You are on page 1of 39

LAPORAN KASUS BESAR

SEORANG ANAK PEREMPUAN 11 TAHUN DENGAN ASMA


INTERMITTEN DERAJAT SERANGAN RINGAN SEDANG

Diajukan guna melengkapi tugas Kepaniteraan Senior


Kedokteran Komprehensif
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

Disusun oleh:

Riandini Prischilia Zelika


22010117220099

Pembimbing :
dr. Durotun Nafisah

KEDOKTERAN KOMPREHENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Riandini Prischilia Zelika

NIM : 22010117220099

Bagian : Kedokteran Komprehensif

Fakultas : Kedokteran

Universitas : Diponegoro

Judul : Seorang anak perempuan 11 tahun dengan asma intermitten derajat

serangan ringan sedang

Pembimbing : dr. Durotun Nafisah

Rembang, Oktober 2019

Pembimbing

dr.Durotun Nafisah

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................................iii
BAB I...............................................................................................................................1
PENDAHULUAN...............................................................................................................1
A. Latar Belakang..................................................................................................................1
B. Tujuan........................................................................................................................2
C. Manfaat.........................................................................................................................2
BAB II..............................................................................................................................3
PENYAJIAN KASUS..........................................................................................................3
A. IDENTITAS PENDERITA.............................................................................................3
B. DATA DASAR...................................................................................................................3
C. DAFTAR MASALAH...................................................................................................6
D. DIAGNOSIS...................................................................................................................6
E. RENCANA PEMECAHAN MASALAH ( INITIAL PLAN ).........................................7
BAB III.....................................................................................................................................10
3.1Asma................................................................................................................................10
3.1.1 Definisi ................................................................................................................10
3.1.2 Epidemiologi........................................................................................................10
3.1.3 Faktor Risiko............................. ..........................................................................11
3.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi...................................................................................12
3.1.5 Diagnosis..............................................................................................................17
3.1.6 Klasifikasi ............................................................................................................20
3.1.7 Tatalaksana...........................................................................................................23
3.2 Tinjauan Kasus..................................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................36

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Asma merupakan penyakit saluran respiratori kronik yang sering dijumpai baik pada
anak maupun dewasa. Menurut WHO (World Health Organization) tahun 2011, 235 juta
orang di seluruh dunia menderita asma dengan angka kematian lebih dari 8% di negara-
negara berkembang yang sebenarnya dapat dicegah.1National Center for Health Statistics
(NCHS) pada tahun 2011, mengatakan bahwa prevalensi asma menurut usia sebesar 9,5%
pada anak dan 8,2% pada dewasa, sedangkan menurut jenis kelamin 7,2% laki-laki dan 9,7%
perempuan. Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013
mendapatkan hasil prevalensi nasional untuk penyakit asma pada semua umur adalah 4,5%,
dengan prevalensi asma tertinggi terdapat di Sulawesi Tengah (7,8%), diikuti Nusa Tenggara
Timur (7,3%), D.I. Yogyakarta (6,9%), Sulawesi Selatan (6,7%), untuk Jawa Tengah
memiliki prevalensi asma sebesar 4,3 %.2,3
Asma merupakan diagnosis masuk yang paling sering dikeluhkan di rumah sakit anak
dan mengakibatkan kehilangan 5-7 hari sekolah secara nasional/tahun/anak. Sebanyak 10-
15% anak laki-laki dan 7-10% anak perempuan dapat menderita asma pada suatu waktu
selama masa kanak-kanak. Telah terjadi peningkatan kematian akibat asma termasuk pada
anak di beberapa negara pada dua dekade terakhir.2 Meskipun tidak menempati peringkat
teratas sebagai penyebab kesakitan atau kematian pada anak, asma merupakan masalah
kesehatan yang penting. Jika tidak ditangani dengan baik, asma dapat menurunkan kualitas
hidup anak, membatasi aktivitas sehari-hari, mengganggu tidur, meningkatkan angka absensi
sekolah, dan menyebabkan prestasi akademik di sekolah menurun. Bagi keluarga dan
pelayanan kesehatan, asma yang tidak terkendali akan meningkatkan pengeluaran biaya.
Untuk itu seorang dokter perlu mengenali, mendiagnosis, serta memberikan tatalaksana
secara tepat pada anak yang menderita asma bronkial.2,4
Pada tulisan ini akan disajikan kasus anak dengan asma bronkial yang mendapatkan
perawatan rawat inap di PKM Sluke.

1
B. TUJUAN
Tujuan penulisan laporan ini adalah untuk mengetahui cara menegakkan diagnosa,
melakukan pengelolaan penderita asma, serta tindakan pengobatan yang diberikan sesuai
dengan penulisan ilmiah berdasar kepustakaan atau prosedur yang ada.

C. MANFAAT
Penulisan laporan ini diharapkan dapat membantu mahasiswa dalam proses belajar
menegakkan diagnosa dan melakukan pengelolaan pada penderita asma pada anak.

2
BAB II
PENYAJIAN KASUS

A. IDENTITAS PENDERITA
Nama : An. AC
Umur : 11 tahun (4 Agustus 2008)
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Sluke RT 01 / RW 01, Sluke, Rembang, Jawa Tengah
Agama : Islam
Tanggal Masuk : 22 September 2019

IDENTITAS ORANG TUA


Nama Ayah : Tn. D
Umur : 35 tahun
Pekerjaan : Pegawai swasta
Pendidikan : SMA

B. DATA DASAR
1. ANAMNESIS
Dilakukan alloanamnesis dengan ibu pasien di IGD PKM Sluke pada tanggal 22
September 2019 pukul 21.45 WIB.
a. Keluhan Utama : Sesak Napas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
± 1 hari sebelum masuk ke PKM Sluke anak mengeluh sesak nafas. Sesak
disertai dengan bunyi mengi. Sesak mengganggu aktifitas. Pasien dapat
berbicara dalam penggalan kalimat dan lebih senang duduk dibanding
berbaring. Sesak tidak menghilang/berkurang dengan istirahat dan perubahan
posisi (duduk/berdiri). Sesak muncul setelah anak mengikuti kegiatan
drumband di sekolah dan kelelahan. Anak sudah memeriksakan diri ke IGD
RSI mendapatkan nebulisasi 1x kemudian pulang rawat jalan. ± 5 jam
sebelumnya pasien kembali sesak lalu dibawa orangtua ke PKM Sluke.

3
Sesak juga disertai batuk dan pilek. Batuk dengan sedikit dahak berwarna
jernih namun sulit keluar dan tidak berdarah. Demam (-), kebiruan pada
telapak tangan, kaki atau biru pada mulut (-), bengkak pada wajah atau
kelopak mata (-), bengkak pada kedua tungkai (-), nyeri dada (-), mual (-),
muntah (-),tenggorokan terasa gatal (-), nyeri saat menelan (-), BAK dan BAB
dalam batas normal. Menurut ibu pasien, ini bukan kali pertama pasien
mengalami sesak karena sebelumnya pasien telah beberapa kali mengalami
sesak nafas dengan ciri yang sama dan sesak selalu muncul jika anak
kelelahan, kedinginan dan terkena debu.
c. Riwayat penyakit dahulu :
- Riwayat keluhan serupa sebelumnya (+) 6 bulan yang lalu
- Riwayat alergi debu, dingin, riwayat bersin-bersin di pagi hari (+)
d. Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat keluarga dengan asma (+), ayah pasien memiliki riwayat asma.
 Riwayat keluarga memiliki alergi disangkal
 Riwayat kontak dengan penderita TB (-), batuk lama (-), pengobatan lama
(-)
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah bekerja sebagai pegawai swasta dengan penghasilan ± Rp 3.000.000-
5.000.000/bulan. Ibu sebagai ibu rumah tangga. Memiliki dua orang anak yang
belum mandiri.Pembiayaan pengobatan menggunakan biaya pribadi. Status
ekonomi cukup
f. Riwayat Imunisasi
 BCG : 1 x, scar (+) (1 bulan)
 DPT : 3x (2, 3, 4 bulan)
 Polio : 4x (0, 2, 3, 4 bulan)
 Hepatitis B : 3x (0, 1, 6 bulan)
 HIB : 3x (2, 3, 4 bulan)
 Campak : 1x (9 bulan)
Kesan : Imunisasi dasar lengkap

4
g. Pertumbuhan
Pengukuran Anthropometri (22 September 2019)
Berat Badan Sekarang = 34 kg
Tinggi Badan = 143 cm
2. PEMERIKSAAN FISIK

Tanggal 22 September 2019

Keadaan umum : sadar, tampak sakit sedang, sesak


Tanda vital : Nadi : 90 x / menit, isi dan tegangan cukup
Frekuensi nafas : 30 x / menit
Suhu : 36,7°C.
Kepala : Mesosefal
Rambut : Hitam, cukup banyak, tidak mudah dicabut.
Mata : Conjungtiva palpebra anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
pupil isokor  2 mm/ 2 mm, reflek cahaya (+/+) normal, reflek
kornea +/+ normal, mata cowong (-/-)
Telinga : Nyeri tekan tragus (-/-), discharge (-/-)
Hidung : discharge (-), nafas cuping (-) , epistaksis (-)
Mulut : mukosa kering (-), sianosis (-)
Tenggorok : T1-1, kripte melebar (-), eksudat (-), faring hiperemis (-),
membran keputihan (-)
Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-), kaku kuduk (-)
Dada
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, tak ada bagian yang tertinggal
waktu bernafas, retraksi (-).
Palpasi : Stem fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : Sonor seluruh lapangan paru.
Auskultasi : SDV(+/+), Suara tambahan: wheezing (+/+), ronkhi (-/-)

Wheezing Wheezing
Wheezing

Vesikuler Vesikuler
Vesikuler

Paru depan Paru belakang

5
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak tampak
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V, 2 cm medial linea
medioklavikularis sinistra, tidak kuat angkat, tidak melebar.
Perkusi : konfigurasi jantung dalam batas normal
Auskultasi : Suara jantung I dan II normal, irama reguler, gallop (-),bising (-)
Abdomen :
Inspeksi : datar, venektasi (-)
Palpasi : supel ,nyeri tekan (-), turgor cukup, hepar dan lien tidak
teraba.
Perkusi : timpani, pekak sisi (+) normal, pekak alih (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal.
Ekstremitas :
superior inferior
Sianosis -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
edema -/- -/-
Capillary refill <2”/<2” <2”/<2”
Genital : perempuan, dalam batas normal

C. DAFTAR MASALAH
No Masalah Aktif No Masalah Pasif
.
1. Sesak 1 Riwayat keluarga asma (+)
2. Batuk dan pilek 2 Riwayat keluhan serupa (+) 6 bulan lalu

3 Suara nafas mengi

4 Berbicara dalam penggalan


kalimat
5 Lebih senang duduk dibanding
berbaring

D. DIAGNOSIS
1. DIAGNOSIS BANDING
Asma Intermitten Derajat Serangan Ringan Sedang
Bronkhitis

6
2. DIAGNOSIS KERJA
Asma intermitten derajat serangan ringan sedang
E. RENCANA PEMECAHAN MASALAH ( INITIAL PLAN )
1. Assesment : Asma intermitten derajat serangan ringan sedang
Initial Dx : S: -
O : Pemeriksaan fungsi paru (spirometri)
Rontgen thoraks PA
Rx : Infus RL 15 tetes per menit
O2 nasal kanul 3lpm
Head up
Nebulisasi 10 tetes 1x
Aminofilin 2x1
Inj Dexamethason 2x1 ampul iv
Mx : Keadaan umum, tanda vital, tanda serangan asma

Ex :
- Menjelaskan Memberi penjelasan kepada orang tua dan anak mengenai
penyakit dan tatalaksananya
- Menyarankan agar anak berusaha menjauhi faktor pencetus/ alergen seperti
cuaca dingin, debu dan lainnya
- Segera datang ke pelayanan kesehatan apabila gejala yang dirasakan
semakin berat
Prognosis
Ad Vitam : ad bonam
Ad Sanam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam

CATATAN KEMAJUAN

Tanggal 23 September 2019


Problem 1. Asma intermitten derajat serangan ringan sedang
S : Sesak (+), batuk kering (+), napas terdengar mengi (+), lebih nyaman duduk,
demam (-)
O : KU : -
Nadi : 90x/menit

7
RR : 24x/menit T : 36,8 oC
Paru : SDV +/+, Wheezing +/+ ekspirasi
Ekstremitas :akral hangat, CRT < 2dtk

A : Asma intermiten derajat serangan ringan sedang


P :
Infus RL 15 tetes per menit
Head up
Nebulisasi 10 tetes/12 jam
Aminofilin 2x1
Inj Dexamethason 2x1 ampul iv
Tirah baring, diet lunak, hindari faktor pencetus, jika mungkin uji fungsi paru

Tanggal 24 September 2019


Problem 1. Asma intermiten derajat serangan ringan sedang
S : Sesak berkurang, batuk mulai berdahak namun sulit keluar, bicara kalimat
penuh, lebih nyaman setengah duduk
O : KU : sesak, compos mentis
TD : - Nadi : 86x/menit
RR : 24x/menit T : 36.5oC
Paru : retraksi suprasternal (-), SDV +/+, Wheezing +/+ minimal
Ekstremitas :akral hangat, CRT < 2dtk
A : Asma intermiten derajat serangan ringan sedang (perbaikan)
P :
Infus RL 15 tetes per menit
Head up
Aminofilin 2x1
Inj Dexamethason 2x1 ampul iv
GG 3x1
Amoxicilin 3x1

Tanggal 25 September 2019


Problem 1. Asma intermiten derajat serangan ringan sedang (perbaikan)

8
S : tidak ada keluhan,sesak napas(-), dahak dapat dikeluarkan sedikit, bicara
kalimat penuh, sudah dapat berbaring
O : KU : baik, compos mentis
TD : - Nadi : 84x/menit
RR : 20x/menit T : 37oC
Paru : retraksi suprasternal (-), SDV +/+, Wheezing -/-
Ekstermitas :akral hangat, CRT < 2dtk
A : Asma intermiten derajat serangan ringan sedang (perbaikan)
P :
- Aminofilin 2x1
- Dexamethason 3x1
- Amoxicillin 3x1
- GG 3x1
- BLPL

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Asma
3.1.1 Definisi Asma
Global Initiative Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai suatu penyakit
heterogen, biasanya ditandai dengan inflamasi kronik saluran respiratori. Inflamasi
kronik ini ditandai dengan riwayat gejala-gejala pada saluran respiratori seperti
wheezing (mengi), sesak napas, dan batuk yang bervariasi dalam waktu maupun
intensitas, disertai dengan limitasi aliran udara ekspiratori. International Consensus on
(ICON) Pediatric Asthma mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronik yang
berhubungan dengan obstruksi saluran respiratori dan hiperresponsif bronkus,
yang secara klinis ditandai dengan adanya wheezing, batuk, dan sesak napas yang
berulang.2,5
UKK Respirologi IDAI mendefinisikan, asma adalah penyakit saluran respiratori
dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreaktivitas
saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk,
wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan atau berulang,
reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya timbul jika ada
pencetus.4

3.1.2 Epidemiologi
Distribusi Frekuensi Asma Bronkial (Orang, Tempat dan Waktu) Penyakit Asma
Bronkial biasa terjadi pada semua kelompok umur baik laki-laki maupun
perempuan dan dapat muncul kapan saja. Menurut angka kejadian Asma Bronkial
diseluruh dunia (GINA/Global Initiative For Asthma) tahun 2003, lebih dari 5,2 juta
orang Inggris mendapat terapi Asma Bronkial. Jumlah ini terdiri dari 1,1 juta anak- anak
dan 4,1 juta orang dewasa.
Berdasarkan jenis kelamin, perbandingan Asma Bronkial pada anak laki-laki dan
perempuan sebesar 1,5:1 dan perbandingan ini cenderung menurun pada usia yang lebih tua.
Pada orang dewasa serangan Asma Bronkial dimulai pada umur lebih dari 35 tahun.
10
Perempuan lebih banyak dari pada pria. Di Inggris perbandingan tersebut 25% perempuan
dan 10% pria.

3.1.3 Faktor risiko6


Faktor Resiko Asma dibedakan menjadi 2 kelompok, faktor genetik dan faktor non genetik
(lingkungan).
a Faktor Genetik
1. Atopi/allergi
Adanya atopi berhubungan dengan meningkatnya resiko asma persisten dan beratnya
asma. Pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi, akan terjadi serangan
mengi dua kali lipat lebih banyak jika anak pernah mengalami hay fever, rhinitis alergi
atau eksema.
2. Hiperaktifitas Bronkus
Saluran nafas sensitif terhadap berbagai rangsangan alergen maupun iritan.
3. Jenis Kelamin
Prevalensi asma pada anak laki laki sampai usia 10 tahun adalah1,5 sampai 2 kali lipat
anak perempuan. Hal ini dihubungkan dengan karakter biologis, semakin sempitnya
saluran pernapasan, peningkatan pita suara dan terjadi peningkatan IgE pada laki-laki
yang cenderung membatasi respon bernapas.
b. Faktor Lingkungan
1. Alergen di Dalam dan di Luar Ruangan
Adanya alergen di lingkungan hidup anak meningkatkan resiko penyakit asma.Alergen
yang sering mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit binatang,
tungau, dan debu rumah.
2. Makanan, aditif makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan)
Beberapa makanan penyebab alergi makanan seperti susu sapi, ikan laut, kacang,
berbagai buah-buahan seperti tomat, strawberry, mangga, durian berperan menjadi
penyebab asma. Makanan produk industri dengan pewarna buatan (misal:tartazine),
pengawet (metabisulfit), vetsin (monosodium glutamate-MSG) juga bisa memicu asma.
Mengkonsumsi makanan berpengawet menyebabkan turunnya daya tahan tubuh dan
dapat memicu reaksi alergi.
3. Obat obatan tertentu misalnya golongan aspirin, NSAID, beta bloker dan lainlain.

11
Aspirin mempunyai efek samping bronkospasme (penyempitan pada saluran
pernapasan) yang dapat memperburuk kondisi asma, sehingga sebaiknya aspirin
dihindari.

4. Asap rokok dari perokok pasif maupun aktif.


Prevalensi asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang
tidak terpajan asap rokok. Resiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam
kandungan, umumnya berlangsung terus setelah anak dilahirkan, dan menyebabkan
meningkatnya resiko. Pada anak yang terpajan asap rokok kejadian eksaserbasi lebih
tinggi, dan umumnya fungsi faal parunya lebih buruk daripada anak yang tidak
terpajan.
5. Polusi udara di luar maupun di dalam ruangan.
6. Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan aktifitas
tertentu.

3.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi2,7,8


Mekanisme imunologis inflamasi saluran respiratori
+
Sedikitnya ada dua jenis T3helper (Th1 dan Th2), limfosit subtype CD4 telah
dikenal profilnya dalam produksi sitokin. Meskipun kedua jenis limfosit T mensekresi
interleukinH3 (ILH3) dan granulocyte macrophage colonystimulating factor (GM-
CSF), Th1 terutama memproduksi IL-2, IF dan TNF-α Sedangkan Th2
terutama memproduksi sitokin yang terlibat dalam asma, yaitu IL-4, IL-5, IL-9, IL-13,
dan IL-16. Sitokin yang dihasilkan oleh Th2 bertanggung jawab atas terjadinya reaksi
hipersensitivitas tipe lambat ataupun cell3 mediated.
Langkah pertama terbentuknya respons imun adalah aktivasi limfosit T oleh
antigen yang dipresentasikan oleh selHsel aksesoris, yaitu suatu proses yang
melibatkan molekul major histocompatibility complex (MHC kelas II pada sel T
CD4+ dan MHC kelas I pada sel T CD8+). Sel dendritik merupakan antigen
presenting cells (APC) yang utama dalam saluran respiratori. Sel dendritik
terbentuk dari prekursornya di dalam sumsum tulang, membentuk jaringan luas,
dan selHselnya saling berhubungan pada epitel saluran respiratori.
Kemudian, sel-sel tersebut bermigrasi ke kumpulan sel-sel limfoid di bawah pengaruh

12
GM-CSF, yaitu sitokin yang terbentuk oleh aktivasi sel epitel, fibroblas, sel T,
makrofag, dan sel mast. Setelah antigen ditangkap, sel dendritik pindah ke daerah
yang banyak mengandung limfosit. Di tempat tersebut, dengan pengaruh
sitokinHsitokin lainnya, sel dendritik menjadi matang sebagai APC yang efektif. Sel
dendritik juga mendorong polarisasi sel T naïveHTh0 menuju Th2 yang
mengkoordinasi sekresi sitokinHsitokin yang termasuk dalam klaster gen 5q31-33
(IL34 genecluster)

Gambar 1. Patogenesis asma (Diambil dari Global Initiative for Asthma. Global
Strategy for Asthma management and prevention. National Institute of Health. National
Heart, Lung, and Blood Institute; 2002)5
Adanya eosinofil dan limfosit yang teraktivasi pada biopsi bronkus pasien
asma atopi dan nonatopi wheezing mengindikasikan bahwa interaksi sel limfosit T
eosinofil sangat penting, dan hipotesis ini lebih jauh lagi diperkuat oleh
ditemukannya sel yang mengekspresikan IL-5 pada biopsi bronkus pasien asma
atopi. IL-5 merupakan sitokin yang penting dalam regulasi eosinofil. Tingkat
keberadaannya pada mukosa saluran respiratori pasien asma berkorelasi dengan
aktivasi sel limfosit T dan eosinofil.

Inflamasi Akut Dan Kronik


Paparan alergen inhalasi pada pasien alergi dapat menimbulkan respons alergi
fase cepat dan pada beberapa kasus dapat diikuti dengan respons fase lambat. Reaksi
cepat dihasilkan oleh aktivasi sel-sel yang sensitif terhadap alergen IgE spesifik
terutama sel mast dan makrofag. Pada pasien-pasien dengan komponen alergi yang

13
kuat terhadap timbulnya asma, basofil juga ikut berperan. Ikatan antara sel dan IgE
mengawali reaksi biokimia serial yang menghasilkan sekresi mediatorHmediator
seperti histamin, proteolitik, enzim glikolitik, dan heparin serta mediator newly
generated seperti prostaglandin, leukotrien, adenosin, dan oksigen reaktif.
BersamaH sama dengan mediatorHmediator yang sudah terbentuk sebelumnya,
mediatorHmediator ini menginduksi kontraksi otot polos saluran respiratori dan
menstimulasi saraf aferen, hipersekresi mukus, vasodilatasi, dan kebocoran
mikrovaskuler.

Reaksi fase lambat dipikirkan sebagai sistem model untuk mempelajari


mekanisme inflamasi pada asma. Selama respons fase lambat dan selama
berlangsung pajanan alergen, aktivasi selHsel pada saluran respiratori menghasilkan
sitokinHsitokin ke dalam sirkulasi dan merangsang lepasnya leukosit proinflamasi
terutama eosinofil dan sel prekursornya dari sumsum tulang kedalam sirkulasi.

Remodeling saluran respiratori


Remodeling saluran respiratori merupakan serangkaian proses yang
menyebabkan deposisi jaringan penyambung dan mengubah struktur saluran
respiratori melalui proses dediferensiasi, migrasi, diferensiasi, dan maturasi
struktur sel. Kombinasi kerusakan sel epitel, perbaikan epitel yang berlanjut,
produksi berlebih faktor pertumbuhan profibrotik/ transforming growth factors
(TGF), dan proliferasi serta diferensiasi fibroblas menjadi miofibroblas diyakini
merupakan proses yang penting pada remodeling. Miofibroblas yang teraktivasi
akan memproduksi factor-faktor pertumbuhan, kemokin, dan sitokin yang
menyebabkan proliferasi sel-sel otot polos saluran respiratori, meningkatkan
permeabilitas mikrovaskular, serta memperbanyak vaskularisasi, neovaskularisasi,
dan jaringan saraf. Peningkatan deposisi matriks molekul, termasuk kompleks
proteoglikan pada dinding saluran respiratori, dapat diamati pada pasien yang
meninggal karena asma dan hal ini secara langsung berhubungan dengan lamanya
penyakit.

Hipertrofi dan hiperplasia otot polos saluran respiratori serta sel goblet
kelenjar submukosa timbul pada bronkus pasien asma terutama pada yang kronik
dan berat. Secara keseluruhan, saluran respiratori pada pasien asma
memperlihatkan perubahan struktur yang bervariasi yang dapat menyebabkan
penebalan dinding saluran respiratori. Selama ini, asma dipercaya sebagai suatu

14
obstruksi saluran respiratori yang bersifat reversibel. Pada sebagian besar pasien,
reversibilitas yang menyeluruh dapat diamati pada pengukuran dengan spirometri
setelah diterapi dengan inhalasi steroid. Akan tetapi, beberapa pasien asma
mengalami obstruksi saluran respiratori residual yang dapat terjadi pada pasien
yang tidak menunjukkan gejala.

Gambar 2. Inflamasi dan remodeling pada asma.(Diambil dari GINA 2002)5


Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperreaktivitas saluran
respiratori yang nonspesifik, terutama pada pasien yang waktu penyembuhannya
lama (lebih dari satu hingga dua tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah
terapi steroid hirupan.

Kotak 1. Patogenesis asma

15
Penyempitan Saluran Respiratori pada Asma

Kontraksi otot polos saluran respiratori sebagai respons terhadap


berbagai mediator bronkokonstriksi dan neurotransmiter dan merupakan
mekanisme utama dari penyempitan saluran respiratori dan sebagian
besar normal kembali dengan bronkodilator.
Edema saluran napas disebabkan peningkatan kebocoran mikrovaskuler
sebagai respons terhadap mediator inflamasi. Hal ini kemungkinan sangat
berperan selamaeksaserbasiakut.
Penebalan saluran napas karena perubahan struktural, seringkali
disebut remodeling, mungkin penting dalam penyakit yang lebih parah
dan tidak sepenuhnya reversibel dengan terapi yang ada saat ini.
Hipersekresi mukus dapat menyebabkan oklusi luminal (“mucus
plugging”) dan merupakan produk dari peningkatan sekresi mukus dan
eksudat inflamasi.

PATOFISIOLOGI

Obstruksi saluran respiratori


Inflamasi saluran respiratori yang ditemukan pada pasien asma diyakini
merupakan hal yang mendasari gangguan fungsi. Obstruksi saluran respiratori
menyebabkan keterbatasan aliran udara yang dapat kembali baik secara spontan
maupun setelah pengobatan. Perubahan fungsional yang terjadi dihubungkan
dengan gejala khas pada asma, yaitu batuk, sesak, wheezing, dan hiperreaktivitas
saluran respiratori terhadap berbagai rangsangan. Batuk sangat mungkin oleh
stimulasi saraf sensoris pada saluran respiratori oleh mediator inflamasi. Terutama
pada anak, batuk berulang dapat menjadi satuHsatunya gejala asma yang ditemukan.

Penyempitan saluran respiratori pada asma dipengaruhi oleh banyak faktor.


Penyebab utama penyempitan saluran respiratori adalah kontraksi otot polos
bronkus yang diprovokasi oleh pelepasan agonis dari sel-sel inflamasi. Yang
termasuk agonis adalah histamin, triptase, prostaglandin D2 dan leukotrien C4
dari sel mast, neuropeptida dari saraf aferen setempat, dan asetilkolin dari saraf
eferen postganglionik. Kontraksi otot polos saluran respiratori diperkuat oleh
penebalan dinding saluran respiratori akibat edema akut, infiltrasi selHsel

16
inflamasi dan remodeling, hiperplasia dan hipertrofi kronik otot polos,
vaskular, dan selHsel sekretori, serta deposisi matriks pada dinding saluran
respiratori. Selain itu, hambatan saluran respiratori juga bertambah akibat produksi
sekret yang banyak, kental, dan lengket oleh sel goblet dan kelenjar submukosa,
protein plasma yang keluar melalui mikrovaskular bronkus, dan debris selular.

Gambar 3. Remodeling saluran respiratori pada asma.2


Pada anak, sebagaimana pada orang dewasa, perubahan patologis pada
bronkus (airway remodeling) terjadi pada saluran respiratori. Inflamasi dicetuskan
oleh berbagai faktor, termasuk alergen, virus, olahraga, dll. Faktor tersebut juga
menimbulkan respons hiperreaktivitas pada saluran respiratori penderita asma.
Inflamasi dan hiperreaktivitas menyebabkan obstruksi saluran respiratori.
Meskipun perubahan patofisiologis yang berkaitan dengan asma pada umumnya
reversibel, penyembuhan sebagian/parsial dapat terjadi.

HIPERREAKTIVITAS SALURAN RESPIRATORI


Penyempitan saluran respiratori secara berlebihan merupakan patofisiologi yang
secara klinis paling relevan pada penyakit asma. Mekanisme yang bertanggung
jawab terhadap reaktivitas yang berlebihan atau hiperreaktivitas ini belum
diketahui. Akan tetapi, kemungkinan berhubungan dengan perubahan otot polos
saluran respiratori (hiperplasi dan hipertrofi) yang terjadi secara sekunder, yang
menyebabkan perubahan kontraktilitas. Selain itu, inflamasi dinding saluran
respiratori terutama daerah peribronkial dapat memperberat penyempitan saluran
respiratori selama kontraksi otot polos.

17
Hiperreaktivitas bronkus secara klinis sering diperiksa dengan memberikan
stimulus aerosol histamin atau metakolin yang dosisnya dinaikkan secara
progresif, kemudian dilakukan pengukuran perubahan fungsi paru (PFR atau
FEV1). Provokasi/stimulus lain seperti latihan fisis, hiperventilasi, udara kering,
aerosol garam hipertonik, dan adenosin tidak memunyai efek langsung terhadap
otot polos (tidak seperti histamin dan metakolin) tetapi dapat merangsang pelepasan
mediator dari sel mast, ujung serabut saraf, atau selHsel lain pada saluran respiratori.
Dikatakan hiperreaktif bila dengan cara pemberian histamin didapatkan
penurunan FEV1 20% pada konsentrasi histamin kurang dari 8 mg%.

3.1.5 Diagnosis2
Anamnesis
Keluhan wheezing dan atau batuk berulang merupakan manifestasi klinis yang
diterima luas sebagai titik awal diagnosis asma. Gejala respiratori asma berupa
kombinasi dari batuk, wheezing, sesak napas, rasa dada tertekan, dan produksi
sputum. Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi
petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma. Gejala dengan karakteristik yang
khas diperlukan untuk menegakkan diagnosis asma. Karakteristik yang mengarah
ke asma adalah:
• Gejala timbul secara episodik atau berulang.
• Timbul bila ada faktor pencetus.
- Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara
kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna
makanan.
- Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari.
- Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringitis
- Aktivitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan.
• Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya.
• Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan
dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal).
• Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau
dengan pemberian obat pereda asma.
Pemeriksaan Fisis
Dalam keadaan stabil tanpa gejala, pada pemeriksaan fisis pasien biasanya tidak

18
ditemukan kelainan. Dalam keadaan sedang bergejala batuk atau sesak, dapat
terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang
terdengar dengan stetoskop. Selain itu, perlu dicari gejala alergi lain pada pasien
seperti dermatitis atopi atau rinitis alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi
seperti allergic shiners atau geographictongue.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan ini untuk menunjukkan variabilitas gangguan aliran napas akibat
obstruksi, hiperreaktivitas, dan inflamasi saluran respiratori, atau adanya atopi pada
pasien. Uji fungsi paru dengan spirometri sekaligus uji reversibilitas dan untuk
menilai variabilitas. Pada fasilitas terbatas dapat dilakukan pemeriksaan dengan
peak flowmeter

• Uji cukit kulit (skin prick test), eosinofil total darah, pemeriksaan IgE
spesifik.
• Uji inflamasi saluran respiratori: FeNO (fractional exhaled nitric oxide),
eosinofil sputum.
• Uji provokasi bronkus dengan exercise, metakolin, atau larutan salin
hipertonik.
Jika terindikasi dan fasilitas tersedia, lakukan pemeriksaan untuk mencari
kemungkinan diagnosis banding, misalnya uji tuberkulin, foto sinus paranasalis,
foto toraks, uji refluks gastro esofagus, uji keringat, uji gerakan silia, uji
defisiensi imun, CT-scan toraks, endoskopirespiratori (rinoskopi, laringoskopi,
bronkoskopi).

Tabel 1. Gejala dan karakteristik asma

19
Gambar 4. Alur diagnosis asma pada anak

3.1.6 Klasifikasi2
Asma merupakan penyakit yang sangat heterogen dengan variasi yang sangat
luas. Atas dasar itu, ada berbagai cara mengelompokkan asma.
Berdasarkan umur
• Asma bayi– baduta (bawah dua tahun)
• Asma balita (bawah lima tahun)
• Asma usia sekolah (5-11 tahun)
• Asma remaja (12-17 tahun)

20
Berdasarkan fenotip
Fenotip asma adalah pengelompokan asma berdasarkan penampakan yang serupa dalam
aspek klinis, patofisologis, atau demografis.

• Asma tercetus infeks ivirus


• Asma tercetus aktivitas (exercise induced asthma)
• Asma tercetus alergen
• Asma terkait obesitas
• Asma dengan banyak pencetus (multiple triggered asthma)
Berdasarkan kekerapan timbulnya gejala

• Asma intermiten
• Asma persisten ringan
• Asma persisten sedang
• Asma persisten berat
Berdasarkan derajat beratnya serangan

Asma merupakan penyakit kronik yang dapat mengalami episode gejala akut yang
memberat dengan progresif yang disebut sebagaiseranganasma.

• Asma serangan ringan sedang


• Asma serangan berat
• Serangan asma dengan ancaman henti napas
Dalam pedoman ini klasifikasi derajat serangan digunakan sebagai dasar penentuan tata
laksana.
Berdasarkan derajat kendali
Tujuan utama tata laksana asma adalah terkendalinya penyakit. Asma terkendali
adalah asma yang tidak bergejala, dengan atau tanpa obat pengendali dan kualitas hidup
pasien baik.
 Asma terkendali penuh (well controlled)
- Tanpa obat pengendali : pada asma intermiten
- Dengan obat pengendali : pada asma persisten (ringan/ sedang/berat)
 Asma terkendali sebagian (partially controlled)
 Asma tidak terkendali (uncontrolled)
Dalam pedoman ini, klasifikasi derajat kendali dipakai untuk menilai keberhasilan

21
tata laksana yang tengah dijalani dan untuk penentuan naik jenjang (step3up),
pemeliharaan (maintenance) atau turun jenjang (step3down) tata laksana yang akan
diberikan.
Berdasarkan keadaan saat ini:

 Tanpa gejala

 Ada gejala

 Serangan ringan sedang

 Serangan berat

 Ancaman gagal napas

Serangan asma adalah episode perburukan yang progresif akut dari gejala-gejala batuk,
sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-gejala
tersebut.
Tabel 2. Kriteria penentuan derajat asma

Kriteria penentuan derajat asma

Klasifikasi kekerapan dibuat pada kunjungan-kunjungan awal dan dibuat berdasarkan


anamnesis:

Keterangan:
1. Klasifikasi berdasarkan kekerapan gejala dibuat setelah dibuat diagnosis kerja
asma dan dilakukan tata laksana umum (pengendalian lingkungan, penghindaran
pencetus) selama 6 minggu.
2. Jika sudah yakin diagnosis asma dan klasifikasi sejak kunjungan awal,
tatalaksana dapat dilakukan sesuai klasifikasi.
3. Klasifikasi kekerapan ditujukan sebagai acuan awal penetapan jenjang tata
laksana jangka panjang.
4. Jika ada keraguan dalam menentukan klasifikasi kekerapan, masukkan ke dalam
klasifikasi lebih berat.

22
Tabel 3. Kesetaraan klasifikasi PNAA 2004 dengan PNAA 2015

Tahapan penegakan diagnosis asma


1. Diagnosis kerja : Asma

Dibuat sesuai alur diagnosis asma anak, kemudian diberi tata laksana umum yaitu
penghindaran pencetus, pereda, dan tata laksana penyakit penyulit.
2. Diagnosis klasifikasi kekerapan

Dibuat dalam waktu 6 minggu, dapat kurang dari 6 minggu bila informasi klinis
sudah kuat.
3. Diagnosis derajat kendali

Dibuat setelah 6 minggu menjalani tata laksana jangka panjang awal sesuai
klasifikasi kekerapan

3.1.7 Tatalaksana2
Obat asma dapat dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan obat
pengendali (controller). Obat pereda atau obat serangan digunakan untuk meredakan
serangan atau gejala asma bila sedang timbul. Bila serangan sudah teratasi dan gejala tidak
ada lagi, maka pemakaian obat ini dihentikan. Kelompok kedua adlah obat pengendali yang
digunakan untuk mencegah serangan asma. Pemakaian obat ini secara terus-menerus dalam
jangka waktu lama bergantung pada kekerapan gejala asma dan responnya terhadap
pengobatan.

23
Tatalaksana Jangka Panjang
Obat pengendali asma
1. Steroid Inhalasi
Tabel 4. Dosis berbagai preparat steroid inhalasi pada asma anak

Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari, kecuali ciclesonide yang
diberikan sekali sehari. Ciclesonide merupakan preparat steroid inhalasi yang baru, efek
sistemik minimal dan deposisi obat di orofaring lebih sedikit dibanding preparat steroid
inhalasi yang lain. Efikasi dan keamanannya dibanding preparat yang lain masih
memerlukan penelitian lebih lanjut.
2. Agonis β2 kerja panjang (long acting β2-agonist, LABA )
Agonis β2 kerja panjang digunakan bersama steroid inhalasi. Kombinasi Agonis β2 kerja
panjang dengan steroid terbukti memperbaiki fungsi paru dan menurunkan angka
kekambuhan asma.
3. Antileukotrien
Antileukotrien dapat menurunkan gejala asma namun secara umu tidka lebih unggul
dibanding steroid inhalasi. Jika digunakan sebagai obat pengendali tinggal, efeknya lebih
rendah dibandingkan steroid inhalasi. Kombinasi steroid inhalasi-leukotrien dapat
menurunkan angka serangan asma dan menurunkan kebutuhan dosis steroid inhalasi.

24
4. Teofilin lepas lambat
Teofilin lepas lambat dapat diberikan sebagai preparat tunggal atau diberikan sebagai
kombinasi dengan steroid inhalasi pada anak usia di atas 5 tahun. Kombinasi steroid
inhalasi dan teofilin lepas lambat akan memperbaiki kendali asma dan dapat menurunkan
dosis steroid inhalasi pada anak dengan asma persisten. Preparat teofilin lepas lambat lebih
dianjurkan karena kemampuan absorbsi dan bioavaibilitas yang lebih baik. Eliminasi
teofilin lepas lambat bervariasi antar individu sehingga pada penggunaan jangka lama
kadar teofilin dalam plasma erlu dimonitor. Efek samping teofilin lepas lambat terutama
timbul pada dosis tingg, diatas 10mg/kgbb/hari, bisa berupa mual, muntah, anoreksia, sakit
kepala, palpitasi, takikardi, aritmia, nyeri perut, dan diare.
5. Anti-imunoglobulin E (Anti-IgE)
Anti-IgE (omalizumab) adalah antibodi monoklonal yang mampu mengurangi kadar IgE
bebas dalam serum. Pad aorang dewasa dan anak di atas usia 5 tahun, omalizumab dapat
diberikan pada pasien asma yang telah mendapat steroid inhalasi dosis tinggi dan agonis
β2 kerja panjang namun masih sering mengalami eksaserbasi dan terbukti asma karena
alergi. Karena adanya risiko anafilaksis, omalizumab seharusnya dibawah pengawasan
dokter spesialis.
Penentuan derajat kendali
Setiap pasien asma harus ditentukan derajat kendali asma untuk memulai pengobatan
jangka panjang, dan memutuskan turun jenjang atau naik jenjang dalam tatalaksana
Tabel 5. Derajat kendali penyakit asma

Jenjang pengendalian asma


Pedoman Nasional Asma Anak tahun 2015 membagi derajat penyakit asma berdasarkan
kekerapan atau episodik dan derajat kendali. Setelah dilakukan tatalaksana umum berupa
penghindaran pencetus, klasifikasi kekerapan asma dapat ditentukan dalam waktu enam

25
minggu. Pada asma intermitten tidak dibutuhkam tatalaksana asma jangka panjang sesuai
dengan jenjang 1, sedangkan pada asma persisten dilakukan tatalaksana jangka panjang
sesuai dengan jenjang 2 sampai jenjang 4 kemudian dievaluasi secara berkala untuk
menaikan atau menurunkan jenjang dalam pemakaian obat pengendali asma. Diagnosis
derajat kendali dibuat setelah 6 minggu menjalani tatalaksana jangka panjang awal sesuai
klasifikasi kekerapan atau episodik.
Pemberian steroid inhalasi sebagai tatalaksana asma jangka panjang harus dipertimbangkan
pada pasien asma dengan salah satu dari kriteria berikut: mengalami serangan asma pada dua
tahun terkahir, penggunaan obat pereda asma ≥3 kali dalam satu minggu, terbagun karena
serangan asma 1 kali dalam satu minggu.

Gambar 5. Jenjang dalam tatalaksana asma janga panjang pada anak usia > 5 tahun
Keterangan:
1. Acuan awal penetapan jenjang tatalaksana janga panjang menggunakan klasifikasi
kekerapan.
2. Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 6-8minggu dan asma
belum terkendali, maka tatalaksana naik jenjang ke atasnya (step up)
3. Bila suatu jenjang dalam tatalaksana sudah berlangsung selama 8-12 minggu dan
asma terkendali peuh, maka tatalaksana turun jenjang kebawahnya (step down).
4. Perubahan jenjang tatalaksana harus memperhatikan aspek-aspek penghindaran
penyakit penyerta.
5. Pada jenjang 4, jika belum terkendali, tatalksana ditambahkan omalizumab.
3.1.7.1 Tatalaksana Serangan Asma
Serangan asma adalah episode peningkatan yang progresif (perburukan) dari gejala-
gejala batuk, sesak napas, wheezing, rasa dada tertekan, atau berbagai kombinasi dari gejala-
gejala tersebut. Selain berdasarkan kekerapan serangan dan derajat kendali, asma juga

26
diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan, yaitu serangan ringan sedang, serangan berat,
dan ancaman gagal napas. Tatalaksana serangan asma tergatung dari derajat serangan asma
yang dialami.
Obat-obatan untuk serangan asma
1. Agonis β2 kerja pendek
Merupakan obat pilihan pertama bagi serangan asma ringan sedang. Pemberiannya dapat
diulang hingga 2 kali dengan interval 20 menit, pada pemberian ketiga dipertimbangkan
kombinasi dengan ipratropium bromida. Obat ini juga diberikan sebagai premedikasi
untuk serangan asma yang dipicu latihan (exercise induced asthma). Contoh agonis β2
kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol.
2. Ipratropium bromida
Kombinasi agonis β2 kerja pendek dan ipratropium bromida (antikolinergik) pada
serangan asma ringan-sedang menurunkan risiko rawat inap dan memperbaiki PEF dan
FEV, dibandingkan dengan β2 agomis saja. Kombinasi tersebut dapat diberikan sebagai
obat pulang yang dipakai di rumah jika pasien dapat diedukasi dengan baik dan dapat
menilai bahwa serangan yang terjadi dinilai berat. Ipratropium bromida terbukti
memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpatis dalam inervasi
otonom di saluran napas.
3. Aminofilin intravena
Aminofilin intravena diberikan pada anak dengan serangan asma berat atau dengan
ancaman henti napas yang tidak berespon terhadap dosis maksimal inhalasi β2 agomis
dan steroid sistemik. Dosis yang direkomendasikan yaitu dengan dosis inisial bolus pelan
6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara
drip 1 mg/kg/jam. Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2
mcg/mL. Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20
ug/mL. Oleh karena itu kadar aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah
loading dose diberikan.
4. Steroid sistemik
Pemberian steroid sistemik dapat mempercepat perbaikan serangan dan mencegah
kekambuhan, dan direkomendasikan untuk diberikan pada semua jenis serangan. Jika
meungkinkan, steroid oral diberikan dalam 1 jam pertama. Pemberian peroral sama
efektifnya dengan pemberian secara intravena. Steroid sistemik berupa prednison atau
prednisolon diberikan per oral dengan dsis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum

27
sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa
tappering off.
5. Adrenalin
Apabila tidak tersedia obat-obatan lain, dapat digunakan adrenalin. Epinefrin (adrenalin)
intramuskular diberikan sebagai terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan
anafilaksis dan angioedema dengan dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000),
dengan dosis maksimal 500 ug (0,5 ml).
6. Magnesium sulfat
Pada penelitian multisenter didapatkan hasil bahwa pemberian magnesum sulfat
(MgSO4) intravena 50 mg/kgBB (inisial) dalam 20 menit yang dilanjutkan dengan 30
mg/kgBB/jam mempunyai efektifitas yang sama dengan pemberian agonis β2.
Pemberian MgSO4 ini dapat meningkatan Fev1 dan mengurangi angka perawatandi RS.
7. Steroid inhalasi
Steroid nebulisasi dengan dosis tinggi (1600-2400 ug budesonide) dapat digunakan untuk
serangan asma, namun perlu diperhatikan untuk memberi dalam dosis tinggi karena
steroid nebulisasi dosis rendah tidak bermanfaat untuk mengatasi serangan asma. Harap
diperhatikan pula bahwa penggunaan steroid inhalasi dosis tinggi ini terbatas pada
pasien-pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap steroid sistemik.
8. Mukolitik
Mukolitik pada serangan asma ringan sedang dapat diberikan, tetapi harus berhati-hati
pada anak dengan refleks batuk yang tidak optimal. Hati-hati pemberian mukolitik pada
bayi dan anak di bawah usia 2 tahun. Pemberian mukolitik secara inhalasi tidak
memunyai efek yang signifikan dan tidak boleh diberikan pada serangan asma berat.
9. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada asma tidak dianjurkan karena sebagian besar pencetusnya
bukan infeksi bakteri melainkan infeksi virus. Pada keadaan tertentu antibiotik dapat
diberikan, yaitu pada infeksi respiratori yang dicurigai karena bakteri atau dugaan adanya
sinusitis yang menyertai asma. Pada serangan yang berat perlu dipikirkan adanya suatu
penyulit antara lain pneumonia atipik. Apabila ada kecurigaan pneumonia atipik maka
diberikan antibiotik, yang dianjurkan adalah golongan makrolid.
10. Obat sedasi
Pemberian obat sedasi pada serangan asma sangan tidak dianjurkan karena dapat
menyebabkan depresi pernapasan.
11. Antihistamin
28
Antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena tidak memunyai efek yang
bermakna, bahkan dapat memperburuk keadaan.
Tabel 6. Derajat keparahan serangan asma

Kotak 2. Pasien risiko tinggi

The Global Initiative for Asthma (GINA) membagi tatalaksana serangan asma
menjadi dua, yaitu tatalaksana di rumah dan di fasilitas pelayanan kesehatan/Rumah Sakit.
1. Tatalaksana di rumah
Jika tidak ada keadaan risiko tinggi seperti pada kotak 2, berikan inhalasi agonis β2 kerja
pendek, via nebulizer atau dengan MDI + spacer.
a. Jika diberikan via nebulizer
 Berikan agonis β2 kerja pendek, lihat responnya. Bila gejala (sesak napas dan
wheezing) menghilang, cukup diberikan satu kali.
 Jika gejala belum membaik dalam 30 menit, ulangi pemberian sekali lagi.
 Jika dengan 2 kali pemberian agonis β2 kerja pendek via nebulizer belum
membaik, segera bawa ke fasyankes.
b. Jika di berikan via MDI+spacer

29
 Berikan agonis β2 kerja pendek serial via spacer dengan dosis: 2-4 semprot.
Berikan satu semprot obat ke dalam spacer diikuti 6-8 tarikan napas melalui antar
muka (interface) spacer berupa masker atau mouthpiece. Bila belum ada respon,
berikan semprot berikutnya dengan siklus yang sama.
 Jika membaik dengan dosis ≤4 semprot, inhalasi dihentikan.
 Jika gejala tidak membaik dengan dosis 4 semprot, segera bawa ke fasyankes.

2. Tatalaksana di fasilitas pelayanan kesehatan primer

30
Gambar 6. Alur tatalaksana serangan asma pada anak di fasyankes dan RS
Tindak lanjut:
 Bila pasien memenuhi kriteria untuk dipulangkan, obat yang dibawa pulang adalah
agonis β2 kerja pendek (bila terseda sangat dianjurkan inhalasi daripada preparat oral)
dan steroid oral. Pemberian steroid oral bisa dilanjutkan sampai 3-5 hari lalu dapat
dihentikan langsung tanpa tappering off.
 Jika pasien dengan asma persisten, berikan obat pengendali. Apabila pasien
sebelumnya sudah diberi obat pengendali, lalu evaluasi dan sesuaikan ulang dosisnya.
 Jika obat diberikan dalam bentk inhaler, sebelum pasien dipulangkan, pastikan teknik
pemakaian inhaler sudah tepat.
 Kontrol ulang ke fasyankes 3-5 hari kemudian.

31
3. Tatalaksana di rumah sakit (UGD)
a. Serangan asma ringan sedang
 Tindakan awal dapat diberikan agonis β2 kerja pendek lewat nebulisasi atai MDI
dengan spacer, yang dapat di ulang hingga 2 kali dalam 1 jam, dengan
pertimbangan menambahkan ipratropium bromida pada nebulisasi ketiga.
 Pasien di observasi jika tetap baik dapat dipulangkan
 Walaupun tidak diperlukan, untuk persiapan keadaan darurat, pasien dapat
langsung dipasangkan jalur prenteral.
 Pasien dibekali dengan obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6
jam.
 Steroid sistemik (oral) berupa prednison atau prednisolon dengan dosis 1-2
mg/kgbb/hari selama 3-5 hari, tanpa tappering off, maksimal pemberian 1 kali
dalam 1 bulan.
b. Serangan asma berat
 pasien dengan serangan asma berat harus dirawat di ruang rawat inap.
 Nebulisasi yang diberikan pertama kali adalah agonis β2 dengan penambahan
ipratropium bromida.
 Oksigen 2-4 liter per menit diberikan sejak awal termasuk pada saat nebulisasi
 Pasang jalur parenteral pada pasien dan lakukan pemeriksaan rontgen toraks.
 Steroid sebaiknya diberikan secara parenteral.
c. Ancaman gagal napas
Apabila pasien menunjukan gejala dan tanda ancaman gagal napas, pasien harus
langsung dirawat di ruang rawat intensif. Pemeriksaan rontgen toraks dilakukan untuk
mendeteksi adanya komplikasi pneumotoraks dan/atau pneuomediastinum.
Kriteria pasien yang memerlukan ICU adalah:
 Tidak ada respon sama sekali terhadap tatalaksana awal di UGD dan/atau
perburukan asma yang cepat.
 Adanya kebingungan, disorientasi, dan tanda lain ancaman henti napas, atau
hilangnya kesadaran.
 Tidak ada perbaikan dengan tatalaksana baku diruang rawat inap.
 Ancaman henti napas; hipoksemia tetap terjadi meskipun sudah diberi oksigen
(kadar PaO2<60 mmHg dan/atau PaCO2>45 mmHg, meskipun tentu saja gagal

32
napas dapat terjadi pada kadar PaCO2 yang lebih tinggi atau lebih rendah).
Penggunaan ventilator tidak dibahas dalam pedoman ini.
4. Tatalaksana di ruang rawat sehari (RRS)
 Oksigen yang telah diberikan saat pasien masih di UGD tetap diberikan
 Setelah pasien menjalani dua kali nebulisasi dalam 1 jam dengan respon parsial di
UGD, di RRS diteruskan dengan nebulisasi agonis β2 dan ipratropium bromida
setiap 2 jam.
 Kemudian berikan steroid sistemik oral berupa prednison atau prednisolon.
Pemberian steroid ini dilanjutkan hingga 3-5 hari
 Jika dalam 12 jam klinis tetap baik, maka pasien dipulangkan dan dibekali obat
seperti pada pasien serangan ringan sedang yang dipulangkan dari klinik/UGD.
5. Tatalaksana di ruang rawat inap
 Pemberian oksigen diteruskan.
 Jika ada dehidrasi dan asidosis maka berikan cairan intravena dan koreksi
asidosisnya.
 Steroid intravena diberikan secara bolus, setiap 6-8 jam. Dosis steroid intravena
adalah 0,5-1 mg/kgBB/hari.
 Nebulisasi agonis β2 kerja pendek + ipratropium bromida dengan oksigen
dilanjutkan setiap 1-2 jam. Jika dalam 4-6 kali pemberian mulai terjadi perbaikan
klinis, jarak pemberian dapat dierlebar menjadi tiap 4-6 jam.
 Aminofilin diberikan secara intravena dengan dosis
- Aminofilin dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgBB, dilarutkan dalam
dekstrosa atau garam fisiologis sebanyak 20 ml, dan diberikan selama 30 menit,
dengan infusion pump atau mikroburet.
- Bila respon belum optimal dilanjutkan dengan pemberian aminofilin dosis
rumatan sebanyak 0,5-1 mg/kgBB/jam.
- Jika pasien telah mendapat aminoflin (kurang dari 8 jam), dosis diberikan
separuhnya, baik dosis awal (3-4 mg/kgBB) maupun rumatan (0,25-0,5
mg/kgBB/jam).
- Bila memungkinkan, sebaiknya kadar aminofilin diukur dan dipertahan 10-20
mc/ml.

33
- Pantau gejala-gejala intoksikasi aminofilin, efek samping yang sering adalah
mual, muntah, takikardi dan agitasi. Toksisitas yang berat dapat menyebabkan
aritmia, hipotensi, dan kejang.
 Bila telah terjadi perbaikan klinis, nebulisasi diteruskan setiap 6 jam hingga
mencapai 24 jam, dan steroid serta amiofilin diganti dengan pemberian peroral.
 Jika dalam 24 jam pasien tetap stabil, pasien dapat dipulangkan dengan dibekali
obat agonis β2 (hirupan atau oral) yang diberikan setiap 4-6 jam selama 24-48 jam.
Selain itu, steroid oral dilanjutkan hingga pasien kontrol ke klinik rawat jalan
dalam 3-5 hari untuk reevaluasi tatalaksana

3.2 Tinjauan kasus: Diagnosis Asma Intermitten Derajat Serangan Ringan Sedang
Berdasarkan anamnesis dengan ibu pasien pada kasus ini, seorang anak perempuan
usia 11 tahun, anak mengeluh sesak nafas. Sesak disertai dengan bunyi mengi. Sesak
mengganggu aktifitas. Pasien dapat berbicara dalam penggalan kalimat dan lebih
senang duduk dibanding berbaring. Sesak tidak menghilang/berkurang dengan
istirahat dan perubahan posisi (duduk/berdiri). Sesak muncul setelah anak mengikuti
kegiatan drumband di sekolah dan kelelahan. Anak sudah nebulisasi 1x namun
kembali sesak. Tidak terdapat keluhan yang mengarah ke penyakit jantung bawaan
dan penyakit infeksi paru. Riwayat keluhan serupa (+) 6 bulan lalu, riwayat asma (+).
Dari anamnesis juga didapatkan beberapa faktor risiko yang membuat anak menderita
asma antara lain faktor genetik yaitu ayah pasien memiliki riwayat penyakit asma
serta faktor lingkungan yaitu kelelahan, dan kedinginan. Dari pemeriksaan fisik saat
di UGD didapatkan anak sesak, suara nafas mengi, RR: 30x/menit, wheezing (+/+)
seluruh lapang paru.
Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, anak dikategorikan mengalami
serangan asma ringan sedang karena anak mengalami sesak yang mengganggu
aktivitas, bicara dalam penggalan kalimat, tidak ada sianosis, wheezing pada kedua
lapangan paru, dan takipneu (>20x/menit). Termasuk dalam episodik intermitten
karena gejala <6x/tahun atau jarak antar gejala >= 6 minggu.
Pasien dirawat inap di bangsal anak dan diberikan infus RL 15 tpm, O2 nasal kanul
3lpm, head up, nebulisasi 10 tetes 1x, aminofilin 2x1, inj Dexamethason 2x1 ampul
iv. Agar tidak mudah kambuh, perlu dijelaskan kepada orang tua dan anak untuk

34
menghindari pencetus asma seperti debu, kelelahan, dan kedinginan. Kelelahan bisa
dihindari dengan tidak banyak beraktivitas atau perbanyak istirahat
Prognosis dari kasus ini yaitu kesembuhan/kekambuhan (quo ad sanam) adalah dubia
ad bonam asma dapat berulang bila terpapar faktor pencetus, tetapi dapat dicegah.
Kehidupan (quo ad vitam) adalah ad bonam karena mortalitas asma sangat rendah.
Untuk fungsional (quo ad fungsional) adalah dubia ad bonam karena sebagian besar
penderita asma harus membatasi aktivitasnya dan apabila kambuh akan berpengaruh
terhadap akademis karena meningkatkan angka absensi di sekolah.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Asthma [internet]. Geneva: WHO; 2013 [disitasi tanggal
17november 2017]. Tersedia dari:http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs307/en
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman nasional asma anak. Jakarta: IDAI; 2015.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2013. Jakarta:
Kemenkes RI; 2013.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar respirologi. Edisi ke-2. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI; 2010.
5. Lenfant C, Khaltaev N. Global initiative for asthma. Geneva: NHLBI/WHO; 2002.
6. Baratawidjaja KG, Soebaryo RW, Kartasasmita CB, Suprihati, Sundaru H, Siregar
SP, et al. Allergy and asthma, the scenario in Indonesia. Dalam: Shaikh WA, editor.
Principles and practice of tropical allergy and asthma. Mumbai: Vicas Medical
Publishers; 2006.
7. Masoli M, Fabian D, Holt S, Beasley R. Global burden of asthma. New Zealand:
Medical Research Institute of New Zealand; 2013.
8. Steinke JW, Borish L. Genetics of allergic disease. Med Clin N Am. 2006; 90: 1-15.

36

You might also like