You are on page 1of 29

LAPORAN KASUS

PERDARAHAN EPIDURAL

Diandra Ayu Dhita (1102017071)


Keysha Farach Dwikhanza (1102017121)
Riska Sania (1102017198)

Pembimbing
dr. Ryan Indra, Sp. Rad

PEMBELAJARAN JARAK JAUH KEPANITERAAN KLINIK


ILMU RADIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
BAB I
LAPORAN KASUS
1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : An. B
Tanggal lahir / Usia : 6 Maret 2005 / 16 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Cempaka Putih
Agama : Islam
Pekerjaan : Pelajar
Status : Belum menikah
Tanggal Pemeriksaan : 17 Juni 2021

1.2 ANAMNESIS
a. Keluhan Utama
Sakit kepala yang bertambah berat

b. Keluhan Tambahan
Sempat tidak sadar, amnesia, muntah proyektil.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


An. B berusia 16 tahun datang ke RS YARSI dengan keadaan sadar dan mengeluh
sakit kepala yang bertambah berat setelah mengalami kecelakaan lalu lintas
menabrak sesama sepeda motor 4 jam yang lalu. Pasien sempat tidak sadar,
mengalami amnesia, tidak dapat mengingat dengan jelas bagaimana kecelakaanya
terjadi, dan sejak 1 jam pasca masuk rumah sakit mengalami muntah yang proyektil.
Makan dan minum terakhir 7 jam sebelum masuk rumah sakit.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami hal serupa dan tidak memiliki penyakit penyerta

2
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada yang mengalami keluhan serupa dalam keluarga

f. Riwayat Pengobatan
Tidak ada

g. Riwayat Sosio-ekonomi
menengah keatas

h. Riwayat Kebiasaan
Pasien seorang pelajar yang menggunakan kendaraan roda dua sebagai alat
transportasi ke sekolah

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : Tampak sakit berat
Kesadaran : Komposmentis, GCS E4V5M6
BB : 41 Kg
TB : 151 cm
Status Gizi : Underweight (IMT : 18 kg/𝑚2 )

Tanda Vital
Tekanan Darah :120/90 mmHg
Pernapasan : 12x/menit
Nadi : 72 kali/menit
Suhu : 36,7C

3
A. Kepala
Bentuk mesocephal, tampak sefal hematoma pada daerah frontal kanan, rambut
hitam dan tidak mudah dicabut.
• Wajah : Simetris, eritem (+), luka (+)
• Mata : Palpebra tidak hiperemis dan tidak edema, Konjungtiva Anemis (-
/-), Sklera Ikterik (-/-), Cekung (-/-)
• Telinga : Bentuk normotia, tidak ada nyeri tekan tragus, Sekret (-/-)
• Hidung : Sekret tidak ada, nyeri tekan tidak ada, napas cuping hidung (+)
• Mulut : Bau pernapasan normal, lidah normal dan tidak deviasi, uvula
ditengah dan tidak deviasi, Faring hiperemis (-), Tonsil T1, hiperemis (-)
• Leher : JVP dalam batas normal, trakea tidak deviasi, kelenjar tiroid dan
kelenjar lympoid tidak ada pembesaran.
• KGB : Tidak membesar (submandibular, supraklavikula, daerah leher
anterior-posterior)

B. Thoraks
PARU
• Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan dinding dada simetris
• Palpasi : fremitus taktil dan vokal simetris kanan dan kiri
• Perkusi : sonor di kedua lapang paru
• Auskultasi : suara nafas utama vesikuler di seluruh lapang paru, tidak
ada ronki/wheezing
JANTUNG
• Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
• Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS 5 linea midclavicularis sinistra
• Perkusi : batas kanan jantung (linea sternalis dextra), batas atas jantung
(ICS 2 linea parasternal sinistra), batas kiri jantung (ICS 5, 2 cm medial
linea midclavicula sinistra
• Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

4
C. Abdomen
• Inspeksi : Abdomen tampak simetris kiri dan kanan, Tidak terdapat
hematoma, sikatriks, massa
• Palpasi : Supel, tidak terdapat nyeri tekan dan tidak teraba massa, Tidak
terdapat pembesaran hepar dan lien, Undulasi (-)
• Perkusi : Timpani di seluruh kuadran, Shifting dullness (-)
• Auskultasi : Bising usus (+) normal di empat kuadran

D. Ekstremitas
Akral hangat, edema (-), deformitas (-)

E. Genital
Nyeri tekan (-), hiperemis (-)

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


1.4.1 Pemeriksaan Laboratorium
Hb : 7.9 g/dl
WBC : 5.800
Platelet : 357.000
Hct : 43.4
Glukosa : 89.7
SGOT/SGPT : 18.6/9.1
Natrium : 144
Albumin : 3.661
Kalium : 4.0
Klorida : 112
APPT : 30.9 (kontrol 26.8)
PTT : 14,5 (kontrol 11.8)

5
BUN : 5.6
Serum Kreatinin : 0.58

1.4.2 Pemeriksaan Radiologi

CT Scan
Pada pemeriksaan CT scan kepala didapatkan adanya fraktur depresif tulang frontal
kanan, EDH pada daerah frontal kanan, ukuran 3,49 cm x 6,6 cm yang tampak pada 7
irisan gambaran scan, dengan midline shift + 5,3 mm. Pasien diputuskan untuk
menjalani tindakan kraniotomi emergensi untuk evakuasi EDH.

6
1.5 RESUME
Pasien mengeluh sakit kepala yang bertambah berat, setelah mengalami
kecelakaan lalu lintas 4 jam SMRS. Pemeriksaan fisik ditemukan tampak sefal
hematoma pada daerah frontal kanan, eritema, luka, dispneu. Pada CT scan
didapatkan hasil adanya fraktur depresif tulang frontal kanan, EDH pada daerah
frontal kanan.

1.6 DIAGNOSIS BANDING


1. Perdarahan Epidural
2. Perdarahan Subdural (SDH)
- Dapat melintasi sutura
- Biasanya berbentuk bulan sabit
- Dibatasi oleh refleksi dural
- Biasanya pada pasien yang lebih tua atau pada pasien muda dengan cedera
kepala tertutup lainnya.
3. Meningioma

7
- Mungkin hiperdens
- Biasanya jauh dari fraktur (misal parafalcine)

1.7 RENCANA PEMERIKSAAN


- MRI
- Angiografi

1.8 DIAGNOSIS KERJA


Perdarahan Epidural

1.9 RENCANA TERAPI


- Monitor pulse oxymetri.
- Pemberian Oksigen
- Infus NaCl 0,9%
- Elevasi kepala 30
- Manitol 10-15% dengan dosis 0,25-1g/KgBB diberikan per infus selama
10-15 menit
- Transfusi PRC 2 kolf/hari
- Operasi : kraniotomi dan evakuasi perdarahan

1.10 PROGNOSIS
- Ad Vitam : Dubia ad bonam
- Ad Functionam : Dubia ad bonam
- Ad Sanactionam : Dubia ad bonam
Secara umum, pasien dengan EDH murni memiliki prognosis yang sangat baik dari
hasil fungsional setelah evakuasi bedah, ketika terdeteksi dan dievakuasi dengan
cepat. Penundaan diagnosis dan pengobatan meningkatkan morbiditas dan
mortalitas.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Epidural Hematoma adalah perdarahan intracranial yang terjadi karena fraktur
tulang tengkorak dalam ruang antara tabula interna kranii dengan duramater.
Hematoma epidural merupakan gejala sisa yang serius akibat cedera kepala dan
menyebabkan angka mortalitas sekitar 50%. Hematoma epidural paling sering terjadi
di daerah periotemporal akibat robekan arteria meningea media (Sidharta P, Mardjono
M, 2005).

2.2 Epidemiologi
Hematoma epidural terjadi pada 2% dari semua cedera kepala dan hingga 15%
dari semua trauma kepala yang fatal. Laki-laki lebih sering terkena daripada
perempuan. Selain itu, insiden lebih tinggi di kalangan remaja dan dewasa muda. Usia
rata-rata pasien yang terkena adalah 20 hingga 30 tahun, dan jarang terjadi setelah usia
50 hingga 60 tahun. Seiring bertambahnya usia seseorang, duramater menjadi lebih
melekat pada tulang di atasnya. Hal ini mengurangi kemungkinan terjadinya hematoma
di ruang antara kranium dan duramater (Chicote Álvarez et al., 2018).

9
2.3 Anatomi
Otak dilapisi oleh selaput pembungkus yang terdiri dari tiga lapisan, yang
letaknya dari luar ke dalam : duramater, arachnoid, dan piamater. Duramater
merupakan lapisan yang liat dan tidak dapat diregangkan. Lapisan arachnoid terletak
dibawah duramater. Piamater merupakan selaput yang berhubungan erat dengan otak.
 Duramater
Duramater atau pacymeninx dibentuk dari jaringan ikat fibrous. Secara
konvensional duramater ini terdiri dari dua lapis, yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal. Kedua lapisan ini melekat dengan rapat, kecuali sepanjang
tempat-tempat tertentu, terpisah dan membentuk sinus-sinus venosus. Lapisan
endosteal sebenarnya merupakan lapisan periosteum yang menutupi permukaan
dalam tulang cranium. Lapisan meningeal merupakan lapisan duramater
sebenarnya, sering disebut dengan cranial duramater. Terdiri dari
jaringanfibrous yang padat dan kuat yang membungkus otak dan melanjutkan
diri menjadi duramater spinalis setelah melewati foramen magnum yang
berakhir sampai segmen kedua dari os sacrum.
Pada pemisahan lapisan duramater, diantaranya terdapat sinus
duramatris yang berisi daerah vena. Sinus venosus/duramatris ini menerima
darah dari drainase vena pada otak yang mengalir menuju vena jugularis interna.
Dinding dari sinus-sinus ini dibatasi oleh endothelium. Sinus pada calvaria
yaitu sinus sagitalis superior. Sinus sagitalis inferior, sinus tranversus dan sinus
sigmoidea. Sinus pada basis cranii antara lain : sinus occipitalis, sinus
sphenoparietal, sinus cavernosus, sinus petrosus.
Pada lapisan duramater terdapat banyak cabang pembuluh darah yang
berasal dari arteri carotis interna, a.maxillaris, a.pharyngeus ascendens,
a.occipitalis dan a.vertebralis. Dari sudut klinis, yang terpenting adalah

10
a.meningea media karena arteri ini umumnya sering pecah pada keadaan trauma
capitis.
Pada duramater terdapat banyak ujung saraf sensorik dan peka terhadap
regangan sehingga jika terjadi stimulasi pada ujung saraf ini dapat
menimbulkan sakit kepala (Lumongga, 2007).
 Arachnoid
Lapisan ini merupakan suatu membrane yang impermeable halus, yang
menutupi otak dan terletak diantara piamater dan duramater. Membran ini
dipisahkan dari duramater oleh ruang potensial yaitu spatium subdurale, dan
dari piamater oleh avum subarachnoid yang berisi cerebrospinal fluid. Cavum
subarachnoid merupakan suatu rongga yang dibatasi oleh arachnoid di bagian
luar dan piamater di bagian dalam. Dinding subarachnoid ini ditutupi oleh
mesothelial cell yang pipih. Pada daerah tertentu arachnoid menonjol kedalam
sinus venosus membentuk villi arachnoidales. Agregasi villi arachnoid disebut
sebagai granulations arachnoidales. Villi arachnoidales ini mempunyai fungsi
sebagai tempat perembesan cerebrospinal fluid kedalam aliran darah.
Arachnoid berhubungan dengan piamater melalui untaian jaringan fibrosa halus
yang melintasi cairan dalam cavum subarachnoid. Struktur yang berjalan dari
dan ke otak menuju cranium atau foraminanya harus melalui cavum
subarachnoid.
 Piamater
Lapisan piamater berhubungan erat dengan otak dan sum-sum tulang
belakang, mengikuti tiap sulcus dan gyrus. Piamater ini merupakan lapisan
dengan banyak pembuluh darah dan terdiri dari jaringan penyambung yang
halus serta dilalui pembuluh darah yang memberi nutrisi pada jaringan saraf.
Piamater membentuk tela choroidea, atap ventriculus tertius dan quartus, dan
menyatu dengan ependyma membentuk plexus choroideus dalam ventriculus
lateralis, tertius dan quartus (Lumongga, 2007).

11
2.4 Etiologi

12
Hematoma ini umumnya disebabkan oleh laserasi traumatik pada arteri
meningealis. Karena dura mater berlekatan erat dengan permukaan dalam melekat,
diperlukan tekanan yang cukup besar untuk menimbulkan kumpulan cairan pada lokasi
ini. Penyebabnya hampir selalu akibat fraktur tulang tengkorak dengan robekan di
arteri meningea media, pembuluh darah meningeal terbesar. Fraktir seperti ini sering
kali terjadi tanpa menimbulkan cedera serius lain pada otak, dengan demikian banyak
pasien dengan hematoma epidural tetap sadar segera setelah kejadian traumatik dan
tidak kehilangan kesadaran hingga beberapa saat kemudian yang disebut “lucid
interval” (Baehr M & Frotscher M, 2016).

Hematoma epidural terjadi pada sekitar 10% dari cedera otak traumatis (TBI)
yang membutuhkan rawat inap. Mekanisme traumatik dan non-trauma dapat
menyebabkan hematoma epidural (Tamburrelli FC et al, 2018).

Sebagian besar kasus yang berkaitan dengan mekanisme traumatik adalah


akibat dari cedera kepala akibat tabrakan kendaraan bermotor, serangan fisik, atau jatuh
yang tidak disengaja. Mekanisme non-traumatik meliputi : Infeksi/abses, koagulopati,
tumor hemoragik dan malformasi vaskular (Fernandez JA et al, 2017).

2.5 Patofisiologi
Cedera Arteri
Sebagian besar hematoma epidural terjadi akibat perdarahan arteri dari
cabang arteri meningea media. Arteri meningeal anterior atau fistula
arteriovenosa dural (AV) di verteks mungkin terlibat (Burjorjee JE et al, 2018).
Cedera Vena
Hingga 10% hematoma epidural disebabkan oleh perdarahan vena
setelah laserasi sinus vena dural. Pada orang dewasa, hingga 75% hematoma
epidural terjadi di daerah temporal. Namun, pada anak-anak, mereka terjadi
dengan frekuensi yang sama di daerah fossa temporal, oksipital, frontal, dan
posterior. Fraktur tengkorak hadir pada sebagian besar pasien dengan

13
hematoma epidural. Hematoma ini sering muncul di bawah fraktur bagian
skuamosa tulang temporal. Jika kondisi ini terjadi di dalam tulang belakang,
entitas ini digambarkan sebagai hematoma epidural tulang belakang (Bonow
RH et al, 2018).
Berdasarkan perkembangan radiografi, dapat diklasifikasikan menjadi salah
satu dari berikut:
 Tipe I : Akut; terjadi pada hari 1 dan berhubungan dengan "putaran"
darah yang tidak menggumpal
 Tipe II : Subakut terjadi antara hari ke-2 hingga ke-4 dan biasanya padat
 Tipe III : Kronis terjadi antara hari ke 7 sampai 20, penampilan
campuran atau cerah dengan peningkatan kontras.

2.6 Diagnosis
A. Manifestasi Klinis

Secara klasik gejala muncul setelah cedera kepala dengan kehilangan kesadaran
pada fase awal yang diikuti oleh fase sadar (lucid interval) sebelum kembali terjadi
penurunan kesadaran. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin penderita
pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam, penderita akan
merasakan nyeri kepala yang progresif, diikuti kesadaran yang berangsur menurun.
Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar setelah terjadi
kecelakaan disebut lucid interval. Fenomena lucid interval terjadi karena cedera primer
yang ringan pada epidural hematom. Gejala tergantung seberapa cepat perdarahan
berkembang. Rasa mengantuk yang progresif, sakit kepala, mual, dan muntah
merupakan gejala yang patut diwaspadai (Soetikno, 2011).

Gejala yang sangat menonjol pada perdarahan epidural adalah penurunan


tingkat kesadaran yang progresif. Pasien dengan kondisi seperti ini seringkali tampak
memar di sekitar mata (racoon eyes) dan di belakang telinga (battle’s sign). Sering juga
tampak cairan yang keluar pada saluran hidung (rhinorrhea) dan telinga (otorrhea).

14
Setiap orang memiliki gejala yang bermacam-macam akibat dari cedera kepala.
Banyak gejala yang timbul akibat dari cedera kepala. Gejala yang sering tampak:
penurunan kesadaran (bisa sampai koma), bingung, penglihatan kabur, susah bicara,
nyeri kepala yang hebat, keluar cairan dari hidung dan telingah, mual, pusing dan
berkeringat. Pada hipertensi intrakranial berat, respon Cushing mungkin muncul. Trias
Cushing klasik melibatkan hipertensi sistemik, bradikardia, dan depresi pernafasan.
Respon ini biasanya muncul ketika perfusi serebral, terutama karena batang otak
mengkompensasi peningkatan tekanan intra kranial (Ganz, 2013).

B. Pemeriksaan Fisik

1. Status fungsi vital


a. Airway (jalan napas)
b. Breathing (pernapasan)
c. Circulation (nadi dan tekanan darah)
2. Status Kesadaran
a. Pemeriksaan GCS
3. Status Neurologis
a. Anisokor
b. Paresis/paralisis
c. Refleks patologis
4. Trauma di tempat lain
5. Pemeriksaan orientasi, amnesia, dan fungsi luhur

C. Pemeriksaan Radiologi

15
Foto Polos Kepala
Foto polos kepala tidak dapat mendiagnosis pasti epidural hematoma. Dengan
proyeksi Antero-Posterior (A-P), lateral pada sisi yang mengalami trauma untuk
mencari adanya fraktur tulang yang memotong sulkus arteri meningea media

Gambar 2.6.1 Fraktur temporoparietal yang berakibat perdarahan epidural (Florida


State University Research Foundation, 2005).

CT Scan
CT scan adalah modalitas pencitraan yang paling umum untuk menilai
perdarahan intrakranial. Pemeriksaan ini sering dilakukan terkait dengan
ketersediaannya yang tersebar luas di departemen emergensi. Mayoritas EDH dapat
diidentifikasi pada CT scan. Presentasi klasik adalah massa bikonveks atau berbentuk
lensa pada CT scan otak, karena kemampuan darah untuk mengembang terbatas. EDH
tidak melewati garis sutura. Umumnya, ahli radiologi menggunakan rumus standar
untuk memperkirakan jumlah darah yang ada dalam EDH, sebagai berikut:
Volume = ABC/2
A: Diameter perdarahan maksimum pada potongan CT dengan area perdarahan
terbesar

16
B: Diameter maksimum 90 derajat terhadap A pada potongan CT yang sama
C: Jumlah potongan CT dengan perdarahan dikalikan dengan ketebalan potongan
dalam sentimeter.

Gambar 2.6.2 Perhitungan volume perdarahan epidural (Barras, et al., 2014).

Namun, ada temuan CT lain yang mungkin perlu dipertimbangkan saat


mengevaluasi EDH. Misalnya, perdarahan yang berlanjut dapat ditunjukkan dengan
area dengan kepadatan rendah, atau "swirl-sign". Hal ini dapat digunakan untuk
menilai prognosis, dan sering menunjukkan perlunya intervensi bedah. Jika EDH
berbatasan dengan jaringan otak yang hemoragik atau memar, mungkin tampak
dangkal, dan dengan demikian, dapat terabaikan jika CT scan tidak diperiksa dengan
cermat.

17
Gambar 2.6.3 Epidural Hematoma (McDonald, et al., 2018)

18
Gambar 2.6.4 CT scan kepala menunjukkan hematoma epidural pada regio fronto
temporal kiri. (A) Saat baru datang; (B) fraktur tengkorak temporal; (C) setelah 6
jam; (D) setelah 24 jam; (E) setelah 5 hari; (F) setelah 20 hari. (Maugeri, et al., 2015)

Magnetic resonance imaging (MRI)


MRI otak lebih sensitif daripada CT scan, terutama ketika menilai EDH di
vertex. Ini harus dilakukan ketika ada kecurigaan klinis yang tinggi untuk EDH, yang
menyertai CT scan kepala awal yang negatif. Dalam situasi dugaan spinal EDH, MRI
tulang belakang adalah modalitas pencitraan yang lebih dipilih, karena memberikan
resolusi yang lebih tinggi dibandingkan CT tulang belakang.

19
Gambar 2.6.5 MRI T1 + T2 Spinal Epidural Hematoma

Angiography
Saat mengevaluasi EDH yang terletak di vertex, tenaga kesehatan harus
mengevaluasi keberadaan fistula dural arteriovenous (AV) yang mungkin timbul dari
arteri meningea media. Angiografi mungkin diperlukan untuk mengevaluasi
keberadaan lesi tersebut.

2.7 Diagnosis Banding


Dengan hematoma yang besar, jarang ada kebingungan yang signifikan mengenai
diagnosis yang benar. Pada lesi yang lebih kecil, terutama bila ada cedera parenkim
terkait (misalnya kontusio serebral, darah subarachnoid traumatis, hematoma subdural
bersamaan) mendiagnosis EDH dapat lebih sulit.
1. Perdarahan Subdural (SDH)
- Dapat melintasi sutura
- Biasanya berbentuk bulan sabit
- Dibatasi oleh refleksi dural

20
- Biasanya pada pasien yang lebih tua atau pada pasien muda dengan cedera
kepala tertutup lainnya.
2. Meningioma
- Mungkin hiperdens
- Biasanya jauh dari fraktur (misal parafalcine)
-
2.8 Tatalaksana

Tatalaksana perdarahan epidural mencakup tatalaksana umum dan tatalaksana khusus.


Tatalaksana khusus mencakup terapi medikamentosa dan terapi operatif

A. Tatalaksana umum

Resusitasi pasien trauma kepala bervariasi karena heterogenitas dari penyakit


itu sendiri. Tujuan dari semua upaya resusitasi awal yang baik adalah untuk memulai
sedini mungkin berbagai upaya penanganan pra-rumah sakit, dengan memperhatikan
jalan napas, pernapasan dan sirkulasi. Sejak pasien datang ke ruang gawat darurat
pasien segera dipersiapkan evaluasi trauma menyeluruh, dimulai dengan inspeksi
fraktur, evaluasi mekanisme cedera untuk menilai daya benturan baik pada kranium,
imobilisasi spinal khususnya servikal, dan evaluasi defisit neurologis.
Tiga penanda prediktor keluaran klinis yang buruk saat penanganan di
departemen gawat darurat adalah hipotermia, hipoksia, dan hipotensi. Hipotermia saat
awal menjadi penanda resusitasi yang jelek, dan sebaiknya suhu tubuh inti harus
dihangatkan secara pasif selama fase awal resusitasi. Resusitasi volume agresif untuk
hipotensi dan ventilasi yang memadai adalah fokus utama dalam upaya resusitasi awal
Semua pasien dengan trauma kepala harus memiliki ventilasi yang baik dan
menjaga pO2 dan pCO2. Suplementasi oksigen diberikan untuk mendapatkan SpO2
> 90%. Selama fase resusitasi awal sangat penting untuk menyadari langkah- langkah
yang sederhana seperti elevasi kepala tidur (30 derajat), posisi kepala yang tepat untuk
mencegah penekanan vena jugularis dan kontrol nyeri yang memadai dan sedasi

21
merupakan metode yang sangat sederhana dan efektif untuk mengurangi tekanan
intrakranial (Abelson-Mitchell, 2013)

B. Tatalaksana Khusus

1. Memperbaiki/mempertahankan fungsi vital


Mempertahankan kontrol jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi yang telah
ditangani saat resusitasi awal. Jalan nafas harus selalu bebas dengan memastikan tidak
ada lendir dan darah yang dapat menghalangi aliran udara pemafasan. Bila perlu
dipasang pipa naso/orofaringeal dan pemberian oksigen. Infus dipasang terutama untuk
membuka jalur intravena: gunakan cairan NaC1 0,9 % atau Dextrose in saline.

2. Mengurangi tekanan intrakranial


Beberapa cara yang dapat dicoba untuk mengurangi tekanan intrakranial:
a. Hiperventilasi.
Bertujuan untuk menurunkan paO2 darah sehingga mencegah vasodilatasi
pembuluh darah. Selain itu suplai oksigen yang terjaga dapat membantu menekan
metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi kemungkinan asidosis. Bila dapat
diperiksa, paO2 dipertahankan > 100 mmHg dan paCO2 diantara 25-30 mmHg.

b. Cairan hiperosmoler.
Cairan hiperosmoler diberikan untuk “menarik” air secara osmotik dari jaringan
otak (intrasel dan interstitial) ke dalam ruang intra-vaskular lalu melalui diuresis.
Cairan yang umum digunakan adalah Manitol 10-15% dengan dosis 0,25-1g/KgBB
diberikan per infus selama 10-15 menit. Efek ini dapat berhasil dengan baik jika sawar
darah otak dalam keadaan normal. Cara ini berguna pada kasus-kasus yang menunggu
tindakan bedah. Pada kasus biasa, harus dipikirkan kemungkinan efek rebound;
mungkin dapat dicoba diberikan kembali (diulang) setelah beberapa jam atau keesokan

22
harinya. Hati-hati dengan kontraindikasi pemberian manitol seperti gagal jantung,
gagal ginjal akut, hiperkalemia dan hipotensi.
Selain manitol dapat diberikan hipertonik salin. Hipertonik salin merupakan
agen osmotik yang telah lama digunakan sebagai tambahan terapi manitol atau pada
individu yang telah menjadi toleran terhadap manitol. Dosis hipertonik salin dan
administrasinya sangat bervariasi, bolus berkisar antara 30 mL 23,4 % NaCl dan 150
mL 3 % NaCl, sedangkan yang lain telah menganjurkan penggunaan infus kontinu baik
2 % atau 3 % NaCl hingga mencapai tujuan Na serum 150 mmol/L.

c. Barbiturat.
Barbiturat digunakan untuk membius pasien sehingga metabolisme otak dapat
ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga akan menurun; karena
kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari kemungkinan kerusakan
akibat hipoksia, walaupun suplai oksigen berkurang. Cara ini hanya dapat digunakan
dengan pengawasan yang ketat (Lee, 2012).

3. Terapi Bedah
Indikasi tindakan bedah pada perdarahan epidural intrakranial yang disarankan
Greenberg (2016) yaitu :
1. Volume hematoma > 30 ml berapapun skor GCS-nya.
2. Jika volume < 30 cc, ketebalan < 15 mm, pergeseran garis tengah (Midline shift)
< 5 mm, GCS > 8 tanpa defisit fokal dapat ditangani dengan terapi non-operatif
dengan CT Scan serial dan observasi ketat di Pusat Rumah Sakit yang memiliki
Spesialis Bedah Saraf.
Dalam 50 % kasus EDH akan terjadi sedikit peningkatan volume EDH sementara
antara hari ke 5 sampai 16, dan beberapa pasien memerlukan kraniotomi saat tanda-
tanda herniasi terjadi (Greenberg, 2016).

23
2.9 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada perdarahan epidural intrakranial adalah
defisit neurologis bahkan kematian, kejang post trauma karena kerusakan kortikal
(biasanya 1-3 bulan setelah trauma kepala), delayed effect termasuk postconccusion
syndrome seperti nyeri kepala, vertigo, gelisah, emosi yang labil dan ketidakmampuan
untuk berkonsentrasi dan kelelahan (Liebeskind, 2018).

2.10 Prognosis
Prognosis hematom epidural tergantung pada :
 Usia pasien
 Selang waktu antara cedera dan pengobatan
 Segera koma atau interval jerni
 Adanya kelainan pupil
 GCS / skor motorik, pada saat kedatangan
 Temuan CT (volume hematoma, derajat pergeseran garis tengah,
adanya tanda-tanda perdarahan hematoma aktif, atau lesi intra-dural
terkait)

Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya baik,


karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Secara umum, pasien dengan
epidural murni memiliki prognosis yang sangat baik dari hasil fungsional setelah
evakuasi bedah, ketika terdeteksi dan dievakuasi dengan cepat. Keterlambatan dalam
diagnosis dan pengobatan meningkatkan morbiditas dan mortalitas.
Hematoma epidural yang disebabkan oleh perdarahan arteri berkembang
dengan cepat dan dapat dideteksi dengan cepat. Tetapi yang disebabkan oleh robekan
sinus dural berkembang lebih lambat. Dengan demikian, manifestasi klinis mungkin
tertunda, dengan keterlambatan yang dihasilkan dalam pengenalan dan evakuasi.

24
Umumnya, volume hematoma epidural yang lebih besar dari 50 cm sebelum evakuasi
menghasilkan keluaran neurologis yang lebih buruk dan konsekuensi kematian.
Beberapa penanda yang berkorelasi dengan prognosis hematoma epidural
yang buruk adalah sebagai berikut:
 GCS rendah sebelum operasi, atau pada saat kedatangan
 Pemeriksaan pupil abnormal, khususnya pupil tidak reaktif (unilateral
atau bilateral)
 Usia lanjut
 Waktu antara gejala neurologis dan operasi
 Peningkatan tekanan intrakranial (ICP) pada periode pasca operasi

Temuan CT kepala tertentu dapat berkorelasi dengan prognosis yang buruk:


 Volume hematoma lebih dari 30 hingga 150 ml
 Pergeseran garis tengah lebih besar dari 10 hingga 12 mm
 "Swirl sign" menunjukkan perdarahan aktif
 Lesi intrakranial terkait (seperti memar, perdarahan intraserebral,
perdarahan subarachnoid, dan pembengkakan otak difus) (Khairat A &
Waseem M, 2020).

25
BAB III
DISKUSI KASUS

Seorang anak berusia 16 tahun dengan keluhan sakit kepala yang bertambah
berat, setelah mengalami kecelakaan lalu lintas 4 jam SMRS. Pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan umum sakit berat dengan kesadaran komposmentis dan skor GCS
15, tanda vital dalam batas normal kecuali pernapasan (12x/menit), dan status gizi
underweight. Pada pemeriksaan fisik kepala didapatkan sefal hematoma pada daerah
frontal kanan, eritema, luka, dan pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal.
Pada pemeriksaan radiologi CT scan didapatkan hasil adanya fraktur depresif
tulang frontal kanan, EDH pada daerah frontal kanan, ukuran 3,49 cm x 6,6 cm yang
tampak pada 7 irisan gambaran scan, dengan midline shift + 5,3 mm. Pasien diputuskan
untuk menjalani tindakan kraniotomi emergensi untuk evakuasi EDH dan pengobatan
medikamentosa.

26
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, E., Saanin, S. and Edison, E., 2016. Hubungan Glasgow Coma Scale Dengan
Glasgow Outcome Scale Berdasarkan Lama Waktu Tunggu Operasi
Pada Pasien Perdarahan Epidural. Majalah Kedokteran Andalas, [online]
39(2), p.50. Available at: <http://jurnalmka.fk.unand.ac.id> [Accessed 17 June
2021].

Baehr M & Frotscher M. 2018. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi,Fisiologi,


Tanda, Gejala. Edisi 5. Jakarta : EGC. Hal 391.

Barras C. D. J., Tress, B. M, & Desmond, P. M. 2014, Quantifying volume of


intracerebral, subdural and extradural hemmorrhage: As easy as ABC/2. CSM
2014: 1-7.

Bonow RH, Barber J, Temkin NR, Videtta W, Rondina C, Petroni G, Lujan S, Alanis
V, La Fuente G, Lavadenz A, Merida R, Jibaja M, Gonzáles L, Falcao A,
Romero R, Dikmen S, Pridgeon J, Chesnut RM., Global Neurotrauma
Research Group. The Outcome of Severe Traumatic Brain Injury in Latin
America. World Neurosurg. 2018 Mar;111:e82-e90.

Burjorjee JE, Rooney R, Jaeger M. Epidural Hematoma Following Cessation of a


Direct Oral Anticoagulant: A Case Report. Reg Anesth Pain Med. 2018
Apr;43(3):313-316.

Fernández-Abinader JA, González-Colón K, Feliciano CE, Mosquera-Soler AM.


Traumatic Brain Injury Profile of an Elderly Population in Puerto Rico. P R
Health Sci J. 2017 Dec;36(4):237-239.

Ganz, J. 2013, The lucid interval associated with epidural bleeding: evolving
understanding. Journal of Neurosurgery, 118(4), pp.739-745.

Greenberg, M. S. 2016, Handbook of Neurosurgery. 8th edn, Thieme Medical -


Publishers Inc, New York.

27
Kabbani, A. A. 2018. Extradural hemorrhage. [cited 17 June 2021]. Available from:
https://radiopaedia.org/articles/extraduralhaemorrhage#nav_radiographic-
features.

Khairat A, Waseem M. Epidural Hematoma. [Updated 2021 Feb 10]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK518982/ .

Lee, K. 2012, NeuroICU book NeuroCritical Care Disease Section : Neurotrauma. 2nd
edn. USA: McGraw Hill Professional.

Liebeskind, D. 2018, Epidural Hematoma Clinical Presentation. [online] Available at:


https://emedicine.medscape.com/article/1137065-clinical [Accessed 30 Apr.
2019].

Lumongga, F., 2007. Meninges Dan Cerebrospinal Fluid. [online]


Repository.usu.ac.id. Available at:
<http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/2044/09E01466.pdf
sequence=1&isAllowed=y> [Accessed 17 June 2021].

Maugeri, R., Anderson, D., Graziano, F., Meccio, F., Visocchi, M., Iacopino, D. (2015).
Conservative vs. Surgical Management of Post-Traumatic Epidural Hematoma:
A Case and Review of Literature. The American journal of case reports. 16.
811-817. 10.12659/AJCR.895231.

McDonald, D. K., Naul, G. L. 2018. Imaging in Epidural Hematoma. [cited from 17


June 2021]. Available from: https://emedicine.medscape.com/article/340527-
overview#a.

O.P. Wahjoepramono, P. and Zafrullah Arifin, M., 2020. Korelasi Antara Volume
Epidural Hematoma Dari Hasil Penghitungan CT Scan Dengan
Temuan Volume Epidural Hematoma Intraoperatif. Tunas Medika Jurnal
Kedokteran & Kesehatan, 6(1), pp.19-24.

Rosenthal AA, Solomon RJ, Everly-Webb SA, Sanchez R, Lee SK, Kiffin C,
Davare DL, Hranjec T, Carrillo EH. 2017. Traumatic Epidural Hematoma.
Patient Characteristics and Management. Am Surg. November
01;83(11):e438-e440 [Pubmed]. Diakses pada tanggal 17 Juni 2021.

28
Sidharta P, Mardjono M, 2005. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat. Jakarta.

Tamburrelli FC, Meluzio MC, Masci G, Perna A, Burrofato A, Proietti L.


Etiopathogenesis of Traumatic Spinal Epidural Hematoma. Neurospine. 2018
Mar;15(1):101-107.

29

You might also like