You are on page 1of 4

Nama : Muhammad Arif Rahman Siregar

Npm : 1806200359

Penyusunan RUU Cipta Kerja telah mengikuti ketentuan yang diatur dalam UU
No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Pembahasan telah dilakukan setidaknya sebanyak 64 kali rapat di dalam
pembahasan di Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja. Serangkaian proses
panjang telah dilalui, sejak penyusunan draft RUU Cipta Kerja di internal
Pemerintah pada tahun 2019, penyampaian RUU Cipta Kerja oleh Presiden
kepada Ketua DPR RI melalui Surat Presiden (SurPres) tanggal 7 Februari 2020,
penyerahan RUU Cipta Kerja oleh Pemerintah kepada DPR RI pada tanggal 12
Februari 2020, dan pembahasan mulai dilakukan pada Rapat Kerja Baleg DPR RI
dengan Pemerintah pada tanggal 14 April 2020.

Akhirnya, pengambilan keputusan atas hasil pembahasan RUU Cipta Kerja pada
Pembicaraan Tingkat I telah diputuskan pada Rapat Kerja Badan Legislasi DPR
RI bersama dengan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah Republik
Indonesia (DPD RI) pada tanggal 3 Oktober 2020, yang menerima hasil
pembahasan RUU tentang Cipta Kerja yang dilaporkan oleh Ketua Panja dan
menyetujui RUU tentang Cipta Kerja untuk dibawa dalam Tahap Pembicaraan
Tingkat II pada Rapat Paripurna DPR. 

Persetujuan atas RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja telah diputuskan pada
Pembicaraan Tingkat II yang dilakukan pada Rapat Paripurna DPR RI pada hari
Senin tanggal 5 Oktober 2020. 

Pada 25 November 2021, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 91/PUU-


XVIII/2020 menyatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2011 tentang Cipta
Kerja (UU Cipta Kerja) inskonstitusional bersyarat karena terdapat cacat formil
dalam proses pembentukan.

Melalui putusan tersebut¸ MK memberikan kesempatan kepada pembentuk


undang-undang untuk memperbaiki UU a quo dalam waktu maksimal 2 tahun.
Apabila dalam waktu dua tahun perbaikan tidak terlaksana, maka berdasarkan
putusan tersebut, UU Cipta Kerja dengan sendirinya menjadi inkonstitusional
secara permanen.

Materi muatan

Melakukan perbaikan terhadap UU Cipta Kerja sebagaimana yang diperintahkan


MK dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 sejatinya bukanlah hal yang
sederhana. Terdapat persoalan yang semestinya menjadi perhatian pembentuk
undang-undang, yakni persoalan materi muatan dari UU yang disusun
menggunakan metode omnibus law.

Dalam sejarahnya, terdapat dua model materi muatan UU omnibus law yang


diterapkan di dunia. Pertama, omnibus law dengan materi muatan lintas sektoral
(sebagaimana yang diterapkan dalam pembentukan UU Cipta Kerja); dan
kedua, omnibus law dengan materi muatan single subject atau hanya untuk
mengatur isu-isu spesifik.

Terhadap omnibus law dengan model materi muatan lintas sektoral, model ini


merupakan model awal dari penerapan omnibus law dalam pembentukan undang-
undang. Materi muatan omnibus law tersebut terinspirasi dari asal
kata omnibus yang digunakan untuk menggambarkan apa pun yang dapat dipakai
secara bersama-sama sekaligus. Misalnya di Paris, Perancis pada 1820, dikenal
istilah ”Bus Omni”, yaitu sebuah kendaraan yang mampu mengangkut banyak
orang dan segala jenis barang bawaanya sehingga dapat memudahkan orang-orang
untuk bepergian.Dalam pembentukan Omnibus Compromise of 1850 di Amerika
Serikat misalnya. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Miller Marion Mills dalam
“Great Debates in American History”, UU yang dikhususkan untuk
menyelesaikan persoalan status di wilayah yang diserahkan Meksiko pasca perang
Amerika-Meksiko tahun 1846-1848 justru menuai banyak kritik dan penolakan.
Peraturan yang menjadi cikal bakal penerapan omnibus law di Amerika Serikat
dan dunia ini menyebabkan perdebatan alot yang hampir tak berkesudahan.
Padahal UU tersebut hanya berisi lima UU yang mengatur persoalan berbeda.

Di Amerika Serikat, polemik juga seringkali menyertai pembentukan Omnibus


Spending Bill atau UU APBN dalam istilah Indonesia yang dikeluarkan setiap
tahun. Polemik tersebut muncul karena materi muatan UU Omnibus tersebut
dianggap terlalu luas karena selain mengatur masalah keuangan, Omnibus
Spending Bill mengatur berbagai perosalan politik, persoalan Pemilu, teknologi,
membatasi pengaruh Rusia, hingga persoalan peraturan tentang penggunaan
tentara dalam perang.

Persoalan dalam pembentukan omnibus bermateri muatan lintas sektoral juga


terjadi di Inggris. Pada 1860, William Gladstone (Chancellor of the Exchequer)
mengajukan RUU Omnibus Budget Finance Bill yang substansinya melenceng
dari tata cara pembentukan hukum yang sebelumnya dikenal di Inggris Raya,
karena mengubah prosedur budgeting dengan memasukkan seluruh proposal
keuangan pada tahun itu dalam satu proposal, sekaligus mencabut paper duties.
Akan tetapi, House of Lords menolak keseluruhan usulan budgeting tersebut dan
meminta agar usulan RUU tersebut disusun dan diajukan ulang sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.

Polemik yang dalam pembentukan UU omnibus dengan materi muatan lintas


sektoral tersebut tidak terlepas dari potensi “kejahatan” yang menyertainya. Salah
satunya adalah rawan terjadinya praktik penyelundupan hukum (riders). Dalam
konteks Indonesia, praktik riders tersebut terjadi dalam pembentukan UU Cipta
Kerja, di mana terdapat penambahan subtansi dan perubahan ketentuan yang
terdapat di dalamnya setelah UU tersebut disepakati dan disahkan dalam sidang
paripurna DPR.

You might also like