Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Wenny Tri Rahmawati
I4061192042
Pembimbing :
dr. Saiful Bahri Bangun, Sp. THT, KL
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul
―Faringitis dan Tonsilitis‖. Referat ini dibuat sebagai salah satu syarat kelulusan
kepaniteraan klinik stase ilmu penyakit THT-KL RSUD dr. Soedarso Pontianak.
Penulisan ini tidak terlepas dari bantuan, dorongan, dukungan, bimbingan
serta dari semua pihak. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada dr. Saiful Bahri Bangun, Sp.
THT-KL selaku pembimbing referat di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD dr.
Soedarso Pontianak yang dengan sabar memberikan bimbingan, kritik, serta saran
yang membangun. Tidak lupa rasa terima kasih juga kami ucapkan kepada para
tenaga medis dan karyawan yang telah membantu selama kami mengikuti
kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit THT-KL RSUD RSUD dr. Soedarso
Pontianak dan berbagai pihak lain yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih banyak kekurangan, maka
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat di harapkan demi
penyempurnaan selanjutnya. Akhirnya semoga penulisan ini bermanfaat bagi
banyak pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya.
2.1. ANATOMI
2.1.1. Faring
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti
corong dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit.
Faring merupakan ruang utama traktus resporatorius dan traktus digestivus.
Kantong fibromuskuler ini mulai dari dasar tengkorak dan terus
menyambung ke esophagus hingga setinggi vertebra servikalis ke-6. Ke
atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana. Ke depan
berhubungan dengan rongga mulut melalui ismus orofaring, sedangkan
dengan laring dibawah berhubungan dengan aditus laring dan ke bawah
berhubungan dengan esophagus. Panjang dinding posterior faring pada
orang dewasa kurang lebih 14 cm; bagian ini merupakan bagian dinding
faring yang terpanjang. Dinding faring dibentuk oleh (dari dalam keluar)
selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia
bukofaringeal. Faring terbagi atas nasofaring, orofaring dan laringofaring
(hipofaring). Unsur-unsur faring meliputi mukosa, palut lendir (mucous
1,4
blanket) dan otot.
a. Mukosa
Bentuk mukosa faring bervariasi, tergantung pada letaknya. Pada
nasofaring karena fungsinya untuk saluran respirasi, maka mukosanya
bersilia, sedang epitelnya torak berlapis yang mengandung sel goblet. Di
bagian bawahnya, yaitu orofaring dan laringofaring, karena fungsinya
untuk saluran cerna, epitelnya gepeng berlapis dan tidak bersilia. Di
sepanjang faring dapat ditemukan banyak sel jaringan limfoid yang
terletak dalam rangkaian jaringan ikat yang termasuk dalam system
retikuloendotelial. Oleh karena itu faring dapat disebut juga daerah
1,4
pertahanan tubuh terdepan.
b. Parut Lendir
Daerah nasofaring dilalui oleh udara pernapasan yang diisap melalui
hidung. Di bagian atas, nasofaring ditutupi oleh palut lendir yang terletak
diatas silia dan bergerak sesuai dengan arah gerak silia ke belakang. Palut
lendir ini berfungsi untuk menangkap partikel kotoran yang terbawa oleh
udara yang diisap. Palut lendir ini mengandung enzim Lyzozyme yang
1
penting untuk proteksi.
c. Otot
Otot-otot faring tersusun dalam lapisan melingkar (sirkular) dan
memanjang (longitudinal). Otot-otot yang sirkular terdiri dari
m.konstriktor faring superior, media, dan inferior. Otot-otot ini terletak
disebelah luar. Otot-otot ini berbentuk kipas dengan tiap bagian bawahnya
menutup sebagian otot bagian atasnya dari belakang. Disebelah depan,
otot-otot ini bertemu satu sama lain dan dibelakang bertemu pada jaringan
bertemu pada jaringan ikat yang disebut ―rafe faring‖ (raphe pharyngis).
Kerja otot konstriktor untuk mengecilkan lumen faring. Otot-otot ini
1
dipersarafi oleh n.vagus (n.X).
Otot-otot yang longitudinal adalah m.stilofaring dan m.palatofaring.
Letak otot-otot ini di sebelah dalam. M.stilofaring gunanya untuk
melebarkan faring dan menarik laring, sedangkan m.palatofaring
mempertemukan ismus orofaring dan menaikkan bagian bawah faring dan
laring. Jadi kedua otot ini bekerja sebagai elevator. Kerja kedua otot itu
penting pada waktu menelan. M.Stilofaring dipersarafi oleh n.IX
sedangkan m.palatofaring dipersarafi oleh n.X. Pada palatum mole
terdapat lima pasang otot yang dijadikan satu dalam satu sarung fasia dari
mukosa yaitu m.levator veli palatini, m.tensor veli palatini,
1
m.palatoglossus, m.palatofaring, dan m.azigos uvula.
M.levator veli palatini membentuk sebagian besar palatum mole dan
kerjanya untuk menyempitkan ismus faring dan memperlebar ostium tuba
Eustachius. Otot ini dipersarafi oleh n.X. M.tensor veli palatini
membentuk tenda palatum mole dan kerjanya untuk mengencangkan
bagian anterior palatum mole dan membuka tuba eustachius. Otot ini
dipersarafi oleh n.X. M.palatoglosus membentuk arkus anterior faring dan
kerjanya menyempitkan ismus faring. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
M.palatofaring membentuk arkus posterior faring. Otot ini dipersarafi oleh
n.X. M.Azigos uvula merupakan otot yang kecil, kerjanya memperpendek
1
dan menaikkan uvula ke belakang atas. Otot ini dipersarafi oleh n.X.
4
Gambar 2.2 otot otot faring
d. Perdarahan
Faring mendapat darah dari beberapa sumber dan kadang-kadang
tidak beraturan. Yang utama berasal dari cabang a.karotis eksterna (cabang
faring asendens dan cabang fausial) serta dari cabang a.maksila interna
1,4
yakni cabang palatine superior.
e. Persarafan
Persarafan motorik dan sensorik daerah faring berasal dari pleksus
faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk oleh cabang faring dari n.vagus,
cabang dari n.glosofaring dan serabut simpatis. Cabang faring dari n.vagus
berisi serabut motorik. Dari pleksus faring yang ekstensif ini
keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali m.stilofaring yang
1
dipersarafi langsung oleh cabang n.glosofaring (n.IX).
f. Kelenjar Getah Bening
Aliran limfa dari dinding faring dapat melalui 3 saluran, yakni
superior, media dan inferior. Saluran limfa superior mengalir ke kelenjar
getah bening retrofiring dan kelenjar getah bening servikal dalam atas.
Saluran limfa media mengalir ke kelenjar getah bening jugulo-digastrik
dan kelenjar servikal dalam atas, sedangkan saluran limfa inferior
1
mengalir ke kelenjar getah bening servikal dalam bawah.
4
Gamba 2.1 anatomi faring
1,4
Berdasarkan letaknya faring dibagi atas :
1. Nasofaring
Batas nasofaring di bagian atas adalah dasar tengkorak, di bagian
bawah adalah palatum mole, ke depan adalah rongga hidung sedangkan ke
belakang adalah vertebra servikal. Nasofaring yang relatif kecil
mengandung serta berhubungan erat dengan beberapa struktur penting
seperti adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral faring dengan
resesus faring yang disebut fossa Rosenmuller, kantong ranthke, yang
merupakan invaginasi struktur embrional hipofisis serebri, torus tubarius,
suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan kartilago tuba Eustachius,
koana, foramen jugulare, yang dilalui oleh Nervus Glossopharyngeus,
Nervus Vagus dan Nervus Asesorius spinal saraf cranial dan vena
jugularis interna, bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan
1
muara tuba Eustachius.
2. Orofaring
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah
palatum mole, batas bawah adalah tepi atas epiglotis ke depan adalah
rongga mulut sedangkan ke belakang adalah vertebra servikalis. Struktur
yang terdapat di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil
palatine, fosa tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, tonsil
1
lingual dan foramen sekum.
3. Laringofaring
Batas laringofaring di sebelah superior adalah tepi atas epiglottis,
batas anterior ialah laring, batas inferior ialah esophagus, sertas batas
posterior adalah vertebra servikal. Bila laringofaring diperiksa dengan
kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan
laringoskop pada pemeriksaan laring langsung, maka struktur pertama
yang tampak dibawah dasar lidah ialah valekula. Di bawah valekula
terdapat epiglotis. Epiglotis berfungsi juga untuk melindungi proteksi
glotis ketika menelan atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju
1
ke sinus piriformis dan ke esofagus.
4
Gambar 2.3 Penampang sagital kepala dan leher
2.1.2. Tonsil
Tonsil merupakan struktur yang terdapat di orofaring. Tonsil adalah
massa terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh jaringan ikat dengan
kriptus di dalamnya. Terdapat 3 macam tonsil yaitu tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatine dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya
1
membentuk lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.
Tonsil palatine yang biasanya disebut tonsil saja terletak di dalam fosa
tonsil. Pada kutub atas tonsil seringkali ditemukan celah intratonsil yang
merupakan sisa kantong faring yang kedua. Kutub bawah tonsil biasanya
melekat pada dasar lidah. Permukaan medial tonsil bentuknya beraneka
ragam dan mempunyai celah yang disebut kriptus. Di dalam kriptus
biasanya ditemukan leukosit, limfosit, epitel yang terlepas, bakteri dan sisa
makanan. Permukaan lateral tonsil melekat pada fasia faring yang sering
juga disebut kapsul tonsil. Kapsul ini tidak melekat erat pada otot faring,
sehingga mudah dilakukan diseksi pada tonsilektomi. Tonsil mendapat
darah dari a. palatine minor, a. palatine asendens, cabang tonsil a. lingualis
dorsal. Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh
papilla sirkumvalata. Tempat ini kadang-kadang menunjukkan penjalaran
dukts triglosus dan secara klinik merupakan tempat penting bila ada massa
1
tiroid lingual (lingual thyroid) atau kista duktus tiroglosus.
5
Gambar 2.4 cincin waldayer
4
Gambar 2.5 rongga mulut
2.2. FARINGITIS
2.2.1. Definisi
Faringitis merupakan peradangan dinding faring yang disebabkan oleh
virus (40- 60%), bakteri (5-40%), alergi, trauma, iritan, dan lain-lain.
Anak-anak dan orang dewasa umumnya mengalami 3-5 kali infeksi virus
6
pada saluran pernafasan atas termasuk faringitis setiap tahunnya.
2.2.2. Etiologi
Sekitar 50% hingga 80% faringitis, atau sakit tenggorokan, gejalanya
berasal dari virus dan mencakup berbagai patogen virus. Patogen ini
didominasi oleh rhinovirus, influenza, adenovirus, coronavirus, dan
parainfluenza. Patogen virus yang kurang umum termasuk herpes, virus
Epstein-Barr, human immunodeficiency virus (HIV), dan coxsackievirus.
Kasus yang lebih parah cenderung bakteri dan dapat berkembang setelah
7
infeksi virus awal.
Infeksi bakteri yang paling umum adalah streptococcus beta-hemolitik
grup A, yang menyebabkan 5% hingga 36% kasus faringitis akut. Etiologi
bakteri lainnya termasuk streptokokus Grup B & C, Chlamydia
pneumoniae, Mycoplasma pneumoniae, Haemophilus influenzae, Candida,
Neisseria meningitidis, Neisseria gonorrhoeae, Arcanobacterium
haemolyticum, Fusobacterium necrophorum, dan Corynebacterium
diphtheriae. Alergi lingkungan dan paparan bahan kimia juga dapat
menyebabkan faringitis akut. Gejala faringitis juga dapat menjadi bagian
dari kompleks gejala penyakit serius lainnya, termasuk abses peritonsillar,
7
abses retrofaring, epiglotitis, dan penyakit Kawasaki. Tabel 2.1 penyebab
8
faringitis
2.2.3. Epidemiologi
Faringitis merupakan penyakit umum pada dewasa dan anak-anak.
National Ambulatory Medical Care Survey dan National Hospital
Ambulatory Medical Care Survey telah mendokumentasikan antara 6,2 –
9,7 juta kunjungan anak-anak dengan faringitis ke klinik dan UGD (Unit
Gawat Darurat) setiap tahun, dan lebih dari 5 juta kunjungan orang dewasa
per tahun. Frekuensi munculnya faringitis lebih sering pada populasi anak-
anak. Kira-kira 15-30% kasus faringitis pada anak-anak usia sekolah dan
2
10% kasus faringitis pada orang dewasa.
2.2.4. Patogenesis
Faringitis adalah peradangan pada faring yang dapat menyebabkan
sakit tenggorokan. Agen etiologi ditularkan melalui kontak orang ke
orang, kemungkinan besar melalui tetesan sekret hidung atau air liur.
Gejala sering muncul setelah masa inkubasi mulai dari 1 sampai 5 hari,
dan paling sering terjadi pada musim dingin atau awal musim semi. Wabah
faringitis dapat terjadi di rumah atau ruang kelas, dan, jarang, mungkin
9
terkait dengan makanan atau sumber hewani.
Bakteri penyebab faringitis yang paling umum, GABHS, juga dikenal
sebagai Streptococcus pyogenes dan mungkin ada sebagai kokus gram
positif tunggal, berpasangan, atau berantai. Bakteri ini memiliki protein M,
faktor virulensi kuat yang menghambat fagositosis bakteri, serta kapsul
asam hialuronat yang meningkatkan kemampuannya untuk menyerang
jaringan. Eksotoksin ganda dan dua hemolisin (Streptolysin S dan
Streptolysin O) semakin meningkatkan virulensi GABHS. Kokus dapat
dideteksi pada biakan (tumbuh pada agar darah), tes aglutinasi lateks, atau
9
tes cepat menggunakan antibodi monoklonal berlabel.
1
Gambar 2.6 faringitis viral
1,8
Manifestasi Klinis
a) Demam disertai rinorea, mual, nyeri tenggorok, dan sulit menelan.
b) Pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis.
c) Virus influenza, coxsachievirus dan cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat.
d) Coxachieirus dapat rnenimbulkan lesi vesikular di orofaring dan
lesi kulit berupa maculopapular rash.
e) Adenovirus selain menimbulkan gejala faringitis, juga
menimbulkan gejala konjungtivitis terutama pada anak.
f) Epstein Barr Virus (EBV) menyebabkan faringitis yang disertai
produksi eksudat pada faring yang banyak. Terdapat pembesaran
kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama retroservikal dan
hepatosplenomegali.
g) Faringitis yang disebabkan HIV-1 menimbulkan keluhan nyeri
tenggorok, nyeri menelan, mual, dan demam. Pada pemeriksaan
tampak faring hiperemis, terdapat eksudat, limfadenopati akut di
leher dan pasien tampak lemah.
b. Faringitis Bakterial
lnfeksi grup A Streptokokus hemolitikus merupakan penyebab
1,8,10
faringitis akut pada orang dewasa (15%) dan pada anak (30%).
11
Gambar 2.9 perbedaan faringitis viral, bakteri, dan fungal
d. Faringitis Gonorea
1,8,10
Hanya terdapat pada pasien yang melakukan kontak orogenital.
1,8
Gambar 2.10 faringitis gonorea
2. Faringitis Kronik
Terdapat 2 bentuk yaitu faringitis kronik hiperplastik dan faringitis
kronik atrofi. Faktor predisposisi proses radang kronik di faring ini ialah
rinitis kronik, sinusitis, iritasi kronik oleh rokok, minum alkohol, inhalasi
uap yang merangsang mukosa faring dan debu. Faktor lain penyebab
terjadinya faringitis kronik adalah pasien yang biasa benapas melalui
1
mulut karena hidungnya tersumbat.
a. Faringitis kronik hiperplastik
Pada faringitis kronik hiperplastik terjadi perubahan mukosa
dinding posterior faring. Tampak kelenjar limfa di bawah mukosa
faring dan lateral band hiperplasi. Pada pemeriksaan tampak mukosa
1
dinding posterior tidak rata, bergranular.
8
Gambar 2.11 faringitis granular
Manifestasi Klinis
Pasien mengeluh mula-mula tenggorok kering gatal dan
1
akhirnya batuk yang berdahak.
b. Faringitis kronik atrofi
Faringitis kronik atrofi sering timbul bersamaan dengan rinitis
atrofi. Pada rinitis atrofi, udara penapasan tidak diatur suhu serta
kelembabannya, sehingga menimbulkan rangsangan serta infeksi pada
1,8
faring.
1
Manifestasi Klinis
a) Pasien mengeluh tenggorok kering dan tebal serta mulut berbau.
b) Pada pemeriksaan tampak mukosa faring ditutupi oleh lendir yang
kental dan bila diangkat tampak mukosa kering.
2.2.7. Diagnosis
a. Anamnesis
7
Keluhan
1. Nyeri tenggorokan, terutama saat menelan
2. Demam
3. Sekret dari hidung
4. Dapat disertai atau tanpa batuk
5. Nyeri kepala
6. Mual
7. Muntah
8. Rasa lemah pada seluruh tubuh
9. Nafsu makan berkurang
10. Manifestasi klinis khas dapat juga ditemukan berdasarkan jenisnya
7
b. Pemeriksaan fisik
1. Faringitis viral, pada pemeriksaan tampak faring dan tonsil hiperemis,
eksudat (virus influenza, coxsachievirus, cytomegalovirus tidak
menghasilkan eksudat). Pada coxsachievirus dapat timbul lesi
vesikular di orofaring dan lesi kulit berupa maculopapular rash.
2. Faringitis bakterial, pada pemeriksaan tampak tonsil membesar, faring
dan tonsil hiperemis dan terdapat eksudat di permukaannya. Beberapa
hari kemudian timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.
Kadang ditemukan kelenjar limfa leher anterior membesar, kenyal dan
nyeri pada penekanan.
3. Faringitis fungal, pada pemeriksaan tampak plak putih di orofaring dan
pangkal lidah, sedangkan mukosa faring lainnya hiperemis.
4. Faringitis kronik hiperplastik, pada pemeriksaan tampak kelenjar limfa
di bawah mukosa faring dan hiperplasia lateral band. Pada
pemeriksaan tampak mukosa dinding posterior tidak rata dan
bergranular (cobble stone).
5. Faringitis kronik atrofi, pada pemeriksaan tampak mukosa faring
ditutupi oleh lendir yang kental dan bila diangkat tampak mukosa
kering.
6. Faringitis tuberkulosis, pada pemeriksaan tampak granuloma perkejuan
pada mukosa faring dan laring.
7. Faringitis luetika tergantung stadium penyakit:
a) Stadium primer Pada lidah palatum mole, tonsil, dan dinding
posterior faring berbentuk bercak keputihan. Bila infeksi berlanjut
timbul ulkus pada daerah faring seperti ulkus pada genitalia yaitu
tidak nyeri. Juga didapatkan pembesaran kelenjar mandibula
b) Stadium sekunder Stadium ini jarang ditemukan. Pada dinding
faring terdapat eritema yang menjalar ke arah laring.
c) Stadium tersier Terdapat guma. Predileksi pada tonsil dan palatum.
7
c. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan darah lengkap
2. Pemeriksaan mikroskopik dengan pewarnaan Gram
3. Pada dugaan adanya infeksi jamur, dapat dilakukan dengan
pemeriksaan mikroskopik swab mukosa faring dengan pewarnaan
KOH
2.2.9. Komplikasi
Komplikasi dari faringitis yaitu sinusitis, otitis media, epiglotitis,
mastoiditis, pneumonia, abses peritonsilar, abses retrofaringeal. Selain itu
juga dapat terjadi komplikasi lain berupa septikemia, meningitis,
glomerulonefritis, demam rematik akut. Hal ini terjadi secara
8
perkontuinatum, limfogenik maupun hematogenik.
2.2.10. Prognosis7
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Bonam
2.3. TONSILITIS
2.2.1. Definisi
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatina yang merupakan bagian
dari cincin Waldeyer. Tonsilitis disebabkan peradangan pada tonsil yang
diakibatkan oleh bakteri, virus, dan jamur. Tonsilitis adalah peradangan
tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Cincin
Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam
rongga mulut yaitu : tonsil faringeal ( adenoid ), tonsil palatina ( tosil
faucial), tonsil lingual ( tosil pangkal lidah ), tonsil tuba Eustachius
( lateral band dinding faring / Gerlach’s tonsil. Penyebaran infeksi melalui
udara (air borne droplets), tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua
1,12
umur, terutama pada anak.
2.2.2. Etiologi
Tonsilitis umumnya merupakan hasil dari infeksi, dapat berupa virus
atau bakteri. Etiologi virus adalah yang paling umum. Penyebab virus
yang paling umum biasanya yang menyebabkan common cold, termasuk
rhinovirus, virus pernapasan syncytial, adenovirus, dan coronavirus. Virus
ini biasanya memiliki virulensi rendah dan jarang menyebabkan
komplikasi. Penyebab virus lainnya seperti Epstein-Barr (menyebabkan
mononukleosis), cytomegalovirus, hepatitis A, rubella, dan HIV juga dapat
13
menyebabkan tonsilitis.
Infeksi bakteri biasanya disebabkan oleh grup A beta-hemolytic
Streptococcus (GABHS), tetapi Staphylococcus aureus, Streptococcus
pneumoniae, dan Haemophilus influenza juga telah dikultur. Tonsilitis
bakteri dapat disebabkan oleh patogen aerobik dan anaerobik. Pada pasien
yang tidak divaksinasi, Corynebacterium diphtheriae yang menyebabkan
difteri bahkan harus dipertimbangkan sebagai etiologi. Pada pasien yang
aktif secara seksual, HIV, sifilis, gonore, dan klamidia mungkin sebagai
penyebab tambahan. Tuberkulosis juga terlibat dalam tonsilitis berulang,
13
dan dokter harus menilai risiko pasien.
2.2.3. Epidemiologi
Sekitar 2% dari kunjungan pasien rawat jalan di Amerika Serikat
adalah karena sakit tenggorokan. Meskipun lebih sering terjadi di musim
dingin dan awal musim semi, penyakit ini dapat terjadi kapan saja
sepanjang tahun. GABHS menyumbang 5% hingga 15% orang dewasa
dengan faringitis dan 15% hingga 30% pasien antara usia 5-15 tahun.
Etiologi virus lebih sering terjadi pada pasien balita. GABHS jarang terjadi
13
pada anak di bawah usia dua tahun.
Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan RI tahun 2012 , angka
kejadian penyakit tonsilitis di Indonesia sekitar 23%. Berdasarkan data
epidemiologi penyakit THT di tujuh provinsi di Indonesia pada bulan
September tahun 2012, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8%. Menurut
Nurjannah tahun 2011, distribusi proporsi penderita tonsillitis kronis di
Medan pada tahun 2007 – 2010 berdasarkan usia terjadi paling banyak
pada kelompok usia 11 – 20 tahun yaitu sebesar 40%. Berdasarkan jenis
kelamin terbanyak pada pria yaitu 18 sample 51,4 % dan ukuran tonsil T3
3
sebesar 47,1%.
2.2.4. Patogenesis
Patogenesis infeksi dan inflamasi pada tonsil dan adenoid dipengaruhi
oleh lokasi tonsil yang letaknya di orofaring, nasofaring dan dasar lidah
membentuk suatu cincin pertahanan imunitas (Waldeyer’s ring). Organ ini
akan memproses antigen virus, bakteri dan mikroorganisme lain, sehingga
mudah terkena infeksi dan pada akhirnya dapat menjadi fokus infeksi. Infeksi
virus yang diikuti infeksi bakteri sekunder mungkin merupakan salah satu
mekanisme dari infeksi akut menjadi infeksi kronis, tetapi hal ini juga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan (lingkungan padat seperti militer, sekolah,
dan keluarga), pejamu, alergi dan penggunaan antibiotik yang luas serta gizi.
Saat bakteri atau virus memasuki tubuh melalui hidung atau mulut, tonsil
berperan sebagai filter. Bakteri atau virus menginfeksi lapisan epitel tonsil.
Proses peradangan dan infeksi pada tonsil memicu pengeluaran leukosit
polimorfonuklear yang akan membentuk detritus bersama dengan kumpulan
leukosit, bakteri yang mati, dan epitel yang terlepas. Dari gambaran klinis,
detritus akan mengisi kripte tonsil dan nampak sebagai bercak kekuningan.
Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap infeksi yang
akan datang, akan tetapi kadang-kadang tonsil sudah kelelahan menahan
infeksi atau virus yang berulang. Pada kasus infeksi yang berulang, lapisan
epitel mukosa dan jaringan limfoid tonsil menjadi terkikis. Proses
penyembuhan jaringan limfoid diganti dengan jaringan parut. Jaringan ini
akan mengerut sehingga ruang antara kelompok kripte melebar yang akan
diisi oleh detritus. Proses ini meluas hingga menembus kapsul dan akhirnya
timbul perlekatan dengan jaringan sekitar fossa tonsilaris. Saat pemeriksaan
ditemukan tonsil membesar dengan permukaan tidak rata, kripte membesar
14
dan terisi detritus.
Kasus nyeri tenggorok paling sering disebabkan oleh group A beta-
hemolytic Streptococcus (GABHS). Bakteri ini merupakan penyebab tersering
ada faringitis akut pada 15-30% kasus anak-anak dan 5-10% kasus dewasa.
GABHS ini memiliki lebih dari 80 serotipe berdasarkan protein M.
Patogenesis GABHS antara lain adanya faktor virulensi yang menghambat
fagositosis, yaitu protein M yang mengikat faktor H, serta kapsul hialuronik.
Selain itu, pili yang disertai lipoteichoic acid melekat pada epitelium faringeal
yang kemudian membentuk kolonisasi. GABHS juga mensekresikan toksin
multipel seperti eksotoksin pirogenik, DNase, hialuronidase, streptokinase
(fibrinolisin), streptolisin O dan S (hemolisin), peptidase C5a, dan Fc binding
protein. Risiko transmisi GABHS berdasarkan review sistematik
menunjukkan risiko rendah (<10%) dan sedang (10%-30%) pada kontak
dekat. GABHS memiliki periode inkubasi 12 jam sampai dengan 5 hari.
Apabila dibiarkan tanpa terapi, infeksi GABHS dapat sembuh sendiri dalam
14
1-12 bulan dan <4 bulan bila diterapi.
2.2.5. Klasifikasi dan Manifestasi Klinis
1. Tonsilitis akut
1
Gambar 2.15 tonsilitis difteri
Manifestasi Klinik
Gambaran klinik dibagi dalam 3 golongan yaitu gejala umum,
1
gejala lokal dan gejala akibat eksotoksin.
a) Gejala umum seperti juga gejala infeksi lainnya yaitu kenaikan
suhu tubuh biasanya subfebris, nyeri kepala, tidak nafsu makan,
1
badan lemah, nadi lambat serta keluhan nyeri menelan.
b) Gejala lokal yang tampak berupa tonsil, membengkak ditutupi
bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan bersatu
membentuk membran semu. Membran ini dapat meluas ke palatum
mole, uvula, nasofaring, laring, trakea dan bronkus dan dapat
menyumbat saluran napas. Membran semu ini melekat erat pada
dasarnya, sehingga bila diangkat akan mudah berdarah. Pada
perkembangan penyakit ini bila infeksinya berjalan terus, kelenjar
limfa leher akan membengkak sedemikian besarnya sehingga leher
menyerupai leher sapi (bull neck) atau disebut juga Burgemeester's
1
hals.
c) Gejala akibat eksotoksin yang dikeluarkan oleh kuman difteri ini
akan menimbulkan kerusakan jaringan tubuh yaitu pada jantung
dapat terjadi miokarditis sampai decompensatio cordis, mengenai
saraf kranial menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot-otot
1
pernapasan dan pada ginjal menimbulkan albuminuria.
b. Tonsilitis septik
Penyebab dari tonsilitrs septik ialah Streptokokus hemolitikus
yang terdapat dalam susu sapi sehingga dapat timbul epidemi. Oleh
karena di lndonesia susu sapi dimasak dulu dengan cara pasteurisasi
sebelum diminum maka penyakit ini jarang ditemukan.
c. Angina plaut vincent (stomatitis ulseromembranosa)
Penyebab penyakit ini adalah bakteri spirohaeta atau triponema
yang didapatkan pada penderita dengan higine mulut yang kurang dan
defisiensi vitamin C.
Manifestasi Klinik
a) demam sampai 39 C, nyeri kepala, badan lemah dan kadang-
kadang terdapat gangguan pencernaan. Rasa nyeri di mulut,
hipersalivasi, gigi dan gusi mudah berdarah
b) pada pemeriksaan didapatkan mulut dan faring hiperemis, tampak
membran putih keabulan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi,
serta prosesus alveolaris, mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar
sub mandibula membesar
3. Tonsilitis Kronik
Faktor predisposisi timbulnya tonsilitis kronik ialah rangsangan
yang menahun dari rokok, beberapa jenis makanan, higiene mulut yang
buruk, pengaruh cuaca, kelelahan fisik dan pengobatan tonsilitis akut yang
tidak adekuat. Kuman penyebabnya sama dengan tonsilitis akut tetapi
1
kadang-kadang kuman berubah menjadi kuman golongan Gram negatif.
Karena proses radang berulang yang timbul maka selain epitel
mukosa juga jaringan limfoid terkikis, sehingga pada proses penyembuhan
jaringan limfoid diganti oleh jaringan parut yang akan mengalami
pengerutan sehingga kripti melebar. Secara klinik kripti ini tampak diisi
oleh detritus. Proses berjalan terus sehingga menembus kapsul tonsil dan
akhirnya menimbulkan pedekatan dengan jaringan di sekitar fosa
tonsilaris. Pada anak proses ini disertai dengan pembesaran kelenjar limfa
submandibula.
1
Gambar 2.16 tonsilitis hipertrofi
Manifestasi Klinik
Pada pemeriksaan tampak tonsil membesar dengan permukaan
yang tidak rata, kriptus melebar dan beberapa kripti terisi oleh detritus.
Rasa ada yang mengganjal di tenggorok, dirasakan kering di tenggorok
1
dan napas berbau.
7
2.2.6. Faktor Risiko
1. Faktor usia, terutama pada anak.
2. Penurunan daya tahan tubuh.
3. Rangsangan menahun (misalnya rokok, makanan tertentu).
4. Higiene rongga mulut yang kurang baik.
5. Riwayat alergi
2.2.7. Diagnosis
a. Anamnesis
7
Keluhan yang biasanya dirasakan oleh pasien adalah :
1) Rasa kering di tenggorokan sebagai gejala awal
2) Nyeri pada tenggorok, terutama saat menelan. Rasa nyeri semakin
lama semakin bertambah sehingga anak menjadi tidak mau makan.
3) Nyeri dapat menyebar sebagai referred pain ke telinga
4) Demam yang dapat sangat tinggi sampai menimbulkan kejang pada
bayi dan anak-anak
5) Sakit kepala, badan lesu, dan nafsu makan berkurang.
6) Plummy voice/hot potato voice : suara pasien terdengar seperti orang
yang mulutnya penuh terisi makanan panas.
7) Mulut berbau (foetor ex ore) dan ludah menumpuk dalam kavum oris
akibat nyeri telan yang hebat (ptialismus).
8) Pada tonsilitis kronik, pasien mengeluh ada penghalang/mengganjal di
tenggorok, tenggorok terasa kering dan pernafasan berbau (halitosis)
9) Pada Angina Plaunt Vincent (Stomatitis ulseromembranosa) gejala
yang timbul adalah demam tinggi (39ºC), nyeri di mulut, gigi dan
kepala, sakit tenggorokn, badan lemah, gusi mudah berdarah dan
hipersalivasi.
b. Pemeriksaan Fisik
7
1. Tonsilitis akut :
a. Tonsil hipertrofik dengan ukuran ≥ T2
b. Hiperemis dan terdapat detritus di dalam kripti yang memenuhi
permukaan tonsil baik berbentuk folikel, lakuna, atau
pseudomembran) yang menutupi ruang antara kedua tonsil
sehingga tampak menyempit. Temuan ini mengarahkan pada
diagnosis banding tonsilitis difteri.
c. Palatum mole, arkus anterior dan arkus posterior juga tampak
udem dan hiperemis.
d. Kelenjar limfe leher dapat membesar dan disertai nyeri tekan.
7
2. Tonsilitis kronik :
a. Tampak tonsil membesar dengan permukaan yang tidak rata,
kriptus melebar dan berisi detritus.
b. Pembesaran kelenjar limfe submandibula dan tonsil yang
mengalami perlengketan.
7
1) Tonsilitis difteri :
a. Tampak tonsil membengkak ditutupi bercak putih kotor yang
makin lama makin meluas
b. Tampak pseudomembran yang melekat erat pada dasar tonsil
sehingga bila diangkat akan mudah berdarah.
Berdasarkan rasio perbandingan tonsil dengan orofaring,
dengan mengukur jarak antara kedua pilar anterior dibandingkan
dengan jarak permukaan medial kedua tonsil, maka gradasi
7,14
pembesaran tonsil dapat dibagi menjadi:
1. T0 : tonsil sudah diangkat
2. T1 : <25% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
atau batas medial tonsil melewati pilar anterior sampai ¼ jarak
pilar anterior uvula
3. T2 : 25-50% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
atau batas medial tonsil melewati ¼ jarak pilar anterior-uvula
sampai ½ jarak pilar anterior-uvula.
4. T3 : 50-75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
atau batas medial tonsil melewati ½ jarak pilar anterior-uvula
sampai ¾ jarak pilar anterior-uvula.
5. T4 : >75% volume tonsil dibandingkan dengan volume orofaring
atau batas medial tonsil melewati ¾ jarak pilar anterior-uvula
sampai uvula atau lebih.
14
Gambar 2.17 gradasi pembesaran tonsil
7
c. Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap
2. Swab tonsil untuk pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan Gram
7
Kontraindikasi relatif tonsilektomi:
1. Gangguan perdarahan
2. Risiko anestesi atau penyakit sistemik yang berat
3. Anemia
SIGN merekomendasikan tonsilektomi pada severe recurrent sore
throat pada dewasa. Tonsilektomi mengurangi rekurensi pada pasien
dewasa dengan faringitis streptokokus rekuren (level bukti I, derajat
rekomendasi A) dan direkomendasikan untuk nyeri tenggorok severe yang
14
rekuren pada dewasa (level bukti I, derajat rekomendasi A) jika terdapat:
• ≥7 episode dalam satu tahun terakhir;
• ≥5 episode setahun dalam 2 tahun terakhir;
• ≥3 episode setahun dalam 3 tahun terakhir.
Tonsiloadenoidektomi dapat mengurangi episode nyeri tenggorok
secara marginal pada anak-anak (level bukti II, derajat rekomendasi B),
dipertimbangkan apabila terdapat salah satu dari kriteria (level bukti III,
7,14
rekomendasi B):
• ≥7 episode dalam satu tahun terakhir;
• ≥5 episode setahun dalam 2 tahun terakhir;
• ≥3 episode setahun dalam 3 tahun terakhir.
Untuk setiap episode, catatan medik menunjukkan nyeri tenggorok
dan ≥1 dari:
• suhu >38,3°
• limfadenopati servikal
• eksudat tonsiler
• hasil tes positif untuk streptokokus beta-hemolitikus grup A.
Non Medikamentosa
7
Konseling dan Edukasi Memberitahu individu dan keluarga untuk:
1. Menghindari pencetus, termasuk makanan dan minuman yang
mengiritasi
2. Melakukan pengobatan yang adekuat karena risiko kekambuhan cukup
tinggi.
3. Menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi makan bergizi dan
olahraga teratur.
4. Berhenti merokok.
5. Selalu menjaga kebersihan mulut.
6. Mencuci tangan secara teratur.
7. Rencana Tindak Lanjut Memberikan laporan ke dinas kesehatan
setempat jika terdapat kasus tonsilitis difteri.
Kriteria Rujukan Segera rujuk jika terjadi:
1. Komplikasi tonsilitis akut: abses peritonsiler, septikemia, meningitis,
glomerulonephritis, demam rematik akut.
2. Adanya indikasi tonsilektomi.
3. Pasien dengan tonsilitis difteri.
2.2.9. Komplikasi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang
16
menderita tonsilitis adalah sebagai berikut:
1) Abses peritonsil
Infeksi dapat meluas menuju kapsul tonsil dan mengenai jaringan
sekitarnya. Abses biasanya terdapat pada daerah antara kapsul tonsil
dan otot-otot yang mengelilingi faringeal bed. Hal ini paling sering
terjadi pada penderita dengan serangan berulang. Gejala penderita
adalah malaise yang bermakna, odinofagi yang berat, dan trismus.
16
Diagnosa dikonfirmasi dengan melakukan aspirasi abses.
2) Abses parafaring
Gejala utama adalah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar
angulus mandibula, demam tinggi, dan pembengkakan dinding lateral
faring sehingga menonjol ke arah medial. Abses dapat dievakuasi
16
melalui insisi servikal.
3) Abses intratonsilar
Merupakan akumulasi pus yang berada dalam substansi tonsil.
Biasanya diikuti dengan penutupan kripta pada Tonsilitis Folikular
akut. Dijumpai nyeri lokal dan disfagia yang bermakna. Tonsil terlihat
membesar dan merah. Penatalaksanaan yaitu dengan pemberian
antibiotika dan drainase abses jika diperlukan, selanjutnya dilakukan
16
tonsilektomi.
4) Tonsilitis kronis dengan serangan akut
Biasanya terjadi karena tatalaksana tonsilitis akut yang tidak adekuat.
Infeksi kronis dapat terjadi pada folikel limfoid tonsil dalam bentuk
mikroabses.
5) Otitis Media Akut
Serangan berulang otitis media akut berkaitan erat dengan serangan
berulang dari tonsilitis akibat infeksi yang menjalar melalui tuba
eustachius.
6) Tonsilolith (kalkulus tonsil)
Tonsilolith dapat ditemukan pada Tonsilitis Kronis bila kripta
diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan
magnesium kemudian tersimpan yang memicu terbentuknya batu. Batu
tersebut dapat membesar secara bertahap dan kemudian dapat terjadi
ulserasi dari tonsil. Tonsilolith lebih sering terjadi pada dewasa dan
menambah rasa tidak nyaman lokal atau foreign body sensation. Hal
ini didiagnosa dengan mudah dengan melakukan palpasi atau
16
ditemukannya permukaan yang tidak rata pada perabaan.
7) Kista tonsilar
Disebabkan oleh blokade kripta tonsil dan terlihat sebagai pembesaran
kekuningan di atas tonsil. Sangat sering terjadi tanpa disertai gejala.
16
Dapat dengan mudah didrainasi.
8) Fokal infeksi dari demam rematik dan glomerulonefritis. Anti-
streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita Glomerulonefritis
dan 33% diantaranya mendapatkan kuman Streptokokus beta
hemolitikus pada swab tonsil yang merupakan kuman terbanyak pada
tonsil dan faring. Hasil ini megindikasikan kemungkinan infeksi tonsil
16
menjadi patogenesa terjadinya penyakit Glomerulonefritis.
2.2.10. Prognosis7
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationm : Bonam
BAB III
KESIMPULAN