Professional Documents
Culture Documents
KOMPREHENSIF
KOMPREHENSIF
BIDANG FILSAFAT
Sosialitas manusia menggambarkan secara hakiki bahwa manusia selalu hidup dalam
kebersamaan dan saling berhubungan satu sama lain. Sosialitas inilah yang membedakan
manusia dari makhluk-makhluk lain. Sosialitas manusia itu suatu unsur yang ada pada kodrat
manusia. Adapun beberapa ciri dari sosialitas manusia adalah sebagai berikut:
pertama, sosialitas manusia mempunyai dimensi yang sangat luas. Manusia menjadi
manusia jika ia bergaul dan bersekutu dengan manusia lain. Manusia tidak mungkin hidup
sendirian, no man is an island, kata sebuah pepatah. Aristoteles menyebut manusia sebagai
Zoon Politicon, makhluk sosial. Inilah hakekat sejati sosialitas manusia. Manusia tidak dapat
disebut manusia selain berkat kehidupan sosialnya, kebersamaannya dengan yang lain.
Kedua, sosialitas yang terkait dengan kodrat manusia mengarah pada kemanusiaan
yang lebih luas, penuh, dan lebih sempurna. Sosialitas manusia adalah sosialitas yang
terbuka, prospektif, dan dapat berkembang ke arah yang baik sejauh anggota2 masyarakat
menyadari prospek dan bertanggung jawab atasnya. Ketiga, kodrat sosial manusia tidak boleh
diartikan secara sederhana, instingsif sebagaimana kawanan lebah atau semut. Kodrat sosial
manusia sebagai kenyataan kebersamaan harus tetap dipandang dalam kerangka “otonomi
dan kebebasan” manusia yang dari dirinya masih memungkinkan berbagai macam bentuk
hubungan sosial (persaingan, persekutuan, permusuhan, persahabatan, dan sebagainya).
Contoh; hubungan manusia yang dirumuskan oleh aliran eksistensialisme.
Selain itu, sosialitas manusia juga mau menunjukan dimensi dasar dari adanya manusia.
Realitas adanya manusia mencakup satu realitas sosial. Sosialitas yang dimaksud di sini
adalah hidup dan berada dalam satu kebersamaan, dalam satu masyarakat, dalam satu
kelompok, dalam satu kontak satu sama lain, pendeknya cara-cara berada yang menunjukan
kehidupan bersama dalam satu mayarakat, dalam satu kelompok atau dalam satu kontak satu
dengan yang lain.
Dalam relasi ada sebuah perjumpaan atau pertemuan. Relasi teologi dan filsafat
memiliki rincian sejarah konkret perjumpaan iman dan filsafat. Perjumpaan pertama iman
dan filsafat dalam iman kristiani direpresentasikan oleh figur Paulus. Rincinya diceritakan
dalam Kitab Suci (Kisah Para Rasul 17: 16-34). Di situ diceritakan bahwa Paulus tampil
sebagai sosok pewarta iman kristiani yang memiliki otentisitas ajaran yang paling berwibawa
dalam Gereja Awali. Dari Yerusalem dia melakukan perjalanan misionaris ke berbagai
wilayah. Sampailah juga dia di Athena. Yerusalem merupakan kota, dari mana iman kristiani
mengalir. Mengapa? Karena Kristus menderita, mati dan bangkit di sana, yang menjadi inti
sari dari Credo Kristiani. Yerusalem juga menjadi pusat pertemuan umat beriman. Yerusalem
adalah kota di mana wahyu kristiani menemukan locus kontekstualnya. “Kamu akan menjadi
saksi-saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria sampai ke ujung bumi.” (Kis
1: 8). Dengan kata lain Yerusalem adalah kota iman, sedangkan Athena adalah kota Filsafat
karena didominasi oleh peradaban kebudayaan.
Kisah Paulus ini singkat tapi mengena. Dikisahkan Paulus bertemu dengan para filosof
dari kalangan Epikurian dan Stoa. Mereka terlibat percakapan. Beberapa di antara mereka
tertarik ingin mendengar kuliah dari Paulus. Paulus lantas dipersilakan memberi kuliah di
sidang Areopagus di hadapan para filosof. Paulus memulai dengan pendekatan kontekstual.
Dengan menyebut bahwa “para pendengar merupakan org2 yang sangat beribadah, jelas
Paulus menampilkan suatu bentuk apresiasi kontekstual pewartaannya. Kemudian Paulus
masuk ke dalam inti kuliahnya yakni tentang Yesus Kristus. Siapa Yesus? Paulus
menjelaskan bahwa Yesus adalah nama dari pribadi Allah yang mereka sembah, yg creator,
yg inkarnatoris, menderita, wafat dan bangkit dari antara org mati. Apa yg kamu sembah
tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu, tegas Paulus (Kis 17: 23).
Sampai pada point kuliah ttg kebangkitan org mati Paulus mengalami kesulitan. Pada
saat itu juga ada di antara para pendengar Paulus ini mengejek dia katanya; “lain kali saja
kami mendengar engkau berbicara ttg hal itu.” Lalu Paulus pergi….. pengalaman Paulus
mengenai kebuntuan pewartaan dan ketidakmampuan Athena menyambut iman Kristiani
inilah antara lain menjadi awal rincian elaborasi sebagai pembantu wanita teologi dan filsafat
sebagai pembuka atau pengantar iman.
Kedua: Jalan kedua diambil dari pengertian tentang sebab yg membawa akibat.
Jalan kedua ini erat juga dengan jalan pertama. Di dalam dunia materi terdapat satu tata
tertib. Tata tertib itu adalah sebab yg membawa akibat a/ hubungan sebab-akibat. Ini berarti
sesuatu yg diakibatkan berasal dari satu sebab atw penyebab. Thomas melihat bahwa ada satu
tata tertib yg mengikuti prinsip ini: pertama-tengah-akhir yg ketiganya mencerminkan sebab-
akibat. Tidak mungkin bahwa hubungan sebab akibat ini berjalan tanpa akhir di dunia
indrawi ini, seakan2 tidak ada awal & tidak ada akhir. Kesimpulan Thomas; pasti ada sebab
pertama yg tidak disebabkan oleh yg lain. Sebab pertama itu diberi nama Allah.
Ketiga: Bertolak dari sesuatu yg mungkin dan sesuatu yang harus. Di dalam dunia
ada proses menjadi dan melenyap. Karena itu, segala sesuatu di dunia ini memiliki
kemungkinan (kontingensi) untuk ada dan kemungkinan untuk tidak ada. Maka segala
sesuatu di dunia ini bersifat tidak kekal dan fana. Bertolak dari sini dapat disimpulkan segala
sesuatu di dunia terjadi dari sesuatu yg harus ada. Segala sesuatu yg harus ada berbeda dgn
segala sesuatu yg mungkin ada. Sesuatu yg harus ada adalah suatu keharusan realitas
eksistensi yg memungkinkan proses menjadi dan melenyap dari segala sesuatu di dunia.
Sesuatu yg harus ada itulah yg disebut Allah.
Kelima: Jalan kelima diangkat dari penuntunan segala sesuatu. Segala sesuatu
berfungsi dan berjalan ke arah tujuan tertentu yg terbaik. Eksistensi dan kegiatan mereka
bukanlah satu kebetulan, tetapi berasal dari satu maksud tertentu yg ada dalam satu hakekat
yg berakal budi. Dengan demikian harus ada penuntun segala sesuatu yg berhakekat dan
berakal budi atau pun termasuk yg tidak berakal budi. Hakekat yg berakal budi seperti itu kita
sebut Allah. Keteraturan misalnya siang----malam,, terang----gelap……Keteraturan itu tidak
terjadi secara kebetulan pasti ada sesuatu yg menuntun dan yg mengarahkan yg berakal budi.
Aktualitas dan Relevansi Filsafat Alam (mengapa Filsafat Alam masih relevan untuk
dipelajari)
Dari iman diketahui bahwa manusia adalah makhluk yang telah ditebus. Dunia yang
sekarang adalah dunia baru, dunia yang telah ditebus bukan dunia yang “tercemar”.
Karenanya setiap orang Kristen perlu mewartakan dunia yang telah ditebus ini dan
memperjuangkannya. Di dalamnya dibutuhkan refleksi terus-menerus bagaimana dunia baru
ini harus diwartakan dan diperjuangkan. Kosmologi menjawab kebutuhan itu.
Dunia yang sekarang adalah dunia yang dibangun oleh pengetahuan dan teknologi.
Sekat-sekat etnis, golongan, keyakinan ideologis, ruang dan waktu telah dirombak dan
diruntuhkan sehingga sekarang menjadi “kampung global”. Informasi dapat diakses dengan
sekejap sehingga kejadian di belahan dunia tertentu dapat diterima juga dengan cepat oleh
manusia di belahan dunia lain. Di lain pihak sekarang banyak manusia semakin menyadari
pentingnya kelestarian alam. Kesadaran dan penghargaan terhadap alam ini juga diperoleh
dari permenungan sistematis atas perkembangan teknologi.
Manusia sedang menghidupi era globalisasi dan kemanusiaan itu sendiri juga ikut
ter’global’kan. Perubanan kultural dan realitas teknologi ini juga berdampak pada interaksi
relasi manusia dan alam. Ini membutuhkan suatu pendekatan dan pemahaman baru yang
dapat diberikan oleh Filsafat Alam sebagai sebuah bidang studi.
Karakter Spekulatif
Ciri utama Filsafat Alam adalah spekulasi. Filsafat Alam mempelajari ada sejauh
hadir dan menghadirkan diri dalam pencerapan dan dialami oleh individu dalam pengalaman
biasa maupun pengalaman ilmiah-alamiah. Filsafat Alam berusaha mempertegas dan
memperjelas hubungan antara manusia dan alam, partisipasi manusia dalam dunia,
pengalaman awal dan berkelanjutan terhadap jagad raya. Filsafat Alam
adalah permenungan atas pengalaman ‘roh dalam materi’.
Dalam hal ini dibutuhkan sebuah loncatan ilmiah dan konseptual dari penggambaran,
penghadiran, dan pengukuran empiris dan matematis ke pola pemahaman yang lebih umum
dan universal. Dalam hal ini Filsafat Alam dapat menjadi sebuah sarana dan ukuran untuk
menentukan hal-hal prinsipil dalam menilai hubungan manusia dengan alam serta cara
manusia bersikap dan memerlakukannya. Manusia berusaha mencari pemahaman tentang
dirinya dan relasinya dengan dunia (semua yang ada) dengan metode reflektif spekulatif.
Objek Formal
Objek formal memperlihatkan kekhasan suatu disiplin ilmu. Suatu objek material
dapat didekati dari berbagai aspek seturut kepentingan dan perhatian disiplin ilmu tersebut.
Objek formal Filsafat Alam adalah hakikat atau intisari ada-ada fisik dan indrawi. Filsafat
Alam berusaha mengenal dan memahami ada konkret dan tercerap dengan memastikan
identitasnya (apa), bentuk-bentuk realitas yang dipresentasikannya (aspek), di mana
tempatnya dalam keseluruhan struktur realitas (kedudukan). Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa objek formal Filsafat Alam adalah intisari atau hakikat ada badaniah dan
indrawi.
Banyak yang bilang kalau Etika itu dah JADUL (ketinggalan jaman) so gak penting
bahkan ada yang bilang menghancurkan kebebasan, kurang menghantar pada kemandirian
dll. Padahal etika sendiri mempunyai karakter normatif dan ilmiah so penting untuk hidup
yang baik. Maka dari itu diperlukan legitimasi secukupnya agar studi etika tetap meyakinkan.
Persoalan yang hendak diajukan adalah: mungkinkah Etika sbg ilmu pengetahuan
sekaligus normatif? Atau mungkinkan etika ilmiah sekaligus menawarkan nilai2 normatif?
Bukankah “keilmiahan” dan “kenormatifan” itu kontradiksi? Coz “kenormatifan” itu
menunjuk bukan pada suatu ilmu, melainkan memiliki daya wajib, daya larang dan perintah.
Sedangkan “keilmiahan” jelas tidak mengandaikan daya ikat yang semacam itu. Oleh sebab
itu tidak sedikit pemikir berpandangan bahwa ilmu pengetahuan itu bebas nilai. Atau ilmu
pengetahuan itu bersifat dan berkarakter netral.
a. Etika adalah normatif, BUKAN karena tunduk pada logika sebagai demikian, yaitu
tunduk pada ketertiban, keakuratan, MELAINKAN karena berkaitan dengan kebaikan hidup
kita, dengan kebenaran orientasi cara ada kita dalam keseluruhan tingkah laku kita sbg
manusia. Karena berhubungan dengan orientasi hidup manusia, maka “normatif”nya etika tak
bisa direduksi dalam hukum (positivism) atau juga disempitkan dlam lingkup jaman tertentu
(historisisme), juga tak dikaitkan hanya sekedar teminologi (filsafat bahasa), juga tak tunduk
pd kesulitan yg digagas Maritain coz kebaikan itu bagian dari kodrat/natura manusia sbg
manusia.
b. Etika normatif, BUKAN hanya karena berurusan dg tindakan manusia, melainkan
juga terutama mengejar pedoman2 yang mengarah pd tindakan manusia pd jalur yang baik
dan benar. Etika bukan lagi sekedar ilmu tentang perbuatan manusia, melainkan lebih
merupakan art of living well. Prinsip ini membuat hidup manusia semakin manusiawi. Prinsip
ini harus dikejar, dipikirkan, dijaga dan dihidupi. Prinsip art of living well inilah yang
menghantar manusia kepada kebahagiaan so gak perlu bukti2 apapun.
@#@#@
Kritik atas ilmu pengetahuan bebas nilai (etika):
Persoalanya: etika kehilangan legitimasinya: mungkinkah etika sebagai ilmu
pengetahuan sekaligus normative? Atau, mungkinkah etika ilmiah sekaligus menawarkan dan
mengajukan nilai-nilai normative? Bukankah keilmiahan dan kenormatifan suatu kontradiksi?
Legitimasi Etika, berkaitan dengan posisinya sebagai ilmu, Apakah etika sebagai ilmu
meyakinkan?
Kritik/keberatan pertama: Tidak sedikit pemikir yang berpandangan bahwa ilmu
pengetahuan itu bebas nilai. Atau, ilmu pengetahuan itu bersifat dan berkarakter netral.
Sosiologi misalnya adalah ili societas atau peristiwa-peristiwa dalam masyarakat,
sementara kedokteran dimaksudkan untuk mengurus kesehatan, ekonomi mengejar
keuntungan, teknologi untuk memacu kemajuan. Nah etika sebagai ilmu pengetahuan
dapatkan sekaligus normative-apalagi normative berarti juga mengikatkan diri pada
norma/nilai tertentu? Menurut L. Levy-Bruhl, science itu hanya meminati fenomen-fenomen
fisik, maksudnya kalaupun toh berurusan dengan apa-apa yang spiritual/rasional/normative
(agama misalnya), pencetusannnya pasti pada fenomen-fenomen yang bisa dianalisis,
diselidiki, dikalkulasi, distatistikkkan. Dari Sebab itu, agama bukan sebagai ilmu
pengetahuan, melainkan kepercayaan yang tidak meminta pembuktian-pembuktian sebagai
mana dituntut dalam ilmu penegetahuan. Konstitusi atau statute juga bukan ilmu, sejauh
memaksudkan bahwa kita yang berada di dalam ruang lingkup konstitusi atau statute yang
bersangkutan harus langsung tunduk dan taat pada prinsip-prinsip yang digariskannya. Lagi
pula, ilmu pengetahuan itu berurusan dengan itu yang ada sebagaimana adanya (that which
is), bukan itu yang seharusnya ada sebagai demikian (that which ought to be). Sementara
etika sebagai yang mengajukan nilai jelas berkaitan dengan that which ought to be atau that
which should be.
Kritik kedua: Dapatkah etika mengajukan nilai-nilai perbuatan manusia secara
keseluruhan sebagai demikian? Menurut positivism hukum, suatu tindakan baik atau jahat
ditentukan oleh peraturan yang berlaku. Contoh mengapa tidak boleh membunuh, karena
perbuatan membunuh dalam hukum di larang. Atau pergi misa di Gereja, karena
diperintahkan oleh Agama/Gereja. Cintoh lain: Serdadu Hitler yang diadili karena membunuh
orang-orang Yahudi, membela dirinya bahwa apa yang ia lakukan semata-mata karena
mentaati hukum. Positisme hukum berarti baik itu dijalankan karena diperintahkan oleh
hukum, kebenaran dan kesalahan tindakan manusia semata-mata didasarkan pada hukum
yang diletakkan, digariskan dan diberlakukan. Positisme hukum dengan demikian
menyangkal kemungkinan ada suatu pertimbangan moral yang tetap (karena hukum berubah-
ubah dan berkembang seiring peradaban manusia).
Kritik Ketiga: datang dari historisisme (“historicism”). Menurut pandangan
historisisme, nilai-nilai atau norma dalam hubungannya dengan tingkah laku manusia sebagai
demikian jelas berubah-ubah dalam sejarah menurut perkembangan jaman. Historisisme
menolak validitas nilai-nilai yang mengatasi jaman. Bandingkan, misalnya, pandangan Hegel
yang mengatakan makna “baik” tercetus justru setelah manusia - yang memiliki kodrat
makhluk yang menyejarah ini - mampu menemukan dan sanggup memaknainya baik sebagai
demikian. Historisisme mengedepankan dinamisitas kehidupan manusia sebagai yang
menyejarah, tetapi sekaligus menyangkal kemungkinan nilai-nilai moral/etis yang universal,
berlaku sepanjang jaman. Dengan demikian, dalam jalan historisisme, setiap jalan memiliki
etikanya sendiri-sendiri. Atau, jika dipikirkan lebih lanjut ada kemungkinan bahwa suatu saat
etika tidak diperlukan lagi. Kemungkinan ini logis, mengingat pendewaan terhadap sejarah
dengan segala tuntutannya dalam kehidupan manusia. Slogan historisisme ialah “dulu tidak
boleh sebagai demikian, belum tentu untuk keadaan sekarang ini”. kebenaran historisisme
ialah mungkinkah etika mencetuskan prinsip-prinsip normative yang berlaku tetap.
Kritik Keempat: lahir dari apa yang disebut gelombang filsafat analitis, datang dari
aktivitas linguistic analysis. Filsafat analitis memandang etika tidak lebih dari sekadar ilmu
logika mengenai prisip-prinsip diskursus moral. Perannya, maksudnya peran etika, tidak lebih
dari sekadar menyelidiki secara analitis (dari sudut pandang analisis bahasa) konsep-konsep
seperti “baik”, “jahat”, “adil”, “tidak adil”, “kewajiban”, “hak”, dan yang sejenis. Tetapi,
sejauh merupakan analisis bahasa, penyelidikannya tunduk pada prinsip-prinsip logika
bahasa. Distingsi-distingsi etis atau moral yang diajukan dengan demikian adalah produk dari
aktivitas rasional yg sgt bersifat subyektif. Tidak ada dan tidak perlu ada pengakuan2
universal mengenai prinsip2 moral. Dalam konteks linguistic analysis ini, etika dengan
demikian tak pernah merupakan ilmu pengetahuan normative. Nilai2 yg diajukan tak lebih dr
sekadar proposisi2 bahasa yg tdk memiliki daya ikat apa pun terhadap perbuatan dan tingkah
laku manusia. Apalagi, dalam linguistic analysis soal benar-salah merupakan soal yg delicate,
tdk mudah begitu saja dikatakan sbg demikian. Tambahan lagi, soal benar-salah kita reduksi
pada peraturan hukum, undang2, kebiasaan tradisional, atau peraturan/ajaran agama. Soal sex
di luar nikah, misalnya, kita katakan salah krn ajaran agama mengajarkan tdk demikian.
Tetapi, soalnya apakah salahnya itu bersifat etis dan mengikat – bagaimana jika orang tdk
beragama? Bolehkah dia? Gelombang filsafat analitis menggoyang etika sebagai ilmu
pengetahuan normative, mengikat. Sebab, menurut filsafat analitis, etika hanyalah diskursus
bahasa atas terminologi2 etis.
Kritik Kelima: mengalir dari kesulitan yg diajukan oleh Jaques Maritain. Maritain
adl seorang filsuf dr Neotomistik, prn mjd duta bsr Prancis untuk Tahta suci Vatikan pada
masa sesudah perang dunia ke II. Ia adl sala satu yg membuat draft Universal declaration of
human rights di Paris thn 1948 (bersama Samuel Cassin). Ia termasuk sala satu filsuf katolik
terpenting abad 20. Jalan pikirian kesulitan Maritain demikian: nilai2 normatif hanya
mungkin apabila manusia memiliki tujuan hidup yg universal: sementara itu mewujudkan
tujuan hidup yang ideal-universal merupakan sesuatu yg mustahil. Dgn kata lain, etika tak
mungkin mengajukan nilai2 normative yg berlaku dlm hdp manusia tanpa manusia memiliki
consensus mengenai tujuan hdpnya (sebab nilai2 normatif hanya memiliki arti sejauh
membimbing manusia ke tujuan hdpnya). Menurut st. Thomas Aquinas, tujuan hdp manusia
adl kebahagiaan. Apakah kebahagiaan? Luar biasa banyak dan ragamnya mengenai apa itu
kebahagiaan. Dgn aquinas kita tahu bahwa kebahagiaan sejati pd akhirnya hanyalah ada pd
Tuhan, sang sumber kebahagiaan itu sendiri. Tetapi, menegaskan bahwa tujuan manusia
bermuara pd Tuhan bkn perkara yg serentak gampang dewasa ini. ada byk manusia yg tak
meletakkan tujuan akhir hdpnya pd Tuhan. Inilah yg menyebabkan ada fragmentasi nilai2
moral, nilai2 etis sbg demikian. Kesulitan yg diajukan Maritain menyentuh langsung pd
kepentingan etika dl hubungannya dgn tujuan hdp manusia.
Relasi mengandaikan perjumaan iman dan filsafat. Perjuampaan pertama iman dan
filsafat dalam sejarah iaman kristiani direpresentasi oleh _okum_ Paulus. Sebenarnya wahyu
itu sudah dari sendirinya memiliki locus kontekstual hidup manusia dengan segala kekayaan
filosofis kulturalnya. Demikian wahyu iman Kristiani. Tetapi, representasi pertemuan iman
dan filsafat menemukan rincian pergumuan paling jelas pada pengalaman paulus.
Dalam buku kisah Para Rasul, Paulus tampil sebagai sosok pewarta iman Kristiani
yang memiliki otensitas ajaran yang paling berwibawa dalam Gereja awali. Dari Yerusalem
dia melakukan perjalanan _okum_te_ ke berbagai wilayah. Sampailah juga di Atena.
Yerusalem merupakan kota, dari mana iman Kristianimengalir. Mengapa? Karena Kristus
menderita, mati dan bangkit di sana, yang menjadi intisari dari credo iman Kristiani.
Yerusalaem juga menjadi pusat pertemuan umat beriman. Yerusalem adalah kota di mana
wahyu Kristiani menemukan locus kontekstualnya. “kamu akan menjadi saksi-saksiku di
Yerusalem di seluruh yudea dan samaria sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Dengan kata lain,
Yerusalem adalah kota iman. Sementara itu, Atena adalah kota filsafat.
Kisah tentang Paulus di Atena direkam singkat tetapi mengena. Dikisahkan Paulus
bertemu dengan para ahli _okum (jelas maksudnya adalah filosof) dari kalangan Epikurian
dan Stoa. Mereka terlibat dalam percakapan yang itens. Beberapa filosof tertarik untuk
mendengarkan ajaran baru Paulus. “Bolehkah kami tahu ajaran baru mana yang kau ajarkan
ini?”. Dia lantas dipersilakan untuk memberikan kuliah perdananya di _okum_ Areopagus di
hadapan para filosof. Dari sendirinya Paulus tidak akan memberikan kuliah filsafat,
melainkan menjelaskan iman Kristiani.
Membayangkan Paulus harus menjelaskan rincian elemen2 iman Kristus tadi
dihadapan para filosof sangat menarik. Paulus mulai dengan konteks (sebuahpendekatan
kontekstual) : “…..aku lihat bahwa dalam segala hal kamu sangat beribadah kepada dewa-
dewa…. Aku menjumpai sebuah mezbah (di tengah kota) dengan tulisan: kepada Allah yang
tidak di kenal” (Kis 17:23). Penyebutan bahwa para pendengar merupakan adalah orang-
orang yang sangat beribadah, jelas menampilkan apresiasi kontekstual pewartaan. Pewartaan
itu berangkat dari nilai2 kutural/konteks setempat. Kemudian sampailah Paulus pada intisari
kuliahnya, yaitu Yesus Kristus. Siapakah Yesus Kristus? Dengan keyakinan yang mantap
Paulus mengatakan bahwa Yesus Kristus adalah nama dari pada Allah yang mereka sembah,
yang creator, menderita, wafat dan bangkit dari antara orang mati. “apa yang kamu sembah
tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu.” Tegas Paulus.
Sampai pada poin “kuliah” tentang kebangkitan orang mati, Paulus mengalami
kesulitan. “ ketika mereka mendengar kebangkitan orang mati, maka ada yang mengejek, dan
yang lain berkata: lain kali saja kami mendengar engkau berbicara tentang hal itu”, lalu
Paulus pergi…(Kis 17:32-33). Inilah kegagalan dramatis dari katekese Paulus. Pewartaannya
yang dia impor dari Yerusalem mengalami kebuntuan di Atena. Twologi Yesusalem belum
_okum_te_c dengan locus kontekstual Atena. Teologi perlu kontekstualisasi diri. Mengapa
Atena mengejek teologi Yerusalem? “mengejek” merupakan _okum_te_c_ dari kisah para
rasul. Persoalannya jelas. Atena memiliki frame rasionalitas, religiusitas dan kulturalitas
tersendiri. Jika diringkas perbedaan keduanya dapat diskemakan demikian:
Yerusalem Atena
1. Teologi/Iman Filsafat/ rasio
2. Pengetahuan yang mengatasi Pengetahuan rasional
rasional
9. PRIBADI (sang pencipta yang Substansi (tidak mencipta; segala yang ada
mencipta dari ketiadaan) mengalir dari prinsip Arche)
Ketika masih berada di Yerusalem, iman (maksudnya fides quae atau kebenaran yang
direvelasikan) demikian _okum_te dan tanpa persoalan, karena diwahyukan oleh Allah. Allah
adalah otoritas penjamin akan kebenran itu sendiri. Tetapi ketika sampai di Atena apa yang
semula _okum_te menjadi tidak serentak tanpa persoalan. Allah, sang Pencipta, yang
menciptakan segala apa yang ada dari ketiadaan menjadi pewartaan yang mustahil dalam
alam filsafat Yunani yang sudah terbias dengan frase kebenaran _okum_te Parmenedian
“segala apa yang ada, ada; dan yang tidak ada, tidak ada”. Aristoteles pun , kendati telah
menggagas prinsip aktus dan potensia dari ada to tidak mampu menjelaskan dari mana dunia
dengan segala isinya ini berasal. Berbeda sedikit dengan Plato, Aristoteles hanya _oku
berkata bahwa dunia dengan segala inisnya ini abadi. Allah yang pencipta dalam Atena
korespondensi dengan sang motor immobilis, atau sang causa prima non causata atau sang
aktus purus (prinsip kesempurnaan itu sendiri). Sang sabda (verbum) yang darinya dari segala
yang apa yang ada tercipta (Yerusalem) menjadi logos yang darinya segala apa yang ada
mengalir (Atena). Ini sumbangan filsafat stoa. Aliran filsafat stoalah yang menggagas bahwa
logos adalah realitas awali dari segala apa yang ada. Allah adalah yang pribadi yang
menyejarah dan terlibat dalam pejiarahan kehidupan manusia. Pandangan lain, seperti
digagas oleh plato, ialah bahwa Allah adalah realitas tertinggi yang darinya segala apa yang
ada berasal dan mengalir.
Di mana kesulitan Atena menerima kuliah tentang kebangkitan orang mati, yang
mengakibatkan kebuntuhan pewartaan paulus? Agak sulit dilacak. Tetapi dari filsafat
Epikuros dan Stoa satu dua _okum_t dapat disebutka di sini. Bagi epikurian, segala yang ada
dapat dijeskan dari apa yang disebut sebagai Prinsip atau causa intelligibilis. Artinya, realitas
apa saja dapat dipahami dalam prinsip intelligibilis prinsip yang masuk dalam lapangan
kapasitas intelektual manusia. Akhir kehidupan, misalnya, dipahami oleh akal budi seseorang
sebagai akhir dari penderitaan atau kesenangan yang dapat dirasakan oleh badan. Relaitas
badani dengan demikian, tidak menemukan arti kepentingannya sesudah kematian. Demikian
juga stoa, aliran filsafat yang didirikan oleh Zenone ini, tidak mengajukan rincian pandangan
pada pemulian badan sebagai badan. Stoa amat dipengaruhi oleh Plato, yang memiliki
pandangan realistis tentang manusia. Manusia adalah jiwanya. Bukan badannya. Tema Paulus
yang mengaajukan “hal baru” berkaitan dengan pemuliaan badan (dalam kebangkitan orang
matti yang menjadi mungkin karena kebangkitan Kristus) jelas macet, buntu, aneh.
Kebangkitan badan bagi orang Yunani adalah kenaifan. Sementara bagi Paulus kebangkitan
badan adalah kemuliaan. Bahkan inti sari iman Kristiani. “sia-sialah iman kita, jika tidak
bangkit (KOR 15)
Dari pengalaman Paulus ini, ada sesuatu yang baru. Yaitu bahwa mewartakan iman
bukanlah sekedar berkata-kata tentang isi kebenaran iman. Pewartaan bukanlah sekedar
pemberitahuan tanpa peduli konteks siapa pendengarnya. Pewartaan iman tidak _oku hanya
_okum_te_, melainkan inkultural. Tidak hanya memberikan informasi, melainkan
menawarkan informasi. Teologi tidak hanya berbicara tentang Allah, melainkan tentang
Allah dalam konteks lapangan kehidupan manusia.
Tetapi, dari pengalaman Paulus, muncul pala reaksi penyangkalan terhadap filsafat.
Tertullianus, salah satu Bapa Gereja _okum_te_c, berpendapat bahwa kebijaksanaan filosofis
hanyalah kesia-siaan belaka. Tidak ada keserupaan antara filsafat Yunani dan seorang yang
beriman Kristiani. Namun demikian, Ambrosius, Agustinus, Origenes dan para Bapa Gereja
yang lain tidak sejalan dengan Tertullianus. Mereka memandang bahwa filsafat sangat
berperan dalam refleksi iman Kristiani. Dan, sebalinya. Iman Kristiani mempengaruhi
diskursus filsafat, mentransformasikannya dan membatasinya. Apa pengaruh iman Kristiani
terhadap filsafat Yunani? Pertama, konsep monoteisme kristiani menggeser poleiteisme
Yunani. Berikutnya, prinsip penciptaan dari ketiadaan mendominasi tema-tema refleksi
antara realitas konkret dan realitas _okum_te. Panteisme tidak lagi dominan. Pengertian
_okum kodrat dalam filsafat Yunani yang amat rasional dibabtis menjadi pengertian yang
lebih teologal, yaitu _okum itu berasal dari Allah. Pendekatan, filsafat pada periode bapa
Gereja telah menampilakan transformasi pilihan refleksi yang luas dan mendalam tentang
iman Kristiani.
A. TEMA UMUM
a. Dalam Kitab Suci: Wahyu adalah Allah menyapa manusia, Allah berbicara kepada
manusia. Allah menyatakan diri-Nya, memberikan kesaksian tentang sikap, sifat, dan
kehendak-Nya, membuat diri-Nya dikenal dan diakui.
- Dalam PL: Allah menyatakan kehendak-Nya dalam hukum Taurat. Kemahakuaasaan-
Nya dalam alam ciptaan, dan akhirnya pada keadilan dan belaskasih-Nya yang memilih,
membimbing, dan melindungi umat-NYA (Israel keluar dari Mesir).
- Dalam PB: Pelaku wahyu pertama-tama tetaplah Allah. Menurut Paulus, Kristus
bukan pertama-tama mewahyukan diri-Nya, tetapi ia diwahyukan. Isi Wahyu: Yesus
Kristus dan misteri-Nya. Sasaran wahyu: keselamatan manusia sepenuh-penuhnya.
Wahyu juga masih dalam penantian, yaitu penyingkapannya pada parusia (eskatologis).
b. Menurut Magisterium: Para Bapa konsili memahami wahyu: pertama, sejarah Israel yang
endapannya tertulis dalam KSPL. Kedua, Injil, dalam arti peristiwa Yesus Kristus yang
meliputi segala yang dikatakan dan dperbuat oleh Yesus Kristus. Ketiga, kegiatan Roh
Kudus yang bersifat pewahyu sepanjang zaman Gereja.
Jadi, Hakikat Wahyu: Allah yang tak kelihatan itu dari kepenuhan cinta kasih-Nya
menganugerahkan diri kepada manusia, menyapa, bergaul, dan bersekutu dengan manusia.
Sifat-sifat Wahyu: pertama, aspek misteri Ilahi, yaitu tindakan Allah yang
transenden. Kedua, aspek historis, yaitu persitiwa sejarah. Ketiga, aspek pengetahuan, yaitu
kesaksian, pewartaan, dan ajaran. Keempat, aspek personal pertemuan pribadi antara Allah
dengan manusia.
Proses Beriman dalam kaitan dengan Akal budi. Ketaatan iman harus selaras
dengan akal budi. Iman tidak bersifat dorongan buta. Iman adalah kewajiban, karena itu baik
akal budi maupun kehendak manusia memainkan peranan penting dalam tindakan beriman.
Manusia taat dan patuh kepada Allah Pewahyu secara tahu dan mau. Namun, akal budi bukan
otonomi mutlak, melainkan otonomi yang diberi kepadanya oleh Allah sehingga manusia
harus tunduk kepada Allah. Roh Kudus menerangi akal budi dan membimbing daya
kehendak manusia. Manusia sebagai animal rationale mempertanggungjawabkan imannya
kepada orang lain akan iman kepercayaannya dan juga kepada akal budinya sendiri. Sekali
lagi ditekankan bahwa iman tidak buta tetapi terjadi dengan segenap akal budi selain dengan
segenap hati dan kekuatan. Impilkasinya: orang harus bersikap kritis baik terhadap pewartaan
maupun terhadap dirinya sendiri. Kritis berarti orang mau mengetahui apa yang diimaninya.
Aku tahu apa yang aku percaya. “Kami percaya dan tahu bahwa Engkau adalah Yang Kudus
dari Allah” (Yoh 6:69)
@&@&@&@&@
Apa itu Wahyu? Bagaimana proses beriman dlm kaitannya dgn akal budi?
Penggunaan filsafat dgn pemikiran kritis yg sangat menekankan rasio manusia itu
sungguh tdk mendapatkan tempat dlm abad pertengahan. Sebab bagi bapak-bapak Grj dunia
iman – teologi tdk bisa dimasuki oleh akal budi manusia apalagi dgn penggunaan intelek
rasio manusia dlm berfilsafat. Sehingga dunia filsafat tdk mendapatkan tempat. ttapibagi
Thomas Aquinas rasio atau akal budi dpt membantu manusia utk menjelaskan ajaran teologi
atau iman kepd umat agar umat dpt mengerti ttg wahyu Tuhan itu sendiri. & disinilah
penggunaan akal budi itu penting & menjadi bagian dari dunia teologi/iman. & dunia
teologi/iman dpt menghantar manusia kepd pengenalan akan sumber kebenaran &
pengetahuan yaitu Allah, melalui pengetahuan yg diperoleh melalui proses kerja akal atau
campur tangan manusia dlm menerima tawaran keselamatan yg dari wahyu itu sendiri.
Bagaimana Thomas Aquinas dpt memberikan ruang gerak bagi akal & iman itu sendiri. Dua
jalur iman & reasons ini dpt qta temukan pd penjelasannya lewat teori pengetahuannya.
[1] Dlm arti ini dpt qta katakan bhw kebenaran ajaran Tuhan harus diterima dgn iman. dgn
iman pengetahuan ttg kebenaran & sumber pengetahuan memiliki eksistensinya dari sumber
kebenaran itu sendiri, yaitu sejauh ide-ide Tuhan itu memasuki pikiran manusia dgn
penerangan ilahi. Yg oleh Thomas Aquinas adalah milik Tuhan.
[2] Dikatakan bhw pengenalan pengetahuan thdp dunia material atau dunia obyek-obyek itu
sendiri merupakan suatu aspek dari pengetahuan & pengenalan yg diperoleh atau merupakan
hasil daya tangkap akal budi, yg melaluinya sumber pengetahuan itu di dapat. Artinya bhw
pikiran manusia dpt memperoleh pengetahuan lewat pengenalannya dgn obyek-obyek &
fenomen-fenomen yg nampak nyata dlm realitas yg dihadapi atau yg ditemuinya. Sebab dgn
sendirinya pikiran dpt mengetahui obyek-obyek atau fenomen-fenomen tersebut melalui
obyek-obyek yg sedang bertumbuh & yg sementara berjalan atau bergerak. Artinya semua
hal yg umum itu nampak & dpt dilihat oleh panca indera melalui fakta-fakta konkrit, yg
sungguh-sungguh riil & nampak dlm hal-hal yg khusus.
Kebenaran iman yg merupakan kebenaran ajaran Tuhan harus diterima dgn iman. hny
iman yg dpt menerima eksistensi Allah sebagai sumber kebenaran & sumber puncak
pengetahuan itu sendiri. Sebab oleh iman manusia meyakini & menerima hakekat Allah. Dlm
arti yg sama dpt dikatakan bhw sesuatu yg tdk dpt diteliti dgn akal adalah obyek iman. Sebab
pengetahuan yg diterima atas landasan iman tdklah lebih rendah daripd pengetahuan yg
diperoleh dgn akal. Setdknya, kebenaran yg diperoleh dgn akal tdk akan bertentangan dgn
ajaran wahyu.
[3] Menurut Aquinas bhw qta seharusnya menyeimbangkan akal & iman; baginya akal
membantu membangun dasar-dasar filsafat Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bhw
hal itu tdk selalu dpt dilakukan krn akal terbatas. Akal tdk dpt memberikan penjelasan ttg
kehidupan kembali (resurrection). Sebab keterbatasan akal tdk dpt mampu menemukan
sumber pengetahuan itu. Sebab akal itu sendiri tdk akan mampu membuktikan kenyataan
esensial ttg keimanan Kristen. Oleh krn itu, ia brpendpt bhw dogma-dogma Kristen itu tepat
sebagaimana yg disebutkan dlm firman2 Tuhan.
Berdasarkan uraian itu qta dpt mengetahui adanya dua jalan/jalur pengetahuan dlm
filsafat Aquinas. Jalur itu adalah jalur akal yg dimulai dari manusia & berakhir pd Tuhan, &
yg kedua jalur iman yg dimulai dari Tuhan (wahyu), yg didukukung oleh akal.
[4] dgn demikian dlm filsafat Aquinas, filsafat dpt dibedakan dari agama dgn melihat
penggunaan akal. Artinya filsafat ditentukan oleh penjelasan sistematis akal, sedangkan
agama ditentukan oleh iman. Sekalipun demikian, perbedaan itu tdk begitu jelas krn
pengetahuan sebenarnya adalah gabungan dari kedua-duanya.
Aquinas mampu membagi & menjelaskan wilayah teologi – iman dgn wilayah
filsafatnya, teristimewa kedudukan rasio/ akal budi pikiran manusia dlm menjelaskan
kebenaran wahyu Allah. Bhw akal dpt memasuki wilayah iman dgn mendapatkan penerangan
ilahi Tuhan sehingga dpt menjelaskan dunia teologi secara obyektif ttg kebenaran Tuhan dlm
Kitab Suci, tanpa harus menghilangkan kebenaran wahyu Tuhan itu. dgn kata lain dunia akal
dpt menjelaskan dogma-dogma & ajaran Kitab suci dgn peggunaan daya terang ilahi utk
membuktikan eksistensi Tuhan itu sendiri. Sehingga Tuhan pd dirinya merupakan sumber
kebenaran & sumber pengetahuan itu sendiri. Sementara pd iman itu sendiri, dunia akal tdk
dpt memasukinya. Oleh krn keterbatasan akal budi manusia; sehingga dunia iman tinggal
sebagai suatu dunia yg esensinya tdk dpt di masuki oleh kebenaran lain, selain Tuhan sendiri
yg merupakan sumber kebenaran & sumber pengetahuan itu sendiri, di mana pikiran manusia
terbatas yg tdk dpt melampaui pikiran atau dunia wahyu Allah atau pikiran Allah itu sendiri.
RUMPUN DOGMATIK:
Perbuatan manusia dlm bidang kesusilaan tak boleh diperlukan spt barang mati &
terpencil, melainkan harus dipandang sebagai proses dinamis dlm hubungannya dgn
keseluruhan pribadi manusia yg di satu pihak memang mampu menentukan orientasi
hidupnya (pilihan dasar) dalm inti pribadinya, ttapidilain pihak juga berada dalm & terbatas
oleh aneka warna kondisi di dunia ini, sehingga penilaian-penilaian susila yg sangat
kompleks itu menuntut qta utk memperhatikan macam-macam faktor & penyorotan dari
berbagai sudut, terutama segi personal merupakan salah satu syarat utama utk kesusilaan
perbuatan.
Pilihan dasar & perbuatann susila (Optio fundamentalis & actusmoralis).
a. Pilihan dasar (optio fundamentalis)
Berhadapan dgn Allah mengundang manusia utk membalas cintanya & merupakan
tujuan terakhir serta kebaikan tertinggi, “mau tak mau’ manusia harus
menentukan sikapnya. Orientsi atau arah dasar hidupnya, memilih dlm inti pribadinya
Tuhan sendiri, memberikan jawaban yg dipertanggung jawabkan kepd Allah yg
menganugerahkan diriNya dlm Kristus PuteraNya secara positif.
b. Perbuatan susila (actus moralis)
1. Perbuatan susila bukan hny perbuatan bersusila atau perbuatan baik,
melainkan juga yg melawan hukum susila.
2. Perbuatan susila: perbuatan yg dilakukan oleh manusia sejauh ia
berkehendak bebas & mengetahui norma moral.
3. Sejauh perbuatan itu dilakukan manusia dgn kehdak bebas perbuatan ini
desebut (actus humanus)
4. Dlm perbuatan bukan manusia harus memilih ini atau itu, melainkan juga
secara implisit mengaktulisir pilihan dasar yg berkisar pd kebaikan-tertinggi
(summum bonum).
5. Dlm menilai perbuatan susila tdk boleh memandang perbuatan itu dlm
partikularitasnya, melainkan dlm hubungannya dgn orientasi keseluruhan hidup
pribadi manusia, sejauh mana ia menguasai perbuatannya sesuai dgn orientasi
hidupnya.
Actus hominis & actus humanus
a. Actus hominis
Actus hominis: perbuatan yg memang: dilakukanoleh manusia ttapitdk selaku manusia yg
tahu & mau secara bebas, artinya:
1. Tanpa pemakaian akal budi (krn belum dapat, misalnya bayi, org gila. pd
saat dilakukan perbuatan tdk memakai “pikiran” misal: org mabuk, tidur, dalm
hipnose).
2. Tanpa perhatian seolah-olah mendadak, tanpa dipikirkan terlebih dahulu
(kalap).
3. Tedegak, terpaksa, tertekan dari dlm & luar. Actus hominis tdk termasuk
dlm penilaian moral.
b. Actus Humanus
Actus humanus: perbuatan yg dilakukan oleh manusia yg tahu & mau secara bebeas,
sehingga ia bertanggung jawab atas perbuatannya yg dikuasai itu. dgn demikian actus
humanus praktis disamakan dgn actus moralis.
1. Syarat tahu
Pengetahuan mengenai;
a. Pelaksanaan perbuatan
b. Obyek (apa) yg dilakukan
c. Penilaian/sifat kesusialaan
Pengetahuan terjadi dlm hati nurani, maka bersifat pertimbangan & penilaian.
Pengetahuan & perhatian biasa cukup, jadi tdk perlu pengetahuan & perhatian yg
refleks.
2. Syarat “mau secara bebeas”
2 segi syarat itu:
a. Voluntarium: apa perbuatan &-akibat yg keluar dari & disebabkan oleh
kehendak pelaku yg mengenal tujuan .
b. Kebebasan: kehendak, bukan hny bebas dari paksaan luar ttapijuga bebas
dari paksaan dlm. Ini berarti; kemungkinan mengambil keputusan yg lain dari
pd sekarang diambil, sekurang-kurangnya kebebasan utk berbuat atau tdk
berbuat. Utk melakukan yg ini atau itu.
Halangan-halangan yg mempengaruhi syarat “tahu” & “mau” secara bebas. Akctus
humanus dlm pengertian negatif: yaitu dgn menyebut halangan-halangan yg dpt
mempengaruhi.
a. Halangan-halangan yg mempengaruhi syarat “tahu” : ketdktahuan (ignorantia). Ketdk
tahuan dpt dibagi berbagi pandangan:
1. Obyeknya
a. Tak tahu faktum (ignorantia facti), misalnya tak tahu bhw hari ini hari jumat.
b. Tak tahu hukum/aturannya (ignorantia iurir), misalnya tak tahu bhw hari minggu
wajib merayakan misa.
2. Subyeksnya,
a. Tak dpt diatasi, tak bersalah
b. dpt diatasi, bersalah
1. Krn lalai
2. Krn sangat lalai
3. Krn sengaja
3. Kehendak
a. Mendahului kehendak & menyebabkan perbuatan (seandainya tahu lebih dahulu,
tentu tak melakukan perbuatan itu), tak salah.
b. Mendahului kehendak, tp tdk menyebabkan perbuatan (seandainya tahu toh tetap
melakukannya), jadi ketdk tahuan yg menyertai perbuatan. Sikap tdk baik
c. Mengikuti & keluar dari kehendak, maka meruoakan ketdktahuan yg dpt diatasi,
maka bersalah.
b. halangan-halangan yg mempengaruhi syarat mau secara bebas
kehendak bebas dpt dikurangi atau bahjan dilenyapkan oleh faktor-faktor sebagai
berikut:
1. Ketdk tahuan
2. Keakutan
3. Paksaan luar
4. Hawa nafsu
5. Disposisi normal
a. Dari luar, spt lingkungan,pendidikan.
b. Dar dlm, spt temperamen, watak sifat menurun, bawaan umur, kelamin.
c. Kompleks kehidupan jiwa
d. Kebiasaan
6. Disposisi tak normal.
&&&
PERBUATAN DG AKIBAT GANDA
Perbuatan dg akibat ganda merupakan sebuah prinsip di mana tindakan manusia
memiliki 2 efek. 1. Sasaran akibat langsung dari tindakan, dan 2. Sasaran sampingan
(akibat)yang menyertai tindakan itu yang tidk dikehendaki/tidak langsung.
1. Akibat buruk dari suatu tindakan in se tidak boleh dikehendaki secara langsung
contoh : menyelamatkan nyawa ibu.....kematian bayi dalam rahimnya tidak boleh
dikehendaki secara langsung
2. Tujuan yang baik tidak menghalalkan segala cara: misalnya mematikn janin untuk
menyelamatkan nyawa ibu tidak diperbolehkan. TUJUAN YANG BAIK HARUS
DIPEROLEH DGN CARA YG BAIK PULA.
3. Harus didasarkan pada alasan yang seimbang: misalnya ada kehidupan dari dua
manusia yang sedang bersaing. Akibat buruk mungkin saja terjadi tetapi tidak dikehendaki,
Berkaitan juga dg realitas moral....berkaitan dg niat atau bukan.
B. TEMA APLIKATIF
KRISTOLOGI NO.1: BAGAIMANA MEWARTAKAN KRISTUS DALAM KONTEKS
PLURALISME AGAMA, BUDAYA, DAN KEMISKINAN DI INDONESIA?
Konteks
ASIA: Dalam dokumen FABC, para uskup mengungkapkan bahwa Gereja Asia
adalah Gereja yang hidup di tengah keragaman agama, budaya, dan kemiskinan. Ketiga aspek
ini merupakan ciri khas Gereja Asia. Ketiganya tidak dapat dipisahkan. Ketiganya saling
berhubungan antarsatu sama lain.
Agama: Asia merupakan tempat kelahiran agama-agama besar di dunia, seperti
Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Sedangkan budaya: budaya dan
tradisi telah bertumbuh dan berakar dalam kehidupan masyarakat berabad-abad lamanya.
Kemiskinan: problem kemiskinan yang melanda banyak orang di Asia adalah adanya tindak
ketidakadilan dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial. Kemiskinan yang melanda
kehidupan mereka, bukan pertama-tama karena mereka tidak mampu dan memiliki bakat
untuk mengembangkan diri. Tetapi terjadi ketidakadilan struktural dalam berbagai bidang
sosial, politik, dan ekonomi. Akibatnya orang-orang mengalami kesulitan untuk memeroleh
kebutuhan pokok, sehingga tidak mampu mencapai taraf kehidupan yang lebih manusiawi.
INDONESIA: Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi bagian dari
Benua Asia. Sama halnya dengan konteks Gereja Asia, Gereja Indonesia juga bertumbuh dan
berkembang di tengah keragaman agama, budaya, dan kemiskinan. Agama: Islam, Kristen,
Hindu, Budha, Kong Hu Chu. Budaya: setiap daerah memiliki budaya dan tradisi yang
berbeda antarsatu dengan yang lainnya. Kendati terkadang didapati persamaannya, tentu
setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Budaya dan tradisi tersebut telah
dihidupi bertahun-tahun lamanya. Kemiskinan: problem kemiskinan yang marak terjadi di
Indonesia adalah adanya tindak ketidakadilan di berbagai aspek sosial, politik, dan ekonomi.
Keberadaan Gereja Asia, terkhusus Gereja Indonesia adalah mewartakan Kristus dan
Injil-Nya. Dalam amanat perpisahan-Nya, Yesus berkata kepada para murid-Nya untuk pergi
ke seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada segala makhluk (Mrk. 16:15).
Dalam ensiklik Evangelii Nuntiandi (art. 14) diungkapkan bahwa mewartakan Injil
adalah panggilan khas Gereja dan menjadi identitas terdalam Gereja. Gereja ada untuk
mewartakan Injil.
Gereja terpanggil untuk melanjutkan pewartaan Kerajaan Allah dalam diri Yesus
Kristus demi keselamatan seluruh manusia. Dengan tugas perutusan ini, Gereja pada
hakikatnya sendiri bersifat misioner. Hal ini ditegaskan dalam ensiklik Redemptoris Misio
dari Paus Yohanes Paulus II yang menyatakan tentang amanat misioner Gereja. Dalam
ensiklik tersebut, Paus Yohanes Paulus II bermaksud memberikan ajaran tentang karya misi
sesuai dengan situasi konkret zaman ini. Tugas perutusan Gereja ini menjadi tugas perutusan
segenap umat beriman Kristiani untuk selalu mewartakan Kristus bagi masyarakat sekitarnya.
Dalam kesadaran panggilan Gereja adalah mewartakan Injil, Gereja tidak hanya
menyatakan warta Injil dalam kata-kata. Tetapi Gereja juga perlu mewujudnyatakan warta
Injil dalam kehidupan sehari-hari. Hal inilah yang disebut sebagai sebuah kesaksian hidup.
Gereja menjadi terang dan garam bagi dunia (Mat. 5:13-14).
Dialog
Dalam kesadaran Gereja Indonesia berada dalam konteks pluralisme agama, budaya,
dan kemiskinan, sikap dan tindakan yang perlu dilakukan oleh Gereja dalam upaya
menumbuhkembangkan dan mengakarkan warta tentang Kristus dan Injil-Nya adalah
DIALOG.
Sebuah upaya dialog merupakan bagian dari kehidupan masyarakat Asia. Nuansa ke-
asia-an mengutamakan sikap dan tindakan untuk saling menghormati, tenggang rasa,
toleransi dll. Sikap dan tindakan yang telah bertumbuh dalam diri masyarakat Asia menjadi
jalan yang tepat bagi Gereja dalam mewartakan Kristus dan Injil-Nya.
Dialog dengan agama, budaya, dan kaum miskin merupakan upaya yang saling
berkaitan antarsatu sama lainnya. Dengan dialog, Gereja berarti mau terbuka dengan
kebenaran-kebenaran lain yang terdapat dalam agama-agama lain dan budaya-budaya
masyarakat setempat, tanpa harus meninggalkan komitmen iman Kristiani. Gereja dapat
belajar dari agama-agama lain dan budaya-budaya lain dalam berhadapan dengan soal agama,
budaya, dan kaum miskin.
Dialog antaragama: dalam keragaman agama, dialog antaragama merupakan suatu
langkah yang tepat bagi Gereja Indonesia untuk menjalin persaudaraan dan persahabatan
dengan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Selain itu, dialog antaragama juga menjadi
sarana yang efektif bagi Gereja dalam menghayati dan mengungkapkan iman Kristiani.
Dialog dengan budaya: Gereja dapat mewujudkan dialog dengan berinkulturasi
melalui bahasa, lagu-lagu daerah, bangunan, dan kesenian budaya setempat. Hal lain pula
yang kiranya sangat penting dalam dialog Gereja dengan budaya adalah Gereja mampu
mengangkat dan memerbaharui makna dari unsur-unsur kebudayaan dalam terang Injil
sehingga dapat menjadi sebuah ungkapan iman umat. Dialog dalam budaya, Gereja berupaya
untuk menjalin relasi dan membawa warta tentang Kristus dalam budaya masyarakat
setempat, sehingga Kristus sungguh mampu dikenal dan diimani.
Dialog kehidupan: dialog ini menunjukkan bagaimana Gereja berjumpa dengan
masyarakat lain dalam kehidupan sehari-hari. Dalam FABC, dialog bersama kaum miskin
disebut sebagai dialog kehidupan. Kemiskinan di Indonesia bukan hanya menjadi momok
membelenggu masyarakat non-kristen, tetapi sebagian umat kristiani juga masih hidup dalam
belenggu tersebut. Dalam dialog tersebut, Gereja bukan hanya melayani, tetapi juga mampu
belajar dari kaum miskin. Perhatian dan pelayanan Gereja Indonesia bagi orang miskin
tampak jelas dalam karya-karya sosial dan karitatif. Karya pelayanan Gereja tersebut
dipahami sebagai bagian integral dari perjalanan mengikuti Yesus Kristus. Yesus hidup
miskin dam melayani orang-orang miskin dan tertindas, serta menyembuhkan orang yang
sakit. Dalam dialog kehidupan bersama orang miskin, Gereja bukan hanya mewartakan
Kristus dengan kata-kata, tetapi juga dalam tindakan nyata (kesaksian hidup). Oleh karena
itu, Gereja Indonesia tidak hanya terbatas melayani orang miskin, tetapi juga memberdayakan
kaum miskin, sehingga mereka menjadi pribadi yang mandiri dan mampu memenuhi
kebutuhan mereka sendiri, contohnya CU. Melalui karya ini, Gereja sungguh telah
mewartakan Kristus dalam perkataan dan tindakan nyata.
&&&&&&&&&&
Bagaimana mewartakan Kristus dlm konteks pluralisme agama, budaya, & kemiskinan
di indonesia?
Dlm konteks masyarakat Indonesia, misi Grj akan Yesus Kristus yg adalah Kerajaan
Allah diwujudkan oleh segenap umat beriman kristiani melalui dialog dgn umat beriman dari
tradisi religius lain serta budaya lain demi penghargaan thdp martabat manusia &
transformasi sosial menuju kesejahteraan semesta.
Sebagaimana terumus dlm kongres para Uskup Asia (FABC), Grj Asia adalah Grj yg
hidup di tengah situasi keanekaragaman agama (tradisi religius), keanekaragaman budaya &
kemiskinan[1]. Konteks sosial budaya & religiositas masyarakat Asia tersebut menjadi
‘lahan’ dimana benih Sabda Allah dlm Kristus disemaikan & dipupuk agar
menghasilkan buah (berdirinya Kerajaan Allah). Dlm konteks Asia, pewartaan Kerajaan
Allah berhadapan dgn realitas keanekaragaman tradisi religius, keanekaragaman budaya &
juga kemiskinan. Berhadapan dgn konteks tersebut, proses inkulturasi Injil Kerajaan Allah yg
menjadi hakikat perutusan Grj pun hendaknya ditinjau & ditegaskan kembali. Hal ini
berkaitan juga dgn pemahaman baru mengenai eklesiologi khas Asia. Hal ini masih ditambah
pula dgn karakter khas masyarakat Asia abad XXI.
Grj Indonesia adalah bagian dari Grj Asia tersebut. Keanekaragaman tradisi religius,
budaya & realitas kemiskinan pun menjadi medan hidup Grj Indonesia. Grj Indonesia hidup
dlm konteks masyarakat plural Indonesia yg masih bergelut dgn masalah-masalah moral
hidup & kemiskinan. Secara khusus, Konferensi Wali Grj Indonesia (Konferensi Para Uskup
Indonesia) telah mencoba utk mengenal keprihatinan mendasar masyarakat Indonesia awal
abad XXI ini yakni tiadanya keadaban publik. Tiadanya keadaban publik ini disebabkan krn
terjadinya kesalahan urus ruang publik & arus globalisasi-sekularisasi yg
memiskinkan[3] Tiadanya keadaban publik yg disebabkan oleh salah urus ruang publik &
arus globalisasi-sekularisasi yg memiskinkan ini menyebabkan begitu banyak keprihatinan
sosial yg melanda masyarakat Indonesia di awal abad XXI. Hal ini ditunjukkan dgn adanya
beberapa kerusakan mental bangsa krn habitus korupsi, gaya hidup konsumtif hedonis,
eksploitasi lingkungan hidup, politik sektarian, & kemiskinan struktural. Kenyataan ini tentu
menjadi ancaman bagi terjadinya perpecahan bangsa & masyarakat Indonesia.
Berhadapan dgn konteks tersebut, maka muncul beberapa pertanyaan. Bagaimana
Injil Kerajaan Allah dlm Kristus hadir & mengakar pd realitas hidup umat beriman di
Indonesia? Bagaimanakah Grj yg mewartakan Yesus Kristus yg adalah Kerajaan Allah itu
sungguh hadir menjadi garam & terang sebagai murid Kristus yg menyelamatkan?
Bagaimanakah Grj yg adalah sakramen keselamatan Allah bagi manusia ini sungguh menjadi
relevan & signifikan bagi pengembangan kesejahteraan manusiawi & rohani bagi masyarakat
Indonesia? Pertanyaan-pertanyaan berikut menjadi salah satu usaha utk meninjau &
menegaskan kembali pewartaan Kerajaan Allah bagi masyarakat khas Indonesia.
2. Mewartakan Kristus yg adalah Kerajaan Allah sebagai Hakikat Misioner Grj Sebagai
sakramen keselamatan bagi dunia, Grj terpanggil utk melanjutk an pewartaan Kerajaan Allah
dlm diri Yesus Kristus demi keselamatan seluruh manusia. dgn tugas perutusan ini, Grj pd
hakikatnya sendiri bersifat misioner. Hal ini ditegaskan dlm ensiklik Redemptoris Misio dari
Paus Yohanes Paulus II yg menyatakan ttg amanat misioner Grj. Dlm ensiklik tersebut, Paus
Yohanes Paulus II bermaksud memberikan ajaran ttg karya misi sesuai dgn situasi konkret
zaman ini. Tugas perutusan Grj ini menjadi tugas perutusan segenap umat beriman Kristiani
utk selalu mewartakan Kristus bagi masyarakat sekitarnya. Dlm konteks hidup dunia
sekarang ini, bagaimanakah amanat misioner Grj akan Kerajaan Allah dlm diri Yesus Kristus
ini dilaksanakan? Tentu hal ini memerlukan sebuah pemahaman baru mengenai misi. Misi
tdk lagi dpt dipahami sebagai sebuah usaha utk mengkristenkan org dgn cara membaptis &
memasukkan orang-orang yg telah menganut tradisi religius non-kristen ke dlm Grj. Tugas
perutusan Grj dlm mewartakan Kerajaan Allah tdk lagi dipahami sebagai sebuah usaha utk
memasukkan org dari agama/tradisi religius lokal & budaya yg bermacam-macam (plural) ke
dlm iman Kristiani, ttapilebih berperan sebagai garam & terang bagi masyarakat dgn
menghidupi nilai-nilai iman Kristen bagi perjuangan kehidupan masyarakat yg lebih baik.
1. Dialog sejati dpt dilakukan pertama-tama dgn menerima koeksistensi agama-agama lain
yg berlainan & melakukannya bukan dgn rasa kesal ttapidgn penuh kerelaan.
2. Dialog sejati mempradugakan komitmen. Dialog berarti mempersaksikan keyakinan-
keyakinan qta yg terdlm, sementara qta juga mendengarkan kesaksian-kesaksian yg
lain.
3. Dialog hny mungkin bila qta melangkah dgn penuh pengharapan utk menjumpai Allah
yg telah mendahului qta & telah mempersiapkan orang-orang di dlm konteks budaya-
budaya & keyakinan-keyakinan mereka sendiri.
4. Dialog & misi dpt dilaksanakan hny di dlm sikap kerendahan hati.
5. Dialog maupun misi harus mengakui bhw agama-agama mempunyai dunianya sendiri,
dgn poros & struktur-struktur mereka sendiri.
7. Dialog selalu menghargai suatu hal yg baru, yg membuka perspektif baru akan terjadinya
korelasional di antara hal-hal yg berbeda.[6]
Secara lebih konkret, misi sebagai dialog dpt diwujudkan ke dlm beberapa praksis dialog
yg terjadi di dlm berbagai bidang kehidupan. Dialog dipandang sebagai sarana komunikasi
satu sama lain ttg kebenaran/nilai-nilai universal bagi keselamatan manusia secara real yg
ada dlm agama-agama & tradisi religius. Dlm rangka dialog, kekhasan iman masing-masing
justru menjadi kekayaan yg dpt dibagikan kepd partner dialog serta menjadi suatu autokritik
thdp imannya sendiri. Dialog selalu merupakan eksistensi & koeksistensi. Di Indonesia,
praksis dialog dpt dilakukan dlm bidang-bidang berikut ini:
5. Tujuan dialog: Mendirikan Kerajaan Allah di Indonesia dgn semakin membawa segenap
masyarakatnya dlm memberikan penghargaan thdp martabat manusia & mengusahakan
transformasi sosial menuju kesejahteraan semesta.
Utk mendukung terjadinya dialog yg terbuka & transformatif, segenap umat beriman di
Indonesia ini perlu mengadakan pemahaman yg mendlm thdp agama masing-masing. Dlm
hal ini, iman membutuhkan pemahaman (seperti kata St. Anselmus: fides quaerens
intellectum). dgn mengadakan pemahaman lebih lanjut, kebenaran iman yg telah tertanam
dlm hati setiap org sebagai anugerah Allah ini tdk bertentangan dgn rasionalitas manusia
sehingga muncul kesadaran bhw iman selalu memihak manusia (manusiawi).[8]Dgn
melibatkan peranan akal rasional & kerjasama dgn ilmu-ilmu manusia termasuk di dlmnya
filsafat & sosiologi, segenap umat beriman diajak utk meninggalkan penghayatan iman yg
cenderung legalistis, dogmatis, & harafiah.
Usaha ini kiranya ditempatkan dlm kerangka visi yg sama dari agama-agama itu dlm
memperjuangkan keadilan & pembebasan manusia. Mengangkat harkat martabat manusia
hendaknya menjadi tugas agama-agama dlm usahanya utk selalu mendengarkan sabda Allah.
Dlm hal ini, dialog ditempatkan dlm kerangka pertanggungjawaban thdp iman masing-
masing yg otentik. dgn demikian, dialog agama memiliki dimensi liberatif, transformatif, &
humanis. Apabila hal ini semakin dipahami dlm kerangka dialog di tengah pluralitas, niscaya
Kerajaan Allah benar-benar tinggal & bergema di dlm diri setiap org demi penyelamatan
manusia. Kerajaan Allah ini semakin nyata dlm realitas masyarakat yg semakin menghargai
martabat manusia serta memperjuangkan terjadinya transformasi sosial menuju kesejahteraan
semesta.
Untuk itu nilai-nilai Injil harus dikenal oleh orang-orang dalam kebudayaan mereka.
Injil harus diakrabi oleh orang-orang. Bisa dibayangkan bagaimana orang dapat diselamatkan
jika mereka tidak dapat mengenal Injil. Memang, Gereja meyakini bahwa di luar Gereja juga
ada keselamatan. Hal itu didasari oleh kepercayaan bahwa Allah yang menghendaki
keselamatan bagi semua orang menyediakan jalan-jalan yang memadai bagi setiap orang
untuk mencapai keselamatan itu. Usaha manusia untuk mencapai keselamatan terungkap
dalam usaha manusia untuk menyempurnakan kodratnya melalui hidup membudaya (bdk. LG
16, GS 53). Mereka yang dengan sepenuh hati mencari Allah dalam hidupnya tanpa
mengenal Kristus, kemudian dikenal sebagai orang-orang Kristen anonim.
Gereja dalam imannya kepada Kristus melihat kekhasan perutusan Kristus bahwa
Dialah kepenuhan keselamatan Allah yang dilaksanakan bagi dunia. Kristuslah Penebus yang
telah dijanjikan Allah untuk menyelamatkan dunia yang telah rusak karena dosa manusia.
Karena dosa, manusia tidak dapat mengenal Allah dan kehendak-Nya secara utuh. Allah
hanya dikenal samar-samar. Karena itu mereka harus bersusah payah untuk mencapai
keselamatan. Hal itu berbeda dengan Gereja yang telah mengimani Kristus. Melalui Kristus
Gereja mengenal Allah dan keselamatan-Nya sehingga dapat hidup seturut pemahaman itu.
Karena pemahaman itu pula Gereja dalam ketaatan pada perutusan Kristus mewartakan Injil
kepada semua orang.
Dalam mewartakan Injil, Gereja berhadapan dengan orang-orang. Dalam situasi itu
perlu disadari bahwa manusia tidak dapat dilepaskan dari konteksnya. Kebudayaan
merupakan salah satu konteks yang dihadapi dalam pewartaan Injil di Asia. Ada
keberagaman budaya yang amat besar di Asia. Dalam konteks itulah iman Kristen telah lahir.
Yesus yang disebut Kristus itu sendiri adalah orang Asia (Yahudi).
Kendati demikian Gereja melihat bahwa Kristus dianggap seolah-olah orang asing
bagi Asia. Hal itu dipahami mengingat kekristenan, walau lahir di Asia, tumbuh dan besar di
Eropa. Kristus yang diimani itu kemudian sangat bercita-rasa Eropa. Kristus Eropa, itulah
yang kemudian diwartakan oleh para misionaris sehingga Kristus seolah-olah asing bagi
Asia. Hal ini diungkapkan tanpa mengurangi rasa hormat pada para misionaris yang telah
mengabdikan hidupnya untuk mewartakan Injil. Situasi “asing” ini tentunya tidak kondusif
bagi pewartaan Injil. Hal asing cenderung ditolak.
Dalam kesulitan itu Gereja dapat belajar dari para pewarta awali, seperti rasul Paulus
yang berdialog dengan nilai-nilai filosofis, kultural, religius para pendengarnya. Dalam
dialog terungkap usaha Gereja untuk memahami nilai-nilai setempat sehingga metode
pewartaan dapat dilaksanakan sesuai dengan nilai-nilai setempat. Dengan demikian nilai-nilai
Injil tidak menjadi asing bagi masyarakat setempat.
Perlu diingat juga bahwa setiap kebudayaan mencakup suatu sistem hidup bagi suatu
masyarakat. Di dalamnya terungkap kerinduan dan usaha-usaha masyarakat tersebut untuk
menjawab kerinduan-kerinduan itu dan pemenuhan kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Karena itu mengenal dan memahami budaya merupakan sarana yang tepat untuk kemudian
mewartakan Kristus. Dalam kerangka itu Kristus menjadi jawaban atas kerinduan dari
kebudayaan itu dan arah hidup masyarakat setempat.
Dari pemaparan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Injil terintegrasi dalam
kebudayaan itu penting. Yang dimaksud terintegrasi adalah nilai-nilai Injil yang menjadi jiwa
bagi kebudayaan. Nilai-nilai Injil itu tidak hanya hadir dalam bentuk eksternal kebudayaan.
Misalnya penggunaan Rosario atau salib sebagai orang Kristen. Tentu penggunaan hal itu
tidak ditolak. Namun integrasi yang dimaksud harus menyentuh cara hidup dan nilai-nilai
yang dihayati. Itulah inkulturasi Injil yang sejati. Inkulturasi itu sendiri merupakan proses
sebab menyangkut hidup dan berlangsung dalam hidup. Usaha menghayati nilai-nilai Injil
berlangsung dalam hidup dan terwujud dalam berbagai penegasan dalam hidup. Karena itu
inkulturasi disebut sebagai suatu proses.
Untuk sampai pada proses tersebut, pertama nilai-nilai Injil harus dikenal oleh
masyarakat setempat. Karena itu dibutuhkan suatu penerjemahan (translasi) nilai-nilai Injil
dari pewarta kepada para pendengar. Penerjemahan awal biasanya dengan menerjemahkan
doa-doa dasar atau Injil ke dalam bahasa setempat. Penerjemahan itu biasanya dilakukan oleh
orang yang berasal dari luar (outsider) masayarakat budaya setempat. Karena itu
kemungkinan salah paham atas rasa dan budaya setempat sangat besar. Untuk mengurangi
itu, penerjemah bisa mempelajari dan memahami konsep-konsep setempat sebagaimana
orang setempat memahaminya (pendekatan emik) terlebih dahulu sebelum menerjemahkan.
Penerjemahan akan sangat baik dilakukan oleh penduduk setempat yang memahami nilai-
nilai Injil dan nilai-nilai setempat (insider).
Selanjutnya dalam penghayatan iman harus diperhatikan tiga kutub: nilai-nilai Injil,
Tradisi Gereja, dan kebudayaan setempat. Ketiga kutub tersebut harus senantiasa didialogkan
sehingga nilai-nilai Kristiani dapat senantiasa menjadi jawaban bagi hidup masyarakat
setempat dan kebudayaan setempat dapat senantiasa berada dalam kesatuan keselamatan yang
diadakan Kristus melalui Gereja semesta.
Liturgi: liturgi merupakan sumber dan puncak kehidupan dan misi Kristen.
Khususnya di Asia yang berhadapan dengan berbagai agama, yang juga getol dalam
mengungkapkan imannya dalam perayaan-perayaan keagamaan dan ibadat, liturgi menjadi
bidang yang penting. Inkulturasi dalam liturgi harus lebih dari sekedar lambang-lambang dan
upacara-upacara budaya tradisional. Perlu juga dihindarkan perayaan yang bersifat show
belaka, duniawi, konsumeristis. Liturgi adalah perayaan iman Gereja. Liturgi merupakan
ungkapan kesatuan Gereja. Karena itu tidak dapat ditetapkan sekehendak hati melainkan
senantiasa disesuaikan sehingga sungguh mengungkapkan iman Gereja.
Sabda sebagai sarana dan pokok pewartaan: dalam pewartaan Injil, yang
diwartakan adalah Sabda itu sendiri. Di dalamnya, Allah mewahyukan diri dan menyatakan
kehendak-Nya. Karena itu Sabda itu sendiri perlu dipahami oleh orang-orang. Atas dasar
pemahaman itu Gereja melihat perlunya dukungan untuk menerjemahkan Kitab Suci. Teks
yang sesuai dan dipahami masyarakat setempat kiranya menjadi sarana untuk mengenal
Allah. Teks yang dibaca dan dihidupi itu kemudian menjiwai hidup sehari-hari. Karena itu
penting juga digalakkan kursus-kursus Kitab Suci sehingga umat semakin memahami Sabda.
Teks yang sesuai dengan masyarakat setempat bahkan mungkin dibaca oleh umat beragama
lain. Teks Alkitab sendiri banyak yang berbentuk naratif yang sesuai dengan kultur Asia.
Pembinaan para pewartaa Injil: Inkulturasi harus dimulai dalam pembinaan para
pewarta Injil sebab melalui merkea Injil akan diwartakan kepada banyak orang. Pembinaan
para pewarta Injil dengan demikian tidak dapat lepas dari konteks budaya Asia, selain juga
mendalami ilmu Kitab Suci dan patrisitik serta mendalami warisan teologis dan filosofis
Gereja. Para formator hendaknya juga mengusahakan formasi rohani dan doa yang sesuai
dengan jiwa Asia sehingga memampukan para formandi menghayati imannya dan
mewartakannya sesuai konteksnya. Gereja juga memperhatikan pembinaan mereka yang
masuk dalam lembaga hidup bakti. Dengan penghayatan iman yang sesuai dengan rasa-
budaya setempat, mereka dapat melakukan pelayanan Injil sesuai dengan konteksnya. Secara
luas Gereja melihat bahwa inkulturasi tidak sebatas pada klerus saja, melainkan juga bagi
segenap umat beriman. Hal itu terjadi karena iman dihidupi oleh segenap umat beriman.
Hanya dengan keterlibatan seluruh Gereja, Injil dapat diwartakan sekaligus diinkulturasikan,
diintegrasikan dalam kebudayaan setempat dengan baik.
@@@@@
Persoalan inkulturasi Gereja di Asia
Gereja, sebagai perkumpulan umat beriman yang percaya kepada Yesus dalam
persekutuanNya dengan Allah Bapa dan Roh Kudus, ada dalam dunia dan menjalankan
misinya untuk menghadirkan Kerajaan Allah (Bdk. LG, art.5). Dalam pertemuannya dan
relasinya dengan dunia, Gereja berusaha untuk tetap menghadirkan wajah Kristus di tengah
tantangan dunia yang mengelilinginya. Menghadapi hal tersebut, Gereja tetap berusaha
menyampaikan penghargaan terdalam kepada tradisi-tradisi lain, dan berusaha menjalin
dialog yang tulus dengan para penganutnya. Nilai-nilai religius yang diajarkan oleh tradisi-
tradisi tersebut bukannya menghilangkan nilai Injil, melainkan melalui ajaran-ajaran tersebut
menambahkan pemenuhan mereka dalam Yesus Kristus.
Dengan hadirnya Gereja di tengah dunia, maka ia pun mengemban misi untuk
menyebarkan kabar gembira ke seluruh dunia, seperti yang telah diperintahkan oleh Yesus
sendiri: "Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mat 16:15).
Pewartaan Kabar Gembira tersebut dapat dirasakan hingga saat ini oleh seluruh umat manusia
di penjuru belahan dunia, salah satunya adalah di Asia.
Benua Asia merupakan benua yang terluas di muka bumi ini. Benua ini dihuni oleh
hampir duapertiga penduduk dunia. Dengan keadaan seperti itu, tak dapat dipungkiri bahwa
benua ini memiliki keragaman bangsa dengan budaya-budaya yang telah diwariskan dari
jaman ke jaman. Kita perlu mengingat bahwa Asia merupakan kawasan kelahiran agama-
agama besar dunia, yaitu Yudaisme, aama Kristiani, Islam dan Hinduisme. Di benua ini pula
lahir pula berbagai tradisi rohani lainnya, misalnya: Budhaisme,Taoisme, Konfusianisme,
Zoroatrianisme, Shintoisme, dan masih banyak lagi. Di dalamnya, iman masyarakat berbaur
pula dengan agama-agama tradisional, suku-suku, pada berbagai tingkatan ajaran religius
ritual dan formal yang terstruktur.
Dengan kenyataan seperti itu tantangan Gereja semakin berat dan rumit. Gereja harus
menghadapi cakrawala budaya yang begitu beraneka ragam dan berubah dengan cepat.
Masyarakat dunia, khusunya di Asia, pada umunya sedang mengalami persoalan kultural
yang tak pernah terjadi sebelumnya. Di sini Tugas Gereja adalah berusaha untuk
menterjemahkan dan mengartikulasikan pesan Kristiani dalam bahsa orang-orang yang
sejaman. Dalam proses tersebut, perlu pula dilihat bahwa pewartaan Kristiani ini ditujukan
kepada manusia dan bukan kepada para malaikat.[1] Dengan kata lain, pewartaan ini harus
mencakup manusia sutuhnya, jiwa dan badan, bukan hanya jiwanya saja. Sehubungan dengan
itu, Gereja harus menjadi locus theologicus,artinya bahwa Gereja harus tetap menjadi sumber
di mana para jemaat dapat menghayati imannya dan tempat di man umat dapat menimba
iman Gereja itu sendiri yang benar dan sejati. Dalam pewartaannya di dunia, ia harus tetap
menjadi sebuah tanda dan sarana keselamatan.
Gereja di Asia adalah salah satu locus theologicus. Di dalamya kita dapat menggali
nilai-nilai Kristiani awali yang berguna bagi perkembangan iman jemaat. Perbedaan budaya,
suku bangsa, dan ajaran-ajaran yang ada bukanlah menjadi halangan untuk mendatangkan
Kerajaan Allah di dunia ini. Sebaliknya, melalui keberagaman tersebut diharapkan dapat
memperdalam iman kita akan Yesus Kristus. Dengan kata lain, inkulturasi perlu
dikembangkan sejauh hal itu membantu jemaat dalam hidup menggereja dan hidup beriman.
Tulisan ini hendak mengetengahkan gambaran umum Gereja di Asia, terlebih dilihat
dalam konteks inkulturasinya. Gambaran ini bukan semata interpretasi penulis sendiri,
melainkan dalam terang Dokumen Konsili Vatikan II. Di awal akan dipaparkan tentang
terjadinya Gereja Asia sebagai karya Roh Kudus. Selanjutnya, ditampilkan gambaran Gereja
di Asia terkait dengan konteks, serta gambaran inkulturasi yang ada di dalamnya. Di akhir
tulisan ini akan ditampilkan refleksi serta relevansi praktis bagi hidup beriman dewasa ini.
Gereja di Asia: Karya Roh Kudus[2]
Pada jaman sekarang, terdapat kekeliruan dalam memandang Gereja, terlebih
mengenai asal-usulnya. Kebanyakan orang atau jemaat non-Kristiani menganggap bahwa
Gereja itu merupakan bentukan dari budaya Barat, khususnya budaya Eropa. Inilah kenyataan
yang terjadi. Yesus Sang Pendiri Gereja itu sering dianggap seolah-olah asing bagi Asia.
Terjadi sebuah paradoks, bahwa jemaat Kristiani di Asia sendiri cenderung menganggap
Yesus, yang sebenarnya lahir di daerah Asia (Yudea), bukan lahir di Asia. Kebanyakan umat
lebih meihatNya sebagai tokoh Barat. Hal ini tak dapat dilepaskan dari peran para misionaris
Barat yang membawa serta budayanya masuk ke dalam daerah yang didatanginya.
Peran Roh Kudus dalam keberadaan Gereja di Asia sangatlah vital. Roh Kudus ialah
roh Allah sendiri yang memberi hidup. Karya penyelamatan oleh Yesus terjadi dalam jalinan
misteri Tritunggal. Roh Kudus menjadi daya penggerak hidup. Hal ini nampak dalam karya
penciptaan. Roh Kudus hadir sejak saat pertama penciptaan, dan kekuatannya tersembunyi
dalam sejarah penyelamatan selanjutnya.
Roh Kudus yang di masa lalu bergerak menjelajahi Asia pada jaman para bangsa dan
para nabi, hingga jaman Yesus serta para muridNya, kini kembali bergerak di tengah umat
Kristiani modern di antara bangsa-bangsa, kebudayaan, dan agama di benua itu.[3] Di
dalamnya terdapat dialog cinta kasih yang terjadi antara Allah dan manusia disiapkan oleh
Roh dan dilaksanakan di tanah Asia dalam misteri Kristus. Demikian pula dialog yang terjadi
antara Sang Penyelamat dan Bangsa-bangsa di Asia masih berlangsung berkat Roh Kudus itu
juga. Roh menghimpun menjadi kesatuan segala macam orang, beserta adat-kebiasan,
sumber-sumber daya alam dan bakat kemampuan mereka yang berlainan, seraya menjadikan
Gereja tanda persekutuan seluruh umat manusia di bawah Kristus sebagai kepala.[4]
Gereja di Asia: Konteks dan Inkulturasinya
Dewasa ini, inkulturasi menjadi bahan perbincangan yang cukup serius dalam
kehidupan iman Kristen. Berbicara tentang inkulturasi, berarti terkait dengan interaksi antara
masalah iman dan budaya. Inkulturasi ini dipopulerkan oleh para misionaris yang bermisi ke
daerah-daerah baru guna menyebarkan ajaran-ajaran iman Kristen. Ada dua bentuk disposisi
misi yang menjadi perhatian dalam berinkulturasi. Di satu pihak, iman harus diwartakan ke
seluruh dunia, dan di sisi lain budaya setempat juga harus tetap dilestarikan. Dengan kata lain
proses inkulturasi ini tidak sekedar usaha menyebarkan iman, tetapi bagaimana iman itu
dapat diterima tanpa menghilangkan budaya setempat.
Berbagai pendapat mencoba mengartikulasikan hal ini agar menjadi jelas apa yang
sebenarnya menjadi tujuan inkulturasi itu sendiri, dan metode apa yang relevan guna
mencapai tujuan tersebut. Salah satu contoh tokoh yang mencoba mendekati persoalan ini
adalah Michael Amalados (, seorang imam Yesuit. Mereka berdua mencoba menunjukkan
metode-metode dalam berinkulturasi sesuai dengan konteks yang dihadapi. Pendekatan yang
dilakukan oleh Amalados ini bertitik tolak pada konteks Gereja Asia, secara khusus Gereja di
India.
Dalam metode pendekatannya terhadap inkulturasi, Amalados mendasarkannya pada
Sabda Tuhan sendiri (Bdk. DV,art. 10). Meskipun kelihatannya terdapat dua titik pendasaran,
isi serta metode berinkulturasinya tetap sama. Keduanya sama-sama menegaskan bahwa
dalam berinkulturasi, budaya lokal harus diangkat. Hal ini menimbulkan kesadaran bahwa
kristianisme bukan menjadi milik budaya tertentu, dengan demikian tidak boleh menjadi
monopoli dan dominasi satu kelompok. Dari sini pula dapat diyakini bahwa Allah mengajak
semua manusia untuk melaksanakan kehendak-Nya.
Dalam konteks Asia, kita dapat melihat adanya dua elemen utama yang diwartakan
dalam terang Injil. Dua elemen itu adalah kemiskinan dan religiositas.[6] Jika Injil tidak
diwartakan sebagai suatu kabar gembiran tentang pembebasan dari kemiskinan dan
penindasan, sebagaimana suatu bentuk pemenuhan spiritual pribadi, Injil tidak akan
diperhatikan dan tak memiliki daya lagi. Kerajaan yang diwartakan dan dijanjikan dalam Injil
merupakan suatu persahabatan dari kelompok manusia yang memiliki persamaan hak,
tentang kasih dan pelayanan, tentang keadilan dan mengungkapkan pendapat. Tujuan ini bisa
tercapai tidak hanya melalui suatu perubahan struktur-struktur yang ada. Dalam prosesnya,
Gereja perlu melalui suatu perubahan, dalam diri individu-individu dan kelompok, yang
memimpin mereka untuk bertumbuh dan membebaskan diri dari belenggu penderitaan.
Gereja di Asia: “Kolaborasi“ Spiritualitas
Salah satu bentuk penghayatan spiritualitas Kristiani nampak dalam Ibadat.[7] Ibadat
merupakan suatu perayaan yang dihadiri oleh sekumpulan orang beriman sebagai saat yang
paling penting dalam hidup dan perkembangan setiap individu dan kelompok secara
keseluruhan. Inilah ciri dari Gereja. Ini adalah ungkapan iman dan hidup mereka, dalam
bentuk simbolis yang memiliki arti sebagai sarana yang ingin menghadirkan kembali misteri
yang mengawali dasar kehidupan mereka. Dalam konteks ini diperlukan dua bentuk
pendekatan.[8] Pertama, kita harus melihat serta membedakan unsur pembedaan dan
persamaan dari bentuk perayaan sakramental dalam Gereja, dan kita harus membuat bentuk
perayaan baru yang difokuskan pada bentuk yang seragam. Kedua, kita harus memberikan
pemaknaan baru bagi kehidupan orang kristiani yang memiliki perayaan nasional dan
musiman, serta berbagai bentuk perayaan lain dalam masyarakat. Selain itu kita juga harus
terbuka terhadap perkembangan bentuk-bentuk ibadat yang baru oleh Konsili Vatikan II.
Relevansi
Berinkulturasi berarti membangun sebuah Gereja lokal yang hidup, yang otentik.Yang
menjadi masalah dengan kebanyakan Gereja Asia adalah bahwa mereka merupakan Gereja-
Gereja lokal yang masih butuh diinkulturasikan. Inkulturasi kemudian menjadi semakin sukar
dan menemui rintangan-rintangan psikologis dan sosiologis yang sungguh-sungguh tidak
berhubungan dengan Injil atau Gereja.
Salah satu hal penting yang dapat kita gali lebih dalam untuk inkulturasi ini adalah
melalui liturgi. Liturgi merupakan sumber dan puncak segala perikehidupan dan misi
Kristiani. Di dalamnya sangat menentukan bagi pewartaan Injil, khususnya di Asia. Dalam
hal ini inkulturasi Liturgi tetap diminta untuk lebih memusatkan perhatian pada nilai-nilai
iman dalam lambing serta upacara budaya tradisional.
Tugas paling penting untuk Gereja di Asia sekarang adalah menciptakan suatu
suasana dimana Gereja-Gereja lokal dapat berbela rasa dan menjadi bebas dan bertanggung
jawab atas kehidupan mereka dalam semua aspeknya. Setelah berabad-abad dengan
keseragaman yang kaku, hal ini tidak mudah untuk dilakukan. Tetapi tanpa suasana
demikian, Gereja-Gereja lokal tidak akan bertumbuh. Mengakui keberadaan budaya lokal
yang mempunyai kekuatan untuk merevisi ajaran dan arah Gereja. Dalam hal ini perlu diingat
bahwa Roh Kuduslah yang membimbing kita pada seluruh kebenaran, yang memungkinkan
dialog yang subur dengan nilai-nilai budaya yang religius pada berbagai bangsa.
Pertemuan antara iman dan budaya lain yang ada dalam suatu daerah memang dapat
menimbulkan resiko besar, hingga pertumpahan darah. Namun bila inkulturasi tidak berani
mengambil resiko, inkulturasi akan stagnan, mandeg, dan bila berhenti maka inkulturasi tidak
relevan lagi. Sama halnya ketika penulis menilik kembali inkulturasi yang terjadi di tanah
Jawa ini, belum banyak proses inkulturasi yang berhasil, dan akan selalu menuai kritikan.
Malahan proses inkulturasi yang ada menjadikan penduduk pribumi menjadi “Londo Ireng”.
Memang bila dilihat, pandangan akan inkulturasi ini lebih mengarah pada sebuah
teologi pembebasan, jadi harus menyentuh pada dasar budaya tersebut guna memunculkan
kebenaran iman. Kelemahan dari sistem ini adalah akan memunculkan ekstrimis spiritualis
pada suatu budaya, sehingga mengklaim diri sebagai yang paling benar dan semua ajaran
harus berakar dari situ. Namun yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa inkulturasi
bukanlah tujuan dari evangelisasi, melainkan inkulturasi itu merupakan evangelisasi tersebut.
Maka bagaimana sekarang Inijl tersebut, yang merupakan kabar gembira, dapat diterima oleh
seluruh umat manusia, dan bagaimana pula kebaikan Injil tersebut dapat diterjemahkan di
tengah-tengah pluralitas budaya, suku dan bangsa di dunia ini. Inilah misi dari inkulturasi
yang sebenarnya.
Perayaan Ekaristi merupakan puncak & pusat dari setiap sakramen. Sakramen
Perkawinan merupakan salah satu perayaan dari ketujuh sakramen lainnya yg diterima Grj &
dirayakan bersamaan dgn Perayaan Ekaristi. Penulis memilih tema ini sebagai tema pilihan
yg dibahas dlm paper krn antara Perayaan Sakramen Perkawinan & Perayaan Sakramen
Ekaristi memiliki keterkaitan yg sangat erat. Di manakah letak keterkaitannya?
Keterkaitan antara kedua sakramen itu terletak pd: a) Keduanya sama-sama merayakan
kesetiaan. Dlm Perayaan Sakramen Ekaristi Grj merayakan & mengenangkan sekaligus
diajak utk setia pd kehendak Allah, spt Kristus yg setia & taat pd kehendak BapaNya sampai
wafat di Salib. b) pd saat kedua mempelai menyampaikan janji setia thdp pasangannya, maka
pd saat itu pula keduanya menyatakan kesetiaan seumur hidup. Janji itu diwujudkan melalui
hidup bersama, saling membahagiakan, saling melayani & rela berkorban demi pasangannya
utk seumur hidup.
Agar memudahkan dlm memahami paper kecil ini, kami membahas secara lebih
sistematis, yaitu:Pengantar, Dasar-dasar Sakramen Perkawinan (Dasar Biblis-Teologis,
Dasar Liturgis, Dasar Pastoral), Struktur Dasar Tata Perayaan Ekaristi Sakramen
Perkawinan, Tata Perayaan Ekaristi Sakramen Perkawinan, & Penutup.
I. DASAR-DASAR SAKRAMEN PERKAWINAN
1.1 DASAR BIBLIS - TEOLOGIS SAKRAMEN PERKAWINAN
A. Dasar Biblis
Kitab Suci memberikan dasar atau landasan utk menggali lebih dlm maksud &
tujuan dari sakramen perkawinan. Dua teks pokok dlm Perjanjian Lama yg menjadi rujukan
utk membicarakan hubungan laki-laki & perempuan dlm ikatan perkawinan adalah Kej 1,26-
30 & Kej 2,18-25[1]. Dlm Kej 1,26-30 disebutk an bhw hakekat sebuah perkawinan adalah
kebersatuan antara seorang pria & wanita yg diberkati oleh Allah sendiri & mendapat tugas
bersama utk meneruskan generasi manusia serta memelihara dunia. Tekanannya adalah
tujuan prokreasi. Dasar dari tujuan perkawinan kristiani, yakni sikap keterbukaan thdp
keturunan.
Kej 2,18-25 memberi tekanan pd kesatuan hidup suami & istri dlm ikatan perkawinan.
Perkawinan: persatuan erat antara seorang pria & wanita, atas dorongan Allah sendiri, yg
mendorong suami utk meninggalkan ayah & ibunya serta bersatu hidup dgn istri sehingga
keduanya menjadi satu manusia baru. Tekanannya: tujuan kebersamaan dari seluruh hidup.
Inilah yg juga menjadi salah satu tujuan perkawinan kristiani.
Keberadaan laki-laki & perempuan dipandang sebagai anugerah & kehendak Sang
Pencipta (Kej 1,27; 5,2). Sejak awal laki-laki & perempuan diciptakan oleh Allah sebagai
manusia yg dipanggil utk saling membutuhkan, & bahkan utk hidup bersama (Kej 2,21-24).
Dlm Perjanjian Lama, perkawinan dilihat sebagai yg dikehendaki oleh Allah sendiri.
Perkawinan melambangkan sejarah hubungan antara Yahwe & umat-Nya Israel[2].
Perjanjian Baru mengungkapkan makna luhur dari perkawinan. Yesus sendiri sangat
menghargai perkawinan & menolak perceraian. Bagi Yesus, kesetiaan mutlak itu adalah
hakikat perkawinan sebagaimana dikehendaki oleh Allah. Injil Matius mengungkapkan ajaran
Yesus melalui sabda-Nya, oleh Krn ketegaran hatimu, Musa mengizinkan km menceraikan
istrimu, ttapi sejak semula tdklah demikian� (Mat 19.8). Hal ini semakin menegaskan
bhw sejak semula kesetiaan yg tak terputuskan merupakan esensi hidup perkawinan. Akan
tetapi, berpijak dari kutipan Injil Matius muncul beberapa penafsiran mengenai kata
“zina� yg belum jelas & tegas artinya. Ada kemungkinan kata
“zina� merupakan tambahan dlm jemaat Matius yg mau bersikap terbuka thdp
perasaan org Yahudi yg kiranya tdk bisa membaygkan utk tdk menceraikan seorang istri yg
tdk setia. Jawaban yg mendekati kepastian ttg tafsiran kata “zina� yaitu menunjuk pd
keprihatinan Yesus akan makna kesetiaan mutlak dlm perkawinan.[3]
Paulus memiliki pandangan yg agak berlainan dgn penulis Injil Matius. Di satu sisi
Paulus tdk menganjurkan perkawinan sebagai pilihan utama dlm hidup (1Kor 7,7), akan
ttapidi lain sisi Paulus sangat menghargai perkawinan. Paulus menegaskan pd jemaatnya bhw
perintah Yesus agar org yg telah menikah tdk bercerai (1Kor 7,10-11). Akan tetapi, Paulus
juga terbuka pd berbagai persoalan yg terjadi dlm perkawinan. Salah satu tanggapannya
adalah memperkenankan adanya perceraian dari org kristiani yg menikah dgn org yg non-
kristiani dgn syarat-syarat tertentu.
Perkawinan kristiani bukan hny merupakan tanda hubungan antara Kristus & Grj-
Nya, melainkan kehidupan bersama dlm perkawinan ikut ambil bagian dlm misteri agung
dari kasih Kristus yg tak terputuskan dgn Grj -Nya[4]. Jadi, cinta kasih antara Kristus & Grj
-Nya kini hadir & terpantul dlm cinta kasih suami-istri dlm sakramen perkawinan[5].
Konsili Trente dlm sidangnya sessi ke XXVI, 11 Nopember 1563, menegaskan
tempat perkawinan dlm tradisi hidup Grj . Perkawinan antar org kristiani adalah sakramen
Perjanjian Baru & merupakan salah satu dari tujuh sakramen perjanjian baru yg diadakan
oleh Kristus sendiri. Konsili menyatakan bhw cinta kasih suami istri kodrati itu
disempurnakan, persatuan yg tak terceraikan dikokohkan & suami-istri sendiri dikuduskan
dgn rahmat yg melimpah dari sengsara Kristus. dgn demikian dpt dikatakan bhw justru krn
rahmat yg melimpah dari sengsara Kristus, perkawinan kristiani menjadi tanda kehadiran
Kristus di dunia. Krn daya rahmat itu, di dlm Kristus perkawinan kristiani menjadi tanda
aktual bhw Allah tetap setia hadir & menguatkan hidup manusia.
Paus Leo XII dlm ensiklik Arcanum, menegaskan bhw: 1) sebagai lembaga kodrati,
perkawinan sudah mempunyai nilai sakramental dlm arti umum, yaitu mewujudkan
hubungan kasih dgn Allah, & 2) perkawinan kristiani diangkat menjadi sakramen. Nilai
sakramentalnya tdk hny dlm arti pasif, yaitu menerima rahmat dari Kristus, melainkan juga
dlm arti aktif, yaitu ambil bagian dlm rahmat Kristus membaharui dunia & membentuk karya
keselamatan.
Paus Pius XI, dlm ensiklik Casti Connubii, menegaskan bhw cinta kasih sendiri dpt
dikatakan sebagai dasar & alasan utama & pertama bagi perkawinan yg dimengerti secara
luas yg dlm dirinya sendiri mengandung semua kewajiban dlm hidup berkeluarga. Namun
perkawinan kristiani merupakan lembaga ilahi yg dibangun oleh Allah sendiri dlm Kristus.
Sebagai lembaga ilahi, perkawinan kristiani mempuyai sifat tak terceraikan.
Kendati perkawinan kristiani merupakan institusi ilahi, kehendak bebas manusia turut
ambil bagian di dlmnya merupakan bagian yg menentukan
sebab consensus matrimonialis bukan soal perasaan senang ttapilebih-lebih soal kehendak
mantap utk saling menyerahkan diri & menerima jodoh secara total menyeluruh dgn segala
keunikan masing-masing.
Konsili Vatikan II, di dlm Gaudium et Spes (GS) artikel 48 menegaskan :
“keluarga kristiani, krn berasal dari pernikahan, yg merupakan gambar & partisipasi
perjanjian cinta kasih antara Kristus & Grj , akan menampakkan kepd semua org kehadiran
Sang Penyelamat yg sungguh nyata di dunia & hakekat Grj yg sesungguhnya, baik melalui
kasih suami-istri, melalui kesuburan yg dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan &
kesetiaan, maupun melalui kerjasama yg penuh kasih antara semua anggotanya.
C. Refleksi Teologi
Refleksi Teologis ttg perkawinan akan dijelaskan dlm 4 bagian: Perkawinan sebagai
panggilan Allah, Perkawinan sebagai ikatan sakramental, perkawinan sebagai sel Grj ,
perkawinan sebagai tanda ekastologis kasih Allah.
1. Perkawinan sebagai panggilan Allah
Perkawinan merupakan salah satu bentuk panggilan kehidupan utk menggapai
kesucian & kekudusan yg menjadi panggilan semua org beriman (bdk. LG 40 & 41). Maka
menjadi jelas bhw kehidupan bersama dlm ikatan perkawinan merupakan suatu karunia yg
istimewa, baik bagi pasangan & keluarga mereka maupun bagi seluruh Grj yg kudus.
Melalui sakramen perkawinan, Allah menganugerahkan keluarga baru kepd Grj , di mana
iman kristiani dihayati & diteruskan.
Keluarga dilihat sebagai Grj -keluarga dlm LG 11. Krn itu, Konsili Vatikan II
memahami bhw persekutuan umat beriman dlm keluarga sendiri sudah merupakan Grj yg
benar & sungguh-sungguh. dgn sebutan Grj -keluarga, keluarga yg dibangun dari suatu
perkawinan sakramental melambangkan & menghadirkan Grj Yesus Kristus sendiri dlm
konteks hidup sehari-hari di tengah masyarakat. Maka, keluarga-keluarga kristiani ditantang
utk terus-menerus memberikan kesaksian hidup sebagai murid-murid Kristus agar terang
Kristus semakin bercahaya di dunia ini.
Persekutuan org beriman dari dua org yg saling mengikat perjanjian utk hidup
bersama dlm nama Tuhan tentulah suatu persekutuan yg di dlmnya Tuhan sendiri hadir. Dlm
ikatan perkawinan itu, Yesus Kristus hadir & menyelamatkan mereka. Kehadiran Kristus dlm
keluarga adalah kehadiran pribadi & seluruh karya penebusan-Nya, di situlah misteri
Kerajaan Allah dilaksanakan & mendapat wujudnya. Misteri Kerajaan Allah adalah misteri
kasih Allah sendiri yg ingin menyelamatkan & mengumpulkan seluruh umat manusia dlm
keluarga Allah yg kudus. Di sinilah keluarga kristiani yg dibangun atas dasar ikatan sakramen
perkawinan diutus utk menghadirkan tanda kasih Allah yg tak terputuskan itu bagi
masyarakat di sekitar, sambil ikut berperan dlm proyek Kerajaan Allah hingga
pemenuhannya di akhir zaman.
Keluarga Berendana adalah usaha untuk mengontrol jumlah dan jarak antara kelahiran
anak. KB dibedakan menjadi dua, yaitu KB Alami dan KB Buatan:
KBB :
Dengan “buatan” dimaksudkan yang tidak “alamiah” dan ditolak oleh Gereja, meskipun
banyak orang sulit memahami penolakan ini.
KBA:
Ini soal metode, bukan soal prinsip KB. Metode KB alamiah mengalami perkembangan. Dari
metode kalender (Ogino-Knaus) sampai Metode Ovulasi Billings dengan pelbagai
modifikasinya. .
A. METODE KALENDER (Ogino-Knaus)
· Tehnik Metode Kalender
Seorang wanita menentukan masa suburnya dengan:
a. Mengurangi 18 hari dari siklus haid terpendek, untuk menentukan awal dari masa
suburnya.
b.Mengurangi 11 hari dari siklus haid terpanjang, untuk menentukan akhir dari masa
suburnya.
Efektivitas Metode Kalender
Angka kegagalan: 14.4 – 47 kehamilan pada 100 wanita per tahun.
B. METODE SUHU BASAL (Termal)
Teknik Metode Suhu Badan Basal :
Umumnya digunakan untuk termometer khusus dengan kalibrasi yang di perbesar (basal
termometer), meskipun termometer biasa dapat juga dipakai. Waktu pengukuran harus pada
saat yang sama setiap pagi dan setelah tidur nyenyak sedikitnya 3-5 jam serta masih dalam
keadaan istirahat mutlak.
a) Oral (3 menit)
b) Rektal (1 menit)
c) Vaginal
· Efektifitas Metode Suhu Basal
Angka kegagalan : 0.3 - 6.6 kehamilan pada 100 wanita per tahun.
Kerugian utama metode suhu badan basal ialah bahwa abstinens sudah harus
dilakukan pada masa pra-ovulasi.
C. METODE LENDIR SERVIKS (Billings)
Dasar
Perubahan siklis dari lendir serviks yang terjadi karena perubahan kadar estrogen.
Peranan Lendir Serviks.
Lendir serviks yang diatur oleh hormon estrogen dengan progesterone ikut berperan
dalam reproduksi.
Pada setiap siklus haid di produksi 2 macam lendir serviks oleh sel-sel serviks, yaitu:
Lendir Type-E (Estrogenik):
a. Di produksi pada fase akhir pra-ovulasi dan fase ovulasi
b. Sifat-sifat:
1) Banyak, tipis, seperti air (jernih) dan viskositas rendah.
2) Spinnborkeit (elastisitas) besar. Spinnbakeit = sampai seberapa jauh lendir dapat
diregangkan sebelum putus.
3) Bila dikeringkan terjadi bentuk seperti daun pakis (fernlike patterns, farning,
arborization).
4) Spermatozoa dapat "menembus" lendir ini.