You are on page 1of 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Lansia

2.1.1 Definisi Lansia


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67
Tahun 2015 tentang Penyelenggaran Pelayanan Kesehatan Lanjut Usia di
Pusat Kesehatan Masyarakat pasal 1 ayat 1 mengatakan bahwasanya lanjut
usia adalah seseorang yang telah mencapai 60 (enam puluh) tahun ke atas
(Kementerian Kesehatan RI, 2015)

Lanjut usia merupakan tahap paling akhir perkembangan pada


kehidupan manusia yang di mulai dari usia 60 tahun hingga mencapai hampir
120 atau 125 tahun. Lanjut usia juga didefinisikan sebagai penurunan
kemampuan akal dan kelemahan fisik, meningkatnya kerentanan terhadap
berbagai penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas serta
perubahan fisiologis yang terkait dengan usia. Sebagaimana ketika manusia
mencapai usia dewasa, mempunyai kemampun untuk aktivitas berat,
reproduksi dan melahirkan seorang anak. Ketika kondisi hidup berubah,
seseorang akan kehilangan tugas dan fungsi tersebut, dan memasuki masa
usia lanjut, dan kemudian mati (Festi, 2018).

2.1.2 Batasan Lanjut Usia


a. Batasan umur lanjut usia menurut World Health Organization (WHO)
tahun 2016 meliputi :
1) Usia pertengahan (middle age) 45 – 59 tahun
2) Lanjut usia (elderly) 60 – 74 tahun
3) Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun
b. Menurut (Kemenkes RI, 2015) lanjut usia dikelompokkan menjadi usia
lanjut (60 – 69 tahun) dan usia lanjut dengan resiko tinggi (lebih dari 70
tahun atau lebih dengan masalah kesehatan).

5
6

2.1.3 Tipe Lansia


Menurut (Dewi, 2015) ada bermacam – macam tipe lansia yaitu :

a. Tipe arif bijaksana


Pada tipe ini lansia menyesuaikan diri dengan perubahan zaman,
bersikap ramah, sederhana, dermawan, mempunyai kesibukan dan
menjadi panutan.
b. Tipe mandiri
Pada lansia tipe mandiri senang mengganti kegiatan sudah hilang
dengan kegiatan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan dan
pergaulan.
c. Tipe tidak puas
Lansia yang selalu merasa mengalami konflik lahir batin,
menentang proses penuaan yang menyebabkan kehilangan kecantikan,
daya Tarik, jasmani status, teman yang disayangi, pemarah, mudah
tersinggung, menuntut, dan pengkritik.
d. Tipe pasrah
Lansia yang selalu menerima dan menunggu nasab baik,
mengikuti kegiatan beribadah, ringan kaki, dan melakukan berbagai jenis
pekerjaan.
e. Tipe bingung
Pada tipe ini lansia yang sering kaget, kehilangan kepribadian,
mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, dan acuh tak acuh.

2.1.4 Penurunan Fungsi pada Lansia


a. Perubahan Fisik
Bertambahnya usia dan kondisi fungsi tubuh yang menurun
merupakan hal yang wajar. Adapun masalah yang sering terjadi pada
lansia meliputi gangguan penglihatan dan pendengaran, imobilisasi,
inkontenasia, depresi, malnutrisi dan gangguan tidur sehingga
menyebabkan menurunnya system kekebalan tubuh pada lansia (Sarbini
et al., 2019).
b. Perubahan Mental Lansia
7

Perubahan mental pada lansia antara lain memori (daya ingat), IQ


(Intellegent Quecient), kemampuan pemahaman (Comprehension) dan
pengambilan keputusan (Dession Making). Mental dan emosional pada
lansia sering muncul saat perasaan yang pesimis, akibat timbul rasa tidak
aman dan cemas (Kusumaningati, 2019).
c. Perubahan Psikososial
Perubahan psikososial merupakan masa pensiun dimana ada
perubahan aspek dan peran sosial masyarakat. Kehilangan kontak sosial
dari pekerjaannya atau pensiunan, maka lansia merasa hampa dan
kesepian. Perubahan ini dapat menyebabkan stress psycososial pada
lansia (Ramadani, 2020).

2.1.5 Masalah Kesehatan pada Lansia


Menurut (Sunarti & Ratnawati, 2019) lansia mengalami perubahan dalam
kehidupannya sehingga menimbulkan beberapa masalah dalam
kehidupannya, antara lain :

a. Hipertensi
Hipertensi menjadi penyakit nomor satu yang paling banyak diderita
pada lansia, menurut Riskesdas 2013. Berkurangnya kelenturan
pembuluh arteri besar dan aorta berkaitan dengan adanya perubahan pada
enzim plasma renin di dalam tubuh. Akibatnya, tubuh mengalami retensi
cairan dan tidak dapat membuang garam dari dalam tubuh dengan baik.
Pada lansia, kondisi ini dapat meningkatkan terjadinya tekanan darah
tinggi atau hipertensi. Hipertensi juga dapat menyebabkan timbulnya
penyakit lain seperti penyakit jantung dan stroke.
b. Osteoporosis
Osteoporosis merupakan penyakit yang sering diderita oleh para
lansia. Karena pada lansia berkurangnya massa tulang membuat lansia
harus berhati-hati dalam menjalankan kegiatan sehari-hari demi
menghindari terjatuh atau mengalami patah tulang.
c. Penyakit Jantung
8

Penyakit jantung juga menyerang para lansia. Hal ini terjadi karena
otot jantung bekerja kurang efektif dalam memompa jantung sehingga
dibutuhkan kerja lebih keras untuk memompa darah dalam jumlah yang
sama ke dalam tubuh. Penyakit jantung yang sering menyerang lansia
adalah penyakit jantung koroner, gagal jantung, dan serangan jantung.
d. Gangguan Tidur
Proses normal yang penting dalam kehidupan manusia yaitu makan
dan tidur. Walaupun keduanya sangat penting, akan tetapi karena sangat
rutin maka lansia sering melupakan proses tersebut. Berbagai gangguan
tidur yang sering dikeluhkan oleh lansia salah satunya sulit untuk masuk
dalam proses tidur. Tidurnya tidak dalam dan mudah terbangun, sering
mimpi ketika tidur, jika terbangun sukar tidur kembali, terbangun dini hari
dan lesu setelah bangun dipagi hari.

2.1.6 Hipertensi Pada Lansia


Hipertensi adalah penyakit yang sering terjadi pada lansia karena
mengalami penurunan sistem tubuh, terutama pada sistem kardiovaskular.
Hipertensi pada lansia merupakan tekanan darah tinggi yang merupakan
kondisi medis dimana orang yang tekanan darahnya meningkat diatas normal
yaitu 140/90 mmHg juga dapat mengalami resiko kesakitan (morbiditas) dan
kematian (mortalitas) (Safitri & Ismawati, 2018).

Hipertensi merupakan resiko utama pada lansia yang menyebabkan


terjadinya stroke, gagal jantung dan penyakit koroner karena peranannya
lebih besar dibandingkan saat usia muda. Penyebab hipertensi pada lansia
dikarenakan terjadinya perubahan – perubahan pada elastis dinding aorta
menurun, katup jantung menebal dan menjadi kaku, kemampuan jantung
memompa darah menurun, sehingga kontraksi dan volumenya menurun,
meningkatnya resitensi pembuluh darah perifer. Selain itu mengkonsumsi
garam yang tinggi, obesitas, kolesterol tinggi membuat pembuluh darah
menyempit dan akibatnya tekanan darah meningkat (Mulyadi et al., 2019).
9

2.2 Konsep Hipertensi

2.2.1 Definisi Hipertensi


Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah dari arteri yang bersifat
siskemik atau berlangsung secara terus – menerus untuk jangka waktu yang
lama. Hipertensi tidak akan terjadi secara tiba – tiba, melainkan melalui
proses yang cukup lama. Tekanan darah tinggi yang tidak dikontrol pada
waktu tertentu akan dapat menyebabkan tekanan darah yang permanen biasa
disebut hipertensi. Hipertensi juga diartikan sebagai keadaan dimana tekanan
darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah diastolik lebih dari 90
mmHg. Tekanan sistolik merupakan tekanan saat jantung memompa darah ke
seluruh tubuh. Sedangkan tekanan diastolik merupakan tekanan saat otot
jantung relaksasi dan menerima darah yang kembali dari seluruh tubuh
(Ulinnuha, 2018).

Menurut kemenkes RI tahun 2018 definisi hipertensi merupakan


peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari 90 mmHg pada dua kali pengukuran selang waktu sekitar
lima menit dalam keadaan istirahat atau tenang. Peningkatan tekanan darah
yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan
kerusakan pada ginjal (gagal ginjal), jantung (jantung koroner) dan otak yang
bisa menyebabkan stroke bila tidak dideteksi secara dini dan mendapat
pengobatan yang memadai (Kemenkes RI, 2018).

2.2.2 Etiologi
Pada umumnya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik
(idiopatik). Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau
peningkatan tekanan perifer. Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
hipertensi, antara lain (Trijayanti, 2019):

a. Genetik : respon neurologi terhadap stress atau kelainan ekresi atau


transport Na.
b. Obesitas : level insulin yang tinggi akan mengakibatkan tekanan darah
meningkat
c. Stress lingkungan
10

d. Hilangnya elastisitas jaringan dari arterosklerosis pada usia lanjut serta


pelebaran pembuluh darah.

2.2.3 Klasifikasi Hipertensi


Pengukuran tekanan darah merupakan hal yang paling utama untuk
menegakkan diagnosis hipertensi. Klasifikasi hipertensi ditentukan
bedasarkan tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik. Ada beberapa
bagian klasifikasi, antara lain :

a. Klasifikasi Hipertensi Menurut WHO – ISH


Klasifikasi hipertensi menurut WHO – ISH dibedakan menjadi 9
kategori. Klasifikasi tersebut sesuai dengan table 1 dibawah ini yaitu :
Tabel 1. Klasifikasi hipertensi menurut WHO – ISH

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah Tekanan Darah


Sistolik Diastolik

Optimal <120 mmHg <80 mmHg

Normal <130 mmHg <85 mmHg

Normal – tinggi 130 – 139 mmHg 85 – 89 mmHg

Grade 1 (Hipertensi ringan) 140 – 159 mmHg 90 – 99 mmHg

Sub-group : Pembatasan 140 – 149 mmHg 90 - 94 mmHg

Grade 2 (Hipertensi sedang) 160 – 179 mmHg 100 – 109 mmHg

Grade 3 (Hipertensi berat) >180 mmHg >110 mmHg

Hipertesi sistolik terisolasi ≥140 mmHg <90 mmHg

Sub-group : pembatasan 140 – 149 mmHg <90 mmHg

Sumber : (Rahayu, 2020)

b. Klasifikasi Hipertensi menurut (Joint National Commite) JNC-VIII


Klasifikasi hipertensi menurut JNC-VIII tahun 2014 dikembangkan
oleh American Heart Association (AHA) dan Perguruan Tinggi Kardilogi
Amerika (ACA). Klasifikasi tersebut sesuai dengan tabel 2 dibawah ini :
11

Tabel 2. Klasifikasi Hipertensi menurut JNC-VIII tahun 2014


Kategori Tekanan Darah Tekanan darah Tekanan darah
sistolik diastolik

Prahipertensi 120 – 139 mmHg 80 – 90 mmHg

Hipertensi tahap 1 140 – 159 mmHg 90 – 99 mmHg

Hipertensi tahap 2 ≥ 160 mmHg ≥ 100 mmHg

Sumber : (Harismi, 2020)

Adapun klasifikasi hipertensi bedasarkan penyebabnya yaitu :


1) Hipertensi Essensial
Hipertensi essensial atau primer merupakan hipertensi yang
tidak diketahui penyebabnya walaupun dikaitkan dengan kombinasi
gaya hidup, seperti pola makan. Terjadi 90% pada penderita
hipertensi.
2) Hipertensi Non essensial
Hipertensi non essensial atau sekunder merupakan hipertensi
yang diketahui penyebabnya. Terjadi 10% pada penderita hipertensi
penyebabnya adalah penyakit ginjal dan 1 – 2% penyebabnya adalah
kelainan hormonal atau penggunaan obat tertentu misalnya pil KB.

2.2.4 Manifestasi Klinis


Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan adanya kelainan apapun selain
hasil pengukuran tekanan darah yang tinggi. Klien yang menderita hipertensi
biasanya tidak menimbulkan gejala (asimtomatik). Pada lansia ditegakkan
jika rata-rata hasil pemeriksaan darah pada dua kunjungan berturut-turut
berada pada nilai tekanan sistolik lebih dari 150 mmHg dan tekanan darah
diastolik lebih dari 90 mmHg didiagnosis sebagai hipertensi (Manuntung,
2018).

Pada tahap awal penyakit hipertensi tidak menunjukkan tanda dan gejala
yang dikeluhkan oleh klien, jika keadaan terus tidak terdeteksi selama
pemeriksaan rutin, klien akan tetap tidak sadar bahwa tekanan darahnya
tersebut naik. Jika kondisi tersebut dibiarkan tidak terdiagnosis maka tekanan
12

darah akan terus naik, sehingga manifestasi klinis akan menjadi jelas dan
klien akan mengeluhkan sakit kepala terus menerus, kelelahan, pusing,
berdebar-debar, sesak, pandangan kabur atau penglihatan ganda atau mimisan
(Arintoko, 2018).

Saat hipertensi pada lansia kambuh dapat mengakibatkan beberapa


masalah yang akan timbul seperti kelelahan berlebih, pusing, jantung
berdebar dan gangguan pola istirahat tidur yang dapat mengakibatkan kualitas
tidur lansia menjadi tergganggu (Sari, 2019).

2.2.5 Faktor Resiko Hipertensi


(Manuntung, 2018) mengatakan faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi yaitu faktor genetik, usia, jenis kelamin dan etnis. Sedangkan
faktor yang dapat dimodifikasi meliputi stress, obesitas dan nutrisi.

a. Jenis kelamin
Jenis kelamin sangat erat terhadap terjadinya hipertensi dimana
pada usia muda dan paruh baya lebih tinggi pada laki – laki dan pada
wanita lebih tinggi setelah umur 55 tahun, ketika seorang wanita
mengalami masa menopause.
b. Usia
Kepekaan terhadap hipertensi akan meningkat seiring dengan
bertambahnya usia seseorang. Seseorang yang berumur diatas 60 tahun,
50 – 60 % mempunyai tekanan darah lebih besar sama dengan 140/90
mmHg. Hal ini merupakan pengaruh degenerasi yang terjadi pada orang
yang bertambah usianya.
c. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga dengan hipertensi juga memberikan resiko
terkena hipertensi sebanyak 75%.
d. Stress
Stress merupakan masalah yang memicu terjadinya hipertensi
karena hubungan antara stress dengan hipertensi melalui aktivitas saraf
simpatis, peningkatan saraf dapat menaikkan tekanan darah secara tidak
menentu.
13

e. Obesitas
Meningkatnya berat badan pada masa usia pertengahan resiko
hipertensi akan meningkat.

2.2.6 Penatalaksanaan Hipertensi


Kemenkes RI (2018) mengatakan penatalaksanaan hipertensi dapat
dilakukan dengan memodifikasi gaya hidup dan menggunakan obat – obatan.
Memodifikasi gaya hidup dapat dilakukan dengan membatasi asupan garam
tidak lebih dari 6 gram per hari, menurunkan berat badan, menghindari
minuman berkafein, rokok dan minuman beralkohol. Olah raga juga
dianjurkan bagi penderita hipertensi seperti jalan sehat, jogging, bersepeda
20-25 menit dengan frekuensi 3 – 5 per minggu. Penting juga cukup istirahat
sekitar 6-8 jam dan mengendalikan stress. Adapun makanan – makanan yang
harus dibatasi bagi penderita hipertensi, antara lain :

a. makanan yang berkadar lemak jenuh tinggi (minyak kelapa, gajih,


otak, paru)
b. makanan yang diolah dengan menggunakan garam natrium (biscuit,
crackers, keripik dan makanan – makanan yang asin)
c. makanan dan minuman dalam kaleng (sarden, sosis, korned, soft
drink)
d. susu full cream, margarin, keju mayonnaise, serta sumber protein
hewani yang tinggi kolesterol seperti daging merah sapi atau kambing,
kuning telur dan kulit ayam
e. alcohol dan makanan yang mengandung alcohol seperti durian dan
tape

Dengan mengetahui gejala dan faktor risiko terjadinya hipertensi


diharapkan penderita dapat melakukan pencegahan dan penatalaksanaan
dengan memodifikasi diet serta gaya hidup ataupun obat-obatan sehingga
komplikasi yang terjadi dapat dihindarkan.
14

2.3 Konsep Pola Istirahat Tidur

2.3.1 Definisi Istirahat Tidur


Istirahat dan tidur merupakan kebutuhan dasar yang dibutuhkan oleh
semua orang. Untuk dapat berfungsi secara normal, maka setiap orang
memerlukan istirahat dan tidur yang cukup. Secara umum, istirahat yaitu
sesuatu keadaan yang tenang, rilex, tanpa tekanan emosional dan bebas dari
perasaan gelisah. Dalam arti lain istirahat berarti tidak melakukan aktifitas
sama sekali. Sedangkan tidur merupakan suatu keadaan tidak sadarkan diri
dimana persepsi dan reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau
hilang dan dapat dibangunkan kembali dengan indra atau rangsangan yang
cukup (Ramadhani, 2019).

2.3.2 Pola Istirahat Tidur


Pola tidur adalah model atau bentuk tidur dalam jangka waktu yang
relatif menetap meliputi jadwal tidur dan bangun, irama tidur, frekuensi tidur
dalam 24 jam, mempertahankan kondisi tidur dan kepuasan tidur. Pola tidur
menjadi salah satu faktor kejadian hipertensi. Pola tidur dan kualitas tidur
yang buruk dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan fisiologis dan
psikologis dalam diri seseorang. Selain itu, durasi tidur yang pendek dalam
jangka waktu yang lama, dapat menyebabkan hipertensi karena peningkatan
tekanan darah dalam 24 jam dan denyut jantung, peningkatan saraf simpatik,
dan peningkatan retensi garam. Sehingga akan menyebabkan adaptasi
struktural sistem kardiovaskular dan darah menjadi tinggi (Martini et al.,
2018).

2.3.3 Gangguan Pola Istirahat Tidur


Gangguan pola istirahat tidur adalah suatu keadaan dimana seseorang
mulai mengalami perubahan jumlah atau kualitas pola tidur dan istirahat
sehubungan dengan keadaan biologis atau kebutuhan emosi yang
menyebabkan rasa tidak nyaman. Gangguan tidur bisa berupa insomnia,
15

narkolepsi somnabolisme (tidur berjalan), enuresa (ngompol), dan delirium


atau mengigau (Sari, 2019).

Gangguan pola istirahat tidur bisa dilihat saat kondisi seseorang


memperlihatkan perasaan lelah, gelisah, lesu dan apatis, di daerah sekitar
mata menghitam, kelopak mata bengkak, konjungtiva merah, tidak bisa
fokus, pusing dan sering menguap atau mengantuk (Krismawati & Nusantoro,
2019).

2.3.4 Jenis-Jenis Gangguan Istirahat Tidur pada Lansia


Nugroho (2020) mengatakan ada beberapa jenis gangguan istirahat tidur
yang sering ditemukan pada lansia, yaitu :

a. Insomnia
Insomnia adalah suatu gangguan tidur yang ditandai dengan sulit
tidur, ketidakmampuan untuk mempertahankan kondisi tidur dan
memulai untuk tidur. Insomnia bisa disebabkan oleh stress dan masalah
hormon atau pencernaan. Orang dengan insomnia memiliki beberapa
gejala seperti sering bangun pada malam hari dan mengalami kesulitan
untuk tidur kembali. Insomnia dapat mengganggu kesehatan dan kualitas
kehidupan, juga dapat menimbulkan depresi, kesulitan konsentrasi, sifat
lekas marah (irritability), mengganggu kerja atau kinerja (Timotius,
2018).
Insomnia dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu :
1) Transient insomnia
Penderita transient insomnia termasuk orang yang tidur secara
normal, tetapi mengalami kesulitan tidur karena stress yang
berlangsung kurang dari dua minggu, contohnya pada perjalanan
dengan kapal terbang.
2) Short term insomnia
Periode singkat insomnia paling sering berhubungan dengan
kecemasan, seperti akan menghadapi ujian atau wawancara pekerjaan.
Insomnia pada jenis ini juga berhubungan dengan stress situasional
seperti kehilangan orang yang dicintai, duka cita, atau hamper semua
16

perubahan dalam kehidupan. Insomnia jangka pendek terjadi antara


2-4 minggu.

3) Long term insomnia


Insomnia pada jenis ini merupakan insomnia kronis yang
biasanya menyertai penyakit psikiatrik atau penyakit fisik yang berat.
Insomnia jangka panjang terjadi leboh dari 4 minggu.

Tipe insomnia dilihat penyebabnya dibagi menjadi dua yaitu (Indrawati,


2018) :

1) Insomnia Primer
Insomnia primer terjadi hyperarousal system yang berlebihan.
Penderita dapat tidur tetapi tidak merasa tidur. Periode tidur juga
mengalami pengurangan dan lebih sering terbangun. Insomnia primer
tidak berhubungan dengan kejiwaan, masalah neurologi, dan masalah
medis lainnya. Penyebab insomnia primer berhubungan dengan
kebiasaan sebelum tidur, pola tidur, dan lingkungan tempat tidur.
2) Insomnia Sekunder
Insomnia sekunder disebabkan karena irama sirkandian,
kejiwaan, masalah neurologi atau masalah medis lainnya dan reaksi
obat. Insomnia ini sering terjadi pada orang tua. Insomnia sekunder
terjadi karena penyakit organik, kontinuitas tidurnya terganggu,
seperti pada penderita artritis yang mudah terbangun karena nyeri
yang timbul.
b. Hipersomnia
Jumlah tidur yang melebihi normal lebih dari 9 jam per 24 jam,
dengan keluhan tidur berlebih. Hipersomnia biasanya disebabkan oleh
masalah psikologis, depresi, kecemasan dan gaya hidup yang
membosankan.
c. Enuresis
Enuresis yaitu mengompol atau kencing yang tidak disengaja. Pada
wanita lansia, terutama wanita yang memiliki anak, dapat mengalami
17

inkontinensia stress karena terjadi pelepasan urine involunter saat batuk,


bersin, ataupun saat tidur tanpa disadari akan mengompol sehingga
menyebabkan terbagun. Hal ini disebabkan karena otot kandung kemih
melemah pada lansia.
d. Narkolepsi
Narkolepsi merupakan keinginan yang tidak terkendali untuk tidur
atau serangan mengantuk mendadak, sehingga dapat tertidur pada tiap
saat serangan tidur itu datang.
e. Apnea Tidur
Apnea tidur merupakan henti napas saat tidur biasanya disebut
mendengkur. Disebabkan oleh rintangan terhadap pengaliran udara di
hidung dan di mulut. Pangkal lidah yang menyumbat saluran napas sering
terjadi pada lansia karena otot-otot di bagian belakang melembek lalu
bergetar jika dilewati udara pernapasan.

2.3.5 Tanda dan Gejala Gangguan Pola Tidur


Pasien yang mengalami gangguan pola tidur akan menunjukkan
gejala dan tanda mayor maupun minor sebagai berikut (Tim Pokja SDKI
DPP PPNI, 2016) :

a. Gejala dan tanda mayor


1) Secara subjektif pasien mengeluh sulit tidur, mengeluh sering
terjaga, mengeluh tidak pernah puas tidur, mengeluh pola tidur
berubah, dan istirahat tidak cukup.
2) Secara objektif tidak tersedia gejala mayor dari gangguan pola tidur
b. Gejala dan tanda minor
1) Secara subjektif pasien mengeluh kemanapun beraktivitas menurun
2) Secara objektif yaitu adanya kehitaman di daerah sekitar mata,
konjungtiva tampak merah, wajah tampak mengantuk.
(Februanti, 2019)

2.3.6 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pola Tidur


Faktor – faktor yang mempengaruhi pola tidur seseorang dapat
menunjukkan adanya kemampuan individu untuk tidur dan memperoleh
18

jumlah istirahat sesuai dengan kebutuhannya. Faktor yang mempengaruhi


kualitas dan kuantitas tidur yaitu (Nugroho, 2018) :

a. Lingkungan
Lingkungan dapat mendukung dan menghambat tidur seseorang.
Temperatur, penerangan ruanagan, ventilasi dan kondisi kebisingan
sangat berpengaruh terhadap tidur seseorang.
b. Gaya hidup
Orang yang bekerja shift dan sering berubah shiftnya harus mengatur
kegiatan agar dapat tidur pada waktu yang tepat. Keadaan rileks sebelum
istirahat merupakan faktor yang berpengaruh terhadap seseorang untuk
dapat tidur dengan tenang.
c. Usia
Perubahan pola tidur berdasarkan usia merupakan hal yang
berhubungan seiring bertambahnya tingkat kedewasaan, orang dewasa
membutuhkan sekitar delapan jam untuk tidur. Penuaan menyebabkan
perubahan yang dapat mempengaruhi pola tidur. pada lanjut usia waktu
yang dihabiskan dalam tidur tahap 3 dan 4 menurun, sementara yang
dihabsikan saat tidur tahap 1 meningkat dan tidur menjadi tidak efektif.
d. Penyakit
Sakit yang menyebabkan nyeri dapat menimbulkan masalah pada
istirahat tidur. Seseorang yang sedang sakit membutuhkan waktu tidur
lebih lama dari keadaan yang normal. Contohnya pada orang penderita
hipertensi ketika kambuh merasakan pusing, mual dan gelisah yang
mengakibatkan pola tidurnya terganggu.
e. Nutrisi
Protein yang tinggi dapat mempercepat terjadinya proses tidur, karena
adanya proses tidur, adanya tripofan yang merupakan asam amino dari
protein yang dicerna. Demikian sebaliknya, kebutuhan gizi ang kurang
dapat mempengaruhi proses tidur, bahkan sulit untuk tidur
f. Stress psikologi
Pada keadaan cemas seseorang mungkin meningkatkan saraf simpatis
sehingga mengganggu pola tidurnya.
19

2.3.7 Fisiologi Tidur Pada Lansia


Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur adanya hubungan
mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan
pusat otak agar dapat tidur dan bangun dengan baik. Pusat dari pengaturan
tidur terdapat di medulla oblongata. Tahapan tidur dibagi menjadi dua fase
yaitu non rapid eye movement (NREM) dan rapid eye movement (REM). Pada
awal tidur didahului dengan fase NREM yang terdiri dari empat tahap NREM
dan satu tahap REM (Azari, 2018).

a. Tahap 1 Non-REM
Pada tahap 1 merupakan tahapan yang terjaga dan tahap awal. Sangat
tenang, seperti sedang bermimpi tetapi masih sadar dengan keadaan
sekitar. Tahap ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali untuk
dibangunkan.
b. Tahap 2 dan 3 Non-REM

Setelah tahap 1, maka akan semakin dalam tertidur dan masuk ke tidur
tahap 2 dan 3. Pada fase ini merupakan tidur yang sesungguhnya, tidak
sadar dengan keadaan sekitar, tetapi masih mudah terbangun.

c. Tahap 4 Non-REM

Setelah 10 menit pada tahap 2 dan 3, maka akan masuk ke tahap 4


atau sering disebut slow wave karena gelombang otak semakin melambat
dengan frekuensi yang lebih rendah. Dimana keadaan ini sangat sulit
sekali untuk bangun, kesadaran menurun dan sering kali disertai
mendengkur.

d. Tahap tidur REM


Pada tahap ini tubuh tidak bisa menerima rangsangan apapun, karena
tubuh tidak merespon aktivitas otak yang menimbulkan lumpuh sesaat.
Tahap ini terjadinya mimpi dan benar-benar beristirahat secara penuh

Jumlah total tidur tidak berubah sesuai dengan pertambahan usia


seseorang. Akan tetapi, kualitas tidur menjadi berubah kebanyakan pada usia
lanjut. Waktu tidur lansia berkurang berkaitan dengan faktor penuaan. Pada
20

tidur REM cenderung memendek. Terdapat penurunan yang progresif pada


tahap tidur Non-REM 3 dan 4. Beberapa usia lanjut tidak memiliki dalam
tahap 4 atau tidur dalam. Seorang lansia yang terbangun lebih sering pada
malam hari, dan membutuhkan banyak waktu untuk tertidur. Pada lansia yang
berhasil beradaptasi terhadap perubahan fisiologis dan psikologis dalam
penuaan lebih mudah mempertahankan tidur REM (Trijayanti, 2019).

You might also like