Professional Documents
Culture Documents
Azhari Syarif Rizki - 04084881921003 - Artritis Reumatoid
Azhari Syarif Rizki - 04084881921003 - Artritis Reumatoid
REFERAT
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
Oleh:
Azhari Syarif Rizki, S.Ked
04084881921003
Pembimbing:
Dr. dr. Radiyati Umi Partan, Sp.PD, KR
Referat
Judul
Artritis Reumatoid
Oleh:
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang periode 18 Agustus – 21 September 2020.
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis
dapat menyelesaikan referat dengan judul “Reaksi Anafilaktik” tepat pada waktunya. Pada
kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Radiyati Umi Partan, Sp.PD,
KR selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian referat ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih kepada teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat
membangun sangat diharapkan. Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca sekalian.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI .......................................................................................................iv
DAFTAR GAMBAR.............................................................................................v
DAFTAR TABEL................................................................................................vi
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................2
BAB III KESIMPULAN......................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................12
DAFTAR GAMBAR
PENDAHULUAN
Artritis Reumathoid (AR) merupakan penyakit yang tersebar luas serta melibatkan semua
kelompok ras dan etnik didunia. Penyakit ini merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai
dengan terdapatnya sinovitis erosive simetrik yang walaupun terutama mengenai jaringan
persendian, sering kali juga melibatkan organ tubuh lainnya. Sebagian besar menunjukkan pasien
menunjukkan gejala penyakit kronik yang hilang timbul, yang jika tidak diobati akan
menyebabkan terjadinya kerusakan persendian dan deformitas sendi yang progesif yang
menyebabkan disabilitas bahkan kematian dini.
Prevalensi tertinggi dilaporkan pada masyarakat asli Amerika, Yakima, Pima, dan suku-
suku Chippewa di Amerika Utara sebesar 7%. Namun prevalensi RA di dunia relatif konstan
yaitu berkisar antara 0,5-1% (Suarjana,2009). Estimasi prevalensi RA untuk negara dengan
pendapatan rendah dan menengah berdasarkan meta-analisis adalah di Asia Tenggara sebesar
0,4%, Mediterania Timur sebesar 0,37%, Eropa sebesar 0,62%, dan Amerika sebesar 1,25%.
Prevalensi pada laki-laki lebih rendah yaitu 0,16% dibandingkan wanita yaitu 0,75% dan
dinyatakan signifikan secara statistik. Sekitar 2,6 juta laki-laki dan 12,21 juta wanita menderita
RA pada tahun 2000 kemudian meningkatmenjadi 3,16 juta laki-laki dan 14,87 juta wanita yang
menderita RA pada tahun 2010. Di Indonesia dari hasil survey epidemiologi di Bandungan Jawa
Tengah didapatkan prevalensi AR 0,3 %5, sedang di Malang pada penduduk berusia diatas 40
tahun didapatkan prevalensi AR 0,5 % di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten6. Di
Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru
Artritis Reumatoid merupakan 4,1% dari seluruh kasus baru. Di poliklinik reumatologi RS Hasan
Sadikin didapatkan 9% dari seluruh kasus reumatik baru pada tahun 2000-2002.
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak mengenai
penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.
Penatalaksanaan AR telah mengalami banyak perubahan dalam 15 tahun terakhir. Pemahaman
bahwa AR berkaitan dengan komorbiditas lain dan mortalitas dini, membuat penatalaksanaan
AR harus agresif dan sedini mungkin yang akan meningkatkan hasil jangka pendek dan panjang
yang lebih baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
2.3. Patogenesis
Patogenesis terjadinya proses autoimun, yang melalui reaksi imun komplek dan
reaksi imunitas selular. Tidak jelas antigen apa sebagai pencetus awal, 7 mungkin infeksi
virus. Terjadi pembentukan faktor rematoid, suatu antibodi terhadap antibodi abnormal,
sehingga terjadi reaksi imun komplek (autoimun). Proses autoimun dalam patogenesis RA
masih belum tuntas diketahui, dan teorinya masih berkembang terus. Dikatakan terjadi
berbagai peran yang saling terkait, antara lain peran genetik, infeksi, autoantibodi serta
peran imunitas selular, humoral, peran sitokin, dan berbagai mediator keradangan. Semua
peran ini, satu sam lainnya saling terkait dan pada akhirmya menyebabkan keradangan pada
sinovium dan kerusakan sendi disekitarnya atau mungkin organ lainnya. Sitokin merupakan
local protein mediator yang dapat menyebabkan pertumbuhan, diferensiasi dan aktivitas sel,
dalam proses keradangan. Berbagai sitokin berperan dalam proses keradangan yaitu TNF α,
IL-1, yang terutama dihasilkan oleh monosit atau makrofag menyebabkan stimulasi dari sel
mesenzim seperti sel fibroblast sinovium, osteoklas, kondrosit serta merangsang
pengeluaran enzim penghancur jaringan, enzim matrix metalloproteases (MMPs)
Gambar 1. Peranan Imun Adaptif dan Innate dalam Patogenesis RA
Proses keradangan karena proses autoimun pada RA, ditunjukkan dari pemeriksaan
laboratorium dengan adanya RF (Rheumatoid Factor) dan anti-CCP dalam darah. RF adalah
antibodi terhadap komponen Fc dari IgG. Jadi terdapat pembentukan antibodi terhadap
antibodi dirinya sendiri, akibat paparan antigen luar, kemungkinan virus atau bakteri. RF
didapatkan pada 75 sampai 80% penderita RA, yang dikatakan sebagai seropositive. Anti-
CCP didapatkan pada hampir 2/3 kasus dengan spesifisitasnya yang tinggi (95%) dan
terutama terdapat pada stadium awal penyakit. Pada saat ini RF dan anti-CCP merupakan
sarana diagnostik penting RA dan mencerminkan progresifitas penyakit
Sel B, sel T, dan sitokin pro inflamasi berperan penting dalam patofisiologi RA. Hal
ini terjadi karena hasil diferensiasi dari sel T merangsang pembentukan IL-17, yaitu sitokin
yang merangsang terjadinya sinovitis. Sinovitis adalah peradangan pada membran sinovial,
jaringan yang melapisi dan melindungi sendi. Sedangkan sel B berperan melalui
pembentukan antibodi, mengikat patogen, kemudian menghancurkannya. Kerusakan sendi
diawali dengan reaksi inflamasi dan pembentukan pembuluh darah baru pada membran
sinovial. Kejadian tersebut menyebabkan terbentuknya pannus, yaitu jaringan granulasi yang
terdiri dari sel fibroblas yang berproliferasi, mikrovaskular dan berbagai jenis sel radang.
Pannus tersebut dapat mendestruksi tulang, melalui enzim yang dibentuk oleh sinoviosit dan
kondrosit yang menyerang kartilago. Di samping proses lokal tersebut, dapat juga terjadi
proses sistemik. Salah satu reaksi sistemik yang terjadi ialah pembentukan protein fase akut
(CRP), anemia akibat penyakit kronis, penyakit jantung, osteoporosis serta mampu
mempengaruhi hypothalamic-pituitary- adrenalaxis, sehingga menyebabkan kelelahan dan
depresi.
1. Laboratorium
a. Penanda inflamasi : Laju Endap Darah (LED) dan C-Reactive Protein
(CRP) meningkat
b. Rheumatoid Factor (RF) : 80% pasien memiliki RF positif namun RF
negatif tidak menyingkirkan diagnosis
c. Anti Cyclic Citrullinated Peptide (anti CCP) : Biasanya digunakan
dalam diagnosis dini dan penanganan RA dengan spesifisitas 95-98%
dan sensitivitas 70% namun hubungan antara anti CCP terhadap
beratnya penyakit tidak konsisten
2. Radiologis
Dapat terlihat berupa pembengkakan jaringan lunak, penyempitan ruang
sendi, demineralisasi “juxta articular”, osteoporosis, erosi tulang, atau
subluksasi sendi.
4. Artritis reaktif
2.6. Diagnosis
Selama ini diagnosis AR memakai kriteria ACR tahun 1987 dengan sensitivitas
77-95% dan spesifisitas 85-98%. Tapi kriteria ini mulai dipertanyakan kesahihannya
dalam mendiagnosis AR dini sehingga dipandang perlu untuk menyusun kriteria baru
yang tingkat kesahihannya lebih baik.
Saat ini diagnosis AR di Indonesia mengacu pada kriteria diagnosis menurut
American College of Rheumatology/European League Against Rheumatism 2010,
yaitu :
2.7. Tatalaksana
3. Kortikosteroid
Diberikan kortikosteroid dosis rendah setara prednison 5-7,5mg/hari sebagai “bridge”
terapi untuk mengurangi keluhan pasien sambil menunggu efek DMARDs yang baru
muncul setelah 4-16 minggu.
4. Rehabilitasi
Terapi ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Caranya dapat dengan
mengistirahatkan sendi yang terlibat melalui pemakaian tongkat, pemasangan bidai,
latihan, dan sebagainya. Setelah nyeri berkurang, dapat mulai dilakukan fisioterapi.
5. Pembedahan
Jika segala pengobatan di atas tidak memberikan hasil yang diharapkan, maka dapat
dipertimbangkan pembedahan yang bersifat ortopedi, contohnya sinovektomi,
arthrodesis, total hip replacement, dan sebagainya.
1. Semua pasien AR yang diagnosisnya sudah tegak harus mendapatkan DMARD sedini
mungkin kecuali ada kontra indikasi. Idealnya dalam waktu 3 bulan sejak timbulnya
gejala.
2. Penggunaan DMARD pada pasien yang hamil.
Sebagian besar pasien AR akan membaik selama kehamilan. Hasil observasi dari
sejumlah penelitian didapatkan 60-94% AR akan mengalami perbaikan selama
kehamilan dan sebagian besar (74-76%) terjadi pada trimester pertama. Tetapi
kemudian terdapat risiko terjadi kekambuhan pada saat postpartum15. Tidak
didapatkan peningkatan kejadian abortus atau kematian ibu hamil dengan AR.
Pengobatan AR dengan kehamilan merupakan masalah khusus, karena sebagian besar
obat-obat yang digunakan pada pengobatan AR (DMARD) belum terbukti
keamananya sehingga tidak bisa diberikan pada kehamilan. Berdasarkan laporan
penelitian pada pasien LES, klorokuin dan azatioprin dapat diberikan pasien yang
hamil sehingga obat tersebut dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada pasien AR
yang hamil. Kortikosteroid merupakan obat yang dapat dipertimbangkan untuk
digunakan pada wanita hamil dengan AR, tetapi perlu penilaian lebih cermat
mengenai manfaat dan risikonya sebelum memberikan obat ini. Pengelolaan pasien
seperti ini perlu kerjasama yang baik antara dokter kebidanan dan dokter ahli
penyakit dalam konsultan reumatologi.
3. Pemilihan jenis DMARD ditentukan oleh 3 faktor :
Perjalanan penyakit dari RA ini bervariasi dan juga ditentukan dari ketaatan
pasien untuk berobat dalam jangka waktu yang lama. Lima puluh hingga tujuh puluh
lima persen penderita ditemukan mengalami remisi dalam dua tahun. Selebihnya
dengan prognosis yang lebih buruk. Kejadian mortalitas juga meningkat 10-15 tahun
lebih awal dibandingkan mereka yang tidak mengalami RA. Khususnya pada
penderita RA dengan manifestasi yang berat, kematian dapat disebabkan oleh infeksi,
penyakit jantung, gagal nafas, gagal ginjal, dan gangguan saluran cerna. Sekitar 40%
pasien RA mengalami hendaya dalam 10 tahun ke depanya. Penggunaan DMARD
kurang dari 12 minggu setelah gejala awal menunjukkan hasil remisi yang lebih baik
(Kapita Selekta, 2014). Indikator prognostik buruk berupa banyak sendi yang
terserang, LED dan CRP tinggi, RF (+) tinggi dan anti CCP (+), erosi sendi pada
awal penyakit dan sosial ekonomi rendah.
BAB III
KESIMPULAN
1. Daud, Rizasyah.Artritis Reumatoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi
kelima. Jakarta: Interna Publishing . 2014. Hal 1174