You are on page 1of 37

LAPORAN PENDAHULUAN

CRONIK KIDNEY DISEASE (CKD) ON HD ANEMIA

Disusun Oleh:

DONA REVALINA

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MEDISTRA INDONESIA

BEKASI

2022
1. Definisi GGK

Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif
dan tidak dapat pulih kembali, dimana tubuh tidak mampu memelihara metabolisme
dan gagal memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit yang berakibat pada
peningkatan ureum (Desfrimadona, 2016).

GGK adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi


ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversible. Hal ini
terjadi apabila laju filtrasi gromerular (LFG) kurang dari 50 ml/menit. Gagal
ginjal kronik sesuai dengan tahapannya dapat berkurang, ringan, sedang,
atau berat. Gagal ginjal tahap akhir (end stage renal failure) adalah stadium
gagal ginjal yang dapat mengakibatkan kematian kecuali jika dilakukan
terapi pengganti (Corwin, 2014).

CKD (Cronic Kidney Disease) Atau Gagal Ginjal Kronik merupakan


penyakit penurunan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible ( Brunner &
Suddarth, 2013). CKD merupakan berkurangnya fungsi ginjal yang progresif
dimana terjadi penumpukan sisa-sisa metabolisme ( Isselbacher, 2010). CKD
merupakan suatu kondisi dimana kedua ginjal mengalami kerusakan
permanen dan tidak dapat menjalankan fungsi sebagaimana mestinya,
biasanya ditandai dengan edema diseluruh tubuh (wikipedia).

Kesimpulan GGK yaitu sindrom klinis yang disebabkan penurunan


fungsi ginjal yang berlangsung secara progresif dan bersifat menahun dengan
waktu yang yang cukup lama. Hal ini terjadi apabila Glomerular Filtration
Rate (GFR) kurang dari 50ml/menit. Sesuai dengan tahapannya GGK dapat
dibedakan menjadi tiga tahapan yaitu ringan, sedang dan berat.
2. Etiologi
Penyebab anemia yang sering dijumpai pada pasien gagal ginjal kronik,
yaitu:
a. Defisiensi Eritropoeitin
Defisiensi eritropoeitin merupakan penyebab utama anemia pada gagal
ginjal. Gagal ginjal menyebabkan turunnya kadar eritropoetin (EPO),
hormon yang dihasilkan oleh ginjal yang sehat untuk memproduksi sel
darah merah. Apabila tubuh kekurangan kadar oksigen maka ginjal yang
sehat akan melepas hormon EPO yang akan merangsang sumsum
tulang belakang (bone marrow) untuk memproduksi lebih banyak sel
darah merah. Semakin banyak sel darah merah dalam aliran darah
maka secara otomatis semakin banyak oksigen yang dapat dipasok
ke tubuh. CKD menyebabkan anemia berat yang secara bertahap
mempengaruhi kemampuan normal, penampilan diri, dan aktivitas
sosial pasien. Hal ini akan menyebabkan turunnya kualitas hidup
secara umum.
1. Defisiensi besi.
2. Kehilangan darah
Plebotomi berulang untuk pemeriksaan laboratorium, retensi
darah pada dializer atau tubing, perdarahan gastrointestinal.
3. Hiperparatiroid berat.
4. Inflamasi akut atau kronik.
5. Toksisitas aluminium.
6. Defisiensi asam folat.
7. Masa hidup sel darah merah pendek.
8. Hipotiroid
9. Hemoglobinopati
Stage Gambaran kerusakan GFR (ml/min)
ginjal
1 Normal atau elevated ≥ 90
GFR
2 Mild decrease in GFR 60-89
3 Moderate decrease in 30-59
GFR
4 Severe decrease in GFR 15-29
5 Requires dialysis ≤ 15

Anemia mulai muncul pada stage ke 3 CKD ketika GFR < 60 ml/min,
jauh sebelum dialysis dibutuhkan. Sayangnya, banyak pasien yang
datang ke unit dialysis sudah dengan anemia padahal anemia tersebut
dapat ditangani dengan cara yang relatif mudah. Anemia semakin
memburuk seiring dengan progresivitas CKD.

Tanda dan gejala


- Onset anemia pada gagal ginjal berlangsung secara gradual sehingga
seringkali pasien tidak menyadari masalah tersebut. Mereka
mungkin merasakan kelelahan dan kelemahan atau merasa kurang
tidur. Pasien dengan anemia kurang memiliki energi dan antusiasme.
- Tekanan darah pada anemia biasanya rendah, dengan tanda awal
tekanan darah menurun ketika pasien berdiri, dan relative normal
ketika pasien duduk atau berbaring. Tanda awal lainnya yaitu selisih
yang besar antara tekanan sistolik dan diastolik. Selisih yang normal
biasanya adalah sekitar 50, tetapi pada anemia selisih ini biasanya
bertambah besar. Hal ini disebabkan oleh jantung yang berusaha
memompa lebih keras ketika oksigen yang dialirkan ke sel-sel
rendah, dan ditambah dengan akumulasi dari kelelahan seperti
karbon dioksida, akan menyebabkan relaksasi pembuluh darah dan
menurunkan tekanan diastolik.
- Konjungtiva anemis.
- Pusing, khususnya ketika berdiri.
- Sulit untuk fokus dan berkonsentrasi.
- Pada pasien gagal jantung, napas pendek dan kelebihan cairan
mungkin akan tampak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
anemia menyebabkan jantung memompa lebih keras dan cepat
sehingga junlah oksigen yang sama dapat mencapai sel. Jika jantung
tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen tubuh, gagal jantung dapat
terjadi. Gagal jantung awal dapat berhubungan dengan batuk kering,
kesulitan berbaring dengan posisi datar, atau napas pendek. Pasien
dapat mengalami edema atau pembengkakan, khususnya di
ekstremitas bawah. Gagal jantung merupakan masalah yang serius.
Ketika jantung mengalami dekompensasi, darah dapat mengalir balik
ke paru-paru dan hepar. Hal ini merupakan kondisi emergensi.
-
B. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan awal berupa anamnesa yang cermat, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan darah rutin dan hapusan darah selalu harus dilakukan. Pada
pemeriksaan darah ditemukan anemia normositik normokrom dan terdapat sel Burr
pada anemia berat. Leukosit dan trombosit masih dalam batas normal, retikulosit
biasanya menurun. Evaluasi anemia dimulai bila Hb ≤ 10 g/dL, Ht ≤ 30 %.
Diagnosis laboratorium anemia yaitu:
- Hemoglobin, hematokrit
- Hitung retikulosit
Nilai normal 0,5 – 1,5%
- Status besi
 Saturasi transferin:
Saturasi transferin menunjukkan jumlah besi yang beredar dalam sirkulasi.
Nilai normal saturasi transferin adalah >20%.
ST = (KBS/KIBT) x 100%
KBS : Kadar besi serum atau serum iron ( SI )
KIBT : Kapasitas ikat besi total atau Total Iron binding capacity.
 Ferritin serum ( FS )
Kadar ferritin serum menggambarkan jumlah cadangan besi tubuh. Nilai
normal ferritin serum adalah >100 ng/ml.

C. Penatalaksanaan
1. Terapi Besi dan Pemantauan Status Besi
Bila status besi kurang, maka harus diberikan terapi besi terlebih dahulu sebelum
diberikan terapi EPO.
a. Terapi besi intravena
Merupakan cara pemberian besi yang paling baik dibandingkan suntikan
IM maupun oral, terutama pada pasien yang mendapat EPO. Stimulasi
eritropoiesis yang kuat pada terapi EPO menyebabkan kebutuhan besi
meningkat dengan cepat yang tidak tercukupi oleh asupan besi oral.
Contoh preparat besi untuk suntikan intravena: iron dextran, sodium
ferric gluconate complex, iron hydroxysaccharate.
- Dosis uji coba (test dose): dilakukan sebelum mulai terapi besi
25 mg iron dextran di dalam 50 ml NaCl 0,9%, diberikan intravena
selama 30 menit. Bila tidak ada reaksi alergi, lanjutkan dengan
terapi induksi besi.
- Terapi induksi besi
Tujuannya adalah untuk mengkoreksi anemia defisiensi besi
absolute dan fungsional, sampai kadar feritin serum mencapai >100
µg/L dan ST >20%. Iron dextran 100 mg diencerkan dengan 50 ml
NaCl 0,9 % diberikan IV selama 1-2 jam pertama hemodialisis
melalui venous blood line. Dosis ini diulang tiap hemodialisis
sampai 10x (dosis mencapai 1000 mg). Evaluasi status besi
dilakukan 2 minggu pasca terapi induksi besi. Bila target status besi
sudah tercapai (FS >100 µg/L dan ST >20%), lanjutkan dengan
terapi pemeliharaan besi. Bila target belum tercapai, ulangi terapi
induksi besi.
- Terapi pemeliharaan besi
Efek samping terapi besi intravena adalah reaksi alergi dan shock
anafilaktik. Kontraindikasi terapi besi antara lain bila terdapat
reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati berat, dan kandungan
besi tubuh berlebih.

b. Terapi besi intramuskuler


Merupakan terapi besi alternatif bila preparat IV tak tersedia. Jenis
preparat yang tersedia adalah iron dextran. Suntikan pada regio gluteus
kuadran luar atas dengan teknik Z track injection. Dosis ujicoba (0,5 ml
IM)
Dosis terapi induksi besi:
- Jika FS < 30 µg/L diberikan 6 x 100 mg dalam 4 minggu.
- Jika FS 31 µg/L sampai <100>L diberikan 4 x 10mg dalam 4
minggu.
Suntikan besi IM selain terasa sakit, juga dapat menyebabkan
komplikasi abses, perdarahan, dan kemungkinan terjadi myosarkoma
pada daerah suntikan.

c.Terapi besi oral


Preparat oral masih bermanfaat terutama pada anemia defisiensi
besi yang tidak mendapat terapi EPO. Akan tetapi sering hasilnya tidak
seperti yang diharapkan karena berbagai hal seperti absorpsi besi yang
tidak adekuat pada pasien hemodialisis dan kurangnya kepatuhan
minum obat akibat rasa mual. Banyak penelitian yang menunjukan
bahwa terapi besi oral tidak memadai pada pasien yang mendapat EPO,
namun demikian tetap saja dapat diberikan bila preparat IV dan IM
tidak tersedia. Dosis minimal 200 mg besi elemental perhari, dalam
dosis terbagi 2-3x/hari.
Efek samping terapi besi intravena dan intramuskuler adalah
reaksi alergi dan syok anafilaktik. Obat-obat emergensi untuk
mengatasi keadaan ini harus disediakan sebelum terapi dimulai.
Kontraindikasi terapi besi antara lain bila terdapat hipersensitivitas,
gangguan fungsi hati berat dan kandungan besi tubuh berlebih (iron
overload).

2. Terapi Eritropoeitin
Indikasi terapi EPO bila Hb >100 ug/L dan ST >20% dan tidak ada infeksi
berat. Kontraindikasi terapi bila terdapat reaksi hipersensitivitas terhadap EPO
dan pada keadaan hipertensi berat. Hati- hati pada keadaan hipertensi yang tidak
terkendali, hiperkoagulasi dan keadaan overload cairan.
- Terapi induksi EPO
Mulai dengan 2000-4000 IU/xhemodialisis subkutan, selama 4
minggu, target respons yang diharapkan adalah Ht naik 2-4% dalam 2-4
minggu atau Hb naik 1-2 g/dL dalam 4 minggu. Kadar Hb dan Ht
dipantau setiap 4 minggu. Bila target respons tercapai, pertahankan
dosis EPO sampai target Hb tercapai (> 10 g/dL). Bila target belum
tercapai naikkan dosis EPO 50%. Namun bila Hb naik terlalu cepat, 8
g/dL dalam 4 minggu turunkan dosis EPO 25%. Selama terapi induksi
EPO ini status besi di pantau setiap bulan.
- Terapi pemeliharaan EPO
Diberikan bila target Hb sudah tercapai >10 g/dL atau Ht >30%.
Angka ini lebih rendah dibanding panduan DOQI (Dialysis Outcomes
Quality Initiative) yang menargetkan Hb 11-12 g/dL dan Ht 33,36%.
Dosis pemeliharaan EPO yang dianjurkan 1-2 kali 2000 IU/minggu.
Selama terapi pemeliharaan Hb/Ht diperiksa setiap bulan dan status besi
setiap 3 bulan.
- Bila dengan terapi pemeliharaan EPO Hb mencapai >12 g/dL, dosis
EPO diturunkan sebanyak 25%.
- Terapi pemeliharaan besi
Bertujuan untuk menjaga kecukupan persediaan besi untuk
eriptropoiesis selama pemberian terapi EPO, target terapi menjaga nilai
Feritin serum dalam batas >100 ug/L.

Dosis terapi pemeliharaan besi:


 IV: Iron Dextran 50 mg/minggu
Sodium Ferric Gluconate Complex 62,5 mg 2x/minggu
 IM: Iron Dextran 80 mg setiap 2 minggu
Selama terapi pemeliharaan besi, status besi diperiksa setiap 3 bulan. Bila
ditemukan:
 Status besi sesuai target: lanjutkan dosis terapi pemeliharaan besi
 FS >500 ug/L atau ST >40%, suplementasi besi distop selama 3 bulan.

Respons Terapi EPO Tidak Adekuat:


Pada sebagian kecil pasien yang mendapat terapi EPO gagal mencapai
kenaikan Hb atau Ht yang dikehendaki. Ada banyak faktor yang mempengaruhi
respons EPO. Sebab yang paling sering dijumpai adalah defisiensi besi
fungsional. Di samping itu keadaan hiperparatiroid sekunder dapat menurunkan
respons EPO karena hormon ini mengganggu eritropoeisis pada sumsum tulang.
Sebab lain misalnya intoksikasi aluminium yang mengganggu absorbsi besi dan
menurunkan respons seluler besi. Adanya inflamasi, infeksi atau penyakit
keganasan akan menurunkan respons terapi EPO. Berbagai sebab lainnya adalah
perdarahan kronik, dialisis tidak adekuat, malnutrisi, defisiensi folat,
hemoglobinopati, hemolisis dan penyakit mielodisplasia.
Efek samping terapi EPO berhubungan dengan hipertensi, kejang dan
hipersensitivitas. Hipertensi dan kejang lebih sering terjadi pada saat terapi
induksi EPO, biasanya bila kenaikan Hb terlalu cepat.

3. Transfusi Darah
Transfusi darah memiliki risiko terjadinya reaksi transfusi dan penularan
penyakit seperti Hepatitis virus B dan C, Malaria, HIV dan potensi terjadinya
kelebihan cairan (overload). Di samping itu transfusi yang dilakukan
berulangkali menyebabkan penimbunan besi pada organ tubuh. Karena itu
transfusi hanya diberikan pada keadaan khusus, yaitu perdarahan akut dengan
gejala hemodinamik. Pasien dengan defisiensi besi yang akan diprogram terapi
EPO atau yang telah dapat terapi EPO tapi respons belum adekuat, sementara
preparat besi IV/IM belum tersedia. Untuk tujuan mencapai status besi yang
cukup sebagai syarat terapi EPO, transfusi darah dapat diberikan dengan hati-
hati.
Target pencapaian Hb dengan transfusi 7-9 g/dL, jadi tidak sama dengan
target pencapaian Hb pada terapi EPO. Transfusi diberikan dalam bentuk Packed
Red Cell, untuk menghindari kelebihan cairan diberikan secara bertahap
bersamaan dengan waktu hemodialisis. Bukti klinis menunjukkan bahwa
pemberian transfusi sampai Hb 10-12 g/dL tidak terbukti bermanfaat dan
menimbulkan peningkatan mortalitas.

1. Pemeriksaan Penunjang GGK

a. Pemeriksaan laboratorium

1) Darah Lengkap

Hemoglobin dapat ditemukan turun akibat anemia penyakit


kronis yang terjadi pada penyakit ginjal kronis.
2) Kadar Kreatinin Darah

Kadang kreatinin darah bermanfaat untuk mengestimasi


GFR. GFR dapat diestimasi menggunakan metode-metode
berikut :
a) Metode Cockrof-Gault untuk mengukur klirens
kreatinin (Creatinine Clearance, CCr)
(1) CCr = {((140-usia)xberat badan)/72xSCr)}

(2) Pada wanita hasilnya dikali 0,85

(3) Berat badan dalam kilogram

b) Metode modification of diet in renal disease (MDRD)

 LFG (ml/min/1,73 m2) = 175x(Scr/88.4) - 1.154 x (age)


-0.203 x (0.742 bila wanita)

 Scr (kreatinin serum ) dalam satuan µmol/L

 Sebaiknya tidak menggunakan pada ekstremitas LFG


kurang dari 60 mL/min/1.73 m2.
c) Metode Chronic Kidney Disease (CKD-EPI)

 LFG = 141 x min (Scr/K,1)α x max (Scr/K, 1) – 1.209


x 0.993 usia x 1.018 (bila wanita)x 1.159 (bila berkulit
hitam)

 Scr = serum kreatinin dalam satuan µmol/L

 K = 61.0 pada wanita dan 79.6 pada pria

 α= -0.329 pada wanita dan -0.411 pada pria

 min mengindikasikan Scr/K atau 1, dan

 max mengindikasikan Scr/K atau 1

 Metode Bedside Schwartz untuk pediatrik

 LFG (mL/min/1.73m2) = (36.2 x tinggi badan dalam cm)


/ kreatinin dalam µmol/L
3) Elektrolit dan Analisa Gas Darah

Penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan komplikasi


berupa hiperkalemia dan metabolik asidosis. Untuk itu
diperlukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah.
Pada analisa gas darah, perhatikan kadar HCO3 dan pH
untuk melihat ada tidaknya metabolik asidosis.

4) Urinalisis

Pada urinalisis, dapat ditemukan hematuria dan/atau


proteinuria. Dapat juga ditemukan mikroalbuminuria (30 –
300 mg/24 jam).

Pencitraan juga bermanfaat untuk diagnosis penyakit ginjal


kronis, terutama untuk menentukan penyebab penyakit
ginjal kronis.

5) Ultrasonografi Ginjal

Pada pemeriksaan USG, dapat ditemukan ukuran ginjal


yang mengecil, adanya obstruksi atau hidronefrosis dan
batu ginjal.
6) X-ray dengan Kontras
Foto polos intravenous pyelography dapat bermanfaat pada penyakit ginjal
kronik yang dicurigai terjadi akibat batu ginjal. Namun, dokter harus
mempertimbangkan potensi toksisitas ginjal akibat penggunaan kontras
intravena tersebut. Kontras dikontraindikasikan pada pasien dengan laju
filtrasi glomerulus <60 mL/min/1.73 m2.
Foto polos abdomen dapat bermanfaat untuk melihat batu ginjal
radioopak tetapi pemeriksaan ini bersifat tidak spesifik.
7) CT Scan dan MRI Abdomen
CT-scan abdomen dapat melihat batu saluran kemih, massa atau kista
ginjal. Kontras intravena dikontraindikasikan pada pasien dengan LFG <
60 mL/min/1.73 m2.
MRI dapat melihat massa ginjal dengan lebih jelas, misalnya pada
karsinoma sel renal. Kontras dengan gadolinium tidak
direkomendasikan pada laju filtrasi glomerulus < 30 mL/min/1.73
m2.
8) Biopsi Renal
Biopsi renal umumnya diindikasikan jika diagnosis etiologi penyakit ginjal
kronis tidak jelas. Biopsi juga bermanfaat untuk memandu tata laksana
penyakit ginjal kronis yang diakibatkan oleh etiologi tertentu, misalnya
lupus.

2. Penatalaksanaan GGK

Pengobatan GGK dibagi dalam dua tahap yaitu penanganan


konservatif dan terapi pengganti ginjal dengan cara dialsis atau
transplantasi ginjal atau keduanya. Penanganan GGK secara
konservatif terdiri dari tindakan untuk menghambat berkembangnya
gagal ginjal, menstabilkan keadaan pasien, dan mengobati setiap faktor
yang reversible. Ketika tindakan konservatif tidak lagi efektif dalam
mempertahankan kehidupan pasien pada hal ini terjadi penyakit ginjal
stadium akhir satu-satunya pengobatan yang efektif adalah dialisis
intermiten atau transplantasi ginjal (Wilson, 2014). Tujuan terapi
konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara
progresif, meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin
azotemia, memperbaiki metabolisme secara optimal dan memelihara
keseimbangan cairan dan elektrolit (Sukandar, 2015). Beberapa
tindakan konservatif yang dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Diet protein

Pada pasien GGK harus dilakukan pembatasan asupan


protein. Pembatasan asupan protein telah terbukti dapat
menormalkan kembali dan memperlambat terjadinya gagal ginjal.
Asupan rendah protein mengurangi beban ekskresi sehingga
menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan intraglomerulus dan
cidera sekunder pada nefron intak (Wilson, 2014). Asupan protein
yang berlebihan dapat mengakibatkan perubahan hemodinamik
ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerulus
yang akan meningkatkan progresifitas perburukan ginjal (Suwitra,
2015).

b. Diet Kalium

Pembatasan kalium juga harus dilakukan pada pasien GGK


dengan cara diet rendah kalium dan tidak mengkonsumsi obat-
obatan yang mengandung kalium tinggi. Pemberian kalium yang
berlebihan akan menyebabkan hiperkalemia yang berbahaya bagi
tubuh. Jumlah yang diperbolehkan dalam diet adalah 40 hingga 80
mEq/hari. Makanan yang mengandung kalium seperti sup, pisang,
dan jus buah murni (Wilson, 2014).
c. Diet kalori

Kebutuhan jumlah kalori untuk GGK harus adekuat dengan


tujuan utama yaitu mempertahankan keseimbangan positif nitrogen
memlihara status nutrisi dan memelihara status gizi (Sukandar,
2015).
d. Kebutuhan cairan

Asupan cairan membutuhkan regulasi yang hati-hati pada


GGK. Asupan yang terlalu bebas dapat menyebabkan kelebihan
beban sirkulasi, edema dan intoksikasi cairan. Asupan yang kurang
dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi, dan pemburukan fungsi
ginjal (Wilson, 2014). Ketika terapi konservatif yang berupa diet,
pembatasan minum, obat-obatan dan lain-lain tidak bisa
memperbaiki keadaan pasien maka terapi pengganti ginjal dapat
dilakukan. Terapi pengganti ginjal tersebut berupa hemodialisis,
dialisis peritoneal dan transplantasi ginjal (Rahardjo et al, 2015).
e. Hemodialisis

Hemodialisis adalah suatu cara dengan mengalirkan darah ke dalam


dialyzer (tabung ginjal buatan) yang teridiri dari 2 komparten yang
terpisah yaitu komparetemen darah dan komparetemen dialisat yang
dipisahkan membran semipermeabel untuk membuang sisa-sisa
metabolisme (Rahardjo et al, 2015). Sisa-sisa metabolisme atau racun
tertentu dari peredaran darah manusia itu dapat berupa air, natrium,
kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain.
Hemodialisis dilakukan 3 kali dalam seminggu selama 3-4 jam terapi
(Brunner dan Suddarth, 2014)

f. Dialisis peritoneal

Dialisis peritoneal merupakan terapi alternatif dialisis untuk


penderita GGK dengan 3-4 kali pertukaran cairan per hari
(Prodjosudjadi dan Suhardjono, 2014). Pertukaran cairan terakhir
dilakukan pada jam tidur sehingga cairan peritoneal dibiarkan
semalaman (Wilson, 2006). Terapi dialisis tidak boleh terlalu cepat
pada pasien Dialisis Peritoneal (DP). Indikasi medik yaitu pasien
anak-anak dan orang tua (umur lebih dari 65 tahun), pasien-pasien
yang telah menderita penyakit sistem kardiovaskular, pasien-pasien
yang cenderung akan mengalami perdarahan bila dilakukan
hemodialisis, kesulitan pembuatan AV shunting, pasien dengan stroke,
pasien dengan residual urin masih cukup, dan pasien nefropati diabetik
disertai co- morbidity dan co-mortality. Indikasi non-medik yaitu
keinginan pasien sendiri, tingkat intelektual tinggi untuk melakukan
sendiri, dan di daerah yang jauh dari pusat ginjal (Sukandar, 2014)
g. Transplantasi ginjal

Transplantasi ginjal merupakan cara pengobatan yang lebih disukai


untuk pasien gagal ginjal stadium akhir. Namun kebutuhan
transplantasi ginjal jauh melebihi jumlah ketersediaan ginjal yang
ada dan biasanya ginjal yang cocok dengan pasien adalah yang
memiliki kaitan keluarga dengan pasien. Sehingga hal ini
membatasi transplantasi ginjal sebagai pengobatan yang dipilih
oleh pasien (Wilson, 2014).

D. KONSEP KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Identitas

Tidak ada spesifikasi khusus untuk kejadian gagal ginjal, namun laki-laki
sering memiliki resiko lebih tinggi terkait dengan pekerjaan dan pola hidup
sehat. Gagal ginjal kronis merupakan periode lanjut dari insidensi gagal
ginjal akut.
b. Keluhan utama

Keluhan utama : sangat bervariasi, keluhan berupa urine output


menurun (oliguria) sampai pada anuria, penurunan kesadaran karena
komplikasi pada sistem sirkulasi-ventilasi, anoreksia, mual dan
muntah, fatigue, napas berbau urea, dan pruritus. Kondisi ini dipicu
oleh karena penumpukan zat sisa metabolisme/toksik dalam tubuh
karena ginjal mengalami kegagalan filtrasi.
c. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat penyakit sekarang : Pada klien dengan gagal ginjal kronis biasanya
terjadi penurunan urine output, penurunan kesadaran, penurunan pola nafas
karena komplikasi dari gangguan sistem ventilasi, fatigue, perubahan
fisiologis kulit, bau urea pada napas. Selain itu, karena berdampak pada
metabolisme, maka akan terjadi anoreksia, nausea, dan vomit sehingga
beresiko untuk terjadi gangguan nutrisi.
Riwayat penyakit dahulu
d. Riwayat penyakit dahulu : informasi penyakit terdahulu akan menegaskan
untuk penegakan masalah. Kaji penyakit pada saringan (glomerulus) :
glomerulonefritis, infeksi kuman, pyelonefritis, ureteritis, nefrolitiasis, kista
di ginjal, polcystis kidney, trauma langsung pada ginjal, keganasan pada
ginjal, batu, tumor, penyempitan/striktur, diabetes melitus, hipertensi,
kolesterol tinggi, infeksi di badan : TBC paru, sifilis, malaria, hepatitis,
preeklamsi.
e. Riwayat kesehatan keluarga

Riwayat Kesehatan keluarga. Gagal ginjal kronis bukan penyakit


menular atau menurun, sehingga silsilah keluarga tidak terlalu
berdampak pada penyakit ini. Namun pencetus sekunder seperti DM
dan hipertensi memiliki pengaruh terhadap penyakit gagal ginjal
kronik, karena penyakit tersebut bersifat herediter.
f. Pemeriksaan Fisik

Mengkaji keadaan umum pasien, tingkat kesadaran, tanda-tanda


vital, antropometri, pemeriksaan persistem terdiri atas sistem saraf
pusat, sistem penglihatan, sistem pendengaran, sistem penciuman,
sistem pernafasan, sistem kardiovaskuler, sistem pencernaan, sistem
genital urinaria, sistem reproduksi, sistem integument, sistem
musculoskeletal, dan sistem endokrin metabolic.
g. Pengkajian fungsi kognitif dan motorik

Pengkajian meliputi fungsi kognitif, motorik, resiko jatuh, proteksi,


keadaan psikologis, dan kebutuhan belajar pasien.
h. Pemeriksaan Penunjang

Mengkaji dari hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan seperti


nilai laboratorium yaitu hematokrit, trombosit, leukosit,
hemoglobin, ureum, kreatinin, glukosa sewaktu, dan hasil urin.
Selain itu pemeriksaan penunjang lainnya seperti USG ginjal, CT-
Scan atau MRI abdomen, atau biopsi renal.
2. Analisa Data

Data subjektif Data Objektif

1. Tekanan darah sistolik >90,


1. Nyeri kepala diastolic >70
2. Nadi cepat dan dangkal
2. Mual
3. Penurunan output urin
3. Muntah
4. Edema perifer atau anasarka
4. Pusing
5. Peningkatan BB abnormal
5. Sesak nafas
6. Gelisah
6. Pasien mengeluh haus
7. Hemoglobin abnormal
7. Lemas

8. BAK sedikit

9. Berkeringat di malam hari

10. Kulit gatal


3. Masalah/ Diagnosa Keperawatan

Masalah keperawatan yang sering muncul pada pasien GGK adalah


hipervolemia, gangguan pertukaran gas, perfusi perifer tidak efektif, defisit
nutrisi, intoleransi aktivitas, risiko penurunan curah jantung, dan gangguan
integritas kulit.

NO Fokus Diagnostik Penyebab/Faktor Gejala dan Tanda Gejala dan


dan Deskriptor Risiko Mayor Tanda
Minor
1. Hipervolemia Gangguan Subjektif : Subjektif :
(D.0022) mekanisme (tidak
a. Ortopnea
regulasi tersedia)
b. Dispnea
Objektif :
c. Paroxymal a. Distensi
nocturnal dypsnea vena
(PND) jugularis
Objektif : b. Terdengar
suara napas
a. Edema anasarka
tambahan
dan atau edema
c. Hepatomegali
perifer
d. Kadar
Hb/Ht
turun
e. Oliguria

f. Intake lebih
banyak dari
output
g. Kongestif
paru
2. Gangguan a. Ketidakseimban Subjektif : Subjektif :
pertukaran gas gan ventilasi-
a. Dispnea a. Pusing
(D.0003) perfusi
Objektif :
b. Pengelihatan
b. Perubahan a.
PCO2
kabur
membran
meningkat/menuru Objektif :
alveolus-kapiler
n
a. Sianosis
b.
PO2 menurun
b. Diaforesis
c.
Takikardia
c. Gelisah
d.
pH arteri
meningkat/menuru d. Napas cuping
n hidung
e.
bunyi napas e. Pola napas
tambahan abnormal
(cepat/lambat,
regular/iregular,
dalam/dangkal)
f. Warna kulit
abnormal (mis.
Pucat, kebiruan)
g. Kesadaran
menurun
Perfusi perifer a. Penurunan Subjektif : Subjektif :
tidak efektif konsentrasi
a. Parastesia
(D.0009) hemoglobin (tidak tersedia)
b. Nyeri ekstremitas
b. Peningkatan Objektif :
(klaudikasi
tekanan darah a. Pengisian kapiler
intermiten)
>3 detik
Objektif :
b. Nadi perifer
a. Edema
menurun atau
b. Penyembuhan
tidak teraba
luka lambat
c. Akral teraba dingin
c. Indeks ankle-
d. Warna kulit pucat
brachial <0,90
e. Turgor kulit d. Bruit femoralis
menurun
4. Defisit nutrisi Peningkatan Subjektif : Subjektif :
(D.0019) kebutuhan
a. Cepat kenyang
metabolisme (tidak tersedia)
setelah makan
Objektif :
b. Kram/nyeri
a. Berat badan
abdomen
menurun minimal
c. Nafsu makan
10% di bawah
menurun
rentang ideal
Objektif :

a. Bising usus
hiperaktif
b. Otot pengunyah
lemah
c. Otot menelan
lemah
d. Membran
mukosa pucat
e. Sariawan
f. Serum albumin
turun
g. Rambut rontok
berlebihan
h. Diare
5. Intoleransi aktivitas Ketidakseimbangan Subjektif : Subjektif :
(D.0056) antara suplai dan
a. Mengeluh lelah a. Dispnea
kebutuhan oksigen
Objektif :
saat/setelah
a. Frekuensi jantung
aktivitas
meningkat >20%
b. Merasa tidak
dari kondisi
nyaman setelah
istirahat
beraktivitas
c. Merasa lemah
Objektif :
a. Tekanan darah
berubah >20%
dari kondisi
istirahat
b. Gambaran EKG
menunjukkan
aritmia
saat/setelah
aktivitas
c. Gambaran EKG
menunjukkan
iskemia
d. Sianosis
6. Risiko penurunan a. Perubahan - -
curah jantung
afterload
(D.0011)
b. Perubahan
frekuensi
jantung
c. Perubahan

irama jantung
d. Perubahan
kontraktiltas
e. Perubahan

preload
7. Gangguan a. Perubahan Subjektif : Subjektif :
integritas kulit sirkulasi
(D.0129) b. Kekurangan/kel (tidak tersedia) (tidak tersedia)
ebihan volume Objektif : Objektif :
cairan a. Kerusakan jaringan a. Nyeri
c. Perubahan dan/atau lapisan
b. Perdarahan
status nutrisi kulit
c. Kemerahan
(kelebihan atau
kekurangan) d. Hematoma

4. Perencanaan Keperawatan

Diagnosis Luaran Keperawatan


NO Intervensi Keperawatan
Luaran Ekspektasi Kriteria Hasil
Keperawatan
1. Hipervolemia Keseimbangan Meningkat a. Output urin Intervensi utama
(D.0022) cairan (L.03020) meningkat Manajemen
b. Edema hipervolemia (I.03114)
Observasi :
berkurang
a. Periksa tanda dan
c. Dehidrasi
gejala hipervolemia
berkurang
(mis. Ortopnea,
d. Tekanan darah
dispnea, edema,
membaik
JVP/CVP meningkat,
e. Frekuensi nadi
refleks hepatojugular
membaik
b. Monitor intake
f. Turgor kulit
dan output cairan
membaik
Terapeutik :
g. Berat badan

membaik
a. Timbang berat badan
setiap hari pada waktu
yang sama
b. Batasi asupan cairan
dan garam
Edukasi :

a. Anjurkan melapor
jika BB bertambah >1
kg dalam sehari
b. Ajarkan cara
membatasi cairan
Kolaborasi :

a. Kolaborasi pemberian
diuretik

Intervensi pendukung
Manajemen hemodialisis
(I.03112)
Observasi :

a. Identifikasi kesiapan
hemodialisis (mis.
Tanda-tanda vital, berat
badan kering, kelebihan
cairan, kontraindikasi
pemberian heparin)
b. Monitor tanda-tanda
vital pasca
hemodialisis
Terapeutik :

a. Siapkan peralatna
hemodialsis (mis.
Bahan habis
pakai, blood line
hemodialisis)
b. Lakukan prosedur
dialisis dengan
prinsip aseptik
c. Atur filtrasi sesuai
kebutuhan penarikan
kelebihan cairan
d. Hentikan hemodialisis
jika mengalami
kondisi yang
membahayakan (mis.
Syok)
Edukasi :

a. Jelaskan tentang
prosedur hemodialisis
Kolaborasi :

a. Kolaborasi pemberian
heparin pada blood
line, sesuai indikasi
2. Gangguan Pertukaran gas Meningkat a. dispnea Pemantauan respirasi
pertukaran gas (L.01003) (I.01014)
menurun
(D.0003) Observasi :
b. pusing menurun
a. Monitor frekuensi,
c. pola
irama, kedalaman dan
nafas
upaya nafas
membaik
b. Monitor pola nafas
d. warna kulit
(seperti bradipnea,
membaik
takipnea,
hiperventilasi,
kusmaul, ataksik)
c. Palpasi kesimetrisan
ekspansi paru
d. Auskultasi bunyi nafas

Terapeutik :
a. Atur interval
pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
b. Dokumentasikan hasil
pemantauan
Edukasi :

a. Jelaskan tujan dan


prosedur pemantauan
b. Informasikan hasil

pemantauan, jika perlu


3. Perfusi perifer Perfusi perifer Meningkat a. Kekuatan nadi Perawatan sirkulasi
tidak efektif (L.02011) perifer (I.02079)
(D.0009) meningkat Observasi :
b. Warna kulit
a. Periksa sirkulasi
pucat menurun
perifer (mis. Nadi
c. Edema perifer
perifer, edema,
menurun
pengisian kapiler,
d. Kelemahan otot
warna, suhu, ankle-
membaik
brachial index)
e. Akral membaik
b. Monitor panas,
f. Turgor kulit kemerahan, nyeri,
menurun atau bengkak pada
g. Tekanan darah ekstremitas
sistolik Terapeutik :
menurun
a. Hindari pemasangan
h. Tekanan darah
infus atau
diastolik
pengambilan sampel
menurun
darah di area
keterbatasan perfusi
b. Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
Edukasi :
a. Anjurkan untuk
berhenti merokok
b. Anjurkan berolahraga
rutin
c. Anjurkan minum
obat pengontrol
tekanan darah secara
teratur
d. Anjurkan melakukan
perawatan kulit yang
tepat
(mis.melembabkan
kulit kering pada kaki)
4. Defisit nutrisi Status nutrisi Membaik a. Berat badan Manajemen nutrisi
(D.0019) (L.03030) membaik (I.03119)
b. Indeks Massa Observasi :
Tubuh (IMT)
a. Identifikasi status
membaik
nutrisi
c. Frekuensi
b. Monitor asupan
makan
makanna
meningkat
c. Monitor berat badan
d. Nafsu makan
d. Monitor hasil
meningkat
pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik :

a. Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
Edukasi :

a. Ajarkan diet yang


diprogramkan
Kolaborasi :
a. Kolaborasi dengan ahli
gizi untuk menentukan
jumlah kalori dan
jenis nutrien yang
dibutuhkan,jika perlu
5. Intoleransi Toleransi Meningkat a. Kemudahan Manajemen energi
aktivitas aktivitas melakukan (I.05178)
(D.0056) (L.05047) aktivitas sehari- Observasi :
hari meningkat
a. Identifikasi gangguan
b. Kekuatan tubuh
fungsi tubuh yang
bagian atas
mengakibatkan
meningkat
kelelahan
c. Kekuatan tubuh
b. Monitor pola dan jam
bagian bawah
tidur
meningkat
Terapeutik :
d. Keluhan lelah
a. Sediakan lingkungan
menurun
nyaman dan rendah
e. Dispnea saat
stimulus (mis.
aktivitas
Cahaya, suara,
menurun
kunjungan)
f. Dispnea setelah
b. Lakukan latihan
beraktivitas
rentang gerak
menuun
pasif dan/atau
g. Perasaan lemah
aktif
menurun
c. Fasilitasi duduk di sisi
h. Frekuensi nadi
tempat tidur, jika
membaik
tidak dapat berpindah
i. Warna kulit
atau berjalan
membaik
Edukasi :
j. Tekanan darah
membaik a. Anjurkan tirah baring
k. Frekuensi napas
b. Anjurkan melakukan
membaik
aktivitas secara
bertahap
c. Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan
gejala kelelahan tidak
berkurang
Kolaborasi :

a. Kolaborasi dengan ahli


gizi tentang cara
meningkatkan asupan
makanan

6. Risiko Curah jantung Meningkat a. Kekuatan nadi Perawatan jantung


penurunan (L.02008) perifer (I.02075)
curah jantung meningkat Observasi :
(D.0011) b. Bradikardia
a. Identifikasi
menurun
tanda/gejala primer
c. Takikardia
penurunan curah
menurun
jantung (meliputi
d. Edema menurun
dispnea, kelelahan,
e. Distensi vena edema, ortopnea,
jugularis paroxymal nocturnal
menurun dyspnea, peningkatan
f. Dispnea CVP)
menurun b. Identifikasi
g. Tekanan darah tanda/gejala sekunder
membaik penurunan curah
h. Pengisian jantung (meliputi
kapiler peningkatan berat
membaik badan, hepatomegali,
i. Berat badan distensi vena jugularis,
membaik palpitasi, ronkhi
basah, oliguria, batuk,
kulit pucat)
c. Monitor intake
dan output cairan
d. Monitor berat badan
setiap hari pada waktu
yang sama
Terapeutik :

a. Posisikan pasien
semi- fowler atau
fowler dengan kaki ke
bawah atau posisi
nyaman
b. Berikan oksigen untuk
mempertahankan
saturasi oksigen >94%
Edukasi :

a. Anjurkan beraktivitas
fisik secara bertahap
b. Anjurkan berhenti
merokok
c. Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur
berat badan harian
d. Ajarkan pasien dan
keluarga mengukur
intake dan output
cairan
Kolaborasi :
a. Kolaborasi pemberian
antiaritmia, jika perlu
7. Gangguan Integritas kulit Meningkat a. Elastisitas Perawatan integritas
integritas kulit dan jaringan meningkat kulit (I.11353)
(D.0129) (L.14125) b. Hidrasi Observasi :
a. Identifikasi penyebab
meningkat
gangguan integrits kulit
c. Perfusi jaringan
(mis. Perubahan
meningkat
sirkulasi, perubahan
d. Kerusakan
status nutrisi,
lapisan kulit
penurunan kelembaban,
menurun
suhu lingkungan
e. Kemerahan ekstrem, penurunan
menurun mobilitas)
f. Suhu kulit Terapeutik :
membaik
a. Ubah posisi tiap 2
g. Sensasi
jika tirah baring
membaik b. Hindari produk
berbahan dasar alkohol
h. Tekstur
pada kulit kering
membaik
Edukasi :

a. Anjurkan
menggunakan
pelembab (mis.
Lotion, serum)
b. Anjurkan meningkatan

asupan nutrisi
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. (2008). Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC

Allen, Carol Vestal. (1998). Memahami Proses Keperawatan dengan Pendekatan

Latihan. Jakarta: EGC

Bagian Perencanaan. (2017). Profil 2017 Rumah Sakit Umum Daerah Abdul

Wahab Sjahranie. Diunduh pada tanggal 1 Desember 2018

http://www.rsudaws.co.id/uploads/DOWNLOAD/Profil%20RSUD%20A WS

%202017.pdf

Baradero, Mary, dkk. (2009). Klien Gangguan Ginjal. Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J. (2009). Buku Saku Patofisiologi, Ed. 3. Jakarta: EGC

Hasmi. (2012). Metode Penulisan Epidemiologi. Jakarta: CV. Trans Info Media

Hidayat Alimul Aziz, A. (2007). Metode Penelitian Keperawatan dan

Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika

Infodatin. (2017). Situasi Penyakit Ginjal Kronis. Diunduh pada tanggal 18


November2018
http://www.depkes.go.id/download.php?file=download/pusdatin/infodatin/
infodatin%20ginjal%202017.pdf Irwan. (2016). Epidemiologi Penyakit
yang Tidak Menular. Yogyakarta: Deepublish

Kementrian Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. (2018).

Hasil Utama RISKESDAS 2018.Diunduh pada tanggal 1 Desember 2018

http://www.depkes.go.id/resources/download/infoterkini/materi_rakorpop_2018/

Hasil%20Riskesdas%202018.pdf

Moeloek, F Nila. (2018). Air Bagi Kesehatan: Upaya Peningkatan Promotif


Preventif Bagi Kesehatan Ginjal Di Indonesia. Diunduh pada tanggal 18

November 2018 https://www.persi.or.id/images/2018/data/materi_menkes.pdf

Nuari, Nian A. (2017). Gangguan Pada Sistem Perkemihan &

Penatalaksanaannya, Ed.1. Yogyakarta: Penerbit Deepublish

Nurarif, Huda A, dan Kusuma Hardhi. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 2. Jogjakarta:

Mediaction

Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika

Rajiv, Saran. (2016). The State of Kidney Disease in the US: New Findings &

High Impact Practices Linked to Improved Patient Outcomes. Jurnal USRDS.

Vol.2. Diunduh pada tanggal 18 November 2018

https://www.usrds.org/2016/pres/The_State_of_Kidney_Disease_in_US.pdf

Smeltzer, C Suzanne & Bare, G Brenda. (2015). Buku Ajar Keperawatan

Medikal-Bedah Brunner&Suddarth, Ed.8, Vol.2. Jakarta: EGC

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:

Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

You might also like