You are on page 1of 48

MAKALAH

PERPAJAKAN

Ringkasan materi pertemuan 1 – 14

Disusun Oleh:

ANGGERAENI EFENDI

1910421026

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS ILMU EKONOMI DAN SOSIAL
UNIVERSITAS FAJAR
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat allah swt yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul Ringkasan materi perpajakan pertemuan 1 - 14 ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Ujian akhir semester dosen pada mata kuliah perpajakan. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang teknik
presentasi bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada Bpak Dr. H. Syamsuddin Bidol,


MM, selaku dosen mata kuliah perpajakan yang telah memberikan tugas ini
sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang
studi yang saya tekuni.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Makassar, 08 Juli 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................... 2

DAFTAR ISI....................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 5

A. Latar Belakang .............................................................................................. 5

BAB II KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN ......................................................... 7

A. Terminologi Pasal (1) UU.No.16/2000 ......................................................... 7

BAB III PAJAK PENGHASILAN ......................................................................... 11

A. PPH PASAL 21 ............................................................................................. 11

B. CONTOH PERHITUNGAN PPh 21 PEGAWAI (TK, K-0, K1, K2, K3) +


PENGHASILAN DIGABUNGKAN (K-0, K1, K2, K3) ............................................... 13

C. PPH PASAL 22 ............................................................................................. 19

D. PPH PASAL 23 ............................................................................................. 20

E. PPH PASAL 24 ............................................................................................. 21

F. PPH PASAL 25 ............................................................................................. 22

G. PPH PASAL 26 ............................................................................................. 22

H. PPH ATAS UMKM ....................................................................................... 23

BAB IV PPN DAN PPNBM................................................................................ 24

A. Konsep Ppn Dan Ppnbm ............................................................................. 24

B. Objek Pajak Ppn ......................................................................................... 24

C. Tarif Pajak Ppn & Ppnbm ........................................................................... 25

D. Cara Menghitung Ppn & Ppnbm ................................................................ 25

E. Contoh Soal (Minimal 5 Kasus) .................................................................. 27


BAB V BEA MATERAI ...................................................................................... 31

A. Dasar Hukum Bea Materai ......................................................................... 31

B. Pengertian Bea Materai ............................................................................. 32

C. Tarif Bea Materai........................................................................................ 32

BAB VI PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB) .................................................. 34

A. Konsep Pbb................................................................................................. 34

B. Subjek Dan Objek Pbb ................................................................................ 34

C. Dasar Perhitungan Dan Penagihan ............................................................ 35

D. Tarif Pajak Bumi Dan Bangunan ................................................................. 38

E. Contoh Soal ................................................................................................ 38

BAB VII BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB) .......... 42

A. Konsep Bphtb ............................................................................................. 42

B. Subjek Dan Objek Bphtb ............................................................................ 42

C. Dasar Pengenaan Pajak .............................................................................. 44

D. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (Npoptkp) ......................... 45

E. Tarif Bphtb.................................................................................................. 45

F. Bphtb Dalam Jual Beli................................................................................. 45

G. Contoh Soal (Minimal 3 Soal) ..................................................................... 46

BAB VIIII PENUTUP ........................................................................................ 48

A. Kesimpulan ................................................................................................. 48
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak merupakan sumber
pendapatannegara untuk membiayai semua pengeluaran termasuk pengeluaran
pembangunan. Uang yang dihasilkan dari perpajakan digunakan oleh negara dan
institusi di dalamnya sepanjang sejarah untuk mengadakan berbagai macam
fungsi. Beberapa fungsi tersebut antara lain untuk pembiataan perang,
penegakan hukum, keamanan atas aset, infrastruktur ekonomi, pekerjaan publik ,
subsidi, dan operasional negara itu sendiri. Dana pajak juga digunakan untuk
membayar utang negara dan bunga atas utang tersebut. Pemerintah juga
menggunakan dana pajak untuk membiayai jaminan kesejahteraan dan pelayanan
publik. Pelayanan ini termasuk pendidikan, kesehatan, pensiun, bantuan bagi
yang belum mendapat pekerjaan, dan transportasi umum. Penyediaan listrik, air,
dan penanganan sampah juga menggunakan dana pajak dalam porsi tertentu.

Pemerintah menggunakan berbagai jenis pajak dan menetapkan berbagai tarif


pajak. Tindakan ini dilakukan untuk mendistribusikan beban pajak kepada individu
atau kelas populasi yang terlibat dalam kegiatan kena pajak, seperti
misalnya bisnis,atau untuk mendistribusi ulang sumber daya di antara individu dan
kelas populasi. Pada masa lampau, kebangsawanan ditunjukkan dengan adanya
pajak atas yang miskin; sistem jaminan kesejahteraan modern bersifat sebaliknya,
ditujukan untuk membantu rakyat miskin, cacat, atau pensiun dengan memajaki
rakyat yang masih bekerja. Pajak juga digunakan untuk membiayai bantuan ke
negara lain dan ekpedisi militer, untuk mempengaruhi kondisi ekonomi makro
(strategi pemerintah dalam pelaksanaan kebijakan ini disebut kebijakan fiskal),
atau untuk mengubah pola konsumsi dan tenaga kerja dalam sistem ekonomi,
dengan menjadikan beberapa jenis transaksi kurang menarik.
Sistem perpajakan nasional merupakan refleksi dari nilai-nilai bangsa dan nilai
yang dipegang oleh pihak yang memang kekuasaan politik. Untuk menciptakan
sistem perpajakan, sebuah bangsa harus membuat pilihan terkait distribusi beban
pajak – siapa yang akan membayar pajak dan seberapa banyak mereka harus
membayar – dan bagaimana pajak yang telah dipungut kemudian dibelanjakan.
Dalam sistem demokrasi di mana rakyat memilih orang-orang yang bertanggung
jawab dalam menjalankan sistem perpajakan, pilihan rakyat menunjukkan jenis
komunitas yang ingin diciptakan oleh rakyat. Pada negara yang rakyat tidak
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sistem perpajakan, sistem perpajakan
merupakan refleksi dari nilai-nilai dari pihak yang berkuasa.
BAB II
KETENTUAN UMUM PERPAJAKAN

A. Terminologi Pasal (1) UU.No.16/2000


a. Wajib pajak (WP)

Adalah pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang


undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan
termasuk pemungutan dan pemotongan pajak. syarat menjadi wajib pajak orang
pribadi yaitu :

wajib pajak = kewajiban pajak subjektif + kewajiban pajak objektif

a) orang pribadi tersebut dlahirkan, berada, atau berniat untuk


bertempat tinggal di indonesia
b) berakhir pada saat orang pribadi tersebut meninggal dunia atau
meninggalkan indonesia untuk selama – lamanya.
c) badan tersebut didirikan di indonesia dan
d) berakhir pada saat bdan tersebut dibubarkan atau tidak lagi bertempat
kedudukan di indonesia.
b. Badan Adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan
kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukanusaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah
dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk
usaha tetap dan bentuk badan lainnya
c. Pengusaha Adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan
barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa,
atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean
d. Pengusaha kena pajak (PKP) Adalah pengusaha yang melakukan
penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa Kena Pajak (JKP)
yang dikenakan pajak berdasarkan UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dalam
Keputusan Menteri Keuangan, kecuali Pengusaha Kecil yang memilih
untuk dikukuhkan menjadi PKP
e. Masa Pajak Adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu)
bulan TAKWIM atau jangka waktu lain yang ditetapkan keputusan
mnteri keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim
f. Tahun pajak Adalah jangka waktu 1 (satu) tahun TAKWIM kecuali jika
WP menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim
g. Bagian tahun pajak Adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak
h. Pajak yang terutang Adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat
dalam Masa Pajak, Tahun Pajak atau dalam Bagian Tahun Pajak
menurut ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.
i. surat paksa Adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan menurut UU No.19/2000 tentang penagihan dengan Surat
Paksa
j. kredit pajak Adalah Pajak Masukan (PM) yang dapat dikreditkan setelah
dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak atau
setelah dikurangi dengan pajak yang telah dikompensasikan, yang
dikurangkan dari pajak yang terutang
k. penanggung pajak Adalah pribadi atau badan yang bertanggung jawab
atas pembayaran pajak termasuk wakil yang menjalankan hak dan
memenuhi kewajiban WP menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan
1. NPWP pasal (2) ayat (1) UU.No. 16/2000 (Nomor Pokok Wajib Pajak)

NPWP adalah nomor yang diberikan kepada WP sebagai suatu sarana dalam
administrasi perpajakanyang digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
WP dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya yang Dikeluarkan oleh
Ditjen Pajak merupakan satu set nomor yang dikelompokkan atas fungsinya untuk
angka pengecekan dan kode kantor KPP

a. fungsi NPWP yaitu :


• Dipergunakan untuk mengetahui identitas WP yang sebenarnya,
sehingga setiap WP hanya diberikan satu NPWP
• Sarana dalam administrasi perpajakan
• Berguna untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan
dalam administrasi perpajakan
b. Wajib Daftar & Punya NPWP
• WP pribadi yang mempunyai penghasilan netodalam satu tahun
takwim diatas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
• Wanita kawin yang dikenakan pajak terpisah berdasarkan perjanjian
pemisahan harta.
• Setiap badan usaha termasuk Badan Usaha Tetap (BUT) yang menjadi
subyek pajak
• WP pemotong atau pemungut pajak
c. Penghapusan NPWP
• WP pindah dari satu KPP ke KPP lain
• WP meninggal dunia
• Warisan telah selesai dibagi
• Badan termasuk BUT dibubarkan
• WP wanita kawin dan tidak pisah harta
2. NPPKP (Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak)

NPPKP adalah nomor yang diberikan kepada pengusaha yang memenuhi


syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) Dalam rangka penyederhanaan adm
perpajakan dipandang perlu mempergunakan SATU NOMOR IDENTITAS WP yaitu
NPWP dan NPPKP adalah SAMA (SuratEdaran Ditjen Pajak No.02/PJ09/1998 tgl 4
Mei 1998).

a. fungsi NPPKP
• Dipergunakan sebagai identitas Pengusaha Kena Pajak
• Berguna untuk administrasi pemenuhan kewajiban Pajak Pertambahan
Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah ( PPN dan PPnBM )
• Berguna untuk pengawasan administrasi perpajakan
b. Wajib Daftar & Punya NPPKP
• Pengusaha yang melakukan penyerahan BKP diatas Rp.240.000.000,-
setahun atau melakukan penyerahan JKP diatas Rp.120.000.000,-
setahun
• Pengusaha yang melakukan kegiatan impor BKP (importir)
• Pengusaha yang melakukan kegiatan ekspor BKP (eksportir)
• Pedagang Eceran Besar , yaitu pedagang yang mempunyai omzet
penjualan diatas Rp.1.000.000.000,- setahun
c. Sanksi Tidak Punya NPWP / NPPKP

Sanksi bagi WP yang tidak mendaftar, menyalahgunakan atau meggunakan


tanpa hak NPWP atau Pengukuhan PKP yang dapat merugikan negara dipidana
penjara selama-lamanya 6 tahun dan atau denda setinggi-tingginya 4 kali jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar
BAB III
PAJAK PENGHASILAN

A. PPH PASAL 21

Pajak Penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah,
honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan.

Penghasilan Tidak Kena Pajak:

1. Untuk diri wajib pajak orang pribadi = Rp 24.300.000

2. Tambahan untuk wajib pajak kawin = Rp 2.025.000

3. Tambahan untuk penghasilan istri yang digabungkan dengan


penghasilan suami = Rp 24.300.000
4. Tambahan untuk anggota keluarga (max 3 orang) = @Rp 2.025.000

Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak

Sampai dengan Rp 50.000.000 5%

Diatas Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 15%

Diatas Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 25%

Diatas Rp 500.000.000 35%


Tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah :

a. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi


kesehatan,asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna,
dan asuransi bea siswa;

b. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan dalam bentuk


apapun yang diberikan oleh Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali
diberikan oleh bukan Wajib Pajak selain Pemerintah, atau Wajib
Pajak yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final dan
yang dikenakan Pajak Penghasilan berdasarkan norma
penghitungan khusus (deemed profit).

c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang


pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan iuran
Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang
dibayar oleh pemberi kerja;
d. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan
atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh
Pemerintah.
e. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu (Psl 3(1) UU PPh).
Ketentuannya di atur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri
Keuangan No. 246/PMK.03/2008
Lain-Lain:

1. Pemotong Pajak wajib memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal


21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya
pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai
tetap, penerima uang tebusan pensiun, penerima Jaminan Hari
Tua, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun.
2. Pemotong Pajak PPh Pasal 21 wajib memberikan Bukti
Pemotongan PPh Pasal 21 tahunan (form 1721-A1 atau 1721-
A2) kepada pegawai tetap, termasuk penerima pensiun
bulanan dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun takwim
berakhir.
3. Apabila pegawai tetap berhenti bekerja atau pensiun pada bagian
tahun takwim, maka Bukti Pemotongan (form 1721-A1 atau 1721-
A2 ) diberikan oleh pemberi kerja selambat-lambatnya satu bulan
setelah pegawai yang bersangkutan berhenti bekerja atau pensiun.
4. Penerima penghasilan wajib menyerahkan surat pernyataan
kepada Pemotong Pajak PPh Pasal 21 yang menyatakan jumlah
tanggungan keluarga pada permulaan tahun takwim atau pada
permulaan menjadi Subyek Pajak dalam negeri.

B. CONTOH PERHITUNGAN PPh 21 PEGAWAI (TK, K-0, K1, K2, K3) +


PENGHASILAN DIGABUNGKAN (K-0, K1, K2, K3)
1) Contoh soal 1 :

Supri adalah seorang dokter yang telah menikah dan mempunyai 3 anak
kandung. Supri bekerja sebagai pegawai tetap di Rumah Sakit Swasta Sehat
Selamanya dengan gaji sebulan Rp 25.000.000. Pada bulan Maret 2015, dia
menerima pembayaran dari rumah Rumah Sakit Sehat Selamanya berupa gaji Rp
25.000.000 dan menerima jasa medis sebagai dokter yang bersumber dari pasien
sebesar Rp 35.000.000. Ia membayar iuran pensiun sebesar Rp 250.000 setiap
bulanya.

Jawab :

Pendapatan
Gaji sebulan Rp 25.000.000

Penghasilan Bruto Sebulan Rp 25.000.000

Pengurang
Biaya Jabatan (5% x Rp 25.000.000) Rp 500.000

Iuran Pensiun Rp 250.000 Rp 750.000

Penghasilan Neto sebulan Rp 24.250.000

Penghasilan Neto Setahun (12 x Rp 24.250.000) Rp 291.000.000

PTKP (K/3)

Untuk diri Wajib Pajak Rp 54.000.000

Tambahan WP Menikah Rp 4.500.000

Tambahan 3 orang Tanggungan Rp 13.500.000 Rp72.000.000


Penghasilan Kena Pajak Rp 219.000.000
PPh pasal 21 terutang setahun : 5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000

15% x Rp 169.000.000 = Rp
25.350.000 Rp 27.850.000
PPh pasal 21 terutang sebulan : Rp 27.850.000/ 12 = Rp 2.320.833 dibulatkan
kebawah menjadi Rp 2.320.000
2) contoh soal 2 :

Dr. Hasto (menikah dan memiliki 1 anak) merupakan dokter spesialis


kandungan yang berkerja sebagai pegawai tetap di rumah sakit swasta Sadewa
dengan gaji tetap sebesar Rp 25.000.000,00 per bulan. Jam praktik dr. Hasto
mulai pukul 08.00 s.d. 12.00 selama 5 hari dalam seminggu. Untuk bulan
September 2016, Dr. Hasto menerima jasa medis sebagai dokter yang
bersumber dari pasien sebesar Rp 20.000.000,00. dr. Hasto membayar iuran
pensiun sebesar Rp 200.000,00 setiap bulannya. Perhitungan PPh pasal 21 atas
penghasilan dr. Hasto dari Rumah Sakit Sadewa pada bulan September 2016
adalah?
Jawab :
Penghasilan
Gaji Rp 25.000.000,00
Pengurangan
a. Biaya jabatan (5%x25jt=1.250.000) Rp 500.000
b. Iuran Pensiun 200.000 700,000.000
Penghasilan netto sebulan Rp 24.300.000,00
Setahun Rp291.600.000,00
PTKP (K/1)

a. WP Pribadi Rp 54.000.000,00
b. Kawin Rp 4.500.000,00
c. 1 anak Rp 4.500.000,00
Jumlah PTKP Rp 63.000.000,00

PKP Setaun Rp228.600.000,00

PPh terutang:

a. 5% x Rp 50.000.000 = Rp 2.500.000,00
b. 15% x Rp 178.600.000 = Rp 26.790.000,00
Jml PPh terutang setaun Rp 29.290.000,00
Sebulan Rp 2.440.833,00

3) contoh soal 3 :

Erwin (belum menikah namun memiliki 2 tanggungan)berkerja pada PT Sari


Roti dengan memperoleh gaji sebesar Rp 9.000.000 sebulan. Kepada Erwin
diberikan tunjangan pajak sebesar Rp 25.000. Iuran pensiun yang dibayar oleh
Erwin adalah sebesar Rp 25.000 sebulan. PPh pasal 21 bulan September 2016
dalam hal Erwin tidak menerima penghasilan dari PT Sari Roti selain gaji adalah?
Jawab :

Penghasilan

a. Gaji Rp 9.000.000

b. Tunjangan pajak Rp 25.000


Penghasilan bruto Rp 9.025.000
Pengurangan

a. Biaya jabatan (5%x9.025.000) Rp 451.250

b. Iuran pension Rp 25.000 Rp 476.250

Penghasilan netto sebulan Rp8.548.750


Setaun Rp102.585.000
PTKP (TK/2)

a. WP Pribadi Rp 54.000.000
b. Tanggungan 2
Rp 9.000.000
Jml PTKP
Rp 63.000.000

PKP setaun Rp 39.585.000

PPh terutang satu tahun:

5% x 39.585.000 = Rp 1.979.250

PPh terutang satu tahun: Rp 164.937

4) contoh soal 4 :

Adisti karyawati dengan status menikah dan mempunyai tiga anak berkerja
pada PT Harya Kencana. Suami dari Adisti merupakan seorang Pegawai Negeri
Sipil di Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman. Hapsari menerima gaji sebesar Rp
5.500.000,00 sebulan. PT Harya Kencana mengikuti program pensiun dan BPJS
Kesehatan. Perusahaan membayar iuran pensiun kepada dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, sebesar Rp 40.000,00
sebulan. Adisti juga membayar iuran pensiun sebesar Rp 30.000,00 sebulan,
disamping itu perusahaan membayarkan iuran Jaminan Hari Tua karyawannya
setiap bulan sebesar 3,70% dari gaji, sedangkan Adisti membayar iuran Jaminan
Hari Tua setiap bulan sebesar 2,00% dari gaji. Premi Jaminan Kecelakaan Kerja
dan Jaminan Kematian dibayar oleh pemberi kerja dengan jumlah masing-
masing sebesar 1,00% dan 0,30% dari gaji. Pada bulan November 2016
disamping menerima pembayaran gaji, Adisti juga menerima uang lembur
(overtime) sebesar Rp 2.000.000,00. Hitunglah pajak terutangnya!
Jawab :
Pendapatan

a. Gaji Rp 5.500.000,00

b. Overtime Rp 2.000.000,00

c. Premi JK(0,3% x Rp5.500.000) Rp 55.000,00

d. Premi JKK(2%xRp5.500.000) Rp 16.500,00

Pengurangan

a. Biaya Jabatan (5%xRp7.571.000) Rp 378.000,00

b. Iuran Pensiun Rp 30.000,00

c. JHT (2%xRp 5.500.000) Rp 110.000,00 Rp 518.550,00

Penghasilan Netto Sebulan Rp 7.052.950,00

Penghasilan Netto Sebulan Rp 84.635.400,00

PTKP TK/0

a. WP Pribadi (Rp54.000.000,00)
PKP setaun Rp 30.635.400,00

PPh 21 terutang setaun:

5% x Rp 30.635.000,00 = Rp 1.531.770,00

PPh 21 terutang sebulan (Rp 1.531.770,00/12) = Rp127.647,


5) contoh soal 5 :

Rafi merupakan seorang staf pemasaran, dengan gaji Rp.6.000.000/bulan.


Ditambah dengan tunjangan makan sebesar Rp. 600.000/bulan. Maka biaya
jabatan yang ditanggung Rafi dalam sebulan adalah:

Gaji Bulanan : Rp.6.000.000

Tunjangan Makan : Rp.600.000

Gaji Bruto Setiap Bulan : Rp.6.600.000

Biaya Jabatan : Rp.6.600.000 x 5% = Rp.330.000

Biaya jabatan yang harus ditanggung Rafi setiap bulan adalah sebesar Rp.330.000.

Untuk tarif biaya jabatan setahun adalah:

Total Gaji Setahun : Rp.72.000.000

Tunjangan Makan ; Rp. 7.200.000

Gaji Bruto Setahun : Rp. 79.200.000

Biaya Jabatan : Rp. 79.200.000 x 5% = 3.960.000

Jadi, biaya jabatan yang harus ditanggung Rafi setiap tahun sebesar Rp. 3.960.000.

C. PPH PASAL 22
PPH Pasal 22 Adalah Pemungutan Pajak Yang Di Lakukan Atas Pembelian
Barang, Impor Barang Dan Pembelian / Penjualan Barang Di Bidang Usaha Tertenu.
Oleh Karna Itu yang Dilakukan Pemungukan Pph Pasal 22 Adalah Pemasuk Barang
Kepada Pemerintah , Impor Dan Pemasok/Beli Barang Dari Badan-Badan Tertentu.
Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 22 Adalah Pph Yang Di Pungut Oleh :

1) Bendahara Pemerintah Pusat / Daerah, Instansi Atau Lebaga Pemerintah


Dan Lembaga-Lembaga Negara Lain, Berkenan Dengan Pembayaran Atas
Penyerahan Barang .
2) Badan Badan Tertentu , Baik Badan Pemerintah Maupun Swasta Berkenan
Dengan Kegiatan Di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha Di Bidang Lain.
3) Wajib Pajang Badan Yang Melakukan Penjualan Barang Yang Tergolong
Sangat Mewah.

D. PPH PASAL 23
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23 adalah pajak yang dipotong atas penghasilan
yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain
yang telah dipotong PPh Pasal 21.

Pemotong dan Penerima Penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 23

1. Pemotong PPh Pasal 23:


a. badan pemerintah;
b. Wajib Pajak badan dalam negeri;
c. penyelenggaraan kegiatan;
d. bentuk usaha tetap (BUT);
e. perwakilan perusahaan luar negeri lainnya;
f. Wajib Pajak Orang pribadi dalam negeri tertentu, yang ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak.
2. Penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 23:
a. WP dalam negeri;
b. BUT

Tarif dan Objek PPh Pasal 23 dipotong Pajak Penghasilan sebesar 2% (dua
persen) dari jumlah bruto dan tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai

Saat Terutang, Penyetoran, dan SPT Masa PPh Pasal 23

a) PPh Pasal 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran atau


akhir bulan terutangnya penghasilan yang bersangkutan, tergantung
peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
b) PPh Pasal 23 disetor oleh Pemotong Pajak paling lambat tanggal sepuluh
bulan takwim berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.
c) SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat
20 hari setelah Masa Pajak berakhir.

Bukti Pemotong PPh Pasal 23

Pemotong Pajak harus memberikan Bukti Pemotongan PPh Pasal 23 kepada Wajib
Pajak Orang Pribadi atau badan yang telah dipotong PPh Pasal 23.

E. PPH PASAL 24
Pada dasarnya PPh Pasal 24 mengatur tentang besarnya kredit pajak yang
dapat diperhitungkan atas pemotongan pajak/ pajak yang dibayar/ pajak yang
terutang di luar negeri. Hal ini sesuai dengan ayat 1 dan 2 Pasal 24 UU PPh :

1. Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh
dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini
dalam tahun pajak yang sama.
2. Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar
pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak
boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-
undang ini.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan


dengan perubahan terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36
Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, Pasal 24 ayat (1), PPh pasal 24 adalah
pajak yang dibayarkan atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar
negeri yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan
terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang ini dalam tahun pajak
yang sama.
Pajak penghasilan pasal 24 atau kredit pajak luar negeri, merupakan
perhitungan berapa besar jumlah pajak yang sudah dibayar atas
penghasilan diluar negeri dan pajak tersebut dapat dikreditkan atau dikurangkan
dari penghasilan yang ada didalam negeri sehingga menghindari pengenaan pajak
berganda.

F. PPH PASAL 25
Pajak Penghasilan (disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu
periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka
perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan
dalam SPT Tahunan. Nah, karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali,
maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar
semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan,
tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.

Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru
dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak
tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah
mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan.
Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25. Jadi
PPh pasal 25 mengatur tentang penghitungan besarnya pajak dalam tahun
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak untuk setiap bulan.

G. PPH PASAL 26
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 adalah penerapan dari azas sumber yang
dianut dalam ketentuan Pajak Penghasilan di Indonesia. Ya, berdasarkan azas
sumber, penghasilan yang bersumber dari Indonesia yang dinikmati oleh orang
atau badan di luar Indonesia, bisa dikenakan pajak di Indonesia. Bentuk
pemajakannya adalah dengan sistem witholding tax yang bersifat final yang diatur
dalam Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984.
Dalam ketentuan Pasal 26 Undang-undang Pajak Penghasilan 1984, terdapat
empat jenis PPh Pasal 26 yaitu PPh Pasal 26 ayat (1), Pasal 26 ayat (2), Pasal 26
ayat (2a) dan Pasal 26 ayat (4). Masing-masing jenis PPh Pasal 26 ini memiliki ruang
lingkupnya sendiri.

PPh Pasal 26 ayat (1) adalah PPh Pasal 26 pada umumnya yaitu pemotongan
PPh terhadap Wajib Pajak luar negeri yang menerima atau memperoleh
penghasilan dari Indonesia. Bentuk penghasilan yang dipotong pada umumnya
sama dengan objek pemotongan PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 23.

H. PPH ATAS UMKM


Besar tarif PPh Final PP 23/2018 adalah 0,5% dari peredaran bruto. UKM yang
termasuk dalam kelompok yang dapat menggunakan tarif PPh Final PP 23/2018
sebesar 0,5% ini adalah WP yang memiliki peredaran usaha di bawah
Rp4.800.000.000 dalam 1 tahun.
BAB IV
PPN DAN PPNBM

A. Konsep Ppn Dan Ppnbm


Pajak Pertambangan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM)
merupakan dua jenis pajak yang berbeda meski memiliki sejumlah unsur yang
sama.

Bisa simpulkan jika PPN dan PPnBM merupakan dua hal yang berbeda. PPN
merupakan pajak yang dikenakan terhadap pertambahan nilai yang muncul
karena pemakaian faktor-faktor produksi oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP)
yang menyiapkan, menghasilkan dan memperdagangkan Barang Kena Pajak (BKP)
dan Jasa Kena Pajak (JKP).

Sementara, PPnBM merupakan pajak yang dikenakan pada barang yang masuk
golongan barang mewah. Pengenaan PPnBM dibebankan pada produsen atau PKP
yang menghasilkan atau mengimpor barang mewah.

Dari pengertian tersebut sudah jelas bahwa PPN dan PPnBM merupakan jenis
pajak yang berbeda, meski metode penerbitan faktur pajak dan pelaporan SPT-
nya menggunakan mekanisme pelaporan yang sama.

B. Objek Pajak Ppn


1. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang
dilakukan oleh Pengusaha
2. impor Barang Kena Pajak
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam
Daerah Pabean
6. Ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
7. Kegiatan membangun sendiri tidak dalam lingkungan kegiatan/usaha
8. Penyerahan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan.

C. Tarif Pajak Ppn & Ppnbm


1. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen
2. Tarif PPnBM adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling
tinggi 75% (tujuh puluh lima persen
3. Tarif PPN dan PPnBM atas ekspor BKP adalah 0% (nol persen).

D. Cara Menghitung Ppn & Ppnbm


1. PKP “A” dalam bulan Januari 2001 menjual tunai Barang Kena Pajak
kepada PKB “B” dengan harga jual Rp. 25.000.000,00 PPN yang
terutang yang dipungut oleh PKP “A” = 10% x Rp. 25.000.000,00 =
Rp. 2.500.000,00
2. PPN sebesar Rp. 2.500.000,00 tersebut merupakan Pajak Keluaran
yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “A”. PKP “B” dalam bulan
Pebruari 2001 melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan
memperoleh Penggantian sebesar Rp. 15.000.000,00 PPN yang
terutang yang dipungut oleh PKP “B” = 10% x Rp. 15.000.000,00 =
Rp. 1.500.000,00 PPN sebesar RP. 1.500.000,00 tersebut merupakan
Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak “B”.
3. Pengusaha Kena Pajak “C” mengimpor Barang Kena Pajak dari luar
Daerah Pabean dengan Nilai Impor sebesar RP. 35.000.000,00 PPN
yang dipungut melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp.
35.000.000,00 = Rp. 3.500.000,00
4. Pengusaha Kena Pajak “D” menimpor Barang Kena Pajak yang
tergolong Mewah dengan Nilai Impor sebesar Rp. 50.000.000,00
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah tersebut selain dikenakan
PPN juga dikenakan PPnBM misalnya dengan tarif 20% (dua puluh
persen).

Penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang atas impor Barang Kena Pajak yang
tergolong mewah tersebut adalah:

a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 50.000.000,00


b. PPN = 10% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 5.000.000,00
c. PPn BM = 20% x Rp. 50.000.000,00 = Rp. 10.000.000,00

Kemudian PKP “D” menggunakan BKP yang diimpor tersebut sebagai bagian dari
suatu BKP yang atas penyerahannya dikenakan PPN 10% dan PPnBM dengan tarif
misalnya 35% (tiga puluh lima persen).

Oleh karena PPnBM yang telah dibayar atas BKP yang diimpor tersebut tidak dapat
dikreditkan, maka PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 dapat ditambahkan ke dalam
harga BKP yang dihasilkan oleh PKP “D” atau dibebankan sebagai biaya.

Misalnya PKP “D” menjual BKP yang dihasilkannya kepada PKP “X” dengan harga
jual Rp. 150.000.000,00 maka penghitungan PPN dan PPnBM yang terutang
adalah:

a. Dasar Pengenaan Pajak Rp. 150.000.000,00


b. PPN = 10% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 15.000.000,00
c. PPnBM =35% x Rp. 150.000.000,00 = Rp. 52.500.000,00

PKP “D” dapat mengkreditkan PPN sebesar Rp. 5.000.000,00 yang dibayar pada
saat impor BKP tersebut terhadap PPN sebesar Rp. 15.000.000,00

Sedangkan PPnBM sebesar Rp. 10.000.000,00 tidak dapat dikreditkan baik dengan
PPN sebesar Rp. 15.000.000,00 maupun dengan PPnBM sebesar Rp.
52.500.000,00
E. Contoh Soal (Minimal 5 Kasus)
1) Contoh 1 :

PT A merupakan produsen mobil. Dalam menghasilkan mobil, PT A juga membeli


AC yang akan dipasang pada mobil yang dihasilkannya. Atas perolehan AC
tersebut, PT A telah membayar PPnBM senilai Rp350.000. Kemudian, berapa
besaran PPN dan PPnBM yang seharusnya dibayarkan PT A?

Jawab:
Apabila harga produksi mobil senilai Rp110.000.000 dan keuntungan yang
diinginkan PT A senilai Rp40.000.000 maka harga jual mobil tersebut senilai
Rp150.350.000. Dengan demikian, DPP atas mobil tersebut adalah senilai
Rp150.350.000. Selanjutnya, tarif PPnBM atas mobil yang diproduksi oleh PT A
ialah sebesar 20%.

Pajak yang terutang atas penyerahan BKP yang tergolong mewah tersebut.

a. PPN = 10% × Rp 150.350.000

= Rp 15.035.000

b. PPnBM = 20% × Rp 150.350.000

= Rp 30.070.000

Berdasarkan penghitungan di atas maka besaran PPN dan PPnBM adalah


Rp15.035.000 dan Rp30.070.000.

2) Contoh 2 :

PT C mengimpor BKP yang tergolong mewah dengan nilai impor senilai


Rp200.000.000. Atas impor tersebut dikenai PPN sebesar 10% dan PPnBM sebesar
30%. DPP atas impor BKP yang tergolong mewah tersebut adalah senilai
Rp200.000.000 tidak termasuk PPN (sebesar 10%) dan PPnBM (sebesar 30%) yang
dikenakan atas impor BKP tersebut. Berapakah jumlah yang harus dibayarkan PT
C atas impor BKP yang tergolong mewah tersebut?

Jawab :

DPP (nilai impor) = Rp 200.000.000

PPN = Rp 20.000.000 × 10%

= Rp 20.000.000

PPnBM = Rp 200.000.000 × 30%

= Rp 60.000.000

Berdasarkan perhitungan di atas maka PT C harus membayar impor BKP senilai


Rp280.000.000.

3) Contoh 3 :

Pihak A melakukan pembelian sepeda motor dari pihak B yang terikat dengan
kontrak pembelian. Apabila dalam pembuatan kontrak atau perjanjian tertulis
bahwa dalam kontrak sebesar Rp130.000.000 secara tegas dinyatakan sudah
termasuk PPN (sebesar 10%) dan PPnBM (sebesar 20%). Berapakah besaran PPN
dan PPnBM yang terutang?

Jawab :

PPN yang terutang = t/(110 + 20) × nialai kontrak

= 10/(110 + 20) × Rp 130.000.000

= Rp 10.000.000

PPnBM yang terutang = t/(110 +20) × nilai kontrak

= 10/(110 + 20) × Rp 130.000.000

= Rp 20.000.000
umus penghitungan PPN dan PPnBM yang digunakan di atas telah diatur dalam
Pasal 11 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 1 tahun 2012 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 (PP 1/2012). Merujuk pada uraian di atas,
besaran PPN dan PPnBM yang terutang adalah Rp10.000.000 dan Rp20.000.000.

4) Contoh 4 :

Sebagaimana contoh kasus 3, apabila dalam kontrak atau perjanjian tertulis tidak
dinyatakan dengan tegas PPN dan PPnBM termasuk dalam nilai kontrak, besarnya
DPP untuk menghitung PPN adalah senilai Rp130.000.000. Pertanyaannya,
berapakah PPN dan PPnBM yang terutang?

Jawab :

DPP = Rp 130.000.000

PPN (tarif 10%) = 10% × Rp 130.000.000

= Rp 13.000.000

PPnBM (tarif 20%) = 20% × Rp 130.000.000

= Rp 26.000.000

Dengan demikian, besaran PPN dan PPnBM yang terutang ialah Rp13.000.000 dan
Rp26.000.000

5) Contoh 5 :

Toko Samson menjual kulkas sebanyak 20 kulkas dengan harga satuannya sebesar
Rp6.000.000. Lalu, berapakah PPN terutang toko Samson yang wajib disetorkan?
Jawab :

Total DPP atas penjualan 20 kulkas: 20 x Rp6.000.000 = Rp120.000.000

PPN = 10% x Rp120.000.000 = Rp12.000.000

Jadi, PPN terutang yang wajib disetorkan Toko Samson adalah sebesar
Rp12.000.000.
BAB V
BEA MATERAI

A. Dasar Hukum Bea Materai


1. Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Materai
2. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea
Materai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang
Dikenakan Bea Materai.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan
Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang
Bentuk, Ukuran, Warna, Dan Desain Materai Tempel Tahun 2005
4. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang
Pelunasan Bea Materai dengan Menggunakan Cara Lain.
5. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara
Pelunasan Bea Materai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas
dengan Mesin Teraan.
6. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara
Pelunasan Bea Materai dengan membubuhkan Tanda Bea Materai dengan
Teknologi Percetakan.
7. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara
Pelunasan Bea Materai dengan membubuhkan Tanda Bea Materai dengan
Sistem Komputerisasi.
8. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang
Pelunasan Bea Materai dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
9. Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara
Pemateraian Kemudian.
10. Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang
dikenakan Bea Materai.
B. Pengertian Bea Materai
"Bea Materai adalah pajak tidak langsung yang dipungut secara insidentil
(sekali pungut) atas dokumen yang disebut oleh Undang-Undang Bea Materai
yang digunakan masyarakat dalam lalu lintas hukum sehingga dokumen tersebut
dapat digunakan sebagai alat bukti dimuka pengadilan."

Dengan kata lain, Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas
pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, kwitansi
pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal
diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan dan dokumen yang digunakan
sebagai alat bukti di pengadilan. Beberapa istilah terkait Bea Materai:

1. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan
maksud tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang
dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan
2. Benda materai adalah materai tempel dan kertas materai yang dikeluarkan
oleh Pemerintah Republik Indonesia.
3. Tandatangan adalah tandatangan sebagaimana lazimnya dipergunakan,
termasuk pula paraf, teraan atau cap tandatangan atau cap paraf, teraan
cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tandatangan.
4. Pemateraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Materai yang
dilakukan oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea
Meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya.
5. Pejabat Pos adalah Pejabat Perusahaan Umum Pos dan Giro yang diserahi
tugas melayani permintaan pemeteraian kemudian.

C. Tarif Bea Materai


1. Tarif Bea Materai Rp. 6.000,- untuk dokumen sebagai berikut :
a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau
keadaan yang bersifat perdata.
b. Akta-akta notaris termasuk salinannya
c. Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih
dari Rp. 1.000.000,00

Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka


Pengadilan, yaitu :

• Surat- surat biasa dan surat kerumahtanggaan


• Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Materai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan untuk
tujuan lain atau digunakan oleh orang lain selain dari tujuan semula.
2. Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai
berikut :
• Nominal sampai Rp. 250.000,00 tidak dikenakan Bea Materai
• Nominal antara Rp. 250.000,00-Rp. 1.000.000,00 dikenakan Bea
Materai Rp. 3.000,-
• Nominal di atas Rp. 1.000.000,00 dikenakan Bea Materai Rp. 6.000,-
3. Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Materai dengan tarif sebesar Rp. 3.000,-
tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal.
4. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga
nominal sampai dengan Rp. 1.000.000,00 dikenakan Bea Materai Rp.
3.000,- sedangkan yang mempunyai nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00
dikenakan Bea Materai Rp. 6.000,00.
5. Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum
dalam surat kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai
dengan Rp. 1.000.000,00 dikenakan Bea Materai Rp. 3.000,- sedangkan
yang mempunyai nominal lebih dari Rp. 1.000.000,00 dikenakan Bea
Materai Rp. 6.000,00.
BAB VI
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)

A. Konsep Pbb
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang pribadi atau Badan yang secara
nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/ atau memperoleh manfaat atas Bumi,
dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas Bangunan.
Ketentuan Subjek Pajak yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia
lebih dari Seratus delapan puluh tiga hari dalam jangka waktu Dua belas Bulan,
Sedangkan ketentuan Subjek pajak Badan yaitu Didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia.

B. Subjek Dan Objek Pbb


Pajak bumi dan bangunan dikenakan atas bumi atau bangunan. Subjek pajak
bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas bumi,dan memperoleh manfaat atas bumi, dan menguasai atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian, subjek pajak tersebut
menjadi wajib pajak bumi dan bangunan.

Jika subjek pajak dalam waktu yang lama berada diluar wilayah letak objek
pajak sedangkan peralatannya dikusakan kepada orang atau badan, orang atau
badan yng diberi kuasa dapat ditunjuk sebagi wajib pajak oleh direktur jenderal
pajak.

Namun penunjukan tersebut bukan merupakan bukti kepemilikan. Subjek


pajak yag ditetapkan seperti pada contoh diatas dapat memberikan keterangan
secara tertulis kepada direktur jenderal pajak bahwa ia bukan wajib pajak
terhadap objek pajak yang dimaksud. Apabila keterangan yang diajukan oleh wajib
pajak disetujui, maka direktur jenderal pajak membatalkan sebagai wajib pajak
dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan tersebut.

Yang menjadi objek pajak adalah :


• Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
• Bangunnan adalah konstruksi tekhnik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah atau perairan

C. Dasar Perhitungan Dan Penagihan


1. Dasar perhitungan PBB

Dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 Tentang
Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak Untuk Penghitungan PBB, maka
besarnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) untuk perhitungan PBB ditentukan sebagai
berikut:

1) Sebesar 40% dari NJOP untuk:


• Objek Pajak Perkebunan,
• Objek Pajak Kehutanan,
• Objek Pajak Pertambangan,
• Objek PBB lainnya apabila NJOP ≥ 1 milyar rupiah,
2) Sebesar 20% dari NJOP untuk objek PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar
rupiah. Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 dalam perhitungan
PBB tidak lagi mengenal besarnya NJKP.

Perhitungan PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak


Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12
tahun 1994 adalah sebagai berikut:

PBB = 0,5% × 20% × (NJOP – NJOP TKP)

atau 0,5% × 40% × (NJOP – NJOP TKP)

Sedangkan perhitungan PBB menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 81 adalah


sebagai berikut:
PBB = max 0,3% × (NJOP – NJOP TKP)

2. Dasar penangihan PBB

Dasar penagihan PBB terdiri dari tiga macam yaitu:

1) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)

SPPT adalah surat yang digunakan oleh pemerintah untuk memberitahukan


besarnya pajak yang terhutang kepada Wajib Pajak. Surat pemberitahuan ini
diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Pajak yang
terhutang harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya
SPPT oleh Wajib Pajak.

2) Surat Tagihan Pajak (STP).

STP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut


apabila:

• Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum


dalam SPPT, yaitu melampaui batas waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal
diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
• Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum
dalam skp, yaitu melampaui batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal
diterimanya surat keputusan oleh Wajib Pajak.
• Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh
tempo pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.

Saat jatuh tempo STP adalah satu bulan sejak diterimanya STP oleh Wajib Pajak.
Konsekuensi jika saat jatuh tempo STP terlampaui adalah adanya denda
administrasi dalam STP. Besarnya denda administrasi karena Wajib Pajak
terlambat membayar pajaknya, melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT adalah
sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari
pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.

3) Surat Ketetapan Pajak (skp).

SKP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:

• Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang disampaikan melewati


30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak dan
setelah ditegur secara tertulis ternyata tidak dikembalikan oleh Wajib
Pajak sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
• Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata
jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak berdasarkan
SPOP yang dikembalikan Wajib Pajak.

Pajak Yang terutang berdasarkan skp harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu)


bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak. Jadi, bila seorang Wajib
Pajak menerima SKP pada tanggal 1 Maret 2009, ia sudah harus melunasi PBB
selambat-lambatnya tanggal 31 maret 2009. Tanggal 31 Maret 2009 ini disebut
juga tanggal jatuh tempo SKP.

Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan oleh
pengembalian SPOP Lewat 30 (tiga puluh) hari setelah diterima Wajib Pajak adalah
sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi 25% dihitung dari
pokok pajak.

Sedangkan jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan
oleh hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya, adalah selisish pajak yang
terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya dengan pajak
yang terutang berdasarkan SPOP ditambah denda administrasinya 25% dari selisih
pajak yang terutang.
D. Tarif Pajak Bumi Dan Bangunan
a. Tarif PBB adalah paling tinggi sebesar 0,3% (pasal 80).
b. Tarif PBB untuk wilayah Jakarta :
• NJOPKP kurang dari Rp 200.000.000 = 0,01%
• NJOPKP Rp 200.000.000 – Rp 2.000.000.000 = 0,1%
• NJOPKP Rp 2.000.000.000 – Rp 10.000.000.000 = 0,2%
• NJOPKP diatas Rp 10.000.000.000 = 0,3%
• NJOPKP kurang dari Rp 1.000.000.000 dengan luas dibawah
100m2 yang dimaksud adalah rumah/rusun/rusunami yang berada
diluar real estate tidak dikenakan PBB (sesuai dengan PERGUB No. 259
tahun 2015 tentang pembebasan PBB perdesaan dan perkotaan atas
rumah)
c. Tarif PBB untuk wilayah Kota Depok :
• NJOPKP kurang dari Rp 1.000.000.000 = 0,125%
• NJOPKP diatas Rp 1.000.000.000 = 0,25%
d. Tarif PBB untuk wilayah Kota Bekasi :
• NJOPKP sampai dengan Rp 500.000.000 = 0,1%
• NJOPKP diatas Rp 500.000.000 = 0,15%
• NJOPKP diatas Rp 1.000.000.000 = 0,25%
e. Tarif PBB untuk wilayah Kota Bogor :
• NJOPKP kurang dari Rp 1.000.000.000 = 0,1%
• NJOPKP diatas Rp 1.000.000.000 = 0,2%
f. Tarif PBB untuk wilayah Kabupaten Bogor :
• NJOPKP kurang dari Rp 1.000.000.000 = 0,11%
• NJOPKP diatas Rp 1.000.000.000 = 0,22%

E. Contoh Soal
1) Contoh soal 1 :
Perum Perumnas mendirikan Rumah Susun dengan data sebagai data sebagai
berikut:

a. Luas Tanah 7.000 M2, NJOP = Rp 394.000/ M2 (Kelas A22)


b. Luas Bangunan Hunian:
• tipe 21 (200 unit)
• tipe 36 (100 unit)
• tipe 48 (50 unit)

luas Bangunan Hunian = 10.200 M2

NJOP Bangunan Hunian = Rp 365.000/ M2 (Kelas A8)

c. Bangunan Bersama

Tangga, Kaki Lima seluas 1.800 M2, Kelas A8

d. Bangunan Sarana

Jalan, Tempat Parkir, dll = 2.000 M2, Kelas A8

Hitunglah PBB untuk masing-masing tipe hunian?

Jawab :

NJOP Tanah 7.000 X 394.000 = 2.758.000.000

NJOP Bangunan

• Hunian 10.200 X 365.000 = 3.723.000.000


• Bersama 1.800 X 365.000 = 657.000.000
• Sarana 2.000 X 365.000 = 730.000.000

Jumlah NJOP Bangunan 5.110.000.000


PBB Tipe 21

NJOP Tanah 21/ 10.200 x 2.758.000.000 = 5.678.235

NJOP Bangunan 21/ 10.200 x 5.110.000.000 = 10.520.588

NJOP Dasar Pengenaan PBB 16.198.824

NJOPTKP 12.000.000NJOP untuk Penghitungan PBB 4.198.824

NJKP 20% X 4.198.824 = 839.765

PBB terutang 0,50% X 839.765 4.199

PBB Tipe 36

NJOP Tanah 36/ 10.200 x 2.758.000.000 = 9.734.118

NJOP Bangunan 36/ 10.200 x 5.110.000.000 = 18.035.294

NJOP Dasar Pengenaan PBB = 27.769.412

NJOPTKP = 12.000.000

NJOP untuk Penghitungan PBB = 15.769.412

NJKP 20% X 15.769.412 = 3.153.882

PBB terutang 0,50% X 3.153.882= 15.769

PBB Tipe 48

NJOP Tanah 48/ 10.200 x 2.758.000.000 = 12.978.824

NJOP Bangunan 48/ 10.200 x 5.110.000.000 = 24.047.059

NJOP Dasar Pengenaan PBB = 37.025.882


NJOPTKP = 12.000.000

NJOP untuk Penghitungan PBB = 25.025.882

NJKP 20% X 25.025.882 = 5.005.176

PBB terutang 0,50% X 5.005.176 = 25.026

2) Contoh soal 2 :

Wajib Pajak A mempunyai sebidang tanah dan bangunan yang NJOP-nya Rp


20.000.000,00 dan NJOPTKP untuk daerah tersebut Rp 12.000.000,00, maka
besarnya pajak yang terutang adalah ?

Jawab :

= 0,5% × 20% × (Rp 20.000.000,00 – Rp 12.000.000,00)

= Rp 8.000,00

3) Contoh soal 3 :

Ibu Desi punya properti rumah seluas 60 meter persegi dengan nilai Rp500.000
per meter. Rumahnya berdiri di atas tanah seluas 100 meter persegi dengan nilai
Rp1.000.000 per meter.

Jawab :

Nilai rumah: 60 x Rp500.000 = Rp30.000.000

Nilai tanah: 100 x Rp1.000.000 = Rp100.000.000

NJOP: Rp30.000.000 + Rp100.000.000 = Rp130.000.000

NJKP: 20% x Rp130.000.000 = Rp26.000.000

Nilai Pajak Bumi dan Bangunan yang harus dibayar adalah: 0,5% x Rp26.000.000
= Rp130.000.
BAB VII
BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN (BPHTB)

A. Konsep Bphtb
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pajak yang
dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan.

Prinsip yang dianut dalam UU BPHTB adalah :

a. Pemenuhan kewajiban BPHTB berdasarkan self assessment system.


b. Besarnya tarif 5% dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak
(NPOPKP).
c. BPHTB merupakan pajak daerah namun sebagian besar penerimaan
akan diserahkan kepada Pemerintah Pusat .

B. Subjek Dan Objek Bphtb


Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas
tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajibah wajib
membayar BPHTB yang menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi
Wajib Pajak.

Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan (disengaja) atau peristiwa
hukum (otomatis/tidak disengaja) yang mengakibatkan perolehannya hak atas
tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.

Prolehan hak pada dasarnya ada dua yaitu: Pemindahan hak dan perolehan
hak baru.

1. Pemindahan hak karena :


a. Jual Beli
b. Tukar Menukar
c. Hibah
d. Hibah Wasiat
e. Waris
f. Pemasukan dalam perseroan atau Badan Hukum lainnya
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
h. Penunjukan pembeli dalam lelang
i. Putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap
j. Penggabungan Usaha
k. Peleburan Usaha
l. Pemekaran Usaha
m. Hadiah
2. Perolehan hak dalam istilah pemberian hak baru terjadi karena :
a. Kelanjutan pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru kepada orang
pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari
pelepasan hak.
b. Di luar pelepasan hak, yaitu pemberian hak baru atas tanah kepada
orang pribadi atau badan hukum dari Negara atau dari pemegan hak
milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Objek pajak yang tidak dikenakan BPHTB adalah objek pajak yang diperoleh :

1. Perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.


2. Objek pajak yang diperoleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan
dan atau untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum. Yaitu
tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk penyelenggaraan
pemerintah baik Pemerintah Pusa maupun oleh Pemerintah Daerah dan
kegiatan yang semata-mata tidak ditunjukan untuk mencari keuntungan,
misalnya : tanah dan atau bangunan yang digunakan untuk instalasi
pemerintah , rumah sakit, dan jalan umun.
3. Badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain diluar fungsi
dan tugas badan atau perwakilan organisasi tersebut.
4. Orang pribadi atau badan atau karena konversi hak dan perbuatan hukum
lain dengan tidak adanya perubahan nama.
5. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan karena wakaf. Yaitu
perbuatan hukum orang pribadi atau badan yang memisahkan sebagian
dari kekayaannya yang berupa hak milik tanah dan bangunan dan untuk
melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan
atau kepentingan umum lainnya tanpa imbalan apapun.
6. Objek pajak yang diperoleh orang pribadi atau badan yang digunakan
untuk kepentingan ibadah.

C. Dasar Pengenaan Pajak


Sesuai dengan pasal 5 UU BPHTB, tarif Bea Perolehan Hak atas Tanah dan
Bangunan merupakan tarif tunggal sebesar 5%. Penentuan tarif tunggal ini di
maksudkan untuk keserhanaan kemudahan penghitungan. Dasar pengenaan
BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu :

a. Jual Beli adalah harga transaksi


b. Tukar Menukar adalah nilai pasar
c. Hibah adalah nilai pasar
d. Hibah Wasiat adalah nilai pasar
e. Waris adalah nilai pasar
f. Pemasukan dalam perseroan atau Badan Hukum lainnya adalah nilai
pasaar
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar
h. Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum adalah nilai pasar
i. Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak
adalah nilai pasar
j. Pemberian hak baru atas tanah dalam pelepasan hak adalah nilai pasar
k. Penggabungan Usaha adalah nilai pasar
l. Peleburan Usaha adalah nilai pasar
m. Pemekaran Usaha adalah nilai pasar
n. Hadiah adalah nilai pasar
o. Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum
dalam Risalah Lelang

Dalam hal NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek
Pajak (NJOP) PBB pada tahn terjadinya perolehan, dasar pengenaan BPHTB yang
dipakai adalah NJOP PBB. Yang dimaksud dengan harga transaksi adalah harga
yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal
NJOP PBB pada tahun terjadinya perolehan belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB
ditetapkan oleh Mentri Keuangan.

D. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (Npoptkp)


Besarnya Pengenaan NPOPTKP (Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak)
ditetapkan sebesar Rp. 60.000.000 (enam puluh juta rupiah) untuk setiap
Wajib Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 100 ayat (7).

E. Tarif Bphtb
Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB adalah 5%.

F. Bphtb Dalam Jual Beli


harga tanah yang disepakati antara pembeli dan penjual adalah Rp350.000.000.
Maka, berikut ini cara menghitung BPHTP-nya:

Harga Tanah: Rp350.000.000

NPOPTKP di Bandung senilai Rp75.000.000

Maka, Rp350.000.000 – Rp75.000.000 = Rp275.000.000


Jadi, BPHTKP-nya sebesar: 5% x Rp275.000.000 = Rp13.750.000.

G. Contoh Soal (Minimal 3 Soal)


1) contoh soal 1 :

Wajib Pajak A membeli sebidang tanah di Kota Malang seharga Rp. 100 juta, NJOP
PBB pada tahun terjadinya transaksi adalah Rp.95 juta. Jika NJOPTKP kota Malang
atas transaksi tersebut sebesar Rp. 60 juta, maka tentukan BPHTB yang terutang
atas perolehan hak Tersebut !

Jawab :

NPOP = Rp. 100.000.000,-

NPOPTKP = Rp. 60.000.000,-

NPOPKP = Rp. 40.000.000,-

BPHTB = (NPOP – NPOPTKP) x Tarif

BPHTB = NPOPKP x Tarif

BPHTB Terhutang = (100.000.000 – 60.000.000) x 5%

= Rp. 40.000.000 x 5%

= Rp. 2.000.000,-

2) contoh soal 2 :

Budi menerima hibah wasiat dari ayak kandungnya sebidang tanah dan bangunan
dengan nilai pasar Rp. 500.000.000,-, SPPT NJOP-nya Rp. 450.000.000 Apabila
NPOPTKP ditetapkan Rp. 300.000.000, maka BPHTBnya adalah :

Jawab :
NPOP = Rp. 500.000.000,-

NPOPTKP = RP. 300.000.000,-

NPOPKP = Rp. 200.000.000,-

BPHTB yang seharusnya terhutang = 5% x Rp. 200.000.000 = Rp. 10.000.000,-

BPHTB Terhutang = 50% x Rp. 10.000.000 = Rp. 5.000.000,-

3) contoh soal 3 :

Suatu Yayasan Panti Asuhan Anak yatim memperoleh hibah wasiat sebidang

Tanah dan Bangunan dengan nilai pasar Rp. 1.000.000.000,00. SPPT dengan NJOP
Rp. 900.000.000. Apabila NPOP TKP Rp. 300.000.000, maka BPHTB adalah :

Jawab :

NPOP = Rp. 1.000.000.000,-

NPOPTKP = Rp. 300.000.000,-

NPOPKP = Rp. 700.000.000,-

BPHTB seharusnya terhutang = 5% x Rp. 700.000.000,- = Rp. 35.000.000,-

BPHTB yang terhutang = 50% x Rp. 35.000.000,- = Rp. 17.500.000,-


BAB VIIII
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pajak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan
bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena pajak
merupakan sumber pendapatannegara untuk membiayai semua pengeluaran
termasuk pengeluaran pembangunan. Uang yang dihasilkan dari perpajakan
digunakan oleh negara dan institusi di dalamnya sepanjang sejarah untuk
mengadakan berbagai macam fungsi. Pelayanan ini termasuk
pendidikan, kesehatan, pensiun, bantuan bagi yang belum mendapat
pekerjaan, dan transportasi umum. Penyediaan listrik, air, dan penanganan
sampah juga menggunakan dana pajak dalam porsi tertentu.
Pemerintah menggunakan berbagai jenis pajak dan menetapkan berbagai tarif
pajak. Pajak juga digunakan untuk membiayai bantuan ke negara lain dan ekpedisi
militer, untuk mempengaruhi kondisi ekonomi makro, atau untuk mengubah pola
konsumsi dan tenaga kerja dalam sistem ekonomi, dengan menjadikan beberapa
jenis transaksi kurang menarik.
Sistem perpajakan nasional merupakan refleksi dari nilai-nilai bangsa dan nilai
yang dipegang oleh pihak yang memang kekuasaan politik.

You might also like