You are on page 1of 41

REFERAT

FARINGITIS DAN TONSILITIS

Oleh :
Wenny Tri Rahmawati
I4061192042

Pembimbing :
dr. Saiful Bahri Bangun, Sp. THT, KL

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU PENYAKIT THT-KL


PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR SOEDARSO PONTIANAK
2021
Lembar Persetujuan
Telah disetujui Referat dengan judul :
Faringitis dan Tonsilitis
Disusun sebagai salah satu syarat Kepaniteraan Klinik
Ilmu Penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak

Pontianak, April 2021


Pembimbing Laporan Kasus Penyusun

dr. Saiful Bahri Bangun, Sp. THT, KL L Wenny Tri Rahmawati


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul
―Faringitis dan Tonsilitis‖. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan
kepaniteraan klinik stase ilmu penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan, bimbingan
serta dari semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada dr. Saiful Bahri Bangun, Sp.
THT-KL selaku pembimbing referat di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD dr.
Soedarso Pontianak yang dengan sabar memberikan bimbingan, kritik, serta saran
yang membangun. Tidak lupa rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada para
tenaga medis dan karyawan yang telah membantu selama kami mengikuti
kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD RSUD dr. Soedarso
Pontianak dan berbagai pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat di harapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya semoga penulisan ini bermanfaat bagi
banyak pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.

Pontiananak, Juli 2021

Wenny Tri Rahmawati


BAB I
PENDAHULUAN

Faring merupakan suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti


corong dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring
merupakan ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus. Faring
terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring). Unsur-unsur
1
faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous blanket) dan otot.
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh
virus (40- 60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain. Anak-anak
dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus pada saluran
pernafasan atas termasuk faringitis setiap tahunnya. Frekuensi munculnya
faringitis lebih sering pada populasi anak-anak. Kira-kira 15-30% kasus faringitis
pada anak-anak usia sekolah dan 10% kasus faringitis pada orang dewasa.
Faringitis dapat dibedakan menjadi akut dan kronik berdasarkan penyebab serta
1,2
manifestasi klinisnya sehingga memerlukan terapi yang tepat.
Tonsil merupakan struktur yang terdapat di orofaring. Tonsil adalah massa
terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan kriptus di
dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine
dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk lingkaran yang disebut cincin
1
Waldeyer.
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin Waldeyer. Tonsilitis umumnya merupakan hasil dari infeksi, dapat berupa
virus atau bakteri. Meskipun lebih sering terjadi di musim dingin dan awal musim
semi, penyakit ini dapat terjadi kapan saja sepanjang tahun. GABHS
menyumbang 5% hingga 15% orang dewasa dengan faringitis dan 15% hingga
3
30% pasien antara usia 5-15 tahun. Dapat terjadi pada semua umur, terutama
pada anak. Tonsilitis dapat dibedakan menjadi akut dan kronik berdasarkan
1
penyebab serta manifestasi klinisnya sehingga memerlukan terapi yang tepat.
Pada referat ini akan dibahas mengenai anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
penunjang untuk menegakkan diagnosis dan memberi terapi yang tepat pada kasus
faringitis dan tonsilitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI
2.1.1. Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti
corong dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit.
Faring merupakan ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus.
Kantong fibromuskuler ini mulai dari dasar tengkorak dan terus
menyambung ke esophagus hingga setinggi vertebra servikalis ke-6. Ke
atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan
dengan laring dibawah berhubungan dengan aditus laring dan ke bawah
berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada
orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding
faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar)
selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
(hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous
1,4
blanket) dan otot.
a. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada
nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya
bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di
bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya
untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Di
sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang
terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system
retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah
1,4
pertahanan tubuh terdepan.
b. Parut Lendir
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui
hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak
diatas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut
lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh
udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang
1
penting untuk proteksi.
c. Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari
m.konstriktor faring superior, media, dan inferior. Otot-otot ini terletak
disebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya
menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Disebelah depan,
otot-otot ini bertemu satu sama lain dan dibelakang bertemu pada jaringan
bertemu pada jaringan ikat yang disebut ―rafe faring‖ (raphe pharyngis).
Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini
1
dipersarafi oleh n.vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring.
Letak otot-otot ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk
melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan m.palatofaring
mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan
laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu
penting pada waktu menelan. M.Stilofaring dipersarafi oleh n.IX
sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X. Pada palatum mole
terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung fasia dari
mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini,
1
m.palatoglossus, m.palatofaring, dan m.azigos uvula.
M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan
kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba
Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X. M.tensor veli palatini
membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk mengencangkan
bagian anterior palatum mole dan membuka tuba eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n.X. M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan
kerjanya menyempitkan ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh
n.X. M.Azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek
1
dan menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.

4
Gambar 2.2 otot otot faring
d. Perdarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang
tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang
faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna
1,4
yakni cabang palatine superior.
e. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus
faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus,
cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus
berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini
keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang
1
dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).
f. Kelenjar Getah Bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni
superior, media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar
getah bening retrofiring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas.
Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik
dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior
1
mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.

4
Gamba 2.1 anatomi faring
1,4
Berdasarkan letaknya faring dibagi atas :
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian
bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil
mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting
seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan
resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius,
koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh Nervus Glossopharyngeus,
Nervus Vagus dan Nervus Asesorius spinal saraf cranial dan vena
jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan
1
muara tuba Eustachius.
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis ke depan adalah
rongga mulut sedangkan ke belakang adalah vertebra servikalis. Struktur
yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
1
lingual dan foramen sekum.
3. Laringofaring
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglottis,
batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esophagus, sertas batas
posterior adalah vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan
kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan
laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula. Di bawah valekula
terdapat epiglotis. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi proteksi
glotis ketika menelan atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju
1
ke sinus piriformis dan ke esofagus.

4
Gambar 2.3 Penampang sagital kepala dan leher
2.1.2. Tonsil
Tonsil merupakan struktur yang terdapat di orofaring. Tonsil adalah
massa terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan
kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatine dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya
1
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.
Tonsil palatine yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa
tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya
melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka
ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering
juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat
darah dari a. palatine minor, a. palatine asendens, cabang tonsil a. lingualis
dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh
papilla sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran
dukts triglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa
1
tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.

5
Gambar 2.4 cincin waldayer
4
Gambar 2.5 rongga mulut

2.2. FARINGITIS
2.2.1. Definisi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh
virus (40- 60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain.
Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus
6
pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis setiap tahunnya.

2.2.2. Etiologi
Sekitar 50% hingga 80% faringitis, atau sakit tenggorokan, gejalanya
berasal dari virus dan mencakup berbagai patogen virus. Patogen ini
didominasi oleh rhinovirus, influenza, adenovirus, coronavirus, dan
parainfluenza. Patogen virus yang kurang umum termasuk herpes, virus
Epstein-Barr, human immunodeficiency virus (HIV), dan coxsackievirus.
Kasus yang lebih parah cenderung bakteri dan dapat berkembang setelah
7
infeksi virus awal.
Infeksi bakteri yang paling umum adalah streptococcus beta-hemolitik
grup A, yang menyebabkan 5% hingga 36% kasus faringitis akut. Etiologi
bakteri lainnya termasuk streptokokus Grup B & C, Chlamydia
pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, Candida,
Neisseria meningitidis, Neisseria gonorrhoeae, Arcanobacterium
haemolyticum, Fusobacterium necrophorum, dan Corynebacterium
diphtheriae. Alergi lingkungan dan paparan bahan kimia juga dapat
menyebabkan faringitis akut. Gejala faringitis juga dapat menjadi bagian
dari kompleks gejala penyakit serius lainnya, termasuk abses peritonsillar,
7
abses retrofaring, epiglotitis, dan penyakit Kawasaki. Tabel 2.1 penyebab
8
faringitis

2.2.3. Epidemiologi
Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak.
National Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital
Ambulatory Medical Care Survey telah mendokumentasikan antara 6,2 –
9,7 juta kunjungan anak-anak dengan faringitis ke klinik dan UGD (Unit
Gawat Darurat) setiap tahun, dan lebih dari 5 juta kunjungan orang dewasa
per tahun. Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-
anak. Kira-kira 15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan
2
10% kasus faringitis pada orang dewasa.

2.2.4. Patogenesis
Faringitis adalah peradangan pada faring yang dapat menyebabkan
sakit tenggorokan. Agen etiologi ditularkan melalui kontak orang ke
orang, kemungkinan besar melalui tetesan sekret hidung atau air liur.
Gejala sering muncul setelah masa inkubasi mulai dari 1 sampai 5 hari,
dan paling sering terjadi pada musim dingin atau awal musim semi. Wabah
faringitis dapat terjadi di rumah atau ruang kelas, dan, jarang, mungkin
9
terkait dengan makanan atau sumber hewani.
Bakteri penyebab faringitis yang paling umum, GABHS, juga dikenal
sebagai Streptococcus pyogenes dan mungkin ada sebagai kokus gram
positif tunggal, berpasangan, atau berantai. Bakteri ini memiliki protein M,
faktor virulensi kuat yang menghambat fagositosis bakteri, serta kapsul
asam hialuronat yang meningkatkan kemampuannya untuk menyerang
jaringan. Eksotoksin ganda dan dua hemolisin (Streptolysin S dan
Streptolysin O) semakin meningkatkan virulensi GABHS. Kokus dapat
dideteksi pada biakan (tumbuh pada agar darah), tes aglutinasi lateks, atau
9
tes cepat menggunakan antibodi monoklonal berlabel.

2.2.5. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis


1. Faringitis Akut
a. Faringitis Viral
Rinovirus menimbulkan gejala rinitis dan beberapa hari kemudian
1,8,10
akan menimbulkan faringitis.

1
Gambar 2.6 faringitis viral
1,8
Manifestasi Klinis
a) Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, dan sulit menelan.
b) Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.
c) Virus influenza, coxsachievirus dan cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat.
d) Coxachieirus dapat rnenimbulkan lesi vesikular di orofaring dan
lesi kulit berupa maculopapular rash.
e) Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga
menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak.
f) Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai
produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran
kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan
hepatosplenomegali.
g) Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri
tenggorok, nyeri menelan, mual, dan demam. Pada pemeriksaan
tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di
leher dan pasien tampak lemah.
b. Faringitis Bakterial
lnfeksi grup A Streptokokus hemolitikus merupakan penyebab
1,8,10
faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).

Gambar 2.7 faringitis


1 1,8
bakterial Manifestasi Klinis
a) Nyeri kepala yang hebat, muntah, kadang-kadang disertai demam
dengan suhu yang tinggi, jarang disertai batuk.
b) Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring dan tonsil
hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa hari
kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal, dan nyeri pada
penekanan
c. Faringitis Fungal
1,8,10
Candida dapat tumbuh di mukosa rongga mulut dan faring

Gambar 2.8 faringitis


1 1,8
fungal Manifestasi Klinis
a) Keluhan nyeri tenggorok dan nyeri menelan.
b) Pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan mukosa
faring lainnya hiperemis. Pembiakan jamur ini dilakukan dalam
agar Sabouroud dextrosa.

11
Gambar 2.9 perbedaan faringitis viral, bakteri, dan fungal
d. Faringitis Gonorea
1,8,10
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.
1,8
Gambar 2.10 faringitis gonorea
2. Faringitis Kronik
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis
kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah
rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi
uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab
terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang biasa benapas melalui
1
mulut karena hidungnya tersumbat.
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa
dinding posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa
faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa
1
dinding posterior tidak rata, bergranular.

8
Gambar 2.11 faringitis granular
Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan
1
akhirnya batuk yang berdahak.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rinitis
atrofi. Pada rinitis atrofi, udara penapasan tidak diatur suhu serta
kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada
1,8
faring.
1
Manifestasi Klinis
a) Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau.
b) Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.

Gambar 2.12 1. Acute pharyngitis. 2. Chronic catarrhal pharyngitis. 3.


Chronic atrophic pharyngitis. 4. Chronic hypertrophic pharyngitis. 5.
Chronic granular pharyngitis. 6. Chronic side pharyngitis
3. Faringitis spesifik
a. Faringitis luetika
Treponema palidum dapat menimbulkan infeksi di daerah
1
faring seperti juga penyakit lues di organ lain.
Manifestasi Klinis tergantung pada
1
stadium a) Stadium primer
Kelainan pada stadium primer terdapat pada lidah, palatum
mole, tonsil dan dinding posterior faring berbentuk bercak
keputihan. Bila infeksi terus berlangsung maka timbul ulkus pada
daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu tidak nyeri. Juga
didapatkan pembesaran kelenjar mandibula yang tidak nyeri tekan.
b) Stadium sekunder
Stadium ini jarang ditemukan. Terdapat eritema pada dinding
faring yang menjalar ke arah laring.
c) Stadium tersier
Pada stadium ini terdapat guma. Predileksinya pada tonsil
dan palatum. Jarang pada dinding posterior faring. Guma pada
dinding posterior faring dapat meluas ke vertebra servikal dan bila
pecah dapat menyebabkan kematian. Guma yang terdapat di
palatum mole, bila sembuh akan terbentuk jaringan parut yang
dapat menimbulkan gangguan fungsi palatum secara permanen.
Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan serologik. Terapi
penisilin dalam dosis tinggi merupakan obat pilihan utama.
b. Faringitis tuberculosis
Faringitis tuberkulosis merupakan proses sekunder dari
tuberkulosis paru. Pada infeksi kuman tahan asam jenis bovinum dapat
timbul tuberkulosis faring primer. Cara infeksi eksogen yaitu kontak
dengan sputum yang mengandung kuman atau inhalasi kuman melalui
udara. Cara infeksi endogen yaitu penyebaran melalui darah pada
tuberkulosis miliaris. Bila infeksi timbul secara hematogen maka tonsil
dapat terkena pada kedua sisi dan lesi sering ditemukan pada dinding
posterior faring, arkus faring anterior, dinding lateral hipofaring,
palatum mole dan palatum durum. Kelenjar regional leher
1
membengkak. Saat ini juga penyebaran secara limfogen.
Manifestasi Klinis
Keadaan umum pasien buruk karena anoreksi dan odinofagia.
Pasien mengeluh nyeri yang hebat di tenggorok, nyeri di telinga atau
1
otalgia serta pembesaran kelenjar limfa servikal.

2.2.6. Faktor Risiko


7
Faktor risiko dapat berupa:
1. Usia 3 – 14 tahun.
2. Menurunnya daya tahan tubuh.
3. Konsumsi makanan dapat mengiritasi faring
4. Gizi kurang
5. Iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, makanan, refluks asam lambung,
inhalasi uap yang merangsang mukosa faring.
6. Paparan udara yang dingin.

2.2.7. Diagnosis
a. Anamnesis
7
Keluhan
1. Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan
2. Demam
3. Sekret dari hidung
4. Dapat disertai atau tanpa batuk
5. Nyeri kepala
6. Mual
7. Muntah
8. Rasa lemah pada seluruh tubuh
9. Nafsu makan berkurang
10. Manifestasi klinis khas dapat juga ditemukan berdasarkan jenisnya
7
b. Pemeriksaan fisik
1. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis,
eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus dapat timbul lesi
vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
2. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa
hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan
nyeri pada penekanan.
3. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan
pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
4. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa
di bawah mukosa faring dan hiperplasia lateral band. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan
bergranular (cobble stone).
5. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring
ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering.
6. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan
pada mukosa faring dan laring.
7. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:
a) Stadium primer Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding
posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut
timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu
tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula
b) Stadium sekunder Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding
faring terdapat eritema yang menjalar ke arah laring.
c) Stadium tersier Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.
7
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram
3. Pada dugaan adanya infeksi jamur, dapat dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopik swab mukosa faring dengan pewarnaan
KOH

2.2.8. Tata Laksana


Medikamentosa
1. Faringitis Akut
a. Faringitis Viral
lstirahat dan minum yang cukup. Kumur dengan air hangat.
Analgetika jika perlu dan tablet isap. Antivirus metisoprinol
(Isoprenosine) diberikan pada infeksi herpes simpleks dengan dosis
60-100 mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang
dewasa dan pada anak <5 tahun diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam
1,7
4-6 kali pemberian/hari.
1,7
b. Faringitis Bakterial
1) Antibiotik : Diberikan terutama bila diduga penyebab faringitis
akut ini grup A Streptokokus hemolitikus. Penicillin G Banzatin
50.000 U/kgBB, IM dosis tunggal, atau amoksisilin 50 mg/kgBB
dosis dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg
selama 6-10 hari atau eritromisin 4 x 500 mg/hari.
2) Kortikosteroid : deksametason 8-16 mg, IM, 1 kali. Pada anak
0,08-0,3 mg/kgBB, IM, 1 kali.
3) Analgetika
4) Kumur dengan air hangat atau antiseptik.
1,7
c. Faringitis Fungal
1) Nystasin 100.000-400.000 2 kali/hari.
2) Analgetika.
d. Faringitis Gonorea
1,7
Sefalosporin generasi ke-3, Ceftriakson 250 mg, IV.
2. Faringitis Kronik
a. Faringitis kronik hiperplastik
Terapi lokal dengan melakukan kaustik faring dengan
memakai zat kimia larutan nitras argenti atau dengan listrik (electro
cauter). Pengobatan simptomatis diberikan obat kumur atau tablet isap.
Jika diperlukan dapat diberikan obat batuk antitusif atau ekspektoran.
1,7
Penyakit di hidung dan sinus paranasal harus diobati.
b. Faringitis kronik atrofi
Pengobatan ditujukan pada rinitis atrofinya dan untuk faringitis
kronik atrofi ditambahkan dengan obat kumur dan menjaga kebersihan
1,7
mulut.
3. Faringitis spesifik
a. Faringitis luetika
7
Rujuk
b. Faringitis tuberculosis
1,7
Sesuai dengan terapi tuberkulosis paru.
Non Medikamentosa
7
Memberitahu pasien dan keluarga untuk:
1. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
olahraga teratur.
2. Berhenti merokok bagi anggota keluarga yang merokok.
3. Menghindari makan makanan yang dapat mengiritasi tenggorok.
4. Selalu menjaga higiene mulut dan tangan

2.2.9. Komplikasi
Komplikasi dari faringitis yaitu sinusitis, otitis media, epiglotitis,
mastoiditis, pneumonia, abses peritonsilar, abses retrofaringeal. Selain itu
juga dapat terjadi komplikasi lain berupa septikemia, meningitis,
glomerulonefritis, demam rematik akut. Hal ini terjadi secara
8
perkontuinatum, limfogenik maupun hematogenik.
2.2.10. Prognosis7
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Bonam

2.3. TONSILITIS
2.2.1. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Tonsilitis disebabkan peradangan pada tonsil yang
diakibatkan oleh bakteri, virus, dan jamur. Tonsilitis adalah peradangan
tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin
Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu : tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil palatina ( tosil
faucial), tonsil lingual ( tosil pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius
( lateral band dinding faring / Gerlach’s tonsil. Penyebaran infeksi melalui
udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua
1,12
umur, terutama pada anak.

2.2.2. Etiologi
Tonsilitis umumnya merupakan hasil dari infeksi, dapat berupa virus
atau bakteri. Etiologi virus adalah yang paling umum. Penyebab virus
yang paling umum biasanya yang menyebabkan common cold, termasuk
rhinovirus, virus pernapasan syncytial, adenovirus, dan coronavirus. Virus
ini biasanya memiliki virulensi rendah dan jarang menyebabkan
komplikasi. Penyebab virus lainnya seperti Epstein-Barr (menyebabkan
mononukleosis), cytomegalovirus, hepatitis A, rubella, dan HIV juga dapat
13
menyebabkan tonsilitis.
Infeksi bakteri biasanya disebabkan oleh grup A beta-hemolytic
Streptococcus (GABHS), tetapi Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, dan Haemophilus influenza juga telah dikultur. Tonsilitis
bakteri dapat disebabkan oleh patogen aerobik dan anaerobik. Pada pasien
yang tidak divaksinasi, Corynebacterium diphtheriae yang menyebabkan
difteri bahkan harus dipertimbangkan sebagai etiologi. Pada pasien yang
aktif secara seksual, HIV, sifilis, gonore, dan klamidia mungkin sebagai
penyebab tambahan. Tuberkulosis juga terlibat dalam tonsilitis berulang,
13
dan dokter harus menilai risiko pasien.

2.2.3. Epidemiologi
Sekitar 2% dari kunjungan pasien rawat jalan di Amerika Serikat
adalah karena sakit tenggorokan. Meskipun lebih sering terjadi di musim
dingin dan awal musim semi, penyakit ini dapat terjadi kapan saja
sepanjang tahun. GABHS menyumbang 5% hingga 15% orang dewasa
dengan faringitis dan 15% hingga 30% pasien antara usia 5-15 tahun.
Etiologi virus lebih sering terjadi pada pasien balita. GABHS jarang terjadi
13
pada anak di bawah usia dua tahun.
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2012 , angka
kejadian penyakit tonsilitis di Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan data
epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada bulan
September tahun 2012, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8%. Menurut
Nurjannah tahun 2011, distribusi proporsi penderita tonsillitis kronis di
Medan pada tahun 2007 – 2010 berdasarkan usia terjadi paling banyak
pada kelompok usia 11 – 20 tahun yaitu sebesar 40%. Berdasarkan jenis
kelamin terbanyak pada pria yaitu 18 sample 51,4 % dan ukuran tonsil T3
3
sebesar 47,1%.

2.2.4. Patogenesis
Patogenesis infeksi dan inflamasi pada tonsil dan adenoid dipengaruhi
oleh lokasi tonsil yang letaknya di orofaring, nasofaring dan dasar lidah
membentuk suatu cincin pertahanan imunitas (Waldeyer’s ring). Organ ini
akan memproses antigen virus, bakteri dan mikroorganisme lain, sehingga
mudah terkena infeksi dan pada akhirnya dapat menjadi fokus infeksi. Infeksi
virus yang diikuti infeksi bakteri sekunder mungkin merupakan salah satu
mekanisme dari infeksi akut menjadi infeksi kronis, tetapi hal ini juga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan (lingkungan padat seperti militer, sekolah,
dan keluarga), pejamu, alergi dan penggunaan antibiotik yang luas serta gizi.
Saat bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil
berperan sebagai filter. Bakteri atau virus menginfeksi lapisan epitel tonsil.
Proses peradangan dan infeksi pada tonsil memicu pengeluaran leukosit
polimorfonuklear yang akan membentuk detritus bersama dengan kumpulan
leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Dari gambaran klinis,
detritus akan mengisi kripte tonsil dan nampak sebagai bercak kekuningan.
Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang
akan datang, akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah kelelahan menahan
infeksi atau virus yang berulang. Pada kasus infeksi yang berulang, lapisan
epitel mukosa dan jaringan limfoid tonsil menjadi terkikis. Proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga ruang antara kelompok kripte melebar yang akan
diisi oleh detritus. Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya
timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Saat pemeriksaan
ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kripte membesar
14
dan terisi detritus.
Kasus nyeri tenggorok paling sering disebabkan oleh group A beta-
hemolytic Streptococcus (GABHS). Bakteri ini merupakan penyebab tersering
ada faringitis akut pada 15-30% kasus anak-anak dan 5-10% kasus dewasa.
GABHS ini memiliki lebih dari 80 serotipe berdasarkan protein M.
Patogenesis GABHS antara lain adanya faktor virulensi yang menghambat
fagositosis, yaitu protein M yang mengikat faktor H, serta kapsul hialuronik.
Selain itu, pili yang disertai lipoteichoic acid melekat pada epitelium faringeal
yang kemudian membentuk kolonisasi. GABHS juga mensekresikan toksin
multipel seperti eksotoksin pirogenik, DNase, hialuronidase, streptokinase
(fibrinolisin), streptolisin O dan S (hemolisin), peptidase C5a, dan Fc binding
protein. Risiko transmisi GABHS berdasarkan review sistematik
menunjukkan risiko rendah (<10%) dan sedang (10%-30%) pada kontak
dekat. GABHS memiliki periode inkubasi 12 jam sampai dengan 5 hari.
Apabila dibiarkan tanpa terapi, infeksi GABHS dapat sembuh sendiri dalam
14
1-12 bulan dan <4 bulan bila diterapi.
2.2.5. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis
1. Tonsilitis akut

Gambar 2.13 perbedaan tonsilitis bakteri dan


15
viral a. Tonsilitis viral
Gejala tonsilitis viral lebih menyerupai common cold yang disertai
rasa nyeri tenggorok. Penyebab yang paling sering adalah virus
Epstein Barr. Hemofilus influenzae merupakan penyebab tonsilitis
akut supuratif. Jika terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada
pemeriksaan rongga mulut akan tampak luka-luka kecil pada palatum
1
dan tonsil yang sangat nyeri dirasakan pasien.
b. Tonsilitis bacterial
Radang akut tonsil dapat disebabkan kuman grup A Streptokokus
hemolitikus yang dikenal sebagai strept throat, pneumokokus,
Streptokokus viridan dan Streptokokus piogenes. lnfiltrasi bakteri pada
lapisan epitel jaringan tonsil akan menimbulkan reaksi radang berupa
keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga terbentuk detritus.
Detritus ini merupakan kumpulan leukosit, bakteri yang mati dan epitel
yang terlepas. Secara klinis detritus ini mengisi kriptus tonsil dan
tampak sebagai bercak kuning. Bentuk tonsilitis akut dengan detritus
yang jelas disebut tonsilitis folikularis. Bila bercak-bercak detritus ini
menjadi satu, membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsilitis
lakunaris. Bercak detritus ini juga dapat melebar sehingga terbentuk
1
semacam membran semu (pseudomembrane) yang menutupi tonsil.
Gambar 2.14 tonsilitis
16
bakterial Manifestasi Klinis
a) Masa inkubasi 2-4 hari. Gejala dan tanda yang sering ditemukan
adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam dengan
suhu tubuh yang tinggi rasa lesu, rasa nyeri di sendi-sendi, tidak
nafsu makan dan rasa nyeri di telinga (otalgia). Rasa nyeri di
telinga ini karena nyeri alih (referred pain) melalui saraf
1
n.glosofaringeus (n.IX).
b) Pada pemeriksaan tampak tonsil membengkak, hiperemis dan
terdapat detritus berbentuk folikel, lakuna atau tertutup oleh
membran semu, Kelenjar submandibular membengkak dan nyeri
1
tekan.
2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Frekuensi penyakit ini sudah menurun berkat keberhasilan
imunisasi pada bayi dan anak. Penyebab tonsilitis difteri ialah kurnan
Coryne bacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan
hidung di saluran napas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring.
Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit.
Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang.
Titer anti toksin sebesar 0.03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup
rnemberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.
Tonsililis difteri sering ditemukan pada anak berusia kurang dari 10
tahun dan frekuensi tertinggi pada usia 2-5 tahun walaupun pada orang
1
dewasa masih mungkin menderita penyakit ini.

1
Gambar 2.15 tonsilitis difteri
Manifestasi Klinik
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum,
1
gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin.
a) Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan
suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
1
badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.
b) Gejala lokal yang tampak berupa tonsil, membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk membran semu. Membran ini dapat meluas ke palatum
mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester's
1
hals.
c) Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini
akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai
saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
1
pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
b. Tonsilitis septik
Penyebab dari tonsilitrs septik ialah Streptokokus hemolitikus
yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh
karena di lndonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi
sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.
c. Angina plaut vincent (stomatitis ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirohaeta atau triponema
yang didapatkan pada penderita dengan higine mulut yang kurang dan
defisiensi vitamin C.
Manifestasi Klinik
a) demam sampai 39 C, nyeri kepala, badan lemah dan kadang-
kadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah
b) pada pemeriksaan didapatkan mulut dan faring hiperemis, tampak
membran putih keabulan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi,
serta prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar
sub mandibula membesar
3. Tonsilitis Kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan
yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang
buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang
tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi
1
kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif.
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan pedekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.

1
Gambar 2.16 tonsilitis hipertrofi
Manifestasi Klinik
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan
yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus.
Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok
1
dan napas berbau.

7
2.2.6. Faktor Risiko
1. Faktor usia, terutama pada anak.
2. Penurunan daya tahan tubuh.
3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.
5. Riwayat alergi

2.2.7. Diagnosis
a. Anamnesis
7
Keluhan yang biasanya dirasakan oleh pasien adalah :
1) Rasa kering di tenggorokan sebagai gejala awal
2) Nyeri pada tenggorok, terutama saat menelan. Rasa nyeri semakin
lama semakin bertambah sehingga anak menjadi tidak mau makan.
3) Nyeri dapat menyebar sebagai referred pain ke telinga
4) Demam yang dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang pada
bayi dan anak-anak
5) Sakit kepala, badan lesu, dan nafsu makan berkurang.
6) Plummy voice/hot potato voice : suara pasien terdengar seperti orang
yang mulutnya penuh terisi makanan panas.
7) Mulut berbau (foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris
akibat nyeri telan yang hebat (ptialismus).
8) Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh ada penghalang/mengganjal di
tenggorok, tenggorok terasa kering dan pernafasan berbau (halitosis)
9) Pada Angina Plaunt Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) gejala
yang timbul adalah demam tinggi (39ºC), nyeri di mulut, gigi dan
kepala, sakit tenggorokn, badan lemah, gusi mudah berdarah dan
hipersalivasi.
b. Pemeriksaan Fisik
7
1. Tonsilitis akut :
a. Tonsil hipertrofik dengan ukuran ≥ T2
b. Hiperemis dan terdapat detritus di dalam kripti yang memenuhi
permukaan tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau
pseudomembran) yang menutupi ruang antara kedua tonsil
sehingga tampak menyempit. Temuan ini mengarahkan pada
diagnosis banding tonsilitis difteri.
c. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak
udem dan hiperemis.
d. Kelenjar limfe leher dapat membesar dan disertai nyeri tekan.
7
2. Tonsilitis kronik :
a. Tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan berisi detritus.
b. Pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang
mengalami perlengketan.
7
1) Tonsilitis difteri :
a. Tampak tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas
b. Tampak pseudomembran yang melekat erat pada dasar tonsil
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring,
dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan
dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
7,14
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi:
1. T0 : tonsil sudah diangkat
2. T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
atau batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak
pilar anterior uvula
3. T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
atau batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula
sampai ½ jarak pilar anterior-uvula.
4. T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
atau batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula
sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula.
5. T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
atau batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula
sampai uvula atau lebih.

14
Gambar 2.17 gradasi pembesaran tonsil
7
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap
2. Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan Gram

2.2.8. Tata Laksana


Medikamentosa
1. Tonsilitis akut
a. Tonsilitis viral
Istirahat, minum cukup, analgetika / antipiretik (misalnya,
Paracetamol), dan antivirus diberikan bila gejala berat. Antivirus
Metisoprinol diberikan pada infeksi virus dengan dosis
60-100mg/kgBB dibagi dalam 4-6 kali pemberian/hari pada orang
dewasa dan pada anak < 5 tahun diberikan 50mg/kgBB dibagi dalam
7,14
4-6 kali pemberian/hari.
b. Tonsilitis bakterial
Antibiotika spektrum lebar penisilin, eritromisin. Antipiretik dan
obat kumur yang mengandung desinfektan. Bila diduga penyebabnya
Streptococcus group A, diberikan antibiotik yaitu Penisilin G Benzatin
50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal atau Amoksisilin 50 mg/kgBB dosis
dibagi 3 kali/hari selama 10 hari dan pada dewasa 3 x 500 mg selama
6-10 hari atau Eritromisin 4 x 500 mg/hari.
Selain antibiotik juga diberikan Kortikosteroid karena steroid telah
terbukti menunjukkan perbaikan klinis yang dapat menekan reaksi
inflamasi. Steroid yang dapat diberikan berupa Deksametason 3 x 0,5
mg pada dewasa selama 3 hari dan pada anak-anak 0,01 mg/kgBB/hari
dibagi 3 kali pemberian selama 3 hari. Analgetik / antipiretik, misalnya
7,14
Paracetamol dapat diberikan.
2. Tonsilitis Membranosa
a. Tonsilitis difteri
Anti Difteri Serum (ADS) diberikan segera tanpa menunggu hasil
kultur, dengan dosis 20.000-100.000 unit tergantung dari umur dan
beratnya penyakit. Antibiotika Penisilin atau Eritromisin 25-50 mg per
kg berat badan dibagi dalam 3 dosis selama 14 hari. Kortikosteroid 1,2
mg per kg berat badan per hari. Antipiretik untuk simtomatis. Karena
penyakit ini menular, pasien harus diisolasi. Perawatan harus istirahat
7,14
di tempat tidur selama 2-3 minggu.
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis ulseromembranosa)
Antibiotik spektrum luas diberikan selama 1 minggu, dan
7,14
pemberian vitamin C serta vitamin B kompleks.
3. Tonsilitis Kronik
Terapi lokal ditujukan pada higiene mulut dengan berkumur atau obat
isap. Obat kumur antiseptik yang berisi chlorhexidine atau benzydamine
memberikan hasil yang baik dalam mengurangi keluhan nyeri tenggorok
dan memperbaiki gejala. Lidocaine spray secara signfikan dapat
mengurangi keparahan nyeri dalam tiga hari pertama, tetapi tidak dalam 7
7,14
hari pada trial dengan kualitas rendah pada 40 pasien usia 6-14 tahun.

Indikasi dan Kontraindikasi Tonsilektomi Menurut Health Technology


7,14
Assessment Kemenkes tahun 2004, indikasi tonsilektomi, yaitu: Tabel
2.2 indikasi tonsilektomi

7
Kontraindikasi relatif tonsilektomi:
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi atau penyakit sistemik yang berat
3. Anemia
SIGN merekomendasikan tonsilektomi pada severe recurrent sore
throat pada dewasa. Tonsilektomi mengurangi rekurensi pada pasien
dewasa dengan faringitis streptokokus rekuren (level bukti I, derajat
rekomendasi A) dan direkomendasikan untuk nyeri tenggorok severe yang
14
rekuren pada dewasa (level bukti I, derajat rekomendasi A) jika terdapat:
• ≥7 episode dalam satu tahun terakhir;
• ≥5 episode setahun dalam 2 tahun terakhir;
• ≥3 episode setahun dalam 3 tahun terakhir.
Tonsiloadenoidektomi dapat mengurangi episode nyeri tenggorok
secara marginal pada anak-anak (level bukti II, derajat rekomendasi B),
dipertimbangkan apabila terdapat salah satu dari kriteria (level bukti III,
7,14
rekomendasi B):
• ≥7 episode dalam satu tahun terakhir;
• ≥5 episode setahun dalam 2 tahun terakhir;
• ≥3 episode setahun dalam 3 tahun terakhir.
Untuk setiap episode, catatan medik menunjukkan nyeri tenggorok
dan ≥1 dari:
• suhu >38,3°
• limfadenopati servikal
• eksudat tonsiler
• hasil tes positif untuk streptokokus beta-hemolitikus grup A.
Non Medikamentosa
7
Konseling dan Edukasi Memberitahu individu dan keluarga untuk:
1. Menghindari pencetus, termasuk makanan dan minuman yang
mengiritasi
2. Melakukan pengobatan yang adekuat karena risiko kekambuhan cukup
tinggi.
3. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
olahraga teratur.
4. Berhenti merokok.
5. Selalu menjaga kebersihan mulut.
6. Mencuci tangan secara teratur.
7. Rencana Tindak Lanjut Memberikan laporan ke dinas kesehatan
setempat jika terdapat kasus tonsilitis difteri.
Kriteria Rujukan Segera rujuk jika terjadi:
1. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia, meningitis,
glomerulonephritis, demam rematik akut.
2. Adanya indikasi tonsilektomi.
3. Pasien dengan tonsilitis difteri.

2.2.9. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang
16
menderita tonsilitis adalah sebagai berikut:
1) Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil
dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering
terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita
adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat, dan trismus.
16
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
2) Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral
faring sehingga menonjol ke arah medial. Abses dapat dievakuasi
16
melalui insisi servikal.
3) Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil.
Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular
akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat
membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan, selanjutnya dilakukan
16
tonsilektomi.
4) Tonsilitis kronis dengan serangan akut
Biasanya terjadi karena tatalaksana tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Infeksi kronis dapat terjadi pada folikel limfoid tonsil dalam bentuk
mikroabses.
5) Otitis Media Akut
Serangan berulang otitis media akut berkaitan erat dengan serangan
berulang dari tonsilitis akibat infeksi yang menjalar melalui tuba
eustachius.
6) Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta
diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan
magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu
tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi
ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan
menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal
ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau
16
ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
7) Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran
kekuningan di atas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala.
16
Dapat dengan mudah didrainasi.
8) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis. Anti-
streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis
dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta
hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada
tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil
16
menjadi patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis.

2.2.10. Prognosis7
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationm : Bonam
BAB III
KESIMPULAN

1. Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh


virus (40- 60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain.
Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus
pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis setiap tahunnya
2. Gejala dan tanda yang ditimbulkan faringitis tergantung pada
mikroorganisme yang menginfeksi. Secara garis besar faringitis
menunjukkan tanda dan gejala-gejala seperti lemas, anorexia, suhu tubuh
naik, suara serak, kaku dan sakit pada otot leher, faring yang hiperemis,
tonsil membesar, pinggir palatum molle yang hiperemis, kelenjar limfe
pada rahang bawah teraba dan nyeri bila ditekan dan bila dilakukan
pemeriksaan darah mungkin dijumpai peningkatan laju endap darah dan
leukosit. Pada faringitis dapat dijumpai faring yang hiperemis, eksudat,
tonsil yang membesar dan hiperemis, pembesaran kelenjar getah bening di
leher. Anamesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang penting
untuk mendiagnosis faringitis.
3. Terapi faringitis tergantung pada penyebabnya. Bila penyebabnya adalah
bakteri maka diberikan antibiotik dan bila penyebabnya adalah virus maka
cukup diberikan analgetik dan pasien cukup dianjurkan beristirahat dan
mengurangi aktivitasnya. Dengan pengobatan yang adekuat umumnya
prognosis pasien dengan faringitis adalah baik dan umumnya pasien
biasanya sembuh dalam waktu 1-2 minggu.
4. Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian dari
cincin waldeyer. Penyebaran infeksi melalui udara (airbond droplets),
tangan dan ciuman dapat terjadi pada semua umur terutama pada anak.
5. Tonsilitis dapat diklasifikasi menjadi tonsillitis akut, tonsillitis difteri, dan
tonsillitis kronik dengan diagnosis serta penanganan yang berbeda. Rasa
kering di tenggorokan sebagai gejala awal, nyeri pada tenggorok, terutama
saat menelan, nyeri dapat menyebar sebagai referred pain ke telinga,
demam pada bayi dan anak-anak, sakit kepala, badan lesu, dan nafsu
makan berkurang, plummy voice/hot potato voice, mulut berbau (foetor ex
ore) dan ludah menumpuk. Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh ada
penghalang/mengganjal di tenggorok, tenggorok terasa kering dan
pernafasan berbau (halitosis).
6. Penatalaksanaan dari tonsillitis dapat dilakukan secara konservatif maupun
operatif. Terapi konservatif dilakukan untuk mengeliminasi infeksi dan
mengatasi keluhan yang mengganggu. Bila tonsil membesar dan
menyebabkan sumbatan jalan nafas, disfagia berat, gangguan tidur,
terbentuk abses atau tidak berhasil dengan pengobatan konvensional, maka
operasi tonsilektomi perlu dilakukan dengan mempertimbangkan indikasi,
kontraindikasi, serta komplikasi yang mungkin timbul.
DAFTAR PUSTAKA

1. Soepardi EA, Iskandar I, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu


th
kesehatan: telinga hidung tenggorol kepada & leher ed 7 . Fakultas Kedoteran
Universitas Indonesia. 2017.
2. Triadi, Darryl Abdi., I Made Sudipta. Karakteristik kasus faringitis akut di
Rumah Sakit Umum Daerah Wangaya Denpasar periode Januari – Desember
2015. Intisari Sains Medis 2020; 11(1): 245-247.
3. Zuhdi, M., Triola Asman., Teti Vani. Hubungan Antara Usia Dengan Ukuran
Tonsil Pada Tonsilitis Kronis Di Rumah Sakit Islam Siti Rahmah Padang
Sumatera Barat Pada Tahun 2017 -2018. Health & Medical Journal. January
2020; 2(1) :19-28.
4. Snell RS. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. 9th ed. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012.
5. Elhakeem A.A. Adenoid and Tonsils. In: Al-Qahtani A., Haidar H., Larem A.
(eds) Textbook of Clinical Otolaryngology. Springer, Cham. 2021.
6. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktik Klinis: Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Primer. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. 2017
7. Wolford RW, Goyal A, Belgam Syed SY, et al. Pharyngitis. [Updated 2021
May 7]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2021 Jan-. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519550/
8. Dhingra, PL., Shruti Dhingra. Diseases of Ear, Nose and Throat & Head and
Neck Surgery, 6/e. Elsevier, a division of Reed Elsevier India Private Limited.
2014.
9. Wilson A. Pharyngitis. Essential Infectious Disease Topics for Primary Care.
2008:15–24.
10. Lalwani, Anil K. A Lange Medical Book: Current Diagnosis & Treatment In
Otolaryngology—Head & Neck Surgery. 3rd. The McGraw-Hill Companies,
Inc. All rights reserved. United States. 2012.
11. Sykes, Edward & Wu, Vincent & Beyea, Michael & Simpson, Matthew &
Beyea, Jason. Pharyngitis: Approach to diagnosis and treatment. Canadian
family physician Medecin de famille canadien. 66. 2020. 251-257.
12. Campisi, Paolo., dan Ted L. Tewfik. Tonsilitis and its Complications.
London :Elsevier. 2003. 13-16.
13. Anderson J, Paterek E. Tonsillitis. [Updated 2020 Aug 10]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK544342/
14. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
Hk.01.07/Menkes/157/2018 Tentang Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Tonsilitis.
15. Rohn and Dr Gamble. Bacterial-Tonsillitis–Viral-Tonsillitis. [Updated 2021].
Otolaryngology Specialists of North Texas. Available from:
https://www.entkidsadults.com/pediatric-ent/tonsils-and-tonsillectomy/
bacterial-tonsillitis-viral-tonsillitis/
16. Head and Neck Surgery 16th Edition. Chicago : Williams & Wilkins. Pasha,
R. Otolaryngology, Head and Neck Surgery, Clinical Reference Guide.
Singular : Thompson Learning. 2008.

You might also like