه‬،‫ ٰجى‬K‫ َس‬،‫قَ ٰلى‬ ‫الضُّ ٰحى‬,  . Sedangkan
pada riwayat Imam Hafs hanya ada satu lafadz yang harus dibacaimalah yaitu
pada lafadz ‫ َمجْ ٰرىهَا‬ dalam QS. Hud: 41 :

ْ ‫َوقَا َل ارْ َكب‬


ٰ ْ‫ُوا فِ ْيهَا بِس ِْم هَّللا ِ َمج‬
‫رىهَا َو ُمرْ ٰسهَٓا ۚ ِإ َّن َربِّى لَ َغفُو ٌر َّر ِحي ٌم‬

Dalam ilmu qira’ah, ada satu bacaan yang hampir mirip dengan

7
bacaan imalah, yaitu bacaan taqlil yang termasuk dalam qira’ah imam
Warsy. Khususnya pada lafadz yang berwazan ‫ فُعلى‬،‫ فِعلى‬،‫فَعلى‬, namun
bacaan taqlil lebih mendekati fathah seperti halnya bunyi suara “re” pada kata
“mereka”. 

Sebab-sebab di-Imalahkannya lafadz “‫ ” َمجْ ٰرىهَا‬diantaranya adalah untuk


membedakan antara lafadz “‫ ” َمجْ ٰرىهَا‬yang artinya berjalan di darat dengan
lafadz “‫ ” َمجْ ٰرىهَا‬yang artinya berjalan di laut. Dalam salah satu kamus bahasa
arab dijelaskan bahwa lafadz “‫ ” َمجْ ٰرىهَا‬berasal dari lafadz “‫”ج ٰرى‬
َ yang artinya
berjalan atau mengalir dan lafadz tersebut dapat dipakai dalam arti berjalan di
atas daratan maupun berjalan di atas lautan (air), namun kecenderungan
perjalanan di permukaan laut (air) tidak stabil seperti halnya di daratan.
Terkadang diterjang ombak kecil dan besar atau terhempas angin, sehingga
sangat tepat apabila lafadz “‫ ” َمجْ ٰرىهَا‬tersebut di-Imalahkan.

2.)   Isymam
Isymam artinya mencampurkan dammah pada sukun dengan
memoncongkan bibir atau mengangkat dua bibir. Dalam qira’ah riwayat
Hafs, Isymam terdapat pada lafadz “‫ ”اَل تَْأ َمنَّا‬yaitu pada waktu membaca lafadz
tersebut, gerakan lidah seperti halnya mengucapkan lafadz “‫ ”اَل تَْأ َمنُنَا‬sehingga
hampir tidak ada perubahan bunyi antara mengucapkan lafadz “‫ ”اَل تَْأ َمنَّا‬dengan
mengucapkan “‫”اَل تَْأ َمنُنَا‬. Dengan kata lain, asal dari lafadz “‫ ”اَل تَْأ َمنَّا‬adalah
lafadz “‫”اَل تَْأ َمنُنَا‬. Kalau diteliti lebih dalam, ternyata rasm utsmani hanya
menulis satu nun yang bertasydid. Ada pertanyaan muncul, dimana letak
dammahnya?sehingga untuk mempertemukan kedua lafadz tersebut dipilihlah
jalan tengah yaitu bunyi bacaan mengikuti rasm, sedangkan gerakan bibir
mengikuti lafadz asal.

Dalam qira’ah imam Ibnu Amir riwayat As-Susy,


bacaan isymam dikenal dengan sebutan idgham kabir, yaitu bertemunya dua
huruf yang sama dan sama-sama hidup lalu melebur menjadi satu huruf

8
bertasydid. Dalam qira’ahImam Ashim riwayat Hafs, hanya dikenal satu
idgham saja, yaitu idgham shaghiryakni mengidghamkan dua huruf yang
sama yang salah satunya mati. Menurut bahasa, bahwa lafadz “‫ ”اَل تَْأ َمنَّا‬dapat
difahami berasal dari lafadz “‫ ”اَل تَْأ َمنُنَا‬yang terdapat dua nun yang
diidharkan, nun yang pertama di rafa’kan dan yang kedua
dinashabkan. Nun yang pertama dirafa’kan karena termasuk fi’il
mudlari yang tidak kemasukan “amil nawashib” maupun jawazhim.

3.)  Saktah
ُ ‫ ُك‬K‫يَ ْس‬  ‫ ُكوْ تًا‬K‫ُس‬
Saktah menurut bahasa berasal dari wazan lafadz   َ‫كَت‬K‫ َس‬  - ‫ت‬
– yang artinya diam, tidak bergerak. Sedangkan menurut istilah
ilmu qira’ah, saktahialah berhenti sejenak sekedar satu alif tanpa bernafas.
Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs bacaan saktah terdapat di empat
tempat yaitu : QS. Al-Kahfi: 1, QS. Yaasiin: 52, QS. Al-Qiyamah: 27 dan
QS. Al-Muthafifin: 14.

Saktah pada QS. Al-Kahfi: 1, menurut segi kebahasaan susunan


kalimatnya sudah sempurna. Dengan kata lain, jika seorang qari’ membaca
waqaf pada lafadz ‫ ِع َوجًا‬, sebenarnya sudah tepat karena sudah termasuk waqaf
tamm. Namun apabila dilihat dari kalimat sesudahnya, ternyata ada
lafadz ‫قَيِّ َما‬ sehingga arti kalimatnya menjadi rancu atau kurang sempurna.

Lafadz ‫قَيِّ َما‬ bukanlah menjadi sifat/na’at dari lafadz ‫ ِع َوجًا‬, melainkan


menjadi halatau maf’ul bihnya lafadz lafadz ‫ ِع َوجًا‬. Apabila
lafadz ‫قَيِّ َما‬ menjadi na’atnya lafadz‫ ِع َوجًا‬ akan mempunyai arti : “Allah tidak
menjadikan al-Quran sebagai ajaran yang bengkok serta lurus”. Sedangkan
apabila menjadi hal atau maf’ul bih akan menjadi : “Allah tidak menjadikan
al-Quran sebagai ajaran yang bengkok, melainkan menjadikannya sebagai
ajaran yang lurus “. Menurut Ad-Darwisy, kata‫قَيِّ ًما‬ dinashabkan
sebagai hal (penjelas) dari kalimat ‫ َولَ ْم يَجْ َعلْ لَهُ ِع َوجًا‬  , sedang Az-Zamakhsyari
berpendapat bahwa kata tersebut dinashabkan lantaran

9
menyimpan fi’il berupa ” ُ‫ج َعلَه‬ “.
َ Berbeda juga dengan pendapat Abu Hayyan,
menurutnya kata ‫قَيِّ ًما‬ itu badal mufrad dari badal jumlah “‫ َولَ ْم يَجْ َعلْ لَهُ ِع َوجًا‬  “. 

Tidak mungkin seorang qari’ memulai bacaan (ibtida’) dari ‫قَيِّ ًما‬,


sebagaimana juga tidak dibenarkan meneruskan bacaan (washal) dari ayat
sebelumnya. Dengan pertimbangan alasan-alasan diatas, baik diwaqafkan
maupun diwashalkan sama-sama kurang tepat, maka diberikanlah
tanda saktah. Pada saktah  QS. Yaasiin: 52 di dalam kalimat: ‫هَ َذا‬ ‫سكتة‬ ‫ِم ْن َمرْ قَ ِدنَا‬
ُ‫رَّحْ َمن‬K‫ َد ال‬K‫ا َو َع‬KK‫ َم‬.  Menurut Ad-Darwisy lafadz ‫ َذا‬K‫ ٰه‬ itu mubtada’ dan khabarnya
adalah lafadz   ُ‫ َما َو َع َد الرَّحْ َمن‬ .

Berbeda halnya dengan pendapat Az-Zamakh syari yang


menjadikanlafadz ‫ ٰه َذا‬ itu na’at dari ‫ َمرْ قَ ِد‬,sedangkan ‫ َما‬ sebagai mubtada’ yang k
habarnya tersimpan, yaitu lafadz ‫حق‬ atau ‫ ٰه َذا‬. Dari segi makna, kedua alasan
penempatansaktah tersebut sama-sama tepat.

Pertama, orang yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan:


“Siapakah yang membangkitkan dari tempat tidur kami (yang) ini. Apa yang
dijanjikan Allah dan dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Kedua, orang
yang dibangkitkan dari kuburnya itu mengatakan: “Siapakah yang
membangkitkan kami dari tempat tidur kami. Inilah yang dijanjikan Allah dan
dibenarkan oleh para rasul ini pasti benar”. Dengan membaca saktah, kedua
makna yang sama-sama benar tersebut bisa diserasikan, sekaligus juga untuk
memisahkan antara ucapan malaikat dan orang kafir. 

Adapun lafadz ‫ َم ْن‬ dalam QS. Al-Qiyamah: 27 pada kalimat ‫ َرا‬ ‫سكتة‬ ‫َم ْن‬


ٍ  dan lafadz ْ‫بَل‬ dalam QS. Al-Muthafifin: 14 pada kalimat  َ‫ َران‬ ‫سكتة‬  ْ‫بَل‬ adalah
‫ق‬
untuk menjelaskan fungsi ‫ َم ْن‬ sebagai kata tanya dan fungsi  ْ‫بَل‬ sebagai penegas
dan juga untuk memperjelas idharnya lam dan nun, sebab
apabila lam dan nun bertemu denganra’ seharusnya dibaca idgham, namun
ٍ ‫ َرا‬ ‫كتة‬K‫ َم ْنس‬ dan  َ‫ َران‬ ‫كتة‬KK‫س‬  ْ‫ل‬Kَ‫ب‬ mempunyai
karena lafadz ‫ َم ْن‬ dan  ْ‫ل‬KKَ‫ب‬ dalam kalimat ‫ق‬
makna yang berbeda, maka perlu dipisahkan (diidharkan) dengan
waqaf saktah. 

10
Di samping itu, Imam Ashim juga menganjurkan membaca saktah,
pertama, pada akhir QS. Al-Anfaal:75 dan permulaan QS. At-Taubah.
Alasannya secara bahasa dipakai untuk memilah dua surat yang berbeda yang
mana permulaan surat At-Taubah tidak terdapat atau diawali dengan
basmalah. Kedua, pada QS. Al-Haqqah: 28-29 dimaksudkan untuk
َ َ‫هَّل‬.
membedakan dua ha’ yakni ha’ saktah ْ‫ َمالِيَه‬dan ha’ fi’il ‫ك‬

4.)  Tashil
Tashil menurut bahasa artinya memberi kemudahan, keringanan atau
menyederhanakan hamzah qatha’ yang kedua, adapun menurut
istilah qira’ahartinya membaca antara hamzah dan alif . Dalam qira’ah Imam
Ashim riwayat Hafs hanya ada satu bacaan tashil yaitu pada QS. Fusshilat: 44

... ‫ َو َع َربِ ٌّى‬ ‫ َءاَع َْج ِم ٌّى‬ ۖ ُ‫ت ٰا ٰيتُ ٓۥه‬ ۟ ُ‫َولَوْ َج َع ْل ٰنهُ قُرْ َءانًا َأ ْع َج ِميًّا لَّقَال‬
ْ َ‫وا لَوْ اَل فُصِّ ل‬

Alasan lafadz ‫ َءاَ ْع َج ِم ٌّى‬ dibaca tashil, karena apabila ada dua hamzah qatha’


bertemu dan berurutan pada satu lafadz, bagi lisan orang Arab merasa berat
melafadzkannya, sehingga lafadz tersebut bisa ditashilkan (diringankan).

5.)  Naql
Naql menurut bahasa berasal dari lafadz  ‫ ُل – نَ ْقاًل‬K ِ‫ل – يَ ْنق‬K
َ Kَ‫نَق‬ yang artinya
memindah, sedangkan menurut istilah ilmu qira’ah artinya memindahkan
harakat ke huruf sebelumnya. Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada
satu bacaannaql yaitu lafadz ‫ ُم‬KKK‫س ااْل ِ ْس‬
َ ‫بِْئ‬ pada QS. Al-Hujurat: 11. Alasan
dibaca naql pada lafadz ‫ااْل ِ ْس ُم‬ adalah karena adanya dua hamzah washal, yakni
hamzah al ta’rif dan hamzah ismu yang mengapit lam, sehingga kedua
hamzah tersebut tidak terbaca apabila disambung dengan kata sebelumnya.
Faidahnya bacaan naqlialah untuk memudahkan dalam mengucapkannya atau
membacanya.

6.)  Badal (Mengganti)
Badal menurut bahasa artinya mengganti, mengubah, sedangkan
maksudbadal disini adalah mengganti huruf hijaiyah satu dengan

11
huruf hijaiyah lainnya. Diantara lafadz-lafadz yang di badal dalam Al-Qur’an
menurut Imam Ashim riwayat Hafs yaitu :

a. Badal ‫ء‬ dengan )‫ت اْئتُوْ نِ ْي‬


ِ ‫(فِي السَّمٰ ٰو‬ ‫ي‬
Yaitu mengganti hamzah mati dengan ya’, sebagian besar
imam qira’ahsepakat mengganti hamzah qatha’ yang tidak menempel dengan
lafadz sebelumnya dan jatuh sesudah hamzah washal dengan alif layyinah (
‫)ى‬. Contoh pada QS. Al-Ahqaf : 4,

ٍ ۢ َ‫ت ۖ ٱْئتُونِى بِ ِك ٰت‬


…‫ب‬ ٌ ۭ ْ‫…َأ ْم لَهُ ْم ِشر‬
ِ ‫ك فِى ٱلسَّمٰ ٰو‬

Cara membacanya, yaitu apabila seorang qari’ membaca waqaf pada lafadz (


ِ ‫ ٰ َم ٰ َو‬KK‫ٱلس‬
‫ت‬ ْ ‫مٰ ٰو‬KK‫ٱلس‬
َّ ‫ )ۖ فِى‬maka huruf ta’ mati dan hamzah mati diganti ya’  (ۖ ‫ت‬ َّ ‫فِى‬
‫اِ ْيتُونِى‬ ) sedangkan apabila dibaca washal tidak ada perubahan.

ُۜ ‫ويَب‬ dan 
b.  Badal ‫ص‬ dengan ‫س‬ (ُ‫ْصط‬ َ ْۜ َ‫ب‬ )
ً‫صطَة‬
Yaitu mengganti shad dengan siin, sebagian imam qira’ah termasuk
ُۜ ‫ َويَب‬ dalam QS. Al-
Imam Ashim mengganti ‫ص‬ dengan ‫س‬ pada lafadz ُ‫ط‬KKK‫ْص‬
ْۜ َ‫ب‬ dalam QS. Al-A’raf : 69. Sebab-sebab
Baqarah : 245 dan lafadz ً‫طَة‬KK‫ص‬
digantinya hurufshad dengan siin pada kedua lafadz tersebut karena
mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ُ‫بَ َسطَ – يَ ْب ُسط‬.

Sedangkan pada lafadz ‫ ْي ِط ٍر‬KKKK‫ص‬


َ ‫بِ ُم‬ dalam QS. Al-Ghasyiyah : 22,
huruf ‫ص‬tetap dibaca shad karena sesuai dengan tulisan dalam mushaf (rasm
utsmani) dan menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’)yang
mempunyai sifat isti’la’. Adapun pada lafadz  َ‫صي ِْطرُون‬ ْ
َۣ ‫ٱل ُم‬ dalam QS. At-Thur :
37, huruf ‫ص‬ boleh tetap dibaca shad dan boleh dibaca siin karena, pertama,
mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ‫ ْي ِط ُر‬KKKKK‫ ْيطَ َر – ي َُس‬KKKKK‫س‬ ,
َ kedua,
menyesuaikan sifat ithbaq dengan huruf sesudahnya (tha’) yang mempunyai
sifat isti’la’.

7.)  Shilah 

12
Menurut ijma’ para ulama qurra’, bahwa apabila ada ha’ dlamir yang
tidak diawali dengan huruf mati, maka ha’ dlamir tersebut harus dibaca
panjang dan perlu ditambahkan huruf mad setelahnya, alasannya untuk
menguatkan huruf ha’ dlamir tersebut karena tidak alasan yang
mengharuskan membuang huruf setelah ha’ dlamir ketika huruf sebelumnya
hidup (berharakat). Namun para ulama qurra’ kecuali Ibnu Katsir kurang
senang menggabungkan dua huruf mati yang dipisah oleh huruf lemah (ha’),
sehingga mereka membuang huruf mad dan memanjangkan ha’ dlamirnya,
contoh ‫ ِه‬K ِ‫ ب‬،ُ‫ه‬K َ‫ل‬, ini adalah madzhab imam Sibawaih. Sedangkan apabila ha’
dlamir tersebut diawali dengan huruf yang mati (sukun) maka harus dibaca
pendek, contoh ‫ ِإلَ ْي ِه‬،ُ‫ ِم ْنه‬.

Dalam qira’ah Imam Ashim riwayat Hafs ada satu ha’ dlamir yang


tetap dibaca panjang walaupun diawali dengan huruf mati, yaitu pada
kalimat ‫ه ُمهَانًا‬Kٖ K‫ ْد فِ ْي‬K ُ‫ويَ ْخل‬dalam
َ QS. Al-Furqan : 69. Pada masalah ini, Imam
Ashim riwayat Hafs sama bacaannya dengan Ibnu Katsir, yakni
membaca shilah ha’ (‫فِي ْٖه‬ ). Karena diketahui bahwa ha’ termasuk huruf lemah
seperti halnya hamzah, sehingga apabila ha’berharakat kasrah, maka sebagai
ganti dari wawu mati adalah ya’ dimaksudkan untuk menguatkan huruf ha’,
sehingga menjadi ‫فِ ْي ِهي‬  . Dalam literatur orang Arab sendiri jarang sekali
ditemui wawu mati yang diawali kasrah. 

Alasan ha’ dibaca panjang pada lafadz ‫فِي ْٖه‬ dalam QS. Al-Furqan : 69


adalah untuk mengembalikan pada asal lafadznya, yaitu ‫ـه‬ berasal dari
lafadz ‫ه َُو‬ dan ketika disambung dengan lafadz ‫فِ ْي‬ akan menjadi ‫فِ ْيهُ َو‬ , namun
karena ha’ dlamirtersebut diawali dengan ya’ mati yang sebenarnya identik
dengan kasrah.

Sehingga harakat ha’ perlu disesuaikan dengan harakat sebelumnya


dan merubah huruf mad berupa wawu menjadi ya’ untuk menyesuaikan
dengan kasrah maka menjadi ‫فِ ْي ِهي‬ dan huruf mad berupa ya’ dirubah dengan
kasrah berdiri, jadilah lafadz ‫فِي ْٖه‬ .

13
Ada juga yang menyebutkan bahwa ha’ yang terdapat pada
lafadz ‫ه‬Kٖ K‫فِ ْي‬ dalam QS. Al-Furqan : 69 adalah ha’ khafdli artinya ha’ panjang
yang berfungsi merendahkan, hal ini sesuai dengan konteks ayat yang
menghendaki dipanjangkannya huruf ha’ dlamir tersebut.

Ada juga ha’ dlamir yang dibaca pendek walaupun diawali dengan


huruf mati yaitu dengan membaca ha’ dlamir berharakat dammah
َ ْ‫يَر‬
tanpa shilah. Lafadz-lafadz tersebut diantaranya terdapat pada lafadz ُ‫ه‬K‫ض‬
‫لَ ُك ْم‬ dalam QS. Az-Zumar : 7. Alasan dibaca pendek ha’ dlamir berharakat
dammah pada lafadz ‫هُ لَ ُك ْم‬KK‫ض‬
َ ْ‫يَر‬ dan lafadz-lafadz sejenisnya adalah untuk
mengembalikan pada rasm mushaf yang tidak ada wawu madnya sesudah ha’
dlamir.

Lain halnya dengan lafadz ُ‫ه‬KKKْ‫ َعلَي‬ dalam QS. Al-Fath : 10, disini


terdapat ha’ dlamir yang dibaca dammah walaupun jatuh setelah ya’ mati.
Hal ini terkait dengan asbabunnuzul ayat tersebut yang intinya tentang sifat
memenuhi janji setia kepada Nabi dan berjihad di jalan Allah. Sifat
memenuhi janji tersebut merupakan sifat yang luhur mulia dan luhur (rif’ah).
Dan penempatan harakat dammah pada lafadz ُ‫ه‬KKKْ‫ َعلَي‬ memberikan nuansa
kemuliaan dan keagungan sifat (akhlak). Karena suasana sosiologis dan
keberadaan lafadz tersebut berada pada ayat yang menunjukkan kemuliaan
dan keluhuran. Sehingga ada ulama yang menyebutkan bahwa ha’
dlamir tersebut disebut sebagai ha’ rif’ah (ha’keluhuran).

C. Contoh hadits gharib


Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari :
‫ما‬
َ َّ‫ ِإن‬ :‫ول‬
ُ ‫م يَ ُق‬ َ َّ‫س ل‬َ ‫ه َو‬ ِ ‫ص لَّى اللَّ ُه َعلَ ْي‬ ِ َّ‫ل الل‬
َ ‫ه‬ َ ‫س و‬ ُ ‫ أن َر‬:‫عن عمر ابن الخط اب‬
‫يب َها َأ ْو ِإلَى‬ ُ ‫ص‬ِ ‫ج َر ُت ُه ِإلَى ُد ْنيَا ُي‬ْ ‫ه‬ِ ‫ت‬ ْ َ‫ن َكان‬ َ ‫ل ا ْم ِرٍئ َما نَ َوى َف‬
ْ ‫م‬ ّ ِ ‫ما لِ ُك‬
َ َّ‫ت َوِإن‬
ِ ‫ال بِال ِنّيَّا‬
ُ ‫م‬َ ‫اَأْل ْع‬
ِ ‫ج َر ِإلَ ْي‬
‫ه‬ َ ‫ها‬ َ ‫ج َر ُت ُه ِإلَى َما‬ ْ ‫ح َها َف ِه‬ُ ِ‫ا ْم َرَأ ٍة يَ ْنك‬

Dari Umar bin Khattab bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam


bersabda: “Semua perbuatan tergantung niatnya, dan (balasan) bagi tiap-

14
tiap orang (tergantung) apa yang diniatkan; Barangsiapa niat hijrahnya
karena dunia yang ingin digapainya atau karena seorang perempuan yang
ingin dinikahinya, maka hijrahnya adalah kepada apa dia diniatkan”

Hadits ini gharib. Namun, ke-gharib-annya hanya terletak pada sahabat


saja, akan tetapi setelah itu terjadi penyebaran secara besar-besaran

D. Pembagian Hadits Gharib


Mahmud Thahhan dalam taysir mustalah al-hadis mengatakan
bahwa hadis gharib dari segi tempat penyendiriannya dibagi menjadi dua :

Pertama, Gharib Mutlaq : yaitu hadits yang ke-gharib-an sanadnya


terdapat pada pangkal sanad (yakni sahabat), atau hadits yang menyendiri
dengan periwayatan satu orang perawi saja di ujung sanad.

Contohnya adalah hadits tentang niat (Innamal a’malu bi an-


Niyyat). Pada tingkat sahabat hanya seorang perawi saja, yakni Umar bin
Khattab, namun setelah itu mulai tersebar dan menjamur perawi yang
meriwayatkan hadits tersebut. Umar bin Khattab disini adalah
sebagai tharfu sanad/aslu sanad, ujung sanad.

‫حا بِي‬
َ ‫ص‬ ِ ‫ه َوطَ َر َف ُه الَّ ِذي فِ ْي‬
َّ ‫ه ال‬ ُ ‫الس َن ِد‬
َّ ‫ل‬ ْ ‫س َن ِد ِه َوَأ‬
ِ ‫ص‬ َ ‫ل‬ ْ ‫ت ا ْل َغ َربَ ُة فِي َأ‬
ِ ‫ص‬ ِ َ‫ه َو َما َكان‬
ُ

“Hadits yang Gharabah-nya (perawinya satu orang) terletak pada asal


sanad. Asal sanad adalah ujung sanad yaitu seorang sahabat.”
Shahabat dinamakan asal sanad, karena merupakan sumber utama dalam
matarantai hadits. Jika sebuah hadits diriwayatkan itu hanya dari satu
orang shahabat, maka termasuk gharib mutlaq. Contoh hadits Nabi Saw. :

‫ل ا ْم ِرٍئ َما نَ َوى‬


ّ ٍ ‫ما لِ ُك‬
َ َّ‫ت َوِإن‬
ِ ‫ال بِاال ِنّيَا‬
ُ ‫م‬َ ‫ما اَأْل ْع‬
َ َّ‫ِإن‬

Hadits diatas diriwayatkan oleh sahabat Umar bin Khattab langsung dari
Nabi saw., dan dari Umar diriwayatkan oleh Alqamah bin Waqqash Al-

15
Laitsi, kemudian Muhammad bin Ibrahim, kemudian Yahya bin Sa’id Al-
Khudri. Dengan demikian hadits ini dikatakan Hadits Gharib Mutlak,
karena hanya sahabat Umar bin Khattab yang meriwayatkannya, tidak ada
sumber lain kecuali dari beliau.

Kedua, Gharib Nisbi : yaitu hadits yang letak ke-gharib-an


sanadnya ada di tengah-tengah sanad, atau perawinya lebih banyak dari
pada yang meriwayatkan pada ujung sanad.

Misalnya adalah hadits dari Malik dari Zuhri dari Anas ra


bahwasanya Nabi Saw memasuki kota Makkah dengan al-Mighfaru.
(Sejenis tutup kepala) (HR. Bukhori-Muslim) Sebab penamaannya dengan
Gharib Nisbi adalah karena ke-gharib-annya terjadi di orang-orang
tertentu.

َ ‫ت ا ْل َغ َربَ ُة فِي َأ ْث َنا ِء‬


‫س َن ِد ِه‬ ِ َ‫َما َكان‬

“Hadits yang terjadi gharabah (perawinya satu orang) ditengah sanad.”


Misalkan hadits yang diriwayatkan Anas r.a :

‫ك َة َو َعلَى‬ َّ ‫ل َم‬
َ ‫خ‬ َ َّ‫س ل‬
َ ‫م َد‬ ِ ‫هللا َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ُ ‫ص لَّى‬ َ ِّ‫هللا َع ْن ُه َأنَّ ال َّنب‬
َ ‫ي‬ ُ ‫ي‬ ِ ‫ن َأنَسٍ َر‬
َ ‫ض‬ ْ ‫َع‬
ِ ‫ه ا ْل‬
‫م ْغ َف ِر‬ ِ ‫س‬ ِ ‫َرْأ‬

“Dari Anas r.a bahwa Nabi Saw masuk ke kota Makkah diatas kepalanya
mengenakan igal.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits tersebut dikalangan tabi’in hanya Malik yang meriwayatkannya
dari Az-Zuhri. Boleh jadi pada awal sanad dan akhir sanad lebih dari satu
orang, namun ditengah-tengahnya terjadi kesendirian, artinya hanya
seorang saja yang meriwayatkannya. Gharabah Nisbi ini terbagi menjadi 3
macam, yakni sebagai berikut :
a)Muqayyad bi ats-tsiqah
Ke-gharib-an perawi hadits dibatasi pada sifat ke-tsiqah-an (kepercayaan)
seorang atau beberapa orang perawi saja, misalnya:

16
‫حى‬ ْ ‫م َك انَ َي ْق َرُأ ق فِي اَأْل‬
َ ‫ض‬ َ َّ‫س ل‬ ِ ‫هللا َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ُ ‫ص لَّى‬ َّ ِ‫ن اَبِي َواقِ ٍد اَنَّ ال َّنب‬
َ ‫ي‬ ْ ‫َع‬
ْ ‫َوا ْل ِف‬
‫طرى‬

“Dari Abu Waqid bahwa Nabi Saw membaca surah Qaf dan Iqtarabat As-
Sa’ah pada shalat Idul adha dan Idul Fitri.”

Hadits diatas hanya diriwayatkan oleh Dhamrah bin Sa’id secara gharabah
(sendirian) dari Ubaidillah bin Abdullah dari Abu Waqid. Dikalangan para
perawi yang tsiqah tidak ada yang meriwayatkannya selain dia.

b)Muqayyad bil al-balad

Disebut sedemikian rupa karena suatu hadits diriwayatkan oleh penduduk


tertentu ysedang penduduk lain tidak meriwayatkannya. Misalkan hadis
yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang berasal dari Basrah saja :

َّ َ‫ة ا ْلكِ َتابِ َو َما تَي‬


‫س َر‬ َ ِ‫ُأ ِم ْرنَا َأنْ نَ ْق َرُأ بِ َفا ت‬
ِ ‫ح‬

“Kami diperintahkan agar membaca Al-Fatihah dan surah yang mudah


dari Al-Qur’an.”

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ath-Thayalisi dari


Hamman dari Abu Qatadah dari Abu Nadhrah dari Abu Sa’id yang mana
mereka adalah penduduk yang berasal dari Basrah.

c)Muqayyad al-rawi

Maksudnya adalah bahwa periwayatan suatu hadits dibatasi dengan perawi


hadits tertentu, misalnya hadits dari Sufyan bin Uyaynah dari Wa’il bin
Dawud dari putranya Bakar bin Wa’il dari Az-Zuhri dari Anas, bahwa:

‫م ٍر‬
ْ َ‫ق َوت‬
ٍ ‫س ِو ْي‬
َ ِ‫ص ِفيَّ َة ب‬ ْ َ‫م َأ ْو ل‬
َ ‫م َعلَى‬ َ َّ‫سل‬ ِ ‫هللا َعلَ ْي‬
َ ‫ه َو‬ ُ ‫صلَّى‬ َّ ‫اَنَّ ال َّن ِب‬
َ ‫ي‬

17
Hadits diatas diriwayatkan oleh Abu Dawud, At Tirmidzi, An Nasa’i dan
Ibnu Majah. Tidak ada yang meriwayatkannya dari Bakar selain Wa’il dan
tidak ada yang meriwayatkannya dari Wa’il kecuali Ibnu Uyaynah.

Sedangkan hadits gharib ditinjau dari ke-gharib-an sanad dan


matannya, menurut sarjana hadis Nuruddin Itr, dibagi menjadi lima :

1. Gharib Matan Wa Isnadan : hadits yang tidak diriwayatkan kecuali


melalui satu sanad
2. Gharib isnadan la matnan : hadits yang masyhur kedatangannya
melalui beberapa jalur dari seorang rawi atau seorang sahabat atau
dari sejumlah rawi, lalu ada seorang rawi yang meriwayatkannya
dari jalur lain yang tidak masyhur
3. Gharib matnan la isnadan : hadits yang pada mulanya tunggal
(fard) kemudian akhirnya menjadi masyhur
4. Gharib ba’dul matni : hadits yang sebagian perawinya menyendiri
dengan tambahan redaksinya, dan menyelisihi matan yang
diriwayatkan oleh banyk perawi.
5. Gharib ba’dus sanad : Hadits yang letak keghariban nya hanya
pada sebagian sanad.

Pembagian Lain
Para ulama juga membagi hadits gharib dilihat dari sisi gharibnya sanad dan
matan, yaitu:

1. Hadits gharib matan dan sanad. Hadits yang matannya diriwayatkan


oleh seorang rawi saja.
2. Hadits gharib matan, bukan sanad. Seperti hadits yang matannya
diriwayatkan oleh sekelompok sahabat, namun diriwayatkan secara
menyendiri dari sahabat lainnya. Dalam perkara ini, Imam Tirmidzi
berkata, “Hadits ini gharib dilihat dari aspek ini.”

18
Kitab-Kitab yang Memuat banyak Hadits Gharib
Yaitu kitab-kitab yang di dalamnya terdapat banyak hadits gharib

1. Musnad Al-Bazzar
2. Mu’jam Al-Ausath At-Thabrani

Kitab-Kitab Hadits Gharib yang Populer


1. Gharaib Malik, karya Ad-Daruquthni
2. Al-Afraad, karya Ad-Daruqthni
3. As-Sunan allati Tafarrada bikulli Sunnatin minha Ahlu Baldatun, karya
Abu Daud As-Sijistani

E. Hukum Hadits Gharib


Amin Abdul Majid dalam Nadzariyat fi mustalah al-
hadis mengatakan pengklasifikasian menjadi gharib, masyhur, mutawatir
dan lain sebagainya bukan terkait pada status hukum penggunaan sebuah
hadis.

Pengklasifikasian hal tersebut bisa ditimbang dari pembahasan


yang mengurai hal tersebut, yakni pada bahasan hadis shahih, hasan, dan
dhoif. Pembagian kelompok menjadi ahad dan mutawatir lebih kepada
pembagian kelas jumlah perawi dalam periwayatan sebuah hadis. Maka
dari itu, dalam hadis gharib ada hadis shahih, hasan dan juga dhoif. Dalam
shahih bukhari dan muslim sekalipun terdapat beberapa hadis gharib,
namun hal tersebut tak mengusik kesahihan hadis-hadis yang ada dalam
kitan tersebut. Kendati demikian, beberapa ulama mewanti-wanti agat kita
tak mengambil hadis-hadis yang gharib tersebut.

19
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Istilah hadits pada dasarnya berasal dari bahasa Arab yaitu dari
kata “Al-hadits” yang artinya adalah perkataan, percakapan atau pun
berbicara. Jika diartikan dari kata dasarnya, maka pengertian hadits adalah
setiap tulisan yang berasal dari perkataan atau pun percakapan Rasulullah
Muhammad SAW. Dalam terminologi agama Islam sendiri, dijelaskan
bahwa hadits merupakan setiap tulisan yang melaporkan atau pun
mencatat seluruh perkataan, perbuatan dan tingkah laku Nabi Muhammad
SAW.
Hadits gharib secara kebahasaan bermakna menyendiri, atau jauh
dari kerabat-kerabatnya. Secara istilah Ibnu Shalah mendefinisikan hadis
gharib sebagai hadis yang menyendiri sebagian rawinya, disifati dengan
asing, begitupun dengan hadits yang menyendiri di dalamnya sesuatu yang
tidak di sebutkan di selainnya. Entah itu pada matan atau sanad.
Pembagian hadist gharib, Pertama, Gharib Mutlaq : yaitu hadits
yang ke-gharib-an sanadnya terdapat pada pangkal sanad (yakni sahabat),
atau hadits yang menyendiri dengan periwayatan satu orang perawi saja di
ujung sanad. Kedua, Gharib Nisbi : yaitu hadits yang letak ke-gharib-an
sanadnya ada di tengah-tengah sanad, atau perawinya lebih banyak dari
pada yang meriwayatkan pada ujung sanad.

B. Saran
1. Dalam shahih bukhari dan muslim sekalipun terdapat beberapa hadis
gharib, namun hal tersebut tak mengusik kesahihan hadis-hadis yang
ada dalam kitan tersebut. Kendati demikian, beberapa ulama mewanti-
wanti agat kita tak mengambil hadis-hadis yang gharib tersebut.

20
DAFTAR PUSTAKA

Masaroh Imas, 2013, Ilmu Hadist Pengantar Memahami Nilai Hadist,


Bandung:Sawarsa Bandung

Tamam Fajar, 2018, Mengurai Pengertian Haist Gharib, Wiki Hadist

Ashaqi Saifur, 2013, Penjelasan Bacaan Gharib Dalam Al-Qur’an,


Talimulquranalasror

Saifuddin, 2017, Hadist Aziz dan Gharib, Saifuddinasm

Yusron Achmad, 2019, Pengertian Hadist Dalam Islam, Rocketmanajemen

21

You might also like