You are on page 1of 109

CLIENT-CENTERED COUNSELING DALAM

MENGUATKAN KONDISI PSIKOLOGIS


PARA PENDERITA HIV/AIDS
(Studi Kasus di Klinik Teratai dr. Dradjat Prawiranegara Serang)

SKRIPSI

Diajukan pada Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam


Sebagai Salah Satu Persyaratan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom, I)

Oleh:

WULANSARI
NIM : 123400161

FAKULTAS USHULUDDIN DAKWAH DAN ADAB


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
“SULTAN MAULANA HASANUDDIN” BANTEN
2016 M/ 1437 H
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis


sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Konseling
Islam dan diajukan pada Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam
Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab Institut Agama Islam Negeri
“Sultan Maulana Hasanuddin” Banten ini sepenuhnya asli merupakan
karya tulis ilmiyah saya pribadi.
Adapun tulisan maupun pendapat orang lain yang terdapat
dalam skripsi ini telah saya sebutkan kutipannya dengan jelas dan
sesuai dengan etika keilmuan yang berlaku di bidang penulisan karya
ilmiyah.
Apabila kemudian hari terbukti bahwa sebagian atau seluruh
skripsi ini merupakan hasil perbuatan plagiatisme atau mencontek
karya tulis orang lain, saya bersedia untuk menerima sanksi berupa
pencabutan gelar kesarjanaan yang saya terima ataupun sanksi
akademik yang lain sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Serang, 11 Februari 2016

Wulansari
NIM : 123400161

i
ABSTRAK
Nama: Wulansari, NIM: 123400161, Judul Skripsi: Client Centered Counseling dalam
Menguatkan Kondisi Psikologis Penderita HIV/AIDS (Studi Kasus di Klinik Teratai
RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang), Jurusan: Bimbingan dan Konseling Islam,
Fakultas: Ushuluddin, Dakwah dan Adab IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten.
Tahun 2016
Odha merupakan sebutan bagi penderita HIV/AIDS baik baru terinfeksi HIV
maupun sudah memasuki fase AIDS. Berdasarkan catatan di Klinik Teratai RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara Serang, untuk tahun 2015 telah tercatat 101 pasien yang positif
mengidap HIV dengan jumlah 53 untuk laki-laki dan 48 untuk perempuan, dari golongan
usia 5-49 tahun. Dari jumlah pasien yang HIV positif, dalam satu tahun terakhir mereka
melakukan kunjungan sebanyak 5012, 1461 untuk laki-laki dan 3551 untuk perempuan.
Sebagai pendamping Odha Klinik Teratai juga bertujuan untuk menemukan kasus
HIV yang baru karena semakin cepat ditemukan maka akan semakin cepat untuk
melakukan penanganan sehingga bisa menjaga kesehatan Odha. Adapun prinsip dari
Klinik Teratai yaitu menyediakan tempat jasa pelayanan untuk orang yang perilakunya
beresiko tertular HIV dan orang yang sudah positif terinfeksi HIV. Untuk mengetahui
seseorang terinfeksi HIV/AIDS adalah mengikuti tes yag sering disebut dengan VCT.
Klinik Teratai menyediakan layanan Voluntary Counseling and Testing atau konseling
dan tes HIV secara sukarela yaitu dukungan layanan bagi mereka yang merasa beresiko
dan menginginkan pemeriksaan HIV.
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengetahui pelaksanaan Voluntary Counseling
and Testing (VCT) atau konseling dan tes HIV secara sukarela. 2) Mengetahui penguatan
kondisi psikologis penderita ODHA dengan penerapan metode Client-Centered
Counseling. Metodologi penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan wawancara sebagai pengumpulan data dan observasi sebagai penunjang.
Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan pertama-tama membaca
kembali keseluruhan teks yang ada sambil meringkas dan menghilangkan duplikasi-
duplikasi. Dilanjutkan dengan membuat pengkodean (coding) atau klasifikasi. Hasil
koding ini akan menelorkan pola-pola umum atau tema-tema.
Kesimpulan penelitian ini: pertama, dalam pelaksanaan VCT adalah pemberian
informasi terkait HIV/AIDS. Konselor HIV mendampingi klien sejak pertama akan dites
sampai klien mendapatkan hasil tesnya. Hubungan konselor HIV dengan klien bisa
berlanjut apabila klien masih membutuhkan bimbingan atau konseling dari konselor.
Kedua, upaya yang dilakukan konselor dalam menguatkan kondisi psikologis Odha
adalah menjaga kualitas teknik dan etika konseling serta melakukan pendampingan pada
proses perubahan prilaku yang dilakukan Odha. Client-Centered Counseling dalam terapi
untuk Odha yaitu lebih kepada informasi-informasi signifikan yang diberikan konselor
kepada klien sesuai dengan kebutuhannya, karena dalam Client-Centered Counseling
pemaknaan pemberian informasi akan menambah wawasan pengetahuan Odha untuk
melakukan tindakan.
Kata kunci: Odha, Voluntary Counseling and Testing, dan Client-Centered Counseling

ii
ABSTRACT
Name: Wulansari, NIM: 123400161, Thesis Title: Client Centered Counseling for the
Strengthening Conditions Psychological People with HIV / AIDS (Case Study in
Clinical Teratai dr. Dradjat Prawiranegara Serang), Department of: Guidance And
Counseling Islam, Faculty: Ushuluddin, Da'wah and Adab IAIN Sultan Maulana
Hasanuddin Banten. 2016
HIV-positive people is a term commonly used to describe to people suffering
from HIV / AIDS both newly infected with HIV and AIDS has entered phase.
According to records at the Clinic Teratai dr. Dradjat Prawiranegara Serang, for the
year 2015 has recorded 101 HIV-positive patients with a number of 53 for men and
48 for women, from age group 5-49 years. Of the number of patients who are HIV
positive, in the past year they visited as many as 5012, in 1461 for men and 3551 for
women.
As a companion of people with HIV Clinic Teratai also aims to find new HIV
cases as quickly found the faster to handling so that it can maintain the health of
people with HIV. The principle of Teratai Clinic is providing a service for people
who behavior risk of contracting HIV and people who are already HIV positive. To
know someone is infected with HIV / AIDS is to take the test yag often called VCT.
Clinic Teratai provide Voluntary Counseling and Testing services or counseling and
voluntary HIV testing services that support for those who feel at risk and want HIV
testing.
The results of the research are: 1) Knowing the implementation of Voluntary
Counseling and Testing (VCT) or counseling and voluntary HIV testing. 2)
Determine the strengthening of the psychological condition of people living with HIV
patients with the adoption of Client-Centered Counseling. The research methodology
used was a qualitative study using the interview as material collection and
observation as a supporter. The collected material were then analyzed by first
reading the entire text of existing back while summarizing and eliminate duplication.
Followed by making coding or classification. The results of this coding will be
instituted for common patterns or themes.
From the material obtained that the counselor's role in the implementation of
VCT is the provision of information related to HIV / AIDS. A counselor assisting
clients since HIV is the first to be tested until the client gets the test results. HIV
counselor relationship with the client could continue if the client still need guidance
or counseling from a counselor. And the efforts of the counselor is to maintain the
quality of engineering and ethics counseling and guidance on the process of
behavioral change that made people living with HIV. Client-Centered Counseling in
therapy for people with HIV are more significant to the information provided
counselor to clients according to their needs, because in Client-Centered Counseling
meaning of the provision of information will broaden knowledge of HIV-positive
people to take action.
Keywords: AIDS, Voluntary Counseling And Testing, and Client-Centered
Counseling

iii
FAKULTAS USHULUDDIN, DAKWAH DAN ADAB
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
“SULTAN MAULANA HASANUDDIN” BANTEN
Nomor : Nota Dinas Kepada Yth
Lampiran : Skripsi Dekan Fakultas Ushuluddin, Dakwah
Hal : Pengajuan Ujian Munaqasah dan Adab
IAIN “SMH” Banten
Di
Serang

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dipermaklumkan dengan hormat, bahwa setelah membaca dan


mengadakan perbaikan seperlunya, maka kami berpendapat bahwa
skripsi saudari Wulansari, NIM: 123400161, yang berjudul Client
Centered Counseling dalam Menguatkan Kondisi Psikologis Para
Penderita HIV/AIDS (Studi Kasus di Klinik Teratai RSUD Dr.
Dradjat Prawiranegara Serang). Telah diajukan sebagai salah satu
syarat untuk melengkapi ujian munaqasah pada Fakultas Ushuluddin
Dakwah dan Adab Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam Institut
Agama Islam Negeri “SMH” Banten, maka kami ajukan skripsi ini
dengan harapan dapat segera dimunaqasahkan.

Demikian, atas perhatian Bapak kami ucapkan terima kasih.


Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Serang, 11 Februari 2016
Pembimbing I Pembimbing II

Ahmad Fadhil, Lc. M. Hum AM. Fahrurozi, M. A


NIP : 19760704 200004 1 002 NIP : 19750604 200604 1 001

iv
CLIENT-CENTERED COUNSELING DALAM
MENGUATKAN KONDISI PSIKOLOGIS PARA
PENDERITA HIV/AIDS
(Studi Kasus di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara
Serang)

Oleh:

WULANSARI
NIM : 123400161

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Ahmad Fadhil, Lc. M. Hum AM. Fahrurozi, M. A


NIP : 19760704 200004 1 002 NIP : 19750604 200604 1 001

Mengetahui,

Dekan Ketua Jurusan


Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab Bimbingan dan Konseling Islam

Prof.Dr. H. Udi Mufrodi Mawardi, Lc. M.Ag Ahmad Fadhil, Lc. M. Hum
NIP : 19610209 199403 1 001 NIP : 19760704 200004 1 002

v
PENGESAHAN
Skripsi WULANSARI, NIM: 123400161 yang berjudul Client
Centered Counseling dalam Menguatkan Kondisi Psikologis
Penderita HIV/AIDS (Studi Kasus di Klinik Teratai RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara Serang) telah diujikan dalam sidang
munaqasah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) “Sultan Maulana
Hasanuddin” Banten. Pada hari Rabu tanggal 14 April 2016. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh Gelar
Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I) pada Fakultas Ushuluddin
Dakwah dan Adab Institut Agama Islam Negeri “SMH” Banten.
Serang, 14 April 2016
Sidang Munaqosah,
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

H. Agus Sukirno, M.Pd Hj. Azizah Alawiyah, B.Ed., M.A


NIP : 19730328 201101 1 001 NIP : 19771215 201101 1 001

Anggota
Penguji I Penguji II

Mohamad Rohman, M. Ag Lalu Turjiman Ahmad, M.A


NIP : 19741111 200312 1 003 NIP : 19820911 200912 1 005

Pembimbing I Pembimbing II

Ahmad Fadhil, Lc. M. Hum AM. Fahrurozi, M. A


NIP : 19760704 200004 1 002 NIP : 19750604 200604 1 001

vi
PERSEMBAHAN

“Alhamdulillah, sekecil tanda baktiku ini kuharapkan


membawa kebahagiaan yang mendalam pada keluargaku.
Skripsi ini ku hadiahkan kepada kedua orang tua tercinta,
ayahanda Sukta yang tak pernah lelah memeras keringat
untuk menghidupi keluarganya, ibunda Akah yang
senantiasa melantunan do’anya untukku, kalian adalah guru
pertama dihidupku. Kakakku Iin Indah Fajarwati, adik-
adikku Angga Murodatullah, dan Rahma Hidayani yang
selalu membakar semangatku. Sahabat-sahabat tercinta
yang senantiasa menemaniku namun tak bisa ku sebutkan
satu persatu. Semoga kebaikan dan segala perngorbanannya
dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang setimpal
dan selalu mendapatkan keridhaan-Nya. Amin”.

vii
MOTTO

“Maka nikmat Tuhanmu yang


manakah yang kamu dustakan?”
(QS: Ar-Rahman 13)

Di belakangku ada kekuatan tak terbatas

Di depanku ada kemungkinan tak berakhir

Di sekelilingku ada kesempatan tak terhitung

Mengapa aku harus takut?

(Stella Stuart)

viii
RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Wulansari, lahir pada tanggal 07


November 1994 di Ciomas Serang Banten, tepatnya di Jl. Raya Pasar
Ciomas, Desa Cisitu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang. Penulis
merupakan putri kedua dari empat bersaudara.
Jenjang Pendidikan formal yang penulis tempuh adalah Sekolah
Dasar Negeri Siketug 1 kecamatan Ciomas, lulus pada tahun 2006,
kemudian melanjutkan ke MTs Negeri Model Padarincang kecamatan
Padarincang lulus pada tahun 2009. Untuk sekolah menengah penulis
melanjutkan ke Madrasah Al-Hidayah Cilongkrang kecamatan Ciomas
lulus pada tahun 2012. Setelah itu penulis melanjutkan ke jenjang
Perguruan Tinggi Institut Agama Islam Negeri “Sultan Maulana
Hasanuddin” Banten pada Fakultas Ushuluddin, Dakwah dan Adab
Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam pada tahun 2012.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif menjadi tenaga
pengajar disalah satu SMP Terbuka tepatnya di Kampung Peuteuy,
Desa Ujung Tebu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Serang, yang diberi
nama SMP Cahaya Ilmu. Penulis dipercaya memegang mata pelajaran
Bahasa Indonesia untuk kelas VII, VIII, dan IX.

ix
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT.
Atas rahmat dan hidayah-Nya kepada segenap makhluk-Nya, sehingga
dengan izin-Nya penulis dapat menyelesikan skripsi ini. Shalawat
beserta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad Saw.
Keluarga, sahabat, serta para pengikutnya sampai akhir zaman.
Dengan kasih sayang Allah SWT dan usaha yang sungguh-
sungguh, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Client-
Centered Counseling dalam Menguatkan Kondisi Psikologis
Penderita HIV/AIDS” (Studi Kasus di Klinik Teratai RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara Serang).
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari
bantuan berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Fauzul Iman, M. A, selaku Rektor IAIN “Sultan
Maulana Hasanuddin” Banten yang telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk bergabung dan belajar di lingkungan IAIN
“SMH” Banten.
2. Bapak Prof. Dr. H. Udi Mufradi Mawardi, Lc., M.Ag selaku Dekan
Fakultas Ushuluddin Dakwah dan Adab Institut Agama Islam
Negeri “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten yang telah
mendorong penyelesaian studi dan skripsi penulis.
3. Bapak Ahmad Fadhil, Lc., M. Hum selaku Ketua Jurusan dan
Bapak Agus Sukirno M.Pd selaku Sekretaris Jurusan Bimbingan
dan Konseling Islam Institut Agama Islam Negeri “Sultan Maulana
Hasanuddin” Banten yang telah memberikan bimbingan dan arahan
kepada penulis.

x
4. Bapak Ahmad Fadhil, Lc., M. Hum selaku pembimbing I dan
Bapak AM. Fahrurozi, M.A selaku pembimbing II, yang telah
membimbing penulis dengan sepenuh hati sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten,
terutama yang telah mengajar dan mendidik penulis selama kuliah
di IAIN “SMH” Banten. Pengurus Perpustakaan Umum, Iran
Corner serta staf Akademik, yang telah memberikan bekal
pengetahuan selama penulis kuliah di IAIN “Sultan Maulana
Hasanuddin” Banten.
6. Bapak Tb. Sake Pramawisakti, S.Psi selaku konselor di Klinik
Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara yang telah banyak
membantu dalam penggarapan skripsi ini. Ibu Nita Stela selaku staf
di Klinik Teratai, Mpo Yana, Bang Awan dan Bapak Iqin yang
telah memberikan bantuan informasi dalam proses penelitian. Serta
para Odha yang telah memberikan keramahan dan keterbukaan
selama wawancara.
7. Keluarga, sahabat serta rekan-rekan yang tidak bisa disebutkan satu
persatu yang selalu menemani dan telah banyak memberikan
motivasi selama menyusun skripsi.
Harapan penulis semoga seluruh bantuan yang berupa moril dan
materil kepada penulis menjadi amal shaleh serta mendapatkan balasan
yang berlipat ganda dari Allah Swt. Akhirnya penulis berharap semoga
skripsi ini akan membawa manfaat khususnya bagi penulis dan
umumnya bagi pembaca.
Serang, 11 Februari 2016

Penulis

xi
DAFTAR ISI

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................ i


ABSTRAK ............................................................................................ ii
NOTA DINAS ....................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN MUNAQOSAH ..................................... v
PENGESAHAN .................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ................................................................................. vii
MOTTO ................................................................................................. viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................. ix
KATA PENGANTAR .......................................................................... x
DAFTAR ISI ......................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................ xv

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................ 4
C. Tujuan Penelitian ............................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ........................................................... 5
E. Studi Pustaka .................................................................... 5
F. Kerangka Pemikiran ......................................................... 7
G. Metode penelitian ............................................................. 14
H. Sistematika Pembahasan .................................................. 17

BAB II PROFIL KLINIK VCT TERATAI RSUD DR


DRADJAT PRAWIRANEGARA SERANG
A. Sejarah Klinik VCT Teratai RSUD Dr Dradjat
Prawiranegara Serang ...................................................... 19

xii
B. Tujuan Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat
Prawiranegara Serang ...................................................... 20
C. Profil Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara
Serang .............................................................................. 21
D. Model-Model Pelayanan Klinik Teratai RSUD Dr.
Dradjat Prawiranegara...................................................... 24
E. Profil Konselor dan Struktur Organisasi Klinik Teratai
RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang ........................ 32

BAB III VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING DI


KLINIK VCT TERATAI RSUD DR. DRADJAT
RAWIRANEGARA
A. Data Kunjungan Pasien di Klinik Teratai RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara...................................................... 35
B. Prosedur Voluntary Counseling and Testing (VCT)
atau Konseling dan Tes HIV Secara Sukarela ................. 40
C. Peran konselor dalam pelaksanaan Voluntary
Counseling and Testing (VCT) atau konseling dan tes
HIV secara sukarela. ........................................................ 44

BAB IV PENGUATAN KONDISI PSIKOLOGIS PENDERITA


ODHA DI KLINIK VCT TERATAI RSUD DR.
DRADJAT PRAWIRANEGARA
A. Kondisi Psikologis Penderita Odha di Klinik Teratai ...... 58
B. Upaya konselor dalam menguatkan kondisi psikologis
penderita Odha dengan penerapan metode Client-
Centered Counseling. ....................................................... 63

xiii
C. Evaluasi konseling untuk Odha ....................................... 75

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................... 81
B. Saran-saran ....................................................................... 82

DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN

xiv
DAFTAR BAGAN, TABEL, DAN GAMBAR

Bagan I Bayi terinfeksi HIV ...................................................... 30

Bagan II Struktur Organisasi Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat

Prawiranegara ............................................................... 34

Tabel Kunjungan Pasien tahun 2015 ...................................... 39

Bagan III Konseling Tes secara Sukarela ..................................... 57

Gambar Spiral Tahapan Perubahan Perilaku .............................. 65

xv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Odha merupakan istilah bagi orang yang menderita HIV/AIDS.
Baik yang terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) maupun
yang sudah mencapai fase AIDS (Acquired Immune Deficiency
Syndrome). Pada orang yang tidak tertular HIV, berbagai jenis penyakit
bisa ditangkal karena tubuh memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik
yang akan menghasilkan antibodi untuk melumpuhkan setiap benda
asing yang masuk ke dalam tubuh. HIV menggandakan diri pada sel-sel
darah putih yang dijadikan “pabrik” oleh HIV rusak sehingga sistem
kekebalan tubuh berkurang dan lama kelamaan akan melemah.
Akibatnya berbagai kuman, virus atau penyakit akan semakin mudah
menyerang tubuh, bahkan penyakit yang seharusnya tidak
menimbulkan gangguan jika terjadi pada orang yang tidak mengidap
HIV/AIDS, akan menyebabkan gangguan yang cukup berarti bagi
Odha.1
Tes HIV merupakan “pintu masuk” yang terpenting pada
layanan pencegahan, perawatan, dukungan dan pengobatan. Setelah
sekian lama ketersediaan tes antibodi HIV di Indonesia, dan dengan
peningkatan cakupan tes HIV di Indonesia ternyata masih juga belum
cukup menjangkau masyarakat untuk mengetahui status HIV mereka.
Tes dan Konseling HIV akan mendorong seseorang dan pasangan

1
Syaiful W. Harahap, dkk, Info HIV/AIDS, Media Relations Office
(September, 01, 2011),p. 2.

1
2

untuk mengambil langkah pencegahan penularan infeksi HIV.2


Kegiatan bimbingan dan konseling dengan konselor sebagai
pemandu, tidak hanya dibutuhkan dan dikenal hanya untuk orang-
orang dalam ruang lingkup pendidikan, akan tetapi Odha pun sangat
membutuhkan panduan dari seorang konselor. Selain perawatan medis
yang mereka terima, Odha pun membutuhkan sosok yang bisa diajak
berkeluh kesah.
RSUD dr. Dradjat Prawiranegara yang terletak di Serang
Banten, sejak tahun 2006 menyediakan jasa pelayanan tes dan
konseling (sukarela) atau Voluntary Counseling and Testing disingkat
VCT untuk orang-orang yang prilakunya berisiko tertular HIV. Untuk
tahun 2014 di Klinik Teratai telah tercatat 111 pasien yang positif
mengidap HIV dengan jumlah 62 untuk laki-laki dan 49 untuk
perempuan, dari golongan usia 5-49 tahun. Dari jumlah pasien yang
HIV positif, dalam satu tahun terakhir mereka melakukan kunjungan
sebanyak 4839, 1189 untuk laki-laki dan 3653 untuk perempuan.
Menurut Sake Pramawisari, yang merupakan konselor di
Klinik Teratai, bahwa upaya seorang konselor untuk Odha salah
satunya adalah konseling dan tes HIV secara sukarela atau Voluntary
Counseling and Testing (VCT). Sake pun menyebutkan salah satu
teknik konseling yang digunakan untuk konseling ini adalah client
centered counseling atau konseling terpusat pada klien.3
Berbagai reaksi muncul ketika seseorang terdeteksi mengidap
HIV/AIDS. Kecemasan, takut, mencoba menyangkal, menyesal,

2
Kementrian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Tes dan Konseling HIV dan
AIDS (Jakarta: Depkes RI 2013), p. 11.
3
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara
di klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
3

bingung apa yang akan dilakukan, bahkan kehilangan tujuan untuk


hidup. Kenyataan bahwa penyakit tersebut telah ditemukan obatnya
yaitu obat Antiretroviral namun tidak menyembuhkan, membuat Odha
semakin takut bahwa kematian akan segera menjemput. Odha
beranggapan bahwa penyakit tersebut adalah “surat perjanjian
kematian” dari Tuhan. Sehingga tidak ada lagi semangat untuk
menjalani kehidupan bahkan mencoba bunuh diri.
Hal ini cukup beralasan, menurut salah satu pasien Odha di
Klinik Teratai dengan nama yang berinisial A, umur 34 tahun. Dia
bercerita bahwa sebelum didiagnosis HIV A menyalahgunakan narkoba
menjadi suatu hobi dengan menggunakan alat suntik yang bergantian
dengan temannya. Suatu hari A terkena diare dan tak kunjung sembuh.
Ketika A mencoba memeriksa kesalah satu puskesmas terdekat, A
dirujuk ke RSUD dr. Dradjat Prawiranegara untuk dites darah. Hasil tes
darah tersebut membuat A takut, tidak percaya, cemas bahkan ingin
mencoba mengakhiri hidupnya dengan alasan tidak sanggup
menanggung penyakit yang tidak bisa disembuhkan seumur hidup.4
Odha selain dihadapkan pada permasalahan HIV/AIDS itu
sendiri, diapun harus menerima respon masyarakat yang beraneka
ragam. Diskriminasi bahkan stigma masyarakat bahwa penyakit
tersebut adalah penyakit balasan dari Tuhan. Masyarakat beranggapan
bahwa penyakit HIV/AIDS identik dengan pekerja seks, pengguna
narkoba, seks bebas dan homoseksual. Padahal korban dari penyakit ini
sebagian orang-orang yang tidak bersalah. Mereka tertular dari
transfusi darah, ibu rumah tangga yang tertular dari suaminya, dan anak

4
Odha A, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik
Teratai RSUD Serang, senin, 11 April 2015.
4

kecil yang tertular dari ibunya. Namun sulit untuk menghilangkan


diskriminasi dan stigma dari masyarakat untuk para Odha.
Menurut Sake, terapi yang sesuai dengan untuk Odha adalah
Client Centered Counseling, karena terapi ini fokus terhadap klien jadi
klien dapat memutuskan sendiri hal apa yang akan dia pilih. Posisi
konselor hanya sebagai pemandu dan tidak mengatur apa yang
seharusnya klien pilih.
Sake pun menambahkan seorang konselor harus mampu
menerima klien dengan tangan terbuka dan tanpa adanya diskriminasi.
Rogers berpendapat bahwa ada sikap-sikap tertentu pada pihak terapis
(ketulusan, kehangatan, penerimaan yang nonposesif, dan empati yang
akurat) yang membentuk kondisi-kondisi yang diperlukan dan
memadai bagi keefektifan terapeutik pada klien.5
Tujuan dari penelitian ini bukan terfokus pada pengobatan
untuk Odha, tetapi lebih kepada mendeskripsikan peran konselor untuk
pemberian informasi dalam pelaksanaan VCT dan upaya yang
dilakukan konselor untuk menguatkan mental para Odha.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing
(VCT) di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara?
2. Bagaimana penguatan kondisi psikologis penderita Odha di
klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara dengan
penerapan metode Client-Centered Counseling?

5
Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. (Bandung: PT
Refika Aditama 2013), p.93.
5

C. Tujuan Penelitian
Adapun penelitian ini dilakukan bertujuan untuk:
1. Mengetahui pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing
(VCT) atau konseling dan tes HIV secara sukarela.
2. Mengetahui penguatan kondisi psikologis penderita ODHA
dengan penerapan metode Client-Centered Counseling.

D. Manfaat Penelitian
Adapun penelitian ini dilakukan bermanfaat untuk
1. Manfaat Teoritis
Penelitian diharapkan dapat menjadi masukan untuk
pengembangan Bimbingan dan Konseling Islam, khususnya
memambah pengetahuan terhadap calon konselor, lebih
khusus terkait dengan AIDS karena umat islam banyak yang
perilakunya beresiko dan mengidap HIV/AIDS.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi tambahan bagi penelitian-penelitian di
masa akan datang serta memberikan gambaran utuh tentang
kualitas dan kualifikasi konselor.

E. Studi Pustaka
Banyak literatur yang membahas mengenai penderita
HIV/AIDS, baik yang berbahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.
Namun sepengetahuan penulis belum ada yang secara spesifik
membahas tentang peran serta upaya konselor dalam menguatkan
kondisi psikologis penderita HIV/AIDS. Akan tetapi ada pembahasan
tentang penderita HIV/AIDS yang bisa dijadikan rujukan serta
6

perbandingan penulis dalam menyusun skripsi ini.


Literatur yang terkait yang ditemukan penulis di antaranya,
skripsi yang berjudul “Efektivitas Komunikasi Interpersonal pada
Konseling HIV/AIDS”,6 ditulis oleh Agung Prambudi Himawan
mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik jurusan Ilmu Komunikasi tahun 2010. Penelitian ini
menggambarkan efektifitas komunikasi interpersonal yang terjadi
dalam pelayanan konseling, antara konselor dan pasien pada proses
konseling di bagian VCT Prof DR Margono Soekarjo Purwokerto.
Skripsi yang berjudul “Hubungan Konseling VCT dan
Dukungan Sosial dari Kelompok Dukungan Sebaya dengan Kejadian
Depresi pada Pasien HIV/AIDS di Lantera Minangkabau Support”,7
ditulis oleh Rihaliza mahasiswa Universitas Andalas Fakultas
Kedokteran jurusan Ilmu Keperawatan tahun 2010. Skripsi ini
membahas terdapatnya hubungan yang signifikan antara konseling
VCT dan dukugan sosial dari dukungan kelompok dukungan sebaya
dengan kejadian depresi pada pasien HIV/AIDS.
Skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Perubahan Prilaku Pada Pasien HIV/AIDS di Klinik VCT Bunga
Harapan RSUD Banyumas”,8 ditulis oleh Hestri Sumarlin mahasiswa

6
Agung Prambudi Himawan, “Efektivitas Komunikasi Interpersonal pada
Konseling HIV/AIDS”, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas
Ilmu Sosial dan Politik jurusan Ilmu komunikasi (2010), 29 Mei 2015.
7
Rihaliza, “Hubungan Konselng VCT dan Dukungan Sosial dari Kelompok
Dukungan Sebaya dengan Kejadian Depresi pada Pasien HIV/AIDS di Lantera
Minangkabau Support”, Mahasiswa Universitas Andalas Fakultas Kedokteran jurusan
Ilmu Keperawatan (2010). 29 Mei 2015
8
Hestri Sumalin, “Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan Perilaku pada
Pasien HIV/AIDS di Klinik VCT Bunga Harapan RSUD Banyumas”, Mahasiswa
Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan
jurusan Keperawatan (2013), 29 Mei 2015
7

Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Purwokerto jurusan


Keperawatan tahun 2013, yang membahas perlunya perubahan prilaku
pada pasien penderita HIV/AIDS berupa prilaku pencegahan penularan
HIV/AIDS, agar tidak terjadi peningkatan kejadian HIV/AIDS. Faktor
dukungan keluarga merupakan faktor yang berpengaruh pada
perubahan prilaku HIV/AIDS.
Berangkat dari penelitian di atas yang hanya meneliti dari sisi
penderitanya, maka penulis ingin memfokuskan penelitian terhadap
peran serta upaya konselor di Klinik VCT Teratai RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang.

F. Kerangka Pemikiran
1. Pengertian HIV dan AIDS
HIV atau Human Immunodeficiency Virus. HIV menyerang sel-
sel darah putih yang merupakan bagian penting dalam sistem kekebalan
tubuh. HIV membunuh satu jenis sel darah putih yang disebut sel CD4
(Cluster of Differentiation 4) yakni anggota sel darah putih yang
disebut limfosit. Sel ini adalah bagian penting dari sistem kekebalan
tubuh, dan jika ada jumlahnya yang kurang, sistem tersebut menjadi
terlalu lemah untuk melawan infeksi.
HIV yang masuk ke tubuh menularkan sel ini, ‘membajak` sel
tersebut, dan kemudian menjadikannya ‘pabrik’ yang membuat
miliaran tiruan virus. Ketika proses tersebut selesai, tiruan HIV itu
meninggalkan sel dan masuk ke sel CD4 yang lain. Sel yang
ditinggalkan menjadi rusak atau mati. Jika sel-sel ini hancur, maka
sistem kekebalan tubuh kehilangan kemampuan untuk melindungi
8

tubuh kita dari serangan penyakit, keadaan ini membuat kita mudah
terserang berbagai penyakit.9
Jika jumlah CD4 turun dibawah 200, ini menunjukkan bahwa
sistem kekebalan tubuh kita sangat lemah, tubuh kita tidak dapat lagi
membunuh kuman penyebab penyakit. Kuman ini sangat umum
ditubuh kita, dan biasanya tidak menyebabkan penyakit, karena
dikendalikan oleh sistem kekebalan tubuh yang sehat. karena kuman
tersebut memanfaatkan kesempatan (oportunity) yang diberikan oleh
sistem kekebalan tubuh yang rusak, penyakit yang disebabkannya
disebut Infeksi Oportunistik (IO). ini berarti sudah sampai pada masa
AIDS.10
Acquired Immune Deficiency Syndrome atau disingkat AIDS.
AIDS muncul setelah virus (HIV) menyerang sistem kekebalan tubuh
selama lima hingga sepuluh tahun lebih. Sistem kekebalan tubuh
menjadi lemah, dan satu atau lebih penyakit dapat timbul. Karena
lemahnya sistem kekebalan tubuh tadi, beberapa penyakit bisa menjadi
lebih berat daripada biasanya.11Infeksi Oportunistik disebabkan oleh
berbagai virus, jamur, bakteri dan parasit. Penyakit yang muncul dapat
mempengaruhi berbagai bagian tubuh kita, termasuk kulit, paru, mata,
dan otak. Beberapa jenis kanker juga dapat diakibatkan oleh infeksi
oportunistik. 12

9
Suzana Murni, et al, Hidup Dengan HIV (Jakarta: Yayasan Spiritia 2013),
p. 8.
10
Murni, Hidup Dengan HIV..., p 11.
11
Murni, Hidup Dengan HIV..., p 7.
12
Murni, Hidup Dengan HIV..., p 10.
9

2. Penularan HIV
HIV hidup di semua cairan tubuh tetapi hanya bisa menular
melalui cairan tubuh tertentu, yaitu darah, air mani (cairan, bukan
sperma), cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Kegiatan yang dapat
menularkan HIV adalah, hubungan seks tidak aman/tanpa
kondom/berganti-ganti pasangan, penggunaan jarum suntik/tindik/tato
yang tidak steril secara bergantian, tindakan medis yang memakai
peralatan yang tidak steril (misalnya peralatan dokter gigi), penerimaan
transfusi darah yang mengandung HIV, ibu HIV-positif pada bayi yang
dikandungnya, waktu dalam kandungan, ketika melahirkan atau
menyusui.
HIV tidak menular melalui, bersentuhan, berciuman
(bersalaman dan berpelukan), peralatan makan dan minum, penggunaan
kamar mandi, berenang dikolam renang, gigitan nyamuk, tinggal
serumah bersama Odha.13

3. Sekilas Tentang Tes HIV


Tes awal ini sering dilakukan dengan cara yang sederhana,
dengan memakai alat yang disebut dipstik. Jika hasil tes pertama
positif, darah kita biasanya dites sekali atau dua kali lagi dengan alat
yang lebih canggih sebagai konfirmasi. Tes ini biasanya dilakukan
dengan alat yang disebut ELISA. Jika tes pertama dilakukan dengan
ELISA, tes kedua dan ketiga (jika perlu) harus pakai reagen (alat
kimia) yang berbeda.
Syarat untuk tes HIV yaitu, tes harus dilakukan sepengetahuan
dan dengan izin klien, klien juga harus paham mengenai HIVAIDS

13
Chris W. Green, HIV & TB (Jakarta: Yayasan Spiritia 2006), p. 5-9.
10

sebelum tes dilaksanakan konseling diberikan kepada klien sebelum tes


untuk membantunya membuat pertimbangan yang bijaksana sebelum
memutuskan: mau dites atau tidak, tes HIV harus dirahasiakan oleh
dokter dan konselor hasilnya tidak boleh dibocorkan kepada orang lain
kecuali oleh klien sendiri, dan setelah tes, konseling harus diberikan
lagi agar klien dapat memahami hasil tes dan untuk membantu klien
menyusun rencana serta langkah-langkah selanjutnya sesuai hasil
tesnya.
Adapun kegiatan konseling dilakukan dengan berbincang-
bincang antara konselor dengan klien. Klien akan mendapatkan
pengetahuan mengenai HIV dan AIDS. Klien bisa menceritakan
permasalahan yang kita hadapi. Konselor akan membantu untuk
mencari jalan keluar atau membantu menentukan keputusan, dalam hal
ini tentang HIV/AIDS. Konseling sifatnya menjelaskan pilihan klien.
Orang yang memberikan konseling tidak boleh memaksakan kehendak
atau nilai-nilai pribadinya pada klien. Dalam konseling, kerahasiaan
klien harus dijunjung tinggi.14

4. Teori “Client-Centered Counseling” Carl Rogers


Rogers memandang kesehatan mental sebagai proses
perkembangan hidup alamiah, sementara penyakit jiwa, kejahatan dan
persoalan-persoalan kemanusiaan lainnya, sebagai penyimpangan dari
kecenderungan alam. Teori Rogers berdasarkan pada satu “daya hidup”
yang dia sebut kecenderungan aktualisasi. Ini dapat diartikan sebagai

14
Suzana Murni, et al, Pasien Berdaya (Jakarta: Yayasan Spiritia 2003), p.
12-14.
11

motivasi yang menyatu dalam setiap diri makhluk hidup yang bertujuan
mengembangkan seluruh potensi-potensinya sebaik mungkin.15
a. Konstruk (Aspek-Aspek) Kepribadian
Jurang yang memisahkan antara diri riil dengan diri ideal,
antara “saya sebagai adanya” dengan “saya sebagaimana yang
seharusnya” disebut ketidaksebidangan. Semakin lebar jarak antara
keduanya, semakin besar pula ketidaksebidangan ini. Semakin besar
ketidaksebidangan ini, semakin besar pula tekanan dan penderitaan
yang dirasakan. Ketidaksebidangan inilah yang sesungguhnya disebut
Rogers sebagai neurosis, yaitu ketidakselarasan dengan diri sendiri.16
Hubungan antara “real self” dengan “ideal self” terjadi dalam
dua kemungkinan yaitu “congruence” atau “incongruence. Contoh
yang inkongruence: anda mungkin meyakini bahwa secara akademik
anda seorang yang cerdas “ideal self”, namun ternyata nilai-nilai yang
anda peroleh sebaliknya “real self”.
b. Peran dan Fungsi Konselor pada Client-Centered Counseling
Hubungan konselor-klien sangat penting. Kualitas konselor
seperti kehangatan, empati, kepedulian, dan kemampuan
mengkomunikasikan sikap-sikap tersebut sangat ditekankan pada
pendekatan ini.17Sikap konselor inilah yang memfasilitasi perubahan
pada diri klien. Konselor menjadikan dirinya sebagai instrumen
perubahan. Konselor bertindak sebagai fasilitator dan mengutamakan

15
George C. Boeree, Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda
Bersama Psikolog Dunia (Yogyakarta: Prismasophie 2010), p. 288-289
16
Boeree, Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda Bersama
Psikolog Dunia..., p. 292-293
17
Namora Lumongga Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam
Teori dan Praktik (Jakarta: Prenada Media Group 2011), p. 62.
12

kesabaran dalam proses konselingnya. Seperti yang dikatakan Perez


dalam buku Muhammad Surya yang berjudul Psikologi Konseling, “temuan
penelitian menunjukan bahwa pengalaman, orientasi teoritis dan teknik
yang digunakan bukanlah penentu utama bagi kefektifan seorang
terapis, akan tetapi kualitas pribadi konselor, bukan pendidikan dan
pelatihannya sebagai kriteria dalam evaluasi keefektifannya.
Beberapa karakteristik kualitas kepribadian konselor yang
terkait dengan kefektifan konseling yaitu, pengetahuan mengenal diri
sendiri (self-knowledge), kompetensi (competence), kesehatan
psikologis yang baik, dapat dipercaya (trustworthtness), kejujuran
(Honest), kekuatan atau daya (Strength), kehangatan (warmth),
pendengar yang aktif (Active Responsiveness), kesabaran, kepekaan
(sensitivity).18
Dari definisi yang dikemukakan oleh Baruth dan Robinson
dalam buku Lubis yang berjudul memahami dasar-dasar konseling dalam
teori dan praktik bahwa peran adalah apa yang diharapkan dari posisi
yang dijalani seorang konselor dan persepsi dari orang lain terhadap
posisi konselor tersebut.19Peran konselor meliputi, untuk mencapai
sasaran intrapersonal dan interpersonal, mengatasi divisit pribadi dan
kesulitan perkembangan, membuat keputusan dan memikirkan rencana
tindakan untuk perubahan dari pertumbuhan, dan meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan.20

18
Muhammad Surya, Psikologi Konseling (Bandung: CV Pustaka Bani
Quraisy 2003), p. 57-66.
19
Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik..., 31.
20
Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik..., 33.
13

c. Tujuan Client-Centered Counseling


Terapis dalam Client-Centered Counseling berfungsi terutama
sebagai penunjang pertumbuhan pribadi kliennya dengan jalan
membantu klien dalam menemukan kesanggupan-kesanggupan untuk
memecahkan masalah-masalah. Pendekatan Client-Centered
Counseling menaruh kepercayaan yang besar pada kesanggupan klien
untuk mengikuti jalan terapi dan menemukan arahnya sendiri.21
Melalui teprapi client centered ini diharapkan klien yang
mengembangkan kepura-puraan tersebut dapat mencapai tujuan terapi
yaitu: keterbukaan pada pengalaman, kepercayaan terhadap diri sendiri,
menghilangkan sikap dan perilaku yang kaku dan bersikap lebih
matang dan teraktualisasi.22
d. Teknik-Teknik Client-Centered Counseling
Rogers mengajukan tiga kondisi utama yang akan memudahkan
perkembangan pribadi klien yaitu, Empati (empathy) adalah
kemampuan untuk memahami perasaan klien. Bagian penting dari
tugas konselor yang berpusat pada individu adalah mengikuti dengan
tepat perasaan klien dan menyampaikan kepada klien bahwa konselor
memahami apa yang dirasakannya.
Kongruen disebut juga ketulusan (genuineness). Maksudnya,
tidak seperti ahli terapi psikodinamika yang umunya mempertahankan
peran sebagai ‘kertas kosong’ dan tak banyak mengungkapkan
kepribadiannya sendiri, ahli terapi yang menganut gagasan-gagasan
Rogers giat memberikan kesempatan pada klien agar merasakan ahli
terapinya sebagai pribadi yang sesungguhnya.
21
Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi...,p. 91.
22
Lubis, Memahami Dasar-Dasar Konseling Dalam Teori dan Praktik...,
p.157.
14

Dalam buku Matt Jarvis yang berjudul teori-teori psikologi:


pendekatan modern untuk memahami perilaku Rogers meyakini, agar bisa
berkembang dan memenuhi potensinya, penting artinya bahwa
seseorang dihargai sebagai dirinya sendiri. Maka konselor yang
berpusat pada individu bersikap hati-hati untuk selalu menjaga sikap
yang positif terhadap klien..23

G. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian
kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya
prilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Secara holistik dan dengan
cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks
khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode yang
alamiah.24
Dalam melakukan pengumpulan data setiap kata dan tindakan
yang dilakukan oleh subjek memiliki arti penting untuk dipahami dan
dimengerti, sehingga dibutuhkan hubungan yang baik antara peneliti
dan subjek. Penelitian ini dilakukan di Klinik VCT Teratai RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara Serang Banten dari bulan April-Mei 2015.
Sumber data yang diperoleh dari Klinik Teratai, konselor Klinik
Teratai dan penderita Odha pasien Klinik Teratai.
Sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian, peneliti
menggunakan metode pengumpulan data berupa:

23
Matt Jarvis, Teori-Teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami
Perilaku, Perasaan, dan Pikiran Manusia (Bandung: Nusa Media 2010), p. 100.
24
J Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya 2013), p 6.
15

1. Pengumpulan data
a. Wawancara (interview)
Dalam penelitian ini akan digunakan wawancara semi
terstruktur yaitu teknik wawancara yang menggunakan susunan
pertanyaan yang baku, sehingga pertanyaan-pertanyaan tidak
menyimpang dari penelitian atau berpusat kepada satu pokok tertentu.
Meskipun memiliki pedoman pertanyaan yang baku, dalam
pelaksanaannya wawancara tidak hanya terpaku pada pedoman
pertanyaan tersebut. Interviewer bisa mengembangkan pedoman
pertanyaan menjadi pertanyaan lain sesuai dengan kondisi dan
jawaban interviewee.
Wawancara yang dilakukan bertujuan untuk mengungkapkan
beberapa hal, antara lain:
Pertama, wawancara untuk konselor yaitu, peran konselor
dalam pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau
konseling dan tes HIV secara sukarela, keterampilan yang diperlukan
dalam memberikan konseling termasuk karakteristik dan kepribadian
konselor, suasana yang diciptakan konselor selama sesi konseling,
prinsip etika dalam melakukan konseling untuk penderita Odha, isi
informasi dalam sesi konseling, upaya konselor dalam menguatkan
kondisi psikologis penderita Odha dengan penerapan metode Client-
Centered Counseling, keefektifan metode Client-Centered Counseling
dalam kegiatan konseling untuk Odha, dan kendala dalam melakukan
konseling untuk Odha.
Kedua, Wawancara untuk penderita Odha yaitu, perjalanan
hidup penderita sampai didiagnosis HIV, persepsi penderita tentang
HIV/AIDS, reaksi emosional dan psikologis penderita saat pertama
16

kali mengetahui dirinya tertular HIV/AIDS, reaksi lingkungan


terutama keluarga dan diskriminasi serta stigma yang diterima,
persepsi penderita tentang konseling yang dilakukan konselor di
Klinik Teratai, perubahan yang dialami penderita setelah menerima
sesi konseling, kegiatan penderita setelah menderita HIV/AIDS dan
menerima konseling dari konselor di Klinik Teratai, dan harapan dan
impian penderita setelah didiagnosis HIV/AIDS.
b. Observasi
Pengamatan didasarkan atas pengalaman secara langsung.
Observasi ini dilakukan dengan menggunakan rencana terlebih dahulu
sehingga sering pula disebut structured observation atau observasi
sistematis. Jadi, telah ada stuktur tertentu yang segala sesuatunya telah
disistematisasi mengenai hal-hal apa yang akan diobservasi dan telah
dibuat kategoti-kategori tertentu. Oleh karena itu observasi ini juga
sering disebut sebagai “observasi dengan sistem kategori”.25
Beberapa hal yang akan diamati dalam penelitian ini yaitu,
upaya yang dilakukan konselor untuk pasien yang datang ke Klinik
Teratai, kegiatan konseling yang dilakukan konselor untuk pasien yang
datang ke Klinik Teratai, dan kondisi psikologis pasien yang positif
terkena HIV/AIDS yang memiliki kemampuan komunikasi verbal.
2. Teknik Analisa Data
Dalam metode kualitatif, perolehan data biasanya melalui
wawancara. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan
pertama-tama membaca kembali keseluruhan teks yang ada sambil
meringkas dan menghilangkan duplikasi-duplikasi. Dilanjutkan

25
Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Studi dan Karier (Yogyakarta:
CV Andi Offset 2010), p, 62-63.
17

dengan membuat pengkodean (coding) atau klasifikasi. Hasil koding


ini akan menelorkan pola-pola umum atau tema-tema. Dalam buku
Conny R. Setiawan yang berjudul Metode Penelitian Kualitatif Creswell
menggambarkan proses analisis data kualitatif seperti dibawah ini.

Data lapangan hasil wawancara

Pengetikan data: teks

Membaca keseluruhan teks

Koding dan klasifikasi

Deskripsi, pola, tema

Penafisran data biasanya berlangsung dalam tiga tahap.


Pertama, peneliti menafsirkan teks yang disampaikan partisipan.
Langkah berikutnya, peneliti menyusun kembali hasil penafsiran
tingkat pertama dan mendapatkan tema-temanya. Langkah ketiga yaitu
menghubungkan tema-tema tersebut sehingga membentuk teori,
gagasan dan pemikiran baru.26

H. Sistematika Penulisan
Bab I pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, studi pustaka, kerangka teori,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II profil lokasi penelitian Klinik Teratai RSUD Serang,
berisi deskripsi Klinik Teratai di RSUD Serang, mencakup deskripsi

26
Conny R. Setiawan, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Grasindo
2010), p. 76-77
18

ruangan, model pelayanan, profil konselor, dan struktur pegawai.


Bab III pelaksanaan Voluntary Counseling and Testing (VCT)
Klinik Teratai RSUD Serang, berisi penjelasan tentang pelaksanaan
Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau konseling dan tes HIV
secara sukarela dan peran konselor dalam pelaksanaan Voluntary
Counseling and Testing (VCT) atau konseling dan tes HIV secara
sukarela.
Bab IV penguatan kondisi psikologis penderita Odha di Klinik
Teratai RSUD dr, Dradjat Prawiranegara Serang berisi penjelasan
mengenai kondisi psikologis penderita Odha di Klinik Teratai dan
upaya konselor dalam menguatkan kondisi psikologis penderita Odha
dengan penerapan metode Client-Centered Counseling.
Bab V penutup, berisi kesimpulan dan saran.
BAB II
PROFIL KLINIK TERATAI RSUD DR DRADJAT
PRAWIRANEGARA SERANG

A. Sejarah Klinik VCT Teratai RSUD Dr Dradjat Prawiranegara


Serang
Pada tahun 2006, RSUD Dr Dradjat Prawiranegara Serang
sudah menyediakan pelayanan untuk jasa pelayanan tes dan konseling
(sukarela) atau Voluntary Counseling and Testing disingkat VCT untuk
orang-orang yang prilakunya berisiko tertular HIV. Pada saat itu pihak
rumah sakit hanya memfasilitasi sebuah ruangan yang kecil untuk
melakukan pelayanan, ruangan tersebut terletak di belakang UGD dan
belum diberikan nama yang khusus.
Walaupun dengan ruangan yang seadanya pelayanan VCT ini
telah dikelola oleh tim yang terdiri dari lima orang konselor, dua orang
dokter, satu petugas administrasi, dua orang petugas laboratorium dan
satu orang petugas apotek. Jadi dari tahun 2006 RSUD Dr. Dradjat
Prawiranegara Serang telah melakukan konseling sebelum dan sesudah
melakukan tes pada orang-orang yang prilakunya beresiko tertular HIV.
Akhirnya pada tahun 2010 pelayanan ini mendapatkan ruangan
yang memadai dan diberikan nama yang khusus yakni Klinik VCT
Teratai. Sebelum dipakai untuk pelayanan VCT, ruangan ini dibangun
dengan tujuan untuk membuka poli jiwa namun tidak direalisasikan.
Sejak tahun 2010 sampai sekarang Klinik Teratai dikelola oleh tiga
orang konselor, dua orang dokter, dua petugas laboratorium, dua orang
petugas farmasi, satu orang petugas administrasi dan tiga orang

19
20

konselor dari LSM dengan tugas sebagai konselor pendamping untuk


para Odha di Klinik VCT Teratai.1

B. Tujuan Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara


Serang
Narasumber menjelaskan tujuan dari Klinik Teratai RSUD Dr.
Dradjat Prawiranegara Serang adalah untuk menemukan kasus HIV
yang baru karena semakin cepat ditemukan maka akan semakin cepat
untuk melakukan penanganan sehingga bisa menjaga kesehatan Odha.
Dengan kata lain, tujuan klinik ini adalah untuk menjembatani antara
pencegahan HIV dengan perawatan dan dukungan, memfasilitasi
rujukan dini ke layanan klinik yang komprehensif dan layanan berbasis
masyarakat, layanan perawatan dan dukungan, termasuk akses terapi
antiretroviral (ARV) dan memperbaiki kualitas hidup dan memainkan
peran yang menentukan dalam penurunan stigma dan diskriminasi.
Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara mempunyai
prinsip menyediakan tempat jasa pelayanan untuk orang yang
prilakunya beresiko tertular HIV dan orang yang sudah positif
terinfeksi HIV. Manfaat dari berdirinya Klinik Teratai RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara, secara umum dapat memutus mata rantai
penularan HIV dalam masyarakat, mengurangi stigma dan diskriminasi
terhadap Odha dan dapat mengurangi atau menghilangkan perilaku
beresiko untuk terkena HIV/AIDS.2

1
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 28 April 2015.
2
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
21

C. Profil Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang


Dari hasil observasi peneliti di RSUD dr. Dradjat Prawiranegara
Serang bahwa Klinik Teratai terletak di bagian utara dari bangunan
RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara Serang. Klinik ini berdampingan
dengan ruang Flamboyan dan kamar Jenazah atau ruang Forensik,
tepatnya sesudah ruang Flamboyan dan sebelum kamar Jenazah.
Klinik ini sedikit sulit dikenali karena letaknya yang berada diujung
utara dari bangunan RSUD. Selain itu, klinik ini mempunyai plang
nama yang berbeda dengan ruangan lainnya dan sudah hampir usang,
sehingga bisa terbaca apabila sudah berjarak kurang lebih tiga meter.
Klinik ini mempunyai ruangan yang berada di lantai dua. Namun, tidak
ada keterangan sebagai petunjuk bahwa klinik tersebut berada di lantai
dua, sehingga orang yang baru pertama kali berkunjung akan
memastikannya dengan bertanya terlebih dahulu pada orang yang
berada disekitar atau pegawai dari RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara
Serang.
Ketika tiba diruangan Klinik Teratai kita disuguhkan dengan
pemandangan poster-poster yang menempel dengan rapi di dinding
klinik. Poster-poster tersebut berisi penyebab tertularnya HIV salah
satunya melalui seks bebas dan mengkonsumsi narkoba. Poster-poster
inilah yang memberikan kesan pada klinik tersebut menyediakan
pelayanan untuk orang yang ingin mengetahui statusnya karena telah
melakukan prilaku yang beresiko dan orang yang telah positif tertular
HIV.
Klinik Teratai mempunyai ruangan yang cukup luas, dengan
perlengkapan ruangan yang tersusun rapi, agar membuat nyaman
petugas klinik dan pengunjung. Dimulai dengan kursi untuk tamu yang
22

disediakan dengan jumlah yang banyak sehingga mampu menampung


pasien yang datang berkunjung. Ruangan ini pun dilengkapi dengan
kamar mandi. Di dekat pintu kamar mandi disediakan tempat untuk
mencuci tangan dan sabun cuci tangan yang bisa dipakai oleh semua
yang datang berkunjung. Tidak jauh dari kamar mandi terdapat televisi
yang digantungkan di dinding serta perlengkapan administrasi dengan
sebuah komputer dan meja yang di atasnya berisi segala perlengkapan
yang dibutuhkan oleh adminitator, terletak sebelum ruangan yang
terdapat di dalam Klinik.
Di Klinik ini terdapat empat ruangan yang mempunyai fungsi
berbeda dan dikelola oleh orang yang tentu mempunyai peran yang
berbeda di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara. Ruangan
ini masing-masing sangat menjaga privasi para pasien karena
dilengkapi dengan kaca yang tidak transparan dan berwarna hitam.
Selain itu dari dalam ruangan kaca tersebut dilapisi dengan semacam
isolasi sehingga aktivitas yang dilakukan didalam ruangan tidak terlihat
dari luar ruangan, tidak hanya itu setiap ruangan memiliki ventilasi
udara yang sedikit dan kecil sehingga suara yang ditimbulkan dari
dalam ruangan tidak sampai terdengar ke luar ruangan kecuali pasien
berteriak.
Ruangan tersebut terletak secara berdampingan. Di sisi kiri dari
klinik terdapat ruang VCT yang bersebelahan dengan ruang Arsip.
Tepatnya di depan Ruang VCT terdapat Ruang CST yang bersebelahan
dengan Ruang Psikologi. Jarak dari ruang VCT ke CST atau dari ruang
Arsip ke Psikologi kurang lebih satu meter setengah dan di antara jarak
ruangan tersebut diletakkan dua timbangan yang digunakan untuk
mengetahui perkembangan berat badan Odha yang setiap bulan
23

berkunjung ke Klinik, serta dipermanis dua lukisan dengan corak sama


yang digantung tidak sejajar namun rapi ketika dilihat.
Adapun keempat ruangan itu meliputi:
1. Ruang VCT
Ruangan ini berisi satu set perlengkapan untuk melakukan
konseling yang terdiri dari satu meja dan dua kursi. Di meja
tersebut terdapat buku panduan konselor ketika
mengkonseling pasien dan alat untuk mengetahui tekanan
darah. Selain itu ruangan ini dilengkapi dengan AC, kulkas,
timbangan untuk bayi, dan kamar mandi serta di dekat
kamar mandi terdapat lemari kecil yang menempel di
dinding yang digunakan untuk menyimpan konsumsi.
2. Ruang CST
Sama halnya dengan ruang VCT, di ruang CST pun terdapat
satu meja yang berisi alat untuk mengetahui tekanan darah
dan dua kursi. Yang membuat beda ruangan ini dilengkapi
dengan satu tempat tidur untuk pasien, kamar mandi, AC
dan di dinding ruangan terdapat tombol yang ditekan
apabila dalam keadaan gawat darurat gawat darurat.
3. Ruang Psikologi
Perlengkapan Ruang Psikologi sama seperti perlengkapan di
ruang VCT. Bedanya Ruang ini tidak mempunyai kulkas,
dan lemari untuk menyimpan makanan. Di ruangan ini
hanya ada satu set meja dan kursi serta AC. Namun, karena
ruangan ini jarang dipakai karena kunjungan pasien yang
tidak dapat diprediksi, maka ruangan ini dipakai untuk
menyimpan obat ARV.
24

4. Ruang Arsip
Ruang ini berisi data-data Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara Serang yang terhimpun mulai dari tahun
2006 sampai dengan sekarang.

D. Model-Model Pelayanan Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat


Prawiranegara
Hasil dari wawancara dengan konselor di Klinik Teratai RSUD
Dr. Dradjat Prawiranegara bahwa Klinik Teratai mempunyai beberapa
model atau macam dalam pelayanannya, yaitu:
1. Voluntary Counseling dan Testing (VCT)
Layanan konseling dan testing sukarela atau VCT adalah
program pencegahan sekaligus jembatan untuk mengakses layanan
manajemen kasus (MK) dan CST (perawatan, dukungan dan
pengobatan bagi ODHA) layanan VCT harus mencakup konseling
prates, tes HIV, dan konseling post-tes. Kegiatan tes dan hasil tes
pasien harus dijalankan atas dasar prinsip kesukarelaan dan
kerahasiaan.3
Program layanan VCT dimaksudkan membantu masyarakat
terutama populasi beresiko dan anggota keluarganya untuk mengetahui
status kesehatan yang berkaitan dengan HIV dimana hasilnya dapat
digunakan sebagai bahan motivasi upaya pencegahan penularan dan
mempercepat mendapatkan pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan.
Tujuan dari VCT ini adalah meningkatkan kesadaran populasi
beresiko tentang status kesehatan HIVnya, meningkatkan kesadaran

3
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
25

populasi beresiko untuk membuat keputusan dan mempertahankan


perubahan perilaku yang aman terhadap penularan HIV, dan membantu
mereka yang diidentifikasi terinfeksi untuk segera mendapat
pertolongan kesehatan sesuai kebutuhan.4
Menurut narasumber target sasaran dari layanan VCT di Klinik
Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara, yaitu:
a. Pengguna Napza suntik (Penasun atau IDUs).
b. Pasangan seks tetap dari IDUs yang bukan IDUs.
c. Pekerja seks perempuan langsung.
d. Pekerja seks perempuan tidak langsung.
e. Pekerja seks laki-laki.
f. Gay atau LSL (Lelaki Suka Lelaki).
g. Wanita pekerja seks.
h. Pelanggan dari pekerja seks perempuan atau laki-laki.
i. Pasangan tetap dari pelanggan PSK.5

2. Care, Support and Treatment


Narasumber menjelaskan setelah VCT dilakukan, dilanjutkan
dengan program perawatan, dukungan dan pengobatan atau Care,
Support and Treatment (CST) bagi Odha. CST ini merupakan bagian
hilir dari program penanggulangan HIV/AIDS secara komprehensif.
Layanan CST juga merupakan layanan lanjutan dari layanan VCT. CST
seharusnya tidak dilakukan bila tanpa layanan VCT. Bila Odha yang
datang ke fasilitas layanan kesehatan sudah dengan AIDS, sebelum

4
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, Mengenal dan
Menanggulangi HIV AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba (Banten: Dinas
Kesehatan Provinsi Banten), p30-31
5
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015
26

menerima layanan CST, Odha tersebut harus melakukan layanan VCT


terlebih dahulu.6
Program perawatan, dukungan dan pengobatan bagi Odha
bermaksud memberikan layanan berkualitas bagi Odha agar dapat
hidup lebih lama secara positif, berkualitas, dan memiliki aktivitas
sosial dan ekonomi yang normal seperti anggota masyarakat lainya
dengan kata lain tanpa ada stigma dan diskriminasi. Penjabaran dari
program ini meliputi:
a. Care (Perawatan)
Implemetasi perawatan bersifat komprehensif
berkesinambungan yaitu perawatan yang melibatkan jaringan
sumberdaya dan pelayanan dukungan secara holistik, komprehensif dan
luas untuk Odha maupun keluarganya dan menghubungkan antara
perawatan di rumah sakit dengan perawatan di rumah secara timbal
balik sepanjang perjalanan penyakit. Pencapaian hal tersebut
merupakan tanggung jawab tenaga medis yang berperan pada
perawatan di rumah sakit dan keluarga yang berperan pada perawatan
di rumah. Tindakan kedua pihak terhadap perawatan Odha harus
dimaksimalkan agar pelayanan komprehensif bisa tercapai. Rumah
sakit rujukan umumnya sudah memiliki Peraturan Tetap Tindakan
Perawatan, yang perlu disosialisasikan adalah kesinambungan
perawatan di rumah, seperti pola hidup yang sehat untuk Odha.
b. Treatment (Pengobatan)
Pada dasarnya mencakup aspek medis klinis, psikologis klinis
dan sosial. Pengobatan medis klinis meliputi:

6
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
27

1. Terapi Antiretroviral
Terapi Antiretroviral berarti mengobati infeksi HIV
dengan obat-obatan anti virus. Obat tersebut yang disebut ARV
tidak membunuh virus itu, namun dapat memperlambat
pertumbuhan virus. Waktu pertumbuhan virus diperlambat
begitu juga penyakit HIV.7
Menurut narasumber tujuan dari Klinik Teratai RSUD
Dr. Dradjat Prawiranegara menyediakan terapi Antiretroviral
adalah:
a. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang
berhubungan dengan HIV.
b. Memperbaiki kualitas hidup Odha.
c. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi kekebalan
tubuh.
d. Menekan replikasi virus secara maksimal dan terus
menerus.
e. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat.
Pedoman dari ART ini terutama mengatur kapan
memulai ART, rejimen yang dipakai sebagai lini pertama,
pemantauan ART, alasan untuk mengganti ART dan pilihan
rejimen lini kedua. Pedoman juga memberi pengarahan
mengenai penggunaan ART oleh kelompok tertentu, termasuk
perempuan hamil, pengguna narkoba, anak dan orang yang
terinfeksi HIV dan TB.8

7
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten,p.32-34
8
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
28

2. Pengobatan Suportif
Mencakup penilaian gizi Odha dari awal untuk mencegah
gangguan nutrisi yang memperburuk kondisi. Bila nafsu
makan sangat menurun pertimbangkan pemberian obat
anabolik steroid.
c. Support (Dukungan)
Dukungan merupakan pengobatan aspek psikologis klinis dan
sosial. Dukungan ini merupakan obat yang ampuh dari pada obat dari
medis, karena dari dukungan Odha merasa tidak sendiri dan mampu
berpikir positif tentang virus yang dibawa seumur hidup. Upaya dapat
berupa konseling pendampingan oleh konselor dari Klinik dan konselor
sebaya dari LSM yang bisa melakukan konseling 24 jam serta bisa
melakukan home visit (kunjungan).9
Berdasarkan keputusan menteri Kesehatan RI No. 760/2007,
Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat Prawiranegara mempunyai langkah-
langkah dalam menyiapkan layanan CST sebagai berikut.
a. Membentuk tim koordinasi dibawah koordinasi Komisi
Penangulangan AIDS. Tim terdiri dari Wakil Dinas
Kesehatan, Rumah Sakit, profesi kesehatan, Organisasi
Odha, dan LSM yang peduli AIDS.
b. Membentuk tim/kelompok kerja AIDS, lingkup kerja dari
Tim/Pokja AIDS Rumah Sakit meliputi, pelatihan petugas,
koordinasi dan manajemen tim AIDS Rumah Sakit,
menyusun standar prosedur operasional, pasokan obat,

9
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten,p.33.
29

reagen diagnostik, rujukan kasus, pencatatan, dan


pelaporan/monitoring sera evaluasi.10
3. Prevention Of Mother-to-child HIV Transmission (PMTCT)
Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang
menyediakan layanan pencegahan penularan pada bayi dan
kesehatannya dengan perawatan calon ibu. Konseling yang diberikan
pada calon ibu yang terinfeksi HIV meliputi:
a. Nasihat dan pembahasan mengenai cara mencegah
penularan HIV dari ibu-ke-bayi.
b. Informasi mengenai pengobatan untuk HIV untuk ibu saat
ini.
c. Informasi mengenai pengobatan untuk HIV untuk ibu pada
masa depan.
Selain konseling, pencegahan penularan dari ibu HIV positif
kejanin dalam kandungan dan bayi yang dilahirkan mempunyai asas
perawatan yang meliputi:
a. Ibu yang terinfeksi HIV berhak untuk mengambil pilihan
sendiri mengenai bagaimana menangani kehamilan dan
memilih pengobatan sendiri waktu hamil.
b. Petugas layanan kesehatan wajib memberikan informasi,
bimbingan dan konseling yang bersifat mendukung, tidak
memihak, dan tidak menghakimi.
c. HIV sebagainya dipantau secara ketat selama kehamilan.
Pemantauan semakin penting menjelang waktu persalinan.
d. Infeksi oportunistik harus diobati sebagaimana mestinya.

10
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
30

e. ART sebaiknya dipakai untuk mengurangi viral load HIV


tidak terdeteksi.
f. Calon ibu yang terinfeksi HIV harus diobati dengan cara
yang mengurangi kemungkinan virus menjadi resisten
(kebal) terhadap ARV.
g. Calon ibu yang terinfeksi HIV berhak mengambil pilihan
berdasarkan informasi mengenai kapan dan bagaimana bayi
dilahirkan.11
Prevention Of Mother-to-child HIV Transmission (PMTCT)
yaitu upaya pencegahan penularan dari ibu HIV positif kejanin dalam
kandungan dan bayi yang dilahirkan. Belum diketahui secara persis
bagaimana HIV menular dari ibu-ke-bayi. Namun, kebanyakan
penularan terjadi saat persalinan. Selain itu, bayi bayi yang disusui oleh
ibu terinfeksi HIV dapat juga tertular HIV. Hal ini ditunjukan dalam
bagan berikut:

5-10 bayi 15 bayi 5-15 bayi


terinfeksi terinfeksi terinfeksi
dalam waktu melalui ASI
kandungan lahir

25-40 bayi terinfeksi HIV

Bagan I
Bayi terinfeksi HIV

11
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 April 2015.
31

Ada beberapa faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan


bayi terinfeksi HIV, yang paling mempengaruhi adalah viral load
(jumlah virus yang ada didalam darah) ibunya. Oleh karena itu, salah
satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load yang tidak dapat
terdeteksi.
Seperti ditunjukan pada gambar, penularan dapat terjadi
didalam kandungan. Hal ini dapat disebabkan oleh kerusakan pada
plasenta, yang seharusnya melindungi janin dari infeksi HIV.
Kerusakan tersebut dapat memungkinkan darah ibu mengalir pada
janin. Kerusakan pada plasenta dapat disebabkan oleh penyakit lain
pada ibu, terutama malaria dan TB.
Namun risiko penularan lebih tinggi pada saat persalinan,
karena bayi tersentuh oleh darah dan cairan vagina iu waktu melalui
saluran kelahiran. Jelas, jangka waktu antara pecah ketuban dan bayi
lahir juga merupakan salah satu faktor risiko untuk penularan, juga
intervensi untuk membantu persalinan yang dapat melukai bayi,
misalnya vakum dapat meningkatkan risiko.
Air susu ibu (ASI) dari ibu terinfeksi HIV mengandung HIV,
jadi ada resiko penularan HIV melalui menyusui. Faktor resiko lain
termasuk kelahiran prematur dan kekurangan perawatan HIV sebelum
melahirkan. Sebenarnya semua faktor risiko menunjukan satu hal yang
terpenting adalah mengawasi kesehatan ibu.12 Kesehatan dan
pengobatan calon ibu adalah masalah yang paling penting
dipertimbangkan untuk memastikan bahwa bayi yang dikandung sehat.
Hal ini yang harus diutamakan.

12
Chris W. Green, HIV Kehamilan dan Kesehatan Perempuan (Jakarta:
Yayasan Spiritia 2011), p. 5-6.
32

E. Profil Konselor dan Struktur Organisasi Klinik Teratai RSUD


dr. Dradjat Prawiranegara Serang
1. Profil Konselor Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara
Serang

Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara mempunyai


seorang konselor yang biasanya menangani para penderita HIV/AIDS.
Nama lengkap dari konselor tersebut adalah Sake Pramawisakti. Dia
dilahirkan di Serang pada tanggal 16 Agustus 1968. Tempat
kediamannya yaitu di Komplek Rss Pemda blok A2 No. 50 Banjarsari
Cipocok Jaya Kota Serang. Dia memiliki hobi membaca dengan moto
hidupnya yaitu tidak ada pensiun dalam hidup.
Pendidikan yang telah ditempuh oleh Sake yaitu dimulai dari
SD Negeri 11 Serang, lulus pada tahun 1981. Kemudian dilanjutkan ke
SMP Negeri 4 Serang lulus tahun 1984 dan dilanjutkan ke SMA Negeri
Muhammadiyah Serang tahun 1987. Setelah menyelesaikan studinya di
SMA, Sake melanjutkan ke UNISBA (Universitas Bandung) untuk
jurusan S1 Psikologi Klinis dan lulus pada tahun 1995.
Pengalaman organisasi yang pernah Sake ikuti yaitu aktif di
Pramuka dari SD-SMA, menjadi anggota MPK (Majlis
Permusyawaratan Kelas) di SMA Muhammadiyah Serang. Selama
kuliah Sakee aktif di organisasi internal mahasiswa, dan untuk
organisasi eksternal menjadi kader HMI (Himpunan Mahasiswa
Indonesia).
Untuk menunjang profesi yang digelutinya sekarang, Sake
bergabung dengan Yayasan Kanker Indonesia tahun 1998-2000.
Mengikuti pelatihan konselor Odha pada tahun 2004 yang bertempat di
33

Bogor. Di 2013 Sake mengikuti pelatihan yang sama yaitu pelatihan


untuk menjadi konselor Odha di Jakarta. Dan di tahun 2009 Sake
mngikuti pelatihan VCT di Jakarta.
Sake mempunyai Istri yang bernama Haryati Sukarti.
Pernikahannya dengan ibu Haryati membuahkan 4 anak. Anak
pertamanya yang bernama Rt. Zaika Nur Salma yang berumur 20
tahun. Selang dua tahun lahir anak keduanya yang bernama Tb.
Muhammad Kafi Idris umur 18 tahun. Dengan jarak 5 tahun lahirlah si
kembar Rt. Khadijah Kamila & Tb. Muhammad Kamal pada tahun
2003. Sake mempunyai anak titipan dari saudaranya yang bernama
Sekar Mita kelahiran tahun 2001.13

13
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 30 Mei 2015.
34

2. Struktur Organisasi Klinik Teratai RSUD Dr. Dradjat

Prawiranegara Serang

Bagan II Struktur Organisasi Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat


Prawiranegara
BAB III
VOLUNTARY COUNSELING AND TESTING DI KLINIK
TERATAI RSUD DR. DRADJAT PRAWIRANEGARA

A. Data Kunjungan Pasien di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat


Prawiranegara
Berdasarkan catatan di Klinik Teratai, untuk tahun 2014 telah
tercatat 111 pasien yang positif mengidap HIV dengan jumlah 62 untuk
laki-laki dan 49 untuk perempuan, dari golongan usia 5-49 tahun. Dari
jumlah pasien yang HIV positif, dalam satu tahun terakhir mereka
melakukan kunjungan sebanyak 4842, 1189 untuk laki-laki dan 3653
untuk perempuan. Bagi pasien yang baru dinyatakan positif mereka
mengadakan kunjungan 1-2 minggu sekali untuk berkonsultasi dengan
dokter mengenai obat yang harus diminum. Sedangkan bagi yang stabil
kondisinya mereka datang berkunjung hanya satu bulan sekali, itu pun
hanya untuk mengambil obat. Namun ada saja beberapa pasien yang
mengambil obat sambil ingin melakukan konseling.1
Berbeda dengan tahun 2014, di tahun 2015 jumlah pasien yang
positif mengidap HIV mengalami penurunan. Tercatat 101 pasien yang
positif mengidap HIV dari bulan Januari-Desember tahun 2015, dengan
jumlah 53 untuk laki-laki dan 48 untuk perempuan. Namun untuk
kunjungan di tahun 2015 lebih banyak dibandingkan kunjungan pada
tahun 2014. Tercatat 5012 kunjungan dalam satu tahun, 1461 untuk
laki-laki dan dan 3551 untuk perempuan. Dari golongan usia 5-49
tahun.

1
Arsip Klinik Teratai, Data Kunjungan Pasien di Klinik Teratai pada Tahun
2014 (Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang, 02 Mei 2015).

35
36

Jumlah kunjungan lebih banyak dibandingkan pasien yang


mengidap HIV dikarenakan setiap pasien yang mengunjungi Klinik
Teratai belum tentu positif dalam hasil tesnya. Maka pihak
administrasi di Klinik Teratai hanya mencatat kunjungan pasien dan
hasil pasien yang positif mengidap HIV.
Pada bulan Januari 2015 tercatat kunjungan pasien yang
berjumlah 560 dengan total 80 untuk laki-laki dan 480 untuk
perempuan. Dari kunjungan tersebut tercatat 11 orang yang HIV
positif, 4 orang laki-laki dan 7 orang perempuan, dengan golongan usia
20-24 tahun yang berjumlah satu orang dan usia 25-49 berjumlah 10
orang. Pada bulan februari kunjungan mengalami penurunan, begitu
pun dengan jumlah pasien yang HIV positif. Di bulan ini tercatat 509
kunjungan dengan total 146 untuk laki-laki dan 363 untuk perempuan,
dari hasil kunjungan ini terdapat 8 pasien HIV positif, 3 orang laki-laki
dan 5 orang perempuan dengan golongan usia hanya dari 25-49 tahun.
Pada bulan Maret kunjungan kembali mengalami penurunan
namun terjadi kenaikan pada pasien yang HIV positif. Kunjungan pada
bulan ini berjumlah 445, 108 laki-laki dan 363 perempuan. Untuk
pasien yang HIV positif 8 laki-laki dan 2 perempuan jadi berjumlah 10
orang. Dari 10 pasien yang HIV positif dari golongan 20-24 tahun 7
orang dan usia 25-49 tahun 3 orang.
Pada bulan April kunjungan pun kembali menurun dengan
jumlah pasien HIV positif yang ikut menurun. Kunjungan yaitu 73
laki-laki dan 296 perempuan yaitu 73 laki-laki dan 296 perempuan,
total 369. Pasien HIV positif 3 laki-laki dan 4 perempuan dengan
golongan usia 15-19 tahun dengan jumlah 3 orang, 20-24 berjumlah 1
orang dan 25-49 dengan jumlah 3 orang.
37

Pada bulan Mei terjadi kenaikan pada kunjungan pasien, namun


terjadi penurunan pada pasien yang HIV positif. Untuk hasil kunjungan
di bulan ini yaitu 370 pasien, 73 untuk jumlah laki-laki dan 299 untuk
jumlah perempuan. Dari hasil kunjungan tersebut menghasilkan 2
orang laki-laki dan 4 orang perempuan yang HIV positif. Untuk
golongan usianya yaitu 20-24 tahun 4 orang dan 25-49 tahun 4 orang.
Pada bulan Juni terjadi kenaikan yang signifikan untuk kunjungan dan
kenaikan untuk pasien yang HIV positif. Jumlah dari kunjungan laki-
laki yaitu 58 dan perempuan 369. Dari total kunjungan tersebut
menghasilkan 3 orang laki-laki dan 3 orang perempuan yang HIV
positif dengan golongan usia 20-24 tahun 2 orang dan 25-49 tahun 4
orang.
Pada bulan Juni ke bulan Juli terjadi penurunan yang drastis
untuk kunjungan dan pasien yang HIV positif. Kunjungan hanya terjadi
sebanyak 248, 87 laki-laki dan 161 perempuan, sedangkan pasien
dengan HIV positif hanya berjumlah 3 orang, 1 laki-laki dan 2
perempuan dan hanya terdiri dari golongan usia 25-49 tahun.
Pada bulan Agustus jumlah kunjungan dan pasien yang HIV
positif mengalami kenaikan. Apalagi untuk pasien yang HIV positif
terjadi kenaikan yang sangat tajam yaitu 8 orang laki-laki dan 4 orang
perempuan, jumlah ini di hasilkan dari 124 kunjungan laki-laki dan 259
perempuan. Pada bulan ini terdapat 3 golongan usia yaitu 1-4 tahun 1
orang, 20-24 tahun 2 orang dan 25-49 tahun 9 orang.
Pada bulan September kunjungan dan pasien HIV positif
kembali mengalami penurunan yang drastis dari bulan sebelumnya.
Jumlah dari kunjungan yaitu 66 laki-laki dan 119 perempuan jadi
berjumlah 185. Pasien HIV positif pada bulan ini seimbang antara laki-
38

laki dan perempuan yaitu masing-masing berjumlah 2 orang, dengan


golongan usia 20-24 dan 25-49 tahun dengan jumlah yang sama.
Pada bulan Oktober jumlah kunjungan dan pasien HIV positif
pun mengalami kenaikan dari bulan sebelumnya, yaitu 116 laki-laki
dan 233 perempuan. Dari jumlah kunjungan yaitu 349 terdapat 6 laki-
laki dan 7 perempuan yang positif mengidap HIV dengan yang positif
mengidap HIV dengan 3 macam golongan usia yaitu 1-4 tahun 2 orang,
20-24 tahun 1 orang dan 25-49 tahun 10 orang.
Pada bulan November ini terjadi kenaikan kunjungan dua kali
lipat pada bulan sebelumnya, padahal dari jumlah pasien HIV positif di
bulan ini mengalami penurunan. 222 kunjungan laki-laki dan 408
kunjungan perempuan. Untuk pasien HIV positif 8 laki-laki dan 3
perempuan dari golongan usia 20-24 tahun 3 orang dan 25-49 tahun 8
orang. Ketika semua bulan yang mendominasi kunjungan adalah
perempuan.
Pada bulan Desember jumlah kunjungan terbanyak dilakukan
oleh laki-laki yaitu 310 dan perempuan hanya 227. Dari jumlah
kunjungan sebanyak 557 menghasilkan 5 laki-laki dan 5 perempuan
yang mengidap HIV positif, dari golongan usia 20-24 tahun 1 orang
dan 25-49 tahun 9 orang.2

2
Arsip Klinik Teratai, Data Kunjungan Pasien di Klinik Teratai pada Tahun
2015 (Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara Serang, 10 Januari 2016).
39

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel
Kunjungan Pasien tahun 2015
40

B. Prosedur Voluntary Counseling and Testing (VCT) atau


Konseling dan Tes HIV Secara Sukarela
Voluntary (Sukarela), Counseling (Konseling), Testing (Tes
HIV), disingkat VCT. Jadi yang dimaksud dengan VCT adalah tes
HIV secara sukarela yang disertai dengan konseling. Tes HIV adalah
suatu tes darah yang digunakan untuk memastikan apakah seseorang
sudah positif terinfeksi HIV atau tidak, yaitu dengan cara mendeteksi
adanya antibodi HIV didalam sampel darahnya.
Dengan mengikuti VCT bisa mengetahui status HIV lebih awal
dan bisa menjaga kesehatan. VCT dapat diikuti oleh semua orang dan
sangat dianjurkan bagi yang memiliki aktivitas resiko tinggi, seperti:
1. Pengguna atau mantan narkoba suntik.
2. Memiliki lebih dari satu pasangan seks atau sering berganti-
ganti pasangan seks tanpa menggunakan kondom.
3. Memiliki pasangan seks dengan perilaku beresiko.3
Dari pengertian dan tujuan dari VCT diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa semakin cepat diketahui status HIV, semakin
banyak hal positif yang bisa dilakukan. Banyak orang yang selama ini
tidak menyadari resiko perilakunya terhadap kemungkinan tertular
ataupun menularkan HIV dan karena tidak segera menjalani tes HIV,
perilakunya tetap saja beresiko tinggi. Hal ini tentu berkaitan, karena
tidak menyadari resiko perilakunya terhadap kemungkinan tertular
ataupun menularkan HIV dan karena tidak segera menjalani tes HIV,
perilakunya tetap saja beresiko tinggi. Hal ini tentu berkaitan erat

3
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, Mengenal dan
Menanggulangi HIV AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba (Banten: Dinas
Kesehatan Provinsi Banten), p10.
41

dengan kesadaran untuk menjaga kesehatan diri sendiri, pasangan,


maupun calon anak-anak.
Adapun pelaksanaan dalam VCT meliputi:
1. Prinsip dalam VCT atau sifat dari VCT
a. Kesukarelaan
Sukarela yang berarti bahwa seseorang yang akan
melakukan tes HIV haruslah berdasarkan atas
kesadarannya sendiri, bukan paksaan atau tekanan dari
pihak lain. Ini juga berarti bahwa dirinya setuju untuk dites
setelah mengetahui hal-hal yang terdapat dalam tes
tersebut, baik mencakup keuntungan, kerugian setelah
mengikuti tes HIV, serta apa saja implikasi daari hasil
positif ataupun hasil negatif.
b. Konseling
Segala kebutuhan klien akan terungkap dan bisa
dibicarakan dengan konselor, serta dari konseling tersebut
klien mendapatkan semua informasi yang berkaitan dengan
tes HIV sehingga dapat mengantisipasi keraguan.
c. Kerahasiaan
Pembicaraan antara klien dan konselor akan dijaga
kerahasiaannya, baik permasalahan yang dibahas,
didiskusikan maupun hasil tes yang diterima. Rahasia
artinya apapun hasil tes baik positif maupun negatif,
hasilnya hanya boleh diberitahukan kepada orang yang
bersangkutan atau klien.4

4
PKBI DKI Jakarta, Voluntary Counseling and Testing (Jakarta, 2011), p, 2.
42

2. Syarat dalam VCT


a. Tes harus dilaksanakan sepengetahuan dan dengan izin dari
klien.
b. Klien harus paham mengenai HIV/AIDS sebelum tes
dilaksanakan. Konseling diberikan kepada klien sebelum
tes untuk membantu klien membuat pilihan yang bijaksana.
c. Tes HIV harus dirahasiakan oleh konselor dan dokter.
Hasilnya tidak boleh dibocorkan kepada orang lain tanpa
persetujuan dari klien.
d. Setelah tes, konseling harus diberikan lagi agar klien dapat
memahami hasil tes dan untuk membantu klien menyusun
rencana serta langkah-langkah selanjutnya sesuai hasil tes.5
3. Tahapan dari VCT
a. Konseling Pra Tes
Konseling pra tes yaitu konseling yang dilakukan sebelum
tes darah klien. Konseling ini sangat membantu klien untuk
mengetahui resiko dari perilakunya selama ini dan
menentukan sikap setelah mengetahui hasil tes. Konseling
prates juga bermanfaat untuk meyakinkan orang terhadap
keputusan untuk melakukan tes atau tidak, serta
mempersiapkan diri apabila kemunginan mendapatkan
hasil tes yang positif.
b. Tes
Merupakan paket dari konseling dan tes HIV sukarela.
Proses pengambilan darah akan dilakukan oleh petugas
medis dan darahnya dibawa ke laboratorium untuk

5
Suzana Murni, dkk. Pasien Berdaya (Jakarta: Yayasan Spiritia 2009), p. 13
43

menjalani pemeriksaan. Sebagian besar tes antibodi HIV


mendeteksi antibodi terhadap HIV dalam sampel darah.
Jika tidak ada antibodi yang terdeteksi hasilnya adalah
seronegatif atau HIV negatif. Sebaliknya jika ada antibodi
terhadap HIV berart hasilnya seropositif atau HIV positif.
Walaupun demikian, suatu tes bisa saja memberi hasil
negatif bila orang yang dites baru saja terinfeksi. Hal ini
dapat terjadi karena tubuh kita membutuhkan waktu
beberapa minggu untuk mulai menghasilkan antibodi sejak
terjadinya infeksi. Antibodi biasanya dapat dideteksi sekitar
3-8 minggu setelah terinfeksi dan masa ini disebut periode
jendela (window period). Dalam masa ini bisa saja
seseorang mendapatkan hasil tes negatif karena anti
bodinya belum terbentuk sehingga belum dapat dideteksi,
namun dia sudah dapat menularkan HIV pada orang lain
melalui cara-cara yang sudah disebutkan diatas.6
Sama seperti pemeriksaan laboratorium lainnya, orang
yang diperiksa HIV harus dimintai persetujuannya untuk
pemeriksaan laboratorium. Mereka harus diberikan
informasi atau pemahaman tentang proses tes HIV, layanan
yang tersedia sesuai dengan hasil pemeriksaannya, dan hak
mereka untuk menolak tes HIV tanpa mengurangi kualitas
layanan lain yang dibutuhkan. Tes HIV secara mandatori
tidak pernah dianjurkan, meskipun dorongan datang dari

6
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, Mengenal dan
Menanggulangi HIV AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba (Banten: Dinas
Kesehatan Provinsi Banten), p. 11-12
44

petugas kesehatan, pasangan, keluarga atau lainnya.7


c. Konseling Post-tes
Konseling post tes yaitu konseling yang harus diberikan
setelah hasil tes diketahui, baik hasilnya positif maupun
negatif. Konseling post tes sangat penting untuk membantu
mereka yang hasilnya positif agar dapat mengatahui cara
menghindari penularan pada orang lain, serta untuk bisa
mengatasinya dan menjalani hidup secara positif. Bagi
mereka yang hasilnya negatif, konseling post tes
bermanfaat untuk memberitahu tentang cara-cara mencegah
infeksi HIV dimasa yang akan datang.8
Semua orang dapat terinfeksi HIV tanpa mengetahuinya, dan
mungkin tidak merasakan sakit atau mempunyai keluhan, namun dapat
menularkan ke orang lain. Siapapun yang aktif secara seksual atau
memakai jarum suntik secara bergantian sebaiknya melakukan ters
HIV secara berkala. Ibu hamil pun sebaiknya melakukan tes HIV
dilayanan prenatal, agar bisa menghindari resiko penularan terhadap
bayi yang dikandungnya.

C. Peran konselor dalam pelaksanaan Voluntary Counseling and


Testing (VCT) atau konseling dan tes HIV secara sukarela.
Voluntary Counseling and Testing atau konseling dan tes HIV
secara sukarela disingkat KTS, adalah dukungan layanan bagi mereka
yang merasa berisiko dan menginginkan pemeriksaan HIV. KTS

7
Kementrian Kesehatan RI, Pedoman Nasional Tes dan Konseling HIV dan
AIDS (Jakarta: Depkes RI 2013), p. 12.
8
Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, Mengenal dan
Menanggulangi HIV AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba..., p, 11.
45

bersifat rahasia dan sukarela. Siapapun tidak boleh memaksa atau


menekan seseorang untuk melakukan konseling dan tes hiv. Namun,
KTS tidak akan bisa dilaksanakan tanpa adanya peran seorang
konselor HIV dalam melakukan konseling.
Dalam melakukan KTS dibutuhkan seorang konselor yang
sudah profesional dan terlatih. Disebut profesional apabila konselor
HIV tersebut full time counselor yang berlatar belakang psikologi dan
yang sudah mengikuti pelatihan VCT dengan standar WHO.9
Menurut Sake yang merupakan konselor di klinik Teratai, Pasien
pertama datang ke klinik baik pasien rujukan maupun keinginan
sendiri langsung dilakukan kegiatan konseling atau pasien langsung
menemui konselor untuk dikonseling. Sake pun menyebutkan salah
satu teknik konseling yang digunakan untuk konseling ini adalah client
centered counseling atau konseling terpusat pada klien. Sake beralasan
bahwa client centered counseling sangat tepat untuk menangani Odha,
karena posisi konselor hanya memberikan pilihan bukan menasihati
maka konselor memberikan kepercayaan penuh kepada klien untuk
mengambil pilihan yang terbaik.
Kunci dilakukannya konseling ini adalah pemberian informasi.
Jika sesuai prosedur teknik, satu sesi bisa menghabiskan waktu 40
menit, namun tidak menjamin keberhasilan bahwa klien bersedia
untuk dites. Dengan diberikan informasi tersebut klien bisa
memutuskan sendiri apa yang akan dia pilih.10
Sake menjelaskan, Voluntary Counseling and Testing (VCT)

9
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling
and Testing (Jakarta, 2006), p 41.
10
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.
46

adalah konseling dan tes HIV secara sukarela. Dalam tahapan VCT
peran seorang konselor sangat penting, karena tanpa konselor maka
konseling untuk klien tidak bisa dilakukan. Adapun tugas dari seorang
konselor HIV adalah mendampingi klien sejak pertama akan di tes
sampai klien mendapatkan hasil tesnya, tidak sampai disitu saja
hubungan konselor HIV dengan klien bisa berlanjut apabila klien
masih membutuhkan bimbingan atau konseling dari konselor.11
Konselor HIV di Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat
Prawiranegara, dalam tahapan VCT memiliki peran penting yang
meliputi:
a. Konseling pra tes
Pada tahap awal ini atau tahap prates hal yang dilakukan Sake
adalah pemberian informasi. Materi dalam pembahasan tersebut
sesuai dengan buku pedoman pelaksanaan VCT namun Sake meramu
pembahasan tersebut dengan bahasa yang bisa dimengerti dan diterima
klien, karena banyak klien yang belum mengerti tentang HIV dan
AIDS. Adapun informasi tersebut mencakup:
1. Penjelasan mengenai apa yang disebut dengan Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang
menyebabkan AIDS. Orang yang terinfeksi HIV akan
terlihat sehat tanpa gejala selama 5-10 tahun atau lebih.
Selama masa tersebut orang yang terinfeksi HIV dapat
menularkan virusnya kepada orang lain. Adapun yag
disebut Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS)
yaitu suatu kumpulan gejala penyakit akibat menurunnya

11
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 April 2015.
47

sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV.


2. Cara penularan HIV melalui berganti-ganti pasangan seks,
kontak seksual ini dilakukan tanpa kondom dari individu
yang terinfeksi HIV. Menggunakan jarum suntik secara
bergantian, bebas dan tidak steril. Serta penularan dari ibu
ke anak dalam kandungan, pada saat persalinan dan pada
saat menyusui. Informasi pun dilengkapi penjelasan tentang
kegiatan yang tidak menularkan HIV yaitu dengan
memakai toilet bersama, berenang bersama, terpapar batuk
atau bersin, gigitan nyamuk atau serangga lain, berbagi
makanan dan menggunakan alat makan bersama,
bersalaman, pelukan ataupun berciuman.
3. Periode jendela dan perjalanan HIV menjadi AIDS
Pada tahap awal ketika HIV memasuki tubuh, tidak
terdapat tanda-tanda khusus sehingga belum dapat
diketahui dari tes HIV. Tahap ini disebut dengan
periode jendela, berkisar antara 1 hingga 3 bulan,
bahkan mencapai 6 bulan (HIV masih “bersembunyi”,
belum bias terdeteksi). 12
Pada tahap kedua HIV telah berkembang biak dalam
tubuh sehingga dapat diketahui dari tes HIV. Orang
yang tertular HIV tetap tampak sehat selama 5 sampai
10 tahun, dikenal dengan masa HIV/AIDS. Pada tahap
ketiga sistem kekebalan tubuh semakin menurun, orang
yang HIV+ akan mulai menampakan gejala-gejala

12
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling
and Testing…, p. 1-10.
48

AIDS. Misalnya ditandai dengan adanya


pembengkakan kelenjar limfa pada seluruh tubuh.
Tahap ini kira-kira berlangsung selama lebih dari 1
bulan.
Pada tahap akhir, ketika sudah menjadi AIDS,
penderita akan semakin lemah kondisinya akibat
berbagai penyakit yang tidak dapat dilawan oleh sistem
kekebalan tubuhnya. Penderita ini, pada akhirnya cepat
atau lambat akan meninggal, tergantung dari kondisi
penyakit yang dideritanya. 13
Dalam konseling prates ini, Sake menambahkan informasi
mengenai pengetahuan tentang manfaat tes, pengambilan keputusan
untuk tes, perencanaan atas isu HIV yang dihadapi, makna dari hasil
tes positif atau negatif, rencana perubahan prilaku serta dampak
pribadi, keluarga dan sosial terhadap hasil tes HIV.
Menurut Sake Setelah menguraikan pembahasan dalam
konseling sebelum tes ini, tidak menjamin bahwa klien bersedia untuk
mengikuti tes. Maka disinilah letak konseling berpusat pada klien
karena konselor HIV hanya memberikan pilihan agar bisa memilih
yang terbaik untuknya tanpa adanya paksaan. Tujuan dari konseling
yaitu tidak menasihati agar klien dapat melakukan apa yang telah
dibahas. Namun, menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada klien.
Apabila klien bersedia untuk melakukan tes, maka klien diberikan
lembar pengisian dan penandatanganan surat persetujuan pengambilan

13
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling
and Testing…, p. 12-18.
49

darah dan proses tes HIV secara keseluruhan.14


Untuk mengetahui kebenaran dari wawancara dengan Sake.
Peneliti bertanya pada salah satu Odha berinisial D yang bersedia
untuk bercerita. D merupakan seorang ibu rumah tangga yang
suaminya positif terinfeksi HIV. Ketika peneliti mewawancarai, D
baru saja selesai melakukan konseling pra tes. D bercerita apa saja
yang telah dijelaskan oleh Sake, ketiga poin diatas telah Sake jelaskan
dengan bahasa yang mudah dimengerti. Selain ketiga poin diatas D
pun menambahkan hal yang membuatnya berkesan, yaitu ketika Sake
memberikan penjelasan tentang manfaat dan hasil tes yang bisa
membuatnya tenang sehingga D paham dan bersedia untuk melakukan
tes.15
Untuk memperkuat jawaban dari Odha, peneliti pun kemudian
mewawancarai salah satu staf administrasi di Klinik Teratai, bernama
Nita Stela yang sudah bekerja di Klinik Teratai sejak tahun 2009.
Stela menjelaskan bahwa selama sesi konseling prates, Sake atau
konselor di Klinik Teratai selalu menghabiskan waktu selama satu jam
atau lebih.16
Jadi dari jawaban narasumber dapat disimpulkan bahwa Sake
melakukan konseling pra tes sesuai dengan pedoman pelaksanaan
VCT. Sake memyampaikan semua informasi yang dibutuhkan oleh
klien dalam sesi konseling pra tes tersebut, sehingga klien mengerti

14
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 April 2015.
15
Odha A, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik
Teratai RSUD Serang, selasa, 02 Mei 2015.
16
Nita Stela, Stad Administrasi di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, selasa, 02 Mei 2015.
50

dan bisa menentukan pilihan yang terbaik untuk dirinya.


b. Konseling Post tes
Pada konseling post tes yaitu dilakukan ketika klien sudah di
tes. Adapun untuk hasil yang negatif, apabila klien telah melakukan
prilaku yang beresiko maka Sake kembali menjelaskan periode
jendela, yaitu periode dimana orang yang bersangkutan sudah tertular
HIV tapi antibodinya belum membentuk sistem kekebalan terhadap
HIV. Apabila klien mempunyai perilaku beresiko terkena HIV maka
dianjurkan untuk melakukan tes kembali tiga bulan setelahnya.
Apabila hasil tes yang kedua kali hasilnya negatif maka konselor
memberikan pengetahuan agar terhindar dari HIV dan memberikan
pilihan untuk meninggalkan prilaku yang beresiko agar terhindar dari
penularan HIV.
Apabila pemeriksaan pertama hasil tesnya positif (reaktif)
maka dilakukan pemeriksaan kedua dan ketiga dengan ketentuan beda
sensitifitas dan spesifisitas pada reagen yang digunakan. Apabila
tetap reaktif klien bebas mendiskusikan perasaannya dengan konselor.
Konselor juga akan menginformasikan fasilitas untuk tindak lanjut dan
dukungan. Misalnya, jika klien membutuhkan terapi antiretroviral
(ARV) ataupun dukungan dari kelompok sebaya. Selain itu,
konselor juga akan memberikan informasi tentang cara hidup sehat
dan bagaimana agar tidak menularkannya ke orang lain.17
c. Pembahasan terapi HIV
Pengobatan ARV adalah pengobatan untuk HIV dengan obat-
obatan Anti Retroviral yang lebih dikenal dengan obat ARV. ARV

17
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 01 Mei 2015
51

sudah terbukti dapat menghambat replikasi HIV sehingga kadar virus


(Viral Load) dalam darah yang menginfeksi sel kekebalan tubuh atau
CD4 menurun sehingga kekebalan tubuh mulai pulih atau meningkat.
Manfaat ARV bagi orang dengan HIV adalah menghambat
progesifitas infeksi HIV, meningkatkan kekebalan tubuh, mengurangi
kadar HIV dalam darah dan membuat tubuh terasa lebih baik.18
Sesuai dengan pedoman pelaksanaan VCT, apabila klien
bersedia untuk mengikuti terapi antiretroviral, maka Sake kembali
meramu pembahasan untuk menjelaskan tentang kepatuhan minum
obat dan mengenai kunjungan berkala yang dilakukan klien, penilaian
kesiapan klien untuk memulai pengobatan serta rencana dan cara
memulai pengobatan. Kemudian pada bulan berikutnya diadakan
tinjau ulang dan nilai kepatuhan pada bulan yang telah lalu tentang:
1. Obat yang diminum dengan penjelasan bahwa bisa terjadi
macam/jenis obat atau dosis, penjelasan mengenai
diet/pantangan yang diberlakukan serta cara menyimpan
obat sangat penting untuk diperhatikan.
2. Kepatuhan. Dalam sesi ini konselor memberikan banyak
pertanyaan kepada klien. Poin dalam pertanyaan tersebut
meliputi: apakah minum semua dosis? Bagaimana
ketepatan waktunya? Apa alasan terlupa minum obat?
Bagaimana jumlah obat? Apa alasan patuh klien minum
obat?
3. Efek samping. Dalam terapi ARV ini tentunya ada efek
samping yang dirasakan oleh klien. Peran konselor disini

18
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling
and Testing…, p. 22-24.
52

menanyakan masalah atau pengalaman yang terjadi selama


minum obat dan cara mengatasi yang pernah dilakukan.19
Dalam setiap diskusi, klien diajak untuk bersama mencatat
kesepakatan yang telah dibicarakan dan disetujui. Hal ini mencegah
agar klien tidak lupa isi dari konseling yang telah dilakukannya.
d. Rencana terapi obat
Tahap pertama Sake melakukan peninjauan ulang rejimen
(golongan obat) dan ikuti rencana dengan menanyakan tentang:
rejimen pengobatan yang diikuti, efek samping yang dialami dan
bagaimana mengatasinya (diskusi efek samping yang sering muncul
sebelumya dan ketersediaan obat untuk antisipasi efek samping seperti
nausea/mual), rencana tindak lanjut, cara untuk kepatuhan, siapa yang
dihubungi ketika ada masalah, dan tujuan klien bila terjadi kepatuhan
mengikuti terapi.20
Tahap kedua yaitu pengobatan. Dalam step ini Sake menilai
kesiapan klien untuk pengobatan dengan menanyakan:
1. Apakah klien mengerti akan penyakit HIVnya dan status
kesehatannya?
2. Apakah klien mengerti akan rejiemen pengobatannya dan
tindakan selanjutnya?
3. Apakah klien membuat komitmen untuk pengobatan jangka
panjang?
4. Apakah klien mempunyai hambatan kepatuhan yang
utama? Apakah pernah disampaikan kepada dokter yang

19
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 01 Mei 2015
20
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling
and Testing…, p. 28.
53

menangani?
5. Seberapa jauh kesiapan klien untuk mulai pengobatan
ARV.
Tahap ketiga, Sake mendiskusikan kesiapan klien untuk
berdialog dengan dokter. Rujuk klien ke rumah sakit yang ditunjuk
untuk menerima ARV. Diskusikan bagaimana dapat memonitir
kepatuhan klien, misalkan dengan kunjungan lanjutan atau berkala.
Menunjukan dan memberitahukan kepada klien bagaimana cara
menggunakan agenda obat dan rencana metode yang digunakan.
Tahap keempat yaitu tidak lanjut. Dalam tindak lanjut ini Sake
membuat perjanjian yang akan datang dengan menyediakan nomor
emergensi agar klien dapat melaporkan reaksi berlawanan yang berat.
Setelah klien telah mengikuti terapi ARV, maka hal-hal yang dapat
terjadi:
1. Menggali informasi kemungkinan hambatan yang dapat
mempengaruhi kepatuhan berobat klien, diantaranya:
persediaan obat habis, jenuh dengan pengobatan, lupa
minum obat, efek samping, penilaian/cap buruk dari
masyarakat dan penjelasan cara menggunakan.
2. Persediaan obat habis. Hambatannya yaitu sakit dan jarak
jauh untuk mengambil obat. Yang dapat dilakukan untuk
mengatasi hambatan tersebut adalah kerjasama dengan
petugas lapangan atau manajer kasus, bisa juga dengan
anggota keluarga. Menggunakan alat pengingat, weker,
telepon, teman atau kerabat. Pindah ke tempat penyedia
54

obat yang terdekat.21


Dalam rencana terapi obat ini, dapat disimpulkan bahwa tugas
konselor selain memberikan informasi, dia pun menemani klien
sampai ke tangan dokter. Konseling ini bisa dinamakan dengan alih
tangan kasus. Ketika masalah diluar kemampuan konselor maka
konselor bisa mengalihkan pada pihak lain yang menguasai dan
mempunyai solusi bagi masalah tersebut.
e. Konseling efek samping obat ARV
Klien mungkin mengalami beberapa efek samping saat
memulai pengobatan ARV. Sesuai dengan pedoman, Sake
memberikan informasi mengenai efek samping obat tersebut agar
dapat dikurangi atau dihilangkan. Efek samping tersebut biasanya
berupa:
1. Sakit kepala
Gejala ini biasanya akan hilang dalam 2-4 minggu. Untuk
meredakannya klien bisa melakukan:
a. Pijat dengan perlahan, dasar kepala dan pelipis dengan
ibu jari.
b. Istirahat dikamar yang tenang dan redup dengan mata
tertutup.
c. Kompres dingin didaerah mata dan dahi.
d. Hindari minuman dengan kafein seperti teh atau kopi
kental.
e. Minum obat sakit kepala seperti patasetamol sesuai
dosis.

21
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di
klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 02 Mei 2015
55

f. Kunjungi dokter anda untuk konsultasi.

2. Mulut kering
Yang harus dilakukan yaitu: berkumur dengan air bersih
hangat dan air garam. Minum banyak air matang dan
bersih. Hindari makanan yang manis. Hindari minuman
dengan kafein seperti teh atau kopi kental dan Kunjungi
dokter anda untuk konsultasi.
3. Ruam kulit
Setiap obat baru, dapat menyebabkan alergi ruam kulit. Hal
yang harus dilakukan yaitu jaga kulit tetap bersih dan
kering. Ginakan lotion bila gatal. Hindari sinar matahari,
dan minum banyak air putih agar kulit tetap segar.
4. Diare
Hal yang harus dilakukan yaitu, makan sedikit tapi lebih
sering dalam sehari. Makan makanan yang mudah ditelan
sepeti nasi, pisang, dan biskuit. Minum banyak air masak
bersih, minum oralit, dan hindari makanan berempah dan
digoreng.
5. Anemia
Tanda- tanda bila mengalami anemia adalah pucat
ditelapak tangan dan kuku-kuku jari. Yang harus dilakukan
mengkonsumsi ikan, daging, bayam, asparagus, sayuran
hijau tua, kacang-kacangan dan minum tablet zat besi.
6. Gatal atau sakit ditangan atau kaki
Hal yang dilakukan pakai sepatu dan kaus kaki
longgar,biarkan kaki telanjang ditempat tidur, rendam kaki
56

di air hangat, pijat dengan kain.


7. Mual dan muntah
Hal yang dilakukan tanyakan ke dokter boleh tidak minum
obat ARV bersama makanan. Minum air putih masak, teh
encer. Hindari makanan yang digoreng atau rempah
8. Mimpi buruk
Coba lakukan sesuatu yang membut gembira dan tenang
sebelum tidur. Hindari alkohol, obat karena akan membuat
situasi memburuk. Hindari makanan berlemak dan makan
berat sebelum tidur dan bercerita ke orang lain tentang
perasaan klien.
9. Merasa lelah
Hal yang dilakukan yaitu istirahat yang seimbang, hindari
alkohol, obat dan rokok. Gerak badan ringan.
10. Kulit menjadi kuning
Hal yang harus dilakukan yaitu minum air putih matang
yang banyak, istirahat yangbaik dan hindari makanan yang
berlemak.22
Melihat dari gejala-gejala fisik yang dialami akibat efek
samping obat, menurut peneliti konseling tersebut tidak akan efektif,
karena gejala tersebut tidak akan sembuh hanya dengan melakukan
konseling saja. Klien membutuhkan obat untuk mengatasi gejala-
gejala yang timbul akibat efek samping tersebut. Jadi konseling efek
samping ini lebih tepat apabila dilakukan oleh seorang dokter yang
mempunyai solusi dari gejala efek samping tersebut.

22
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling
and Testing…, p. 41-59
57

KTS SEBAGAI PINTU MASUK PENCEGAHAN, PERAWATAN,


DUKUNGAN DAN PENGOBATAN

Dari hasil wawancara dengan konselor mengenai konseling tes


secara sukarela (KTS), maka dapat disimpulkan dalam bagan berikut
ini:23

Bagan III
Konseling Tes secara Sukarela

23
Komisi Penanggulangan Aids, Pedoman Pelaksanaan Voluntary Counseling
and Testing…, p. 73
BAB IV

PENGUATAN KONDISI PSIKOLOGIS PENDERITA ODHA DI


KLINIK TERATAI RSUD DR. DRADJAT PRAWIRANEGARA

A. Kondisi Psikologis Penderita Odha di Klinik Teratai


Ketika perubahan status terjadi pada seseorang dari negatif
menjadi positif terkena HIV dan harus terbiasa dengan sebutan orang
dengan HIV/AIDS atau Odha, mereka harus menyadari bahwa virus
HIV akan berada pada tubuhnya untuk selamanya. Progresivitas HIV
menjadi AIDS membangkitkan reaksi psikologis dan berdampak pada
gaya hidup mereka. Elizabeth Kubler-Roos pertama kali
memperkenalkan tahapan Odha untuk mencapai proses penerimaan
yang disebut dengan lima tahapan kedukaan (The Five Stages Of
Grief) yang lebih dikenal dengan singkatan DABDA.1
Pada pasien positif HIV di Kinik Teratai, Sake Pramawisari
menemukan proses penerimaan Odha terhadap statusnya sesuai
dengan lima tahap kedukaan oleh Elizabeth. Kelima tahapan tersebut
meliputi:
1. Tahap penolakan (denial)
Tahapan ini ketika Odha menunjukan rasa tidak
percaya saat menerima hasil diagnosa tes HIV. Perasaan klien
selanjutnya akan diliputi kebingungan, ketakutan, dan
kekhawatiran. Bingung atas arti diagnosa, bingung akan apa
yang harus dilakukan, sekaligus bingung mengapa hal ini dapat

1
Yayasan Spiritia, Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya (Jakarta:
Yayasan Spiritia 2014), naskah 10.

58
59

terjadi pada diri mereka.2


Peneliti mendapatkan dua narasumber Odha dalam
tahap penolakan. Keduanya merupakan ibu rumah tangga,
sebut saja dengan inisial D dan H. Ketika peneliti baru
memulai percakapan, tanpa ragu dan malu mereka
menceritakan kronologis perjalanan hidupnya sampai mereka
didiagnosis terinfeksi virus HIV. Mereka tertular virus tersebut
dari suami yang sangat mereka cintai, sehingga ketika bercerita
sambil menahan tangis mereka masih menyangkal dan tidak
percaya bahwa hal ini dialami oleh mereka. Mereka bingung
untuk mengambil sikap kepada suaminya, mereka ingin sekali
menyalahkan sang suami dan menyalahkan dirinya sendiri
karena tidak hati-hati dalam mencari pasangan hidup. Mereka
pun belum mengerti sepenuhnya virus yang sekarang bersarang
ditubuhnya, yang mereka tahu bahwa virus itu bisa merenggut
kodratnya sebagai perempuan yakni mempunyai anak yang
sehat. Mereka sangat takut dan bingung akan menjadi apa
mereka didepan.
2. Tahap kemarahan (anger)
Tahapan ini ditandai dengan reaksi emosi/marah pada
apa saja dan Odha menjadi peka serta sensitif terhadap
masalah-masalah kecil yang pada akhirnya menimbulkan
kemarahan. Kemarahan tersebut biasanya ditujukan pada
dokter, keluarga, atau teman. Pernyataan yang sering muncul
dalam hati (sebagai reaksi atas rasa marah) muncul dalam

2
Yayasan Spiritia, Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya, ...naskah
10
60

bentuk ungkapan, “tidak adil rasanya…”, “mengapa saya yang


mengalami ini?” atau “apa salah saya?”.3
Di Klinik Teratai, peneliti banyak menemukan Odha
pada tahap anger dan ini merupakan suatu kendala peneliti,
karena sulit untuk mendekati dan berbincang-bincang dengan
mereka. Ketika peneliti mencoba memperkenalkan diri respon
mereka sangat acuh bahkan mereka pergi begitu saja tanpa
pamit. Hal ini cukup beralasan karena Odha pada tahap ini
sangat sulit untuk didekati dan cenderung lebih tertutup.
3. Tahap tawar-menawar (bargainning)
Tahapan di mana Odha berusaha untuk menghibur diri
dengan pernyataan seperti, “mungkin kalau saya sabar,
keadaan akan membaik dengan sendirinya” dan berfikir positif
tentang upaya yang akan dilakukan untuk membantu proses
pemulihan psikisnya.4
Odha pada tahapan ini mencoba mengikuti informasi
yang disampaikan oleh konselor, mereka melakukan perubahan
perilaku yang sesuai dengan kebutuhannya. Peneliti
menemukan dua Odha yang berada pada tahap tawar menawar
ini. Mereka umumnya telah merasakan sakit akibat infeksi
oportunistik dan harus dirawat di rumah sakit dalam hitungan
bulan. Kondisi ini menyadarkan mereka bahwa walaupun
mereka terinfeksi virus HIV namun menjaga kesehatan sangat
penting. Akhirnya mereka patuh dalam meminum obat,

3
Yayasan Spiritia , Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya,
...naskah 10
4
Yayasan Spiritia , Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya...,
naskah 10
61

melakukan perubahan perilaku yang sesuai dengan


kebutuhannya.
4. Tahap depresi (depression)
Tahapan yang muncul dalam bentuk putus asa dan
kehilangan harapan.5 Sake menambahkan kebanyakan Odha
pada tahapan ini kadangkala depresi dapat juga menimbulkan
rasa bersalah, terutama pada perempuan yang khawatir apakah
keadaan anak mereka akibat kelalaian selama hamil atau akibat
dosa dimasa lalu. Kadangkala dihinggapi rasa bersalah, karena
tidak akan mampu memenuhi hidup keluarganya. Putus asa
sebagai bagian dari depresi akan muncul saat klien mulai
membayangkan masa depan yang akan dihadapi sang anak
(jika memiliki anak), terutama jika mereka memikirkan siapa
yang dapat mengasuh anak mereka, pada saat mereka
meninggal. Pada tahap depresi, seseorang cenderung murung,
menghindar dari lingkungan social terdekat, lelah sepanjang
waktu dan kehilangan gairah hidup. Odha pada tahap ini akan
enggan untuk berkunjung ke klinik, bahkan dia sudah merasa
lelah untuk meminum obat.6
5. Tahap penerimaan (acceptance)
Tahapan di mana Odha telah mencapai pada titik untuk
menerima keadaan statusnya dengan tenang. Odha pada tahap
ini cenderung mengharapkan yang terbaik sesuai dengan

5
Yayasan Spiritia , Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya, naskah
10.
6
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara
di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 07 Mei 2015.
62

kapasitas dan kemampuan mereka. Kemampuan penyesuaian


diri klien akan mempengaruhi psikologis dari Odha itu sendiri.
Odha mulai mampu menyesuaikan diri dengan baik bahwa
kondisi psikologis yang sehat akan berdampak positif bagi
perkembangan kesehatannya.7
Berdasarkan penelitian di Klinik Teratai, peneliti
mendapatkan lima Odha pada tahap ini. Odha tersebut terdiri
dari dua perempuan dan tiga laki-laki yang berinisial A, W, B,
I, dan S. Hasil dari wawancara dengan kelima Odha, peneliti
dapat menyimpulkan bahwa mereka telah menerima statusnya
sebagai Odha bahkan sudah membuka status kepada orang lain
termasuk peneliti. Mereka tidak ragu dan malu untuk
memperkenalkan diri bahwa mereka adalah Odha. Mereka pun
dengan santai bercerita pengalaman hidupnya sampai mereka
pada tahap penerimaan statusnya. Namun perlu ditekankan
bahwa Odha yang menerima statusnya belum tentu mau
membuka status kepada orang lain.
Dari kelima Odha tersebut mereka mempunyai jalan
hidup yang berbeda namun mereka sama-sama telah melewati
kehidupan yang gelap, kesalahan di masa lalu yang telah
memberikan mereka pelajaran bahwa untuk bisa lebih
menghargai kehidupan. Untuk mencapai tahap penerimaan ini,
tentuya mereka telah melewati keempat tahapan diatas.
Diskriminasi, putus asa, marah dan hampir akan bunuh diri
telah berhasil mereka lewati. Keluarga, teman dan konselor

7
Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya, naskah 10.
63

yang membantu mereka untuk melewati masa-masa tersebut.


Kelima Odha sekarang mempunyai rutinitas yang jauh
lebih baik dari kehidupannya dulu. A sekarang telah menjadi
konselor sebaya untuk para Odha. B, aktif dalam gerakan anti
HIV-AIDS dan selalu menjadi narasumber di setiap acara
gerakan tersebut dan ketiga Odha yang lain mereka pun aktif
dalam kegiatan yang berkaitan dengan HIV-AIDS

B. Upaya konselor dalam menguatkan kondisi psikologis


penderita ODHA dengan penerapan metode Client-Centered
Counseling.
Client-Centered Counseling dalam terapi untuk Odha yaitu
lebih kepada informasi-informasi signifikan yang diberikan konselor
kepada klien sesuai dengan kebutuhannya, karena dalam Client-
Centered Counseling pemaknaan pemberian informasi akan menambah
wawasan pengetahuan Odha untuk memberikan tindakan.
Dilihat dari prinsip Client-Centered Counseling yaitu klien yang
aktif untuk memutuskan alternatif pemecahan masalah atau jalan yang
dipilih, sedangkan konselor hanya berusaha memberikan alternatif
pilihan, tidak memaksakan, tidak menyuruh dan tidak menasihati. Klien
bebas untuk memilih apa yang dia inginkan dan tugas konselor dalam
terapi ini hanya sebagai media pemberi informasi, adapun pilihan
ditangan klien. Sehingga klien dapat bertanggung jawab atas dirinya
sendiri dan mampu membuat keputusan agar hidupnya lebih nyaman,
berkualitas, serta mandiri.
Yang dimaksud dengan konselor dalam bagian ini adalah Sake
Pramawisari merupakan Konselor Odha di Klinik Teratai. Sembilan
64

tahun merupakan waktu yang cukup untuk mengenal pekerjaannya


serta karakter yang dimiliki Odha. Sebagai konselor untuk para Odha,
Sake mengetahui kondisi psikologis Odha dan berupaya agar Odha
dapat hidup selayaknya orang yang tidak terkena virus. Dia berusaha
membantu Odha dengan informasi-informasi terkait virus yang
terinfeksi dalam tubuh Odha. Sake menemani para Odha tersebut dari
mulai tahap pertama yaitu prates sampai dengan para Odha yang bisa
hidup dengan mandiri.
Adapun untuk upaya yang dilakukan Sake dalam membantu
menguatkan kondisi psikologis para Odha yaitu,
1. Melakukan pendampingan dalam proses perubahan perilaku
Dalam perubahan perilaku, konselor sangat dibutuhkan oleh
Odha. Maka upaya yang dilakukan konselor adalah
mendampingi Odha pada tahapan perubahan perilaku. Adapun
yang dimaksud dengan perubahan perilaku adalah sebuah
proses bertahap dalam melakukan perubahan perilaku yang
merugikan menjadi perilaku yang berkualitas. Penting diketahui
bahwa tidak ada perubahan yang mutlak, sesuai perkiraan.
Seseorang dapat berubah-ubah tahapannya naik/turun sampai
pada suatu saat dapat menerima.8
Berikut ini adalah spiral mengenai perubahan perilaku:

8
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara
di klinik Teratai RSUD Serang, kamis, 07 Mei 2015.
65

Gambar Spiral Tahapan Perubahan Perilaku

Dari spiral di atas dapat disimpulkan: pada saat perubahan


perilaku terjadi, ketika tahap prakesadaran Odha belum mengerti dan
menyadari terhadap perilakunya yang beresiko, maka dari itu diberikan
informasi-informasi mengenai virus HIV dan perilaku beresiko
sehingga terinfeksi virus tersebut. Setelah Odha paham dan mengerti
mulailah dia untuk mempersiapkan rencana-rencana untuk perubahan
perilaku. Kemudian ketika persiapan dirasa cukup maka Odha
melakukan tindakan untuk perubahan perilaku tersebut. Namun
walaupun Odha sudah melakukan tindakan, hal ini terkadang membuat
dia ragu akan apa yang dia lakukan, maka Odha kembali ketahap
kesadaran. Ketika di tahap kesadaran Odha akan melakukan tahap
persiapan kembali untuk melakukan tindakan, hal ini akan dilakukan
66

berulang-ulang sampai dia mempertahankan perilaku baru yang


berkualitas.
Untuk lebih jelas dan disertai dengan satu kasus Odha yang
telah melewati tahapan dalam perubahan perilaku. Tahapan-tahapan
tersebut meliputi:
a. Tahap pra kesadaran (unaware)
Tahap pra kesadaran adalah tahap ketika klien tidak peduli
atau tidak menyadari apa yang sedang terjadi pada dirinya. Dalam
kaitan HIV AIDS klien tidak menyadari atau mengetahui adanya
resiko, bisa juga disebut klien belum sadar akan statusnya. Maka upaya
yang dilakukan konselor dalam tahap ini adalah untuk memberikan
informasi-informasi yang jelas mengenai HIV AIDS. Sehingga mitos
atau informasi yang salah diluruskan agar klien dapat menerima dan
memahami bahwa perilaku mereka dapat menyebabkan terinfeksi
HIV.9
Sake memberikan kasus pada tahap ini yaitu ada seorang klien,
dia merupakan seorang pekerja seks dari Kali Jodo Jakarta. Pertama
kali Sake bertemu dengan klien ini ketika klien dirawat di RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara Serang. Pada saat itu kondisi klien sedang sakit,
kemudian pihak rumah sakit merujuk klien tersebut ke Klinik Teratai,
lalu Sake pun melakukan konseling pra test kepada klien yang masih
terbaring lemah.
Ketika hasil tes sudah keluar dan hasilnya positif, maka Sake
pun melakukan konseling post tes. Pada saat konseling buka hasil dan
Sake memberitahu klien yang positif mengidap HIV, maka klien syok

9
Yayasan Spiritia, Modul Pelatihan Konselor Sebaya Naskah untuk Peserta
(Jakarta: Yayasan Spiritia 2009), naskah 4.
67

dan tidak percaya pada apa yang dia dengar. Klien tersebut merasa
penderitaannya lengkap karena pada saat itu bukan hanya fisiknya yang
sakit namun kondisi psikologisnya pun sangat sakit lebih dari kondisi
fisik yang dideritanya selama dirawat.
Walaupun klien menyadari inilah resiko dari pekerjaannya
selama ini, karena di antara teman-teman PS-nya dia merupakan yang
paling dicari oleh pelanggan PS. Klien tersebut merasa kecewa dan
tidak percaya bahwa hal ini terjadi padanya dan harus dia yang
terinfeksi virus itu. Klien menyalahkan lingkungan pekerjaannya
karena teman-teman PS lainnya tidak terinfeksi virus yang sekarang
bersarang ditubuhnya. Padahal teman-temannya pun belum diperiksa,
jadi belum bisa diketahui apakah teman-temannya pun terinfeksi atau
tidak.
Dari mulai keterputusasaan, pemahaman akan virus HIV yang
belum ditemukan obatnya sampai saat ini, hingga kekhawatiran
terhadap masa depannya yang akan hancur membuat klien tersebut
menjadi semakin depresi. Dia ingin sekali mengakhiri hidupnya, dia
tidak bisa membayangkan akan menjadi seperti apa dia dengan infeksi
yang ada ditubuhnya. Dia pun marah, kecewa, merasa tidak adil karena
hanya dia yang terinfeksi, tidak dengan teman-temannya.
Selama dirawat kurang lebih satu bulan, Sake sering
mengunjungi klien tersebut untuk memberikan dukungan dan
menguatkan kondisi psikologisnya yang ikut lemah. Sake berkunjung
dua hari sekali. Isi konseling dari kunjungan mengenai pemberian
informasi yang jelas terkait virus HIV. Pemberian informasi tidak
dilakukan satu kali saja tetapi secara berulang-ulang agar klien tidak
salah persepsi mengenai virus HIV dan bisa mengilangkan rasa iri pada
68

teman-temannya yang belum melakukan tes untuk mengetahui


statusnya.
Selama kunjungan Sake tidak bosan untuk memberikan
dukungan dan informasi. Untuk memperkuat dukungan dan informasi
yang diberikan Sake mendatangkan Odha yang berlatar belakang sama
dengan klien, yang sudah bisa menerima statusnya menjadi Odha dan
telah merubah perilakunya menjadi perilaku yang berkualitas. Tujuan
Sake membawa model tersebut adalah salah satu teknik metode client
centered-nya agar bisa memberikan dukungan pada klien yang depresi,
serta dengan disuguhkan bukti yang otentik, Sake berharap klien bisa
mengambil pilihan yang terbaik tanpa adanya paksaan dari pihak lain.
Model Odha ini bisa membuktikan bahwa seorang Odha bisa hidup
dengan normal, dan semua informasi bahkan dukungan dari Sake
adalah benar adanya, juga tidak dibuat-buat.
Sake selain memberikan dan dukungan yang berkesinambungan
kepada klien serta menghadirkan model yang dapat memberikan
dukungan yang positif pada klien. Dia pun mencoba mendekati
keluarga yang merawat klien. Sake memberikan informasi yang jelas
mengenai virus HIV, terutama cara penularannya, dengan tujuan agar
keluarga klien tidak menghindar dan mendiskriminasi klien. Dukungan
dan informasi pun terus diberikan kepada keluarga klien sampai
keluarga tersebut mau menerima dan dengan ikhlas merawat klien yang
tidak berdaya dengan penyakitnya yang diakibatkan oleh infeksi
oportunistik.
Sake berpendapat bahwa dukungan keluarga sangat membantu
untuk menguatkan kondisi psikologis klien yang rapuh. Sake melihat
semenjak keluarga klien merawat dengan penuh kasih sayang, klien
69

menjadi bersemangat untuk hidup dan kondisi fisik maupun


psikologisnya berangsur-angsur pulih. Akhirnya setelah klien merasa
lebih baik, dia pun pulang.10
b. Tahap kesadaran (informed, concerned, knowledgeable,
motivated)
Keadaan ketika klien mulai memikirkan gagasan untuk
perubahan perilaku. Dalam tahapan ini dilakukan pengkajian ulang atau
pengidentifikasian terhadap resiko atas gaya hidup dan perilaku yang
dilakukan sehingga terinfeksi virus. Karena dalam tahap ini klien sudah
menyadari perilaku beresiko yang dilakukannya, maka klien mulai
membuat keputusan dalam melakukan sesuatu untuk perubahan
perilaku beresiko.11
Dari kasus di atas, dua bulan kemudian klien kembali menemui
Sake. Dia mengalami penurunan kondisi fisik, dan akhirnya dia
kembali mengalami depresi. Pertanyaan yang selalu diajukan klien
kepada Sake adalah apakah dia bisa kembali sembuh. Sake pun
menjawab pertanyaan dari klien dengan informasi tentang perubahan
perilaku. Salah satu perubahan perilaku tersebut, sebagaimana
dijelaskan Sake apabila klien ingin kembali sehat kuncinya yaitu
kesungguhan minum obat. Selain itu Sake kembali memberikan model
Odha yang patuh minum obat sehingga fisiknya sehat. Setelah
mendengar informasi yang diberikan Sake, akhirnya klien mulai sadar
akan perubahan perilaku yang harus dia lakukan.12

10
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara
di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015.
11
Yayasan Spiritia, Modul Pelatihan Konselor Sebaya ..., naskah 4
12
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara
di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015.
70

c. Tahap persiapan (ready to change)


Pada tahapan ini klien mulai menyadari akan manfaat dan
kerugian bila berubah perilaku kemudian mempelajari keterampilan
bernegoisasi dan praktek perilaku. Maksud dari bernegoisasi yaitu
suatu rencana perubahan yang dilakukan klien secara bertahap. Dalam
tahap persiapan ini konselor memberikan klien keterampilan praktis,
spesifik, dan mampu dikerjakan. Klien melakukan permainan peran
yang mengacu pada penguatan. Konselor dan klien pun membuat
kontrak perilaku yang akan dilakukan serta mempertimbangkan tentang
hambatan yang ada dan bagaimana cara untuk mengatasinya.13
Dari kasus di atas, walaupun klien sudah dihadirkan bukti yang
otentik namun klien masih meragukan apakah dia bisa kembali sehat
dan memiliki tubuh yang indah. Maka Sake kembali memberikan
informasi mengenai perubahan perilaku yang bisa dilakukan oleh klien.
Hal yang bisa dilakukan klien adalah melakukan pola hidup yang sehat,
makan makanan yang bergizi, dan apabila akan melakukan seks, maka
dengan cara yang aman yaitu memakai kondom. Namun, dengan
kondisinya yang sakit, dia sementara meninggalkan pekerjaan yang
selama ini digelutinya.
Setelah sadar akan perubahan perilaku yang harus dilakukan,
klien merencanakan persiapan. Klien bertanya aktif kepada Sake terkait
obat apa yang sesuaikan dengan kesehatannya. Sake mengarahkan klien
untuk mengonsultasikan hal tersebut kepada dokter Klinik Teratai.14

13
Yayasan Spiritia, Modul Pelatihan Konselor Sebaya ..., naskah 4
14
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara
di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015.
71

d. Tahap tindakan
Pada tahapan ini, setelah merasa rencana persiapan sudah
maksimal maka klien secara nyata mencoba perilaku yang baru dan
mulai dipraktekan.15
Dalam tahapan ini klien diatas setelah melakukan persiapan
yang matang, klien tersebut melakukan tindakan patuh meminum obat
dan meninggalkan kehidupan yang telah memberinya virus untuk
seumur hidup. Pada tahap ini klien mulai melakukan perubahan
perilakunya.
e. Tahap mempertahankan
Tahapan dimana perilaku baru dipertahankan sepanjang waktu
secara alamiah dan berkesinambungan.16
Klien di atas sampai pada tahap mempertahankan perilakunya
namun ketika tahap tindakan perubahan perilaku telah dilakukan, klien
merasa jenuh dengan kepatuhannya untuk minum obat. Dia kembali
meragukan akan hidupnya yang monoton dan tidak bergairah, karena
klien harus tinggal di desa kelahirannya dengan aktivitas kesehariannya
yaitu bercocok tanam di sawah. Kehidupannya yang baru ini sangat
berlawanan dengan kehidupan lamanya di kota, selama di kota klien
bisa mendapatkan uang dengan mudah bahkan kebutuhan seksualnya
pun terpenuhi, berbeda dengan hidup didesa untuk mencari uang klien
harus memeras keringat dan hasilnya pun tidak sebanding dengan kerja
kerasnya. Maka dari itu klien belum bisa beradaptasi dengan kehidupan
barunya dan mengalami kejenuhan.

15
Yayasan Spiritia, Modul Pelatihan Konselor Sebaya ..., naskah 4.
16
Yayasan Spiritia, Modul Pelatihan Konselor Sebaya ..., naskah 4.
72

Akhirnya setelah klien merasa cukup sehat, dia memutuskan


untuk kembali ke kehidupannya yang dulu. Sake tidak bisa memaksa
atau menasihati klien untuk meninggalkan kehidupannya yang dulu,
namun yang bisa Sake lakukan adalah memberikan informasi agar klien
melakukan seks yang aman, sehingga tidak menularkan virus ke orang
lain dan juga untuk menjaga kesehatan klien.
Namun di Jakarta klien hanya bertahan lima hari, akhirnya dia
kembali ke desanya dan berusaha menerima kehidupan barunya sebagai
petani sampai dengan sekarang. Klien masih sering mengeluh kepada
Sake tentang kejenuhannya. Dan Sake tidak pernah bosan untuk
memberikan dukungan, bahkan Sake menyinggung tentang
kebermaknaan hidup. Sake menjelaskan bahwa kebermaknaan hidup
itu tidak harus kita selalu berkecimpung di kehidupan yang lama,
namun apabila kita bisa bermakna bagi orang-orang terdekat, itu
merupakan hal yang sangat berarti. Sake pun mengajak klien mengulas
aktivitas kesehariannya yang baru, sehingga menumbuhkan
kebermaknaan untuk diri klien bahwa dia memang mempunyai makna
dalam lingkungannya.
Sake berpendapat perubahan perilaku adalah proses yang rumit.
Penyediaan informasi saja oleh konselor sebagai intervensi utama pada
umumnya tidak cukup untuk memfasilitasi klien berubah perilaku.
Edukasi klien yang efektif dapat dilakukan melalui layanan konseling
tatap muka maupun melalui telepon atau media sosial, di mana klien
secara terbuka membahas hambatan dan tantangan dalam perubahan
perilaku serta mengambil keputusan yang tepat.17

17
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara
di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015.
73

Dari deskripsi mengenai kasus ini diatas, maka dapat


disimpulkan bahwa kasus tersebut belum selesai dan masih berlanjut
sampai sekarang. Klien masih mengalami naik turun dalam
kesadarannya, namun klien tersebut masih berusaha mempertahankan
perubahan perilaku yang telah dilakukannya. Untuk kasus yang masih
berlanjut ini Sake akan terus berusaha memberikan pelayanan yang
memuaskan untuk kliennya, dengan tidak menyuruh, menasihati
bahkan memaksa kliennya untuk ikut pada apa yang dia katakan.
2. Menjaga kualitas teknik dan etika konseling
Menurut Sake upaya yang dilakukan agar bisa menjalin
hubungan yang baik dengan Odha, Sake selalu menanamkan tiga aspek
dasar yang harus selalu dimilkinya. Ketiga aspek tersebut adalah:
a. Mendengarkan secara aktif. Sake menjelaskan bahwa
mendengar aktif merupakan cara merespon yang efektif.
Sebagai konselor dia mampu hadir secara fisik, mental dan
emosioal menggunakan verbal dan nonverbal dalam
mendengarkan apa yang diucapkan dan tidak diucapkan klien.
Cara mendengarkan memiliki peran yang besar untuk
mendorong klien dapat meneruskan dan menghentikan
pembicaraan. Sake berpendapat bahwa mendengarkan aktif
membuat klien merasa diperhatikan oleh konselor, mendorong
pembicaraan, dan klien merasa konselor menghargai
perasaannya.
b. Empati merupakan kemampuan dan keterampilan konselor
dalam mencoba memahami perasaan dan pikiran yang dialami
klien tanpa terlibat secara emosional. Dengan sikap empati ini
Sake berpendapat bahwa klien merasa konselor adalah orang
74

yang baik sehingga mampu mengerti apa yang dialami oleh


klien.
c. Menjaga kerahasiaan adalah poin penting dalam konseling pada
Odha. Menurut Sake kebanyakan dari Odha tidak ingin
statusnya diketahui oleh orang lain, maka Odha hanya percaya
pada konselor yang bisa menjaga rahasianya ketika mereka
belum berkeinginan untuk membuka statusnya kepada orang
lain. Maka seorang konselor harus bisa menjaga asas
kerahasiaan.18
Prinsip yang dipertahankan Sake diatas merupakan teknik dari
konseling terpusat pada klien. Menjadi pendengar yang baik
menunjukkan komunikasi dengan penuh kepedulian dan merangsang
serta memberanikan klien untuk bereaksi secara spontan terhadap
konselor. Sedangkan, dapat dipercaya mempunyai makna bahwa
konselor bukan sebagai satu ancaman bagi klien dalam konseling akan
tetapi sebagai pihak yang memberikan rasa aman.
Sikap konselor inilah yang memfasilitasi perubahan pada diri
klien. Konselor menjadikan dirinya sebagai instrumen perubahan.
Konselor bertindak sebagai fasilitator dan mengutamakan kesabaran
dalam proses konselingnya. Maka Sake dalam melakukan konseling
yang berpusat pada ini, bertindak hati-hati untuk selalu menjaga sikap
yang positif terhadap klien.

18
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara
di klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 11 Mei 2015.
75

C. Evaluasi konseling untuk Odha


1. Keberhasilan dalam konseling
Kasus ini terjadi pada seorang janda beranak dua. Dia terinfeksi
virus dari almarhum suaminya. Klien ini sudah mencapai tahap
acceptance. Sementara itu, kedua anaknya dengan status negatif. Klien
sudah lama berobat ke Klinik Teratai, dan Sake sudah sangat
mengenalnya. Suatu hari, via telepon dia menyampaikan keinginannya
kepada Sake untuk menikah dan ingin melakukan konseling dengan
calon suaminya yang masih jejaka.
Konseling open status pun dilakukan, Sake terlebih dahulu
menanyakan pengetahuan calon suami klien mengenai virus HIV dan
cara penularannya. Kemudian calon suami klien menjawab apa yang
dia ketahui dari pertanyaan Sake. Sake kembali menanyakan apakah
dia sudah tahu status klien dan siap menerima segala hal yang berkaitan
dengan klien atau pasangannya. Dia pun menjawab dengan bulat bahwa
dia sudah mengetahui status klien dan siap untuk menerima segala hal
yang berkaitan dengan klien atau pasangannya.
Selain menerima klien sebagai pasangan hidupnya, dia siap
menanggung resiko akan penularan yang bisa saja terjadi pada dirinya.
Setelah mendengar penjelasan dari calon suami klien yang sudah
menerima klien apa adanya, bahkan dia siap untuk tertular. Maka Sake
memberikan informasi mengenai pencegahan penularan dari klien ke
pasangannya, yaitu melakukan seks yang aman dengan menggunakan
kondom. Serta tak lupa Sake memberikan dukungan kepada klien untuk
selalu menjalani pola hidup sehat agar klien tidak terpapar infeksi
oportunistik.
76

Pernikahan pun terjadi dan sudah berjalan selama lima tahun.


Klien kembali menghubungi Sake via telepon dengan maksud ingin
mencoba melakukan tes untuk pasangannya. Sake sangat menerima
keinginan klien dengan tangan terbuka. Dalam 3 bulan terakhir tes pun
akhirnya dilakukan, dan hasil dari tes tersebut adalah negatif.
Dari kasus diatas dapat disimpulkan bahwa metode client
centered yang digunakan Sake berhasil, karena klien dan pasangannya
tanpa terpaksa mengikuti prosedur yang dijelaskan oleh Sake. Sehingga
dengan pernikahan yang sudah lama tersebut pasangan klien tidak
tertular. Mereka melakukan seks yang aman dan klien menjaga pola
hidup sehatnya, sehingga tidak menularkan penyakit kepada
pasangannya.19
Untuk mengetahui keberhasilan layanan yang diberikan Sake
untuk para Odha, peneliti pun mencoba menanyakan pendapat para
Odha mengenai pelayanan yang diberikan oleh Sake, di antaranya:
a. Odha yang berinisial H yang berusia 30 tahun. Dia merupakan
seorang supir dan H ketika di wawancarai dalam keadaan sakit
yaitu kurus, dan pucat. Sakit yang dideritanya yaitu demam dan
sariawan disekitar bibir dan lidahnya. H kaget dan cemas ketika
pertama kali mendengar terinfeksi virus HIV. Namun, setelah
mendapatkan konseling dari Sake, H berpendapat bahwa
semenjak mengikuti informasi yang Sake berikan, H bisa
kembali menaikan berat badannya, bisa menjaga daya tahan

19
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara
di klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 11 Mei 2015.
77

tubuhnya serta yang paling penting H menjadi bersemangat


kembali untuk menjali hidupnya.20
b. Odha dengan inisial T yang berusia 32 tahun. Dia merupakan
mantan pecandu narkoba. Kondisi fisik T sangat bagus, padat
dan berisi, T seperti orang yang tidak terinfeksi virus HIV.
Ketika awal-awal mengetahui statusnya T sangat menutup diri,
bahkan dia tidak mau bercerita kepada keluarganya. T hanya
mau terbuka kepada Sake. Akhirnya Sake memberikan
informasi tentang konseling buka status kepada orang lain, Sake
pun menambahkan bahwa dukungan keluarga sangat berarti
untuk para Odha. T memutuskan untuk meminta bantuan Sake
agar membuka statusnya kepada keluarganya. Ketika koseling
sudah dilakukan dan keluarga T telah diberikan informasi
mengenai virus HIV, T sekarang merasa keluarganya
merangkul dirinya dan T sudah tidak merasakan kesendirian
lagi. T sangat berterimakasih kepada Sake yang telah
membantunya untuk mendapatkan dukungan dari keluarga,
sehingga T merasa memiliki makna bagi orang-orang
terdekatnya terutama keluarga.21
c. Odha dengan inisial M, yang berumur 29 tahun. Kondisi fisik M
sangat kurus dan kecil, sehingga orang yang pertama kali
melihatnya kurang percaya kalau dia hampir berkepala tiga. M
enggan bercerita latar belakangnya. Dia menjawab singkat

20
Odha H, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik
Teratai RSUD Serang, rabu, 06 April 2015.
21
Odha T, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik
Teratai RSUD Serang, kamis, 07 April 2015.
78

bahwa sosok Sake sangat membantu kehidupannya semenjak


infeksi HIV itu bersarang ditubuhnya.22
d. Odha dengan A berumur 26 tahun. Dia bekerja sebagai pelayan
direstoran. Kondisi fisik A sangat kurus namun dia adalah sosok
yang ceria. A bercerita bahwa dia sering bergonta-ganti
pasangan seks, dan akhirnya A terinfeksi virus HIV. Pendapat A
mengenai pelayanan yang dilakukan Sake sangat positif, karena
berkat konseling dari Sake, A menjadi semangat dan termotivasi
untuk melakuka perubahan perilaku dengan perilaku barunya
yang lebih berkualitas.23
e. Odha dengan inisial N, yang berumur 25 tahun. Dia merupakan
seorang ibu rumah tangga. N sudah menjalani pernikahan
dengan laki-laki yang dicintainya selama 4 tahun. Tiba-tiba
suaminya jatuh sakit dan dokter yang merawat menganjurkan
untuk melakukan tes HIV, kemudian hasilnya positif, dokter itu
pun kembali mengusulkan N untuk melakukan tes dan hasilnya
positif. Awalnya N merasa kecewa dan kecewa karena telah
dibohongi oleh pasangannya, namun setelah melakukan
beberapa kali konseling dengan Sake, N menjadi lebih tau
mengenai virus HIV dan bisa menerima takdir yang sekarang
dialaminya. N menjadi termotivasi untuk melakukan perubahan
perilaku untuk dirinya dan untuk pasangannya.24

22
Odha M, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik
Teratai RSUD Serang, senin, 11 April 2015.
23
Odha A, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik
Teratai RSUD Serang, senin, 11 April 2015.
24
Odha N, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik
Teratai RSUD Serang, rabu, 13 April 2015.
79

b. Kegagalan dalam konseling


Kasus ini terjadi pada seorang mahasiswi salah satu perguruan
tinggi di Serang yang berumur 22 tahun. Dia berpacaran dengan duda
beranak satu, mereka berhubungan seksual di luar pernikahan. Ternyata
duda tersebut terinfeksi HIV, dan meninggal karena kecelakaan. Klien
mengetahui bahwa pasangannya tersebut telah lama terinfeksi HIV,
atas dasar cinta klien mau melakukan seks yang tidak aman dengan
pasangannya. Setelah pasangannya meninggal klien pun mempunyai
prediksi bahwa dia pun terinfeksi HIV.
Akhirnya klien pun mengunjungi Klinik Teratai dan langsung
menemui Sake. Tidak banyak informasi yang Sake berikan karena klien
sudah banyak mengetahui mengenai virus HIV. Tes pun dilakukan dan
hasilnya non reaktif atau negatif, karena klien sudah banyak
mengetahui tentang HIV dan dia pun sudah mempunyai prediksi karena
dia melakukan hubungan seks yang tidak dengan orang yang terinfeksi
HIV, maka dia mengatakan tiga bulan kemudian datang kembali untuk
melakukan tes. Tes pun kembali dilakukan dan hasilnya positif. Masih
dengan alasan cinta terhadap pasangannya, klien sudah memprediksi
bahwa hasilnya positif dan menerima dengan ikhlas warisan yang
berupa virus yang ditinggalkan pasangannya.
Akhirnya Sake memberikan informasi kepada klien untuk tes
silifor untuk memulai pengobatan agar menjaga kesehatan klien, karena
kondisi fisik klien masih sehat dan dia baru saja terinfeksi HIV, dan
klien pun menolak untuk melakukan pengobatan dengan alasan bahwa
dia masih baik-baik saja dan kondisi fisiknya pun masih bagus. Maka
Sake ikut apa yang dipilih klien tanpa memaksanya untuk mengambil
apa yang dia sampaikan. Selain itu Sake memberikan informasi
80

mengenai perubahan perilaku yang bisa klien lakukan untuk menjaga


kesehatannya dan tidak menularkan kepada orang lain.
Setelah konseling post tes itu dilakukan, klien menghilang tanpa
kabar dan cerita. Kemudian satu tahun berlalu, klien menghubungi
Sake via telepon memberitahu bahwa dia akan melangsungkan
pernikahan. Sake menawarkan “konseling open status” kepada calon
suaminya, namun lagi-lagi klien menolak dengan alasan dia sanggup
untuk open statusnya kepada pasangannya. Padahal tujuan Sake
melakukan konseling adalah untuk memberikan informasi kepada calon
suaminya, agar ketika pasangannya tertular tidak menyalahkan klien.
Akhirnya pernikahan pun terjadi, namun Sake tidak mengetahui lagi
bagaimana perkembangan klien, karena klien menghilang.25
Jadi kesimpulan dari kasus di atas adalah konseling telah
dilakukan dan perubahan perilaku tidak terjadi, karena yang
memutuskan adalah klien. Konselor tidak mempunyai kewenangan lagi
apabila klien sudah menolak untuk diberikan bantuan. Sake
menganggap dalam kasus ini dia menemukan kegagalan dalam
menerapkanmetodenya.

25
Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara
di klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015.
81
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya, maka dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Pertama, Voluntary Counseling Testing (VCT) atau Konseling
Tes Sukarela (KTS) adalah tes HIV secara sukarela yang disertai dengan
konseling. Tes HIV adalah suatu tes darah yang digunakan untuk
memastikan apakah seseorang sudah positif terinfeksi HIV atau tidak,
yaitu dengan cara mendeteksi adanya antibodi HIV didalam sampel
darahnya. Dengan mengikuti VCT bisa mengetahui status HIV lebih
awal dan bisa menjaga kesehatan.
VCT merupakan dukungan layanan bagi mereka yang merasa
berisiko dan menginginkan pemeriksaan HIV. VCT bersifat rahasia dan
sukarela, siapapun tidak boleh memaksa atau menekan seseorang untuk
melakukan konseling dan tes hiv. Adapun tahapan VCT yaitu konseling
prates, tes, dan konseling postes. Dalam tahapan VCT peran seorang
konselor sangat penting, karena tanpa konselor maka konseling untuk
klien tidak bisa dilakukan.
Adapun tugas dari seorang konselor HIV adalah mendampingi
klien sejak pertama akan dites sampai klien mendapatkan hasil tesnya.
Tidak sampai disitu saja hubungan konselor HIV dengan klien bisa
berlanjut apabila klien masih membutuhkan bimbingan atau konseling
dari konselor.
Kedua, upaya konselor Odha Klinik Teratai dalam menguatkan
kondisi psikologis penderita ODHA secara umum dengan penerapan

81
82

metode Client-Centered Counseling dengan memberikan informasi-


informasi signifikan sesuai dengan kebutuhannya yaitu dengan
melakukan perubahan perilaku. Pemberian informasi akan menambah
wawasan pengetahuan Odha dan membuka pemahaman baru yang akan
mendorong agar melakukan tindakan. Adapun untuk lebih rincinya
upaya yang dilakukan konselor Odha Klinik Teratai dalam membantu
menguatkan kondisi psikologis para Odha yaitu mencakup dua bagian:
pertama, menjaga kualitas teknik dan etika konseling, dengan cara
mendengarkan secara aktif, memiliki rasa empati yang tinggi, dan
mampu menjaga rahasia. Kedua, melakukan pendampingan dalam
proses perubahan perilaku. Tahapan dari perubahan prilaku adalah
tahap pra kesadaran (unaware), tahap kesadaran, tahap persiapan (ready
to change), tahap tindakan, dan tahap mempertahankan.

B. Saran
1. Bagi responden
Responden disarankan untuk bisa melakukan kegiatan-
kegiatan bermanfaat yang sesuai dengan minat agar bisa
mendapatkan kehidupan baru yang berkualitas dan mandiri.
2. Bagi Odha yang lain
Bagi Odha terutama yang baru mengetahui bahwa dirinya
terinfeksi untuk mengikuti konseling yang dapat memberikan
informasi yang bermanfaat serta bisa membantu kondisi
psikologisnya. Selain itu, Odha juga disarankan untuk mengikuti
kegiatan dan pertemua sesama Odha yang biasanya diadakan
oleh LSM atau pihak lain yang menangani HIV/AIDS sehingga
83

Odha bisa termotivasi untuk melakukan kegiatan yang lebih


bermanfaat.
3. Bagi konselor
Bagi konselor disarankan untuk tetap menjaga
profesionalisme dengan dilandasi oleh rasa keikhlasan dan
kesabaran dalam menghadapi beragam sikap Odha.
4. Bagi Klinik Teratai
Bagi Klinik Teratai diharapkan untuk tetap terus
memberikan pelayanan yang terbaik untuk para Odha dan untuk
pasien lain yang datang berkunjung.
5. Bagi peneliti
Bagi penelitian selanjutnya disarankan untuk meneliti
lebih lanjut dengan subjek penelitian yang lebih luas dan
didukung oleh informasi-informasi yang relevan dengan
kehidupan Odha sehingga akan memperkaya hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA

Arsip Klinik Teratai. 2016. Data Kunjungan Pasien di Klinik Teratai pada
Tahun. Serang: Klinik Teratai RSUD dr. Dradjat Prawiranegara.

Boeree, George C. 2010. Personality Theories: Melacak Kepribadian Anda


Bersama Psikolog Dunia. Yogyakarta: Prismasophie

Corey, Gerald. 2013. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi.


Bandung: PT Refika Aditama

Green, Chirs W. 2006. HIV & TB. Jakarta: Yayasan Spiritia

Green, Chirs W. 2011. HIV Kehamilan dan Kesehatan Perempuan. Jakarta:


Yayasan Spiritia

Harahap, Syaiful W, et al. 2011. Info HIV/AIDS. Banten: Media Relations


Office

Himawan, Agung Prambudi. 2010. “Efektivitas Komunikasi Interpersonal


pada Konseling HIV/AIDS”. Skripsi. Yogyakarta: Mahasiswa
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fakultas Ilmu Sosial dan
Politik jurusan Ilmu Komunikasi. 29 Mei 2015

Jarvis, Matt. 2010. Teori-Teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk


Memahami Perilaku, Perasaan, dan Pikiran Manusia. Bandung: Nusa
Media

Kementrian Kesehatan RI. Tahun 2013, Pedoman Nasional Tes dan


Konseling HIV dan AIDS. Jakarta: Depkes RI

Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Banten, Mengenal dan


Menanggulangi HIV AIDS Infeksi Menular Seksual dan Narkoba.
Banten: Dinas Kesehatan Provinsi Banten.

Komisi Penanggulangan Aids. 2006. Pedoman Pelaksanaan Voluntary


Counseling and Testing. Jakarta: KPA.

Lubis, Namora Lumongga. 2011. Memahami Dasar-Dasar Konseling


Dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Prenada Media Group
Moleong, J Lexy. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya

Murni, Suzana, et al. 2013. Hidup dengan HIV. Jakarta: Yayasan


Spiritia

Murni, Suzana, et al. 2003. Pasien Berdaya. Jakarta: Yayasan Spiritia

Murni, Suzana, et al. 2009. Pasien Berdaya. Jakarta: Yayasan Spiritia

PKBI DKI Jakarta. 2011. Voluntary Counseling and Testing. Jakarta: PKBI.

Rihaliza. 2010. Hubungan Konselng VCT dan Dukungan Sosial dari


Kelompok Dukungan Sebaya dengan Kejadian Depresi pada Pasien
HIV/AIDS di Lantera Minangkabau Support. Skripsi. Minangkabau:
Mahasiswa Universitas Andalas Fakultas Kedokteran jurusan Ilmu
Keperawatan. 29 Mei 2015

Roey, Jens Van. 2003. Dari Prinsip ke Praktik: Keterlibatan Lebih Besar
Orang yang Hidup dengan HIV/AIDS (GIPA). Jakarta: Yayasan
Spiritia

Spiritia, Yayasan. 2014. Kasus dan Kegiatan Pelatihan Konselor Sebaya.


Jakarta: Yayasan Spiritia

Sumalin, Hestri. 2013. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perubahan


Perilaku pada Pasien HIV/AIDS di Klinik VCT Bunga Harapan RSUD
Banyumas. Skripsi. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman
Fakultas Kedokteran dan Ilmu-Ilmu Kesehatan Jurusan Keperawatan.
29 Mei 2015

Surya, Muhammad. 2003. Psikologi Konseling. Bandung: CV Pustaka Bani


Quraisy

Walgito, Bimo. 2010. Bimbingan dan Konseling (Studi dan Karier).


Yogyakarta: CV Andi Offset

Willis, S Sofyan. 2013. Konseling Individual Teori dan Praktek.


Bandung: Alfabeta

Yusuf, Syamsu, et al. 2008. Teori Kepribadian. Bandung: PT Remaja


Rosdakarya.
WAWANCARA

Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di


klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 28 April 2015.

Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di


klinik Teratai RSUD Serang, Selasa, 29 April 2015.

Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di


klinik Teratai RSUD Serang, Senin, 04 April 2015.

Sake Pramawisari, Konselor di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di


klinik Teratai RSUD Serang, Rabu, 30 Desember 2015.

Odha H, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai


RSUD Serang, Rabu, 06 April 2015.

Odha T, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai


RSUD Serang, Kamis, 07 April 2015.

Odha M, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai


RSUD Serang, Senin, 11 April 2015.

Odha A, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai


RSUD Serang, Senin, 11 April 2015.

Odha N, Pasien di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di klinik Teratai


RSUD Serang, Rabu, 13 April 2015.

Nita Stela, Stad Administrasi di Klinik Teratai RSUD Serang, wawancara di


klinik Teratai RSUD Serang, selasa, 02 Mei 2015.
LETAK KLINIK TERATAI DI RSUD DR. DRADJAT PRAWIRANEGARA

KONDISI RUANG TUNGGU PASIEN YANG DATANG BERKUNJUNG KE KLINIK


KONDISI RUANGAN PELAYANAN DI KLINIK TERATAI

INVENTARIS KLINIK TERATAI


RUANG KONSELING

RUANG CST
RUANGAN LAIN YANG ADA DI KLINIK TERATAI

WAWANCARA DENGAN KONSELOR KLINIK TERATAI


WAWANCARA DENGAN SALAH SATU ODHA

KONSELOR PENDAMPING DI KLINIK DARI KOMUNITAS KOTEK


KUNJUNGAN KETUA JURUSAN BKI KE KLINIK TERATAI

FOTO BERSAMA STAF KLINIK TERATAI

You might also like