Professional Documents
Culture Documents
6 - Nurhaq Yuliarda - N011201080 - Laporan SSO
6 - Nurhaq Yuliarda - N011201080 - Laporan SSO
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
LAPORAN PRAKTIKUM
OLEH
NIM : N011201080
KELOMPOK : 6 (ENAM)
MAKASSAR
2022
I. Hasil Pengamatan
Tabel 1. Hasil pengamatan
Kelompok Perlakuan Mencit Defekasi Diuresis Grooming
ke -
1 2 1 13
1 Epinefrin
2 - - 12
API 3 - 1 5
1 - - 19
2 Epinefrin
2 1 1 27
API 3 1 - 10
1 - 1 -
3 Propanolol
2 - - 4
NaCMC 3 - 1 11
1 - - 48
4 Propanolol
2 - - -
NaCMC 3 - - -
1 - 2 14
5 Pilokarpin
2 1 4 16
API 3 1 - 1
1 - - 21
6 Atropin
2 - 1 4
API 3 2 3 5
II. Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan untuk mengetahui efek perangsangan dari
sistem saraf otonom (simpatis dan parasimpatis) dengan menggunakan obat-
obatan tertentu kepada hewan coba. Hewan coba yang digunakan, yaitu mencit
(Mus musculus). Setiap mencit akan diberikan obat-obatan yang dapat
merangsang atau menghambat sistem saraf simpatis dan parasimpatisnya dan
melihat efek yang ditimbulkan setelah pemberian obat-obatan tersebut. Adapun
efek-efek yang akan dilihat setelah pemberian obat-obatan tersebut, yaitu
grooming, diuresis, dan defekasi.
Sistem saraf otonom adalah bagian sistem saraf tepi yang mengatur
fungsi viseral tubuh. Sistem saraf otonom sesuai dengan namanya bersifat
otonom (independen) dimana aktifitasnya tidak dibawah kontrol kesadaran secara
langsung. Sistem saraf otonom (SSO) terutama berfungsi dalam pengaturan fungsi
organ dalam seperti curah jatung, aliran darah ke berbagai organ, sekresi dan
motilitas gastrointestinal, kelenjar keringat dan temperatur tubuh (Indra, 2012).
Sistem saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medulla
spinalis, batang otak, dan hipotalamus. Juga, bagian korteks serebri khususnya
korteks limbik, dapat menghantarkan impuls ke pusat-pusat yang lebih rendah
sehingga demikian mempengaruhi pengaturan otonomik. Impuls akan diteruskan
melalui sistem simpatis dan parasimpatis (Cahyono dkk., 2009).
Sistem Saraf otonom terdiri dari saraf preganglion, ganglion dan saraf
pascaganglion yang mempersarafi sel efektor. Secara garis besar dibagai atas
sistem simpatis (thorakolumbal) dan parasimpatis (kraniosakral). Keduanya
berasal dari nucleus yang berada dalam sistem saraf pusat. Secara umum dapat
dikatakan bahwa sistem simpatis dan parasimpatis memperlihatkan fungsi yang
antagonistik. Sistem saraf parasimpatis berperan dalam fungsi konservasi dan
reservasi tubuh. Sedangkan sistem simpatis berfungsi mempertahankan diri
terhadap tantangan dari luar tubuh dengan reaksi berupa perlawanan atau
pertahanan diri yang dikenal dengan fight or flight reaction (Indra, 2012).
Obat-obatan yang digunakan dalam praktikum ini, yaitu epinefrin,
propranolol, pilokarpin, dan atropine. Adapun kontrol negative yang digunakan,
yaitu NaCMC dan Aqua Pro Injection (API). Grooming, diuresis, dan defekasi
merupakan efek yang ditimbulkan oleh sistem saraf simpatik dan parasimpatik.
Grooming merupakan cairan yang keluar dari kelenjar saliva, diuresis merupakan
cairan yang dihasilkan melalui ekskresi ginjal, dan defekasi merupakan lmbah
makanan yang keluar melalui gerakan peristaltic usus (Sherwood, 2010).
Berdasarkan tabel 1, hasil pengamatan yang dilakukan oleh kelompok 1
terhadap 2 hewan coba mencit dengan perlakuan obat epinefrin diperoleh hasil
grooming sebanyak 25 kali, mengalami defekasi sebanyak 2 kali, mengalami
diuresis sebanyak 1 kali dan pada kontrol negative berupa cairan API mengalami
grooming sebanyak 5 kali diuresis sebanyak 1 kali dan tidak mengalami defekasi.
Pada kelompok 2 terhadap 2 hewan coba mencit diperoleh hasil grooming
sebanyak 46 kali, hasil defekasi sebanyak 1 kali, hasil diuresis sebanyak 1 kali,
dan pada kontrol negative berupa cairan API mengalami grooming sebanyak 10
kali, hasil defekasi sebanyak 1 kali dan tidak mengalami diuresis. Epinefrin
merupakan obat simpatomimetik non selektif yang bekerja secara langsung
merangsang reseptor adrenergic. Obat ini dapat menimbulkan efek yang sama
dengan menstimulasi saraf simpatis. Respon yang akan diberikan oleh obat
simpatomimetik, yaitu dapat memengaruhi mortilitas saluran cerna dan fungsi
kandung kemih. Hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan yang terdapat pada
pustaka, yang mana seharusnya pada mencit tidak mengalami defekasi dan
diuresis. Hal tersebut dikarenakn mekanisme kerja dari simpatomimetik adalah
menimbulakn efek penurunan mortibilitas pada saluran gastrointestinal dan pada
tonus otot serta pada saluran kemih terjadi relaksasi destrusor dan kontraksi
trigonum dan sfingtedr yang menyebabkan urine tidak mengalir melalui uretra
(Harvey dan Pamela, 2013). Adapun untuk efek grooming yang dihasilkan telah
sesuai karena kelenjar air liur disarafi oleh kedua divisi saraf otonom, yaitu
simpatis dan parasimpatis, yang mana keduanya merangsang sekresi air luar
(Harvey dan Pamela, 2013; Dhiana dkk., 2022).
Selanjutnya, yaitu pemberian obat propranolol yang dilakukan oleh
kelompok 3 dan 4 menggunakan kontrol negative NaCMC. Propranolol
merupakan obat antagonis adrenergic yang termasuk golongan simpatolitik (beta
bloker). Beta bloker menghambat secara kompetititf efek obat adrenergic, baik
NE dan Epi endogen maupun obat adrenergic eksogen, pada adreno-septor beta
(Anonim, 2001). Hasil yang diperoleh pada kelompok 3 terhadap 2 hewan mencit
dengan perlakuan obat propranolol diperoleh hasil grooming sebanyak 4 kali,
tidak mengalami defekasi, mengalami diuresis sebanyak 1 kali dan pada kontrol
negative berupa NaCMC mengalami grooming sebanyak 11 kali diuresis
sebanyak 1 kali dan tidak mengalami defekasi. Hasil yang diperoleh telah sesuai
terhadap efek grooming dan defekasi, namun tidak sesuai terhadap efek diuresis
karena apabila kerja dari reseptor adrenergic dihambat, maka efek yang
ditimbulkan dapat berupa peningkatan diuresis, defekasi, serta grooming. Adapun
diperoleh hasil yang tidak sesuai pada kontrol negative karena seharusnya kontrol
negative tidak memberikan efek terhadap mencit tersebut.
Pemberian obat selanjutnya, yaitu pilocarpin yang dilakukan oleh
kelompok 5 menggunakan kontrol negative API. Pilocarpin termasuk golongan
obat parasimpatomimetik/kolinergika. Mekanisme kerja dari obat ini, yaitu
merangsang reseptor kolinergik, sehingga menghasilkan aksi terutama
muskarinik, termasuk stimulasi kelenjar eksokrin. Selain itu, juga dapat
menimbulkan efek peningkatan keringat, sekresi lambung, peningkatan bronkial,
peningkatan tonus, dan motilitas saluran kemih, kandung empedu, dan otot polos
saluran bilier, yang mana efek terapinya dapat meningkatkan sekresi kelenjar
ludah (Vallerand dan Sanoski, 2015). Pada hasil praktikum yang telah dilakukan,
diperoleh hasil pada mencit 1, yaitu hasil grooming sebanyak 14 kali, diuresis
sebanyak 2 kali, dan tidak mengalami defekasi. Pada mencit 2 diperoleh hasil
grooming sebanyak 16 kali, hasil diuresis sebanyak 4 kali, dan hasil defekasi
sebanyak 1 kali. Pada mencit dengan pemberian kontrol negative diperoleh hasil
grooming sebanyak 2 kali, hasil defekasi sebanyak 1 kali, dan tidak mengalami
diuresis. Hasil yang diperoleh pada mencit 1 telah sesuai untuk hasil grooming
dan diuresis, namun tidak sesuai untuk hasil defekasi. Adapun hasil yang
diperoleh pada mencit 2 telah sesuai karena obat pilocarpine termasuk golongan
parasimpatomimetik yang dapat meningkatkan frekuensi diuresis, defekasi, dan
grooming.
Pemberian obat selanjutnya, yaitu obat atropine yang dilakukan oleh
kelompok 6 menggunakan kontrol negative API. Atropine merupakan obat
parasimpatolitik (antikolinergik). Obat ini bekerja dengan menghambat efek
parasimpatis yang mengikat secara langsung pada reseptor muskarinik dan
menghalangi neurotransmitter yang akan berikatan dengan reseptor muskarinik
sehingga efek parasimpatis terhambat dan efek simpatis meningkat. Respon utama
dari obat-obat antikolinergik yaitu mengurangi sekresi saliva, mengurangi
peristaltic dalam saluran gastrointestinal dan memberikan relaksasi pada otot
detrusor kandung kemih (Thay dkk., 2010). Berdasarkan hasil pengamatan yang
telah dilakukan, maka diperoleh hasil pada mencit 1, yaitu tidak mengalami
defekasi dan diuresis, dan hasil grooming sebanyak 21 kali. Pada mencit 2
diperoleh tidak mengalami defekasi, hasil diuresis sebanyak 1 kali, dan hasil
grooming sebanyak 4 kali. Pada mencit dengan perlakuan kontrol negative
diperoleh hasil defekasi sebanyak 2 kali, hasil diuresis sebanyak 3 kali dan hasil
grooming sebanyak 5 kali. Hasil yang diperoleh pada mencit 1 telah sesuai untuk
hasil defekasi dan diuresis dan tidak sesuai untuk hasil grooming. Hasil yang
diperoleh pada mencit 2 telah sesuai untuk defekasi, namun tidak sesuai untuk
hasil diuresis dan grooming. Hal tersebut dikarenakan obat atrofin termasuk
golongan parasimpatolitik yang menghambat frekuensi dari diuresis, defekasi, dan
grooming. Hasil yang diperoleh untuk kontrol negative adalah tidak sesuai karena
seharusnya kontrol negative tersebut tidak memberikan efek kepada mencit yang
diberikan.
Dhiana, Evi,. Fransisca Anjar Rina Setyani dan Emmelia Ratnawati. 2022.
Abdominal Massage sebagai Terapi Komplementer untuk Menjaga Pola
Eliminasi Defekasi ada Pasien Rawat Inap. Jurnal Kesehatan. 9(1):80-92.
Indra, I. 2012. Aktivitas otonom. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. 12(3): 180-
186.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2010. Obat-Obat Penting. Jakarta: PT
Gramedia.
Vallerand, A., H., dan Sanoski, C., C. 2015. Davi’s Drug Guide for Nurses. 14th
Edition. USA: Davis Company.
V. Lampiran
Lampiran I. Skema kerja
Mencit dipuasakan
selama 8 jam sebelum
diberikan perlakuan
Asisten Kelompok