You are on page 1of 5

MATERI REVOLUSI BELAJAR

GAYA BELAJAR

Gaya belajar merupakan suatu kombinasi dari bagaimana siswa menyerap, kemudian mengatur
serta mengolah informasi. Gaya belajar bukan hanya berupa aspek ketika menghadapi informasi, melihat,
mendengar, menulis dan berkata tetapi juga aspek pemrosesan informasi sekunsial, analitik, global atau
otak kiri otak kanan, aspek lain adalah ketika merespon sesuatu atas lingkungan belajar (diserap secara
abstrak dan konkret). Para ahli seperti (Brown, 2002; Reid, 1995; Danesi, 1988; Chapelle & Roberts,
1986; Chapelle, 1983; Stevick, 1982) mengemukakan beberapa pendapat dimana dianggap terkait dengan
pembelajaran. Diantaranya adalah :

1. Field Independent
Berdasarkan penelitian Witkin 1962 membedakan gaya kognitif berdasarkan aspek
psikologis itu menjdi dua jenis, yaitu : gaya field dependent dan gaya field independent.
Gaya belajar field dependent ini cenderung mempersepsi bagian-bagian yang terpisah dari
suatu pola menurut komponen-komponennya. Gaya kognitif Field Independent (FI) ini
merupakan cara berpikir peserta didik dalam memahami suatu masalah secara analitis dan
sistematis.
Borich dan Tombary (Halimah, 2014 : 24) menguraikan secara ringkas bahwa ciri-ciri
individu independen dalam belajar meliputi:
(a) memfokuskan diri pada uraian
(b) materi kurikulum secara rinci
(c) memfokuskan diri pada fakta dan prinsip
(d) jarang melakukan interaksi dengan pengajar;
(e) interaksi formal dengan pengajar hanya dilakukan untuk mengerjakan tugas, dan
cenderung memilih penghargaan non-sosial
(f) lebih suka bekerja sendiri
(g) lebih suka berkompetisi
(h) mampu mengorganisasikan informasi.
Peserta didik yang memiliki gaya kognitif field independent ini memiliki karakteristik
seperti misalnya dapat memahami obyek yang terpisah dari lingkungan, memisahkan hal dari
bagian-bagian yang tidak relevan, menciptakan struktur meskipun struktur itu tidak melekat
dalam informasi yang ada, mereorganisasi informasi untuk memberi konteks bagi informasi
sebelumnya serta cenderung lebih efisien dalam mengingat bagian-bagian informasi lama.
2. Field dependent
Gaya kognitif field dependent ini merupakan suatu karakteristik dimana individu
cenderung mengorganisasi dan memproses informasi secara global sehingga persepsinya
mudah terpengaruh oleh perubahan lingkungan. Ciri-ciri individu field dependent dalam
belajar diantaranya adalah :
a)Menerima konsep dan materi secara umum
b) Mengalami kesulitan untuk menghubungkan konsep-konsep dalam kurikulum dengan
pengalaman sendiri
c) Suka mencari bimbingan dan petunjuk guru
d) Memerlukan hadiah atau penghargaan untuk memperkuat interaksi dengan guru
e) Suka bekerja sama dengan orang lain dan menghargai pendapat serta perasaan orang lain
dan tak suka mengerjakan sebuah tugas dengan sendirian serta
f) Lebih menyukai organisasi materi yang disiapkan oleh guru.
Berdasarkan definisi di atas, maka gaya kognitif field dependent ini memiliki makna
bahwa individu atau peserta didik yang mempunyai karakteristik sangat bergantung dengan
lingkungannya, lebih suka bekerja sama daripada bekerja sendiri, masih memerlukan
bimbingan atau petunjuk lebih lanjut, menerima materi dan konsep secara umum terstruktur
dan menerima informasi dengan menghafal. Dengan kata lain, gaya kognitif Field Dependent
(FD) adalah kecenderungan gaya atau cara berpikir peserta didik dalam memahami suatu
masalah secara keseluruhan.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa gaya kognitif baik field independent atau filed
dependent adalah perbedaan atau ciri khas kecenderungan kecerdasan yang dimiliki oleh
setiap peserta didik dalam berfikir memahami suatu masalah baik memproses, menyusun,
mengolah, mengorganisasikan informasi yang diterimanya dalam proses pembelajaran
3. Otak Kiri dan Otak Kanan
Saat otak anak matang, berbagai fungsi menjadi terlateralisasi / terintegrasi menjadi
sebelah kiri atau kanan . Otak sebelah kiri dikaitkan dengan pemikiran logis dan analitis,
dengan pemrosesan informasi matematis dan linier. Sedangkan otak sebelah kanan merasakan
dan mengingat gambar visual, taktil, dan pendengaran lebih efisien dalam memproses
informasi holistik, integratif, dan emosional. Torrance (1980) mendaftar beberapa
karakteristik dominasi otak kiri dan kanan. Berikut perbedaaan karakteristik otak kanan dan
kiri menurut Torrance.
a. Karakteristik otak kiri : Intelektual,Mengingat nama, merespons intsruksi verbal,
bereksperimen secara sistematis dan terkontrol, direncanakan dan terstruktur,penilaian
bersifat objektif, lebih menyukai berbicara daripada menulis, mengendalikan perasaan,
tidak pandai dalam menafsirkan bahasa tubuh, lebih memilih tes pilihan ganda.
b. Karakteristik otak kanan : bernaluri, mengingat wajah, merespons petunjuk yang
ditunjukkan, diilustrasikan atau simbolik, penilaian bersifat subjektif, spontan, lebih suka
menggambar, lebih terbuka akan perasaan, baik dalam menafsirkan/ menggambarkan
bahasa tubuh.
Meskipun kita dapat menggambarkan banyak perbedaan antara karakteristik otak kiri dan
otak kanan , namun hal yang tak dapat dilupakan ialah bahwa otak sebelah kiri dan kanan ini
beroperasi menjadi sebuah tim yang sama dimana artinya mereka sama-sama bekerja.
Sebagian besar pemecahan masalah melibatkan kapasitas kedua belahan otak dan seringkali
solusi terbaik untuk masalah adalah yang ada di yang masing-masing hemi sphere telah
berpartisipasi secara optimal. Kita juga harus mengingat bahwa perbedaan otak kiri dan
kanan cenderung lebih menarik perhatian daripada penelitian saat peringatan.
4. Toleransi Ambiguitas / Ambiguity Tolerance
Ambiguitas toleran dimana siswa mampu menerima ideologi, peristiwa, dan fakta yang
bertentangan dengan pandangan mereka sendiri. Para siswa disini memiliki kebebasan untuk
berpikir tentang sejumlah kemungkinan inovatif dan kreatif tanpa terganggu oleh ambiguitas
dan ketidakpastian baik secara kognitif maupun secara emosi. Sebaliknya, para siswa yang
tidak toleran namun ambiguitas lebih berpikiran dekat dan dogmatis.
Mereka atau para siswa yang tidak toleran lebih cenderung menolak kontradiksi Item
yang sedikit berbeda pandangan dengan sistem yang sudah ada. (Brown, 2007: 126). Mereka
terhadaplebih terfokus kepada ambisi dimana lebih banyak konten daripada yang lain untuk
menghibur dan bahkan menginternalisasi proposisi yang kontradiktif. Kebalikannya, siswa
yang tidak toleran namun ambiguitas, mereka lebih berpikiran tertutup dan dogmatis,
cenderung menolak item yang bertentangan atau sedikit tidak sesuai dengan sistem yang ada.
Ambiguitas proposisi merekaingin melihat sesuatu dengan cocok, diterima dan jika tidak
cocok, maka akan timbul penolakan. Orang yang toleran terhadap ambiguitas bebas
memasuki sejumlah kemungkinan inovatif dan kreatif dan tidak terganggu secara kognitif
atau afektif oleh ambiguitas dan ketidakpastian. Di sisi lain, terlalu banyak toleransi terhadap
ambiguitas dapat memiliki efek yang merugikan. Orang bisa menjadi "plin-plan" dimana
menerima hampir semua proposisi di hadapan mereka, tidak secara efisien memasukkan
fakta-fakta yang diperlukan ke dalam struktur organisasi kognitif mereka. Toleransi yang
berlebihan seperti itu berdampak menghambat atau mencegah masuknya gagasan secara
bermakna.
5. Impulsif dan Reflektif
Gaya impulsif dan reflektif menunjukkan tempo kognitif atau kecepatan berpikir. Siswa
impulsif adalah siswa yang dengan cepat merespon situasi, namun respon pertama yang
diberikan sering salah. Sedangkan siswa reflektif mempertimbangkan banyak alternatif
sebelum merespon. Bagi kita untuk menunjukkan dalam kepribadian kita kecenderungan
tertentu ke arah refleksifitas kadang-kadang dan impulsif di waktu lain. Psikologi Studi sudah
dilakukan untuk menentukan sejauh mana, dalam domain kognitif seseorang membuat
cenderung cepat atau judi (impulsif) pada jawaban atas masalah atau lebih lambat, lebih
diperhitungkan (refleksikanive) keputusan.
Gaya intuitif menyiratkan pendekatan di mana seseorang membuat sejumlah pertaruhan
berbeda berdasarkan "firasat", dengan kemungkinan beberapa pertaruhan berturut-turut
sebelum tercapainya sebuah solusi. Sedangkan sistematis cenderung menimbang semua
pertimbangan dalam suatu masalah dan kemudian, setelah refleksi ekstensif mencari
solusi,mengerjakan. reflektif cenderung membuatkonseptuallebih sedikit kesalahan dalam
membaca daripada anak impulsif (Kagan, 1965); namun,impulsiforang-orangbiasanyalebih
cepat , dan pada akhirnya menguasai “permainan tebak-tebakan psikolinguistik” (Goodman,
1970)
6. Auditori, Visual dan Kinetik
a. Auditori
Gaya belajar auditori mengandalkan pendengaran untuk bisa memahami dan mengingat.
Karakteristik model belajar seperti ini benar-benar menempatkan pendengaran sebagai
alat utama menyerap informasi atau pengetahuan. Artinya, kita harus mendengar lalu bisa
mengingat dan memahami informasi itu. Karateristik siswa yang memiliki gaya belajar
ini adalah: Semua informasi hanya bisa diserap melalui pendengaran. Mereka yang
memiliki gaya belajar ini mengalami kesulitan untuk menyerap informasi dalam bentuk
tulisan secara langsung. Selain itu mereka juga memiliki kesulitan menulis ataupun
membaca
b. Visual
Gaya belajar visual menitikberatkan pada ketajaman penglihatan. Artinya, bukti-bukti
konkret harus diperlihatkan terlebih dahulu agar mereka paham gaya belajar ini. Siswa
yang memiliki gaya belajar ini lebih mengandalkan penglihatan atau melihat bukti
terlebih dahlu agar kemudian bisa mempercayainya. Ada beberapa karakteristik yang
khas bagi siswa yang memiliki gaya belajar visual ini, yaitu diantaranya ialah Kebutuhan
melihat sesuatu (informasi/pelajaran) secara visual untuk mengetahui atau
memahaminya, memiliki kepekaan yang kuat terhadap warna, memiliki pemahaman yang
cukup terhadap masalah artistik Memiliki kesulitan dalam berdialog secara langsung.
Terlalu reaktif terhadap suara, sulit mengikuti anjuran secara lisan dan juga sering kali
salah menginterpretasikan kata atau ucapan.
c. Kinestetik
Gaya belajar kinestetik mewajibkan atau mengharuskan individu yang bersangkutan
menyentuh sesuatu yang memberikan informasi tertentu agar bisa mengiatnya. Ciri-ciri
siswa yang memiliki gaya belajar kinestetik adalah seperti menyentuh segala sesuatu
yang dijumpainya(termasuk saat belajar), sulit berdiam diri atau duduk manis, selalu
ingin bergerak, mengerjakan segala sesuatu yang memungkinkan tangannya aktif, suka
menggunakan objek nyata sebagai alat bantu belajar, sulit menguasai hal-hal abstrak
seperti peta, simbol, dan lambing, menyukai praktik/percobaan, permainan dan aktivitas
fisik.

SUMBER REFERENSI

Brown, H. D. (2007). Brown Principle of Teaching and Learning.pdf (p. 423).

You might also like