You are on page 1of 36

Laporan Kasus Internship

BRONKOPNEUMONIA DAN GAGAL TUMBUH

 
 
Oleh:
dr. Suci Ananda Alfarasi
 
 
 
Dokter Pembimbing:
dr. Poppy Indriasari , M.Ked (Ped), Sp.A

Dokter Pendamping:
dr. Zulkarnaini ZA

 
PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA
KEMENTERIA KESEHATANREPUBLIK INDONESIA
RSUD TEUKU UMAR KABUPATEN ACEH JAYA
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
“Bronkopneumonia dan Gagal Tumbuh” Laporan ini disusun sebagai salah satu
tugas menjalani Program Dokter Internship Indonesia di RSUD Teuku Umar Aceh Jaya.
Selama penyelesaian laporan kasus ini, penulis mendapatkan bantuan, bimbingan,
dan arahan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan
terimakasih kepada dokter pembimbing dr. Poppy Indriasari, M.Ked(Ped), Sp.A
yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dalam menyelesaikan
laporan kasus ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dokter pendamping
RSUD Teuku Umar dr. Zulkarnaini ZA yang telah memberikan masukan dan arahan
dalam penyelesaian laporan kasus ini
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam laporan kasus ini.
Untuk itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca
sekalian demi kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan penulis semoga laporan kasus
ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi
kedokteran khususnya. Semoga Allah SWT selalu memberikan Rahmat dan Hidayah-
Nya bagi kita semua.

Aceh Jaya, Januari 2022

dr. Suci Ananda Alfarasi


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................3
2.1 Bronkopneumonia.......................................................................................3
A. Definisi...............................................................................................3
B. Etiologi dan Klasifikasi......................................................................3
C. Epidemiologi.......................................................................................4
D. Patofisiologi........................................................................................6
E. Diagnosis............................................................................................7
F. Tatalaksana.........................................................................................9
G. Prognosis dan Komplikasi................................................................10
2.2 Gagal Tumbuh.........................................................................................14

A..........................................................Definisi
..........................................................................................................14

B..........................................................Etiologi
..........................................................................................................15

C.....................................................Epidemiologi
..........................................................................................................16

D........................................................Diagnosis
..........................................................................................................18

E.Tatalaksana.......................................................................................19
BAB III LAPORAN KASUS......................................................................................20
3.1 IDENTITAS PASIEN.............................................................................20

3.2.............................................PENGKAJIAN MEDIS
.................................................................................................................20

A..............................Follow up tanggal 09 Desember 2021


...........................................................................................................21
B..............................Follow up tanggal 10 Desember 2021
...........................................................................................................23

C..............................Follow up tanggal 11 Desember 2021


...........................................................................................................25

D..............................Follow up tanggal 12 Desember 2021


...........................................................................................................27

E.Follow up tanggak 13 Desember 2021..............................................29


BAB IV ANALISIS KASUS......................................................................................32
BAB V KESIMPULAN..............................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................34
BAB I
PENDAHULUAN

Bronkopneumonia adalah infeksi pada jaringan paru – paru (Alveoli) yang


bersifat akut. Penyebabnya adalah bakteri, virus, jamur, pajanan bahan kimia atau
kerusakan fisik dari paru-paru, maupun pengaruh tidak langsung dari penyakit lain.
Terjadinya pneumonia ditandai dengan gejala batuk dan atau kesulitan bernapas seperti
napas cepat, dan tarikan dinding dada bagian bawah kedalam. Pada umumnya,
pneumonia dikategorikan dalam penyakit menular yang ditularkan melalui udara,
dengan sumber penularan adalah penderita pneumonia yang menyebarkan kuman dalam
bentuk droplet ke udara pada saat batuk atau bersin. Sampai saat ini, penyakit
pneumonia merupakan penyebab utama kematian balita di dunia. Diperkirakan ada
1,8 juta atau 20% dari kematian anak diakibatkan oleh pneumonia, melebihi kematian
akibat AIDS, malaria dan tuberkulosis. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) melaporkan
bahwa kejadian pneumonia sebulan terakhir (period prevalence) mengalami
peningkatan pada tahun 2007 sebesar 2,1 % menjadi 2,7 % pada tahun 2013. Kematian
balita yang disebabkan oleh pneumonia tahun 2007 cukup tinggi, yaitu sebesar 15,5%.
Demikian juga hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI), yang
melaporkan bahwa prevalensi pneumonia dari tahun ketahun terus meningkat, yaitu
7,6% pada tahun 2002 menjadi 11,2% pada tahun 2007.8

Prevalensi status gizi pada balita di Indonesia tahun 2013 adalah 19,6 % dimana
terdiri dari 5,7 % gizi buruk dan 13,9 % gizi kurang. Jika dibandingkan dengan angka
prevalensi nasional tahun 2007 (18,4%) dan tahun 2010 (17,9 %) terjadi peningkatan.
Prevalensi gizi kurang naik sebesar 0,9% dimana pada tahun 2007 dan 2010
prevalensi gizi kurang pada balita yaitu berkisar 13,0%. sedangkan pada tahun 2013
prevalensi gizi kurang pada balita meningkat menjadi 13,9%
Prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada balita berdasarkan Riskesdas tahun
2013 menunjukkan bahwa diantara 33 provinsi, terdapat 19 provinsi memiliki
prevalensi gizi buruk dan gizi kurang diatas angka prevalensi nasional. Urutan ke 19
provinsi tersebut dari yang tertinggi sampai terendah yaitu (1) Nusa Tenggara Timur
(33,0%); (2) Papua Barat (30,9%); (3) Sulawesi Barat (29,1%); (4) Maluku (28,3%);
(5) Kalimantan Selatan (27,4%); (6) Kalimantan Barat (26,5%); (7) Aceh (26,3%);
(8) Gorontalo (26,1%); (9) Nusa Tenggara Barat (25,7%); (10) Sulawesi Selatan
(25,6%); (11) Maluku Utara (24,9%); (12) Sulawesi Tengah (24,1%); (13) Sulawesi
Tenggara (23,9%); (14) Kalimantan Tengah (23,3%); (15) Riau (22,5%); (16)
Sumatera Utara (22,4%); dimana dari 285.142 balita yang ditimbang terdapat 68.149
balita yang mengalami gizi buruk dan gizi kuran
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bronkopneumonia

A. Definisi
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh
bermacam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Kebanyakan kasus
pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah penyebab non
infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering merupakan infeksi
sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh tetapi bisa
juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa.3

Bronkopneumonia adalah peradangan pada parenkim paru yang melibatkan


bronkus atau bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk bercak-bercak (patchy
distribution). Pneumonia merupakan penyakit peradangan akut pada paru yang
disebabkan oleh infeksi mikroorganisme dan sebagian kecil disebabkan oleh penyebab
non-infeksi yang akan menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran
gas setempat.3

B. Etiologi
Penyebab bronkopneumonia yang biasa dijumpai adalah 7
1) Faktor Infeksi :
Pada neonatus: Streptokokus group B, Respiratory Sincytial Virus (RSV).

Pada bayi : Virus: Virus parainfluensa, virus influenza, Adenovirus, RSV,


Cytomegalovirus.
Organisme atipikal: Chlamidia trachomatis, Pneumocytis.
Pada anak-anak yaitu virus: Parainfluensa, Influensa Virus, Adenovirus, RSV.
Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia. Bakteri: Pneumokokus,
Mycobakterium tuberculosi.

Pada anak besar – dewasa muda,Organisme atipikal: Mycoplasma pneumonia, C.


trachomatis. Bakteri:Pneumokokus, Bordetella pertusis, M. tuberculosis.
2) Faktor Non Infeksi

Terjadi akibat disfungsi menelan atau refluks esophagus meliputi:


Bronkopneumonia hidrokarbon yang terjadi oleh karena aspirasi selama
penelanan muntah atau sonde lambung (zat hidrokarbon seperti pelitur,
minyak tanah dan bensin).
Bronkopneumonia lipoid biasa terjadi akibat pemasukan obat yang
mengandung minyak secara intranasal, termasuk jeli petroleum. Setiap
keadaan yang mengganggu mekanisme menelan seperti palatoskizis,
pemberian makanan dengan posisi horizontal, atau pemaksaan pemberian
makanan seperti minyak ikan pada anak yang sedang menangis. Keparahan
penyakit tergantung pada jenis minyak yang terinhalasi. Jenis minyak binatang
yang mengandung asam lemak.

C. Klasifikasi
D. Epidemiologi

Selama kurun waktu yang panjang, angka cakupan penemuan pneumonia


balita tidak mengalami perkembangan berarti yaitu berkisar antara 20%-30%.
Namun sejak tahun 2015 hingga saat ini terjadi peningkatan cakupan dikarenakan
adanya perubahan angka perkiraan kasus dari 10% menjadi 3,55%. Selain itu
terdapat peningkatan kelengkapan pelaporan dari 94,12% pada tahun 2016
menjadi 100% pada tahun 2019.4

Pada tahun 2019 angka kematian akibat pneumonia pada balita sebesar 0,12%.
Angka kematian akibat Pneumonia pada kelompok bayi lebih tinggi hampir dua kali
lipat dibandingkan pada kelompok anak umur 1 – 4 tahun. Pada tahun 2019,
prevalensi terjadinya pneumonia pada balita mencapai 4,46% dengan jumlah
mortalitas mencapai 10 pada anak di bawah usia 1 tahun. 4

E. Patofisiologi
Saluran pernafasan steril dari daerah sublaring sampai parenkim paru. Paru-
paru dilindungi dari infeksi bakteri melalui mekanisme pertahanan anatomis dan
mekanis, dan faktor imun lokal dan sistemik. Mekanisme pertahanan awal
berupa filtrasi bulu hidung, refleks batuk dan mukosilier aparatus. Mekanisme
pertahanan lanjut berupa sekresi IgA lokal dan respon inflamasi yang diperantarai
leukosit, komplemen, sitokin, imunoglobulin, makrofag alveolar, dan imunitas yang
diperantarai sel.3

Infeksi paru terjadi bila satu atau lebih mekanisme di atas terganggu, atau bila
virulensi organisme bertambah. Agen infeksius masuk ke saluran nafas bagian
bawah melalui inhalasi atau aspirasi flora komensal dari saluran nafas bagian
atas, dan jarang melalui hematogen. Virus dapat meningkatkan kemungkinan
terjangkitnya infeksi saluran nafas bagian bawah dengan mempengaruhi mekanisme
pembersihan dan respon imun. Diperkirakan sekitar 25-75 % anak dengan
pneumonia bakteri didahului dengan infeksi virus. Secara patologis, terdapat 4
stadium pneumonia, yaitu3:
a. Stadium I (4-12 jam pertama atau stadium kongesti)
Yaitu hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-
sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.

b. Stadium II (48 jam berikutnya)


Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah merah,
eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai bagian dari
reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna paru menjadi
merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli
tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah sesak, stadium
ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
c. Stadium III (3-8 hari berikutnya)
Disebut hepatisasi kelabu, yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa
sel. Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat kelabu dan
kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
d. Stadium IV (7-11 hari berikutnya)
Disebut juga stadium resolusi, yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi oleh
makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

F. Diagnosis
Pada pemeriksaan fisik pasien dengan pneumonia, pada inspeksi dapat
ditemukan adanya peningkatan frekuensi nafas, nafas cuping hidung, retraksi otot
(epigastrik, interkostal, suprasternal), pada auskultasi paru ditemukan adanya
crackles. Sedangkan pada kasus, pada pemeriksaan fisik juga ditemukan adanya
frekuensi napas yang meningkat dan terlihat retraksi pada daerah intercostalis
pada kedua regio thorax pasien, pada auskultasi ditemukan suara ronkhi dan
wheezing pada seluruh lapang paru pasien. Hasil pemeriksaan rontgen thorax
pada kasus pneumonia pada umumnya ditemukan adanya gambaran infiltrate pada
lapang paru, dan pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan peningkatan sel
darah putih (leukositosis).

G. Tatalaksana
Penatalaksanaan pneumonia khususnya bronkopneumonia pada anak terdiri
dari 2 macam, yaitu penatalaksanaan umum dan khusus3
1) Penatalaksaan Umum
a. Pemberian oksigen lembab 2-4 L/menit  sampai sesak nafas hilang
atau PaO2 pada analisis gas darah ≥ 60 torr.
b. Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
c. Asidosis diatasi dengan pemberian bikarbonat intravena.
2) Penatalaksanaan Khusus
a. Mukolitik, ekspektoran dan obat penurun panas sebaiknya tidak diberikan
pada 72 jam pertama karena akan mengaburkan interpretasi reaksi
antibiotik awal.
b. Obat penurun panas diberikan hanya pada penderita dengan suhu tinggi,
takikardi, atau penderita kelainan jantung
c. Pemberian antibiotika berdasarkan mikroorganisme penyebab dan
manifestasi klinis. Anak-anak dengan pneumonia pernapasan cepat tanpa
penarikan dada atau tanda bahaya umum harus diobati dengan amoksisilin
oral: setidaknya 40mg/kg/dosis dua kali sehari (80mg/kg/hari) selama lima
hari. Di daerah dengan prevalensi HIV rendah, berikan amoksisilin selama
tiga hari. Anak-anak dengan pneumonia pernapasan cepat yang gagal pada
pengobatan lini pertama dengan amoksisilin harus memiliki pilihan
rujukan ke fasilitas di mana terdapat pengobatan lini kedua yang sesuai.
Anak-anak usia 2-59 bulan dengan pneumonia tarikan dada harus diobati
dengan amoksisilin oral: setidaknya 40mg/kg/dosis dua kali sehari selama
lima hari.
Anak-anak berusia 2-59 bulan dengan pneumonia berat harus
diobati dengan ampisilin parenteral (atau penisilin) dan gentamisin sebagai
pengobatan lini pertama.5
• Ampisilin
Ampisilin 50 mg/kg, atau penisilin benzil: 50.000 unit per
kg IM/IV setiap 6 jam selama setidaknya lima hari
• Gentamisin
Gentamisin 7,5 mg/kg IM/IV sekali sehari selama
setidaknya lima hari Ceftriaxone harus digunakan sebagai
pengobatan lini kedua pada anak-anak dengan pneumonia berat
yang gagal pada pengobatan lini pertama.

Ampisilin (atau penisilin bila ampisilin tidak tersedia) ditambah


gentamisin atau seftriakson direkomendasikan sebagai rejimen antibiotik
lini pertama untuk bayi yang terinfeksi dan terpajan HIV dan untuk anak
di bawah usia 5 tahun dengan pneumonia yang ditarik ke dalam dada atau
pneumonia berat. Untuk bayi yang terinfeksi HIV dan terpajan dan untuk
anak-anak dengan pneumonia tarikan dada atau pneumonia berat, yang
tidak menanggapi pengobatan dengan ampisilin atau penisilin plus
gentamisin, ceftriaxone saja direkomendasikan untuk digunakan sebagai
pengobatan lini kedua.5
Pengobatan kotrimoksazol empiris untuk dugaan Pneumocystis
jirovecii (sebelumnya Pneumocystis carinii) pneumonia (PCP)
direkomendasikan sebagai pengobatan tambahan untuk bayi yang
terinfeksi HIV dan terpajan berusia dari 2 bulan sampai 1 tahun dengan
penarikan dada atau pneumonia berat. Pengobatan kotrimoksazol empiris
untuk Pneumocystis jirovecii pneumonia (PCP) tidak direkomendasikan
untuk anak yang terinfeksi HIV dan terpajan di atas usia 1 tahun dengan
penarikan dada ke dalam atau pneumonia berat.
2.2 Gangguan Pertumbuhan ( Growth Faltering )

A. Definisi growth faltering

Growth faltering merupakan kondisi kegagalan pertumbuhan yang ditandai


dengan laju pertumbuhan yang melambat karena ketidakseimbangan antara asupan
energi dengan kebutuhan biologis untuk pertumbuhan.7 Hal ini sering terjadi pada usia
15 bulan pertama kehidupan dengan insidensi tertinggi pada usia 3-12 bulan.7
Dampak jangka pendek dari growth faltering adalah terganggunya respon imun,
meningkatkan risiko infeksi dan kematian bayi. Growth faltering yang kontinu dapat
menyebabkan gangguan pada pertumbuhan selanjutnya, perkembangan kognitif dan
psikomotor, aktivitas fisik, perilaku, dan kemampuan belajar.6-8 Nutrisi yang adekuat
sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi terutama dalam dua tahun
pertama kehidupannya (periode emas). Oleh karena itu, terjadinya growth faltering
memiliki efek jangka panjang yaitu gangguan emosional dan intelektual, risiko
penyakit kronis, sindroma metabolik, dan penyakit makrovaskular pada usia paruh
baya.9,
Pemantauan pertumbuhan bayi secara serial dalam kurva pertumbuhan sangat
penting dalam mendeteksi dan memantau laju pertumbuhan, pengaruh penyakit dan
mengidentifikasi faktor risiko. Growth faltering diukur dari kurva weight for age yang
turun dibawah persentil ke 5 dalam beberapa kali pengukuran atau perlambatan laju
pertumbuhan yang memotong 2 garis persentil mayor pada kurva pertumbuhan. Selain
itu dapat digunakan kriteria antropometri lain untuk menyatakan growth faltering yaitu
BMI for age kurang dari persentil 5, length for age kurang dari persentil 5, penurunan
berat badan memotong 2 garis persentil mayor, weight for age kurang dari persentil 5,
berat kurang dari 75% median weight for age, berat kurang dari 75% median weight
for length, dan laju berat bedan kurang dari persentil 5. 7
Growth faltering erat kaitannya dengan malnutrisi, yang pertama kali akan
mempengaruhi laju pertumbuhan berat badan lalu diikuti panjang badan dan pada
kondisi yang parah akan mempengaruhi lingkar kepala. Growth faltering akut
ditunjukkan dengan adanya penurunan arah garis pertumbuhan weight-for-age
sedangkan panjang atau tinggi badan dapat normal. Oleh karena itu, pada penelitian ini
digunakan arah garis pertumbuhan weight-for-age untuk deteksi dini. 6
Di Indonesia, arah garis pertumbuhan ini dapat dilihat dalam Kartu Menuju
Sehat (KMS) yang terdapat dalam Buku Kesehatan Ibu dan Anak. Pertumbuhan balita
dapat diketahui apabila setiap bulan ditimbang, hasil penimbangan dicatat di KMS, dan
antara titik berat badan KMS dari hasil penimbangan bulan lalu dan hasil penimbangan
bulan ini dihubungkan dengan sebuah garis. Rangkaian garis-garis pertumbuhan anak
tersebut membentuk grafik pertumbuhan anak. Grafik pertumbuhan yang digunakan
sebagai baku acuan adalah grafik oleh WHO dalam KMS . 5

Berikut adalah arah pertumbuhan balita dengan KMS:

1) Pertumbuhan disebut baik:


a) N1 (tumbuh kejar atau catch-up growth): arah garis pertumbuhan melebihi
arah garis baku
b) N2 (tumbuh normal): arah garis pertumbuhan sejajar atau berimpit dengan
arah garis baku
2) Pertumbuhan disebut tidak baik:
a) T1 (tumbuh tidak memadai atau growth faltering): arah garis pertumbuhan
kurang dari arah garis baku atau pertumbuhan kurang dari yang diharapkan,
artinya pembentukan jaringan baru lebih lambat dari anak yang sehat.
b) T2 (tidak tumbuh atau flat-growth): arah garis pertumbuhan datar atau berat
badan tetap, artinya pembentukan jaringan baru tidak terjadi.
c) T3 (tumbuh negative atau loss of growth): arah garis pertumbuhan turun dari
arah garis baku, artinya terjadi penghancuran jaringan yang sebelumnya
terbentuk.

B. Faktor-faktor yang mempengaruhi growth faltering

Growth faltering disebabkan oleh asupan nutrisi yang tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan bayi untuk pertumbuhan. Hal ini dipengaruhi oleh banyak faktor
yang sangat penting untuk diketahui sebagai risiko dan penyebab growth faltering
untuk ditatalaksana dengan baik. Faktor mayor yang mempengaruhi kejadian growth
faltering adalah nutrisi, psikososial dan penyakit.

a. Nutrisi

Growth faltering sering terjadi pada usia 6 bulan yaitu masa transisi ke
makanan padat yang tidak adekuat kuantitas dan kualitasnya. Oleh karena itu, bayi
dapat mengalami malnutrisi yang berhubungan erat menyebabkan growth faltering
karena kurangnya asupan nutrisi untuk pertumbuhan, khususnya energi, protein dan
mikronutrien.
1) Ketidakmampuan menerima nutrisi secara adekuat
Keterbatasan fisik dalam makan, minum, menghisap, menyusu, dan
menelan dapat menyebabkan kesulitan makan dan minum sehingga penerimaan
asupan nutrisi pada anak terganggu. Hal ini sering terjadi pada bayi dibawah 8
minggu. Pada bayi usia di atas 8 minggu, kesulitan transisi ke makanan padat,
ASI yang tidak adekuat, MP-ASI yang tidak tepat dan pola makan rendah kalori
termasuk dalam faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dimana kebutuhan
nutrisi bayi meningkat sesuai usianya. Nafsu makan yang rendah, penolakan
terhadap makanan, dan gangguan perilaku sulit makan dapat mengurangi jumlah
asupan nutrisi yang diterima. 8
2) Pemberian asupan nutrisi tidak adekuat
Pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI yang baik dan benar sangat
diperlukan untuk mencukup kebutuhan nutrisi bayi yang semakin meningkat
seiring bertambahnya usia.9 Cara pemberian makanan, pengetahuan ibu dan
persepsi mengenai pola makan dan adat istiadat yang salah pada juga
berpengaruh terhadap asupan nutrisi bayi.9

b. Status gizi ibu


Faktor maternal yang berpengaruh terhadap growth faltering adalah body
mass index dan status kesehatan ibu. Ibu dengan BMI yang rendah (<20 kg./m2)
berpengaruh terhadap kejadian growth faltering. Hal ini mempengaruhi juga ASI
yang diberikan kepada bayi. Status gizi ibu yang rendah menurunkan produksi
ASI. Ibu yang memiliki status zat besi yang baik pada masa kehamilannya dapat
memberikan ASI yang kaya zat besi juga. Begitu juga bila ibu mengalami
defisiensi vitamin A, B1, B6, dan B12. Oleh karena itu status gizi ibu sangat
penting terhadap ASI yang diberikan kepada bayi.

c. Tingkat pendidikan ibu

Tingkat pendidikan ibu akan mempengaruhi tingkat pengetahuan ibu dan


perhatian ibu kepada asupan gizi anak. Semakin tinggi tingkat pendidikannya, ibu
akan semakin memperhatikan asupan gizi anak. Kurangnya pengetahuan ibu akan
nutrisi yang tepat akan menurunkan asupan nutrisi pada anak. Akan tetapi hal ini
dipengaruhi juga oleh pekerjaan ibu. Ibu yang bekerja dan jarang di rumah
bersama anak-anak akan kurang mengaplikasikan pengetahuannya karena waktu
yang kurang.

d. Psikososial dan ekonomi

Status ekonomi rendah berhubungan dengan growth faltering. Status


ekonomi berhubungan dengan rendahnya pemberian ASI eksklusif, rendahnya
kandungan energi dalam MP-ASI, tingkat pendidikan orang tua, sanitasi, dan
infeksi yang merupakan risiko growth faltering.

Faktor psikososial ekonomi juga berhubungan dengan stabilitas keluarga


dan sekitarnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan, antara lain stress dalam
pernikahan, ibu depresi, orang tua usia muda, kekerasan, pekerjaan orang tua,
pelayanan kesehatan yang terjangkau keluarga, hubungan orangtua-anak, persepsi
orangtua terhadap pola asuh dan kebutuhan anak, kemiskinan dan banyak anak
dalam keluarga. Semakin banyak anak dalam keluarga mempengaruhi pola asuh
dari ibu kepada anak. Anak yang tinggal dalam lingkungan yang tidak ideal untuk
pertumbuhan dapat mengalami kesulitan makan karena masalah-masalah tersebut.

e. Riwayat penyakit bayi

Penyakit bayi dapat menyebabkan absorbsi kalori tidak adekuat dan


kebutuhan kalori yang meningkat. Lima persen dari kasus growth faltering
disebabkan oleh penyakit gastrointestinal, gangguan neurologis atau penyakit
jantung kongenital. Penyakit pada bayi yang dapat menyebabkan kebutuhan
pertumbuhan meningkat sehingga asupan nutrisi menjadi tidak adekuat untuk
pertumbuhan, misalnya ketika demam, memiliki penyakit jantung bawaan,
penyakit paru kronik, atau hipertiroid. Selain itu penyakit pada bayi juga
menyebabkan ketidakmampuan penggunaan kalori secara adekuat karena muntah
terus menerus, refluks gastroesofageal, short-bowel syndrome, celiac disease,
malabsorbsi, bibir sumbing, diare kronik, alergi, penyakit inflamasi usus, penyakit
saluran cerna, kistik fibrosis dan kelainan metabolik bawaan.
Gangguan kongenital dan komplikasi perinatal meliputi prematur dan
hambatan pertumbuhan janin dapat mempengaruhi atau menghambat potensi
pertumbuhan bayi. Berat bayi lahir rendah (BBLR) dan bayi lahir prematur dapat
mengalami hambatan pertumbuhan karena kesulitan mengejar perkembangan dan
pertumbuhan yang seharusnya. BBLR juga merupakan faktor risiko terjadinya
anemia pada bayi.

C. Pemantauan Pertumbuhan

Pemantauan pertumbuhan merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri dari


penilaian pertumbuhan anak secara teratur melalui penimbangan setiap bulan,
pengisian kartu menuju sehat (KMS), menentukan status pertumbuhan berdasarkan
kenaikan berat badan; dan menindaklanjuti setiap kasus gangguan pertumbuhan.
Kegiatan pemantauan pertumbuhan menggunakan kartu menuju sehat (KMS)
sebagai instrumen untuk mengetahui kurva pertumbuhan normal anak berdasarkan
indeks antropometri berat badan menurut umur. Gangguan pertumbuhan atau risiko
kelebihan gizi dapat diketahui secara dini melalui KMS sehingga dapat dilakukan
upaya pencegahan lebih cepat dan tepat sebelum masalah lebih berat.
Grafik pertumbuhan yang terletak pada jalur hijau menandakan anak sehat.
Daerah kekurangan kalori dan protein (KKP) ringan berada pada jalur kuning, yaitu
jalur yang terdapat dibawah jalur hijau, pada jalur ini anak mulai memperlihatkan
gangguan pertumbuhan ringan dan gangguan kesehatan. Jika keadaan anak lebih
jelek, garis kurva pertumbuhan akan lebih menurun lagi hingga ke daerah di bawah
garis merah, yang merupakan batas bawah dari jalur kuning. Daerah di bawah garis
merah menunjukkan keadaan KKP berat, dimana anak sudah jelas menderita gizi
kurang dan terganggu kesehatannya

a. Kategori dan ambang batas status gizi anak

Kategori dan ambang batas status gizi anak berdasarkan standar baku

World Health Organization - National Center for Health Statistic (WHO -

NCHS) dapat dilihat pada Tabel. 2.2

Tabel 2.2. Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks

Kategori
Indeks Status Ambang Batas (Z-Score)
Gizi
Berat Badan menurut Gizi Buruk < - 3 SD
Umur (BB/U) Gizi Kurang -3 SD sampai dengan < -2 SD
Anak umur 0-60 bulan Gizi Baik -2 SD sampai dengan 2 SD
Gizi Lebih > 2 SD
Panjang badan Sangat Pendek < - 3 SD
menurut Umur (PB/U) Pendek - 3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal - 2 SD sampai dengan 2 SD
atau Tinggi badan
menurut Umur (TB/U) Tinggi > 2 SD
Anak umur 0-60 bulan
Berat Badan menurut Sangat Kurus < -3 SD
Panjang Badan atau Kurus -3 SD sampai dengan < -2 SD
Normal - 2 SD sampai dengan 2 SD
Berat Badan menurut
Tinggi Badan (BB/TB) Gemuk > 2 SD
Anak umur 0-60 bulan
Sumber: Kemenkes RI, 2011

b. Indeks penilaian antropometri


Indeks antropometri penilaian status gizi diuraikan sebagai berikut
Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U).
Berat badan merupakan salah satu prameter yang memberikan
gambaran massa tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-
perubahan yang mendadak, misalnya terserang penyakit infeksi, menurunnya
nafsu makan atau menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Indeks
BB/U lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional
status) karena berat badan merupakan parameter antropometri yang sangat
labil.

 Indeks Panjang Badan atau Tinggi Badan menurut Umur (PB-TB/U)


Tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan
keadaan pertumbuhan skeletal. Tinggi badan akan tumbuh seiring dengan
pertambahan umur, pada keadaan normal. Pertumbuhan tinggi badan tidak
seperti berat badan, yang relatif kurang sensitif terhadap masalah
kekurangan gizi dalam waktu yang singkat. Pengaruh defisiensi zat gizi
terhadap tinggi badan akan terlihat dalam waktu yang relatif lama. Maka
dari itu, indeks PB-TB/U menggambarkan status gizi masa lalu.
 Indeks Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan (BB/PB-
TB)
Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi badan.
Perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan
dengan kecepatan tertentu, jika dalam keadaan normal.
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Haura Luthfia


Jenis kelamin : Perempuan
Nomor rekam medik : 05 28 47
Tanggal lahir/umur : 22 Desember 2020 ( 11 Bulan )
Alamat : Jeumpheuk, Aceh Jaya
Tanggal masuk : 08-12-2021
Tanggal keluar : 13-12-2021

3.2 PENGKAJIAN MEDIS

 ANAMNESIS

- Keluhan Utama
Demam

- Keluhan Tambahan
Batuk berdahak, Pilek, Sesak nafas
- Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa kedua orang tuanya ke IGD RSUD Teuku Umar
dengan keluhan demam 3 hari SMRS. Demam semakin meninggi setiap
harinya dan mencapai suhu 38˚C. Demam turun saat minum obat tetapi naik
lagi setelah beberapa saat. Demam disertai dengan batuk dan pilek. Batuk
berdahak, tetapi pasien tidak bisa mengeluarkan sputum dengan baik
sehingga orang tua pasien tidak tahu karakteristik sputum. Pasien
mengalami sesak napas sebelum dibawa ke rumah sakit. Napas pasien
cepat dan terdapat gerakan dinding dada yang dalam karena sesak. Mual
tidak ada. Muntah tidak ada. BAB dan BAK kesan normal.

- Riwayat Penyakit Dahulu

Tidak ada

- Riwayat Penyakit Keluarga

Ibu dengan penyakit SLE saat hamil

- Riwayat Pengobatan
Pasien memiliki riwayat penggunaan parasetamol syrup sebelum
memasuki rumah sakit yang dibeli oleh orang tuanya dari apotek.

- Riwayat Alergi
Pasien tidak pernah memiliki riwayat alergi sebelumnya.

- Riwayat Imunisasi
Imunisasi tidak lengkap

- Riwayat Nutrisi
Usia 0 – 6 bulan : Susu Formula ( SGM )
Usia 6 bulan – 12 bulan : Susu Formula + MPASI

- Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Pasien merupakan anak ke-2 dari 2 bersaudara. Pasien lahir belum
cukup bulan secara sectio caesaria dari ibu dengan risiko tinggi dengan
SLE . Berat badan pada saat lahir 600 gram. Sesaat setelah lahir, pasien
menangis kuat dan kulit pasien tidak kebiruan. Setelah lahir, pasien dirawat
di NICU didiagnosis dengan BBLSR . Selama 2 bulan di NICU berat
badan bayi sudah mencapai 1700 gram .

 VITAL SIGN
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis (GCS: E4M6V5)
HR : 120 kali/menit
RR : 45 kali/menit
T : 38,2 derajat Celcius

 DATA ANTROPOMETRI
Berat Badan (BB) : 5 Kg

Tinggi Badan (TB) : 70 cm

BB/U : - 3 SD sampai dengan +2 SD

TB/U : - 3 SD sampai dengan +2 SD

BB/TB : - 3 SD sampai dengan +2 SD

Kesan

Lingkar Lengan Atas : 15 cm

Lingkar Kepala : 43,5 cm (normocephal)

Height Age : 11 bulan

BBI : 5 Kg

Kebutuhan Kalori Harian : 918 kkal/hari

Kebutuhan Protein : 29 gram/hari

Kebutuhan Cairan : 800 cc/hari

 PEMERIKSAAN FISIK
- Kepala :
 Mata : Tidak cekung, pupil isokor 3mm/3mm, refleks cahaya
langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+, konjungtiva

palpebra inferior tidak pucat, sklera tidak ikterik,

 Telinga : Normotia

 Hidung : Terdapat NCH

 Mulut : Sianosis (-)

 Leher : Pembesaran kelenjar getah bening tidak ada

- Thorax :

 Jantung : BJ I > BJ II, reguler, bising tidak ada.


 Paru : Vesikuler (+/+), Ronkhi basah halus (+/+), Wheezing (-/-).
- Abdomen : Soepel, peristaltik kesan normal, organomegali tidak ada.
- Anggota gerak : Akral hangat, CRT < 2 detik, sianosis tidak ada.
- Anogenital : Perempuan, anus (+)

- Refleks :
 Refleks Fisiologis Refleks
biseps : +/+ Refleks triseps :
+/+ Refleks patella : +/+
Refleks Achilles : +/+
 Refleks Patologis Refleks
Babinski : -/- Refleks
Chaddock : -/- Refleks
Oppenheim : -/- Refleks
Gordon : -/-
 Tanda Rangsang Meningeal
Kaku kuduk : -
Brudzinsky I : -
Brudzinsky II : -
Kernig : -

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Pemeriksaan Darah
Pemeriksaan 08 Desember 2021 Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,4 12,0 – 14,5 g/dL
Hematokrit 34 37 – 47 %
Eritrosit 5,4 4,2 – 5,4 106/mm3
Trombosit 272 150 – 450 103/mm3
Leukosit 14,2 4,5 – 10,5 103/mm3
MCV 85 80 – 100 fL
MCH 29 27 – 31 pg
MCHC 34 32 – 36 %
RDW 13,5 11,5 – 14,5 %
Eosinofil 0 0–6 %
Basofil 0 0–2 %
Neutrofil Batang 2 2–6 %
Neutrofil Segmen 55 50 – 70 %
Limfosit 30 20 – 40 %
Monosit 2 2–8 %

 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Foto Thoraks

 DIAGNOSIS KERJA
1. Bronkopneumonia + Growth Faltering
 TERAPI
1. IVFD Nacl 15 gtt/i
2. Nebul ventolin ½ respul + 3 cc Nacl 0.9% / 8 jam
3. Gentamicin 25 mg / 12 jam IV
4. Cefotaxime 250 mg/12 jam IV
5. Paracetamol drop 3 x 0,5 cc
6. Cetirizin syr 1 cc/24 jam/PO
 PLANNING
 Rontgen Thoraks AP

Follow up tanggal 09 Desember 2021

 Anamnesis
Pasien rawatan hari pertama divisi respirologi dengan keluhan sesak
nafas sejak kemarin. Pasien mengalami demam, batuk, dan pilek sejak 4 hari
yang lalu.

Vital Sign

Kesadaran : Compos mentis


Keadaan umum : Sakit sedang

HR : 126 kali/menit
RR : 40 kali/menit
T : 37,5
SPO2 : 96% nasal kanul 2 lpm
 Pemeriksaan Fisik
Kepala/Leher :
Konjungtiva palpebra inferior tidak pucat. Sklera tidak ikterik. Faring sulit
dinilai. Terdapat napas cuping hidung.

Thorax :
Simetris
Vesikuler (+/+), Rhonki basah halus (+/+),
Wheezing (-/-) Terdapat retraksi intercostal dan
epigastrial
Abdomen :
Soepel. Tidak terdapat distensi. Peristaltik kesan
normal

Ekstremitas :
Akral hangat, CRT < 2 detik
 Diagnosis Kerja
1. Bronkopneumonia + Growth Faltering
 Planning
- Diagnostik
Rontgen Thorax Ap
- Terapeutik
1. IVFD Nacl 15 gtt/i
2. Nebul ventolin ½ respul + 3 cc Nacl 0.9% / 8 jam
3. Gentamicin 25 mg / 12 jam IV
4. Cefotaxime 250 mg/12 jam IV
5. Paracetamol drop 3 x 0,5 cc
6. Cetirizin syr 1 cc/24 jam/PO
- Monitoring
Pantau balance cairan
Monitoring suhu

Follow up tanggal 10 Desember 2021

 Anamnesis
Pasien hari rawatan ke-2 divisi respirologi. Saat ini pasien menyatakan
sesak napas sudah berkurang, demam tidak ada, dan batuk pilek sudah tampak
berkurang.
 Vital Sign
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan Umum : Sakit sedang
HR : 108 kali/menit
RR : 24 kali/menit T
: 37,0
 Pemeriksaan Fisik
Kepala/Leher :
Konjungtiva palpebra inferior tidak pucat. Sklera tidak ikterik. Tidak
ada sianosis. Terdapat pernapasan cuping hidung.
Thorax :
Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen :
Soepel, Peristaltik kesan normal
Ekstremitas :
Akral hangat, CRT < 2 detik
 Diagnosis Kerja
Bronkopneumonia + Growth Faltering
 Planning

- Terapeutik
1. IVFD Nacl 15 gtt/i
2. Nebul ventolin ½ respul + 3 cc Nacl 0.9% / 8 jam
3. Gentamicin 25 mg / 12 jam IV
4. Cefotaxime 250 mg/12 jam IV
5. Paracetamol drop 3 x 0,5 cc
6. Cetirizin syr 1 cc/24 jam/PO
7. Lacto B 2x1
8. Salbutamol 0,5 + Trilac 0,5 pulvis 3x1
- Monitoring
- Pantau balance cairan
- Monitoring suhu
- Pantau Work of Breathing (WoB) dan SpO2

Follow up tanggal 11 November 2021

 Anamnesis
Pasien hari rawatan ke-3 divisi respirologi. Saat ini pasien menyatakan
sesak nafas sudah berkurang dan batuk berdahak sudah berkurang.
 Vital Sign
Kesadaran : Compos mentis

Keadaan Umum : Sakit sedang


HR : 110 kali/menit
RR : 26 kali/menit
T : 37,0
 Pemeriksaan Fisik
Kepala/Leher :
Konjungtiva palpebra inferior tidak pucat. Sklera tidak ikterik. Tidak
ada sianosis. Terdapat pernapasan cuping hidung.
Thorax :
Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen :
Soepel, Peristaltik kesan normal
Ekstremitas :
Akral hangat, CRT < 2 detik
 Diagnosis Kerja
1. Bronkopneumonia + Growth Faltering

 Planning
- Diagnostik
Tidak ada
- Terapeutik
1. IVFD Nacl 15 gtt/i
2. Azitromisin 1x 1,25 ml / PO
3. Paracetamol drop 3 x 0,5 cc / PO
4. Cetirizin syr 1 cc/24 jam/PO
5. L-Bio 2x1
6. Salbutamol 0,5 mg + Trilac 0,5 mg pulvis 3x1
- Monitoring
- Pantau balance cairan
- Monitoring suhu
- Pantau Work of Breathing (WoB) dan SpO2)
Follow up tanggal 12 Desmeber 2021

 Anamnesis
Pasien hari rawatan ke-4 divisi respirologi. Saat ini menurut ibu, batuk
masih ada, sesak napas sudah berkurang, BAB dan BAK tidak ada keluhan
 Vital Sign
Kesadaran : Compos mentis Keadaan Umum : Sakit sedang HR : 102
kali/menit
RR : 26 kali/menit T : 36,7
SpO2 : 99%, room air
 Pemeriksaan Fisik
Kepala/Leher :
Konjungtiva palpebra inferior tidak pucat. Sklera tidak ikterik. Tidak
ada sianosis. Tidak ada pernapasan cuping hidung.
Thorax :
Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Abdomen :
Soepel, Peristaltik kesan normal
Ekstremitas :
Akral hangat, CRT < 2 detik
 Diagnosis Kerja
1. Bronkopneumonia + growth faltering
- Terapeutik
1. IVFD 4:1 33cc/jam
2. Azitromisin 1x 1,25 ml / PO
3. Paracetamol drop 3 x 0,5 cc / PO
4. Cetirizin syr 1 cc/24 jam/PO
5. L-Bio 2x1
6. Salbutamol 0,5 mg + Trilac 0,5 mg pulvis 3x1
- Monitoring
- Pantau balance cairan
- Monitoring suhu
- Pantau Work of Breathing (WoB) dan SpO2

Follow up tanggal 13 Desmeber 2021

 Anamnesis
Pasien hari rawatan ke-5 divisi respirologi. Saat ini menurut ibu, batuk
sesekali, sesak napas sudah berkurang, BAB dan BAK tidak ada keluhan
 Vital Sign
Kesadaran : Compos mentis Keadaan Umum : Sakit sedang HR : 102
kali/menit
RR : 26 kali/menit
T : 36,7
SpO2 : 99%, room air
 Pemeriksaan Fisik
Kepala/Leher :
Konjungtiva palpebra inferior tidak pucat. Sklera tidak ikterik. Tidak
ada sianosis. Tidak ada pernapasan cuping hidung.

Thorax :
Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-) Abdomen :
Soepel, Peristaltik kesan normal Ekstremitas :
Akral hangat, CRT < 2 detik
 Diagnosis Kerja
1. Bronkopneumonia + growth faltering
 Planning
PBJ
- Terapeutik
• IVFD 4:1 33cc/jam
• Azitromisin 1x 1,25 ml / PO
• Paracetamol drop 3 x 0,5 cc / PO
• Cetirizin syr 1 cc/24 jam/PO
• L-Bio 2x1
• Salbutamol 0,5 mg + Trilac 0,5 mg pulvis 3x1

Status Gizi Pasien


BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien dibawa kedua orang tuanya ke IGD RSUD Teuku Umar dengan keluhan
demam 3 hari SMRS. Demam semakin meninggi setiap harinya dan mencapai suhu
38˚C. Demam turun saat minum obat tetapi naik lagi setelah beberapa saat. Demam
disertai dengan batuk dan pilek. Batuk berdahak, tetapi pasien tidak bisa mengeluarkan
sputum dengan baik sehingga orang tua pasien tidak tahu karakteristik sputum. Pasien
mengalami sesak napas sebelum dibawa ke rumah sakit. Napas pasien cepat dan
terdapat gerakan dinding dada yang dalam karena sesak. Mual tidak ada. Muntah tidak
ada. BAB dan BAK kesan normal.
Dari anamnesis dapat digaris bawahi beberapa hal yaitu (1) Terjadinya demam
yang tinggi pada pasien, (2) Batuk berdahak, (3) Pilek, (4) Sesak napas dan takipnea,
(5) kulit pasien membiru. Beberapa gejala dan keluhan yang dialami oleh pasien
mengarahkan kepada diagnosis bronkopneumonia. Kemudian, setelah dilakukan
anamnesis dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik. Pada pemeriksaan fisik, ditemukan
adanya Napas cuping hidung, Chest Indrawing, Sianosis, dan Ronki, hal ini menaikkan
kecurigaan bahwa terjadi masalah pada sistem pernapasan pasien yang menyebabkan
terjadinya ketidakoptimalan perfusi oksigen pada tubuh karena adanya cairan pada paru.
Untuk mengetahui keadaan pasien lebih lanjut, dilakukan pemeriksaan darah pada
hari pertama pasien dirawat tepatnya pada tanggal 8 Desember 2021, di mana hasilnya
didapatkan terdapat peningkatan kadar leukosit yaitu sebesar 10.700/mm3. Selain itu,
terdapat peningkatan angka netrofil batang (0%), netrofil segmen (91%), dan penurunan
angka limfosit (7%) pada pasien. Hal ini juga mengarahkan terdapat adanya tanda
infeksi pada pasien. Namun hasil tersebut belum dapat menentukan patogen penyebab
infeksi yang menyerang pasien. Untuk mengetahui hal tersebut,

idealnya dilakukan identifikasi pada sputum pasien dengan kultur. Namun, pemeriksaan
ini memakan waktu dan pasien membutuhkan penanganan yang segera.
Terapi yang diberikan pada bronkopneumonia dapat berupa pemberian antibiotic.
Antibiotik yang diberikan pada pasien adalah Gentamicin25 mg / 12 jam IV dan
Cefotaxime 250 mg/ 12 jam/IV. Hal ini sesuai dengan panduan WHO di mana anak-
anak berusia 2-59 bulan dengan pneumonia berat harus diobati dengan ampisilin
parenteral (atau penisilin) dan gentamisin sebagai pengobatan lini pertama. Selain itu,
terapi suportif juga diberikan pada pasien, di mana IVFD Nacl 0,9% 15 gtt/ menit
diberikan untuk memastikan cukupnya pasokan cairan dalam tubuh pasien. Paracetamol
drop 3 x 0,5 cc diberikan untuk meredakan gejala demam pada pasien. Cetirizin Syr 1
cc/ 24 jam/PO diberikan untuk mengatasi kongesti pada pasien. Serta Nebul Ventolin ½
respul / 8 jam untuk meredakan sesak nafas psien ,
Pada tanggal 9 Desember 2021, hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan
terdapat adanya penurunan nilai Hb pada pasien yaitu sebesar 11,4. Hal ini
mengindikasikan terjadinya anemia pada pasien. Pada anemia sendiri, selain Hb juga
perlu diperhatikan kadar mean corpuscular volume (MCV) maupun mean corpuscular
hemoglobin (MCH) untuk mengerucutkan diagnosis pada anemia, mengingat penyebab
maupun klasifikasi anemia yang bervariasi. Pada pasien didapatkan kadar MCV dan
MCH mengalami penurunan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami
anemia hipokrom mikrositer. Penyebab anemia hipokrom mikrositer dapat terjadi
karena berbagai macam hal, yaitu karena anemia defisiensi zat besi, anemia karena
penyakit kronik, serta thalassemia. Pada pasien yang mengalami infeksi seperti
pneumonia, hal ini dapat terjadi karena terjadi aktivasi sistem imun seperti IL-6 dan
TRL-4 yang dapat menstimulasi produksi hepsidin.
BAB V
KESIMPULAN

Bronkopneumonia merupakan infeksi saluran napas bagian bawah yang meliputi


alveolus, bronkiolus, bronkus, dan melibatkan lebih dari 1 lobus yang terjadi terutama
pada anak usia ≤ 2 tahun. Gejala yang dapat dijumpai dapat berupa batuk, nyeri dada,
takipnea, napas cuping hidung, chest indrawing, serta demam. Diagnosis dapat
ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang berupa
pemeriksaan laboratorium dan foto thoraks. Tatalaksana utama pada bronkopneumonia
adalah peresepan antibiotic tergantung usia dan derajat keparahan penyakit yang terjadi
pada anak. Terapi suportif untuk meringankan gejala lainnya juga dapat dilakukan
untuk membantu penyembuhan anak.
Growth faltering merupakan kondisi kegagalan pertumbuhan yang ditandai dengan

laju pertumbuhan yang melambat karena ketidakseimbangan antara asupan energi

dengan kebutuhan biologis untuk pertumbuhan.7 Hal ini sering terjadi pada usia 15 bulan

pertama kehidupan dengan insidensi tertinggi pada usia 3-12 bulan.7

Dampak jangka pendek dari growth faltering adalah terganggunya respon imun,

meningkatkan risiko infeksi dan kematian bayi. Growth faltering yang kontinu dapat

menyebabkan gangguan pada pertumbuhan selanjutnya, perkembangan kognitif dan

psikomotor, aktivitas fisik, perilaku, dan kemampuan belajar.6-8 Nutrisi yang adekuat

sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi terutama dalam dua tahun

pertama kehidupannya (periode emas). Oleh karena itu, terjadinya growth faltering

memiliki efek jangka panjang yaitu gangguan emosional dan intelektual, risiko penyakit

kronis, sindroma metabolik, dan penyakit makrovaskular pada usia paruh baya.7
DAFTAR PUSTAKA

1. Kedokteran F, Islam U, Virus I, Kedokteran J. 198 BRONKOPNEUMONIA PADA


ANAK USIA 20 BULAN I Putu Suartawan. 2019;05(01):198–206.
2. Bradley, Byington C, Shah S, Alverson B. The management of community- acquired
pneumonia in infants and children older than 3 months of age: Clinical practice
guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious
Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2011;53(7):617– 30.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2019. Jakarta; 2020. 497 p.
4. World Health Organization. Revised WHO classification of childhood pneumonia
and treatment. Geneva; 2014. 34 p.
5. Bradley, Byington C, Shah S, Alverson B. The management of community- acquired
pneumonia in infants and children older than 3 months of age: Clinical practice
guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious
Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 2011;53(7):617- 630.
6. Adinda Ratna Puspita, R. P. (2017, April). Metode dan Pola Waktu Pemberian ASI
Eksklusif Sebagai Faktor Risiko Growth Faltering Pada Bayi Usia 2-6 Bulan. Jurnal
Kedokteran Diponegoro, 6(2), 121-122.
7. Purnamasari DU, Kartasurya MI, Kartini A. Determinan Growth Faltering (Guncangan
Pertumbuhan) pada Bayi Umur 2-6 Bulan yang Lahir dengan Berat Badan Normal. Media
Med Indones. 2009;43(5):240–6.
8. Riset Kesehatan Dasar 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. 2013.
9. Sjarif DR, Lestari ED, Mexitalia M, Nasar SS. Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit
Metabolik. 1st ed. Jakarta; 2011.
10. ASI Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan [Internet]. EGC; [cited 2015 Dec 9]. Available from:
https://books.google.com/books?id=S5jF4XXpwP4C&pgis=1

You might also like