You are on page 1of 18

MAKALAH ULUMUL HADIST

Perawi Hadist Mulai Dari Sahabat Hingga Para Ulama

Dosen Pengampu :
Arif Fikri ,M.Ag

Disusun oleh:
Betha Destalia (2121010072)
Dhilla Shilpa Puspita (2121010134)
M. Taufik Akbar (2121010141)
M.Nur Irfansyah (2121010143)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG


FAKULTAS SYARIAH
HUKUM KELURGA ISLAM
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kami panjatkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan
Rahmat dan Karunia-nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat
pada waktunya.
Makalah ini dibuat dengan berbagai observasi dan beberapa bantuan dari berbagai pihak untuk
membantu menyelesaikan tantangan dan hambatan selama mengerjakan makalah ini. Oleh
karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh
karena itu kami mengundang pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun kami. Kritik konstruktif dari pembaca sangat kami harapkan untuk
penyempurnaan makalah selanjutnya.

Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita sekalian.

Bandar lampung Maret 2022

Penulis
BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Islam mengenal dua sumber hukum primer dalam perundang-undangan


pertama, Al-Qur’an dan yang kedua Al-Hadist. Terdapat perbedaan antara kedua
sumber hukum tersebut, Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama memang
sejak awal sudah ada perintah untuk pembukuannya secara resmi, dengan
harapan agar memperkecil kemungkinan pemalsuan terhadap rasm Al-Qur’an.
Sedangkan, hadist itu sendiri tak ada sebuah perintah khusus untuk melakukan
pembukuan sehingga pemeliharaan Al-Hadist saat ini merupakan bentuk dari
inisiatif pemikiran dan spontanitas dari para sahabat.

Hadist merupakan segala ucapan, perbuatan, dan ketetapan Nabi


Muhammad SAW, mula-mula hadist dihafalkan lalu disampaikan secara lisan
dengan berkesinambungan dari generasi ke generasi, setelah Nabi Muhammad
SAW wafat pada tahun 10 H, islam merasakan kehilangan yang sangat besar
sebab ummat islam pada saat itu setiap ada masalah yang belum terpecahkan
pasti akan menanyakan langsung kepada Nabi. Akan tetapi, semenjak ditinggal
wafat kanjeng nabi mereka seperti kehilangan arah dan satu-satunya yang dapat
mereka jadikan petunjuk pada saat itu hanyalah Al-Qur’an.

Wahyu-wahyu dalam Al-Qur’an yang sangat sedikit sekali mengandung


petunjuk yang praktis untuk dijadikan prinsip pembimbing yang umum dalam
berbagai aktivitas. Khalifah-khalifah awal membimbing kaum muslim dengan
sahabat Nabi. Meskipun, terkadang bersandar pada penilain mereka, namun
setelah berapa lama ketika muncul kesulitan yang tidak dapat lagi mereka
pecahkan sendiri mereka mulai menggunakan sunah, seperti yang merupakan
kebiasaan prilaku Nabi sebagai acuan dan contoh dalam memutuskan suatu
masalah. Sunahyang hanya terdapat dalam hafalan-hafalan sahabat tersebut
dijadikan sebagai bagian dari refrensi penting setelah Al-Qur’an. Bentuk-bentuk
hafalan inilah yang kemudian disebut dengan hadist.

B. Rumusan Masalah
dalam makalah ini dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. dapat mengetahui para ahli hadist dikalangan sahabat
2. dapat mengetahui para ahli hadist pada masa tabi’ dan tabi’in
3. dapat mengetahui penulis kitab-kitab hadist terkenal
4. dapat mengetahui tentang pengembang ilmu hadis
C. Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Ulumul Qur’an
2. Untuk menambah wawasan tentang sejarah daripada ilmu Hadist
3. Untuk mengetahui mengenai perkembangan ilmu hadist dari zaman
para Sahabat dan Tabi’ Tabi’ in
BAB II
PEMBAHASAN
I. Penyebaran Hadis Zaman Sahabat Dan Tabi’in
A. Sahabat (Hadis pada Masa Khulafa al-Rasyidin)
 Perkembangan Hadis Sahabat adalah
a. Orang yang pernah berjumpa dengan Nabi Muhammad saw.  dengan beriman
kepadanya dan mati sebagai orang Islam.
b. Orang yang lama menemani Nabi Muhammad saw. dan berulang kali
mengadakan pertemuan dengan beliau dalam rangka mengikuti dan mengambil
pelajaran dari beliau.
c. Orang Islam yang pernah menemani Nabi Muhammad dan pernah melihat
beliau.
 beberapa sahabat perawi hadist

Ibnu Qayim menggolongkan mereka dalam tiga kategori berdasarkan fatwa


mereka. Didalamnya juga banyak sahabat laki-laki maupun perempuan.

Kategori pertama, menurut dia, para sahabat yang banyak berfatwa ada sekitar
tujuh orang, yaitu Umar bin Khattab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud,
Aisyah Ummul Mukminin, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin
Abbas

Kategori kedua, para sahabat yang pertengahan dalam berfatwa, yang jumlahnya


20 orang. Di antaranya, Abu Bakar, Ummu Salamah, Anas bin Malik, Abu Sa'id al-
Khudri, Abu Hurairah, Utsman bin Affan, Abdullah bin Amr bin al-Ash, Abdullah
bin Zubair, dan lain-lain.

Kategori ketiga, para sahabat yang sedikit berfatwa, hanya satu-dua masalah.


Mereka adalah Abu Darda, Abu al-Yasar, Abu Salamah al-Makhzumi, Abu
Ubaidah bin al-Jarrah, Hasan bin Ali, Husain bin Ali, Nu'man bin Basyir, Ubay bin
Ka'ab, Abu Ayyub, Abu Thalhah, Abu Dzar, Ummu Athiyyah, Shafiyah Ummul
Mukminin, Hafshah, dan Ummu Habibah.

Adapun para penulis wahyu dari para sahabat di antaranya adalah empat khalifah,
yaitu Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu. Selain
itu, ada juga para sahabat di antara mereka, seperti Aban bin Said bin Al-Aas dari
Bani Umayyah. Wahyu itu ditulis di hadapan Rasulullah.     
Adapun perawi hadits dari kalangan para sahabat adalah imam yang akan
diteladani, dan mereka dimintai fatwa, dan mereka mendengar hadits dan kemudian
membacanya. Hadits para sahabat yang paling banyak adalah Abu Hurairah, yang
meriwayatkan sebanyak 5374 hadits.

Terbanyak kedua adalah Abdullah bin Umar. Dia meriwayatkan 2.630 hadits. 
Kemudian, Anas bin Malik meriwayatkan 2.286 hadits. Sedangkan Ibnu Abbas
meriwayatkan 1.600 hadits. Adapun Aisyah, dia meriwayatkan 2210 hadits. 

B. Metode sahabat memelihara kemurnian Sunnah Nabi saw


a. Taqlil Ar-riwayah
Secara khusus, dalam pemerintahan Abu Bakar dan Umar, ditemukan kesan
adanya upaya meminimalisasi riwayat hadis. Jika diamati, mengapa sahabat
membatasi periwayatan, maka ditemukan jawaban di sekitar hal ini yang bersifat
kondisional dan bersifat kehati-hatian, yaitu:
 Pada masa Abu Bakar, pusat perhatian tertuju pada pemecahan masalah
politik, khususnya konsolidasi dan pemulihan kesadaran terhadap perlunya
menjalankan roda khilafah Islam . Oleh sebab itu, gerakan periwayatan dengan
sendirinya terbatas.
 Sahabat masih dekat dengan era Nabi saw. dimana umumnya mereka
mengetahui Sunnah. Sehingga persoalan-persoalan hukum dan sosial telah
mendapat jawaban dengan sendirinya pada diri mereka.
 Para sahabat lebih menfokuskan diri pada kegiatan penulisan dan kodifikasi
Alquran. Kegiatan ini bukanlah pekerjaan mudah, sebab sahabat-sahabat mesti
menyeleksi tulisan-tulisan dan hafalan di antara mereka untuk dibukukan
dalam satu buku atau mushaf.
 Adanya kebijaksanaan yang dilakukan penguasa, khususnya Umar, agar
sahabat menyedikitkan riwayat. Ini disebabkan kecenderungannya yang sangat
selektif, berhati-hati, dan diiringi sikap ketegasannya.
 Sahabat khawatir terjadinya pemalsuan hadis yang dilakukan oleh mereka
yang baru masuk Islam, sebab sunnah belum terlembaga pengumpulannya
sebagaimana Alquran. Umar pernah mempersyaratkan penerimaan hadis
dengan mendatangkan  saksi atau melakukan sumpah, namun beliau juga
pernah menerima hadis tanpa persyaratan itu
C. Tatsabbut Fi Ar-riwayah
Adanya gerakan pembatasan riwayat di kalangan sahabat tidaklah berarti bahwa
mereka sama sekali tidak meriwayatkan Sunnah pada masanya. Maksud dari
pembatasan tersebut hanyalah menyedikitkan periwayatan dan penyeleksiannya.
Konsekuensi dari gerakan pembatasan tersebut, muncullah sikap berhati-hati
menerima dan meriwayatkan Sunnah. Para sahabat melakukan penyeleksian riwayat
yang mereka terima   dan memeriksa Sunnah yang mereka riwayatkan dengan cara
mengkonfirmasikan dengan sahabat lainnya
D. Masa Tabi’in
Tabi’in adalah orang Islam yang bertemu dengan sahabat, berguru dan belajar
kepada sahabat, tapi tidak bertemu dengan Nabi saw. dan tidak pula semasa dengan
Nabi saw. Tabi’in Besar (Kibar Tabi’in) adalah Tabi’in yang banyak bertemu sahabat,
belajar dan berguru kepada mereka. Tabi’in besar besar ini di antaranya yang dikenal
dengan fukaha tujuh, yaitu, Sa’id Ibn Musayyab, Al-Qasim Ibn Muhammad Abu
Bakr, Urwah bin Zubair, Kharijah Ibn Zaid, Abu Ayyub Sulaiman Hilali, Ubaidullah
Ibn Utbah, Abu Salamah Ibn Abdurahman ibn Auf. Tabi’in Kecil (Sighor Tabi’in)
adalah Tabi’in yang sedikit bertemu sahabat dan lebih banyak belajar dan mendengar
Hadis dari Tabi’in besar. Peranan Tabi’in dalam pertumbuhan sejarah hadis tidak
dapat dipungkiri merupakan salah satu peranan besar dalam kesinambungan dan
pemeliharaan hadis. Khususnya setelah masa pemerintahan Usman dan Ali.

E. Ahli Hadis Dikalangan Tabi’in dan Tabi’Tabi’in


SA'ID BIN MUSAYYAB

Nama lengkapnya adalah Said bin al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahb al-Makhzumi
al-Quraisy. Beliau lahir pada tahun 15 H/636 M dan wafat pada tahun 94 H/715 M
pada usia. Beliau lahir sebelum khalifah Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah.
Ayahnya dan kakeknya adalah sahabat Nabi Shallallahu alaihi wassalam, sejak muda
beliau telah melakukan perjalanan siang dan malam untuk mendapatkan hadist Nabi. 

Beliu adalah salah seorang ulama ahli hadits dan ahli fiqih dari Madinah. Beliau
termasuk golongan tabi'in, dan merupakan salah seorang dari Tujuh Fuqaha Madinah.
Di antara ketujuh tokoh Madinah tersebut, beliau sering dianggap sebagai yang paling
berpengaruh.  
Beliau adalah orang yang paling hapal atas berbagai hukum dan keputusan yang
dikeluarkan oleh Khalifah Umar bin Khattab, sehingga mendapat julukan Rawiyatul
Umar (periwayat Umar). Hadits mursal yang berasal dari Said bin al-Musayyib
dianggap hasan oleh Imam Syafi'i. Walau demikian, Imam Ahmad juga berkata,
"Mursalat (kumpulan hadits mursal) yang diriwayatkannya adalah shahih
kesemuanya."  
Karena beliau lahir pada saat Khalifah Umar bin Khattab memerintah selama dua
tahun menggantikan Abu Bakar As Shiddiq, dan meninggal saat Khalifah Al Walid
bin Abdul Malik memerintah. Oleh karena itu, beliau menyaksikan sendiri bagaimana
gaya kepemimpinan tiga khalifah yaitu Umar, Usman bin Affan dan Ali bin Abi
Thalib. Dari mereka pulalah, beliau mendapatkan banyak hadis.  
Karena penguasaannya pada hadis begitu luar biasa, dia dianggap sebagai tabi'in
paling berpengaruh di masanya. Dia bahkan mendapat julukan sebagai imam para
ulama fikih.  
Selain itu, beliau juga tidak pernah absen dari sholat jamaah di Masjid Nabawi.
Bahkan, beliau selalu menempati shaf terdepan, seperti penjelasan berikut. 
Dari Abdul Mu’in bin Idris dari ayahnya, ia berkata, " Selama 50 tahun Said bin
Musayyib melaksanakan sholat Subuh dengan wudhu sholat Isya’.  
Said bin Al Musayyib berkata, " Aku tidak pernah ketinggalan takbir pertama dalam
sholat selama lima tahun (sholat di awal waktu). Aku juga tidak pernah melihat
punggung para jemaah, karena aku selalu berada di barisan terdepan selama lima
tahun itu."

URWAH BIN ZUBAIR


Nama lengkapnya adalah Abu ‘Abdillah ‘Urwah bin Az-Zubair bin Al-’Awwam bin
Khuwailid bin Asad bin ‘Abdil ‘Uzza bin Qushay bin Kilab Al-Qurasyi Al-Asadi Al-
Madani, di lahirkan pada tahun ke-23 Hijriyyah pada masa kekhalifahan ‘Utsman bin
‘Affan di kota Madinah, Putra dari Az-Zubair bin Al-’Awwam radhiyallahu ‘anhu. Ibu
beliau adalah Asma’ bintu Abi Bakr Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhuma.  

Beliau adalah adik kandung ‘Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma. Bibi
beliau adalah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ibunda kaum mukminin. Dari beliaulah,
keponakan yang shalih ini banyak menimba ilmu dan meriwayatkan hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Sehingga tidaklah mengherankan kalau kemudian
‘Urwah menjadi salah seorang tabi’in yang paling mengetahui hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.
Al-Imam Adz-Dzahabi menempatkan beliau pada posisi thabaqah yang kedua,
thabaqahnya para tokoh besar tabi’in.

NAFI' AL MADANI
Nama lengkapnya adalah Nafi' bin Abdurrahman bin Abi Nu'aim al-Laitsi al-Kanani
atau lebih dikenal sebagai Nafi' al-Madani. Beliau lahir pada tahun 70 H, wafat di
Madinah pada tahun 
169 H, adalah seorang ulama dibidang qira'at al-Qur'an dan merupakan salah satu
Imam qira'at sepuluh.  
Imam Nafi’ dalam pengakuannya—sebagaimana diceritakan oleh Abu Qurrat Musa
bin Thariq— dikatakan bahwa beliau berguru kepada tujuh puluh tabi’in, di antaranya
adalah Imam Abu Ja’far (imam qira’at kedelapan), Syaibah bin Nashah, Muslim bin
Jundub, Yazid bin Ruman, Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri,
Abdurrahman bin Hurmuz al-A’raj.  
Dari sekian banyak gurunya inilah, Imam Nafi’ melakukan seleksi bacaan, yaitu
mengambil bacaan yang sama di antara guru-gurunya, dan meninggalkan bacaan yang
berbeda. Hasil dari penyeleksian inilah kemudian dijadikan kaidah tersendiri oleh
Imam Nafi’, yang kemudian dikenal luas oleh para generasi berikutnya sebagai qira’at
Imam Nafi’.  
Dalam bidang hadits, beliau sangat sedikit sekali meriwayatkan hadits Nabi. Namun
hal tersebut tidak mengurangi kredibilitas dan kapabilitas beliau sebagai ahli qira’at.
Karena hal ini justru menunjukkan konsistensi beliau dalam mengabdikan hidup untuk
menyelami lautan ilmu qira’at.

HASAN AL BASHRI
Beliau merupakan alim ternama pada era tabi'in, sekaligus murid para sahabat Nabi
SAW dan ahlul bait. Kata-kata mutiara dan nasihat yang disampaikan beliau selalu
mampu menyentuh hati kaum Muslimin.  
Ayahnya merupakan pembantu sahabat Rasulullah SAW yang terkenal sebagai
penulis Alquran, Zaid bin Tsabit. Ibunya merupakan Khairoh, maula salah seorang
istri nabi, Ummu Salamah.  
Nama al-Hasan merupakan pemberian dari sang ummul mukminin. Hasan al-Bashri
lahir di Madinah pada 642 Masehi, atau sembilan tahun pasca wafatnya Rasulullah
SAW. 
Meski lahir dengan status orang tua sebagai mantan budak, Hasan besar di tengah-
tengah kasih dan sayang para keluarga dan sahabat Nabiyullah Muhammad. Ummul
mukminin Ummu Salamah bahkan menjadi ibu susu dari al-Hasan. Al-Hasan kecil
pun belajar di rumah-rumah para istri Rasulullah yang kala itu masih hidup.  
la juga rajin ke masjid Nabawi untuk mendengarkan kajian ilmu dari para sahabat
Rasulullah. Khalifah Umar Bin Khattab pun pernah mendoakannya menjadi orang
yang fakih dalam beragama dan dicintai semua orang.  
Bergaul dengan para sahabat Rasul sejak kecil membuat al-Hasan tumbuh menjadi
pemuda yang saleh. Beliau meriwayatkan banyak hadis dari para sahabat Rasul,
seperti Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Musa al-Asy'ari, Abdullah bin
Umar, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik, dan masih banyak lain. Saat usia 14
tahun, beliau pindah ke Kota Bashrah, Irak. Dari sinilah beliau kemudian mendapat
nama al-Bashri karena mengacu pada kota Bashrah.  
Tinggal di Irak tak membuat beliau berhenti belajar. Beliau pun kemudian menjadi
murid salah seorang sahabat Rasul, Abdullah bin Abbas. Dari Ibnu Abbas-lah, Hasan
belajar tafsir, hadis, dan qiraah. Dalam hal sastra, Hasan belajar dari Ali Bin Abi
Thalib. la mengangumi sang khalifah keempat karena lisannya yang penuh nasihat dan
hikmah. Hasan juga sempat diasuh istri Rasul, Ummu Salamah, yang dikenal paling
berwawasan luas. Di bidang lain, Hasan bergilir mengikuti majelis sahabat satu ke
yang lain. Alhasil, jadilah beliau sangat fakih dalam ilmu agama.

MUHAMMAD IBNU SIRIN


Abu bakar Muhammad bin Sirin al-Bashri atau disingkat Ibnu Sirin, adalah salah
seorang tokoh ulama ahli fiqih dan perawi hadis dari golongan tabi'in yang menetap di
Bashrah. Ibnu Sirin juga terkenal kemampuannya dalam menakwilkan mimpi, serta
atas kesalehannya. Beliau lahir pada tanggal 653 M di Basra, Irak. Beliau meninggal
pada tanggal 12 Januari 729 M, Basra, Irak.  
Ayahnya bernama Sirin Al-Ansari dan ibunya bernama Shafiyah maula Abubakar.  
Ibnu Sirin mempelajari ilmu agama serta meriwayatkan hadis antara lain dari Abu
Hurairah, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Imran bin Hushain, dan Anas bin
Malik. Beliau merupakan guru bagi Qatadah bin Di'amah, Khalid al-Hadda, Ayyub al-
Sakhtiyani, dan lain-lain. Ibnu Sirin dilahirkan dua tahun sebelum pemerintahan
Utsman bin Affan berakhir. Anas bin Malik pada saat berada di Persia menjadikan
Ibnu Sirin sebagai sekretarisnya.

MUHAMMAD IBNU SYIHAB AZ ZUHRI

Beliau adalah ulama dengan andil besar dalam pembukuan hadis. Bahkan disebutkan
dalam biografinya sebagai ulama yang pertama kali membukukan hadis atas perintah
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah.  
Bukan saja kapasitas keilmuannya yang diakui ulama yang sezaman dengannya.
Namun keuletan dan kesungguhannya dalam menuntut ilmu agama sangat
mengagumkan.  
Nama beliau sebenarnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin 'Ubaidullah
bin 'Abdullah bin Syihab bin 'Abdullah bin al-Harith bin Zuhrah. Lebih populer dengan
nama Ibnu Syihab Az Zuhri.  
Satu pendapat menyebutkan bahwa Az Zuhri lahir pada tahun 51 H. Sejak awal beliau
tumbuh dan berkembang di lingkungan yang agamis. Ayah beliau yang bernama
Muslim bin Abdillah adalah seorang perawi hadis yang tsiqah (terpercaya).  
Adapun ibundanya adalah Ummu Ahban bintu Laqith bin Urwah bin Ya’mur. Az
Zuhri memiliki seorang saudara laki yang lebih muda usianya bernama Abdullah bin
Muslim. Dia sempat bertemu Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dan meriwayatkan
darinya, namun meninggal sebelum Az Zuhri.  
Meskipun berstatus sebagai shighar tabiin (tabiin junior) namun beliau adalah ulama
besar di masanya. Az Zuhri banyak menimba ilmu dari sebagian shahabat dan para
pembesar ulama tabiin. Semisal Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, Jabir bin
Abdillah, Said bin Al Musayyib, Al  
Hasan Al Bashri, Urwah bin Zubair, Atha bin Abi Rabah, dan masih banyak yang
lainnya. Terutama dari Said bin Al Musayyib rahimahullah, beliau adalah salah satu
gurunya yang sangat istimewa. Dalam kurun waktu itu, beliau tinggal dan menimba
ilmu dari Said bin Al Musayyib.  
Potensi besarnya sebagai ulama telah diketahui oleh Khalifah Bani Umayah saat itu,
berawal dari pertemuannya dengan Abdul Malik bin Marwan untuk yang pertama
kalinya.  
Lantas Abdul Malik bertanya kepadanya, “Apakah engkau hafal Al Quran?” “Ya,”
jawab Az Zuhri.  
Kemudian Abdul Malik pun melanjutkan pertanyaannya seputar faraidh dan sunnah.
Dijawablah semua itu dengan baik olehnya sehingga Abdul Malik terkesan dan kagum
terhadapnya. 
Hingga Abdul Malik memberikan hadiah kepada Az Zuhri dan melunasi hutangnya.
Tidak hanya itu, ia juga membelikan rumah dan pelayan untuk Az Zuhri seraya
mengatakan kepadanya,  
“Carilah ilmu agama, sungguh aku melihat potensi hafalan yang kuat pada dirimu dan
kecerdasan dalam kalbumu. Datangilah orang-orang Anshar di rumah-rumah
mereka.”  
Sejak saat itu, Zuhri mengambil ilmu dari para shahabat Anshar Madinah dan di sana
beliau menjumpai ilmu yang sangat berlimpah.  
Di antara faktor pendukung keberhasilannya menuntut ilmu adalah kesungguhannya
dalam belajar. Bahkan Az Zuhri sangat tekun untuk selalu menulis setiap ilmu yang ia
dengar. Keseriusannya dalam menimba ilmu dipersaksikan oleh ulama di masanya.  
Menuntut ilmu agama memang membutuhkan perjuangan ekstra untuk bisa
mendapatkan hasil yang maksimal. Dengan segenap kemampuan yang dimiliki sekali
pun tidak mungkin bisa menjangkau seluruh ilmu yang ada. Apalagi ketika seseorang
hanya mengerahkan sebagian kemampuannya saja. Tentu hasil yang diperoleh tidak
akan maksimal dan jauh dari harapan.  
Perihal kesungguhan Az Zuhri dalam menuntut ilmu juga diakui oleh Shalih bin
Kaisan rahimahullah. Perjuangan dan kesungguhannya menuntut ilmu agama
terkadang membuat sang istri cemburu. Amr bin Dinar berkisah,  
“Di antara aktivitas Az Zuhri di rumah adalah duduk dengan ditemani kitab-kitab di
sekelilingnya. Jika sudah demikian, ia pun sibuk menelaah dan mempelajarinya hingga
urusan dunianya terlupakan. Maka sang istri berkata kepadanya, “Demi Allah kitab-
kitab ini lebih membuatku cemburu daripada tiga madu.”  
Di antara sekian kelebihan Az Zuhri adalah kekuatan hafalan yang kokoh dan sangat
kuat. Beliau adalah penghafal pilih tanding dengan memori hafalan yang sangat
banyak. Pantas jika Az Zuhri sendiri pernah menyatakan, “Tidak pernah kalbuku
menghafal sesuatu kemudian lupa.”  
Beliau mampu menghafal Al Quran hanya dalam jangka waktu 80 malam! Kekuatan
hafalan ini berbanding lurus dengan pemahamannya yang sangat tajam dan jernih.  
Beliau langsung bisa memahami pembicaraan lawan bicaranya tanpa perlu diulang
lagi. Bahkan ulama sekaliber Imam Malik rahimahullah pernah dibuatnya kagum
dengan kekokohan hafalannya.  
Az Zuhri semakin disegani dengan dukungan wawasan ilmunya yang luas dan koleksi
hadis yang banyak. Ali Al Madini rahimahullah berkata, “Az Zuhri mempunyai 2000
hadis.”  
Al Laits bin Sa’ad berkata, “Aku belum pernah melihat seorang ulama yang ilmunya
lebih lengkap daripada Az Zuhri. Seandainya engkau mendengarnya berbicara tentang
motivasi dan semangat, niscaya engkau akan mengatakan, “Tidaklah dia ahli kecuali
dalam bidang ini.”  
Namun jika beliau berbicara tentang kisah para nabi dan orang-orang ahli kitab, pasti
engkau akan mengatakan hal yang sama. Apabila beliau berbicara tentang ilmu nasab,
engkau pasti juga akan mengatakan hal yang sama.” 
Beliau adalah figur ulama yang menguasai dengan baik berbagai cabang ilmu. Tatkala
menjelaskan suatu cabang ilmu agama, orang menilai bahwa beliau sangat ahli dalam
bidang tersebut. Sedangkan cabang ilmu yang lain tidak menguasainya dengan baik.
Namun di luar dugaan, ternyata semuanya dikuasai dengan baik.  
Satu lagi keistimewaan beliau adalah jiwa sosial dan kedermawanan yang luar biasa.
Hingga Al Laits bin Sa’ad Al Mishri rahimahullah menyatakan bahwa Az Zuhri
termasuk manusia yang paling dermawan. Beliau tidak pernah menolak permintaan
setiap orang yang datang dan meminta kepadanya.  
Kebiasaan beliau adalah memberi makan tsarid dan madu kepada manusia. Bukan
rahasia lagi kalau Az Zuhri sangat menyukai madu. “Karena madu bisa menguatkan
hafalan,” kata Az Zuhri.  
Jiwa sosialnya yang tinggi mendorongnya gemar berinfak kepada orang-orang yang
membutuhkan bantuan. Ziyad bin As’ad mengatakan kepada Az Zuhri, “Sesungguhnya
hadis-hadismu membuatku kagum. Namun aku tidak mempunyai bekal untuk
mengikuti majelismu.”  
Sontak Az Zuhri mengatakan kepadanya, “Jangan khawatir, ikuti aku dan biayamu aku
yang akan menanggungnya.”  
Limpahan uang dinar tidak membuat Az Zuhri silau dan tergoda. Ia meletakkan dinar
di tangannya dan tidak memberikan ruang di hatinya. Wajar jika ia sangat ringan
tangan membagi-bagikan dinar kepada orang-orang yang membutuhkannya.  
Az Zuhri menempati kedudukan ilmiyah yang sangat agung di mata para ulama
sezamannya. Untaian pujian ulama-ulama besar tercurah kepadanya. Tidak jarang pula
ia disejajarkan bahkan diunggulkan atas ulama tenar yang sezaman dengannya. Asy-
Syafii mengatakan, “Kalau bukan karena Az Zuhri niscaya akan hilang sunnah-sunnah
di Madinah.”  
Selain berbagai kelebihan di atas, Az Zuhri juga sangat menonjol dalam ilmu sejarah.
Berkenaan dengan berita-berita para nabi yang diriwayatkan dari Ubaidillah bin
Abdillah, Urwah bin Zubair, Asy Sya’bi dan selainnya. Terutama perhatian besarnya
terhadap sejarah kehidupan dan berbagai peperangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam.  
Dengan demikian beliau tidak hanya fokus meriwayatkan hadis dan mempelajari fikih.
Namun beliau juga melakukan penelitian ilmiyah dan pembukuan terhadap ilmu
sejarah.  
Setelah sekian lama menjalani kehidupan yang penuh ilmu dan dakwah, beliau pun
wafat pada tanggal 17 Ramadhan tahun 124 H menurut pendapat sebagian ulama.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan balasan terbaik dan melimpahkan
rahmat-Nya kepada beliau. Allahu A’lam.  

F.Timbulnya Pemalsuan Hadis


Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang
jamal dan perang shiffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib.
Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut dengan terpecahnya umat
Islam ke dalam beberapa kelompok yaitu pertama, golongan Syi’ah, pendukung ‘Ali
bin AbiThalib, kedua adalah golongan Khawarij, penentang Ali dan Mu’awiyah,
ketiga adalah golongan jama’ah yang tidak mendukung kedua golongan di atas.
Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan tersebut didorong akan adanya
keperluan dan kepentingan golongan masing-masing. Mereka mendatangkan
keterangan dan hujjah untuk mendukungnya dengan beberapa cara, yaitu: 1
a. Mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadis yang dapat dijadikan hujjah.
b. Apabila mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat Alquran dan
menafsirkan hadis-hadis sesuai dengan golongannya.
c. Langkah terakhir, apabila mereka tidak mendapatkannya dari kedua sumber
tersebut, maka mereka memalsukan hadis-hadis, dan yang pertama mereka
palsukan adalah hadis yang mengenai orang-orang yang mereka agung-agungkan
G.Kodifikasi Hadis
Pada masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai
pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadis terbuka. Umar bin Khattab
pernah berfikir membukukan hadis, beliau meminta pendapat para sahabat, dan
disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia
membatalkan rencana tersebut.

1
II. .Penulis kitab – kitab terkenal
Imam Bukhari
Ia terlahir di Bukhara pada 13 Syawal 194 H bertepatan dengan 21 Juli 810 M. Beliau
adalah ahli hadis termasyhur. Imam Bukhari dijuluki amirul mukminin fil hadits atau
pemimpin kaum mukmin dalam hal ilmu hadis. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad
bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari.

Tak lama setelah lahir, Imam Bukhari kehilangan penglihatannya. Bersama gurunya
Syekh Ishaq, ia menghimpun hadits-hadis shahih dalam satu kitab, dari satu juta hadis yang
diriwayatkan 80 ribu perawi disaringnya menjadi 7.275 hadis. Ia menghabiskan waktunya
untuk menyeleksi hadits shahih selama 16 tahun. Shahih Bukhari adalah salah satu karyanya
yang paling fenomenal.

Imam Muslim

Imam Muslim lahir pada 204 H atau 819 M. Ada pula yang berpendapat beliau lahir
pada tahun 202 H atau 206 H. Seorang ahli hadis kontemporer asal India, Muhammad Mustafa
Azami, lebih menyetujui kelahiran Imam Muslim pada 204 H. Azami dalam  Studies In Hadith
Methodology and Literature, mengatakan, sejarah tidak dapat melacak garis keturunan dan
keluarga sang imam. 

Sejarah hanya mencatat aktivitas Imam Muslim dalam proses pembelajaran dan
periwayatan hadis. Pada masa beliau, rihlah (pengembaraan) untuk mencari hadis merupakan
aktivitas yang sangat penting. Imam Muslim pun tak ketinggalan mengunjungi hampir seluruh
pusat-pusat pengajaran hadis. Adz-Dzahabi dalam karyanya  Tadzkirat al-Hufazh menyebutkan
bahwa Imam Muslim mulai mempelajari hadis pada 218 H.  Ia menulis kitab Al-Musnad ash-
Shahih atau  yang lebih dikenal dengan  Shahih Muslim. Kitab yang satu ini menempati
kedudukan istimewa dalam tradisi periwayatan hadis. Dan, dipercaya sebagai kitab hadis
terbaik kedua setelah kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhari.

Imam Abu Dawud 

Ia bernama lengkap Sulaiman bin al-Asy'ats bin Ishaq bin Basyir bin Syidad bin Amru
bin Amir al-Azdi al-Sijistani. Dunia Islam menyebutnya Abu Dawud. Beliau adalah seorang
imam ahli hadis yang sangat teliti dan merupakan tokoh terkemuka para periwayat hadis. Ia
dilahirkan pada tahun 202 H/817 M di Sijistan.

Menurut Syekh Muhammad Said Mursi, dalam Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang
Sejarah, Imam Abu Dawud, dikenal sebagai penghafal hadis yang sangat kuat. Ia menguasai
sekitar 500 ribu hadis. Sejak kecil, Abu Dawud sudah mencintai ilmu pengetahuan. 

Imam At-Tirmizi
Imam At-Tirmidzi adalah orang pertama yang mengelompokkan hadis dalam kategori
hasan, di antara sahih dan dhaif. Imam At-Tirmidzi adalah satu dari enam ulama hadis
terkemuka. Nama besarnya mengacu kepada tempat kelahirannya, yaitu Turmudz, sebuah kota
kecil di bagian utara Iran.

Nama lengkapnya Muhammad bin Isa bin Saurah bin Adh-Dhahak As-Salami Al-
Bughi. Ia sering dipanggil Abu Isa. Lahir pada bulan Zulhijjah tahun 209 Hijrah.  Yusuf bin
Ahmad al-Baghdadi, menuturkan, Abu Isa mengalami kebutaan pada masa menjelang akhir
usianya. 

Semenjak kecil, At-Tirmidzi sudah gemar mempelajari berbagai disiplin ilmu


keislaman, termasuk ilmu hadis. Ia mulai mempelajari ilmu hadis ketika berumur 20 tahun di
sejumlah kota-kota besar di wilayah kekuasaan Islam saat itu, di antaranya adalah Kota
Khurasan, Bashrah, Kufah, Wasith, Baghdad, Makkah, Madinah, Ray, Mesir, dan Syam. 

Ibnu Majah

Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Abdullah bin Majah Al
Quzwaini. Ia dilahirkan pada tahun 207 Hijriah dan meninggal pada hari selasa, delapan hari
sebelum berakhirnya bulan Ramadan tahun 275. Ia menuntut ilmu hadis dari berbagai negara
hingga beliau mendengar hadis dari madzhab Maliki dan Al Laits. Sebaliknya banyak ulama
yang menerima hadits dari beliau.  Ibnu Majah menyusun kitab Sunan Ibnu Majah, salah satu
kitab yang masuk dalam Kutub As-Sittah. 

4.Pengembang Ilmu Hadis

PADA dasaranya ulumul hadits telah lahir sejak dimulainya periwayatan hadits di dalam
Islam, terutama setelah Rasulullah ‫ ﷺ‬wafa. Ketika itu umat Islam merasakan perlunya
menghimpun hadits-hadits Rasulullah‫ ﷺ‬ dikarenakan adanya kekhawatiran hadits-hadits
tersebut akan hilang atau lenyap.

Para Sahabat telah mulai mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam
menerima hadits, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut. Di dalam Surat
Al-Hujurat ayat 6, Allah SWT memerintah orang-orang yang beriman untuk meneliti dan
mempertanyakan berita-berita yang datang dari orang-orang yang fasik:

َ‫صيبُواقَوْ ماًبِ َجهَالَ ٍةفَتُصْ بِحُوا َعلَى َمافَ َع ْلتُ ْمنَا ِد ِمين‬
ِ ُ‫يَأيُّهَاالَّ ِذينَآ َمنُواِإن َجاء ُك ْمفَا ِسقٌبِنَبٍَأفَتَبَيَّنُواَأنت‬

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita
maka periksalah berita tersebut dengan teliti agar kamu tidak menimpakan musibah kepada
suatu kaum tanpa mengetahui keadaan (yang sebenarnya) yang menyebabkan kamu menyesal
atas perbuatanmu.”(QS. Al-Hujurat: 6)

Di dalam sebuah hadits Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda :


)‫ (رواهالترمذي‬.‫نَض ََّراللهُإ ْم َر ًءا َس ِم َعمنَّاش ْيًئافَبَلَّ َغهُ َك َما َس ِم َعهُفَ ُربَّ ُمبَلِ ٍغأوْ عى ِم ْن َسا ِم ٍع‬

“Semoga Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar dari kami sesuatu (hadits),
lantas dia menyampaikannya (Hadits tersebut) sebagaimana dia dengar, kadang-kadang
orang yang menyampaikan lebih hafal daripada yang mendengar.” (HR: Al-Tirmidzi).

Berdasarkan pada ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi di atas, maka para Sahabat mulai meneliti
dan bersikap hati-hati dalam menerima dan meriwayatkan hadits-hadits Nabi‫ ﷺ‬, terutama
apabila mereka meragukan si pembawa atau penyampai riwayat hadits tersebut. Dengan
demikian, mulailah lahir pembicaraan mengenai isnad dan nilainya dalam menerima dan
menolak suatu riwayat hadits.

Diantara Sahabat ada yang saling menegur temannya ketika terjadi kesalahpahaman terhadap
suatu teks. Seperti yang dilakukan Aisyah Radhiallahu anha terhadap kesalahan Anas ibn
Malik dalam hal mayat akan disiksa lantaran ditangisi oleh keluarganya.

Demikian pula teguran Abu Bakar kepada Umar ibn Khattab yang teks tulisan haditsnya masih
belum tuntas dan perlu dilengkapi sehingga melahirkan perbedaan dalam mempersepsikan
hadits . Hasbi Ash-Shiddieqy menjelaskan bahwa orang yang mula-mula meletakkan dasar-
dasar ilmu hadits ini adalah Imam Ibnu Syihab al-Zuhri (51-124).

Setelah terjadi kasus pemalsuan terhadap hadits-hadits Nabi, barulah ada gerakan yang
signifikan dalam proses penerimaan dan periwayatan hadits. Sejak itulah perhatian ulama
tertuju kepada kredibilitas perawi dan peletakan kaedah-kaedah yang dapat dijadikan acuan
dalam penerimaan hadits dan penolakannya.

Setelah terjadi fitnah di dalam kehidupan umat Islam, para Sahabat mulai meminta keterangan
tentang orang-orang yang menyampaikan hadits atau khabarkepada mereka. Mereka menerima
atau mengambil hadits dari orang-orang yang tetap berpegang kepada Sunnah Rasul‫ ﷺ‬, dan
sebaliknya mereka tidak mengambil hadits dari mereka para ahli bid’ah.

Pada awalnya teori-teori proses penerimaan dan periwayatan hadits serta kredibilitas perawi
(ilmudirayah) masih tersisip dalam buku-buku yang belum spesifik, berbaur dengan berbagai
makalah seperti yang dilakukan Imam Al-Syafi’i dan lainnya dalam karya-karya mereka. Tidak
ditemukan kepastian tahun berapa ilmu hadits lahir, tetapi yang jelas bahwa ilmu ini lahir
ketika Hadits sudah terkodifikasi pada abad ke-2 H. Dengan demikian, rintisan ilmu Hadits
terjadi pada abad ke-3 H. Memang seperti pengetahuan tentang kredibilitas perawi sudah ada
sejak zaman Rasulullah‫ ﷺ‬, tetapi pada saat itu belum menjadi disiplin ilmu yang berdiri
sendiri.

Ketika Imam Syafi’i (w.204 H) menulis kitab al-Risalah, sebenarnya ilmu Hadits telah
mengalami perkembangan lebih maju, sebab di dalam kitab tersebut telah dibahas kaidah-
kaidah tentang periwayatan, hanya saja masih bercampur dengan kaidah usul fiqih. Demikian
pula dalam kitab al-Umm.Di sana telah ditulis pula kaidah yang berkaitan dengan cara
menyelesaikan hadits-hadits yang bertentangan, tetapi masih bercampur dengan fiqih. Artinya
ilmu hadits pada saat itu sudah mulai tampak bentuknya, tetapi masih belum terpisah dengan
ilmu lain.

Sesudah generasi Syafi’i, banyak sekali para ulama yang menulis ilmu hadits, misalnya Ali bin
al-Madini menulis kitab Mukhtalif al-Hadits, Ibnu Qutaibah (w.276 H) menyusun kitab Ta’wil
Mukhtalif al-Hadits. Imam Muslim dalam Muqaddimah kitab Sahih-nya, At-Turmudzi
menulis al-Asma’ wa al-Kuna, Muhammad bin Sa’ad menulis al-Tabaqat al-Kubra.Demikian
pula al-Bukhari menulis tentang rawi-rawi yang lemah dalam kitab al-Du’afa’. Dengan
banyaknya ulama yang menulis tentang persoalan yang menyangkut ilmu Hadits pada abad III
H, maka dapat dipahami mengapa abad ketiga disebut sebagai awal kelahiran Ilmu Hadits,
walaupun tulisan yang ada belum membahas ilmu Hadits secara lengkap dan sempurna.

Pada abad keempat dan kelima Hijriah mulailah ditulis secara khusus kitab-kitab yang
membahas tentang ilmu Hadits yang bersifat komprehensif. Penulisan ilmu Hadits secara lebih
lengkap dimulai ketika al-Qadi Abu Muhamad al-Hasan bin Abd. Rahman al-Ramahurmuzi
(w. 360 H/abad IV H) menulis buku al-Muhaddis al-Fasil Bayn al-Rawi wa al-
Wa’i. Kemudian disusul al-Hakim al-Naysaburi (w. 405 H) menulis Ma’rifah ‘Ulum al-
Hadis, al-Khatib Abu Bakar al-Baghdadi menulis kitab Al-Jami’ li Adab al-Syaikh wa al-
Sami’. Al-Kifayah fi Ilm al-Riwayah dan al-Jami’ li Akhlaq al-Rawi wa Adab al-Sami’.

Pada abad-abad berikutnya, bermunculan karya-karya di bidang Ilmu hadits, yang sampai
sekarang masih menjadi referensi utama dalam membicarakan Ilmu Hadits, diantaranya
adalah : ‘Ulum al-Hadits oleh Abu Utsman ibn Abd al-Rahman yang lebih dikenal dengan Ibn
al-Shalah (w. 643 H/1245 M), Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi oleh Jalal al-Din Abd
al-Rahman ibn Abu Bakar al-Shidiq
A. Kesimpulan
Pada masa permulaan Al-Qur’an masih diturunkan, Nabi Muhammad SAW melarang menulis
hadis karena dikhawatirkan akan bercampur dengan penulisan Al-Qu’ran. Pada masa itu, di
samping menyuruh menulis Al-Qur’an, Nabi Muhammuad SAW juga menyuruh menghafalkan
ayat-ayat Al-Qur’an.
Walaupun beberapa sahabat sudah ada yang menulis hadis, namun hadis masih belum
dibukukan sebagaimana Al-Qur’an. Umat Islam terdorong untuk membukukan hadis setelah
agama Islam tersiar di daerah-daerah yang jauh bahkan banyak di antara ulama para penghafal
Hadis yang wafat.
Menurut pendapat yang populer di kalangan ulama hadis, yang pertama-tama menghimpun
hadis serta membukukannya adalah Ibnu Syihab az-Zuhri, kemudian diikuti oleh ulama-ulama di
kota-kota besar lainnya.

Penulisan dan pembukuan hadis Nabi SAW ini dilanjutkan dan disempurnakan
oleh ulama-ulama hadis pada abad berikutnya, sehingga menghasilkan kitab-kitab yang besar
seperti kitab al-Muwaththa’, Kutubus Sittah dan lain sebagainya.

A.Saran
Mengingat sangat terbatasnya kemampuan Penulis dalam menelaah berbagai literature Ulumul
Hadits sehingga muatan dan pembahasan makalah ini sangat tidak sempurna. Oleh karena itu ,
penulis sangat mengharap kepada pihak pembaca makalah ini kiranya memberi masukan,
perbaikan, dan penyempurnaan seperlunya. Terima kasih. Wallahu A'lam

DAFTAR PUSTAKA

http://kingilmu.blogspot.com/2015/08/sejarah-pembinaan-dan-
penghimpunan.html?m=1 https://www.republika.co.id/berita/m367qg/inilah-enam-
kitab-hadis-

utamahttps://www.researchgate.net/publication/328018764_SEJARAH_PERKE

MBANGA N_HADIS_PADA_MASA_PRAKODIFIKASI_DAN_KODIFIKASI

You might also like