You are on page 1of 9

HUKUM PERDATA INTERNASIONAL (HPI)

PERSOALAN PENDAHULUAN DAN RENVOI DALAM HPI

SYAMSUL MUJTAHIDIN, SH., MH.

PERSOALAN PENDAHULUAN

Persoalan pendahuluan adalah suatu persoalan atau permasalahan hukum dalam sebuah
perkara yang harus dipecahkan atau ditetapkan terlebih dahulu sebelum putusan akhir atas
suatu perkara HPI yang dihadapi hakim ditetapkan.

Prof. Cheshire dalam bukunya Private International Law: “Adakalanya dalam suatu perkara
HPI, pengadilan tidak saja dihadapkan pada masalah utama, tetapi juga suatu masalah
subsider. Setelah hukum yang harus diberlakukan terhadap masalah utama ditetapkan
melalui penerapan kaedah HPI yang relevan, maka kemungkinan ada kebutuhan untuk
menentukan kaedah HPI lain untuk menjawab masalah subsider yang berpengaruh terhadap
penyelesaian masalah utama.”

Persoalan pendahuluan (vorfrage) timbul apabila putusan suatu persoalan hukum


(hauptfrage) bergantung kepada ketentuan sah atau tidaknya suatu hubungan hukum atau
persoalan hukum lain (vorfrage).

Persoalan
Case Persoalan Pokok
Pendahuluan
Dalam persoalan pendahuluan ini hukum asing yang dipergunakan bukan hukum yang sang
hakim (Lex Fori).

Contoh penerapan persoalan pendahuluan :

1. Dalam persoalan HPI mengenai warisan (persoalan pokok) maka sebelumnya harus
ditentukan dulu apakah perkawinan dari si pewaris sah adanya (persoalan
pendahuluan).
2. Dalam perkara yang menyangkut perkawinan (persoalan pokok), bila salah seorang
atau kedua mempelai telah pernah melakukan perkawinan sebelumnya, maka perlu
diselidiki dulu apakah perceraian dari pihak yang pernah melakukan perkawinan
sebelumnya itu sah atau tidak (persoalan pendahuluan).

Persoalan pendahuluan bisa muncul lebih dari sekali dalam serangkaian peristiwa tertentu.
Misalnya dalam masalah warisan perlu ditentukan terlebih dulu sah atau tidaknya
kedudukan ahli waris atau kedudukan anak (persoalan pendahuluan tahap pertama). Tetapi
untuk menentukan hal tersebut terlebih dahulu harus ditentukan apakah perkawinan kedua
orang tua anak tersebut sah adanya (persoalan pendahuluan tahap kedua = preliminary
question of the second degree). Bila salah satu dari kedua orang tua anak itu telah pernah
kawin sebelumnya, maka perlu juga ditentukan apakah perceraian dari perkawinan
terdahulu itu sah adanya (persoalan pendahuluan tahap ketiga). Demikian proses itu bisa
berlangsung hingga dianggap sudah tidak ada lagi persoalan pendahuluan yang harus
ditentukan sebelumnya.

HUBUNGAN ANTARA PERSOALAN POKOK DAN PERSOALAN PENDAHULUAN DALAM HPI

Dalam suatu case/ kasus hukum baik itu warisan maupun perkawinan atau perceraian harus
dipilah dahulu mana persoalan pokok dan mana persoalan pendahuluan. Persoalan pokok
merupakan persoalan utama, sedangkan persoalan pendahuluan sangat penting untuk
diselesaikan terlebih dahulu terutama mengenai sah atau tidaknya warisan atau perkawinan
itu.

Untuk menentukan apakah dalam sebuah perkara HPI terdapat persoalan “incidental
question” maka perlu dipenuhi 3 (tiga) persyaratan, yaitu:

 ‘Main issue’ yang dihadapi dalam perkara harus merupakan masalah HPI yang
berdasarkan kaidah HPI forum harus tunduk pada hukum asing;
 Dalam perkara yang sama harus terdapat ‘subsidiary issue’ yang mengandung unsur
asing, yang sebenarnya dapat timbul sebagai masalah HPI yang terpisah dan
diselesaikan melalui penggunaan kaidah HPI lain secara independen;
 Kaidah HPI yang digunakan untuk menentukan lex causae bagi ‘subsidiary issue’ akan
menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari kesimpulan yang akan dihasilkan
seandainya lex causae dari ‘main issue’ yang digunakan.

CARA PENYELESAIAN PERSOALAN PENDAHULUAN

Dalam teori HPI ada tiga pandangan tentang cara penyelesaian persoalan pendahuluan ini,
yaitu:

 Absorption, paling banyak digunakan untuk persoalan pokok/main isue diselesaikan


dengan kaidah Lex Fori, sedangkan persoalan pendahuluan diselesaikan dengan Lex
Causae (hukum dari Perkara itu berasal). Contohnya, Perkara Warisan - persoalan
pokok -diselesaikan dengan Lex Fori, sedangkan sah atau tidak sahnya perkawinan -
persoalan pendahuluan untuk mendapatkan warisan itu - Lex Causae.
 Repartition, dengan mengabaikan sistem hukum apa yang merupakan lex causae
untuk menyelesaikan masalah utama, hakim akan menggunakan kaidah-kaidah HPI
lex fori untuk menentukan validitas persoalan pendahuluan. Dengan demikian,
masalah pokok dan pendahuluan diselesaikan dengan Lex Fori saja. Lex Causae
diabaikan (Penyelesaian dengan Lex Fori).
 Pendekatan Kasus (Case Approach), penetapan hukum yang seharusnya berlaku
untuk menyelesaikan persoalan pendahuluan harus ditetapkan secara kasuistik,
dengan memperhatikan hakekat perkara atau kebijaksanaan dan atau kepentingan
forum yang mengadili perkara. Menurut Chesire, kebanyakan putusan hakim dalam
kasus-kasus incidental questions diselesaikan melalui Absorption. Namun demikian
Chesire sendiri tampak cenderung untuk menggunakan pola pendekatan yang ketiga
(case-by-case approach) dengan memperhatikan kelas dari jenis perkara yang
sedang dihadapi. Melalui pendekatan ini, misalnya untuk perkara-perkara HPI di
bidang pewarisan benda-benda bergerak (succesion movables) sebaiknya digunakan
absorption, sedangkan untuk perkara-perkara di bidang ‘perbuatan
melawan/melanggar hukum’ (Onrechtmatigdaad) atau kontrak sebaiknya digunakan
repartition.

RENVOI

Doktrin Penunjukan Kembali (Renvoi Doctrine) merupakan salah satu pranata HPI yang
berkembang di dalam tradisi Civil Law (hukum Eropa Kontinental) sebagai pranata yang
dapat digunakan untuk menghindarkan pemberlakuan kaidah atau sistem hukum yang
seharusnya berlaku (lex causae) yang sudah ditetapkan berdasarkan prosedur hukum
perdata internasional secara normal dan mengubah acuan kepada suatu kaidah atau sistem
hukum yang lain, seperti contoh kaidah-kaidah hukum intern lex fori atau sistem hukum lain
selain lex causae yang ditunjuk tadi. Pelaksanaan Renvoi ini pada dasarnya dimungkinkan
karena adanya pelbagai sistem hukum di dunia yang masing-masing memiliki sistem dan
kaidah-kaidah HPI-nya sendiri.

Oleh karena itu, renvoi digunakan sebagai alat bagi para hakim untuk merekayasa
penentuan lex causae ke arah sistem hukum yang dianggap akan memberikan putusan yang
dianggapnya terbaik. Sehingga sudah pasti dalam proses renvoi, ada kaidah hukum perdata
internasional yang dikesampingkan.

Persoalan renvoi berkaitan dengan dengan persoalan prinsip nasionalitas atau prinsip
domisili dalam menentukan status personal seseorang, terutama terjadi karena ada
perbedaan prinsip yang dianut (nasionalitas atau domisili) di berbagai negara. Ditambahkan
pula oleh Sunarjati Hartono, bahwa persoalan renvoi tidak bisa dilepaskan dengan persoalan
kualifikasi dan persoalan titik-titik taut, karena memang sebenarnya ketiga persoalan
tersebut dapat dicakup dalam satu persoalan, yaitu hukum manakah yang akan berlaku (lex
causae) dalam suatu peristiwa HPI.

JENIS-JENIS RENVOI

Dalam teori HPI tradisional suatu kaidah HPI (choice of law rule) pada dasarnya dibuat untuk
menunjuk ke arah suatu sistem hukum tertentu, sebagai hukum yang seharusnya berlaku
untuk menyelesaikan masalah HPI yang sedang dihadapi. Yang menjadi masalah adalah, apa
yang dimaksud dengan ‘menunjuk ke arah suatu sistem hukum tertentu’ itu?
Jika titik-titik taut telah diketahui, masih ada persoalan lain, yaitu bagian manakah dari
hukum asing yang harus berlaku? Apakah hukum asing itu hanya hukum intern dari negara
yang bersangkutan saja atau lebih luas lagi, yaitu termasuk juga kaidah-kaidah HPI-nya?

Untuk memperjelas uraian tersebut, Sudargo Gautama memberikan contoh sebagai


berikut : bilamana hakim Indonesia berdasarkan ketentuan HPI indonesia telah menyatakan
bahwa hukum yang berlaku terhadap perkara yang ia periksa atau adili adalah hukum
Inggris, maka timbul persoalan atau pertanyaan apakah yang diartikan dengan hukum
inggris itu? Dalam hal ini dapat terjadi dua kemungkinan.

 Hukum intern (domestic law = municipal law = local law) Inggris yang berlaku di
Inggris untuk hubungan-hubungan hukum sesama orang Inggris; atau
 Di dalamnya termasuk pula ketentuan-ketentuan HPI Inggris, jadi termasuk pula
ketentuan choice of law.

Dengan demikian yang dimaksud dengan “hukum asing” disini orang Jerman menyebutnya:
Gesamtverweisung, jika menunjuk pada seluruh hukum asing termasuk didalamnya kaedah
HPI dan kaedah hukum materillnya (hkm intern). Schahnormverweisung, jika hanya
menunjuk pada hukum materiil (Hkm Intern) dari sistim hukum asing yang bersangkutan.

Contoh Renvoi dari J.G Castel:

Sebuah kasus yang menyangkut masalah pewarisan seorang warga Negara Kanada yang
mempunyai domicile of origin di Provinsi Ontario, Kanada. Ketika meninggal dunia terakhir
berdomisili di Jerman. Dia tidak membuat sempat membuat wasiat, dan meninggalkan
sejumlah benda-benda bergerak di provinsi Ontario, Kanada. Kaidah conflict of law (HPI)
Ontario menentukan bahwa pewarisan benda-benda bergerak tanpa wasiat diatur
berdasarkan domisili terakhir pewaris. Sedangkan hukum Jerman menentukan, bahwa
masalah pewarisan tersebut diatur berdasarkan hokum nasional atau kebangsaannya
(dalam hal ini hukum Kanada, khususnya hukum provinsi Ontario). Akhirnya dalam kasus
tersebut, hakim yang mengadili menggunakan hukum Kanada (dalam hal ini hukum provinsi
Ontario).

Penerapan ruang lingkup asing oleh Pengadilan Ontario menunjuk hukum Jerman, karena
negara Jerman merupakan domisili terakhir orang meninggal (pewaris). Dalam
menginterpretasikan kaidah-kaidah HPI, pengadilan harus memberikan arti “hukum Jerman”
tersebut.

Pertama hukum Jerman diartikan sebagai hukum substantif “internal atau domestik” negara
tersebut. Dalam pengertian ini pengadilan Ontario akan menerapkan hukum domestik
Jerman yang berlaku bagi warga negara Jerman, tanpa menghiraukan bahwa yang
bersangkutan adalah warga negara Kanada dan harta warisan berupa benda bergerak
tersebut terletak di Ontario. Dengan kata lain, forum tidak mempertimbangkan elemen-
elemen faktual mengenai bagaimana pengadilan Jerman akan menerapkan ketentuan HPI-
nya jika kasus tersebut dihadapkan kepadanya. Inilah yang disebut sebagai teori “hukum
intern” (internal law) atau referensi substantif (substantive reference). Pengadilan Ontario
akan memutuskan, bahwa kaidah HPI yang relevan dengan kasus tersebut memberikan arti
“alamiah” dan hukum Jerman harus diberlakukan tanpa memperhatikan kaidah HPI-nya.
Solusi seperti ini tidak memerlukan pembuktian apapun tentang kaidah HPI Jerman
meskipun pembuktian harus dilakukan terhadap hukum internal negara tersebut.

Kedua, “hukum Jerman” diartikan sebagai keseluruhan hukum Jerman, termasuk kaidah
HPI-nya. Jika dalam masalah yang sama kaidah HPI Jerman menunjuk hukum Kanada, dalam
hal ini hukum provinsi Ontario, maka akan terjadi konflik kaidah HPI yang berkelanjutan,
karena kaidah HPI lex fori dan lex cause berbeda. Jika kaidah HPI Ontario dan Jerman sama,
tetapi titik pertalian dalam kedua kaidah atau aturan HPI tersebut diinterpretasikan secara
berbeda, maka akan timbul konflik kaidah atau aturan HPI yang juga akan menunjuk kembali
kepada hukum provinsi Ontario. Penunjukan kembali pada hukum Ontario tersebut disebut
renvoi atau remission.

Jika penunjukan kepada hukum asing itu dianggap termasuk pula kaidahkaidah HPI-nya,
maka mungkin terjadi apa yang dinamakan dengan penunjukan kembali, misalnya hakim di
negara X berdasarkan kaidah HPI negara X harus memberlakukan hukum negara Y dalam
arti seluruh sistem hukum negara Y, maka mungkin ketentuan HPI negara Y menunjuk
kembali kepada hukum negara X. mungkin pula HPI negara Y tersebut menunjuk lebih jauh
kepada hukum negara ketiga, yaitu Z (penunjukan lebih jauh).

Dengan demikian penunjukan kembali dapat dibagi dua, yaitu :

 Penunjukan kembali (simple renvoi atau remission) yaitu proses renvoi oleh Kaidah
HPI asing kembali ke arah Lex Fori; dan
 Penunjukan lebih lanjut atau penunjukan lebih jauh (transmission atau renvant the
second degree) yaitu proses renvoi oleh Kaidah HPI asing ke arah suatu sistem
hukum asing lain.

PRAKTEK PENYELESAIAN RENVOI

Contoh Simple Renvoi atau remission Renvoi dalam kasus Forgo (1883). Posisi kasusnya
adalah sebagai berikut:

1. Forgo adalah seorang anak luar kawin, memiliki kewarganegaraan Bavaria (Beiren).
2. Ia sejak kecil sudah berdomisili (bertempat tinggal) di Perancis.
3. Ia meninggal dunia di Perancis tanpa meninggalkan testamen.
4. Forgo meninggalkan benda-benda bergerak, berupa sejumlah uang yang
didepositokan di Bank Perancis.
5. Perkara pembagian warisan diajukan oleh saudara-saudara alamiah (natuurlijke
bloedverwanten) Forgo pada pengadilan Perancis.
Persoalan hukum yang timbul adalah : berdasarkan hukum manakah pengaturan pembagian
warisan tersebut harus dilakukan? Berdasarkan hukum Bavaria atau hukum Perancis?
Kaidah HPI lex fori (Perancis) menyatakan bahwa persoalan pewarisan benda-benda
bergerak harus diatur berdasarkan kaidah-kaidah hukum dari tempat dimana pewaris
menjadi warga negara. Sedangkan kaidah HPI Bavaria menetapkan bahwa pewarisan benda-
benda bergerak harus diatur berdasarkan hukum dari tempat di mana pewaris bertempat
tinggal sehari-hari (habitual residence).

Proses penyelesaian perkara :

1. Pada tahap pertama, hakim Perancis melakukan penunjukan ke arah hukum Bavaria
sesuai perintah kaidah HPI Perancis.
2. Tampaknya, hakim perancis menganggap penunjukan itu sebagai gesamtverweisung,
sehingga meliputi pula kaidah-kaidah HPI Bavaria.
3. Telah diketahui, bahwa kaidah HPI bavaria yang menyangkut pewarisan benda-
benda bergerak menetapkan bahwa hukum yang harus digunakan adalah hukum
dari tempat tinggal tetap di pewaris. Jadi kaidah HPI Bavaria menunjuk kembali ke
arah hukum Perancis (hukum dari tempat kediaman tetap si Pewaris). Pada tahap
seperti inilah baru terjadi renvoi.
4. Hakim perancis ternyata kemudian menganggap bahwa penunjukan kembali oleh
kaidah HPI Bavaria sebagai suatu sachtnormverweisung.
5. Berdasarkan anggapan itu, hakim perancis (dalam hal ini cour de cassation)
kemudian memberlakukan kaidah hukum waris Perancis (code civil) untuk memutus
perkara yang bersangkutan.

Perbedaan antara pemberlakuan hukum Perancis atau hukum Bavaria untuk


memutus perkara tersebut bukanlah sekadar masalah teoritik saja, tetapi juga dapat
menghasilkan keputusan yang mungkin berbeda. Dalam kasus Forgo di atas, menurut
hukum Bavaria, saudara-saudara kandung dari seorang anak di luar kawin tetap berhak
menerima harta warisan dari anak luar kawin tersebut. Sedangkan menurut code civil
Perancis : harta peninggalan dari seorang anak luar kawin akan jatuh ke tangan negara. Oleh
karena cour de cassation telah menerima renvoi, yang berarti hakim menerapkan code civil
Perancis, maka sebagai akibatnya harta warisan Forgo jatuh ke tangan fiscus atau
pemerintah Perancis.

Contoh Lain Simple Renvoi,

Kasus Posisi:

- A seorang warga negara Amerika Serikat, berdomisili di negara bagian New York dan
berasal dari Swiss;
- A meninggal di New York dan meninggalkan sebuah tanah dan rumah di Swiss;
- Tanah di Swiss sebenarnya telah dijual, dan uang hasil penjualannya telah ditransfer
ke New York, tetapi untuk kepentingan proses pewarisan tetap dianggap sebagai
benda tetap (immovable);
- A meninggalkan sebuah testament yang mewariskan tanah/hasil penjualan tanah itu
kepada pihak-pihak ketiga (beneficiaries) yang bukan ahli waris menurut garis
keturunan;
- Para ahli waris menggugat testament dan mengklaim hakhaknya atas tanah di Swiss
sebagai ahli waris menurut undang-undang;
- Gugatan diajukan di Pengadilan New York.

Fakta-fakta Hukum:

- Hukum intern Swiss mengkualifikasi perkara sebagai perkara tentang kedudukan ahli
waris menurut undang-undang dalam pewarisan testamentair;
- Hukum intern New York mengkualifikasikan perkara sebagai perkara pewarisan
tanah melalui testament;
- Kaidah HPI New York menetapkan bahwa untuk perkaraperkara pewarisan benda-
benda tetap, maka hukum yang diberlakukan adalah hukum dari tempat di mana
benda berada;
- Kaidah HPI Swiss menetapkan bahwa status dan kedudukan ahli waris dalam proses
Pewarisan Testamentair harus tunduk pada hukum dari tempat di mana Pewaris
memiliki kewarganegaraannya yang terakhir;
- Kaidah hukum intern negara bagian New York menetapkan bahwa seorang pewaris
testamentair dapat dengan sah mewariskan kekayaannya kepada pihak-pihak ketiga
(beneficiaries), bahkan juga bila ia mengabaikan kedudukan ahli warisnya;
- Kaidah hukum intern Swiss menetapkan bahwa seorang pewaris tidak dapat
mewariskan kekayaannya melalui testament dengan mengabaikan bagian dari ahli
waris menurut undang-undang (legitieme portie).

Proses Penyelesaian Perkara:

- Walaupun tanah telah dijual dan hasil penjualannya telah ditransfer ke New York,
hakim New York pertama-tama mengkualifikasikan perkara berdasarkan hukum New
York (lex fori) sebagai perkara pewarisan benda tetap, dan berdasarkan kaidah HPI
New York, perkara ini harus tunduk pada Hukum Swiss berdasarkan asas Lex Rei
Sitae (di sini berlangsung penunjukan pertama);
- Hakim New York kemudian mengkualifikasikan perkara berdasarkan hukum Swiss
dan menganggapnya sebagai perkara tentang kedudukan ahli waris menurut
undangundang dalam pewarisan testamentair. Penunjukan ke arah hukum Swiss itu
ternyata merupakan Gesamtverweisung ke arah kaidah HPI Swiss;
- Kaidah HPI Swiss menetapkan bahwa kedudukan ahli waris dalam pewarisan
testamentair harus diatur berdasarkan hukum dari tempat di mana pewaris memiliki
kewarganegaraannya yang terakhir. Jadi kaidah HPI Swiss dianggap akan menunjuk
kembali ke arah New York;
- Hakim New York kemudian menganggap bahwa penunjukan kembali oleh kaidah HPI
Swiss itu sebagai Sachnormverweisung ke arah hukum intern New York, dan
memutuskan bahwa tanah/hasil penjualan tanah akan dibagikan sesuai amanat yang
ada di dalam testament;
- Gugatan ahli waris ditolak.

Contoh Kasus Penunjukan Lebih Lanjut (Transmission)

Hakim Indonesia menghadapi persoalan tentang perkawinan yang telah dilangsungkan oleh
seorang warga negara Amerika Serikat yang berdomisili di Perancis, di mana perkawinan itu
dilangsungkan. Persoalannya adalah: apakah orang tersebut sudah cukup umur waktu
melangsungkan perkawinan tersebut. Hukum mana yang diterapkan?

Menurut HPI Indonesia berdasarkan prinsip nasionalitas (Pasal 16 AB), maka hukum
nasional orangnya yang berlaku, yaitu hukum Amerika Serikat. Tetapi apakah ini berarti
hukum intern Amerika Serikat yang harus diperhatikan, atau juga termasuk HPI-nya? Kalau
HPI-nya juga termasuk dalam penunjukan itu, maka HPI Amerika Serikat (yang
menggunakan prinsip domisili) akan menunjuk terus kepada hukum Perancis sebagai hukum
domisili orangnya. Jadi kalau hukum Indonesia menerima transmission itu, maka hakim
Indonesia akan menerapkan hukum Perancis, sebaliknya kalau transmission tidak diterima,
maka hukum intern Amerika Serikat-lah yang akan diterapkan.

Contoh Transmission lainnya:

Kasus posisi:

Seorang paman dan saudara sepupu perempuan yang kedua-duanya berkewarganegaraan


Swiss, tinggal di Moskow (Rusia) dan mereka menikah disana. Sebelum melangsungkan
perkawinan tersebut mereka telah minta penjelasan baik dari instansi Rusia maupun dari
instansi Swiss apakah perkawinan mereka diperbolehkan. Kedua instansi ini baik dari Rusia
maupun dari Swiss, tidak melihat adanya suatu keberatan. Karena menurut HPI Rusia,
perkawinan harus dilangsungkan menurut hukum Rusia (Rusia menganut prinsip territorial;
jadi berlaku lex loci celebrations). Sedangkan menurut ketentuan HPI (ekstern) Swiss,
perkawinan ini dilangsungkan menurut hukum Rusia (bahwa suatu perkawinan yang
dilakukan di luar negeri menurut hukum yang berlaku di sana dianggap sah menurut hukum
Swiss. Menurut hukum intern Swiss perkawinan antara seorang paman dan saudara sepupu
perempuan dilarang, apabila dilangsungkan di negara Swiss, tetapi karena perkawinannya
dilangsungkan di Rusia, maka perkawinan tidak dilarang.

Dengan demikian, akan berlaku hukum Rusia yang tidak mengenal larangan perkawinan
antara paman dengan saudara sepupunya, maka perkawinan yang bersangkutan baik
menurut hukum Rusia maupun menurut HPI Rusia dan HPI Swiss sah adanya.
Kemudian para mempelai pindah ke Hamburg (Jerman), di sini timbul percekcokan hingga
perempuan mengajukan gugatan untuk perceraian. Sedangkan pihak paman mengajukan
pembatalan perkawinan.

Jawaban:

1. Forum yang berwenang: Pengadilan mana yang berwenang mengadili kasus ini?
Yaitu pengadilan Jerman karena sesuai dengan prinsip actor sequitor forum rei yaitu
gugatan diajukan ke pengadilan tempat di mana tergugat bertempat tinggal. Karena
tergugat bertempat tinggal di Hamburg, maka forum yang berwenang harus di
tempat tinggal tergugat.
2. Titik taut primer adalah faktor-faktor atau keadaan-keadaan yang menciptakan
hubungan HPI dalam kasus ini yang merupakan titik taut primer harus dilihat/ditinjau
dari pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa ini. Menurut pandangan
pengadilan Hamburg perkara ini adalah perkara HPI karena ada unsur asingnya yaitu
pihak penggugat dan tergugat berkewarganegaraan Swiss.
3. Titik taut sekunder dan Renvoi. Sesuai dengan hukum Jerman yang prinsip
kewarganegaraan, maka hukum Jerman merenvoi ke hukum Swiss, ternyata Swiss
yang menganut prinsip domisili merenvoi lagi ke atau penunjukan lebih jauh ke Rusia
tempat di mana perkawinan itu dilangsungkan. Dan menurut hukum Rusia
perkawinan tersebut sah adanya (menjawab persoalan pendahuluan juga).
4. Kualifikasi adalah penyalinan fakta sehari-hari ke dalam istilahistilah hukum, ini
adalah permasalahan hukum tentang orang, yaitu tentang gugat cerai.
5. Vested right: seseorang yang sudah mendapatkan hakhaknya yang diperoleh, maka
negara harus menghormatinya/ mengakuinya, seperti status sebagai istri.

You might also like