You are on page 1of 3

D.

Akibat Hukum Ingkar Janji

Faktor internal para pihak maupun faktor eksternal yang berpengaruh terhadap eksistensi kontrak
yang bersangkutan dapat menjadi alasan gagalnya pelaksanaan pemenuhan kewajiban sebuah kontrak
atau perjanjian. Salah satu faktor yang mengakibatkan gagalnya pelaksanaaan pemenuhan kewajiban
kontrak yaitu wanprestasi. Menurut hukum positif Indonesia, pihak pelaku yang berwanprestasi wajib
bertanggung jawab dengan memberikan sejumlah ganti rugi sesuai yang telah diperjanjikan. Untuk itu
perlulah mengetahui apa saja akibat apabila kita melakukan perbuatan ingkar janji atau wanprestasi.
Berikut ini akibat hukum adanya wanprestasi:

1. Debitur harus membayar ganti rugi kepada pihak kreditur (Pasal 1243 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata), segala kerugian yang ditimbulkan dari wanprestasi yang kita lakukan
ditanggung oleh pihak yang menyebabkan kerugian.
2. Pembatalan Perjanjian, ada kemungkinan apabila kita wanprestasi, pihak kreditur bisa
mengajukan pembatalan perjanjian. (Pasal 1266 Kitab Undang-undang Hukum Perdata)
3. Peralihan Resiko, benda atau obyek dan segala resikonya, misalnya rusak, biaya gudang dan
lain lain adalah ditanggung debetur yang wanprestasi. (Pasal 1237 ayat 2 KUHPerdata)
4. Debitur harus membayar biaya perkara, apabila perkara tersebut menjadi perkara di
Pengadilan, dan debitur dinyatakan bersalah.

E. Pengertian Keadaan Memaksa

Keadaan memaksa atau dalam Bahasa Inggris disebut force majeure didefinisikan dalam
kamus hukum Merriam-Webster (1996) sebagai suatu paksaan besar atau paksaan yang tidak dapat
diatasi, atau suatu kejadian (seperti perang, mogok buruh, atau cuaca ekstrim) atau suatu akibat
yang tidak dapat diantisipasi atau dikendalikan. Dalam definisi yang sama, keadaan memaksa juga
disamakan dengan istilah-istilah ‘kejadian yang tidak disengaja’, ‘takdir Tuhan’, dan ‘kecelakaan yang
tidak dapat terhindarkan’. Di Indonesia, keadaan memaksa diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPer). Akan tetapi, KUHPer tidak memuat ketentuan umum mengenai keadaan
memaksa, seperti definisi atau ruang lingkupnya.

Keadaan memaksa memiliki hubungan erat dengan ketentuan ganti rugi. Menurut Pasal
1243 KUHPer, debitur yang tidak memenuhi kewajibannya (wanprestasi) wajib mengganti biaya dan
kerugian yang diderita oleh kreditur. Akan tetapi Pasal 1244 dan 1245 KUHPer menyatakan bahwa
debitur tersebut dapat dilepaskan dari kewajiban mengganti biaya dan kerugian apabila wanprestasi
tersebut disebabkan oleh keadaan memaksa. Menyimpulkan dari pasal-pasal di atas, KUHPer secara
tidak langsung mendefinisikan keadaan memaksa sebagai kejadian yang tidak terduga, yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur.

Terdapat beberapa pendapat terkait pengertian keadaan memaksa (force majure) yaitu
sebagai berikut: Subekti mengemukakan force majeur adalah suatu alasan untuk dibebaskan dari
kewajiban membayar ganti rugi. Lalu Abdulkadir Muhammad mengemukakan force majeur adalah
keadaan tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi peristiwa yang tidak terduga
yang mana debitur tidak dapat menduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan. dan Setiawan
mengemukakan force majeur adalah suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya persetujuan yang
menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya, yang mana debitur tidak dapat dipersalahkan
dan tidak harus menanggung resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat.
Karena semua itu sebelum debitur lalai untuk memenuhi prestasinya pada saat timbulnya keadaan
tersebut.
F. Macam-Macam Keadaan Memaksa

Apabila dilihat dari aspek historisnya, Force majeure merupakan konsep hukum yang berasal dari
hukum Roma (vis motor cui resisti non potest) yang diadopsi dalam berbagai macam sistem hukum.
Dalam sistem common law, force majure ini dimaknai sebagai suatu ketidakmampuan untuk
melakukan sesuatu prestasi terhadap suatu kontrak, dengan di analogikan tetapi tidak identik
dengan force majeure.

Dalam prakteknya, Force majeure merupakan salah satu klausa yang serting ada dalam suatu
perjanjian/kontrak, dikatakan salah satu klausa karena kedudukan force majeure dalam suatu
perjanjian berada di dalam perjanjian pokok, tidak terpisah sebagai perjanjian tambahan dan
dikaitkan dengan perjanjian pokok selayaknya perjanjian accesoir. Force majeure atau yang sering
diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa” merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang
untuk melaksanakan prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat
dibuatnya kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada
debitur, sementara si debitur tersebut tidak dalam keadaan beriktikad buruk. Adapun macam-
macam keadaan memaksa, yaitu sebagai berikut:

Keadaan memaksa yang absolut (absolut onmogelijkheid) merupakan suatu keadaan dimana debitur
sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditur, oleh karena adanya gempa
bumi, banjir bandang, dan adanya lahar;

Kadaan memaksa yang relatif (relatieve onmogelijkheid) suatu keadaan yang menyebabkan debitur
mungkin untuk melaksanakan prestasinya.

g. Akibat Hukum Keadaan Memaksa

Referensi:

https://biizaa.com/apa-akibat-hukum-pihak-yang-ingkar-janji-wanprestasi/

https://www.pengadaan.web.id/2020/08/apa-itu-wanprestasi-dan-akibat-hukumnya.html
https://gaffarcolaw.com/news-insights/keadaan-memaksa-dari-sudut-pandang-kitab-undang-
undang-hukum-perdata/?lang=id

http://sugalilawyer.com/keadaan-memaksa-atau-force-majeur/

You might also like