You are on page 1of 20

ARTRITIS REUMATOID

REFERAT

Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang 

Oleh:
Azhari Syarif Rizki, S.Ked
04084881921003

Pembimbing:
Dr. dr. Radiyati Umi Partan, Sp.PD, KR

DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul

Artritis Reumatoid

Oleh:

Azhari syarif Rizki, S.Ked (04084881921003)

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode 18 Agustus – 21 September 2020.

Palembang, Agustus 2020

Dr. dr. Radiyati Umi Partan, Sp.PD, KR


KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan referat dengan judul “Reaksi Anafilaktik” tepat pada waktunya. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Radiyati Umi Partan, Sp.PD,
KR selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca sekalian.

Palembang, Agustus 2020

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................v
DAFTAR TABEL................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2
BAB III KESIMPULAN......................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................12
DAFTAR GAMBAR

1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA.............................3


DAFTAR TABEL

1. Kriteria Klasifikasi AR ACR/EULAR 2010..........................................5


BAB I

PENDAHULUAN

Artritis Reumathoid (AR) merupakan penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua
kelompok ras dan etnik didunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai
dengan terdapatnya sinovitis erosive simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan
persendian, sering kali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar menunjukkan pasien
menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan
menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progesif yang
menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini.
Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima, dan suku-
suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan
yaitu berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan
pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar
0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar 1,25%.
Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita yaitu 0,75% dan
dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan 12,21 juta wanita menderita
RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang
menderita RA pada tahun 2010. Di Indonesia dari hasil survey epidemiologi di Bandungan Jawa
Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3 %5, sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40
tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten6. Di
Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru
Artritis Reumatoid merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan
Sadikin didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002.
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai
penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Penatalaksanaan AR telah mengalami banyak perubahan dalam 15 tahun terakhir. Pemahaman
bahwa AR berkaitan dengan komorbiditas lain dan mortalitas dini, membuat penatalaksanaan
AR harus agresif dan sedini mungkin yang akan meningkatkan hasil jangka pendek dan panjang
yang lebih baik.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Rheumatoid Artritis (RA) adalah penyakit autoimun yang etiologinya belum


diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada beberapa kasus disertai
keterlibatan jaringan ekstraartikular. Perjalanan penyakit RA ada 3 macam yaitu monosiklik,
polisiklik dan progresif.

2.2. Etiologi dan Faktor Risiko

Artritis Reumatoid terjadi akibat adanya predisposisi genetik, terutama HLA-DR4


dan HLA-DR1, yang menimbulkan reaksi imunologis pada membrane sinovium. Artritis
rheumatoid lebih sering terjadi pada perempuan ( rasio 3:1 dibandingkan laki-laki), serta
insidens tertinggi ditemukan pada usia 20-45 tahun. Selain pengaruh genetik, factor risiko
RA yang lain ialah kemungkinan infeksi bakterial, virus, serta kebiasaan merokok.

2.3. Patogenesis

Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan
reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal, 7 mungkin infeksi
virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal,
sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun). Proses autoimun dalam patogenesis RA
masih belum tuntas diketahui, dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi
berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta
peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua
peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada
sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan
local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel,
dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α,
IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel
mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang
pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs)
Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA

Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan
laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah
antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap
antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF
didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-
CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan
terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan
sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit

Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal
ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin
yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial,
jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui
pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi
diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran
sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang
terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang.
Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan
kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi
proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut
(CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta mampu
mempengaruhi hypothalamic-pituitary- adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan
depresi.

2.4. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein
(CRP) meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan
dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98%
dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap
beratnya penyakit tidak konsisten
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang
sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau
subluksasi sendi.

2.5. Diagnosis Banding

Pada kasus dengan poliartritis inflamasi selain AR perlu dipertimbangkan


diagnosis banding :

1. Spondiloartropati seronegatif, misalnya artritis psoriatik


2. Artritis gout poliartikular

3. Lupus eritematosus sistemik

4. Artritis reaktif

2.6. Diagnosis

Selama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan sensitivitas
77-95% dan spesifisitas 85-98%. Tapi kriteria ini mulai dipertanyakan kesahihannya
dalam mendiagnosis AR dini sehingga dipandang perlu untuk menyusun kriteria baru
yang tingkat kesahihannya lebih baik.
Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010,
yaitu :

Tabel 1. Kriteria Klasifikasi AR ACR/EULAR 2010


Skor
A Keterlibatan Sendi
1 sendi besar 0
2– 10 sendi besar 1
1-3 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 2
4-10 sendi kecil (dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar) 3
Lebih dari 10 sendi (minimal 1 sendi kecil) 5
B Serologi (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
RF dan ACPA negative 0
RF atau ACPA positif rendah 2
RF atau ACPA positif tinggi 3
C Reaktan Fase Akut (minimal 1 hasil lab diperlukan untuk klasifikasi)
LED dan CRP normal 0
LED atau CRP abnormal 1
D Lamanya Sakit
Kurang 6 minggu 0
6 minggu atau lebih 1
Kriteria klasifikasi AR ACR/EULAR 2010 ditujukan untuk klasifikasi
pasien yang baru. Disamping itu, pasien dengan gambaran erosi sendi yang khas AR
dengan riwayat penyakit yang cocok untuk kriteria sebelumnya diklasifikasi sebagai
AR. Pasien dengan penyakit yang lama termasuk yang penyakit tidak aktif (dengan
atau tanpa pengobatan) yang berdasarkan data-data sebelumnya didiagnosis AR
hendaknya tetap diklasifikasikan sebagai AR.
Pada pasien dengan skor kurang dari 6 dan tidak diklasifikasikan sebagai AR,
kondisinya dapat dinilai kembali dan mungkin kriterianya dapat terpenuhi seiring
berjalannya waktu.
Terkenanya sendi adalah adanya bengkak atau nyeri sendi pada pemeriksaan
yang dapat didukung oleh adanya bukti sinovitis secara pencitraan. Sendi DIP, CMC I,
dan MTP I tidak termasuk dalam kriteria. Penggolongan distribusi sendi
diklasifikasikan berdasarkan lokasi dan jumlah sendi yang terkena, dengan penempatan
kedalam kategori yang tertinggi yang dapat dimungkinkan.
Sendi besar adalah bahu, siku, lutut, pangkal paha danpergelangan kaki. Sendi
kecil adalah MCP, PIP, MTP II-V, ibu jari dan pergelangan tangan.
Hasil laboratorium negatif adalah nilai yang kurang atau sama dengan batas atas
ambang batas normal; positif rendah adalah nilai yang lebih tinggi dari batas atas
normal tapi sama atau kurang dari 3 kali nilai tersebut; positif tinggi adalah nilai yang
lebih tinggi dari 3 kali batas atas. Jika RF hanya diketahui positif atau negatif, maka
positif harus dianggap sebagai positif rendah.
Lamanya sakit adalah keluhan pasien tentang lamanya keluhan atau tanda
sinovitis (nyeri, bengkak atau nyeri pada perabaan)

2.7. Tatalaksana

Etiologi untuk penyakit RA ini belum diketahui secara pasti, namun


berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan
untuk menekan faktor risiko:
1. Membiasakan berjemur di bawah sinar matahari pagi untuk mengurangi risiko
peradangan oleh RA. Oleh penelitian Nurses Health Study AS yang menggunakan
1.314 wanita penderita RA didapatkan mengalami perbaikan klinis setelah rutin
berjemur di bawah sinar UV-B.
2. Melakukan peregangan setiap pagi untuk memperkuat otot sendi. Gerakan-
gerakan yang dapat dilakukan antara lain, jongkok-bangun, menarik kaki ke
belakang pantat, ataupun gerakan untuk melatih otot lainnya. Bila mungkin,
aerobik juga dapat dilakukan atau senam taichi.
3. Menjaga berat badan. Jika orang semakin gemuk, lutut akan bekerja lebih berat
untuk menyangga tubuh. Mengontrol berat badan dengan diet makanan dan
olahraga dapat mengurang risiko terjadinya radang pada sendi.
4. Mengonsumsi makanan kaya kalsium seperti almond, kacang polong, jeruk,
bayam, buncis, sarden, yoghurt, dan susu skim. Selain itu vitamin A,C, D, E juga
sebagai antioksidan yang mampu mencegah inflamasi akibat radikal bebas.
5. Berdasarkan sejumlah penelitian sebelumnya, ditemukan bahwa merokok
merupakan faktor risiko terjadinya RA. Sehingga salah satu upaya pencegahan RA
yang bisa dilakukan masyarakat ialah tidak menjadi perokok akif maupun pasif.
Penatalaksanaan pada RA mencakup terapi farmakologi, rehabilitasi dan
pembedahan bila diperlukan, serta edukasi kepada pasien dan keluarga. Tujuan pengobatan
adalah menghilangkan inflamasi, mencegah deformitas, mengembalikan fungsi sendi, dan
mencegah destruksi jaringan lebih lanjut.

1. NSAID (Nonsteroidal Anti-Inflammatory Drug)


Diberikan sejak awal untuk menangani nyeri sendi akibat inflamasi. NSAID yang dapat
diberikan atara lain: aspirin, ibuprofen, naproksen, piroksikam, dikofenak, dan
sebagainya. Namun NSAID tidak melindungi kerusakan tulang rawan sendi dan tulang
dari proses destruksi.

2. DMARD (Disease-Modifying Antirheumatic Drug)


Digunakan untuk melindungi sendi (tulang dan kartilago) dari proses destruksi oleh
Rheumatoid Arthritis. Contoh obat DMARD yaitu: hidroksiklorokuin, metotreksat,
sulfasalazine, garam emas, penisilamin, dan asatioprin. DMARD dapat diberikan tunggal
maupun kombinasi

3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai “bridge”
terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru
muncul setelah 4-16 minggu.

4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat, pemasangan bidai,
latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.

5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat
dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi,
arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya.

Tabel 2. DMARD yang digunakan pada pengobatan Artritis Reumatoid


DMARDS Mekanisme Dosis Efektifitas Efek samping Persiapan - Pemantauan
Metotreksat Menurunkan 7..5 – 25 +++ Fibrosis hati, Awal : foto thorax, DPL,
kemotaksis PMN mg / pnemonia TFG, TFH. Selanjutnya
dan mempengaruhi minggu interstitial DPL dan TFH tiap bulan
sintesis DNA dan supresi
sumsum
tulang
Sulfasalasin Menghambat 2x500 ++ Supresi Awal pengobatan : G6PD.
angiogenesis dan mg/hari sumsum DPL tiap 4 minggu selama
migrasi PMN ditingkat- tulang 3 bulan selanjutnya tiap 3
kan sampai bulan, TFH 1 bulan
3x1000mg selanjutnya tiap 3 bulan
Klorokuin Menghambat 6.5 mg/kg + Jarang, Pemeriksaan mata pada
basa lisosom dan bb/ hari kerusakan awal pengobatan, lalu
pelepasan IL-1 (150 mg) makula. setiap 3-6 bulan
Leflunomide Menghambat enzim 20 mg/hari +++ Diare, DPL, TFG, TFH
dihidroorotat alopecia, rash,
Dehidrogenase sakit kepala,
Sehingga secara teoritis
pembelahan sel berisiko
limfosit T auto infeksi karena
reaktif menjadi imunosupresi.
Terhambat
Siklosporin Memblok sintesis 2.5-5mg +++ Gagal ginjal Awal : kliren kreatinin;
IL-1 dan IL-2 /kgbb DPL, TFG, TFH tiap 2
minggu, 3 minggu dan
selanjutnya tiap 4 minggu.
Prinsip-prinsip penggunaan DMARD

1. Semua pasien AR yang diagnosisnya sudah tegak harus mendapatkan DMARD sedini
mungkin kecuali ada kontra indikasi. Idealnya dalam waktu 3 bulan sejak timbulnya
gejala.
2. Penggunaan DMARD pada pasien yang hamil.
Sebagian besar pasien AR akan membaik selama kehamilan. Hasil observasi dari
sejumlah penelitian didapatkan 60-94% AR akan mengalami perbaikan selama
kehamilan dan sebagian besar (74-76%) terjadi pada trimester pertama. Tetapi
kemudian terdapat risiko terjadi kekambuhan pada saat postpartum15. Tidak
didapatkan peningkatan kejadian abortus atau kematian ibu hamil dengan AR.
Pengobatan AR dengan kehamilan merupakan masalah khusus, karena sebagian besar
obat-obat yang digunakan pada pengobatan AR (DMARD) belum terbukti
keamananya sehingga tidak bisa diberikan pada kehamilan. Berdasarkan laporan
penelitian pada pasien LES, klorokuin dan azatioprin dapat diberikan pasien yang
hamil sehingga obat tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien AR
yang hamil. Kortikosteroid merupakan obat yang dapat dipertimbangkan untuk
digunakan pada wanita hamil dengan AR, tetapi perlu penilaian lebih cermat
mengenai manfaat dan risikonya sebelum memberikan obat ini. Pengelolaan pasien
seperti ini perlu kerjasama yang baik antara dokter kebidanan dan dokter ahli
penyakit dalam konsultan reumatologi.
3. Pemilihan jenis DMARD ditentukan oleh 3 faktor :

a. Faktor obat : efektivitasnya, kemudahan pemberian, sistem pemantauan, waktu


yang diperlukan sampai obat memberikan khasiat, kemungkinan efek samping dan
yang tidak kalah penting adalah biaya pengobatan.
b. Faktor pasien: kepatuhan pasien, komorbiditas, beratnya penyakit dan kemungkinan
prognosisnya.
c. Faktor dokter: kompetensi dalam pemberian dan pemantauan obat.
2.8. Prognosis

Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan
pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh puluh
lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun. Selebihnya
dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga meningkat 10-15 tahun
lebih awal dibandingkan mereka yang tidak mengalami RA. Khususnya pada
penderita RA dengan manifestasi yang berat, kematian dapat disebabkan oleh infeksi,
penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan gangguan saluran cerna. Sekitar 40%
pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke depanya. Penggunaan DMARD
kurang dari 12 minggu setelah gejala awal menunjukkan hasil remisi yang lebih baik
(Kapita Selekta, 2014). Indikator prognostik buruk berupa banyak sendi yang
terserang, LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada
awal penyakit dan sosial ekonomi rendah.
BAB III
KESIMPULAN

Rheumatoid Arthritis (RA) adalah penyakit autoimun progresif dengan inflamasi


kronik yang menyerang sistem muskuloskeletal namun dapat melibatkan organ dan sistem
tubuh secara keseluruhan, yang ditandai dengan pembengkakan, nyeri sendi serta destruksi
jaringan sinovial yang disertai gangguan pergerakan diikuti dengan kematian prematur.
Penyebab RA sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Beberapa faktor yang
diduga menjadi penyebab RA antara lain : faktor genetik, reaksi inflamasi pada sendi dan
selubung tendon, faktor rheumatoid, sinovitis kronik dan destruksi sendi, Gender, Infeksi.
Selama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan sensitivitas 77-95% dan
spesifisitas 85-98%. Tapi kriteria ini mulai dipertanyakan kesahihannya dalam mendiagnosis
AR dini sehingga dipandang perlu untuk menyusun kriteria baru yang tingkat kesahihannya
lebih baik.
Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010.
Tujuan terapi RA adalah mengurangi nyeri dan pembengkakan pada sendi, menghilangkan
kekakuan sendi, dan mencegah pengrusakan sendi lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

1. Daud, Rizasyah.Artritis Reumatoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi
kelima. Jakarta: Interna Publishing . 2014. Hal 1174

2. Febriana.2015. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kasus Rheumatoid Arthritis


Ankle Billateral Di RSUD Saras Husada Purworejo. Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Surakarta
3. Kapita Selekta Kedokteran/editor. Chris Tanto, et al. Ed.4.(2014). Jakarta: Media
Aesculapius, pp 835-839
4. Putra,T.R., Suega,K., Artana,I.G.N.B. (2013). Pedoman Diagnosis dan Terapi
Ilmu Penyakit Dalam. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana/RSUP Sanglah
5. Rekomendasi Perhimpunan Reumatologi Indonesia. (2014). Diagnosis dan
Pengelolaan Artritis Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. ISBN
6. Fauzi, Ahmad.2019.Reumatoid Artritis. Fakultas kedokteran Universitas
Lampung Bagian Ortopedi dan Traumatologi Departemen Bedah. Vol 3. No 1
Hal 168-175
7. Rudan, I., et al. (2015). Prevalence Of Rheumatoid Arthritis In Low– And
Middle–Income Countries: A Systematic Review And Analysis. Journal of
Global Health, vol.5, no.1, pp.1-10
8. Choy E. (2012). Understanding The Dynamics: Pathway Involved In The
Pathogenesis Of Rheumatoid Arthritis. Oxford University Press on behalf of the
British Society for Rheumatology, vol. 51, pp.3-11
1. Seorang wanita usia 40 tahun sejak 3 bulan terakhir mengeluh nyeri dan bengkak
sendi pada sendi MCP dan PIP kedua tangan, pergelangan tangan dan
pergelangan kaki. Kaku sendi dirasakan saat bangun pagi sampai siang hari. LED
84 mm pada jam pertama dan kadar asam urat 6.0 mg/dl. Diagnosis yang paling
mungkin adalah ?
a. Gout
b. Artritis Reumatoid
c. Osteoartritis
d. SLE
e. Osteoporesis
2. Seorang wanita usia 40 tahun sejak 3 bulan terakhir mengeluh nyeri dan bengkak
sendi pada sendi MCP dan PIP kedua tangan, pergelangan tangan dan
pergelangan kaki. Kaku sendi dirasakan saat bangun pagi sampai siang hari. LED
84 mm pada jam pertama dan kadar asam urat 6.0 mg/dl. Pada kasus ini insiden
tertinggi ditemukan pada usia ?
a. 10-15 tahun
b. 20-25 tahun
c. 20-35 tahun
d. 20-45 tahun
e. 20-30 tahun
3. Seorang wanita usia 40 tahun sejak 3 bulan terakhir mengeluh nyeri dan bengkak
sendi pada sendi MCP dan PIP kedua tangan, pergelangan tangan dan
pergelangan kaki. Kaku sendi dirasakan saat bangun pagi sampai siang hari. LED
84 mm pada jam pertama dan kadar asam urat 6.0 mg/dl. Kombinasi tes
imunologi manakah yang paling tepat pada kasus?
a. Anti CCP dan anti ds DNA
b. Reumatoid faktor dan ANA
c. ANA dan anti dsDNA
d. Reumatoid faktor dan anti CCP
e. Reumatoid faktor dan anti dsDNA
4. Seorang wanita usia 20 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri sendi
tangan kiri dan sehari kemudian nyeri diseluruh sendi tangan kanan. Nyeri juga
dirasakan hampir diseluruh persendian. Kekakuan dirasakan kurang lebih 40
menit pada pagi hari. Pasien telah mengkonsumsi obat penghilang nyeri tetapi
tidak ada perbaikan. Kemungkinan diagnosis pada pasien ini adalah?
a. Osteoartritis
b. Artritis Gout
c. Artritis psoriatis
d. Reumatoid artritis
5. Seorang wanita usia 20 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan nyeri sendi
tangan kiri dan sehari kemudian nyeri diseluruh sendi tangan kanan. Nyeri juga
dirasakan hampir diseluruh persendian. Kekakuan dirasakan kurang lebih 40
menit pada pagi hari. Pasien telah mengkonsumsi obat penghilang nyeri tetapi
tidak ada perbaikan. Pemeriksaan yang paling tepat dibutuhkan pasien ini
adalah?
a. Anti ds DNA
b. RF
c. LED
d. CRP
e. complement

You might also like