You are on page 1of 13

Pemda Harus Maksimalkan Belanjakan Anggaran

APBD sebagai dokumen daerah yang memuat kebijakan anggaran perlu mendapatkan
perhatian dan penelaahan yang serius, karena APBD memuat fungsi distribusi anggaran. Salah
satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan APBD adalah keberpihakan kepada
rakyat banyak dan mempertimbangkan aspek kemampuan daerah, serta mampu menggambarkan
upaya-upaya yang dilakukan pemerintah untuk memajukan daerah. Prinsip-prinsip transparansi,
partisipasi, akuntabilitas, dan kesejahteraan merupakan prasyarat wajib terwujudnya APBD yang
pro rakyat, mulai dari proses perencanaan sampai pelaksanaan, monitoring dan evalasi, sehingga
prinsp tersebut wajib dilaksanakan.

Pada tahun anggaran 2012, data dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), rata-rata
belanja pegawai sebesar 42% dari APBD provinsi, kabupaten dan kota. Sedangkan porsi belanja
barang dan jasa sebesar 20%, serta belanja modal 22%. Sehingga, APBD setiap daerah
cenderung banyak dikuasai untuk membayar gaji Pegawai Negara Sipil (PNS) dan berbagai
kegiatan PNS dibandingkan belanja infrastruktur. Apalagi, pada Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN), pemerintah menargetkan porsi belanja modal dalam APBD
sebesar 29% pada 2013 dan 30% pada 2014. Maka, perlu adanya pengendalian belanja
pemerintah daerah dalam porsi untuk belanja pegawai, belanja modal serta belanja barang dan
jasa.

Sementara, hingga awal November 2013, Kemendagri mencatat penyerapan anggaran


pemda di seluruh Indonesia rata-rata hanya 68%. Padahal tahun ini Pemerintah Pusat sudah
mentransfer dana sebesar Rp 529.40 triliun ke daerah. Mendagri, Gamawan Fauzi mengatakan,
rendahnya belanja anggaran pemda tersebut dikarenakan pemda kurang berani memutuskan
penggunaan dana dan masih menunggu petunjuk teknis dari Pemerintah Pusat, untuk dana
program dekonsentrasi. Dana Dekonsentrasi adalah alokasi anggaran dari APBN yang
penugasannya diberikan kepada gubernur.

Sedangkan anggaran untuk belanja modal seperti untuk pembangunan infrastruktur jalan,
jembatan, serta pelayanan publik lainnya di bidang pendidikan dan kesehatan hanya sebesar 25%
untuk Kabupaten dan 26% untuk Kota. Hal ini berarti, jika penyerapan anggaran berjalan secara
proporsional hingga bulan Oktober 2013, dari 68% penyerapan anggaran yang dikemukakan
Mendagri, sekitar 27,76% penggunaannya adalah untuk belanja pegawai, dan 14,74% digunakan
untuk belanja modal. Namun biasanya, berdasarkan pengalaman, hampir di semua pemda
penyerapan belanja modal baru akan membesar pada akhir tahun anggaran.

Kecilnya penyerapan anggaran dan kebiasaan pemda melakukan penyerapan di akhir


tahun anggaran untuk belanja modal, sudah dipastikan akan mengganggu kinerja dan kualitas
pelayanan publik yang seharusnya diberikan oleh pemda kepada masyarakat. Banyak proyek
pembangunan infrastruktur di daerah yang belum terlaksana dan akan menghambat pertumbuhan
ekonomi masyarakat. Selain itu, kualitas pelayanan publik khususnya di bidang kesehatan dan
pendidikan akan memburuk dan masyarakat pun dirugikan. Di beberapa kabupaten di pulau Jawa
saja, banyak proyek perbaikan jalan dan pembangunan sarana kesehatan dan pendidikan belum
berjalan.

Kemendagri juga harus tegas memberikan sanksi kepada pemda yang lamban dalam
menyerap anggaran terutama anggaran untuk belanja modal. Hal ini sangat perlu agar pelayanan
publik tidak terganggu dan bisa dinikmati masyarakat secara utuh.

Untuk mencegah masalah seperti ini terus berulang setiap tahunnya, mungkin
Kemendagri tidak hanya memberikan sanksi kepada pemerintah daerah yang tidak menerapkan
standar pelayanan minimal (SPM) saat memberikan pelayanan publik kepada masyarakat.
Kemendagri juga harus tegas memberikan sanksi kepada pemda yang lamban dalam menyerap
anggaran terutama anggaran untuk belanja modal. Hal ini sangat perlu agar pelayanan publik
tidak terganggu dan bisa dinikmati masyarakat secara utuh.
Menekan Kemiskinan, Optimalkan Perekonomi Daerah
Persoalan kemiskinan memang tidak hanya menjadi tanggng jawa pemerintah pusat atau
daerah saja. Kemiskinan harus diselesaikan bersama dan dibutuhkan kebijakan selaras antara
pusat dan daerah agar tepat sasaran.

Badan Pusat Statistik (PBS) mencatat, tingkat kemiskinan pada tahun 2013 diprediksi
akan lebih tinggi dibandingkan target pemerintah yakni sebesar 10,5 persen. Salah satu
penyebabnya adalah shock akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di
pekan ketiga Juni 2013.

Jumlah penduduk miskin per Maret 2013 mencapai 28,07 juta atau 11,37 persen dari total
penduduk Indonesia. Angka tersebut mengalami penurunan 0,52 juta dibandingkan dengan
penduduk miskin per September 2012 sebesar 28,59 juta (11,66) persen.

Beberapa faktor penyebab turunnya angka kemiskinan antara lain inflasi berdasarkan
komponen umum secara kumulatif relatif rendah, upah harian nominal buruh tani dan bangunan
yang meningkat serta stabilnya harga beras.

Masih data BPS, secara keseluruhan garis kemiskinan meningkat dari Rp 259.520 per
kapita per bulan pada September 2012 menjadi Rp 271.626 per kapita per bulan pada Maret
2013. Selama periode September 2012-Maret 2013, jumlah penduduk miskin di daerah
perkotaan berkurang 0,18 juta orang (dari 10,51 juta pada September 2012 menjadi 10,33 juta
pada Maret 2013).

Sedangkan di daerah pedesaan berkurang 0,35 juta (dari 18,09 juta pada September 2012
menjadi 17,74 juta pada Maret 2013). Berturut-turut, pada 2009, BPS mencatat jumlah penduduk
miskin sebesar 32,53 juta atau 14,15 persen, kemudian pada 2010 berjumlah 31,02 juta atau
13,33 persen, Maret 2011 berjumlah 30,02 juta atau 12,49 persen, September 2011 berjumlah
29,89 juta atau 12,36 persen dan Maret 2012 berjumlah 29,13 juta atau 11,96 persen.

Dengan tingginya inflasi beberapa bulan belakangan, diperkirakan tingkat kemiskinan


akan berada di atas 12 persen. Terkait target pemerintah yakni 10,5 persen, adalah karena batas
atas di mana batas bawahnya adalah 8,0 persen.

Dalam kondisi demikian, diperlukan upaya dan langkah yang lebih komprehensif,
intensif, dan kontinyu untuk menekan angka kemiskinan. Menteri Koordinator Bidang
Perekonomian Hatta Rajasa menambahkan pemerintah telah melakukan sinergi antara
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dengan
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengurangan Kemiskinan Indonesia (MP3KI) untuk
mengurangi tingkat kemiskinan.
Upaya yang dilakukan pemerintah adalah dengan memberdayakan daerah sehingga
daerah mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah sendiri. Perlu sekali bagi
pemerintah pusat untuk mengubah paradigma pembangunan baik di tingkat nasional maupun
daerah.

Menurut Managing Director Econit Advisory Group, Hendri Saparini, ada beberapa hal
yang bisa dilakukan pemerintah pusat untuk memfasilitasi pembangunan di daerah. Pertama,
daerah harus didorong untuk menyadari bahwa pembangunan dilakukan untuk mencapai tingkat
kesejahteraan rakyat yang lebih tinggi bagi seluruh rakyat. Hal itu dilakukan tidak hanya dengan
mengejar tingkat pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi, tetapi juga meningkatkan kualitas
pertumbuhan pendapatan tersebut. Pertumbuhan berkualitas disini adalah pertumbuhan yang
diiringi dengan pemerataan pendapatan serta pertumbuhan ekonomi yang berbasis pada
pemberdayaan rakyat banyak dalam bidang ekonomi.

Kedua, perlu adanya upaya penciptaan relasi ekonomi antar daerah. Selama ini
paradigma yang dibangun dalam pembangunan di daerah adalah persaingan dengan daerah lain.
Ketatnya persaingan antar daerah untuk menarik investor tidak saja menimbulkan kerugian
ditinjau dari ekonomi nasional karena lebih menguntungkan investor daripada kepada ekonomi
rakyat secara umum. Lebih lanjut, hal itu akan merugikan pembangunan daerah dalam jangka
panjang.

Dalam sebuah persaingan antar daerah yang amat bebas, sebenarnya daerah sedang
berlomba-lomba untuk menurunkan syarat-syarat investasi. Hal ini sering berimbas pada
melemahnya kemampuan daerah untuk mengambil bagian keuntungan dari kegiatan ekonomi
yang berlangsung di daerah tersebut untuk kesejahteraan rakyat.

Keinginan kuat dari pemerintah daerah untuk membuat strategi pengembangan ekonomi
daerah dapat membuat masyarakat ikut serta membentuk bangun ekonomi daerah yang dicita-
citakan. Dengan pembangunan ekonomi daerah yang terencana, pembayar pajak dan penanam
modal juga dapat tergerak untuk mengupayakan peningkatan ekonomi. Dengan peningkatan
efisiensi pola kerja pemerintahan dalam pembangunan, sebagai bagian dari perencanaan
pembangunan, pengusaha dapat mengantisipasi bahwa pajak dan retribusi tidak naik, sehingga
tersedia lebih banyak modal bagi pembangunan ekonomi daerah pada tahun depan

Kebijakan pertanian yang baik, misalnya, juga akan membuat pengusaha dapat melihat
ada peluang untuk peningkatan produksi pertanian dan perluasan ekspor. Harus kita akui, saat ini
sektor pertanian masih menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Untuk
itu, pemerintah harus memprioritaskan sektor pertanian untuk menekan angka kemiskinan.
Paling ideal adalah melalui upaya yang benar di sektor pertanian karena sektor pertanian ini
kantung-kantung dimana kemiskinan itu berada, sektor pertanian ini mempekerjakan sekitar
hampir 40% tenaga kerja Indonesia, meskipun terhadap GDP baru sekitar 15%.
Untuk menciptakan keunggulan kompetitif dan komparatif masing-masing daerah dalam
hubungan yang tidak saja saling melengkapi tetapi juga saling menguntungkan, tentu saja hal ini
membutuhkan fasilitas dari pemerintah pusat. Namun, harus ditekankan bahwa fasilitasi yang
dilakukan oleh pemerintah pusat tidak berarti sebuah upaya untuk melakukan resentralisasi
urusan pemerintahan, namun lebih kepada mediasi hubungan antar daerah. Fungsi pemerintah
adalah untuk menjadi orang ketiga bagi beberapa daerah untuk membentuk kerangka
pembangunan bersama dan membantu penyelesaian perselisihan yang mungkin muncul.

Inti sebenarnya yang ingin disasar adalah bahwa upaya penekanan angka kemiskinan
harus berbasis pada daerah. Daerahlah yang terutama berhubungan langsung dengan masyarakat.
Disamping itu, daerah secara lebih spesifik dan detail, mengerti kebutuhan, kekuatan dan
kelemahan daerahnya dalam pembangunan. Perubahan paradigma pembangunan di daerah
dengan demikian adalah sebuah keharusan. Demikian juga aroma persaingan antar daerah harus
diubah menjadi suasana kerjasama sehingga antar daerah terikat dalam hubungan mutual dan
komplementer. Untuk itulah pemerintah harus bertindak lebih aktif sebagai mediator. Dengan
langkah-langkah tersebut, pembangunan Indonesia akan lebih berkualitas dan upaya penekanan
angka kemiskinan akan lebih berhasil.

Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah lebih serius menjalankan program yang
sudah dicanangkan yaitu pro job, pro poor dan pro environment. Dalam hal ini, perlu ada
terobosan-terobosan baru. Upaya pembangunan berbasis daerah dan integrasi ekonomi antar
daerah adalah salah satunya. Hal itu bisa dilakukan dengan sebuah kerangka kerja besar meliputi
berbagai bidang, mulai dari tataran institusional sampai dengan tataran yang lebih teknis. Kita
menanti era otonomi daerah mampu memberikan ruang gerak yang lebih luas bagi daerah untuk
menggali seluruh potensi yang ada dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
rakyat.
Kelola Keuangan Daerah dengan Tepat
Anggaran daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan
instrumen kebijakan yang utama bagi pemeritah daerah. Anggaran daerah menduduki posisi
sentral dalam upaya pengembangan kapabilitas, efisiensi, dan efektifitas pemerintah daerah.
Anggaran daerah seharusnya dipergunakan sebagai alat untuk mendongkrak pendapatan,
pengeluaran, pembiayaan, dan alat bantu pengambil keputusan dan perencanaan pembangunan,
otoritas pengeluaran di masa yang akan datang, ukuran standar untuk evaluasi kinerja serta alat
koordinasi bagi semua aktivitas di berbagai unit kerja.

Kemandirian dan pengelolaan secara ekonomis, efektif, dan efisiensi suatu daerah atau
wilayah akan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah tersebut yang selanjutnya
mengurangi pengangguran dan menurunkan tingkat kemisikinan. Oleh karena itu, pengelolaan
keuangan daerah sangat besar pengaruhnya terhadap nasib suatu daerah karena daerah dapat
menjadi daerah yang kuat dan berkuasa serta mampu mengembangkan kebesarannya atau
menjadi tidak berdaya tergantung pada cara mengelola keuangannya.

Menurut struktur belanja APBD tahun anggaran 2013 di tingkat propinsi kabupaten, dan
kota, belanja modal hanya sebesar 173,84 triliun atau sebesar 24 persen dari total belanja yaitu
sebesar 731,94 triliun. Sementara untuk belanja pegawai mencapai 293,69 triliun atau 40 persen
dan belanja barang dan jasa sebesar 147,07 triliun atau 20 persen. Padahal, menurut Perpres
5/2010 yang ditegaskan pada Permendagri No 37/2012 tentang Pedoman Penyusunan APBD TA
2013, mengenai belanja modal minimal sebesar 29 persen.

Hal itu, harus lebih ditekankan lagi, apakah belanja modal tersebut sudah benar-benar
untuk kebutuhan masyarakat bukan lebih besar ditujukkan untuk belaja sarana dan prasarana
kantor. Ternyata, di tahun 2012, dari 491 kabupaten/kota yang ada hanya 131 kabupaten/konta
yang telah mencapai 28 persen, selebihnya kebanyakan daerah yang masih kurang dari itu.
Karena sangat disayangkan jika belanja modal yang sudah ditetapkan sebesar 29 persen ini
malah setelah diteliti lebih rinci pada APBD beberapa daerah lebih banyak belanja untuk
kebutuhan pegawai saja yang akhirnya masyarakat hanya bisa menikmati sedikit dana APBD
untuk kebutuhan mereka. Sementara itu, untuk pengelolan daerah tidak hanya dibutuhkan
sumber daya manusia, tetapi juga sumber daya ekonomi berupa keuangan yang dituangkan
dalam suatu anggaran pemerintah daerah.

Pengelolaan keuangan daerah dimaksudkan agar sistem dan prosedur pengelolaan


keuangan daerah mulai dari perencanaan dan penyusunan anggaran, pelaksanaan, dan
penatausahaan/akuntansi, dan pertanggungjawaban pelaporan dan monitoring evaluasi
pelaksanaannya semaksimal mungkin berorientasi kepada kepentingan publik, pertumbuhan
ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Indikator utama untuk mengukur kualitas pengelolaan
keuangan daerah adalah ketepatan waktu penetapan APBD, jumlah pendapatan APBD (porsi
PAD terhdap total pendapatan), kualitas belanja APBD (postur APBD), kualitas pelaksanaan
APBD (realisasi persentase penyerapan-SiLPA), dan kualitas pertanggungjawaban APBD.
Sayangnya, hingga saat ini, masih banyak daerah yang selalu terlambat dalam penetapan APBD
daerah mereka.

Tahun anggaran 2011, terdapat empat propinsi dan 234 kabupaten/kota yang mengalami
keterlambatan dalam menetapkan APBD, dan diantara 234 kabupaten tersebut terdapat 16
kabupaten dikenakan sanksi penundaan dana perimbangan. Sementara tahun anggaran 2012
terdapat enam provinsi dan 185 kabupaten/kota yang mengalami keterlambatan, dan diantara 185
kabupaten/kota tersebut terdapat 16 kabupaten dan satu kota dikenakan sanksi penundaan dana
perimbangan. Sejumlah pihak berpendapat bahwa keterlambatan penetapan APBD dikarenakan
antara lain, pertama, menunggu dana transfer yang APBD yang telah disepakati DPR, karena
APBD ini sangat tergantung pada angka di APBN. Kedua, ABPD yang dibahas dengan APBD
pada tahun pertama sampai tahun ketiga lancar, namun tahun ke empat dan lima tersendat,
karena akan ada kampanye. Anggota dewan sibuk dengan berkampanye.

Dan ketiga adalah eksekutif tidak tepat waktu dalam menyampaikan dokumen.
Keterlambatan penetapan APBD jelas akan memberikan dampak negatif dalam pengelolaan
keuangan daerah. Antara lain berkaitan pada tertundanya penyaluran dana perimbangan, yakni
DAU sebesar 25 persen. Disebutkan dalam Peraturan Menkeu Nomor 46 Tahun 2006 tentang
Tata Cara Penyampian Informasi Keuangan Daerah, paling lambat 31 Januari, APBD sudah
harus ditetapkan baru DAU bisa dicairkan.

Dampak kerugian lain yang sangat besar adalah banyaknya program kegiatan penting dan
pembangunan proyek-proyek infrastruktur terlambat realisasinya atau bahkan mungkin tidak bisa
diselesaikan tahun ini. Perekonomian pun akan terpengaruh karenanya, masyarakat juga yang
akan rugi. Betapapun swasta sudah banyak diandalkan, namun pengeluaran pemerintah melalu
proyek-proyek juga menentukan percepatan pertumbuhan. Jika sudah memahami dampak
keterlambatan dalam pengesahan APBD itu akan sangat besar, maka diharapkan para pejabat
eksekutif dan terutama anggota legislatif harus menyelesaikan tahapan-tahapan yang telah
ditetapkan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2013 tentang Pedoman
Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2014. Penerbitan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
27 Tahun 2013, diarahkan untuk dijadikan pedoman bagi pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota dalam menyusun APBD Tahun Anggaran 2014, mengingat APBD sebagai salah
satu instrumen penting dalam menggerakan perekonomian daerah maupun nasional. Untuk itu,
perlu pemahaman peranan APBD dalam konteks pembangunan daerahyang harus diselaraskan
dengan kebijakan pembangunan nasional. Dengan demikian, kebijakan dan program daerah
sejalan dengan kebijakan dan program nasional.
Dana Perimbangan, sumber Pendapatan Daerah Terbesar
Salah satu agenda reformasi yang dicita-citakan untuk dicapai adalah pemberian otonomi
daerah yang seluas-luasnya. Untuk merealisasikan agenda tersebut pada tahun 1999 terbentuklah
dua undang-undang yang dikenal dengan undang-undang Otonomi Daerah, yaitu UU No. 22
tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.

Kedua undang-undang ini selanjutnya disempurnakan dengan UU No.32 tahun 2004 dan
UU No.33 tahun 2004. Otonomi daerah dimaksudkan sebagai kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat. Penyerahan wewenang ini lazim disebut dengan desentralisasi. Pemberian
otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat. Di
samping itu juga diarahkan untuk meningkatkan daya saing daerah berdasarkan potensi yang
dimiliki.

Penyelenggaran desentralisasi ini tentu saja memerlukan sumber pendanaan yang besar.
Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila
penyelenggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan
yang cukup kepada daerah. Sesuai pasal 5 UU No. 33 tahun 2004, sumber pendapatan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi terdiri dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana
Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan Yang Sah. Penyerahan urusan dan pemberian sumber
pendanaan dalam bentuk kebijakan perimbangan keuangan pada daerah otonom, pada
hakekatnya ditujukan untuk memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah dalam menyikapi
aspirasi masyarakat dan prioritas daerah guna mempercepat upaya peningkatan kesejahteraan
dan pelayanan umum kepada masyarakat di daerah, serta secara lebih luas diharapkan
berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi daerah.

Kebijakan perimbangan keuangan atau ditekankan pada empat tujuan utama, yaitu: (a)
memberikan sumber dana bagi daerah otonom untuk melaksanakan urusan yang diserahkan yang
menjadi tanggungjawabnya; (b) mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, dan antar pemerintah daerah, (c) meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan
publik dan mengurangi kesenjangan kesejahteraan dan pelayanan publik antar daerah; serta (d)
meningkatkan efisiensi, efektifitas dan akuntabilitas pengelolaan sumber daya daerah, khususnya
sumber daya keuangan. Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi, yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana
Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain dimaksudkan untuk membantu daerah dalam
mendanai kewenangannya, juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan
pemerintahan antara pusat dan daerah serta untuk mengurangi kesenjangan pendanaan
pemerintahan antar daerah. Selama kurun waktu lima tahun terakhir (2007-2011), jumlah dana
perimbangan yang dialokasikan bagi daerah terus mengalami peningkatan, dimana jumlahnya
mencapai rata-rata Rp272 triliun. Meskipun demikian, pemerintah mengakui kebijakan transfer
ke daerah dalam mengurangi ketimpangan vertikal antara pusat dan daerah melalui DBH dan
meminimalkan kesenjangan fiskal antar daerah melalui DAU dan DAK, masih menghadapi
tantangan yang cukup berat dengan adanya alokasi dana penyesuaian tertentu yang belum
sepenuhnya berdasarkan formula dan kriteria. Pemerintah tentunya terus berupaya untuk
melakukan reformulasi kebijakan dana perimbangan setiap tahun sehingga diharapkan dapat
mendukung kebutuhan pendanaan pembangunan, terutama bagi daerah-daerah marjinal. Alokasi
Dana Perimbangan, 2007-2011 Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu (diolah) Lalu
timbul pertanyaan, seberapa besar sebenarnya peran dana perimbangan ini bagi keuangan
daerah? Jika kita melihat komposisi sumber pendapatan tiap daerah (kabupaten/kota), dana
perimbangan ini mempunyai peran yang sangat vital.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2009-2011), proporsi dana perimbangan
terhadap total pendapatan daerah secara nasional mencapai rata-rata 73%. Dari angka tersebut
jelaslah bahwa daerah masih tergantung pada dana perimbangan tersebut guna menjalankan
berbagai program dan kegiatan pembangunannya. Pendapatan Daerah Nilai (Rp miliar)
Pendapatan 2007 2008 2009 2010 2011 Share (%) PAD 35,546 64,746 67,457 71,852 87,674 17
Dana Perimbangan 208,674 276,101 281,285 292,281 302,264 73 Lain-lain Pendapatan Yang
Sah 23,649 24,028 44,347 38,908 52,297 10 Total 267,869 364,875 393,089 403,041 442,235
100 Sumber: Ditjen Perimbangan Keuangan, Kemenkeu (diolah) Oleh karena merupakan
komponen terbesar dalam alokasi transfer ke daerah, dana perimbangan memiliki peranan yang
sangat penting bagi keuangan daerah, terutama dalam mendukung pelaksanaan desentralisasi
fiskal dan otonomi daerah. Pemerintah pun terus melakukan perbaikan secara terus menerus
terhadap mekanisme penyaluran transfer ke daerah.

Perbaikan mekanisme penyaluran anggaran transfer ke daerah tersebut terutama


dimaksudkan untuk memperbaiki efektifitas dan efisiensi penyaluran, antara lain: (a)
mempercepat penyaluran PBB Bagian Daerah yang sebelumnya dilaksanakan secara bulanan
menjadi mingguan dan dilaksanakan oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN)
melalui Bank Operasional III; (b) mempertegas penyaluran DBH Cukai Hasil Tembakau secara
triwulanan; (c) mempercepat proses penyaluran DAK dari empat tahap menjadi tiga tahap.
Secara normatif, instrumen dana perimbangan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 33 Tahun
2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, terdiri
dari DBH, DAU, dan DAK. Namun, dalam praktik, selain ketiga dana tersebut, dikenal juga
adanya dana Otonomi Khusus, yang khusus diperuntukkan bagi daerah yang berstatus Otonomi
Khusus seperti Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, dan Provinsi NAD, dan dana lainnya yang
bersifat ad hoc. Jumlah alokasi dana yang ditransfer ke daerah dari tahun ke tahun terus
mengalami kenaikan. Demikian pula total Dana Perimbangan konsisten bertambah selama
periode 2007-2011. Dalam lima tahun, Total Dana Perimbangan telah meningkat sebesar 45%.
Hal ini sejalan dengan peningkatan Dana Alokasi Umum sebesar 42% selama 2007-2011
dan Dana Alokasi Khusus sebesar 36%. Dana Perimbangan Nilai (Rp miliar) Dana Perimbangan
2007 2008 2009 2010 2011 Dana Bagi Hasil 45,994 78,137 69,719 77,677 71,934 Dana Alokasi
Umum 145,575 176,638 186,938 193,226 207,081 Dana Alokasi Khusus 17,105 21,327 24,628
21,378 23,250 Total 208,674 276,101 281,285 292,281 302,264 Sumber: Ditjen Perimbangan
Keuangan, Kemenkeu (diolah) Secara umum, alokasi dana perimbangan masih merupakan
sumber pendapatan daerah yang dominan dan merupakan komponen yang mewarnai kapasitas
fiskal daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sehingga kajian terhadap efektifitas
dan optimalisasi penggunaan dana perimbangan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dari pengelolaan keuangan daerah, khususnya efektifitas belanja daerah. Dalam
kerangka kebijakan otonomi daerah, maka terkait dengan efektifitas belanja daerah dapat
menjadi salah satu tolok ukur utama terhadap keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah itu
sendiri, terutama sejauh mana kebijakan desentralisasi yang dikelola oleh pemerintah daerah
mampu mendorong tercapai tujuan nasional dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat
dan peningkatan pelayanan umum di daerah.

Data menyebutkan bahwa total belanja meningkat sebesar 83% dari tahun 2007 sampai
tahun 2011 yang kemungkinan besar disebabkan karena makin banyaknya jumlah daerah,
disamping alasan logis bertambahnya kebutuhan pemerintah daerah. Belanja Daerah Nilai (Rp
miliar) Jenis Belanja 2007 2008 2009 2010 2011 Belanja Pegawai 100,477 148,515 169,279
198,578 275,029 Belanja Barang Jasa 46,525 66,585 76,300 82,006 94,982 Belanja Modal
77,477 97,866 104,614 96,170 106,207 Belanja Lainnya 34,507 53,986 62,219 66,811 64,054
Total Belanja 258,986 366,951 412,413 443,565 474,135 Sumber: Ditjen Perimbangan
Keuangan, Kemenkeu (diolah) Dari keempat-besar jenis belanja tersebut, Belanja pegawai,
belanja barang dan jasa serta belanja lainnya meningkat dalam nilai yang relatif konstan,
sementara belanja modal menurun sekitar 8%. Tahun 2011, sebagian besar belanja daerah
digunakan untuk belanja pegawai, yakni sebesar 58%. Angka tersebut meningkat dibandingkan
belanja pegawai tahun 2010 yang sebesar 45%.
Kerjasama Pemda dan Investor dalam Memajukan Perekonomian
Daerah
Era otonomi menuntut setiap pemerintah daerah (pemda) mandiri dan kreatif, mencari
sumber-sumber pembiayaan, serta aktif mencari berbagai peluang yang bisa dijadikan sumber
pemasukan kas daerah. Banyak peraturan daerah (perda) dan kebijakan diformulasikan dalam
rangka meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Umumnya perda dan kebijakan yang
diterapkan pemda tidak jauh dari urusan pajak, retribusi, perizinan dan pelayanan birokrasi yang
disadari atau tidak, dapat membebani kegiatan dunia usaha sehingga daya tarik investasi di
daerah menjadi rendah.

Sesuai hasil kajian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), saat ini
masih banyak daerah yang menilai keberhasilan otonomi daerah adalah, dengan meningkatnya
PAD. Tinggi rendahnya PAD, digunakan sebagai parameter untuk mengukur keberhasilan dari
pelaksanaan otonomi daerah. Target peningkatan PAD ini seringkali memicu munculnya
berbagai kebijakan yang kontraproduktif (counter productive) terhadap iklim usaha dan
investasi.

Padahal, iklim investasi yang kondusif pasti dapat meningkatkan kegiatan ekonomi, baik
berskala besar maupun kegiatan ekonomi kerakyatan. Sehingga mendongkrak kemampuan
pemda, swasta dan masyarakat. Kegiatan ekonomi yang bergairah akan mampu menciptakan
pasar tenaga kerja, iklim usaha yang kompetitif, meningkatkan perputaran uang, dan
mendatangkan pendapatan daerah melalui pajak dan retribusi.

Kondisi yang berkembang saat ini ialah, pemerintah belum mampu memberikan jaminan
keamanan berusaha bagi investor baik asing maupun local, untuk mengembangkan usaha di
daerah. Beberapa hal yang menghantui para investor dan para pionir yang mengembangkan
usaha di satu daerah tak juga kunjung terjawab, yaitu kepastian hukum dan jaminan keamanan,
kondisi infrastruktur pendukung, serta birokrasi yang simple, cepat, dan transparan.

Tujuan penyelenggaraan penanaman modal hanya dapat tercapai apabila faktor


penunjang yang menghambat iklim penanaman modal dapat diatasi, antara lain melalui
perbaikan koordinasi antar instansi Pemerintah Pusat dan Daerah, penciptaan birokrasi yang
efisien, kepastian hukum di bidang penanaman modal, biaya ekonomi yang berdaya saing tinggi,
serta iklim usaha yang kondusif di bidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha.

Ironisnya, kondisi itu diperburuk dengan marakya kasus-kasus kontroversi yang


melibatkan pemerintah dan sektor swasta. Menurut temuan Kementerian Dalam Negeri pada Mei
2012, sekitar 173 kepala daerah tersangkut kasus hukum. Dengan kata lain, sepertiga kepala
daerah di Indonesia bermasalah. Realitas itu cukup menyedihkan, karena otonomi daerah justru
melenceng dari fungsinya untuk mensejahterakan rakyat.
Iklim investasi kondusif terjadi jika pemerintah, swasta dan masyarakat umum sama-
sama dapat mengambil keuntungan atas keberadaan sebuah investasi. Pendapatan pajak pemda
meningkat, pelaku usaha memperoleh laba tinggi, dan tenaga kerja terserap sehingga mengurangi
jumlah pengangguran. Kondisi ideal ini dapat terjadi jika ada pola kemitraan antar ketiga pihak
di atas. Bukan kemitraan (kolusi) pemda dengan DPRD untuk melahirkan Perda yang dapat
memperpanjang rantai birokrasi sehingga ada celah untuk melakukan pemungutan-pemungutan.

Membangun iklim investasi daerah yang kondusif tidak bisa terlepas dari sistem
informasi pasar nasional maupun internasional. Pemda dan DPRD harus menyadari bahwa
terjadi persaingan ketat antar daerah dalam memperebutkan investasi baru. Pemda yang mampu
membuat daerahnya menarik untuk investasi baru akan banyak didatangi investasi. Sebaliknya,
Pemda yang daerahnya justru tidak menarik bagi investasi, jangankan masuknya investasi baru,
investasi yang telah ada saja di daerah itu besar kemungkinan akan keluar atau pindah ke daerah
lain.

Sejak otonomi daerah digulirkan, ternyata tidak banyak memperbaiki kondisi sektor riil
di daerah, terutama UKM yang masih sulit berkembang akibat buruknya infrastruktur yang
menghambat pertumbuhan investasi, serta jaminan keamanan berusaha. Di sisi lain, Kebijakan
dan regulasi pemerintah daerah, juga belum bisa mendukung sektr riil dengan mayoritas APBD
di gunakan untuk belanja rutin. Hampir tidak ada anggaran untuk insentif bagi pengembangan
sektor usaha produktif tersebut.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia dicatat diatas kisaran enam persen per tahun
tidak ditopang kekuatan sektor riil. Padahal, kondisi tersebut dapat disiasati dengan
mengoptimalkan sektor UKM yang berpotensi menjadi katalis pertumbuhan ekonomi nasional.
Sektor itu mampu menyerap tenaga kerja informal, membuka peluang ‘ladang’ pasar bagi
daerah, dan memiliki nilai tambah dalam bentuk multiplier effect kepada usaha-usaha sejenis di
industri yang sama.

Solusi dari kondisi tersebut, dapat diawali dengan menelaah kembali fungsi pemerintah
dalam memasarkan potensi yang dimiliki suatu wilayah, untuk kepentingan masyarakat seluas-
luasnya. Konsekuensinya, pemerintah harus mampu memberikan jaminan keamanan berusaha
sebagai daya tarik investasi, baik kepastian hukum, infrastruktur, maupun birokrasi yang efektif.

Pelayanan birokrasi yang kurang baik dapat diatasi dengan upaya pengembangan perilaku
bersih di lingkungan pejabat teras. Budaya birokrasi umumnya bersifat paternalistik sehingga
keteladanan pimpinan (patron) akan menentukan strata birokrasi di bawahnya (klien) untuk
melakukan hal yang sama. Selanjutnya, setiap kebijakan daerah yang dipandang distortif atau
mengganggu kelancaran dunia usaha dan investasi harus segera direformasi. Penjaringan suara
dan aspirasi para pengusaha harus dilakukan untuk menggali input yang lebih lebih obyektif.

Sistem perpajakan dan retribusi daerah juga hendaknya didesain untuk menarik investasi
baru dan menjaga kenyamanan pengusaha. Dengan dalih untuk peningkatan PAD, seringkali
pemda tidak sabar untuk segera menjerat para investor yang baru saja menanamkan modal di
daerah dengan berbagai pungutan. Pemda ini menginginkan dapat menarik keuntungan sejak
awal kedatangan investor. Padahal untuk menjalankan perusahaan hingga menghasilkan
keuntungan, investor membutuhkan waktu dan usaha keras.

Namun demikian, meskipun Pemda memberikan “kemudahan” bagi para investor dan
pengusaha dalam rangka menciptakan iklim usaha yang kondusif, haruslah tetap dijaga dampak
sosial dan lingkungan yang terjadi. Pro kepada investor bukan berarti semua jenis usaha layak
diizinkan, apalagi investasi yang merugikan masyarakat sekitar. Pemerintah harus memperketat
perizinan para pelaku usaha multinasional yang bergerak di bidang eceran (ritel) modern, seperti
hipermarket. Pemerintah perlu memikirkan persyaratan ketat, agar kehadiran hipermarket tidak
merugikan produsen produk lokal dan petani di dalam negeri untuk jangka panjang.

Bagaimanapun, para produsen lokal dan petani daerah harus lebih diprioritaskan
eksistensinya. Pemerintah harus mengawasi realisasi riil investasi asing apakah sesuai dengan
Izin Usaha Industri dan Rekomendasi Berita Acara Pemeriksaan Izin Usaha Industri yang
diterbitkan oleh Badan Promosi dan Investasi Daerah (BPID). Kehadiran investor asing justru
seharusnya dapat membantu petani dan produsen lokal dalam memasarkan produk atau
komoditas yang dihasilkan serta menciptakan lapangan kerja.

Menarik atau tidaknya investasi di daerah, baik bagi perusahaan asing maupun penanam
modal dalam negeri di setiap daerah otonom pasti berbeda-beda. Kualitas kebijakan dan Perda
yang dirumuskan pemda sangat mempengaruhi iklim investasi ini selain tentunya potensi sumber
daya yang ada.

You might also like