You are on page 1of 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Imunisasi

2.1.1 Pengertian Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun, yaitu kebal atau resisten. Bayi di

imunisasikan berarti diberikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu

(Hidayat, 2008).

Imunisasi merupakan bentuk intervensi kesehatan yang sangat efektif

dalam menurunkan angka kematian bayi dan balita dengan mencegah

penyakit seperti Hepatitis B, Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Tetanus, Polio

dan Campak (Lia Dewi, 2010)

Imunisasi adalah Pemberian vaksin untuk mencegah terjadinya

penyakit tertentu (Mahdiana, 2010).

2.1.2 Tujuan Imunisasi

Tujuan dalam pemberian imunisasi (Hidayat, 2008) antara lain :

a. Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang dan menghilangkan

penyakit tertentu didunia.

b. Melindungi dan mencegah penyakit-penyakit menular yang sangat berbahaya

bagi bayi dan anak.


c. Anak menjadi kebal dan terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka

morbiditas dan mortalitas serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit

tertentu.

d. Menurunkan morbiditas, mortalitas dan cacat serta bila mungkin didapat

eradikasi suatu penyakit.

e. Menurunkan angka penderitaan suatu penyakit yang sangat membahayakan

kesehatan bahkan bias menyebabkan kematian pada penderitanya. Beberapa

yang dapat dihindari dengan imunisasi yaitu seperti campak, polio, difteri,

tetanus, batuk rejan, hepatitis B, gondongan, cacar air dan TBC.

f. Mencegah terjadinya penyakit tertentu pada seseorang.

2.1.3 Manfaat Imunisasi

Manfaat imunisasi menurut Marimbi (2010), yaitu :

a) Bagi anak

Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit, dan kemungkinan

kecactan atau kematian.

b) Bagi keluarga

Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit.

Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa anaknya

akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.


c) Bagi Negara

Memperbaiki tingkat kesehatan, menciptakan bangsa yang kuat dan berakal

untuk melanjutkan pembangunan keluarga.

2.1.4 Jenis-jenis Imunisasi

Imunisasi terbagi dalam dua bagian yaitu pasif dan aktif. Aktif adalah

bila tubuh anak ikut menyelenggarakan terbentuknya imunitas, sedangkan

pasif adalah bila tubuh anak tidak bekerja membentuk kekebalan, tetapi hanya

menerimanya saja (Notoadmodjo, 2003).

1. Imunisasi aktif

Imunisasi aktif adalah pemberian satu atau lebih antigen yang

infeksiusn pada seorang individu untuk merangsang system imun untuk

merangsang antibody yang akan mencegah infeksi. Imunisasi aktif terhadap

penyakit infeksi dihasilkan dengan cara inokulasi antigen bakteri, virus, dan

parasit, baik dalam bentuk kuman hidup yang dilemahkan atau produk dari

organism tersebut.

Vaksin diberikan dengan cara disuntikan atau peroral/ melalui mulut.

Terhadap pemberian vaksin tersebut, maka tubuh membuat zat-zat anti

terhadap penyakit bersangkutan, kadar zat-zat dapat diukur dengan

pemeriksaan darah.
Pemberian vaksin dengan cara menyuntikan kuman atau antigen murni

akan menyebabkan benar-benar menjadi sakit. Oleh karena itu, dibutuhkan

dalam bentuk vaksin, yaitu kuman yang telah dilemahkan. Pemberian vaksin

akan merangsang tubuh untuk membentuk antibody.

Dalam Imunisasi aktif terdapat empat macam kandungan yang terdapat

dalam setiap vaksinnya, yaitu :

a. Antigen merupakan bagian dari vaksin yang berfungsi sebagi zat atau

mikroba guna terjadinya semacam infeksi buatan.

b. Pelarut dapat berupa air steril atau berupa cairan kultur jaringan.

c. Preservatif, stabilizer dan antibiotika yang berguna untuk menghindar

tumbuhnya mikroba dan sekaligus untuk stabilisasi antigen.

Ada lima (5) jenis imunisasi pada anak dibawah 5 (lima) tahun yang

harus dilakukan, yaiti :

(a) BCG (Bacillus Calmette Geurin)

(b) DPT (difteri, pertusis, tetanus)

(c) Polio

(d) Campak

(e) Hepatitis B

2. Imunisasi Pasif

Imunisasi pasif adalah perpindahan antibody yang telah dibentuk yang

dihasilkan host lain. Antibody ini dapat timbul secara alami atau sengaja
diberikan. Imunisasi pasif diberikan dalam bentuk Gama globulin intravena

(IVIG) atau serum binatang, menghasilkan proteksi untuk sementara waktu

terhadap infeksi atau penyakit.

Imunisasi pasif terdiri dari dua macam, yaitu :

a. Imunisasi pasif bawaan

Imunisasi bawaan merupakan imunisasi pasif dimana zat antinya

berasal dari ibunya selama dalam kandungan, yaitu berupa zat antibody

yang melalui jalan darah menebus plasenta. Namun, zat anti tersebut

lambat laun akan menghilang/ lenyap dari tubuh bayi. Dengan demikian,

sampai umur 5 bulan bayi dapat terhindar dari beberapa oenyakit infeksi,

seperti campak, difteri dan lain-lain

b. Imunisasi pasif didapat

Imunisasi didapat merupakan imunisasi pasif dimana zat antinya

didapat dari luar tubuh, misalnya dengan suntik bahan atau serum yang

mengandung zat anti. Zat anti ini didapat oleh anak dari luar dan hanya

berlangsung pendek, yaitu 2-3 minggu karena zat anti seperti ini akan

dikeluarkan kembali dari tubuh anak, misalnya pemberian serum anti

tetanus terhadap penyakit tetanus (Anik maryuni, 2010).


2.2 Imunisasi Dasar

2.2.1 Pengertian Imunisasi Dasar

Imunisasi dasar adalah imunisasi pertama yang perlu diberikan pada

semua orang, terutama bayi dan anak sejak lahir untuk melindungi tubuhnya

dan penyakit-penyakit yang berbahaya. Lima jenis imunisasi dasar yang

diwajibkan pemerintah adalah imunisasi terhadap tujuh penyakit, yaitu TBC,

difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), poliomyelitis, campak, dan hepatitis B

(Anik maryuni, 2010).

Lima jenis imunisasi dasar yang wajib diperoleh bayi sebelum usia

setahun tersebut adalah :

a. Imunisasi BCG, yang dilakukan sekali pada bayi usia 0-11 bulan.

b. Imunisasi DPT, yang diberikan 3 (tiga) kali pada bayi usia 2-11 bulan

dengan interval minimal 4 minggu.

c. Imunisasi polio, yang diberikan 4 (empat) kali pada bayi 0-11 bulan

dengan interval minimal 4 minggu.

d. Imunisasi campak, yang diberikan 1 (satu) kali pada usia 9-11 bulan.

e. Imunisasi hepatitis B, yang diberikan 3 (tiga) kali pada bayi usia 1-11

bulan dengan interval minimal 4 minggu (Anik maryuni, 2010).


2.2.2 Imunisasi BCG (Bacillius Calmate Guerin)

Merupakan imunisasi yang mengandung jenis kuman TBC yang masih

hidup tapi telah dilemahkan. Imunisasi BCG bertujuan untuk menimbulkan

kekebalan aktif terhadap penyakit tuberculosis (TBC) (Marimbi, 2010).

Imunisasi BCG diberikan pada usia kurang dari 2 bulan dengan dosis

0,05 ml, vaksin BCG diberikan secara intrakutan didaerah lengan atas pada

insertio M. Deltoideus (Marimbi, 2010).

Vaksin BCG memberikan proteksi yang bervariasi antara 50-80%

terhadap tubercolosis. Pemberian vaksin BCG sangat bermanfaat bagi anak,

sedangkan bagi orang dewasa manfaatnya masih kurang jelas. Vaksinasi BCG

tidak terlepas dari efek samping, maka perlu diketahui vaksin ini tidak

dianjurkan pada seseorang yang mengalami penurunan status kekebalan tubuh

dan tuberculin positif (Cahyono dkk, 2010).

2.2.3 Imunisasi DPT (Difteri, Pertusis, Tetanus)

Imunisasi DPT adalah imunisasi yang akan menimbulkan kekebalan

aktif dalam waktu yang bersamaan terhadap penyakit difteri, pertusis, dan

tetanus. Vaksin Difteri dibuat dari toksin atau racun kuman difteri yang telah

dilemahkan dinamakan toksoid.

Vaksin tetanus dibuat dari toksoid tetanus atau toksin/racun kuman

tetanus yang sudah dilemahkan dan kemudian dimurnikan. Sedangkan vaksin


pertusis terbuat dari kuman bordetella pertusis yang telah dimatikan

selanjutnya dikemas bersama vaksin difteri dan tetanus.

Imunisasi DPT diberikan 3 kali (paling sering dilakukan), yaitu pada

usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan. Namun biasa ditambahkan 2 kali lagi, yaitu 1

kali di usia 18 bulan dan 1 kali di usia 5 tahun, imunisasi diberikan melalui

suntikan intra muskuler (IM). Imunisasi DPT ditandai dengan gejala-gejala

ringan seperti sedikit demam dan rewel selama 1-2 hari, kemerahan,

pembengkakan, agak nyeri atau pegal-pegal pada tempat suntikan yang akan

hilang sendiri dalam bebrapa hari, atau bila masih demam dapat diberikan

obat penurunan panas pada bayi.

Imunisasi DPT tidak dapat diberikan pada anak-anak yang mempunyai

penyakit atau kelainan saraf baik bersifat keturunan atau bawaan, seperti

epilepsy, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau habis dirawat

karena infeksi otak (Anik maryuni, 2010).

2.2.4 Imunisasi Polio

Imunisasi polio merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah

terjadinya penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada

anak (Hidayat, 2008).

Imunisasi polio diberikan pada bayi umur 0-11 bulan atau saat lahir

(0bulan), dan berikutnya pada usia bayi 2 bulan, 4 bulan, dan 6 bulan. Kecuali

saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DPT.
Pemberian imunisasi polio melalui oral/ mulut. Di luar negeri, cara pemberian

imunisasi polio ada yang melalui suntikan (Inactivated Poliomyelitis

Vaccine / IPV) Imunisasi polio hampir tidak ada efek samping, hanya

sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot,

kasusnyapun sangat jarang.

Imunisasi polio sebaiknya tidak diberikan pada anak dengan diare berat

atau yang sedang sakit parah, seperti demam tinggi (diatas 38°C). Pada anak

yang menderita penyakit gangguan kekebalan tidak diberikan imunisasi polio.

Demikian juga anak dengan penyakit HIV/AIDS, penyakit kanker atau

keganasan, sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi

umum, untuk tidak diberikan imunisasi polio (Anik maryuni, 2010).

2.2.5 Imunisasi Hepatitis B

Imunisasi hepatitis B adalah imunisasi yang diberikan untuk mencegah

penyakit yang disebabkan virus hepatitis B, yaitu penyakit infeksi yang dapat

merusak hati (Marimbi, 2010).

Hepatitis B disebabkan oleh Virus hepatitis B (VHB), suatu anggota

yang family hepadnavirus yaitu suatu virus DNA yang berlapis ganda dapat

menyebabkan peradangan hati akut atau kronis yang pada sebagian kecil

kasus dapat berlanjut menjadi sirosis hati (hati mengeras dan mengecil) atau

kanker hati (Cahyono, 2010).


Imunisasi ini sebaiknya diberikan 12 jam setelah lahir, dengan syarat

kondisi bayi dalam keadaan stabil, tidak ada gangguan pada paru-paru dan

jantung. Kemudian dilanjutkan pada saat bayi berusia 1 bulan dan usia 3-6

bulan. Pemberian imunisasi melallui intra muskuler (I.M) di lengan deltoid

atau paha anterolateral bayi, penyuntikan di bokong tidak dianjurkan karena

bias mengurangi efektivitas vaksin.

Imunisasi ini umumnya tidak ada efek samping, jika-pun terjadi namun

sangat jarang berupa keluhan nyeri pada tempat suntikan, yang disusul

demam ringan dan pembengkakan, namun reaksi ini akan menghilang dalam

waktu 2 hari. Imunisasi ini tidak dapat diberikan pada anak yang menderita

sakit berat (Anik maryuni, 2010).

2.2.6 Imunisasi Campak

Penyakit campak adalah suatu infeksi virus yang sangat menular, yang

ditandai dengan demam, batuk, konjungtivitis,dan ruam kuli. Campak

merupakan penyebab kematian bayi berumur <12 bulan dan anak usia 1-4

tahun.

Penyakit campak di sebabkan oleh paramiksovirus dan genus morbili.

Virus campak dapat hidup dan berkembang biak pada selaput lendir

tenggorokan, hidung dan saluran pernafasan.


Tiga fase tanda dan gejala klinis campak, yaitu :

1. Fase pertama

Fase pertama disebut masa inkubasi yang berlangsung sekitar 10-12 hari,

pada tahap ini anak yang sakit belum memperlihatkan tanda dan gejala

sakit.

2. Fase kedua (fase prodormal)

Pada Fase ini timbul gejala yang mirip penyakit flu sepertti batuk, pilek,

dan demam tinggi dapat mencapai 38°-40°C, mata merah berair, mulut

muncul bintik putih (bercak koplik) dan kadang disertai mencret.

3. Fase ketiga

Fase ketiga ditandai dengan keluarnya bercak merah seiring

demam tinggi yang terjadi. Namun, bercak tak langsung muncul diseluruh

tubuh, melainkan bertahap dan merambat. Bermula dari belakang telinga,

leher, dada, muka, tangan dan kaki (Cahyono, 2010).

Imunisasi diberikan satu kali pada usia 9 bulan, dan dianjurkan

sesuai jadwal. Selain karena antibody dari ibu sudah menurun di usia bayi

9 bulan, penyakit campak umumnya menyerang anak di usia balita. Jika

sampai usia 12 anak belum mendapat imunisasi campak, maka 12 bulan

ini anak harus di imunisasi. Cara pemberian imunisasi melalui subkutan,

biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisai, mungkin terjadi demam

ringan/ bercak merah pada pipi bawah telinga pada hari ke 7-8 setelah
hari penyuntikan. Imunisasi campak tidak diberikan pada anak dengan

penyakit infeksi akut yang disertai demam, penyakit gangguan kekebalan,

penyakit TBC tanpa pengobatan, kekurangan gizi berat, penyakit

keganasan, kerentanan tinggi terhadap protein telur (Anik maryuni,

2010).

2.3 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Imunisasi Dasar

pada Bayi.

1. Pengetahuan

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi

melalui melalui pancaindra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh

melalui mata dan telinga (Notoadmodjo, 2007)

Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting

dalam membentuk tindakan seseorang, yaitu :

1. Proses adaptasi prilaku

Penelitian Rogers (1974) menungkapkan bahwa sebelum orang

mengadposi perilaku baru, didalam diri orang tersebut terjadi proses yang

berurutan, yaitu :

a. Awarenesis (kesadaran), yaitu orang tersebut mnyadari dalam arti

mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.


b. Interest, yaitu orang mulai tertarik pada stimulus.

c. Evaluation (menimbang-nimbang baik tidaknya stimulus tersebut

bagi dirinya). Hal ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

d. Trial, yaitu orang telah mulai mencoba prilaku baru.

e. Adoption, yaitu subjek telah berprilaku baru sesuai dengan

pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulus.

2. Tingkat pengetahuan di dalam domain aktif

Pengetahuan yang tercakup dalam dominan kognitif mempunyai 6

tingkatan, yaitu :

a. Tahu (know), yaitu mengingat suatu materi yang telah dipelajari

sebelumnya.

b. Memahami (comprehension), yaitu sebagai kemampuan untuk

menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahuii dan dapat

menginterpretasikan materi tersebut secara benar.

c. Aplikasi (application), yaitu sebagai kemampuan untuk

menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau keadaan

real (sebenarnya).

d. Analisa (analysis), yaitu suatu kemammpuan untuk menjabarkan

suatu materi atu suatu objek kedalam komponen-komponen tetapi

masih di dalam suatu struktur organisasi dan masih ada kaitanya satu

sama lain.
e. Sintesis (synthesis)

Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian didalam suatu bentuk keseluruhan

yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk

menyusun formulasi-formulasi yang ada. Misalnya, dapat menyusun,

dapat merencanakan, dapat meringkas, dapat menyesuaikan, dan

sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah

ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-

penilaian itu didasarkan pada suatu criteria yang ditentukan sendiri

atau menggunakan kriteri-kriteria yang telah ada (Notoadmodjo,

2007).

Menurut Depkes (2001), pengetahuan ibu tentang imunisasi

dapat mempengaruhi kesadaran ibu untuk mengimunisasikan

anaknya.

Peran seorang ibu dalam program imunisasi sangatlah

penting, oleh karena itu suatu pemahaman tentang program ini amat

diperlukan untuk kalangan tersebut. Pemahaman ibu atau


pengetahuan ibu terhadap imunisasi sangat dipengaruhi oleh tingkat

pendidikan formal ibu (Ali, 2002).

Menurut penelitian Masleni (2008), menunjukkan bahwa ada

hubungan yang signifikan pengetahuan ibu tentang imunisasi dasar

dengan status imunisasi bayi dengan nilai probabilitas deperoleh

0,000<0,01 dengan menggunakan uji korelasi Spearman diperoleh

nilai koefisien korelasi sebesar 0,641.

Menurut penelitian Vera Mariyam (2009), menunjukan bahwa

ada hubungan yang positif dan signifikan antara tingkat pengetahuan

ibu tentang imunisasi dasar dengan hasil uji statistic menunjukan

bahwa koefisien korelasi sebesar 0,268 dan p=0,02.

Penelitian ini juga dilakukan Deni Adinegoro (2009) yang

menunjukan adanya hubungan antara pengetahuan ibu tentang

imunisasi dasar terhadap pemberian imunisasi dasar pada bayi

dengan nilai koefisien 0,556 dengan taraf signifikan p=0,01

(p<0,05).

2. Paritas

Paritas adalah jumlah kehamilan yang menghasilkan janin yang mampu

hidup didalam rahim dengan usia kehamilan 28 minggu (Pusdiknakes, 2001).

Paritas adalah wanita yang pernah melahirkan bayi aterm (Manuaba,

2008).
Klasifikasi paritas, yaitu

1. Primipara, yaitu wanita yang telah melahirkan seorang anak yang cukup

besar untuk hidup di dunia luar (Varney, 2006).

2. Multipara, yaitu wanita yang telah melahirkan seorang ank lebih dari satu

kali (Prawirohardjo, 2009).

Multipara adalah wanita yang sudah pernah melahirkan bayi viable (hidup)

bebrapa kali (Manuaba, 2008).

Multigravida adalah wanita yang sudah hamil, dua kali atau lebih

(Varney, 2006).

3. Grandemultipara

Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang atau

lebih dan biasanya mengalami penyulit dalam kehamilan dan persalinan

(Manuaba, 2008).

Grandemultipara adalah wanita yang telah melahirkan 5 orang anak

atau lebih (Varney,2006).

Menurut Lestari (2007), paritas berhubungan dengan pemberian

imunisasi dasar pada anaknya. Semakin kecil jumlah anak akan semakin

banyak waktu yang tersedia untuk memperhatikan anaknya terutama

melakukan imunisasi, sebaliknya semakin banyak jumlah anak maka waktu

yang tersedia akan semakin sedikit karena kesibukan mengurus anak.


Menurut Friedman (2005), ibu yang tahu dan paham tentang jumlah

anak yang ideal, maka ibu akan berperilaku sesuai dengan apa yang ia

ketahui.

3. Pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan salah satu aspek social yang dapat

mempengaruhi tingkah mempengaruhi tingkah laku manusia. Pendidikan akan

memepengaruhi seseorang dalam melakukan respon terhadap sesuatu yang

datang dari luar. Orang yang mempunyai pendidikan yang lebih tinggi akan

memberikan respon yang lebih rasional dibandingkan mereka yang tidak

berpendidikan, karena mereka yang berpendidikan tinggi mampu menghadapi

tantangan dengan rasional (Notoadmodjo, 2003).

Pendidikan juga akan membuat seseorang terdorong untuk ingin tahu,

mencari pengalaman sehingga informasi yang diterima akan menjadi

pengetahuan (Azwar, 2000).

Penelitian Idwar (2001) disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat

pendidikan seorang ibu maka makin besar peluang untuk mengimunisasikan

bayinya yaitu 2,215 kali untuk pendidikan tamat SLTA/ke atas dan 0,961 kali

untuk pendidikan tamat SLTP/sederajat.

Menurut Lestari (2007), makin tinggi pendidikan ibu maka akan lebih

mudah menerima, mempunyai sikap dan berprilaku sesuai dengan yang

dianjurkan. Demikian sebaliknya makin rendah pendidikan ibu maka akan


lebih sulit menyerap informasi, tingkat pendidikan formal ibu akan

mempengaruhi sikap dan tindakan ibu terhadap pemeliharaan anak terutama

imunisasi.

Menurut penelitian Feby Angzila (2009), menujukan bahwa adanya

hubungan positif antara tingkat pendidikan formal ibu dengan status imunisasi

dasar dengan hasil uji statistik menghasilkan

nilai X2 hitung = 12,071 dengan df = 3 dan nilai p value = 0,007. Nilai X²

tabel = 7,815 maka nilai X2 hitung > X² tabel dan nilai p < 0,05.

Menurut penelitian Rini (2009), menunjukan bahwa ada hubungan

antara pendidikan (p=0,021 dan koefisien phi=0,359) dengan status

kelengkapan imunisasi dasar pada bayi.

4. Umur

Umur merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang

sangat utama. Umur mempunyai hubungan dengan tingkat keterpaparan,

besarnya resiko serta sifat resistensi. Perbedaan pengalaman terhadap masalah

kesehatan/penyakit dan pengambilan keputusan dipengaruhi oleh umur

individu tersebut (Noor, N. N (2000).

Dari penelitian Ali,Muhammad (2002) didapatkan bahwa usia ibu

berhubungan dengan pengetahuan dan perilaku mereka terhadap imunisasi

(p < 0,05).
Dari penelitian Salma Padri,dkk (2000) juga menemukan bahwa faktor

utama yang berhubungan dengan imunisasi campak adalah umur ibu. Apabila

usia ibu >20 tahun dan <35 tahun maka semakin besar peluang ibu untuk

mengimunisasikan anaknya.

Penelitian Ibrahim (2001) menunjukan bahwa karakteristik ibu yang

erat hubunganya dengan status imunisasi anak adalah umur ibu, yaitu umur

ibu yang dihitung sejak lahir sampai saat penelitian.

5. Status Sosial Ekonomi

Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki

seseorang dalam masyarakatnya. Orang yang memiliki status sosial yang

tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan

dengan orang yang status sosialnya rendah.

Terdapatnya penyebaran masalah kesehatan yang berbeda berdasarkan

status sosial ekonomi pada umumnya dipengaruhi oleh 2 (dua) hal, yaitu

terdapatnya perbedaan kemampuan ekonomis dalam mencegah penyakit atau

mendapatkan pelayanan kesehatan dan terdapatnya perbedaan sikap hidup dan

perilaku hidup yang dimiliki.

Menurut Noor, N. N (2000), menyebutkan bahwa berbagai variabel

sangat erat hubunganya dengan status sosial ekonomi sehingga merupakan

karakteristik. Status sosial ekonomi erat hubunganya dengan pekerjaan,


pendapatan keluarga daerah tempat tinggal, kebiasaan hidup dan lain

sebagainya.

Menurut Ali Muhammad (2002), status sosial ekonomi berhubungan

dengan cakupan imunisasi dan opini orang tua tentang vaksin berhubungan

dengan status imunisasi anak mereka.

Depkes RI (2000) juga menyebutkan status sosial ekonomi juga

merupakan komponen pendukung ibu melakukan imunisasi dasar pada bayi,

dalam hal ini sumber pendapatan atau penghasilan.

You might also like