You are on page 1of 24

MAKALAH PEMBELAJARAN BERMAKNA

TEORI BELAJAR

Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pembelajaran Bermakna.

KELOMPOK 11
Nama anggota:
1. Ainul Faidah (4301419009)
2. Fina Ayu Lestari (4301419046)
3. Fransiska Nendrasari (4301419085)

Dosen pengampu:
Prof. Dr. Sri Haryani, M.Si.
Dra. Sri Nurhayati, M.Pd.

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2022
PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas berkat dan karunia-Nya
sehingga kami selaku penyusun dapat menyelesaikan makalah pembelajaran ini
sebagai tugas mata kuliah Pembelajaran Bermakna dengan tepat waktu. Makalah
pembelajaran yang berjudul “Makalah Pembelajaran Bermakna Teori Belajar” ini
diajukan sebagai bukti telah melaksanakan tugas Pembelajaran Bermajna dengan
dosen pengampu Prof. Dr. Sri Haryani, M.Si & Dra. Sri Nurhayati, M.Pd.
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah
pembelajaran ini, baik dari segi EYD, kosakata, tata bahasa, etika, maupun isi. Oleh
karena itu, kami mohon saran perbaikan dan kritik membangun yang kemudian kami
jadikan sebagai evaluasi demi kebaikan makalah pembelajaran ini. Semoga makalah
pembelajaran ini dapat diterima sebagai ide atau gagasan yang menambah kekayaan
intelektual dalam bidang Pembelajaran Bermakna serta bermanfaat bagi semua orang
dan juga penyusun sendiri.

Semarang, 17 Februari 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................... iii


1.1. Latar Belakang........................................................................................... iii
1.2. Rumusan Masalah ..................................................................................... iii
1.3. Tujuan Penulisan ....................................................................................... iii
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................ 1
2.1 Berbagai Teori Belajar ................................................................................ 1
2.2. Karakteristik Teori Belajar ...................................................................... 11
3.3 Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran ...................................... 15
BAB III PENUTUP .................................................................................................. 18
3.1 Simpulan ..................................................................................................... 18
3.2 Saran ........................................................................................................... 18
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 19

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Teori belajar merupakan gabungan prinsip yang saling berhubungan


dan penjelasan atas sejumlah fakta serta penemuan yang berkaitan dengan
peristiwa belajar. Penggunaan teori belajar dengan langkah-langkah
pengembangan yang benar dan pilihan materi pelajaran serta penggunaan
unsur desain pesan yang baik dapat memberikan kemudahan kepada siswa
dalam memahami sesuatu yang dipelajari. Proses belajar pada hakikatnya
adalah kegiatan mental yang tidak tampak. Artinya, proses perubahan yang
terjadi dalam diri seseorang yang sedang belajar tidak dapat disaksikan dengan
jelas, tetapi dapat dilihat dari gejala-gejala perubahan perilaku. Banyak definisi
yang dikemukakan para ahli tentang belajar. Melalui pertimbangan tertentu,
para ahli telah melakukan penelitian dari sudut pandang yang berbeda. Dari
perbedaan pandangan tentang belajar, dilahirkan teori-teori belajar yang
berbeda sesuai dengan sudut pandangan yang diyakini (Tristaningrat, 2019)
1.2. Rumusan Masalah

Penyusun telah menyusun beberapa masalah yang akan dibahas dalam


makalah ini sebagai batasan dalam pembahasan bab isi. Beberapa masalah
tersebut antaralain:
1. Apa saja berbagai teori belajar dari para ahli?
2. Bagaimana karakteristik berbagai teori belajar?
3. Bagaimana penerapan teori belajar?

1.3. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penulisan


makalah ini yaitu:
1. Mengetahui berbagai teori belajar dari para ahli.
2. Mengetahui dan memahami karakteristik berbagai teori belajar.
3. Mengetahui penerapan teori bel

iii
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Berbagai Teori Belajar

a. Teori Belajar Behavioristik

Teori behavioristik dicetuskan oleh Gagne dan Barliner yang berisi tentang
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Teori ini mengutamakan
pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal yang penting untuk melihat
terjadi tidaknya perubahan tingkah laku. Teori belajar behavioristik adalah teori
belajar yang menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai
makhluk reaktif yang memberi respon terhadap lingkungan. Pengalaman dan
pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka (Amsari, 2019).
Teori belajar behavioristik merupakan teori belajar klasik yang beranggapan
bahwa seseorang dianggap belajar jika mengalami perubahan tingkah laku. Teori ini
sangat mementingkan adanya input yang berupa stimulus dan output berupa respons
(Amsari, 2019). Dalam proses pembelajaran input ini bisa berupa alat peraga, gambar-
gambar, atau cara-cara tertentu untuk membantu proses belajar. Stimulus adalah apa
saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau
tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang
terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat
diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diukur adalah stimulus dan respon, oleh
karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) atau apa yang diterima oleh siswa
atau (respon) harus dapat diamati dan diukur (Amsari, 2019). Berikut ini merupakan
berbagai teori belajar behaviorisme menurut beberapa tokoh.
1) Teori Belajar Kondisioning Klasik (Clasical Conditioning)
Teori ini dicetuskan oleh Ivan Pavlov (1849-1936), seorang ilmuan
besar Rusia. Latihan pembiasaan secara berulang-ulang dengan sendirinya
stimulus netral akan berubah menjadi stimulus yang terkondisikan
(conditioned stimulus) dan tentunya akan menghasilkan respon yang
terkondisikan pula (condititioned Response) (Muktar, 2019).
Perlakuan yang dilakukan secara berulang- ulang akan melahirkan
kebiasaan. Adanya sebuah pengulangan akan memudahkan tertanamnya konsep,

1
fakta, informasi, pemahaman, dan pemikiran ke dalam benak (memori otak) peserta
didik (Muktar, 2019).
Dari percobaan yang dilakukan oleh Pavlov ini memunculkan dua hukum,
yaitu (Muktar, 2019):
a. Law of respondent conditioning (hukum pembiasaan yang dituntut).
Dalam artian, jika dua macam stimulus dihadirkan secara bersamaan atau
serentak (salah satunya berfungsi sebagai reinforcer) maka reflek ketiga
yang terbentuk dari respon atas penguatan refleks dan stimulus lainnya
akan meningkat.
b. Law of respondent extinction (hukum pemusnahan yang dituntut), yaitu
jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning
didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer maka kekuatannya
akan menurun. Dalam hal ini contoh ketika siswa berhasil menyebutkan
rukun sholat dilain waktu tanpa diberi respon apapun maka semangat
siswa dalam belajar akan berkurang atau menurun.

2) Teori Belajar E. Thorndike (Koneksionisme)


Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-
asosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dan respon (R).
Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda
untuk mengaktifkan organisme untuk bereaksi atau berbuat, sedangkan respon
adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang.
Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosisasi antara stimulus dan respon ini
mengikuti hukum-hukum berikut (Moreno, 2010):
a) Hukum kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu
organisme memperoleh suatu perubahan tingkah laku, maka
pelaksanaan tingkah laku tersebut akan menimbulkan kepuasan
individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat.
b) Hukum latihan (law of exercise), yaitu suatu sering suatu tingkah laku
diulang/dilatih (digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin
kuat.
c) Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon
cenderung diperkuat bila akibatnya menyenangkan dan cenderung
diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.

2
Hukum yang dikembangkan oleh Thorndike tersebut dilengkapi dengan prinsip-
prinsip sebagai berikut (Muktar, 2019):
a) Siswa harus mampu membuat berbagai jawaban terhadap stimulus
(multiple responses).
b) Belajar dibimbing atau diarahkan ke suatu tingkatan melalui sikap
siswa itu sendiri.
c) Suatu pelajaran yang telah dipelajari dengan baik dapat digunakan
juga terhadap stimulus yang lain, yang oleh Thorndike disebut
dengan perubahan asosiatif.
d) Jawaban-jawaban terhadap situasi baru dapat dibuat apabila siswa
melihat adanya analogi dengan situasi terdahulu.
e) Siswa dapat mereaksi secara selektif terhadap faktor-faktor yang
esensial di dalam situasi (prepotent element).
Berdasarkan teori hal di atas dijelaskan bahwa teori belajar behavioristik
ini khususnya menurut Thordike adalah perubahan tingkah laku melalui
stimulus dan respon. Artinya, perubahan tingkah laku dibentuk sesuai
keinginan lingkungan karena individu merespon sesuai dengan stimulus yang
diberikan. Selain itu, respon yang diberikan akan lebih baik, jika seseorang
tersebut sudah siap dalam menerima stimulus, sehingga menimbulkan
kepuasan bagi individu itu sendiri (Amsari, 2019).
3) Teori Belajar Operant Conditioning (Pembiasaan Perilaku Respon)
Teori operant conditioning dari Burrhus Frederic Skinner dengan teori
pembiasaan perilaku responsnya merupakan teori belajar yang paling muda
dan masih sangat berpengaruh di kalangan psikologi belajar masa kini. Karya
tulis terbarunya yang berjudul About Behaviorism menjelaskan bahwa tingkah
laku terbentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkan oleh tingkah laku itu sendiri
(Muktar, 2019).
Seperti Pavlov dan Watson, Skinner juga memikirkan tingkah laku
sebagai hubungan antara perangsang dan respons. Akan tetapi, berbeda dengan
kedua tokoh tersebut, Skinner membuat perincian lebih jauh yang
membedakan dua macam respon, yaitu (Muktar, 2019):
a) Respondent response (reflexive response), yaitu respon yang
ditimbulkan oleh perangsang- perangsang tertentu. Misalnya,

3
makanan yang menimbulkan keluarnya air liur, pada umumnya
perangsang yang seperti itu mendahului respon yang ditimbulkan.
b) Operant response (instrumental response), yaitu respon yang timbul
dan berkembangnya diikuti oleh perangsang-perangsang tertentu.
Perangsang yang demikian itu disebut reinforcing stimuli atau
reinforcer, karena perangsang-perangsang tersebut memperkuat
respons yang telah dilakukan organisme (Suryabrata, 2013).
Skinner membagi penguatan menjadi dua, yaitu: (1) Penguatan positif
yang dapat meningkatkan terjadinya pengulangan tingkah laku. Yang mana hal
ini bisa berupa hadiah (permen, kado, makanan, dll), perilaku (senyum,
bertepuk tangan, mengacungkan jempol, dll) atau penghargaan (memberkan
nilai A, Juara, dll). (2) Pengutan negatif. Penguatan ini bisa mengakibatkan
perilaku berkurang bahkan menghilang. Misalnya, menunda/tidak memberi
penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak
senang (menggeleng, muka kecewa, kening mengkerut, dll). (Gunawan, 2013).
Adapun prosedur pembentukan tingkah laku dalam Operant
Conditioning adalah sebagai berikut:
● Mengidentifikasi hal-hal yang merupakan reinforcer (hadiah) bagi
tingkah laku yang akan dibentuk.
● Menganalisis dan mengidentifikasi komponen kecil yang membentuk
tingkah laku, kemudian komponen tersebut disusun dalam urutan yang
tepat menuju pembentukan tingkah laku yang diharapkan.
● Urutan komponen tersebut sebagai tujuan sementara, dengan
mengidentifikasi reinfocer (hadiah) untuk masing-masing komponen itu.
● Melakukan pembentukan tingkah laku, dengan menggunakan urutan
komponen yang telah disusun.
(Muktar, 2019)
4) Teori Belajar John B. Watson (Kontiguitas)
Tokoh ini mengembangkan teori belajar berdasarkan hasil penelitian
Ivan Pavlov. Berdasar pada teori conditioning nya ia menganggap belajar
sebagai suatu proses perubahan yang terjadi karena adanya syarat-syarat
(condition) yang kemudian menimbulkan reaksi. Artinya, untuk menjadikan
seseorang itu belajar harus diberikan syarat-syarat tertentu. Dan adanya latihan
yang kontinu dianggap hal yang penting (Muktar, 2019).

4
Teori belajar dari tokoh ini juga disebut teori Kontiguitas, yang
menganggap faktor terbentuknya hubungan S-R cukup dengan keadaan
kontigu saja. Apabila suatu S kontigu atau dibuat ada bersama dengan tingkah
laku tertentu R, maka akan terbentuk hubungan dalam urat saraf. Dalam teori
belajar ini diperlukan hukum ulangan atau hukum latihan dalam belajar.
Namun, pada teori belajar ini tidak memperhatikan efek atau pengaruh variabel
yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, sehingga dikategorikan teori
belajar yang sederhana (Muktar, 2019).
5) Teori Belajar Edwin Ray Guthire (Pembiasaan Asosiasi Dekat)
Edwin Ray Guthrie adalah salah satu penemu teori pembiasaan asosiasi
dekat (contiguous conditioning theory). Teori ini menyatakan bahwa peristiwa
belajar terjadi karena adanya sebuah kombinasi antara rangsangan yang
disandingkan dengan gerakan yang cenderung diikuti oleh gerakan yang sama
untuk waktu berikutnya. Dan dalam hal ini Guthrie membuat perbedaan antara
gerakan dan tindakan (Muktar, 2019). Gerakan adalah kontraksi otot-otot,
sedangkan tindakan adalah kombinasi antara gerakan-gerakan. Contoh
tindakan adalah menggambar, membaca buku, dan lain sebagainya. Termasuk
juga dalam tindakan adalah komponen-komponen dari keterampilan-
keterampilan, seperti bermain golf, mengetik, bermain basket, dsb (Baharuddin
& Wahyuni, 2009).
Mengasosiasikan stimulus respon secara tepat merupakan inti dari
saran Guthrie kepada para guru dengan membimbing siswa melakukan apa
yang dipelajarinya. Diantara saran-saran Guthrie yaitu (Muktar, 2019):
a) Guru harus dapat mengarahkan performa siswa akan menjadi apa
ketika ia mempelajari sesuatu. Dengan kata lain, apakah stimulus
yang terdapat di dalam buku atau pelajaran yang menyebabkan
siswa melakukan belajar.
b) Jika siswa mencatat atau membaca buku secara sederhana dapat
membuat mereka mengingat informasi lebih banyak. Maka dalam
hal ini buku akan menjadi stimuli yang dapat digunakan sebagai
perangsang untuk menghafal pelajaran
c) Dalam mengelola kelas, guru dianjurkan untuk tidak memberi
perintah yang secara langsung akan menyebabkan siswa tidak taat
pada peraturan kelas.

5
6) Teori Belajar Mengurangi Dorongan Menurut Clark Leonard Hull (drive
reduction theory)
Teori ini menggunakan prinsip-prinsip yang mirip dengan yang
dikemukakan behavioris lainnya, yaitu dasar stimulus respons dan adanya
reinforcement. Bagi Hull, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama
untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu, Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis
(drive reduction) merupakan hal penting dan menempati posisi sentral dalam
seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus dalam belajarpun seringkali
dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang dihasilkan bisa
bermacam-macam (Muktar, 2019). Drive Reduction Theory ini memiliki
beberapa prinsip, yaitu:
a) Dorongan merupakan hal yang penting agar terjadi respons. Dengan
artian, siswa harus memiliki keinginan untuk belajar.
b) Stimulus dan respons harus dapat diketahui oleh organisme agar
pembiasaan dapat terjadi. Dengan demikian, siswa harus
mempunyai perhatian.
c) Respon harus dibuat agar terjadi pembiasaan, yang dalam hal ini
siwa harus aktif, dan
d) Pembiasaan hanya bisa terjadi jika reinforcement dapat memenuhi
kebutuhan. Dengan kata lain, belajar harus dapat memenuhi
keinginan siswa.
(Muktar, 2019)

b. Teori Belajar Kognitif

Definisi “Cognitive” berasal dari kata “Cognition” yang memiliki arti sama
dengan “knowing” yaitu mengetahui. Kognisi dalam arti yang luas memiliki arti
perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Rosyid & Baroroh, 2019).
Teori kognitif membahas tentang manusia yang membangun kemampuan
kognitif dengan motivasi yang dilakukan diri sendiri terhadap lingkungannya. Inti
dari teori ini adalah tentang bagaimana muncul dan diperolehnya skema atau
rencana manusia dalam mempersepsikan lingkungannya. Berdasarkan teori belajar
kognitif, belajar merupakan proses perubahan persepsi dan pemahaman. Proses

6
belajar dengan teori kognitif tidak berjalan secara terpisah-pisah melainkan
melalui proses yang mengalir dan menyeluruh.
Istilah kognitif pada psikologi perkembangan meliputi banyak hal dalam psikis
seseorang yang berkaitan dengan memahami, berprasangka, memperhatikan,
memberikan pertimbangan, mengolah pikiran, memecahkan permasalahan,
kesengajaan, memperkirakan, keyakinan dan lainnya. Sedangkan kognitif pada
psikologi pendidikan didefinisikan sebagai sebuah pembelajaran yang
mempelajari tentang pengelompokan komponen-komponen kognitif dan persepsi
dalam memahami (Badi’ah, 2021).
Beberapa pandangan tokoh tentang teori belajar kognitif sebagai berikut :
1) Jean Piaget
Menurut Piaget, perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, yaitu
suatu proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem
saraf. Bertambahnya usia seseorang berpengaruh terhadap kompleksitas
sususan sel saraf, sehungga terjadi peningkatan kemampuan. Piaget membagi
tahapan proses belajar menjadi tiga yaitu tahap asimilasi, tahap akomodasi, dan
tahap equilibrasi.
2) Jerome Bruner
Bruner terkenal atas pengembangan teori free discovery learning. Teori ini
beranggapan bahwa proses belajar akan berjalan dengan baik dan kreatif
apabila guru memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan
suatu aturan (termasuk konsep, toeri, definisi, dan sebagainya). Peserta didik
dibimbing secara induktif untuk mengetahui kebenaran umum. Bruner
membagi tahapan perkembangan kognitif ke dalam tiga tahap yaitu tahap
enaktif, tahap ikonik, dan tahap simbolik.
3) David Ausubel
David Ausubel adalah seorang ahli psikologi pendidikan yang memberikan
penekanan pada konsep belajar bermakna. Dengan konsep ini ia terkenal
dengan teori belajar bermaknanya. Menurut Ausubel, peserta didik akan
belajar dengan baik jika isi pelajaran (instructional content) didefinisikan dan
dipresentasikan dengan baik dan tepat (advance orginizer). Ausubel
mengelompokkan dimensi belajar menjadi dua yaitu dimensi pertama yang
berarti belajar berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran yang
disajikan pada peserta didik melalui penerimaan atau penemuan. Dimensi

7
kedua yang berarti belajar menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat
mengaitkan informasi tersebut pada struktur kognitif yang telah ada.

c. Teori Belajar Humanistik


Teori Humanistik dipelopori oleh Abraham Maslow, Arthur Combs dan Carl
Rogers (Ekawati & Yarni, 2019).
1) Abraham Maslow
Teori Kebutuhan (Hierarchy of Needs). Maslow berpendapat manusia dapat
memahami dan menerima dirinya sebisa mungkin (Mona, 2019). Adapun 5
kebutuhan manusia :

● Kebutuhan fisiologis
● Kebutuhan aman dan tenteram
● Kebutuhan dicintai dan disayangi
● Kebutuhan untuk dihargai
● Kebutuhan meningkatkan aktualisasi diri

2) Arthur Combs
Arthur Combs bersama dengan Donald Sygg (1904-1967) yang
menjelaskan tentang Meaning. Belajar dikatakan berhasil apabila ada
kebermaknaan yang dicapai peserta didik baik materi maupun bermakna bagi
kehidupannya sendiri. Pendidik bukan memberikan materi yang tidak
disenangi dan tidak sesuai dengan kehidupan peserta didik sehingga pendidik
memahami tingkah laku dengan menkontruk dunia peserta didik itu, jadi ada
perubahan tingkah laku maka pendidik bisa membuat keyakinan positif
peserta didik. Combs menyatakan pendidik sering keliru dalam pembelajaran,
pendidik sukses mengajar jika sudah menyampaikan materi kepada siswa
secara sistematik tapi tidak menyatu pada materi pelajaran dengan perilaku
pesera didik. Belajar berarti bagi kepribadiannya dan siswa bisa menganalisa
permasalahan kehidupannya. Combs menjelaskan gambaran dari diri peserta
didik berupa lingkaran kecil dan dunia berupa lingkaran besar (Ekawati &
Yarni, 2019).

3) Carl Rogers

8
Carl Roger menyatakan saling toleransi dan tidak ada prasangka dalam
mengatasi permasalahan dalam hidup (Ekawati & Yarni, 2019).Pendidik
harus menekankan supaya pembelajaran aktif yaitu :

● Membelajarkan manusia. Siswa tidak belajar tentang materi-


materi tidak bermanfaat bagi diri mereka sendiri.
● Siswa mempelajari materi bermakna bagi dirinya. Bahan
pelajaran dikembangkan menjadi materi dan konsep baru
sehingga ada makna pembelajaran.
● Penyusunan sistematik materi pengajaran berarti menyusun
materi dan konsep baru menjadi materi memiliki makna yang
tinggi untuk peserta didik.
● Siswa belajar dengan kebermaknaan pada lingkungan modern
dapat diartikan siswa belajar dengan sistem yang baik.

d. Teori Belajar Konstuktivisme


Konstruktivisme adalah teori tentang bagaimana pelajar membangun
pengetahuan dari pengalaman, yang unik untuk setiap individu. Konstruktivisme
menurut Piaget (1971) adalah sistem penjelasan tentang bagaimana siswa sebagai
individu beradaptasi dan memperbaiki pengetahuan. Konstruktivisme merupakan
pergeseran paradigma dari behaviourisme ke teori kognitif. Epistemologi
behaviourist berfokus pada kecerdasan, domain tujuan, tingkat pengetahuan, dan
penguatan. Sementara epistemologi konstruktivis mengasumsikan bahwa siswa
membangun pengetahuan mereka sendiri berdasarkan interaksi dengan lingkungan
mereka (Sugra, 2019).
Empat asumsi epistemologis adalah inti dari apa yang kita sebut sebagai
pembelajaran konstruktivis yaitu:
1. Pengetahuan secara fisik dibangun oleh siswa yang terlibat dalam
pembelajaran aktif.
2. Pengetahuan secara simbolis dikonstruksi oleh siswa yang membuat
representasi tindakan mereka sendiri.
3. Pengetahuan dibangun secara sosial oleh siswa yang menyampaikan
makna mereka kepada orang lain.

9
4. Pengetahuan secara teori dikonstruksi oleh siswa yang mencoba
menjelaskan hal-hal yang tidak sepenuhnya mereka pahami.
(Singh & Yaduvanshi, 2015)
Konstruktivisme merupakan salah satu aliran yang berasal dari teori belajar
kognitif. Tujuan penggunaan pendekatan Konstruktivisme dalam pembelajaran adalah
untuk membantu meningkatkan pemahaman siswa. Konstruktivisme memiliki
keterkaitan yang erat dengan metode pembelajaran penemuan (discovery learning) dan
belajar bermakna (meaningful learning). Kedua metode pembelajaran ini berada
dalam konteks teori belajar kognitif. Konstruktivisme adalah pembelajaran yang
memberikan leluasan kepada peserta didik untuk membangun pengetahuan meraka
sendiri atas atas rancangan model pembelajaran yang buat oleh guru (Mustafa &
Roesdiyanto, 2021).

Gambar 1. Bentuk Belajar dan Pandangan Kontruktivisme


(Sumber: Masgumelar & Mustafa, 2021)

Tokoh–tokoh pendidik yang menggagas pendekatan Konstruktivisme dalam


belajar antara lain; John Dewey; Jean Piaget; Maria Montessori; dan Lev Vigotsky
(Masgumelar & Mustafa, 2021). Teori konstruktivisme memahami belajar sebagai
proses pembentukan pengetahuan (konstruksi) oleh pembelajar itu sendiri dalam
proses pembelajaran. Menurut pandangan konstruktivisme dari beberapa ahli
menyatakan bahwa:

10
1) Jean Piaget menyatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh seorang anak
merupakan hasil dari konstruksi pengetahuan awal yang telah dimiliki dengan
pengetahuan yang baru diperolehnya.
2) Lev Vygotsky berkata ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky, yaitu:
a) Zone of Proximal Development (ZPD), kemampun pemecahan masalah
dibawah bimbingan orang dewasa atau memiliki kerjasama dengan teman
sejawat yang lebih mampu; b) Scaffolding, pemberian sejumlah bantuan
kapada siswa selama tahap-tahap awal pembelajaran, kemudian mengurangi
bantuan dan memberikan kesempatan untuk mengambil alih tanggung jawab
yang semakin besar setelah ia dapat melakukannya.
3) John Dewey bahwa belajar bergantung pada pengalaman dan minat siswa
sendiri dan topik dalam kurikulum harus saling terintegrasi bukan terpisah
atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat aktif,
langsung terlibat, berpusat pada siswa (SCL= Student Centered Learning)
dalam konteks pengalaman sosial.
(Rahayu et al., 2019)

2.2. Karakteristik Teori Belajar

a. Teori Belajar Behavioristik


Kerangka kerja (frame work) dari teori pendidikan Behaviorisme
adalah empiris. Asumsi filosofis dari Behaviorisme adalah nature of human
being (manusia tumbuh secara alami). Latar belakang Empirisme adalah How
we know what we know (bagaimana kita tahu apa yang kita tahu). Menurut
paham ini, pengetahuan pada dasarnya diperoleh dari pengalaman (empiris),
sehingga fokusnya penelitiannnya menitik beratkan pada perubahan tingkah
laku yang dapat diamati. Oleh karena itu, aliran ini berusaha mencoba
menerangkan dalam pembelajaran bagaimana lingkungan berpengaruh
terhadap perubahan tingkah laku (Muktar, 2019).
b. Teori Belajar Kognitif
Teori kognitif mengungkapkan bahwa proses belajar yang dilakukan
individu adalah hasil interaksi mentalnya dengan lingkungan sekitar sehingga
menghasilkan perubahan pengetahuan atau tingkah laku. Dalam pembelajaran pada
teori ini dianjurkan untuk menggunakan media yang konkret karena anak-anak belum

11
dapat berfikir secara abstrak. Ciri khas dari teori belajar kognitif terletak dalam belajar
memperoleh dan mempergunakan bentuk-bentuk representatif yang mewakili obyek-
obyek itu di representasikan atau dihadirkan dalam diri seseorang melalui tanggapan,
gagasan atau lambang, yang semuanya merupakan sesuatu yang bersifat mental.
Misalnya seseorang menceritakan pengalamannya selama mengadakan perjalanan ke
luar negeri setelah kembali ke negerinya sendiri (Nurhadi, 2020). Terdapat lima ciri
yang dapat dilihat dari teori belajar kognitif ini, diantaranya :
1) Mementingkan apa yang ada dalam diri manusia.
2) Mementingkan keseluruhan dari pada bagian-bagian.
3) Mementingkan peranan kognitif.
4) Mementingkan kondisi waktu sekarang.
5) Mementingkan pembentukan struktur kognitif.
c. Teori Belajar Humanistik
Program pembelajaran berupa kegiatan terbuka, dimana peserta didik harus
menemukan informasi, membuat keputusan, memecahkan masalah, dan membuat
produk sendiri.
Prinsip belajar:
1) Swa arah (self direction)
Prinsip swa arah menyatakan bahwa sekolah hendaknya memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk memutuskan bahan belajar yang ingin
dipelajari. Bahan belajar yang ingin dipelajari peserta didik adalah yang memenuhi
kebutuhan, keinginan, hasrat ingin tahu, dan fantasinya. Prinsip ini lebih
menekankan pada motivasi intrinsik, dorongan dari dalam untuk bereksplorasi, dan
hasrat ingin tahu yang timbul dari dalam diri sendiri.
Prinsip belajar swa arah ini sangat penting bagi pendekatan humanistik. Peserta
didik hendaknya diberikan kesempatan untuk mengarahkan belajarnya, memilih
apa yang ingin mereka pelajari, dan dalam derajat tertentu, mengarahkan kapan dan
bagaimana peserta didik itu akan mempelajarinya. Dalam prinsip ini anak akan
menjadi peserta didik yang mampu mengarahkan belajarnya sendiri, memotivasi
diri, dan tidak menjadi penerima informasi yang bersifat pasif. Oleh karena itu, anak
akan belajar dengan motivasi tinggi apabila mereka memiliki beberapa pilihan
bahan belajar yang akan mereka pelajari.
2) Belajar tentang cara-cara belajar (learning how to learn)

12
Sekolah hendaknya menghasilkan anak-anak yang secara terus menerus
menumbuhkan keinginannya untuk belajar dan mengetahui cara-cara belajar. Bagi
anak-anak, apa yang dipelajari tidak membuat kenyataan itu berbeda, selama anak-
anak itu ingin mempelajari. Tugas sekolah adalah membuat anak ingin belajar dengan
tujuan eksplisit.
Para pendidik humanistik memiliki keyakinan bahwa tujuan akhir pendidikan
adalah mengubah batas-batas yang menjadi pendorong individu untuk mendidik diri
sendiri. Keinginan belajar merupakan kondisi motivasional yang diharapkan oleh
peserta didik, kemudian tugas pendidik dan sekolah adalah membantu peserta didik
belajar tentang cara belajar. Pesrta didik yang mengetahui cara-cara mempelajari
bidang-bidang pengetahuan memiliki harapan dalam memadukan belajar baru dengan
belajar yang menantang mengenai situasi yang terus berubah. Apabila peserta didik
dihadapkan pada tantangan baru, mereka akan mudah menyesuaikan diri.

3) Evaluasi diri (Self evaluation)


Evaluasi diri merupakan prasyarat bagi peserta didik bagi perkembangan
kemandirian peserta didik. Evaluasi yang dilakukan oleh sekolah atau pendidik yang
diakhiri dengan kenaikan kelas dan kelulusan dipandang sebagai tindakan yang
mengganggu aktivitas peserta didik. Demikian pula instrumen evaluasi yang
diwujudkan dalam bentuk tes dipandang tidak relevan dengan pendekatan humanistik;
lebih-lebih tes yang disusun dalam bentuk tes objektif yang memiliki karakteristik
jawaban yang benar adalah satu. Ujian yang mempersyaratkan peserta didik tidak
boleh membuka buku atau catatan dalam bentuk apapun juga tidak disukai oleh
pendekatan humanistik. Alasannya adalah apabila tujuan ujian itu digunakan untuk
memberikan balikan atau bimbingan belajar kepada peserta didik atau perbaikan
pembelajaran pembelajaran yang diperlukan oleh pendidik, maka buku atau catatan
harus boleh dibuka oleh peserta didik pada waktu mengerjakan soal ujian. Peserta
didik tidak dievaluasi dengan cara membandingkan dengan peserta didik lain atau
dengan standar yang ditetapkan oleh pendidik, melainkan sebaliknya dievaluasi
dengan menggunakan standar peserta didik itu sendiri, dan tanpa adanya grading.

Apabila peserta didik memilih apa yang akan dipelajari dan mengembangkan
keterampilan cara-cara belajar maka peserta didik itu harus melakukan evaluasi diri.
Kapan peserta didik itu harus mengambil tanggung jawab untuk memutuskan kriteria

13
yang penting bagi dirinya sendiri, tujuan belajar yang akan dicapai, seberapa jauh
mereka telah mencapai tujuan belajar yang ditetapkan sendiri, semua itu diputuskan
oleh peserta didik itu sendiri. Untuk merealisasikan prinsip evaluasi diri itu pendidik
dan peserta didik hendaknya bertemu secara reguler untuk melaksanakan perencanaan
belajar dan kontrak kegiatan belajar. Dalam pertemuan itu, mereka bersama-sama
merumuskan kriteria untuk digunakan dalam evaluasi, dan peserta didik memiliki
kesempatan untuk melaksanakan dan menguasai evaluasi diri.

4) Pentingnya perasaan (important of feelings)


Pendekatan humanistik tidak membedakan domain kognitif dan afektif dalam
belajar; dalam arti kedua domain itu merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Dalam praktik pembelajaran ada kecenderungan pendidik lebih
terkonsentrasi pada domain kognitif dan melupakan domain afektif. Dalam pandangan
humanistik, domain afektif adalah sama pentingnya dengan domain kognitif, sehingga
keduanya tidak boleh dipisahkan.

Dari sudut pandang pendekatan humanistik, belajar merupakan kegiatan


memperoleh informasi atau pengalaman baru, dan secara personal peserta didik
menemukan makna akan informasi atau pengalaman baru tersebut. Kegagalan peserta
didik di sekolah adalah bukan disebabkan oleh kurangnya mereka memperoleh
informasi atau pengalaman, melainkan karena sekolah tidak memberi kesempatan
kepada peserta didik untuk mengembangkan makna personal dan perasaan mengenai
objek, peristiwa, atau pengetahuan. Untuk merealisasikan pembelajaran yang
diarahkan pada pengembangan domain kognitif dan afektif sekaligus, para pakar
humanistik mengembangkan metode pembelajaran pertemuan kelas untuk membahas
masalah, nilai-nilai, dan perasaan interpersonal. Secara spesifik, para pakar humanistik
merekomendasikan bahwa pendidik dalam melaksanakan pembelajaran hendaknya
menekankan nilai-nilai kerjasama, saling menghormati dan kejujuran, baik pada waktu
membuat contoh dan pada waktu mendiskusikan serta memperkuat nilai-nilai yang
dipelajari oleh peserta didik.

5) Bebas dari ancaman (freedom of threat)


Belajar akan lebih mudah, lebih bermakna, dan lebih diperkuat apabila belajar
itu terjadi dalam suasana yang bebas dari ancaman. Pendidikan yang berlangsung
selama ini dipandang oleh para pakar humanistik sebagai tempat yang tidak

14
menghargai peserta didik, menjijikkan, membuat malu peserta didik, dan mengancam
identitas sosial peserta didik. Persoalan utamanya adalah peserta didik selalu
dikendalikan dan dievaluasi oleh sekolah dan pendidik, mereka tidak memiliki pilihan
untuk memilih gaya belajar, dan tidak ada kesempatan memilih kegiatan belajar
dengan gaya belajarnya sendiri. Berbagai persoalan itu akan menjadi ancaman peserta
didik yang pada gilirannya mengganggu belajarnya. Kegiatan belajar yang dipandang
membebaskan peserta didik dari ancaman adalah pembelajaran yang diwarnai oleh
suasana demokratis secara bertanggung jawab (Rifai & Anni, 2018)

d. Teori Belajar Konstruktivisme


Teori belajar konstruktivisme dapat dikenali dengan beberapa karakteristik,
diantaranya:
1) Menampung ide-ide yang muncul dari peserta didik yang dijadikan
dasar untuk membuat perencanaan pembelajaran.
2) Memberikan kesempatan kepada pelajar untuk mengajukan ide dan
melakukan tanya jawab.
3) Memberikan pemahaman tentang pentingnya proses dan hasil
pembelajaran.
4) Memberikan peluang bagi peserta didik untuk mendapatkan wawasan
baru lewat keterlibatan dalam dunia nyata.
5) Menggalakkan proses inkuiri peserta didik melalui kajian dan
eksperimen.
6) Dapat mengenal lebih dekat peserta didik.
7) Menciptakan pembelajaran kooperatif, sehingga guru bisa melihat
sikap dan pembawaan peserta didik saat berkomunikasi.

3.3 Penerapan Teori Belajar dalam Pembelajaran

a. Teori Belajar Behavioristik


Penerapan teori belajar Behavioristik dalam pendidikan terlihat dalam
beberapa hal diantaranya: (1) bahan-bahan pengajaran sudah siap digunakan; (2)
bahan pelajaran tersusun secara hierarkies, dari sederhana ke rumit dan kompleks;
(3) pembelajaran berorientasi hasil yang terukur dan teramati dalam bentuk
perilaku yang diinginkan; (4) pengulangan dan latihan digunakan untuk
membentuk kebiasaan; (5) apabila perilaku yang diinginkan muncul diberi

15
penguatan positif dan yang kurang diinginkan mendapat penguatan negatif (Irham,
2015).
Proses pembelajaran yang berpijak pada teori belajar Behavioristik adalah
sebagai berikut: (1) menentukan tujuan pembelajaran dalam bentuk standart
kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) serta indikator ketercapaian; (2)
menentukan materi pelajaran yang akan diberikan; (3) merinci materi menjadi
bagian-bagian kecil dalam bentuk pokok bahasan, sub pokok bahasan, dan
sebagainya; (4) memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan, latihan-
latihan, dan tugastugas dalam proses pembelajaran; (5) adanya aktivitas
memberikan hadiah dan hukuman (Sugiyono, 2011).
Metode pembelajaran Behavioristik tidak cocok digunakan untuk semua mata
pelajaran karena pada dasarnya metode pembelajaran behavioristik membutuhkan
praktik dan pembiasaan misalnya percakapan menggunakan bahasa asing,
olahraga, penggunaan komputer dan lain sebagainya yang membutuhkan latihan
dan pembiasaan (Shahbana et al., 2020).
b. Teori Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif lebih mengedepankan proses interaksi dengan lingkungan
dalam memperoleh pengetahuan. Dalam kelas, Piaget menekankan bahwa
pengajaran pengetahuan jadi (ready made knowledge) anak didorong menetukan
sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungan (Ardika et al,
2014). Ini sejalan dengan ilmu kimia yang banyak berhubungan dengan
lingkungan sekitar yang nyata. Anak dapat mengkaji atau menghubungan
fenomena-fenomena di sekitarnya dengan ilmu kimia.

c. Teori Belajar Humanistik


Penerapan teori humanistik dalam pembelajaran kimia adalah menggerakkan
literasi sains dengan menggunakan bacaan kimia yang relevan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan, kebutuhan zaman, dan mengikuti pola
kehidupan masyarakat modern dalam era globalisasi yang sedang menghadapi
masalah multidimensi. Struktur bacaan kimia, terlepas dari panjang pendeknya
bacaan haruslah membawa peserta didik dapat menggabungkan beberapa
pengetahuan (secara interdisiplin) dalam memahami suatu permasalahan yang
disajikan. Konten yang diberikan merupakan hal yang menjadi isu global dan
permasalahan yang timbul dalam kehidupan sehari-hari, mencakup permasalahan

16
sosial, ekonomi , budaya, politik, lingkungan, hingga hak-hak warga negara. Hal
ini dapat merangsang kebermaknaan bagi peserta didik dalam pembelajaran
(Sawuwu, 2017).

d. Teori Belajar Konstruktivisme


Penerapan teori konstruktivisme dalam pembelajaran kimia adalah pembelajaran
dengan model PBL (Problem Based Learning). Metode ini sesuai dengan konsep
konstruktivisme dimana tidak hanya menjelaskan langkah-langkah baku dalam
pemecahan masalah tapi bagaimana suatu masalah acak dipecahkan. Dalam
pemecahannya agar sesuai dengan alurnya menggunakan diagram V sebagai alat
untuk mengorganisasikan kegiatan PBL di kelas terutama yang melibatkan
praktikum. Diagram ini mengungkapkan apa yang sudah dimiliki praktikan
sebelum praktikum, apa yang diperoleh, bagaimana pengolahan data yang
diperolah, dan pengetahuan apa yang dapat disimpulkan dari proses laboratorium
(Purtadi, 2005).

17
BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan
Dalam penerapan berbagai teori belajar dilakukan secara bertahap
dengan penuh kesabaran dan ketelatenan. Penerapan tersebut bertujuan untuk
menghasilkan siswa yang berkarakter dengan kemampuan komprehensif
secara kritis, kreatif dan inovatif, berkolaborasi dan komunikatif. Guru dituntut
kreativitasnya, bersikap terbuka, kerja keras, tekun, kooperatif dan
komunikatif untuk memberi manfaat sebesar-besarnya kepada siswa.

3.2 Saran
Penerapan berbagai teori belajar yang membangun karakter siswa dapat
dilakukan guru dengan memperhatikan dan disesuaikan dengan berbagai teori
belajar.

18
Daftar Pustaka

Amsari, D. (2019). Implikasi Teori Belajar E.thorndike (Behavioristik) Dalam

Pembelajaran Matematika. Jurnal Basicedu, 2(2), 52-60.

Ardika, I., Sitawati R., & Suciani, N. (2014). PENERAPAN TEORI KOGNITIF

PIAGET DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH SEBAGAI DASAR

MELAKSANAKAN REVOLUSI MENTAL. SOSHUM JURNAL SOSIAL

DAN HUMANIORA, 4(2), 77–95.

Badi’ah, Z. (2021). Implikasi Teori Belajar Kognitif J. Piaget dalam Pembelajaran

Bahasa Arab dengan Metode Audiolongual. Attractive : Innovative Education

Journal, 3(1), 1–13.

Baharuddin, & Wahyuni, E. N. (2009). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jogjakarta:

Arr-Ruzz Media.

Gunawan, H. (2013). Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam.

Bandung: Alfabeta.

Irham, W. (2015). Psikologi Pendidikan Teori dan Aplikasi dalam Proses

Pembelajaran. Jogjakarta: Arr-Ruzz Media.

Masgumelar, N. K., & Mustafa, P. S. (2021). Teori Belajar Kontruktivisme dan

Implikasinya dalam Pendidikan dan Pembelajaran. GHAITSA : Islamic

Education Journal, 2(1), 49-57.

Moreno, R. (2010). Educational Psychology. University of Mexico.

Muktar, M. (2019). Pendidikan Behavioristik dan Aktualisasinya. Tabyin: Jurnal

Pendidikan Islam, 1(1), 14-30. DOI: https://doi.org/10.29138/tabyin.v1i1.4

19
Mustafa, P.S., & Roesdiyanto, R. (2021). Penerapan Teori Belajar Konstruktivisme

melalui Model PAKEM dalam Permainan Bolavoli pada Sekolah Menengah

Pertama. Jendela Olahraga, 6(1), 50-65.

Nurhadi. (2020). TEORI KOGNITIVISME SERTA APLIKASINYA DALAM

PEMBELAJARAN. EDISI : Jurnal Edukasi dan Sains, 2(1), 77–95.

Purtadi, S., & Sari, R. L. P. (2005). Metode belajar berbasis masalah (Problem Based

Learning) berbantuan diagram vee dalam pembelajaran kimia. Jurdik Kimia

FMPIPA UNY.

Rahayu, W., Danugiri, H. D., & Sopiany, H. N. (2019). Miskonsepsi Matematis Siswa

Menurut Teori Kontruktivisme. Journal Unsika, 1(1), 274-278.

Rosyid, M. F., & Baroroh, R. U. (2019). Teori Belajar Kognitif dan Implikasinya

dalam Pembelajaran Bahasa Arab. AL-Lisan: Jurnal Bahasa (e-Journal), 4(2),

180–198.

Shahbana, E. B., Farizqi, F. K., & Satria, R. (2020). Implementasi Teori Belajar

Behavioristik dalam Pembelajaran. Jurnal Serunai Administrasi Pendidikan,

9(1), 24-33.

Singh, S., & Yaduvanshi, S. (2015). Contructivsm in Science Classroom. International

Journal of Scientific and Research Publications, 5(3).

Sugiyono, H. (2011). Belajar dan Pembelajaran Teori dan Konsep Dasar. Bandung:

Remaja Rosdakary.

Sugra, N. (2019). Implementasi Teori Belajar Kontruktivisme dalam Pembelajaran

Sains. Humanika, Kajian Ilmiah Mata Kuliah Umum, 19(2), 121-138.

Suryabrata, S. (2013). Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.

Tristaningrat, M. A. (2019). Relevansi Teori Belajar Behavioristik Terhadap Nilai-

Nilai dalam Ajaran Yoga. MAHA WIDYA BHUWANA, 2(2), 58-67.

20

You might also like