You are on page 1of 16

DAFTAR KOLEKSI KALENDER 2020

(Fifia Wardhani)

1. Prasasti Muara Kaman


Batu
Desa Brubus, Muara Kaman, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur
Aksara Pallawa awal
Bahasa Sanskerta
Abad ke-4 - 5 Masehi
Tg. 169 cm; Lb. 38 cm; Tb.29 cm
No. Inv. D. 2a

Prasasti Muara Kaman bernomor inventaris D. 2a ini merupakan salah satu dari 7 prasasti
yang dipahat pada tiang batu yang disebut yupa. Secara garis besar ketujuh yupa ini berisikan
tentang sedekah raja Mulawarman kepada para brahmana. Atas kebaikan budi sang raja,
maka para brahmana mendirikan yupa sebagai tanda peringatan. Oleh karena itu prasasti ini
juga dikenal dengan nama yupa atau prasasti Mulawarman atau prasasti Muara Kaman.

Prasasti Mulawarman bernomor inventaris D 2a ini memiliki keistimewaan dari segi isinya,
yaitu selain menyebutkan sedekah raja Mulawarman yang berupa emas amat banyak, juga
menyebutkan silsilah raja tersebut. Raja Mulawarman yang berperadaban baik, kuat, dan
kuasa merupakan cucu dari Sang Maharaja Kundungga, anak dari Sang Aswawarman.
Aswawarman diibaratkan seperti Angsuman (dewa Matahari), menumbuhkan keluarga yang
sangat mulia dengan memiliki tiga orang putera yang seperti api suci. Dari ketiga puteranya,
Mulawarmanlah yang paling terkemuka.

Prasasti Mulawarman yang beraksara Pallawa menandai awal zaman keberaksaraan di


Indonesia. Aksara Pallawa berasal dari India selatan yang sangat mungkin merupakan aksara
semi silabik yang berakar dari aksara Brahmi. Meskipun tidak memuat angka tahun, prasasti-
prasasti Mulawarman dapat diperkirakan berasal dari abad ke-4 - 5 Masehi berdasarkan gaya
penulisannya. De Casparis berpendapat bahwa aksara pada prasasti-prasasti Mulawarman
tergolong Early Pallawa atau Pallawa dari masa-masa awal, dan memiliki box-heads, yaitu
bentuk segi empat kecil sebagai kepala aksara (de Casparis 1975: 14-20).

Dalam sejarah penemuannya, ketujuh yupa tersebut tidak ditemukan secara bersamaan.
Awalnya hanya ditemukan 4 buah yupa. Penemuan ini pertama kali dilaporkan oleh Asisten
Residen Kutei kepada pimpinan Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
tanggal 9 September 1879. Setahun kemudian, tahun 1880, keempat yupa tersebut dibawa ke
Batavia (Jakarta) dan disimpan dalam koleksi Arkeologi di museum Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen yang sekarang menjadi Museum Nasional,
dengan nomor inventaris D 2a-d. Pada akhir tahun 1940 ditemukan lagi 3 yupa di daerah
yang sama. Ketiga yupa ini pun dibawa ke Jakarta untuk disimpan di Museum Nasional
Indonesia (MNI) dan diberi nomor inventaris D 175-D 177.
2. Prasasti Kalasan
Batu
Desa Kalasan, Daerah Istimewa Yogyakarta
Aksara Siddham (Pranagari)
Bahasa Sanskerta
Tahun 700 Śaka (= 778 Masehi)
Tg. 46 cm; Lb. 67 cm; Tb. 12 cm
No. Inv. D. 147

Prasasti Kalasan pertama kali dilaporkan penemuannya tahun 1886. Dinamakan prasasti
Kalasan karena ditemukan di daerah antara Kalasan dan Prambanan. Prasasti Kalasan
merupakan prasasti tertua berangka tahun yang ditulis dalam aksara siddham dan tersusun
dalam bentuk metrum atau sloka.

Isi prasasti Kalasan diawali dengan penghormatan kepada dewi Tārā, dan disebutkan bahwa
adanya permohonan para guru keluarga Śailendra kepada Mahārāja Panangkarana agar
dibuatkan sebuah bangunan suci untuk pemujaan dewi Tārā. Permohonan ini kemudian
dikabulkan. Pada tahun 700 Śaka (= 778/779 Masehi) Mahārāja Dyaḥ Pañcapaṇa Kariyāna
Paṇaṃkaraṇaḥ (Rakai Panangkaran) memerintahkan pendirian bangunan suci untuk
pemujaan dewi Tārā (tārābhavanam). Bahkan ditambah dengan hadiah tanah di desa Kalasa
untuk kepentingan pemeliharaan bangunan suci tersebut. Peristiwa penting ini diabadikan di
dalam sebuah prasasti, disaksikan oleh pejabat-pejabat kerajaan seperti Pangkur, Tawan dan
Tirip. Bangunan suci dewi Tārā ini diidentifikasikan sebagai candi Kalasan sekarang. Oleh
sebab itu dapat diketahui nama kuna candi Kalasan adalah Tarabhavanam. Mungkin nama
Kalasan juga berasal dari relief-relief kalasa (periuk besar) yang dipahatkan di dinding kaki
candi.

Siddhamatrka (Pranāgarī) atau Siddham (bhs. Sanskerta: “sempurna”, “ulung”) adalah adalah
sebutan lain dari aksara Nagari. Aksara Nāgarī adalah aksara yang berasal dari India Utara.
Nāgarī, adalah bentuk feminin dari kata Sansekerta, nāgara, yang artinya ‘kota. Nāgarī
adalah sejenis tulisan yang diturunkan dari tulisan Brahmi melalui tulisan Gupta dari abad ke-
3 sM. Tulisan Nāgarī muncul pada kira-kira abad ke-8 sebagai varian tulisan Gupta bagian
timur, sejaman dengan tulisan Sharada, varian tulisan dari bagian barat. Di daerah asalnya
India, aksara ini telah digunakan secara luas dan ditetapkan sebagai abjad nasional, dikenal
sebagai aksara Dewanāgarī. Aksara Nagari ini kemudian menyebar di wilayah Asia melalui
pengajaran agama Buddha, dipakai untuk menuliskan mantra-mantra suci yang singkat,
kadang-kadang juga terdapat pada teks-teks lengkap.
3. Prasasti Lobu Tua
Batu
Lobu Tua, Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara 
Aksara Tamil
Bahasa Tamil
Tahun 1010 Śaka (= 1088 Masehi)
Tg. 92 cm; D. 30 cm
No. Inv. D. 42

Prasasti-prasasti beraksara Tamil tidak banyak dijumpai di Indonesia, hanya ditemukan di


pulau Sumatra, yaitu Sumatra bagian barat dan Sumatra bagian utara. Pada umumnya
prasasti-prasasti ini berisi tentang perkumpulan pedagang dan regulasi pajak, yang terkait
dengan pedagang Tamil. Sebagaimana diketahui, sejak abad ke-9 Masehi diperkirakan telah
ada komunitas Tamil yang menetap dan berdagang di wilayah Sumatra.

Prasasti Lobu Tua yang berbentuk tiang segi enam dengan sisi-sisi tidak beraturan ini
ditemukan pada tahun 1873. Prasasti ini tidak seluruhnya ditulis dalam aksara Tamil (yang
tentunya dalam bahasa Tamil). Ada beberapa yang ditulis dalam aksara Grantha untuk kata-
kata dalam bahasa Sansekerta, contohnya svasti, śrī. Aksara Tamil, seperti aksara-aksara
India lainnya, adalah perkembangan dari aksara Brahmi yang berasal dari abad ke-5 sebelum
Masehi. Semua tulisan-tulisan dari India selatan, termasuk aksara Tamil, dikategorikan ke
dalam aksara Brahmi bagian selatan. Beberapa sarjana berpendapat bahwa aksara Tamil
bersama aksara Pallawa diturunkan dari aksara Brahmi melalui tulisan Grantha. Tetapi
temuan prasasti-prasasti baik di India maupun negara-negara Asia lainnya mengindikasikan
adanya aksara Brahmi dalam bahasa Tamil sehingga disebut Tamil-Brahmi. Dengan
demikian diperkirakan aksara Tamil adalah turunan langsung dari aksara Brahmi. Di
Indonesia, aksara Tamil tidak mengalami perkembangan yang berarti dalam adaptasinya
dengan masyarakat setempat.

Prasasti Lobu Tua ini dikeluarkan pada bulan Māsi tahun 1010 Saka (Februari – Maret 1088
M). Pada tanggal tersebut, anggota-anggota perkumpulan pedagang yang menamakan diri
“Yang Ke Lima Ratus dari Seribu Arah” bertemu di Vēḷāpuram di Vārōcu alias Mātaṅkari-
vallava-tēci-uyyakkoṇṭa-paṭṭinam dan mengambil keputusan tentang dua orang, Nakara-
sēnapati Nāṭṭu-ceṭṭiyār (“Kapitan dari kota”) dan Patineṇ-bhūmi-tēci-appar (“anggota
perkumpulan pedagang dari 18 tempat”), serta perkumpulan yang dinamakan māvettu.
Diputuskan bahwa ada tiga golongan orang, yaitu [1] Setiap (----) dari kapalnya; [2] Nakhoda
kapal; dan [3] kēvi, akan membayar pajak yang disebut añcutuṇṭāyam dalam wujud emas
berdasarkan harga kastūri dan kemudian akan “berjalan di atas bentangan kain”. Yang
terakhir terdapat suatu nasehat ringkas untuk mempertahankan sikap baik hati.
4. Prasasti Telaga Batu
Batu
Telaga Batu, kelurahan 2 Ilir, kecamatan Ilir Timur II, kota Palembang, Sumatera Selatan
Aksara Pallawa akhir
Bahasa Melayu Kuno
Abad ke-7 Masehi
Tg. 118 cm; Lb. 148 cm
No. Inv. D. 155

Prasasti ini ditemukan di Telaga Batu pada tahun 1935. Berdasarkan tempat penemuannya
maka dinamakan sebagai prasasti Telaga Batu. Tidak jauh dari lokasi penemuan prasasti ini
juga ditemukan prasasti-prasasti pendek yang berisikan kalimat siddhayatra. Prasasti-prasasti
pendek yang berisikan kalimat siddhayatra lebih dikenal dengan sebutan prasasti
siddhayatra, sedangkan prasasti yang berhiaskan tujuh kepala kobra ini dikenal sebagai
prasasti Telaga Batu.

Prasasti Telaga Batu ini memiliki keunikan, bagian atasnya dihiasi dengan tujuh kepala ular
kobra berbentuk pipih dengan mahkota berbentuk permata bulat. Lehernya mengembang
dengan hiasan kalung. Hiasan ular kobra tersebut bersatu dengan permukaan batu datar pada
bagian belakang. Pada bagian bawah prasasti terdapat cerat atau pancuran seperti pada yoni.
Yoni merupakan lambang dari dewi Parwati, śakti (pasangan) dewa Siwa yang diwujudkan
dalam bentuk benda persegi empat yang bagian tengahnya berlubang dan di salah satu
sisinya terdapat cerat untuk mengalirkan air.
Prasasti Telaga Batu ditulis dalam aksara Pallawa akhir dan bahasa Melayu Kuno, meskipun
demikian juga terdapat beberapa kata dalam Sanskerta di awal penulisan prasasti. Prasasti
yang terdiri dari 28 baris ini berisikan tentang kutukan terhadap siapa saja yang melakukan
kejahatan di Kadatuan Sriwijaya dan tidak taat kepada perintah Datu, termasuk para
pejabatnya mulai dari putra mahkota, hakim, jaksa, kapten bahari, pengrajin, tukang cuci,
sampai tukang sapu Kadatuan. Meskipun tidak memuat angka tahun, prasasti Telaga Batu ini
dapat diperkirakan berasal dari masa yang sama dengan prasasti Kota Kapur yang berangka
tahun 608 Śaka (= 686 Masehi) dilihat dari gaya pemahatan aksaranya (Casparis, 1956:16).
5. Prasasti Kota Kapur
Batu
Desa Penangan, Mendo Darat, kabupaten Bangka, Bangka Belitung
Aksara Pallawa akhir
Bahasa Melayu Kuno
Tahun 608 Śaka (= 686 Masehi)
Tg. 177 cm; Lb. 19 – 32 cm
No. Inv. D. 90

Prasasti Kota Kapur ditemukan oleh J.K. van der Meulen, seorang Administratur di Sungai
Selan pada bulan Desember 1892, ditemukan bersama dengan reruntuhan bangunan candi
dan arca-arca Wisnu. Prasasti Kota Kapur ini unik, berbentuk seperti obelisk. Bagian yang
ditulisi ada pada seluruh sisinya yang ditulis dari atas ke bawah, jika prasasti diposisikan
tegak berdiri maka pembacaan dimulai dari atas ke bawah sedangkan bila prasasti dalam
keadaan tidur maka dibaca dari kiri ke kanan. Coedes (2014:65) menduga bahwa material
batu prasasti ini didatangkan dari luar, karena jenis batunya tidak terdapat di Pulau Bangka.

Prasasti Kota Kapur merupakan tugu peringatan telah dikuasainya Pulau Bangka oleh
Sriwijaya. Isinya diawali dengan seruan kepada dewata yang melindungi Kadatuan Sriwijaya,
dewata yang mengawali setiap mantra kutukan. Kemudian ancaman kepada para
pemberontak, baik itu daerah yang berada di bawah kekuasaan Sriwijaya, atau orang yang
bersekongkol dengan pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan
kata pemberontak, yang mengenal pemberontak, yang tidak hormat, yang tidak patuh dan
setia kepada Datu Sriwijaya, dan pada mereka yang telah diangkat oleh Datu Sriwijaya
sebagai Datu. Agar mereka yang telah disebutkan itu mati kena kutuk, dan akan segera
dikirimkan ekspedisi di bawah pimpinan Datu Sriwijaya untuk dihukum bersama marga dan
keluarganya.

Juga disebutkan ancaman akan terkena kutukan bagi mereka yang suka berbuat jahat seperti
mengganggu ketentraman jiwa orang, membuat sakit, membuat gila, menggunakan mantra,
racun, memakai racun upas dan tuba, ganja, sarāmvat, pekasih, memaksakan kehendaknya
pada orang lain dan sebagainya. Semoga perbuatan-perbuatan jahat itu tidak berhasil dan
menghantam mereka yang telah melakukan perbuatan jahat itu. Kutukan dan hukuman
langsung ditujukan pula kepada mereka yang menghasut supaya merusak dan mereka yang
merusak batu (prasasti) yang dipancangkan di tempat ini.

Selain kutukan, prasasti Kota Kapur ini juga mendoakan bagi siapa saja yang berbuat baik,
patuh, dan setia kepada Datu Sriwijaya akan diberkahi. Marga dan keluarganya akan
diberikan keberhasilan, kesentosaan, kesehatan, kebebasan dari bencana, dan kelimpahan
segalanya untuk semua negeri mereka. Baris-baris terakhir dari prasasti ini berisi keterangan
bahwa suatu ekspedisi sedang dipersiapkan untuk menaklukkan ‘bhumi jawa’.
6. Padrao
Batu
Jalan Kali Besar Timur I, DKI Jakarta
Aksara Latin
Bahasa Portugis
Abad ke-16 Masehi
Ukuran Tg. 172 cm; Lb. 44cm; Tb. 34 cm
No. Inv. 26/18423

Padrao adalah semacam ‘tugu peringatan’, pelengkap dari perjanjian antara raja Sunda dan
Henrique Leme di atas kertas bertanggal 21 Agustus 1522. Padrao didirikan di suatu tempat
yang dijanjikan akan didirikan benteng, ketika Henrique Lemé akan kembali ke Malaka, yaitu
di kawasan yang bernama Calapa (Sunda Kelapa).
Kedatangan bangsa Portugis ke Sunda Kelapa diawali dengan melemahnya Kerajaan Sunda
pada awal abad ke-16 Masehi. Keadaan ini dilihat sebagai sebuah peluang bagi Kerajaan
Demak untuk menaklukkan kerajaan ini. Menyadari kerajaannya yang semakin melemah dan
adanya ancaman dari Kerajaan Demak, Kerajaan Sunda meminta bantuan kepada Portugis
yang berada di Malaka pada tahun 1521. Portugis menanggapi permintaan ini dengan baik.
Pada tahun 1522, Portugis mengirim utusannya, Henrique Lemé ke Kerajaan Sunda untuk
mengadakan perjanjian. Isi perjanjian bilateral ini adalah bahwa Kerajaan Sunda dan
Kerajaan Portugis bersepakat untuk menjalin persahabatan. Kerajaan Sunda akan
memperoleh bantuan dari Portugis untuk melawan musuh-musuh Kerajaan Sunda. Untuk
mempererat hubungan dagang, orang-orang Portugis diijinkan mendirikan benteng dan diberi
hak untuk memperoleh lada. Selain itu, raja Sunda pun berjanji memberikan karung lada
setiap tahunnya kepada raja Portugal terhitung mulai hari dibangunnya benteng tersebut.
Perjanjian ini dibuat secara tertulis pada 2 lembar kertas dengan isi yang sama (copy), yang
ditandatangani oleh kedua belah pihak dan sebagai pegangan raja Sunda yang diwakilkan
oleh Pangeran Surawisesa (Portugis menyebutnya sebagai raja Samiam) yang tak lain
merupakan putra mahkota dari raja Sunda dan Henrique Lemé, yang merupakan utusan Jorge
d’ Albuquerque Gubernur Portugis di Malaka. Saksi dari pihak Sunda adalah mandari tadam
‘mantri dalem’, tamungo sanque de pate ‘tumenggung sang adipati’, dan bengar xabandar
‘syahbandar’. Sedangkan dari pihak Portugis adalah 8 orang ikutserta. Saksi dari Portugis
adalah Fernando de Almeida, Francisco Anés, Manuel Mendes, Joao Coutinho, Gil Barboza,
Tomé Pinto, Sebastian do Rego, dan Francisco Diaz (Hageman 1867:210-211).
Sebelum kembali ke Malaka, Henrique Lemé diantarkan ke tempat yang dijanjikan untuk
membangun benteng, yaitu di tepi sebelah timur muara Ci Liwung, di kawasan yang bernama
Calapa (yang kemudian menjadi Sunda Kalapa). Di situlah mereka mendirikan padrao.
Selanjutnya Henrique Lemé kembali ke Malaka untuk melaporkan perjanjian ini kepada
Jorge de Albuquerque, “kapten” kota Malaka untuk urusan perdagangan, menilai hal itu
sangat penting dan menulis kepada raja Portugis untuk meminta persetujuannya.
Dom João III, raja Portugis menyetujuinya dan mempercayakan pelaksanaannya kepada
Francisco de Sá, kemudian berangkat dengan armada kapal yang dipimpin oleh Vasco da
Gama. Saat itu Vasco da Gama adalah wakil raja yang baru di India (Guillot 1992:2). Oleh
karena Vasco da Gama wafat, Francisco de Sá diberikan tugas lain dan menetap sementara di
India. Setelah menyelesaikan tugasnya, Francisco de Sá kembali melanjutkan perjalanannya
ke Calapa. Akan tetapi saat mereka sampai pada tahun 1527 ternyata Calapa sudah dikuasai
oleh pasukan Kerajaan Demak, yang dipimpin Fatahillah. Usaha Portugis untuk merebut
Calapa dari pasukan Fatahillah tidak pernah berhasil sehingga benteng itu pun tidak pula
sempat berdiri. Surawisesa pun terpaksa berperang sendiri melawan musuh-musuhnya karena
bantuan Portugis tidak pernah tiba.
Padrao saat ini disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor inventaris 18423/26.
Prasasti Padrao dipahat pada batu andesit warna hitam berbentuk segi empat agak membulat
dengan ukuran tinggi 198 cm dan diameter 67,5 cm. Pada bagian atas Padrao terdapat
armillary sphere atau rangka bola langit dengan khatulistiwa dan lima garis lintang sejajar.
Pada bagian atas bola langit terdapat lambang tiga daun (trifoil).
Di bawah bola langit ini terdapat 4 garis inskripsi. Garis pertama berupa salib Ordo Christus,
yang termashur di Portugal sebagai penerus Ordo Bait Suci dari Yerusalem di wilayah
kekuasan raja Portugal. Garis kedua berupa huruf DSPOR singakatan dari D= Do, S=
Senhario, POR= Portugal yang artinya Penguasa Portugal. Garis ketiga berupa huruf
ESFERᴙᵅ/Mᵒ dibaca Esfera do Mundo yang artinya Harapan Dunia. Garis keempat bentuk
salib.
Pada tahun 1918 ketika dilakukan penggalian untuk membangun fondasi gedung di sudut
Prinsenstraat (sekarang Jalan Cengkeh) dan Groenestraat (sekarang Jalan Kali Besar Timur
I, yang sebelumnya bernama jalan Nelayan) batu perjanjian tersebut ditemukan kembali.
Penemuan ini termuat dalam laporan Oudheitskundig Verslag terbitan Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen 1919. Lokasi atau tempat ditemukannya
padrao menunjukkan bahwa pantai pada awal abad ke-16 Masehi kurang lebih lurus dengan
garis di sebelah selatan rel kereta api dan jalan tol layang Tanjung Priok – Cengkareng,
sekitar 400 meter sebelah selatan Menara Syahbandar. Maka, seluruh kawasan di sebelah
utara, bahkan tempat Menara Syahbandar pun pada awal abad ke-16 Masehi masih berupa
laut dangkal.

7. Prasasti Mukha Lingga


Batu
Singosari, Malang, Jawa Timur
Aksara Jawa Kuno
Tahun 1283 (Śaka) (= 1361 Masehi)
Tg. 77 cm; D. 22 cm
No. Inv. D. 89/352

Prasasti Mukha Lingga merupakan prasasti yang hanya berisi angka tahun, dipahatkan di
sebuah batu berbentuk lingga dengan hiasan figur wajah Bhairawa. Kepala Bhairawa
digambarkan berdagu dan memiliki rambut yang berdiri seperti lidah api. Pada bagian
lehernya mengenakan kalung. Aksara yang berupa angka tahun Jawa Kuno 1283 (Śaka) yang
dipahatkan di atas kepala figur Bhairawa.

8. Prasasti Tugu
Batu
Kampung Batu Tumbuh, kelurahan Tugu, Koja, Jakarta Utara
Aksara Pallawa awal
Bahasa Sanskerta
Abad ke-5 Masehi
Tg. 137 cm; D. 80 cm
No. Inv. D. 124

Prasasti Tugu dikeluarkan di masa pemerintahan raja Purnawarman yang memerintah


kerajaan Tarumanagara. Dari semua prasasti-prasasti yang berasal dari masa pemerintahan
Purnawarman hanya prasasti inilah yang memuat keterangan terbanyak. Namun sayangnya
tidak menuliskan angka tahun meskipun sudah menuliskan unsur-unsur pertanggalan yang
lain seperti hari atau tanggal dan bulan.

Prasasti Tugu ditulis dalam aksara Pallawa awal berbahasa Sanskerta dalam bentuk sloka
dengan metrum anustubh. Aksara dipahat dipahat melingkari permukaan batu yang berbentuk
bulat telur, dan memiliki hiasan pahatan trisula (tombak bermata tiga) yang memanjang
vertikal. Trisula tersebut seolah-olah berfungsi sebagai batas pemisah antara awal dan akhir
kalimat.

Prasasti Tugu berisi mengenai dua sungai (kanal), Candrabhāga dan Gomati. Sungai
Candrabhāga yang telah digali terlebih dahulu dan airnya mengalir sampai ke laut dan
melewati istana kerajaan Pūrṇawarman yang termasyhur. Raja Pūrṇawarman yang mulia dan
mempunyai lengan yang kencang dan kuat memerintahkan penggalian sungai sepanjang 6122
tumbak (±12 km) bernama Gomati. Penggalian Sungai Gomati ini dilakukan pada tahun ke-
22 dari masa pemerintahan Pūrṇawarman, dan selesai dalam tempo 21 hari, yaitu dimulai dari
tanggal 8 paro-gelap, bulan Phalguna dan selesai tanggal 13 paro-terang, bulan Caitra.
Disebutkan bahwa Sungai Gomati yang permai dan berair jernih itu mengalir di tengah-
tengah tanah kediaman yang mulia Sang Pendeta neneknda (Sang Pūrṇawarman). Selamatan
bagi pekerjaan ini dilakukan oleh para brahmana disertai 1000 ekor sapi yang dihadiahkan.

Dalam sejarah penemuannya, prasasti Tugu ini pada saat ditemukan terkubur di bawah tanah.
Hanya bagian puncak prasasti yang terlihat di permukaan tanah setinggi sekitar 10 cm. Ketika
tanah di sekelilingnya semakin tergerus, maka perlahan-lahan batu prasasti ini semakin
muncul ke permukaan, dan oleh masyarakat sekitar disebut sebagai batu tumbuh. Pada
tanggal 4 Maret 1879, Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen
mengadakan rapat pimpinan yang membahas penemuan prasasti Tugu. J.A. van der Chijs
dalam rapat tersebut mengusulkan agar prasasti Tugu dipindahkan ke museum. Kemudian
pada tahun 1911, prasasti ini dipindahkan ke museum Bataviaasch Genootschap van Kunsten
en Wetenschappen (kini Museum Nasional) atas usaha P. De Roo de la Faille.
9. Prasasti Canggal
Batu
Gunung Wukir, desa Canggal, kecamatan Salam, Magelang, Jawa Tengah
Aksara Pallawa akhir
Bahasa Sanskerta
Tahun 654 Śaka (= 732 Masehi)
Tg. 160,5 cm; Lb. 81,5 cm; Tb. 24,5 cm
No. Inv. D. 4

Prasasti Canggal dipahatkan pada batu berwarna kuning kecoklatan, berbentuk persegi empat
pipih (stele), dan bagian tepiannya telah diratakan. Permukaan bidang yang akan ditulisi juga
telah diratakan dan diupam terlebih dahulu. Bagian atas atau puncak dibentuk lengkung
kurawal.

Pada saat ditemukan, prasasti Canggal kondisinya terbelah menjadi dua bagian, dan saat ini
telah direstorasi, disatukan kembali. Pecahan yang kecil ditemukan di halaman candi Gunung
Wukir. Pecahan yang terbesar ditemukan di desa Canggal yang letaknya di bawah Gunung
(bukit) Wukir. Prasasti Canggal kini disimpan di Museum Nasional, Jakarta dengan nomor
inventaris D. 4.

Prasasti Canggal merupakan prasasti nomor dua tertua di pulau Jawa setelah prasasti Tuk
Mas yang menggunakan aksara Pallawa akhir dan bahasa Sansekerta. Angka tahun yang
tertera dalam prasasti ini adalah sruti indrya rasa atau 654 (Saka), merupakan penggunaan
candrasengkala tertua dalam prasasti di Indonesia.

Dari segi isinya, prasasti Canggal memberikan keterangan yang sangat penting bagi penulisan
sejarah kuno Indonesia, khususnya di masa kerajaan Mataram Kuno, periode pemerintahan
raja Sanjaya. Prasasti Canggal merupakan prasasti pertama yang dikeluarkan raja Sanjaya
untuk memperingati pendirian lingga di atas bukit Sthirangga. Pendirian lingga ini sebagai
rasa syukur bahwa ia telah dapat membangun kembali kerajaan dan bertahta dengan aman
tenteram setelah berhasil mengalahkan musuh-musuhnya. Mungkin sekali bangunan lingga
itu ialah reruntuhan candi di atas Gunung Wukir, mengingat bahwa prasasti Canggal memang
berasal dari halaman percandian itu.

Bait-bait awal dari prasasti Canggal ini berisi puji-pujian kepada dewa Siwa, Brahma, dan
Wisnu (trimurti) dengan catatan bahwa pujian untuk Siwa sendiri sebanyak 3 bait. Ini
menandakan bahwa agama yang dipeluk raja Sanjaya dan rakyatnya adalah Hindu Saiwa.
Sudah ada pemujaan terhadap trimurti secara bersama-sama, dan Siwa yang terutama dipuja.

Prasasti Canggal merupakan sumber tertulis Indonesia tertua yang menyebut pulau Jawa atau
Yawadwipa. Bait-bait selanjutnya mengenai pujian kepada pulau Yawa (Jawa) yang subur
dan banyak menghasilkan gandum atau padi dan kaya akan tambang emas. Di pulau Yawa itu
ada sebuah bangunan suci untuk pemujaan Siwa yang sangat indah, untuk kesejahteraan
dunia yang dikelilingi oleh sungai-sungai yang suci, antara lain sungai Gangga. Bangunan
suci itu terletak di wilayah Kunjarakunja.
Prasasti Canggal juga menyebutkan pendahulu raja Sanjaya. Disebutkan bahwa di pulau
Yawa ini terdapat seorang raja bernama Sanna, yang memerintah dengan lemah lembut
bagaikan seorang ayah yang mengasuh anaknya sejak kecil dengan penuh kasih sayang, dan
dengan demikian dia menjadi termasyhur di mana-mana. Setelah ia dapat menaklukan
musuh-musuhnya, ia memerintah dalam waktu yang lama dengan menjunjung tinggi keadilan
bagaikan Manu. Akan tetapi setelah Sanna wafat, kembali ke surga untuk menikmati jasanya
yang amat banyak, negeri dan rakyatnya menjadi sedih dan kebingungan karena kehilangan
pelindungnya.

Adapun yang menjadi pengganti raja Sanna adalah Sanjaya, anak Sannaha, saudara
perempuan raja Sanna. Ia seorang raja yang gagah berani, yang telah menaklukan raja-raja
sekelilingnya. Bagaikan Raghu, ia juga dihormati oleh para pujangga karena dipandang
sebagai raja yang paham meletakkan kakinya jauh di atas kepala raja-raja yang lain. Selama
ia memerintah dunia ini yang berikatpinggangkan samudera, dan berdada gunung-gunung,
rakyatnya dapat tidur di tepi jalan tanpa merasa takut akan penyamun dan bahaya lain. Oleh
karena kemakmuran itu, Dewi Kali hanya menangis-nangis saja sebab tidak dapat berbuat
apa-apa.
10. Prasasti Gajah Mada
Batu
Singosari, Malang, Jawa Timur
Aksara Jawa Kuno
Bahasa Jawa Kuno
Tahun 1273 Śaka (= 1351 Masehi)
Tg. 115 cm; Lb. 58 cm; Tb. 9 cm
No. Inv. D. 111

Prasasti ini dikeluarkan oleh sang Mahamantri Mukya Rakryan Mapatih Mpu Mada dalam
rangka pendirian sebuah bangunan caitya untuk memperingati gugurnya Bhaṭāra Sang lumaḥ
ri Śiwabuddha (Raja Kĕrtanagara) bersama para pendeta dan penjabat tinggi kerajaan.
Prasasti Gajah Mada ditemukan di tahun 1904 oleh penduduk setempat di dalam sebuah
sebuah kolam di samping langgar milik seorang pemuka agama Islam, di sebelah utara Candi
Singosari, Malang, Jawa Timur. Prasasti ini dinamakan prasasti Gajah Mada karena
menyebutkan seorang tokoh, yaitu pu Mada yang memerintahkan pengeluaran prasasti.
Prasasti Gajah Mada memiliki 17 baris tulisan hanya pada sisi depan (recto). Aksara dan
bahasa yang digunakan adalah Jawa Kuna. Bentuk aksara prasasti Gajah Mada ini lazim
digunakan pada prasasti-prasasti yang berasal dari abad ke-13-14 Masehi.

Prasasti Gajah Mada diawali dengan penyebutan tahun 1214 Śaka bulan Jyeṣṭa adalah
wafatnya (kamoktan) Raja Kĕrtanagara yang disebut sebagai Paduka Bhaṭāra sang lumah
ring Siwa Buddha. Kemudian dilanjutkan dengan penyebutan tanggal dikeluarkannya prasasti
ini, yaitu pada tahun (warṣa) 1273 Śaka, bulan (māsa) Weśaka, tanggal atau hari Pratipāda,
pada saat paruh bulan terang (śuklapakṣa), pada siklus 6 harinya adalah Haryang, siklus 5
harinya adalah Pon, siklus 7 harinya adalah Budha atau hari Rabu, wuku-nya adalah Tolu,
posisi bintang dan planet adalah Niritistha, kelompok bintangnya adalah Mrĕgaśira, dewata
Śaśi, dalam wilayah pengaruh Dewa Bayu (Bāyabya),yoga Sobhana, unit waktunya adalah
Śweta, dewa penguasa tempatnya adalah Brahmā, kāraṇa Kistughna, dan rasinya adalah
Wrĕṣabha (Taurus). Unsur-unsur penanggalan (17 unsur penanggalan) tersebut telah
dikonversikan oleh Louis Charles Damais ke dalam pertanggalan Masehi jatuh pada 27 April
1351 (Damais, 1955: 83).

Setelah itu disebutkan bahwa tokoh yang mengeluarkan prasasti yaitu seorang Mahamantri
terkemuka bernama Rakryān Mapatiḥ Mpu Mada. Rakryān Mapatiḥ Mpu Mada mewakili
Bhaṭāra Sapta Prabhu, yang paling utama adalah Śri Tribhuwanotuṅgadewi Mahārājasa
Jayawiṣṇuwārddhani, dan cucu-cucu putra-putri Śri Krĕtanagara yang memiliki nama
penobatan (abhiṣekā) Jñaneśwarabajra. Maksud dikeluarkannya prasasti ini adalah sebagai
pengesahan atau bukti tertulis telah diresmikannya sebuah bangunan suci caitya untuk
memperingati gugurnya Bhaṭāra Sang lumaḥ ri Śiwabuddha (Raja Kĕrtanagara) bersama para
pendeta dan penjabat tinggi kerajaan

Bangunan suci caitya tersebut direnovasi oleh Rakryān Mapatiḥ Mpu Mada, diperbaiki
kembali karena telah rusak. Mpu Mada berbuat amal dengan membangun
kembali/merenovasi bangunan suci caitya untuk Mahabrahmana, Śaiwa (dan) Sogata, yang
bersama-sama menyertai wafatnya Paduka Bhaṭāra (Raja Kertanagara), dan juga Sang
Mahāwrĕddhamantri yang terbunuh di bawah kaki baginda Raja Kertanagara. Tujuan
merenovasi caitya ini oleh Rakryan Mapatih Mpu Mada adalah untuk menyatakan rasa
baktinya kepada Raja Kertanagara beserta keturunannya, dan para pembantu dekatnya. Inilah
tindakan mulia Rakryan Mapatih Mpu Mada di bumi Jawadwipa.

11. Prasasti Amoghapāśa


Batu
Rambahan, nagari Lubuak Bulang, kecamatan Pulaupunjung (arca) dan Padangroco, Jorong
Sungai Langsat, nagari Siguntur, kecamatan Sitiung (alas arca) kabupaten Dharmasraya,
Sumatra Barat
Aksara Jawa Kuno, Sumatra Kuno
Bahasa Jawa Kuno, Sanskerta
Tahun 1208 Śaka (= 1286 Masehi) dan 1269 Śaka (= 1347 Masehi).
Tg. 200 cm; Lb. 146 cm; Tb. 84 cm
No. Inv. D. 198/6469

Prasasti dan sekaligus arca Amoghapāśa ini merupakan artefak yang sangat istimewa karena
merupakan bukti adanya hubungan baik antara kerajaan Singhasari dan kerajaan Melayu
Kuno di masa silam. Prasasti Amoghapāśa dipahatkan di beberapa bagian dari sebuah arca
Amoghapāśa Lokeśwara, yaitu di bagian alas persegi empat yang terpisah dari arca; di bagian
belakang sandaran arca, dan di alas arca yang berbentuk setengah lingkaran. Arca
Amoghapāśa Lokeśwara ini merupakan hadiah yang diberikan oleh Kĕrtanagara, raja
Singhasari kepada Śrimat Tribhūwanarāja Mauliwarmadewa, raja Malayu di Dharmāśraya
pada tahun 1208 Śaka (= 1286 Masehi).

Prasasti yang dipahatkan di bagian alas berbentuk persegi empat yang terpisah dari arca
dinamakan prasasti Amoghapāśa A atau prasasti Dharmāśraya. Aksara yang digunakan
adalah Jawa Kuno, bahasanya juga Jawa Kuno, kecuali di baris terakhir yang menggunakan
bahasa Sanskerta. Isinya menyebutkan bahwa pada tanggal 1 śuklapakṣa (paro-terang) bulan
Bhadrawada tahun 1208 Śaka (= 22 Agustus 1286) sebuah arca Amoghapāśa Lokeśwara
dibawa dari Bhūmi Jāwa (pulau Jawa) ke Swarnabhūmi (pulau Sumatra) untuk ditempatkan
di Dharmāśraya atas perintah Mahārājadhirāja Śrī Kĕrtanagara. Pemberian ini membuat
rakyat di tanah Malāyu bergirang hati, terutama rajanya bernama Śrimat Tribhūwanarāja
Mauliwarmadewa. Penempatan arca itu diiringi oleh empat orang pejabat kerajaan dari Jawa,
ialah Rakryān Mahāmantri Dyah Adwayabrahma, Rakryān Sirikan Dyah Sugatabrahma,
Samgat Payānan Haṅ Dipaṅkaradāsa dan Rakryān Dmuṅ Pu Wira (Soemadio (ed.), 1984:
84).

Prasasti yang dipahatkan di belakang sandaran arca Amoghapāśa dinamakan prasasti


Amoghapāśa B, ditulis dalam aksara Sumatra Kuno (yang sedikit berbeda dari aksara Jawa
Kuna) dan berbahasa Sanskerta. Prasasti ini dikeluarkan oleh Śrī Mahārājādhirāja
Ādityawarman atau Śrīmat Śrī Udayādityawarman, berangka tahun 1269 Śaka (= 1347
Masehi). Angka tahun tersebut ditulis dengan candrasangkala yaitu pataŋgacaraṇe nardānta
yang bernilai 1269 Śaka. Isinya secara garis besar mengenai pembangunan kembali/restorasi
bangunan suci yang rusak, pendirian sebuah arca Budha dengan nama Gaganagañja, nama
lain Amoghapāśa, ritual yang ditujukan kepada tokoh raja sebagai Jina di sebuah bangunan
suci budhis (Jinalaya). Kemudian menyebutkan kebajikan-kebajikan yang dilakukan oleh
kepercayaan (umat) buddhis; memuji pengetahuan yang mendalam tentang latihan-latihan
yoga dari Mahāyāna yang tidak ada akhirnya; pujian terhadap sepasang suami istri dewa-
dewi Buddha Tantris (Mātaṅginīśa dengan Tārā) yang mempunyai sifat Buddha Mahayana,
walaupun lingkungan sekitarnya bersifat Śiwa. Berdasarkan uraian prasasti Amoghapasa
dapat diketahui bahwa agama yang dianut oleh sang raja adalah Buddha Mahayana aliran
Tantrayana.

Prasasti yang dipahatkan di alas arca yang berbentuk setengah lingkaran dinamakan prasasti
Amoghapāśa C. Prasasti ini belum penah dibaca dan diterbitkan oleh sarjana-sarjana
terdahulu (Damais 1955: 99, footnote 1; Trigangga, 2014: 4-5). Kemungkinan dikeluarkan
oleh Raja Ādityawarman juga. Kondisi tulisan pada beberapa bagian tampak aus dan sulit
dibaca. Meskipun demikian, dapat diidentifikasi aksara dan bahasa yang digunakan, yaitu
aksara Sumatera Kuno yang berbeda tipe dari aksara prasasti Amoghapāśa B dan berbahasa
Sanskerta.

Berdasarkan sejarah penemuannya, arca Amoghapāśa dan lapiknya yang berbentuk persegi
empat ditemukan terpisah. Bagian arca ditemukan sekitar tahun 1880-an di situs Rambahan ±
10 km arah hulu sungai Batanghari, kabupaten Sawahlunto, Sumatra Barat. Penemuannya
pertama kali dilaporkan oleh kontrolir (pengawas) Twiss kepada Direksi Bataviaasch
Genootschap van Kunsten en Wetenschappen pada tahun 1884 (Krom, 1916:48). Saat ini
secara administratif situs rambahan terletak di Braholo, desa Rambahan, nagari Lubuak
Bulang, kecamatan Pulaupunjung, kabupaten Dharmasraya, Sumatra Barat. Sedangkan
bagian alas (lapik) arca ditemukan kemudian pada tahun 1911 di kompleks percandian
Padangroco, Jorong Sungai Langsat, nagari Siguntur, kecamatan Sitiung, kabupaten
Dharmasraya, Sumatera Barat. Kini kedua bagian itu disatukan kembali, arca Amoghapāśa
dan lapiknya disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan nomor inventaris D.198 untuk
bagian prasasti dan 6469 untuk bagian arca.
12. Prasasti Sanghyang Tapak
Batu Pasir
Sungai Cicatih dan Pangcalikan, Bantarmuncang, Sukabumi, Jawa Barat
Aksara Jawa Kuno tipe Kuadrat
Bahasa Jawa Kuno
Tahun 952 Śaka (= 1030 Masehi)
Tg. 82 - 93 cm; Lb. 61 - 73 cm; Tb. 12 - 23 cm
No. Inv. D. 73; D. 96; D. 97; dan D. 98.

Prasasti Sanghyang Tapak terdiri dari dua prasasti, yaitu Sang Hyang Tapak I dan Sanghyang
Tapak II yang dipahatkan pada empat batu alam mengandung pasir. Saat ini prasasti
Sanghyang Tapak I dan II disimpan di Museum Nasional dan diberi nomor inventaris D. 73;
D. 96; D. 97; dan D. 98. Keempat batu bertulisan ini ditemukan di dua tempat yang berbeda.
Berdasarkan Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1890 dan 1891, prasasti yang
bernomor inventaris D. 73 ditemukan ditepi Sungai Cicatih, dekat stasiun kereta api Cibadak,
Sukabumi. Sedangkan menurut Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1897, 1898, dan
1899, prasasti yang bernomor inventaris D. 96; D. 97; dan D. 98 ditemukan di bukit
Pangcalikan, Bantarmuncang, Sukabumi. Prasasti bernomor inventaris D. 73, D. 96, dan D.
97 merupakan prasasti Sang Hyang Tapak I, dan yang bernomor inventaris D. 98 merupakan
prasasti Sang Hyang Tapak II. Kedua prasasti tersebut memiliki angka tahun yang sama,
yaitu 952 Śaka.

Isi prasasti Sanghyang Tapak I dan II saling berkaitan. Prasasti Sanghyang Tapak I memuat
keterangan bahwa pada bulan Kārttika, paro-terang, tahun 952 Śaka ketika raja Sunda
bernama Mahārāja Śrī Jayabhūpati Jayamanahĕn Wiṣṇumurtti Samarawijaya
Śakalabhūwaṇamaṇḍalaleśwaranindita Haro Gowārdhana Wikramottuṅgadewa menetapkan
semacam daerah larangan (tĕpĕk) di sebelah timur Sanghyang Tapak. Daerah larangan atau
daerah tertutup itu berupa sebagian dari sungai, yang kemudian dinyatakan tertutup atau tidak
diperbolehkan untuk segala macam penangkapan ikan dan penghuni sungai lainnya.
Sementara itu ditetapkan pula batas-batasnya, di hulu sungai berbataskan dengan tempat
pemujaan, dan perbatasan di hilir adalah yang terdapat dua batu besar. Demi peneguhan
keputusan ini maka dibuatkan prasasti. Keterangan terakhir dari prasasti Sang Hyang Tapak I
ini adalah bahwa raja Sunda mengucapkan sumpah atau kutukan. Mengenai para Dewa dan
leluhur yang dijadikan saksi dan macam sumpah yang dilontarkan bagi pelanggar keputusan
sang raja diuraikan lebih lanjut dalam prasasti Sang Hyang Tapak II.

Prasasti Sanghyang Tapak II merupakan kelanjutan dari prasasti Sanghyang Tapak I yang
memuat angka tahun 952 dan langsung menyebutkan para Dewa dan leluhur yang diminta
menjadi saksi pengucapan sumpah ini. Barang siapa yang melanggar ketetapan ini akan
terkena sumpah, yaitu terbelah kepalanya, terpotong ususnya, terisap otaknya, dan terbelah
dadanya. Sumpah itu berlaku untk sepanjang masa. Pengaruh sumpah ini secara tidak disadari
masih terasa sampai sekarang, karena tidak ada yang berani mandi di daerah tersebut. Dari
gelarnya, raja Jayabhūpati adalah penganut Hindu aliran Waisnawa, seperti juga dengan raja
Airlangga yang berkuasa di Jawa Timur pada abad yang sama sebagai penganut Hindu
Waisnawa.

13. Replika Nisan Nahrisyah


Semen
Gampong Beuringin, desa Meunasah Kuta Krueng, kecamatan Samudera, Aceh Utara,
Nangroe Aceh Darussalam
Aksara Arab bergaya Kufi
Bahasa Arab dan Melayu
Tahun 831 Hijriyah (= 1428 Masehi)
Tg. 108 cm; Lb. 77 cm; Tb. 20 cm
No. Reg. 44549

Replika dari nisan Sultanah Nahrasiyah ini aslinya terdapat di Samudra Pasai, Aceh. Nisan
Sulthanah Nahrisyah adalah salah satu tinggalan budaya materi, bukti bertulis dari masa
penyebaran Islam di Nusantara. Setelah adanya penyebaran agama Islam, aksara Arab mulai
dikenal dan berkembang di Nusantara. Aksara Arab pertama yang dikenal di Indonesia
dituliskan pada nisan yang ditemukan di desa Leran, Gresik dalam bahasa Arab dengan
kaligrafi kath Kufi. Pada perkembangan selanjutnya, aksara Arab tidak hanya digunakan
untuk menulis teks-teks agama saja, tetapi juga hal-hal yang menyangkut kehidupan sosial
sehari-hari, seperti teks-teks sastra, hukum, perdagangan, dan sebagainya.

Sultanah Nahrisyah atau Nahrasiyah adalah keturunan Sultan Malik as-Saleh, merupakan raja
perempuan pertama di Aceh yang memimpin Kerajaan Samudera Pasai. Samudera Pasai
sendiri merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1267
Masehi. Sulthanah Nahrisyah memimpin kerajaan Samudera Pasai menggantikan Sulthan
Zainal Abidin yang mangkat tahun 1405 Masehi. Sulthanah Nahrisyah wafat di tahun 1428
Masehi dan dimakamkan berdampingan dengan makam ayahnya, Sultan Zainal Abidin,
merupakan makam terindah di Asia Tenggara.

Nisan Sulthanah Nahrisyah dipenuhi aksara Arab berbahasa Arab dan Melayu Kuno dengan
khat Kufi yang indah, yaitu kaligrafi Arab tertua yang berasal dari kota Kufah. Nisan tersebut
memuat keterangan bahwa bahwa “Inilah kubur wanita yang bercahaya yang suci, Ratu yang
terhormat, Almarhumah yang diampunkan dosanya Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin
putra Sultan Ahmad putra Sultan Muhammad putra Sultan Malik As-Shaleh. Kepada mereka
itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya, mangkat dengan rahmat Allah pada hari
Senin 17 Dzulhijah 831 H/ 1428”. Selain itu dituliskan ayat Kursi, surah Yasin, kalimat
Syahadat, penggalan surah Ali Imran ayat 18-19 dan surah Al Baqarah ayat 285-286.

J.P. Moquette berpendapat bahwa nisan Maulana Malik Ibrahimdi Gresik, Jawa Timur dan
nisan Sultanah Nahrisyah atau Nahrasiyah berasal dari Cambay, Gujarat, India. Pendapatnya
ini didasarkan atas kesamaan bahan, jenis huruf, dan cara menulis pada nisan Maulana Malik
Ibrahim, nisan Sultanah Nahrsaiyah dengan sebuah nisan dari Cambay, yaitu nisan Umar bin
Ahmad al Khazaruni yang wafat pada tahun 1333.

You might also like