You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Di Indonesia, kasus baru tuberkulosis hampir separuhnya adalah wanita dan menyerang sebagian
besar wanita pada usia produktif. Kira-kira 1-3% dari semua wanita hamil menderita
tuberkulosis. Pada kehamilan terdapat perubahan-perubahan pada sistem hormonal, imunologis,
peredaran darah, sistem pernafasan, seperti terdesaknya diafragma ke atas sehingga paru-paru
terdorong ke atas oleh uterus yang gravid menyebabkan volume residu pernafasan berkurang.
Pemakaian oksigen dalam kehamilan akan bertambah kira-kira 25% dibandingkan diluar kehamilan,
apabila penyakitnya berat atau prosesnya luas dapat menyebabkan hipoksia sehingga hasil konsepsi
juga ikut menderita. Dapat terjadi partus prematur atau kematian janin.
Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mikrobacterium
tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah karenasebagian
besar basil tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection danselanjutnya
mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer dari ghon, sedangkan batuk darah (hemoptisis)
adalah salah satu manifestasi yang diakibatkannya. Darah atau dahak berdarah yang dibatukkan
berasal dari saluran pernafasan bagian bawah yaitu mulai dariglottis kearah distal, batuk darah akan
berhenti sendiri jika asal robekan pembuluh darahtidak luas, sehingga penutupan luka dengan cepat
terjadi. Biasanya penyakit TBC sering menyerang pada usia rata-rata 15-35 tahun, boleh dibilang
usia masih produktif. Oleh sebab itu penyakit ini perlu diperhatikan dalam kehamilan,
karena penyakit ini masih merupakan penyakit rakyat sehingga sering kita jumpai dalam
kehamilan. TBC paru ini dapat menimbulkan masalah pada wanita itu sendiri bayinya dan
masyarakat sekitarnya. Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya
perjalanan penyakit ini, banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan yang
sering ditemukan adalah batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu makan
berkurang, berat badan menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan sakit sekitar dada.
Tingginya angka penderita TBC di Indonesia dikarenakan banyak faktor, salah satunya
adalah iklim dan lingkungan yang lembab serta tidak semua penderita mengerti benar
tentang perjalanan penyakitnya yang akan mengakibatkan kesalahan dalam perawatan
dirinya serta kurangnya informasi tentang proses penyakitnya dan pelaksanaan perawatan
dirumah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil Mikrobacterium
tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan bagian bawah karena sebagian
besar basil tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru melalui airbone infection dan selanjutnya
mengalami proses yang dikenal sebagai focus primer dari ghon, sedangkan batuk darah (hemoptisis)
adalah salah satu manifestasi yang diakibatkannya. Darah atau dahak berdarah yang dibatukkan
berasal dari saluran pernafasan bagian bawah yaitu mulai dari glottis kearah distal, batuk darah akan
berhenti sendiri jika asal robekan pembuluh darah tidak luas, sehingga penutupan luka dengan cepat
terjadi. Biasanya penyakit TBC sering menyerang pada usia rata-rata 15-35 tahun, boleh dibilang usia
masih produktif.
2.2 Etiologi
Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberkulosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian besar kuman ini
terdiri dari asam lemak (Lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap
asam dan terhadap gangguan kimia dan fisik. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering
maupun dalam keadaan dingin (dapat bertahun-tahun dalam lemari es) Hal ini terjadi
karena kuman yang ada pada sifat yang dormant, yang kemudian dapat bangkit kembali
dan menjadi tuberkulosis aktif kembali. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang kandungan oksigennya
tinggi. Cara penularan melalui udara pernafasan dengan menghirup partikel kecil yang
mengandung bakteri tuberculosis. Masa tunas berkisar antara 4-12 minggu. Masa
penularan terus berlangsung selama sputum BTA penderita positif.
2.3 Manifestasi klinis
 Penurunan berat badan
 Anoreksia
 Dispneu
 Sputum purulen/hijau, mukoid/kuning.
 Demam
 Batuk
 Sesak nafas.
 Nyeri dada
 Malaise
2.4 Patofisiologi
Sumber penularan TB Paru adalah penderita TB BTA positif. Pada waktu
batuk/bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak. Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan hidup diudara pada suhu kamar
selama beberapa jam. Orang dapat terinfeksi kalau droplet tersebut terhirup kedalam
saluran pernafasan kemudian menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya melalui system
peredaran darah, system saluran limfe, saluran nafas atau penyebaraan langsung kebagian
tubuh lain (Dep Kes, 2003).
Infeksi primer : infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TB Paru. Droplet yang terhirup ukurannya sangat kecil, sehingga dapat melewati
mukosilier bronkus, dan terus berjalan hingga sampai di alveolus, menetap disana. Infeksi
dimulai saat kuman TB Paru berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di
paru, yang mengakibatkan peradangan pada paru, dan ini disebut komplek primer.Waktu
antara terjadinya infeksi sampai pembentukan komplek primer adalah sekitar 4-6 minggu.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk dan
bersarnya respon daya tahan (imunitas seluler) pada umumnya reaksi daya tahan tubuh
tersebut dapat menghentikan perkembangan keman TB Paru. Meskipun demikian, ada
beberapa kuman akan menetap sebagai kuman persisiten atau dorman (tidur), kadang-
kadang daya tahan tubuh tiadk mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya
dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi penderita TB Paru. Masa
inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan
sekitar 6 bulan (Dep Kes, 2003).
Infeksi paska primer (post primary TB) : TB paru pasca primer biasanya terjadi terjadi
setelah beberapa bulan atau tahun sesudah infeksi.
2.5 Pengaruh tuberculosis terhadap kehamilan
Kehamilan dan tuberculosis merupakan dua stressor yang berbeda pada ibu hamil.
Stressor tersebut secara simultan mempengaruhi keadaan fisik mental ibu hamil. Efek TB
pada kehamilan tergantung pada beberapa factor antara lain tipe, letak dan keparahan
penyakit, usia kehamilan saat menerima pengobatan antituberkulosis, status nutrisi ibu
hamil, ada tidaknya penyakit penyerta, status imunitas, dan kemudahan mendapatkan
fasilitas diagnosa dan pengobatan TB. Status nutrisi yang jelek, hipoproteinemia, anemia
dan keadaan medis maternal merupakan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas
maternal. Usia kehamilan saat wanita hamil mendapatkan pengobatan antituberkulosa
merupakan factor yang penting dalam menentukan kesehatan maternal dalam kehamilan
dengan TB. Kehamilan dapat berefek terhadap tuberculosis dimana peningkatan
diafragma akibat kehamilan akan menyebabkan kavitas paru bagian bawah mengalami
kolaps yang disebut pneumo-peritoneum. Pada awal abad 20, induksi aborsi
direkomondasikan pada wanita hamil dengan TB. Selain paru-paru, kuman TB juga dapat
menyerang organ tubuh lain seperti usus, selaput otak, tulang, dan sendi, serta kulit. Jika
kuman menyebar hingga organ reproduksi, kemungkinan akan memengaruhi tingkat
kesuburan (fertilitas) seseorang. Bahkan, TB pada samping kiri dan kanan rahim bisa
menimbulkan kemandulan. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran pada pengidap TB atau
yang pernah mengidap TB, khususnya wanita usia reproduksi. Jika kuman sudah
menyerang organ reproduksi wanita biasanya wanita tersebut mengalami kesulitan untuk
hamil karena uterus tidak siap menerima hasil konsepsi. Harold Oster MD,2007
mengatakan bahwa TB paru (baik laten maupun aktif) tidak akan memengaruhi fertilitas
seorang wanita di kemudian hari. Namun, jika kuman menginfeksi endometrium dapat
menyebabkan gangguan kesuburan. Tapi tidak berarti kesempatan untuk memiliki anak
menjadi tertutup sama sekali, kemungkinan untuk hamil masih tetap ada. Idealnya,
sebelum memutuskan untuk hamil, wanita pengidap TB mengobati TB-nya terlebih
dahulu sampai tuntas. Namun, jika sudah telanjur hamil maka tetap lanjutkan kehamilan
dan tidak perlu melakukan aborsi.
2.6 Pengaruh tuberculosis terhadap janin
Menurut Oster,(2007) jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada sedikit
risiko terhadap janin.Untuk meminimalisasi risiko,biasanya diberikan obat-obatan TB
yang aman bagi kehamilan seperti Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan
berbeda jika TB juga menginvasi organ lain di luar paru dan jaringan limfa, dimana
wanita tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit sebelum melahirkan. Sebab
kemungkinan bayinya akan mengalami masalah setelah lahir. Penelitian yang dilakukan
oleh Narayan Jana, KalaVasistha, Subhas C Saha, Kushagradhi Ghosh, 1999 tentang efek
TB ekstrapulmoner tuberkuosis, didapatkan hasil bahwa tuberkulosis pada limpha tidak
berefek terhadap kahamilan, persalinan dan hasil konsepsi. Namun jika dibandingkan
dengan kelompok wanita sehat yang tidak mengalami tuberculosis selama hamil
mempunyai resiko hospitalisasi lebih tinggi (21% : 2%), bayi dengan APGAR skore
rendah segera setelah lahir (19% : 3%), berat badan lahir rendah (<2500 ) Selain itu,
risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya pertumbuhan janin,
kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi cairan
amnion (disebut TB congenital). Gejala TB congenital biasanya sudah bisa diamati pada
minggu ke 2-3 kehidupan bayi,seperti prematur, gangguan napas, demam, berat badan
rendah, hati dan limpa membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih belum
jelas,apakah bayi tertular saat masih di perut atau setelah lahir.
2.7 Pengaruh tuberculosis terhadap persalinan
Setengah dari jumlah kasus yang dilaporkan selama proses persalinan terjadi infeksi
pada bayi yang disebabkan karena teraspirasi secret vagina yang terinfeksi kuman
tuberculosis
2.8 Pemeriksaan diagnosis TB pada kehamilan
Bakteri TB berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam.
Karena itu disebut basil tahan asam (BTA). Kuman TB cepat mati terpapar sinar matahari
langsung,tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembap. Dalam
jaringan tubuh, kuman ini dapat melakukan dormant (tertidur lama selama beberapa
tahun). Penyakit TB biasanya menular pada anggota keluarga penderita maupun orang di
lingkungan sekitarnya melalui batuk atau dahak yang dikeluarkan si penderita. Hal yang
penting adalah bagaimana menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat.seseorang yang
terpapar kuman TB belum tentu akan menjadi sakit jika memiliki daya tahan tubuh kuat
karena sistem imunitas tubuh akan mampu melawan kuman yang masuk. Diagnosis TB
bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti pemeriksaan BTA dan rontgen (foto torak).
Diagnosis dengan BTA mudah dilakukan,murah dan cukup reliable. Kelemahan
pemeriksaan BTA adalah hasil pemeriksaan baru positif bila terdapat kuman 5000/cc
dahak. Jadi, pasien TB yang punya kuman 4000/cc dahak misalnya, tidak akan terdeteksi
dengan pemeriksaan BTA (hasil negatif). Adapun rontgen memang dapat mendeteksi
pasien dengan BTA negatif, tapi kelemahannya sangat tergantung dari keahlian dan
pengalaman petugas yang membaca foto rontgen. Di beberapa negara digunakan tes
untuk mengetahui ada tidaknya infeksi TB, melalui interferon gamma yang konon lebih
baik dari tuberkulin tes.Diagnosis dengan interferon gamma bisa mengukur secara lebih
jelas bagaimana beratnya infeksi dan berapa besar kemungkinan jatuh sakit. Diagnosis
TB pada wanita hamil dilakukan melalui pemeriksaan fisik (sesuai luas lesi), pemeriksaan
laboratorium (apakah ditemukan BTA?), serta uji tuberkulin.
Uji tuberkulin hanya berguna untuk menentukan adanya infeksi TB, sedangkan penentuan
sakit TB perlu ditinjau dari klinisnya dan ditunjang foto torak. Pasien dengan hasil uji
tuberkulin positif belum tentu menderita TB. Adapun jika hasil uji tuberkulin negatif,
maka ada tiga kemungkinan, yaitu tidak ada infeksi TB, pasien sedang mengalami masa
inkubasi infeksi TB, atau terjadi alergi. Kehamilan tidak akan menurunkan respons uji
tuberkulin. Untuk mengetahui gambaran TB pada trimester pertama, foto toraks dengan
pelindung di perut bisa dilakukan, terutama jika hasil BTA-nya negative
2.9 Penatalaksanaan Tuberkulosis dalam kehamilan
a. PenatalaksanaanTuberkulosis dalam persalinan.
 Bila proses tenang, persalinan akan berjalan seperti biasa, dan tidak perlu tindakan
apa-apa.
 Bila proses aktif, kala I dan II diusahakan mungkin. Pada kala I, ibu hamil diberi
obat-obat penenang dan analgetik dosis rendah. Kala II diperpendek dengan
ekstraksi vakum/forceps.
 Bila ada indikasi obstetrik untuk sectio caesarea, hal ini dilakukan dengan bekerja
sama dengan ahli anestesi untuk memperoleh anestesi mana yang terbaik.
b. Penatalaksanaan tuberkulosis dalam masa nifas
 Usahakan jangan terjadi perdarahan banyak : diberi uterotonika dan koagulasia
 Usahakan mencegah adanya infeksi tambahan dengan memberikan antibiotika
yang cukup.
 Bila ada anemia sebaiknya diberikan tranfusi darah, agar daya tahan ibu kuat
terhadap infeksi sekunder.
 Ibu dianjurkan segera memakai kontrasepsi atau bila jumlah anak sudah cukup,
segera dilakukan tubektomi
c. Penatalaksanaan Bayi Baru Lahir Yang Sehat dari Ibu yang menderita Tuberkulosis
Bayi baru lahir yang sehat dari ibu yang menderita tuberkulosis, harus dipisahkan
dengan segera setelah lahir sampai pemeriksaan bakteriologi ibu negatif dan bayi
sudah mempunyai daya tahan tubuh yang cukup. 50% bayi baru lahir dari ibu yang
menderita tuberkulosis aktif, menderita tuberkulosis pada tahun pertamanya, maka
kemoprofilaksis dengan isonizid 1 tahun dan vaksinasi BCG harus segera dilakukan
sebelum menyerahkan bayi pada ibunya. Pendapat ini masih diperdebatkan, tetapi
keputusan akhir dilakukan dengan pertimbangan lingkungan sosial ibu, ibu dapat
dipercaya dapat mengobati diri sendiri dan bayinya yang baru lahir.
Vaksin BCG termasuk golongan kuman hidup yang dilemahkan dari M.bovon yang
telah dikembangkan 50 tahun yang lalu. Semua BBL dari ibu yang TBC aktif atau
reaktif harus divaksinasi pada hari pertama kelahitan dengan dosis 0,1 ml intracutan
pada regio deltoid jika divaksinasi. Efek sampingnya dapat membesar dan terjadi
ulkus. Setelah 6 bulan papul merah tadi dapat mengecil, berlekuk dengan jaringan
parut putih seumur hidup. Untuk mengurangi waktu pemisahan ibu yang menderita
tuberkulosis aktif dengan bayinya, dapat diberikan INH dan BCG segera setelah bayi
lahir, bayi dipulangkan ke ibunya jika INH profilaksis telah diberikan sampai tes
tuberkulin positif. Dua syarat menggunakan cara pengobatan ini adalah kuman
tuberkulosis ibu sensitif terhadap INH dan penderita dapat dipercaya bisa dan mampu
memberikan obat tersebut pada ibunya
3.0 Pengobatan Tuberkulosis dalam kehamilan
a) Pengobatan medis
Pengobatan tuberculosis aktif pada kehamilan hanya berbeda sedikit dengan penderita
yang tidak hamil. Ada 11 obat tuberkulosis yang terdapat di Amerika Serikat, 4
diantaranya dipertimbangkan sebagai obat primer karena kefektifannya dan
toleransinya pada penderita, obat tersebut adalah isoniazid, rifampisin, ethambutol
dan streptomycin. Obat sekunder adalah obat yang digunakan dalam kasus resisten
obat atau intoleransi terhadap obat, yang termasuk adalah paminasalisilic acid,
pyrazinamide,cycloserine,ethionamide,kanamycin,voimycin dan
capreomycin.Pengobatan selama setahun dengan isoniazid diberikan kepada mereka
yang tes tuberkulin positif, gambaran radiologi atau gejala tidak menunjukkan gejala
aktif. Pengobatan ini mungkin dapat ditunda dan diberikan pada postpartum.
Walaupun beberapa penelitian tidak menunjukkan efek teratogenik dari isoniazid
pada wanita postpartum. Beberapa rekomendasi menunda pengobatan ini sampai 3-6
bulan post partum. Sayangnya, penyembuhannya akan membawa waktu yang sangat
lama. Isoniazid termasuk kategori obat C dan ini perlu dipertimbangkan keamanannya
selama kehamilan. Alternatif lain dengan menunda pengobatan sampai 12 minggu
pada penderita asimtomatik. Karena banyak terjadi resistensi pada pemakaian obat
tunggal, maka sekarang direkomendasikan cara pengobatan dengan menggunakan
kombinasi 4 obat pada penderita yang tidak hamil dengan gejala tuberkulosis. Ini
termasuk isoniazid, rifampisin, pirazinamide atau streptomycin diberikan sampai tes
resistensi dilakukan. Beberapa obat tuberkulosis utama tidak tampak pengaruh
buruknya terhadap beberapa janin. Kecuali streptomycin yang dapat menyebabkan
ketulian kongenital, maka sama sekali tidak boleh dipakai selama kehamilan.
3.0 Konsep dasar asuhan keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian di mulai dari pengumpulan data meliputi :
1. Biodata klien : Nama, usia, jenis kelamin,agama,alamat,pendidikan
terakhir, suku, status perkawinan, dan pekerjaan
2. Riwayat kesehatan
3. Keluhan utama
4. Riwayat penyakit keluarga
5. Riwayat kesehatan dahulu
6. Pemeriksaan fisik
7. Pola aktivitas sehari-hari
8. Riwayat psikososial
9. Pola persepsi dan tatanan sehat
10. Pola nutrisi dan metabolik
11. Pola eliminasi
b. Diagnosa keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan kekurangan
upaya batuk
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek paru.
Kerusakan membran di alveolar, kapiler, sekret kevtal dan tebal
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual,
muntah, anoreksia.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan keletihan dan inadekuat oksigenasi
untuk aktivitas.
5. Kurang pengetahuan mengenai kondisi aturan tindakan dan pencegahan
berhubungan dengan jalan interpretasi inibrasi, keterbatasan kognitif.
6. Resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran berhubungan dengan pertahan primer
adekuat, kerusakan jaringan penakanan proses inflamasi, malnutrisi
c. Rencana keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan sekret kental, kelemahan upya
batuk buruk
Tujuan : bersihan jalan nafas efektif
KH : pasien dapat mempertahankan jalan nafas dan mengeluarkan sekret tanpa
bantuan
Intervensi
1) Kaji fungsi pernafasan contoh bunyi nafas, kecepatan, irama, dan kelemahan dan
gangunaan otot bantu.
Rasional : Peningkatan bunyi nafas dapat menunjukkan atelektasis, ronchi, mengi
menunjukkan akumulasi sekret / ketidakmampuan untuk membersihkan jalan
nafas yang dapat menimbulkan penggunaan otot akseseri pernafasan dan
peningkatan kerja pernafasan.
2) Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa batuk efektif, catat karakter,
jumlah sputum, adanya hemoptisis
Rasional : Pengeluaran sulit bila sekret sangat tebal sputum berdarah kental /
darah cerah (misal efek infeksi, atau tidak kuatnya hidrasi).
3) Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi
Rasional : Posisi membantu memaksimalkan ekspansi paru dan mekan upaya
pernafasan.
4) Bersihkan sekret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai keperluan
Rasional : Mencegah obstruksi respirasi, penghisapan dapat diperlukan bila
pasien tidak mampu mengeluarkan sekret.
5) Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 m / hari kecuali kontra indikasi.
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk mengencerkan sekret,
membantu untuk mudah dikeluarkan.
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan sekresi mukopurulen dan kekurangan
upaya batuk
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali aktif
KH : dispnea berkurang, frekuensi, irama dan kedalaman dan pernafasan normal
Intervensi
1) Kaji kualitas dan kedalaman pernafasan penggunaan otot aksesoris, catat setiap
perubahan
Rasional : Kecepatan biasanya meningkat, dispnea terjadi peningkatan kerja
nafas, kedalaman pernafasan dan bervariasi tergantung derajat gagal nafas.
2) Kaji kualitas sputum, warna, bau dan konsistensi
Rasional : Adanya sputum yang tebal, kental, berdarah dan purulen diduga terjadi
sebagai masalah sekunder
3) Baringkan klien untuk mengoptimalkan pernafasan (semi fowler)
Rasional : Posisi duduk memungkinkan ekspansi paru maksimal upaya batuk
untuk memobilisasi dan membuang sekret.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan penurunan permukaan efek paru,
kerusakan membran alveolar, kapiler, sekret kental dan tebal
Tujuan : tidak ada tanda-tanda dispnea
KH : melaporkan tidak adanya penurunan dispnea, menunjukkan perbaikan ventilasi
dan O2 jaringan adekuat dengan AGP dalam rentang normal, bebes dari gejala, distres
pernafasan.
Intervensi
1) Kaji dispnea, takipnea, tidak normal atau menurunnya bunyi nafas, peningkatan
upaya pernafasan, terbatasnya ekspansi dinding dada dan kelemahan.
Rasional : TB paru menyebabkan efek luas pada paru dari bagian kecil
bronkopneumonia sampai inflamasi difus luas nekrosis effure pleural untuk
fibrosis luas.
2) Evaluasi tingkat kesadaran, catat sianosis dan perubahan pada warna kulit,
termasuk membran mukosa dan kuku
Rasional : Akumulasi sekret / pengaruh jalan nafas dapat mengganggu O 2 organ
vital dan jaringan.
3) Tunjukkan / dorong bernafas dengan bibir selama endikasi, khususnya untuk
pasien dengan fibrosis atau kerusakan parenkim
Rasional : Membuat tahanan melawan udara luar untuk mencegah kolaps atau
penyempitan jalan nafas, sehingga membantu menyebarkan udara melalui paru
dan menghilangkan atau menurunkan nafas pendek.
4) Tingkatkan tirah baring / batasi aktivitas dan bantu aktivitas pasien sesuai
keperluan
Rasional : Menurunkan konsumsi oksigen / kebutuhan selama periode penurunan
pernafasan dapat menurunkan beratnya gejala.
5) Kolaborasi medis dengan pemeriksaan ACP dan pemberian oksigen
Rasional : Mencegah pengeringan membran mukosa, membantu pengenceran
sekret.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan,
anoreksia, ketidakcukupan nutrisi
Tujuan : kebutuhan nutrisi terpenuhi (tidak terjadi perubahan nutrisi)
Kriteria hasil : pasien menunjukkan peningkatan berat badan dan melakukan
perilaku atau perubahan pola hidup.
Intervensi dan rasional:
1) Catat status nutrisi pasien dari penerimaan, catat turgor kulit, berat badan dan
derajat kekurangannya berat badan, riwayat mual atau muntah, diare.
Rasional : berguna dalam mendefinisikan derajat/ luasnya masalah dan pilihan
intervensi yang tepat.
2) Pastikan pada diet biasa pasien yang disukai atau tidak disukai.
Rasional : membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan pertimbangan keinginan
individu dapat memperbaiki masukan diet.
3) Selidiki anoreksia, mual dan muntah dan catat kemungkinan hubungan dengan
obat, awasi frekuensi, volume konsistensi feces.
Rasional : Dapat mempengaruhi pilihan diet dan mengidentifikasi area
pemecahan masalah untuk meningkatkan pemasukan atau penggunaan nutrien.
4) Dorong dan berikan periode istirahat sering.
Rasional : Membantu menghemat energi khususnya bila kebutuhan meningkat
saat demam.
5) Berikan perawatan rnulut sebelum dan sesudah tindakan pernafasan.
Rasional : Menurunkan rasa tidak enak karena sisa sputum atau obat untuk
pengobatan respirasi yang merangsang pusat muntah.
6) Dorong makan sedikit dan sering dengan makanan tinggi protein.
Rasional : Masukan nutrisi tanpa kelemahan yang tidak perlu atau kebutuhan
energi dari makan makanan banyak dari menurunkan iritasi gaster.
7) Kolaborasi, rujuk ke ahli diet untuk menentukan komposisi diet.
Rasional : bantuan dalam perencanaan diet dengan nutrisi adekuat untuk
kebutuhan metabolik dan diet.

e. Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan sesak nafas dan


batuk. Tujuan : agar pola tidur terpenuhi.
Kriteria hasil : pasien dapat istirahat tidur tanpa terbangun.
Intervensi dan rasional:
1) Diskusikan perbedaan individual dalam kebutuhan tidur berdasarkan hal
usia, tingkat aktivitas, gaya hidup tingkat stress.
Rasional : rekomendasi yang umum untuk tidur 8 jam tiap malam nyatanya tidak
mempunyai fungsi dasar ilmiah individu yang dapat rileks dan istirahat dengan
mudah memerlukan sedikit tidur untuk merasa segar kembali dengan
bertambahnya usia, waktu tidur. Total secara umum menurun, khususnya tidur
tahap IV dan waktu tahap meningkat.
2) Tingkatkan relaksasi, berikan lingkungan yang gelap dan terang, berikan
kesempatan untuk memilih penggunaan bantal, linen dan selimut, berikan ritual
waktu tidur yang menyenangkan bila perlu pastikan ventilasi ruangan baik, tutup
pintu ruangan bila klien menginginkan.
Rasional : tidur akan sulit dicapai sampai tercapai relaksasi, lingkungan rumah
sakit dapat mengganggu relaksasi.
f. Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan keletihan dan inadekuat oksigen
untuk aktivitas.
Tujuan : agar aktivitas kembali efektif.
Kriteria hasil : pasien mampu melakukan ADLnya secara mandiri dan tidak kelelahan
setelah beraktivitas.
Intervensi dan rasional:
1) Jelaskan aktivitas dan faktor yang meningkatkan kebutuhan oksigen seperti
merokok. suhu sangat ekstrim, berat badan kelebihan, stress.
Rasional : merokok, suhu ekstrim dan stress menyebabkan vasokastriksi yang
meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan oksigen, berat badan
berlebihan, meningkatkan tahapan perifer yang juga meningkatkan beban kerja
jantung.
2) Secara bertahap tingkatan aktivitas harian klien sesuai peningkatan toleransi.
Rasional : mempertahankan pernafasan lambat, sedang dan latihan yang diawasi
memperbaiki kekuatan otot asesori dan fungsi pernafasan.3). Memberikan
dukungan emosional dan semangat
Rasional : rasa takut terhadap kesulitan bernafas dapat menghambat peningkatan
aktivitas.
3) Setelah aktivitas kaji respon abnormal untuk meningkatkan aktivitas.
Rasional : intoleransi aktivitas dapat dikaji dengan mengevaluasi jantung sirkulasi
dan status pernafasan setelah beraktivitas.
g. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi, aturan tindakan
dan pencegahan berhubungan dengan salah satu interprestasi informasi, keterbatasan
kognitif, tidak lengkap informasi yang ada.
Tujuan : pengetahuan pasien bertambah tentang penyakit TB Paru.
Kriteria hasil : pasien menyatakan mengerti tentang penyakit TB Paru.
Intervensi dan rasional:
1) Kaji kemampuan pasien untuk belajar
Rasional : belajar tergantung pada emosi dari kesiapan fisik dan ditingkatkan
pada tahapan individu.
2) Berikan instruksi dan informasi tertulis pada pasien untuk rujukan contoh: jadwal
obat.
Rasional : informasi tertulis menentukan hambatan pasien untuk mengingat
sejumlah besar informasi pengulangan menguatkan belajar.
3) Jelaskan dosis obat, frekuensi pemberian, kerja yang diharapkan dan alasan
pengobatan lama, dikaji potensial interaksi dengan obat atau subtansi lain.
Rasional : meningkatkan kerjasama dalam program pengobatan dan mencegah
penghentian obat sesuai perbaikan kondisi pasien..
4) Dorong untuk tidak merokok.
Rasional : meskipun merokok tidak merangsang berulangnya TBC tetapi
meningkatkan disfungsi pernafasan.
5) Kaji bagaimana yang ditularkan kepada orang lain
Rasional : pengetahuan dapat menurunkan resiko penularan atau reaktivitas ulang
juga komperkasi sehubungan dengan reaktivitas.

h. Resiko tinggi infeksi terhadap penyebaran atau aktivitas ulang berhubungan dengan
pertahanan primer tidak adekuat, kerusakan jaringan, penekanan proses inflamasi, mal
nutrisi.
Tujuan : tidak terjadi infeksi terhadap penyebaran.
Kriteria hasil : pasien mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan
resiko penyebaran infeksi, melakukan perubahan pola hidup.
Intervensi dan rasional:
1) Kaji patologi penyakit dan potensial penyebaran infeksi melalui droplet udara
selama batuk, bersin, meludah, bicara, tertawa.
Rasional : membantu pasien menyadari/ menerima perlunya mematuhi program
pengobatan untuk mencegah pengaktifan berulang atau komplikasi serta
membantu pasien atau orang terdekat untuk mengambil langkah untuk mencegah
infeksi ke orang lain.
2) Identifikasi orang lain yang beresiko, missal: anggota keluarga, sahabat karib/
teman.
Rasional : orang-orang yang terpejan ini perlu program terapi obat untuk
mencegah penyebaran/ terjadinya infeksi.
3) Kaji tindakan kontrol infeksi sementara, missal: masker atau isolasi pernafasan.
Rasional: dapat membantu menurunkan rasa terisolasi pasien dan membuang
stigma sosial sehubungan dengan penyakit menular.
4) Anjurkan pasien untuk batuk/ bersin dan mengeluarkan pada tisu dan menghindari
meludah. Kaji pembuangan tisu sekali pakai dan teknik mencuci tangan yang
tepat, dorong untuk mengulangi demonstrasi.
Rasional : perilaku yang diperlukan untuk mencegah penyebaran
5) Tekanan pentingnya tidak menghentikan terapi obat.
Rasional : periode singkat berakhir 2-3 hari setelah kemoterapi awal, tetapi pada
adanya rongga atau penyakit luas, sedang resiko penyebaran infeksi dapat
berlanjut sampai 3 bulan.
6) Dorong memilih mencerna makanan seimbang, berikan makan sering, makanan
kecil pada jumlah, makanan besar yang tepat.
Rasional : adanya anoreksia (mal nutrisi sebelumnya, merendahkan tahapan
terhadap proses infeksi dan mengganggu penyembuhan, makanan kecil
dapat meningkatkan pemasukan semua.
BAB III
PENUTUP
6.1 KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabakan oleh


Mycobacterium tuberculosis yang menyerang paru-paru dan hampir seluruh organ
tubuh lainnya. Bakteri ini dapat masuk melalui saluran pernapasan dan saluran
pencernaan (GI) dan luka terbuka pada kulit. Tetapi paling banyak melalui
inhalasi droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut. Di
indonesia, kasus baru tuberkulosis hampir separuhnya adalah wanita dan
menyerang sebagian besar wanita pada usia produktif. Kira-kira 1-3% dari semua
wanita hamil menderita tuberkulosis. Pada kehamilan terdapat perubahan-
perubahan pada sistem hormonal, imunologis,peredaran darah, sistem
pernapasan,seperti terdesaknya diafgrama ke atas sehingga paru paru terdorong ke
atas oleh uterus yang gravid menyebabkan volume residu pernapasan berkurang.
Pemakaian oksigen dalam kehamilan akan bertambah kira-kira 25% dibandingkan
diluar kehamilan, apabila penyakitnya berat atau prosesnya luas dapat
menyebabkan hipoksia sehingga hasil konsepsi juga ikut menderita. Dapat terjadi
partus prematur atau kematian janin. Namun , penyakit ini perlu diperhatikan
dalam kehamilan, karena penyakit TBC ini dapat menimbulkan masalah pada
wanita itu sendiri, bayinya dan masyarakat sekitarnya.
6.2 SARAN
Dengan di susunnya makalah ini kami mengharapkan kepada semua pembaca
agar dapat mengetahui dan memahami tentang penyakit TB paru pada kehamilan
dan dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien yang
menderita TB paru. Kiritk dan sarannya dari pembaca kami sangat harapakn agar
makalah ini dapat menjadi lebih baik dari sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen kesehatan RI. Pedoman Nasional ( 2007) Penanggulangan
Tuberkulosis Edisi 2 cetakan Pertama . Depkes RI. Jakarta
Algasaff Hood, Mukty Abdul. Bab 2 infeksi ( 2008) : Tuberkulosis Paru. Dasar
dasar Ilmu Penyakit Paru . Surabaya: Airlangga University Press.
Price, Sylvia Anderson, Wilson,Lorraine MC Carty,2006, Patofisiologi konsep
klinis proses –proses penyakit ,ed, 6, volume 1& 2, EGC, Jakarta

You might also like