You are on page 1of 10

KASUS TUTORIAL 5 : PERDAGANGAN DAN INVESTASI

SECURITY OUTSOURCING

MATA KULIAH : HUKUM HAM LANJUTAN

OLEH :

KELOMPOK 8

I GEDE YUDI ARSAWAN 1604551207

IDA BAGUS GEDE AMBARA ARTHA 1604551197

PUTU AGUS KERISTIAWAN 1604551200

NI WAYAN SUARTINI 1604551201

AGNES IRAWATI 1604551167

PRINCE GIDION SIMANJUNTAK 1604551223

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019
A. Pendahuluan

Sejak pemerintah Indonesia meratifikasi UU No.7 Tahun 1994 tentang


Pengesahan Agreement Establishing World Trade Organization (Persetujuan
Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) dan kemudian mengundangkan UU
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang juga menjadi dasar acuan
praktek Outsourcing di Indonesia, perusahaan-perusahaan besar di Indonesia
mulai menerapkan Outsourcing untuk merekrut tenaga kerja, termasuk di Bali.
Salah satu contoh kasus (imajiner) dialami oleh tenaga kerja Satuan
Pengamanan (Satpam) di Bank ABC yang beroprasional di Denpasar yang pada
awalnya merupakan (diangkat sebagai) pegawai tetap. Namun, sejak awal tahun
2013 direksi Bank ABC beralih menggunakan Satpam dari perusahaan
International Private Guard Company (IPGC) Australia yang bergerak di bidang
penyediaan tenaga profesional security melalui perjanjian outsouring. Bank
tersebut kemudian melakukan PHK terhadap para Satpam tersebut dengan beralih
menggunakan tenaga Satpam Profesional, dengan alasan selain lebih aman juga
dari segi biaya jauh lebih efisien, karena pihak Bank tidak perlu lagi memberi
pelatihan kepada para satpam. Perusahaan IPGC menyiapkan satpam siap pakai
yang sangat profesional dengan sistem pengamanan yang canggih, yang mana dari
kebanyakan satpam tersebut berasal dari luar Bali.
Setelah Bank ABC memutuskan beralih menggunakan satpam
Outsourcing lebih dari 100 orang satpam tetap yang bekerja di seluruh cabang
Bank ABC yang beroprasional di Bali menjadi kehilangan pekerjaannya melalui
proses PHK. Situasi ini ternyata tidak menjadi perhatian bagi pihak pemerintah
lokal di Bali.
Ketika memperingati hari buruh sedunia tanggal 1 mei 2013, pihak
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mewakili para satpam yang
kehilangan pekerjaan, mengecam pemerintah atas pelanggaran HAM yang terjadi
terkait PHK, yang secara tidak langsung mengakibatkan 100 buruh (satpam bank
ABC) kehilangan pekerjaan, dan bahkan ratusan anak-anak mereka juga tidak
melanjutkan sekolah karena orang tuanya tidak mampu membayar keperluan
sekolah. Pihak LSM juga menuntut agar Indonesia keluar dari keanggotaan WTO
dengan argument bahwa keberadaan Outsourcing diadopsi dari standar-standar
WTO dan ternyata tidak cocok diterapkan di negara berkembang.

B. Rumusan Masalah
Dari kasus imajiner tersebut, rumusan masalah yang dapat diangkat adalah
:
1. Apakah hak atas pekerjaan merupakan hak asasi manusia?
2. Apakah PHK terhadap satpam tetap di Bank ABC yang terjadi
karena sistem Outsourcing sebagaimana dikemukakan dalam
uraian kasus adalah bentuk pelanggaran HAM ?
3. Apakah sistem Outsourcing cocok diterapkan di Indonesia yang
merupakan negara berkembang?

C. Pembahasan

1. Hak atas Pekerjaan sebagai Hak Asasi Manusia

Sebagai suatu hak yang sangat fundamental, agar dapat dinyatakan sebagai
hak asasi manusia secara hukum, hak-hak manusia tersebut harus memenuhi
beberapa elemen. Adapun elemen yang dimaksud adalah: 1) the right holders
(pemegang hak), 2) the duty bearers (penanggungjawab hak), 3) the substance
(substansi). Jika kemudian dikaitkan dengan elemen-elemen tersebut maka hak
atas pekerjaan dapat dikualifikasikan sebagai Hak Asasi Manusia, karena
pemegang hak atas pekerjaan adalah jelas yaitu menurut Article 23 Universal
Declaration of Human Rights yang mengatakan bahwa “(1) Everyone has the
right to work, to free choice of employment, to just and favourable conditions of
work and to protection against unemployment.

(2) Everyone, without any discrimination, has the right to equal pay for equal

(3) Everyone who works has the right to just and favourable remuneration
ensuring for himself and his family an existence worthy of human dignity, and
supplemented, if necessary, by other means of social protection.
(4) Everyone has the right to form and to join trade unions for the protection of
his interests.” atau dalam terjemahannya :

(1) Setiap orang memiliki hak untuk bekerja, untuk bebas memilih pekerjaan,
untuk adil dan kondisi kerja yang baik dan perlindungan terhadap pengangguran.

(2) Setiap orang, tanpa diskriminasi apa pun, memiliki hak atas pembayaran yang
sama dengan yang setara.
(3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan
menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik
untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan
perlindungan sosial lainnya.
(4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk
melindungi kepentingannya.
Sehingga Pasal 23 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia memiliki
makna bahwa setiap orang dan tanpa ada diskriminasi. Selanjutnya yang kedua
adalah penanggung jawab hak tersebut. Penanggung jawab hak dalam Hak Asasi
Manusia adalah negara. Christian Tomuschat dalam bukunya yang berjudul
Human Rights between Idealism and Realism menyatakan bahwa:

“The rights under the ICESCR devided into three elements:


1. An obligation to respect, which means that individuals may not be
impeded in their endeavours, that not bars may be erected hindering their
access to activities protected by an economic or social rights;
2. An obligation to protect, which means that measures must be taken
ensuring that third parties do not prevent individuals from enjoying the
rights of which they are holders;
3. An obligation to fulfill, under which it is incumbent upon state to take
step with a view to actually providing individuals with the benefits which
the right concerned embodies.”
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa negara memiliki
kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi setiap
manusia yang telah diatur dan ditegaskan dalam ketentuan-ketentuan ICESCR.
Jadi Negara Indonesia memiliki kewajiban untuk memenuhi hak atas pekerjaan
sebagai salah satu hak yang diakui dalam ICESCR karena Indonesia telah
meratifikasi ketentuan tersebut melalui UU No.11 tahun 2005.
Terakhir yaitu substansi, hak atas pekerjaan adalah hak untuk dapat
memilih pekerjaan, dan mendapatkan jaminan untuk tidak menjadi pengangguran.
Selanjutnya seseorang juga berhak untuk mendapatkan penghasilan sesuai dengan
pekerjaannya, mendapatkan jaminan jumlah upah yang dapat menjamin
kehidupannya dan keluarganya, dan berhak untuk ikut serta dalam suatu serikat
pekerja guna melindungi kepentingannya. Hak-hak tersebut telah diatur pada
Pasal 23 ayat 1,2,3 dan 4 dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Dikarenakan semua elemen untuk dapat mengkualifikasikan Hak atas pekerjaan
sebagai Hak Asasi Manusia telah terpenuhi maka dapat disimpulkan bahwa Hak
atas pekerjaan merupakan Hak Asasi Manusia.

2. PHK terhadap satpam tetap di PT. ABC yang terjadi karena sistem
Outsourcing sebagaimana dikemukakan dalam uraian kasus adalah
bentuk pelanggaran HAM.
Dalam kasus diatas, PHK dapat dikatakan sebagai pelanggaran HAM
karena pada statusnya Satpam di PT. Bank ABC merupakan karyawan tetap.
Namun, pada tahun 2013 direksi PT. Bank ABC melakukan pemutusan hubungan
kerja secara sepihak dikarenakan perusahaan tersebut beralih menggunakan sistem
outsourcing. Hal ini diperkuat dengan tidak adanya jaminan yang dipenuhi oleh
Bank ABC sesuai dengan kasus tersebut.
Berdasarkan Pasal 50 UU Nomor 13 Tahun 2003, Hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh. Yang dimana
dalam kasus tersebut, sebuah hubungan kerja tidak dapat diputuskan secara
sepihak. Antara pihak perusahaan Bank ABC dengan satpam yang merupakan
karyawan tetap, tentunya telah dibuat perjanjian kerja yang diatur dalam Pasal 54
yang mengatur tentang :

Pasal 54

(1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya memuat:

a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;


b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh

c. jabatan atau jenis pekerjaan;

d. tempat pekerjaan;

e. besarnya upah dan cara pembayarannya;

f. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan


pekerja/buruh;

g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf
e dan f, tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibuat sekurang
kurangnya rangkap 2 (dua), yang mempunyai kekuatan hukum yang sama, serta
pekerja/buruh dan pengusaha masing-masing mendapat 1 (satu) perjanjian kerja.

Dan diperkuat dalam pasal 55 bahwa Perjanjian kerja tidak dapat ditarik
kembali dan/atau diubah, kecuali atas persetujuan para pihak. Akan tetapi, belum
tentu semua PHK itu merupakan pelanggaran HAM. Karena pada faktanya,
perusahaan seringkali melakukan PHK terhadap karyawan yang disebabkan
karena performa kerja karyawan atau kondisi bisnis perusahaan yang tidak stabil,
dan pada kasus tersebut tidak dijelaskan bahwa perusahaan bermasalah mengenai
karyawannya. Melainkan pihak perusahaan memang mengganti sistem
pengamanan yang diserahkan kepada pihak ketiga yaitu Outsourcing.

Dalam Pasal 64 UU Nomor 13 Tahun 2003 menyebutkan bahwa


“Perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan
jasa pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis.” Sehingga merupakan wewenang
perusahaan mengenai melibatkan pihak ketiga yaitu outsourcing dalam pembagian
tugas perusahaannya. Namun di kasus, yang merupakan suatu pelanggaran yaitu
dalam konteks pemutusan hubungan kerja yang diatur dalam Pasal 150 :

“Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang


ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang
berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan
atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun
usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam
bentuk lain.”

Sehingga pemutusan hubungan kerja secara sepihak ini merupakan suatu


pelanggaran ketika disebutkan bahwa para satpam yang di PHK tersebut
kehilangan pekerjaan, dan bahkan ratusan anak-anak mereka juga tidak
melanjutkan sekolah karena orang tuanya tidak mampu membayar keperluan
sekolah. Seharusnya ketika terjadi pemutusan hubungan kerja, berdasarkan Pasal
156 ayat (1) “Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan
membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima.” Yang besaran pesangonnya diatur
dalam Pasal 156 ayat (2) sesuai dengan waktu selama para karyawan tetap
tersebut bekerja. Sehingga ketika PHK itu berlangsung, para satpam yang
berstatus karyawan tetap pada perusahaan Bank ABC tetap dapat melangsungkan
kehidupannya yang layak dan tidak terjadi pelanggaran terhadap hak asasi
manusia sebagaimana tercantum dalam pasal 27 ayat (2) UUD NRI 1945 yang
berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan”.

3. Penerapan Sistem Outsourcing di Negara Berkembang

Istilah outsourcing diartikan sebagai contract (workout). Menurut definisi


Maurice Greaver, outsourcing dipandang sebagai tindakan mengalihkan beberapa
aktivitas perusahaan dan hak pengambilan keputusaannya kepada pihak lain
(outside provider), di mana tindakan ini terkait dalam suatu kontrak kerja sama.
Dapat juga dikatakan outsourcing sebagai penyerahan kegiatan perusahaan baik
sebagian ataupun secara menyeluruh kepada pihak lain yang tertuang dalam
kontrak perjanjian.

Sistem Outsourcing ini sebenarnya sudah cocok untuk diterapkan pada


negara maju maupun negara berkembang, karena dengan menggunakan sistem
outsourcing yang membutuhkan tenaga kerja akan mendapat jaminan yang lebih
aman juga dari segi biaya jauh lebih efisien karena perusahaan tidak perlu lagi
memberikan pelatihan (traning) kepada para pekerja dan hanya tinggal
menggunakan tenaga kerja siap pakai yang sudah disediakan oleh perusahaan
outsourcing.

Pada dasarnya setiap sistem (termasuk outsourcing) dapat berjalan dengan


baik dan menguntungkan jika terdapat keterkaitan yang baik antara teori, norma,
dan pelaksanaan. Berikut terdapat dua jenis tipe perjanjian outsourcing yaitu:

a. Tipe perjanjian Outsourcing SDM (OSDM) yang menyerahkan segala


urusan pengelolaan tenaga kerja kepada perusahaan outsoursing, misalnya
urusan pengupahan (pay roll), pengaturan jadwal kerja dan sebagainya.

b. Tipe perjanjian sales agency atau distributorship yang hanya


menitipberatkan pada hasil akhir yang dihasilkan oleh pekerja/buruh
outsource, jadi perusahaan outsourcing hanya akan dibayar berdasarkan
hasil yang dicapai oleh pekerja/buruh outsource-nya.

Namun seringkali pihak penyelenggara sistem outsourcing tidak


melaksanakannya dengan benar yang menyebabkan para pekerja kerap menjadi
pihak yang paling dirugikan, sehingga menimbulkan keraguan mengenai
kecocokan penerapan sistem outsourcing di negara berkembang.

Praktik outsourcing yang salah yang sering terjadi di negara berkembang,


seperti Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Kesalahan Dalam Memilih Mitra Perusahaan Outsourcing

Banyaknya perusahaan-perusahaan outsourcing di Indonesia saat ini telah


memiliki kesalahan pengguna outsourcing dalam memilih mitra (perusahaan
outsourcing) untuk menerapkan outsourcing di departemen perusahaannya.
Tidak jarang suatu perusahaan dari suatu perusahaan outsourcing
merupakan anak perusahaan dari suatu perusahaan non-outsourcing dimana
pembentukan perusahaan outsourcing tersebut pada mulanya hanya bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja perusahaan induknya.

Dampaknya dari kesalahan suatu perusahaan pengguna outsourcing


(perusahaan pemberi kerja) dalam memilih mitra perusahaan outsourcing dapat
berbentuk keterlambatan pemenuhan tenaga kerja dengan kualifikasi khusus yang
menunjukan rendahnya tingkat kemampuan rekruitmen perusahaan outsourcing,
hingga terjadinya kecurangan yang di lakukan oleh pekerja/buruh yang
mengakibatkan kerugian finansial dan non finansial pihak perusahaan pengguna
outsourcing (perusahaan pemberi kerja).

2. Perotasian Pekerja/Buruh Outsource Dengan Tidak Memperhatikan Etika


Bisnis

Praktik outsourcing yang salah yang juga marak terjadi adalah dalam hal
perotasian pekerja/buruh outsource dengan tidak memperhatikan etika bisnis yang
akhirnya mengakibatkan ketidak adilan bagi perusahaan pengguna jasa
outsourcing (perusahaan pemberi kerja).

3. Kecurangan Dalam Pengupahan Pekerja/Buruh Outsource

Inilah bentuk dari praktik outsourcing yang salah yang banyak mendapat
sorotan dari para pekerja/buruh outsource yang akhirnya menyebabkan terjadinya
banyak unjuk rasa dari para pekerja/buruh outsource. Bentuk praktik outsourcing
yang salah ini biasanya dilakukan oleh perusahaan-perusahaan outsourcing yang
baru terdiri oleh perusahaan-perusahaan outsourcing yang bisa kita bilang serakah
karena menerapkan premanisme outsourcing pada para pekerja/buruh outsource-
nya. Bentuk kecurangan dalam pengupahan pekerja/buruh outsource yang sering
kami jumpai adalah :

a. Adanya pekerja/buruh outsouce yang menerima upah yang besarnya kurang


dari upah minimum provinsi (UMP), melanggar ketentuan pasal 90 ayat 1
undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
b. Adanya pekerja/buruh outsource yang menerima upah yang lebih kecil dari
pekerja/buruh tetap yang di antara keduanya melakukan pekerjaan dan nilai
yang sama di lokasi kerja yang sama, melanggar ketentuan pasal 3 peraturan
pemerintah nomor 8 tahun 1981 tentang perlindungan upah. Seharusnya status
pekerja yang berada (satu karyawan kontrak , satu lagi karyawan tetap) tetap
boleh untuk pekerjaan yang sama. Hal ini membuktikan kecemburuan sosial,
karena karyawan kontrak biasanya menerima upah dan tunjangan lain yang
lebih kecil dari karyawan tetap.

c. Adanya pekerja/buruh yang tidak menerima kompensasi sanksi dari


pengusaha tidak atas keterlambatan pembayaran upah yang di alaminya,
melanggar ketentuan pasal 19 peraturan pemerintah nomor 8 tahun 1981
tentang perlindunga upah.

4. Kurangnya Perhatian Atas Kebutuhan, Performa Dan Jenjang Karir


Pekerja/Buruh Outsource
Kurangnya perhatian perusahaan outsourcing pada kebutuhan
pekerja/buruh outsource-nya dapat mengakibatkan lunturnya integritas antara
pekerja/buruh.

Berdasarkan uraian di atas, penerapan sistem outsourcing sebenarnya


cocok diterapkan di negara berkembang, apabila kesalahan-kesalahan yang
diuraikan diatas dapat diantisipasi dengan baik. Karena selain memberikan
keuntungan kepada kedua belah pihak, Outsourcing juga merupakan suatu sarana
yang dapat membantu pemerintah dalam mengatasi pengangguran.
Sistem outsourcing sangat cocok diterapkan di negara manapun apabila
sudah memenuhi syarat dan ketentuan yang telah diatur dalam undang-undang,
serta tidak adanya oknum-oknum yang membuat kesalahan terhadap Outsourcing
itu sendiri sehingga Indonesia tidak perlu keluar dari keanggotaan WTO karena
keberadaan Outsourcing diadopsi dari standar-standar WTO yang cocok
diterapkan di negara maju maupun berkembang.

You might also like