You are on page 1of 198

ANALISIS WACANA KEKERASAN TERHADAP

PEREMPUAN DI MEDIA ONLINE KONDE.CO

Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Dakwan dan Ilmu Komunikasi untuk
Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Nurul Fathya Azizah


NIM 11140510000107

KONSENTRASI JURNALISTIK
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2018 M
ABSTRAK

Nurul Fathya Azizah


Analisis Wacana Kekerasan Terhadap Perempuan di Media Online
Konde.co

Tingkat kekerasan terhadap perempuan hingga saat ini masih sangat


tinggi. Kekerasan terhadap perempuan hampir terjadi disemua ranah baik
kekerasan dalam rumah tangga, juga kekerasan publik. Indonesia masih
terkonstruksi budaya patriarki yang membentuk pola berpikir perempuan dibawah
laki-laki menjadi salah satu penyebab kekerasan terhadap perempuan terjadi. Pola
pikir tersebut dapat berubah jika diimbangi dengan edukasi dan pengetahuan.
Media massa merupakan salah satu institusi pendidikan bagi masyarakat
Indonesia. Konde.co sebagai media massa online ikut berperan untuk memberikan
literasi kepada masyarakat tentang marjinalisasi, subordinasi, diskriminasi,
kekerasan dan stigma negatif terhadap perempuan.
Rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimana kekerasan terhadap
perempuan dikonstruksi oleh Konde.co. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menemukan makna yang terkandung dalam pemberitaan dalam wacana kekerasan
terhadap perempuan di media online.
Penelitian ini menggunakan analisis wacana Teun A van Dijk yang
meneliti wacana dengan menggunakan beberapa dimensi. Pertama, segi teks,
bertujuan untuk melihat strategi representasi penulis dalam sebuah wacana.
Kedua,, segi kognisi sosial, melihat bagaimana pemahaman penulis terhadap
realitas dalam suatu wacana. Ketiga, segi konteks sosial, yang mempengaruhi
realitas yang disampaikan penulis. Penelitian ini juga menggunakan Teun A. van
Dijk sebagai teori.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan
kualitatif. Paradigma konstruktivis melihat bahasa bukan hanya alat untuk
memahami realitas objektif melainkan terdapat kontrol yang dilakukan penulis
dalam setiap wacana. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena
penelitian dilakukan secara mendalam dengan mengumpukan data yaitu
pemberitaan isu kekerasan terhadap perempuan dan melakukan wawancara
dengan pihak terkait. Dijabarkan dalam bentuk deskriptif dengan memanfaatkan
berbagai metode ilmiah.
Hasil analisis menunjukkan bahwa Konde.co melihat kekerasan terhadap
perempuan terjadi karena sistem negara yang belum berpihak pada perempuan.
Dilihat dari bagaimana institusi negara yang membuat perempuan didiskriminasi
dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Wartawan menuliskan berita
bertujuan pada pembelaan terhadap perempuan. Ideologi dan latar belakang
wartawan yang mayoritas adalah aktivis perempuan sangat mempengaruhi teks
yang terbentuk. Konde.co memanfaatkan media online untuk menjadi tandingan
media mainstream yang belum berpihak pada perempuan.
Kata kunci: Media online, Kekerasan terhadap perempuan

i
ii

KATA PENGANTAR

Segala puji serta syukur, saya panjatkan kepada Allah


SWT. Tuhan semesta alam yang telah memberikan limpahan
karunia, ridho-Nya, dan ribuan nikmat kepada semua makhluk di
bumi ini. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada
Rasulullah SAW yang telah membawa ummatnya menuju jalan
kebenaran.

Atas berkat dan kenikmatan itulah, saya masih diberikan


nikmat sehat dan bernafas, menghirup udara sampai detik ini
sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini guna mendapatkan
gelar Sarjana Sosial (S.Sos). Dalam menyelesaikan skripsi ini,
tentunya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka dari
itu, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Arief Subhan, M.A, Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan


Ilmu Komunikasi, Suparti M,Ed Ph.D wakil Dekan
Bidang Akademik, Dr. Hj Roudhonah, M.A Wakil Dekan
Bidang Administrasi Umum, Dr. Suhaimi M.Si, Wakil
Dekan Bidang Kemahasiswaan.
2. Kholis Ridho, M.Si dan Dra Hj. Musfira Nurlaily, M.A
Ketua dan Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik.
3. Terimakasih banyak kepada Ibu Ade Rina Farida M,Si
sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu
dan banyak memberikan masukan juga dukungan selama
penyusunan skripsi ini.
iii

4. Para dosen, karyawan, dan staf Tata Usaha Fakultas Ilmu


Dakwah dan Ilmu Komunikasi, juga seluruh staf pengurus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama peneliti kuliah di
kampus UIN.
5. Terimakasih kepada para staf pengurus Perpustakaan
Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak
membantu peneliti dalam melakukan penelitian ini.
6. Terimakasih kepada para staf pengurus Perpusatakaan
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang telah
banyak membantu peneliti dalam melakukan peneltian ini.
7. Kepada Konde Institute yang telah membantu peneliti. Ka
Luviana, Ka Poedji Tan yang bersedia meluangkan
waktunya untuk wawancara dan selalu bersedia ketika
peneliti membutuhkan data.
8. Secara khusus dan paling utama adalah kepada kedua
orang tua, M. Kholilludin dan Suhelawati yang telah
memberikan kasih sayang, motivasi, dan dukungan untuk
segera cepat menyelesaikan skripsi ini. Jasa kalian tidak
akan sanggup saya ganti dengan apa pun. Kepada kedua
orang tua saya, skripsi ini dipersembahkan.
9. Kepada adik-adik saya, Umam Adillah Al-Rasyid, Aulia
Izzatusyahidah, dan Umar Wildan Al-Rasyid.
10. Kepada Nenek Emak yang telah banyak mendoakan saya
agar bisa lancar menyelesaikan skripsi ini. Tante Fera
Wati yang telah mendoakan saya. Juga Khanza Aqilla
Zahra sepupu peneliti yang banyak memberikan hiburan
kepada peneliti.
iv

11. Untuk seluruh anggota Hot Chilli Papper, Puan Samisara


Pohan, Amalia Khaerani, Yuandita Lestari, Luciana
Amanda, Indah Rizki Nanda dan Dewi Kusuma yang
telah banyak mendukung. Semoga kita semua bisa jadi
sarjana di tahun 2018!!
12. Sahabat dan rekan bisnis saya Pedagang NIPNAP tercinta
Puan Samisara Pohan dan Amalia Khaerani yang telah
sangat setia menemani serta mendengar seluruh keluh
kesah peneliti sepanjang penyusunan skripsi ini.
13. Untuk sahabat-sahabat tersayang yang terpisahkan oleh
jarak Tangerang-Bandung dan Tangerang-Bekasi. Nudiya
Ayati Sabila, Ambar Nabiilah, Zahra Aulia, Hana Hanifa,
dan Nur Athiyah. Terimakasih sudah bersedia mendengar
seluruh curhatan peneliti dan mau menghabiskan waktu
videocall di malam hari untuk saling menghibur.
14. Untuk Dwi Rahma, Dwi Putri Aulia, Nurma Aulia dan
Haziyah Rif’at Fathaniah terimakasih sudah membantu
peneliti dan mau menjadi tempat peneliti bertanya banyak
hal seputar skripsi dan wisuda.
15. Untuk Afhi Fadhlika terimakasih sudah mendengarkan
seluruh keluhan yang amat panjang dan mau menghibur
ketika saya sedang berada pada titik jenuh.
16. Mamah Alrine yang telah memberikan doa serta
dukungan kepada peneliti.
17. Untuk Nadia Luthfiyah teman sekosan saya selama empat
tahun yang telah mengukir cerita bersama dan melewati
susah senang bersama.
v

18. Kepada teman-teman sekelas seperjuangan Jurnalistik


2014 terimakasih atas kebersamaan selama empat tahun
ini. Ayo semangat terus untuk menyusul wisuda.

Akhirya peneliti hanya mampu mengucapkan terima kasih


yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak
membantu peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung.
Semoga Allah SWT semakin menambah rahmat dan karunia-Nya
kepada kita semuaa. Peneliti mohon maaf bila terdapat kesalahan
dalam penulisan karya ilmiah ini. Harapan peneliti, semoga
skripsi ini bermanfaat untuk para pembacanya, Aamiin Yaa
Robbal Aalamin.

Wassalam

Tangerang, 10 Juni 2018

Peneliti
vi

DAFTAR ISI
ABSTRAK......................................................................................i
KATA PENGANTAR..................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................vi
DAFTAR TABEL........................................................................ix
DAFTAR GAMBAR....................................................................x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...............................................1
B. Batasan dan Rumusan Masalah....................................7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.....................................7
D. Metodologi Penelitian..................................................7
1. Paradigma Penelitian..............................................8
2. Pendekatan Penelitian...........................................10
3. Metode Penelitian.................................................10
4. Waktu dan Tempat Penelitian..............................11
5. Subjek dan Objek Penelitian................................11
6. Teknik Pengumpulan Data...................................12
E. Tinjauan Pustaka........................................................13
F. Sistematika Penulisan.................................................16

BAB II LANDASAN TEORI DAN


KERANGKA KONSEPTUAL
A. Analisis Wacana.........................................................17
B. Analisis Wacana Teun A van Dijk.............................21
1. Teks......................................................................23
2. Kognisi Sosial.......................................................32
3. Konteks Sosial......................................................34
vii

C. Media Massa...............................................................36
D. Media Online..............................................................38
E. Media Siber (Cyber Media)........................................40
F. Kekerasan Terhadap Perempuan................................43

BAB III GAMBARAN UMUM


A. Profil Konde.co...........................................................50
B. Visi dan Misi Konde.co..............................................56
C. Struktur Kepengurusan Konde.co...............................57
D. Rubrikasi Konde.co....................................................59

BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA


A. Analisis Teks..............................................................61
1. Analisis Teks Berita 1..........................................61
2. Analisis Teks Berita 2..........................................79
3. Analisis Teks Berita 3..........................................96
4. Analisis Teks Berita 4........................................120
B. Analisis Kognisi Sosial............................................137

BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan...............................................................150
B. Saran.........................................................................151

DAFTAR PUSTAKA...............................................................153
LAMPIRAN..............................................................................156
viii

DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Struktur Analisis van Dijk
Tabel 2.2 Elemen Analisis Wacana van Dijk
Tabel 3.1 Struktur Kepengurusan Konde.co
ix

DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Model Analisis van Dijk
Gambar 3.1 Bounce Rate Pengunjung Konde.co
Gambar 3.2 Jenis Kelamin Pengunjung Konde.co
Gambar 3.3 Pendidikan Pengunjung Konde.co
Gambar 3.4 Browsing Location Pengunjung Konde.co
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Tingkat kekerasan terhadap perempuan hingga saat ini
masih tetap tinggi. Dari Data Catatan Akhir Tahun 2017, ada
259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan
dan ditangani selama tahun 2016, yang terdiri dari 245.548 kasus
bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh 359
Pengadilan Agama, serta 13.602 kasus yang ditangani oleh 233
lembaga mitra pengada layanan, tersebar di 34 provinsi.1
Kekerasan terhadap perempuan hampir terjadi di semua
ranah. Secara umum bentuk kekerasan terhadap perempuan dapat
dikategorikan menjadi dua, yaitu kekerasan di ranah domestik (di
dalam rumah tangga) dan kekerasan di ranah publik (di luar
rumah tangga).
Berdasarkan data-data yang terkumpul dari Komnas
Perempuan pada tahun 2017 jenis kekerasan terhadap perempuan
yang paling menonjol setiap tahunnya adalah KDRT (Kekerasan
Dalam Rumah Tangga). Persentase tahun ini mencapai 75%
(10.205). Pada ranah ini kekerasan yang paling menonjol adalah
kekerasan fisik 4.281 kasus (42%), selanjutnya kekerasan seksual
3.495 kasus (34%), psikis 1.451 kasus (14%) dan ekonomi 978
1
Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan
Tahun 2017 diakses pada 27 Oktober 2017 dari
https://www.komnasperempuan.go.id/reads-catatan-tahunan-kekerasan-
terhadap-perempuan-2017

1
2

kasus (10%). Persentase tersebut memperlihatkan ketimpangan


relasi gender antara laki-laki dan perempuan cukup besar. Hal
tersebut terlihat dari posisi kedudukan perempuan yang selalu
berada dibawah laki-laki.2
Konsep berpikir budaya patriarki yang membentuk pola
berpikir tentang kedudukan perempuan adalah dibawah laki-laki.
Secara istilah kata “Patriarki” digunakan untuk menyebutkan
kekuasaan laki-laki. Patriarki biasa disebut juga “rule of the
father” atau aturan ada ditangan ayah. Antropolog sering
menggunakan istilah ini untuk menjelaskan struktur sosial yang
memberikan kekuasaan kepada laki-laki tertua yang tidak terbatas
terhadap setiap orang didalam keluarganya.3
Dengan demikian, patriarki secara ringkas dapat dipahami
sebagai “men power” atau kekuasaan laki-laki. Salah satu bentuk
patriarki adalah kekuasaan untuk menguasai yang lemah, juga
memengaruhi yang lemah untuk mengikuti jalan pikirannya.
Budaya patriarki inilah yang mendasari adanya bentuk
ketidakadilan, diskriminasi, bahkan bentuk kekerasan yang
dialami oleh perempuan.
Kekerasan (violence) merupakan suatu bentuk serangan
terhadap fisik juga karakter mental psikologi seseorang. Ada
banyak sumber penyebab terjadinya kekerasan, namun salah

2
Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan
Tahun 2017 diakses pada 27 Oktober 2017 dari
https://www.komnasperempuan.go.id/reads-catatan-tahunan-kekerasan-
terhadap-perempuan-2017
3
Fadilah Suralaga, Tati Hatimah, dkk, Pengantar Kajian gender,
(Jakarta: MCGill Project/IISEP, 2003), h. 58
3

satunya bersumber dari anggapan gender. Kekerasan ini disebut


sebagai “gender-related violence”. Kekerasan tersebut pada
dasarnya disebabkan oleh kekuasaan.4
Jangkauan kekerasan ini cukup luas, diantaranya seperti
ekploitasi seksual, perdagangan perempuan (trafficking),
perkosaan, pornografi, pelecehan seksual, pengabaian hak-hak
reproduksi, dan sebagainya. Kekerasan terhadap perempuan
berbasis gender masih banyak dialami oleh perempuan di
Indonesia. Sebuah bentuk kekerasan yang terjadi pada manusia
karena nilai-nilai yang diyakini masyarakat bahwa perempuan
lebih rendah dari laki-laki.
Kekerasan yang melahirkan dampak luas pada kehidupan
perempuan, nilai-nilai yang menempatkan perempuan sebagai
makhluk yang dianggap lemah, dianggap warga negara kelas dua,
dianggap tidak boleh berada di wilayah publik, dianggap tidak
mampu memimpin dan menduduki jabatan tertentu tidak mampu
mengemban tugas serta tidak mampu mengambil keputusan, atau
makhluk yang dianggap hanya sebagai objek seksual pemuas
nafsu semata.5
Isu mengenai kekerasan perempuan seringkali dianggap
sebagai persoalan individu padahal isu tersebut sudah menjadi isu

4
Trisakti Handayani, Sugiati, M.Si., Konsep dan Teknik Penelitian
Gender, (Malang, UMM Press, 2002), h. 18
5
Konde Institute, “Forum Pengadaan Layanan, Penumbuh Harapan
Bagi Korban Kekerasan Gender”, artikel diakses pada 25 November 2017
dari http://www.konde.co/2016/11/forum-pengada-layanan-penumbuh-
harapan.html
4

global yang mengundang perhatian banyak kalangan. Kasus-


kasusnya pun sudah banyak ditampilkan dalam media massa.
Media massa terus berperan penting dalam kehidupan kita.
Media massa menjadi jendela yang memungkinkan khalayak
melihat apa yang terjadi diluar sana. Memberi masyarakat sarana
untuk mengambil keputusan dan membentuk opini kolektif yang
digunakan untuk bisa lebih memahami diri mereka sendiri.
Media massa merupakan sumber utama untuk mengembangkan
nilai-nilai dalam masyarakat. Media massa juga digunakan
sebagai forum untuk merepresentasikan berbagai informasi dan
ide-ide kepada khalayak, sehingga memungkinkan terjadinya
tanggapan dan umpan balik.6
Keberadaan pers sudah dianggap sebagai the fourth estate
(kekuatan keempat) dalam sistem kenegaraan, setelah legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Sebagai pilar keempat itu, media massa
cetak, elektronik bahkan media online dalam dimanfaatkan
sebagai pembentuk opini publik, penyalur aspirasi rakyat, alat
yang dapat ikut mempengaruhi kebijakan politik negara, serta
pembela kebenaran dan keadilan.7
Konde.co adalah sebuah media online yang memiliki
tujuan pada pembelaan terhadap perempuan dan masyarakat
marjinal.. Konde.co menggunakan media massa dalam
menyampaikan pemikiran mereka tentang pembelaan terhadap
masyarakat marjinal juga hak asasi perempuan. Memanfaatkan
6
Denis McQuail, Mass Communication Theory, 4th Edition,
(London: Sage Publication, 2000) h. 4
7
Zaenuddin HM, The Journalist, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007),
h.5-6
5

media online, Konde.co bertujuan untuk merekonstruksi


pemikiran masyarakat agar membuka mata terhadap masyarakat
marjinal dan perempuan, terutama pada kekerasan terhadap
perempuan.
Konde.co berbeda dengan media online perempuan lainnya
yang lebih banyak memilih rubrik seputar lifestyle. Dalam
rubriknya Konde.co lebih mengangkat sosial humaniora seputar
perempuan. Jenis tulisan yang disajikan pun tergolong sedikit
berat karena menguak sisi-sisi kehidupan marjinal, diskriminasi,
subordinasi, kekerasan hingga stigma negatif terhadap perempuan
dan masyarakat marjinal. Konde.co menyajikan tulisan lewat
perspektif perempuan. Mengangkat sebuah kasus pemberitaan
lalu dikemas menggunakan sudut pandang yang berbeda dari
media lainnya.
Konde.co hadir sebagai media tandingan dimana media
massa lain masih banyak mengeksploitasi perempuan dalam
beritanya serta menjadikan perempuan sebagai objek. Konde.co
hadir sebagai bentuk advokasi, ruang aspirasi perempuan dalam
mengeluarkan pendapat dan pikiran kepada khalayak yang
selama ini belum bisa disampaikan melalui media massa.
Konde.co didirikan oleh sejumlah individu yang
mempunyai keresahan yang sama terhadap marjinalisasi,
diskriminasi, subordinasi, kekerasan dan stigma negatif terhadap
perempuan juga masyarakat marjinal. Melalui tulisan, Konde.co
hadir dengan gagasan untuk mengelola ruang publik dari sudut
6

pandang perempuan dan masyarakat marjinal yang memberikan


pemaham, pencerahan, kesadaran, dan daya kritis masyarakat.
Konde.co dikelola perkumpulan bernama: Konde Institute,
sebuah perkumpulan yang memperjuangkan kebebasan
berekspresi, berserikat dan berpendapat bagi perempuan dan
kelompok marjinal di media.8 Bersama Komnas Perempuan,
Konde.co ikut berperan melawan kekerasan perempuan dan
masyarakat marjinal. Selain itu Konde.co juga melatih menulis
para buruh dan pekerja rumah tangga dalam upaya menyuarakan
suara mereka ke ranah publik. Konde.co berusaha
mengkonstruksi para pembaca agar membuka mata terhadap
gerakan pembelaan terhadap perempuan dan masyarakat marjinal
di Indonesia.
Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas,
maka peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Wacana Kekerasan Terhadap Perempuan di Media
Online Konde.co ”

Konde Institute, “About Us”, diakses pada 25 November 2017 dari


8

http://www.konde.co/p/about.html
7

B. Batasan Masalah
Batasan masalah penelitian ini adalah menemukan
bagaimana sebuah teks diproduksi. Penelitian ini hanya meneliti
sampai bagaimana sebuah teks dibentuk dalam sebuah media.
Sehingga analisis wacana Teun A van Dijk yang digunakan
dalam penelitian ini hanya sampai level kognisi sosial.

C. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah diatas rumusan masalah penelitian ini
adalah “Bagaimana wacana kekerasan terhadap perempuan
dikonstruksi oleh media online Konde.co?”

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


1. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui bagaimana Konde.co
mengkonstruksi isu kekerasan terhadap perempuan.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan diharapkan dapat
memberi manfaat bagi pembaca yaitu:
a. Manfaat Teoritis
Penelitian ini akan bermanfaat untuk memberikan
gambaran empiris dari fungsi media massa dalam
memaparkan isu kekerasan terhadap perempuan
dalam sebuah pemberitaan. Penelitian ini
menggunakan analisis konstruktivis dalam
meneliti pemberitaan mengenai isu kekerasan
8

terhadap perempuan yang disajikan media online


sehingga dapat memberikan telaah pengaruh
ideologi media terhadap produksi teks.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan terhadap studi jurnalistik, khususnya
media online wanita sendiri dan mengingatkan
para jurnalis perempuan untuk mempunyai
kesadaran akan isu kekerasan terhadap perempuan
sehingga dapat memperjuangkan kepentingan
perempuan melalui tulisannya.

E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma disebut juga sebagai sistem keyakinan
dasar atau cara pandang terhadap dunia yang
membimbing peneliti.9 Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan paradigma konstruktivisme. Dalam
pandangan konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya
dilihat sebagai alat memahami realitas objektif belaka.
Konstruktivisme menganggap subjek sebagai faktor
sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan
sosialnya.10

9
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 26
10
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media,
(Yogyakarta: LkiS Group, 2011), h.5
9

Menurut pandangan ini, bahasa tidak hanya dilihat


dari segi gramatikal, tetapi juga dilihat dari makna yang
terdapat dalam bahasa tersebut. sehingga, hasil analisis
dari pandangan ini adalah membongkar maksud dan
makna tertentu yang disampaikan subjek pembuat bahasa
tersebut.11
Dalam buku bahasa dan politik. A.S. Hikam
berpendapat bahwa subjek memiliki kemampuan
melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu
dalam setiap wacana.12 Dari pernyataan tersebut dapat
disimpulkan bahwa bahasa merupakan dimensi yang
diatur oleh subjek dengan tujuan penyampaian makna
tertentu. Setiap penyampaian dengan menggunakan
bahasa merupakan penciptaan makna dengan tujuan
tertentu.
Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan
sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud dan
makna-makna tertentu dibalik sebuah wacana. Maka,
peneliti menggunakan paradigma konstruktivis untuk
menggali dan mengetahui apa makna dibalik pemberitaan
tentang isu kekerasan terhadap perempuan di Konde.co.

11
Jumroni dan Suhaemi, Metode-metode Penelitian Komunikasi,
(Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), hal. 83
12
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.5
1

2. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah penelitian yang
bermaksud memahami tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian, perilaku, persepsi, motivasi, tindakan
dan lain-lain secara holistik. Dijabarkan dalam bentuk
kata secara deskriptif dengan memanfaatkan berbagai
metode ilmiah. 13
Penelitian ini bertujuan untuk menangkap berbagai
fakta melalui pengamatan. Kemudian menganalisanya dan
berupaya untuk merefleksikan hasil analisa dengan cara
deskriptif. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang diperoleh
setelah melakukan analisis terhadap permasalahan
penelitian.
3. Metode Analisis Data
Metode penelitian yang digunakan adalah metode
analisis wacana model Teun A van Djik. Penelitian ini
dilakukan dengan cara mendeskripsikan kekerasan
terhadap perempuan menurut kacamata penulis berita di
Konde.co.
Teun A. van Djik memiliki tiga struktur
pewacanaan, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial.
Metode ini juga memiliki tiga elemen teks dalam
menganalisis wacana, yaitu struktur makro, superstruktur,

13
Lexy J Moleon, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung:
PT remaja Rosdakarya, 2006), h. 6
1

dan struktur mikro.14 Dengan menggunakan analisis


wacana Teun A. van Dijk, penelitian ini akan menemukan
bahwa struktur bahasa tidak berdiri sendiri namun bahasa
ikut berperan dan dipengaruhi oleh kognisi sosial dan
konteks sosial komunikan.
Penelitian ini menggunakan analisis wacana Teun
A. van Dijk untuk membuktikan adanya pengaruh kognisi
sosial dan konteks sosial penulis berita terhadap teks
berita dalam pemberitaan tentang isu kekerasan terhadap
perempuan di Konde.co.
4. Waktu dan Tempat Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di redaksi Konde.co
yang terletak di jalan Haji Gaim, Petukangan Selatan,
Jakarta selatan dan waktu penelitian dilaksanakan pada
Maret-Juni 2018.
5. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah wartawan atau penulis
yang menulis pemberitaan kekerasan tentang perempuan
di Konde.co. Sedangkan objek penelitian ini adalah
pemberitaan tentang kekerasan terhadap perempuan yang
tulis oleh media online Konde.co pada periode bulan
Oktober dan November 2017.

14
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media,
2
1

6. Teknik Pengumpulan Data


a. Dokumentasi
Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan
data dari sumber seperti dokumen dan rekaman.15
Dokumentasi yang dilakukan adalah dengan
mengumpulkan berita-berita dari website Konde.co
yang berkaitan dengan isu kekerasan terhadap
perempuan pada periode Oktober dan November
2017.
b. Wawancara Mendalam
Wawancara adalah percakapan dengan maksud
tertentu. Percakapan itu, dilakukan oleh dua pihak,
yaitu pewawacara (interviewer) yang mengajukan
pertanyaan dan terwawancara (interviewee).16 Ketika
seorang peneliti melakukan wawancara mendalam
berarti peneliti mengharapkan memperoleh informasi
dari informan yang tidak dapat terungkap dari
pertanyaan kuesioner.17 Wawancara dilakukan
dengan pengelola Konde.co yang juga penulis yang
menulis pemberitaan tentang kekerasan perempuan di
Konde.co.

15
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik,
h.176
16
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 186
17
Imam Gunawan, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan
h.
1

F. Tinjauan Pustaka
a. Skripsi Weldania Isnaini (1110051100053) Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Program
Konsentrasi Jurnalistik dengan judul Analisis
Wacana Pemberitaan Tes Keperawanan Pada
Calon Polwan di Republika Online. Skripsi ini
membahas mengenai pemberitaan tes keperawanan
yang dilakukan pada para calon polwan. Pemberitaan
tersebut mendapat banyak tentangan karena tes
keperawanan merupakan pelanggaran HAM dan
pelecehan terhadap perempuan. Penelitian ini
menggunakan paradigma konstruktivisme, dan
analisis wacana Teun A.van Dijk. Hasil penelitian ini
adalah pada level teks disimpulkan bahwa teks
keperawanan merupakan bentuk kekejaman dan
menimbulkan trauma bagi yang menjalankannya. Pada
kognisi sosial menyebutkan bahwa tes keperawanan
pada calon polwan adalah tidakan yang tidak penting,
karena masih banyak kasus lain yang lebih penting
untuk ditangani oleh polisi. Pada level konteks,
disimpulkan bahwa tes keperawanan tidak ada
hubungannya dengan kinerja yang sangat diharapkan
masyarakat dari seorang polwan.
Perbedaan penelitian yang ditulis Weldiana Isnaini
dengan penelitian ini adalah perbedaan objek
penelitian. Selain itu penelitian ini berfokus pada
1

seperti apa wartawan mengkonstruksi pemberitaan


mengenai isu kekerasan terhadap perempuan.
b. Skripsi Arsita Murtisari ( 1111051100024) Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Program
Konsentrasi Jurnalistik dengan judul Representasi
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Media
Massa (Analisis Wacana tayangan Harta Tahta
Wanita di Trans TV). Skripsi ini membahas
mengenai tayangan televisi yang menggambarkan
kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh
perempuan. Menggunakan analisis wacana Sara Mills,
paradigma kritis, dan teori representasi Stuart Hall.
Hasil penelitian dari skripsi ini adalah posisi subjek
yang digambarkan dalam tayangan Harta Tahta
Wanita di Trans TV didominasi oleh laki-laki.
Sedangkan, perempuan berada di posisi objek dan
menjadi korban atas tindakan kekerasan yang
dilakukan laki-laki. Untuk posisi penonton, produser
tidak terlalu mengarahkan penonton untuk
memposisikan diri ke pihak laki-laki atau perempuan.
Bentuk representasi kekerasan dalam rumah tangga
yang tercermin dalam tayangan tersebut adalah
kekerasan fisik, psikis, seksual, dan ekonomi,
Perbedaan penelitian Arsita Murtisari dengan
penelitian ini adalah perbedaan objek dan model
analisis wacana. Penelitian Arsita menggunakan
analisis wacana Sara Mills sedangkan penelitian ini
1

menggunakan analisis wacana Teun A van Dijk. Sara


Mills digunakan untuk menemukan subjek dan objek
didalam wacana sedangkan Teun A van Dijk memiliki
hasil akhir bahwa sebuah teks dipengaruhi kognisi
sosial dari seorang wartawan.
c. Skripsi Tia Agnes Astuti (106051101943) Fakultas
Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Program
Konsentrasi Jurnalistik dengan judul Analisis
Wacana Teun A. van Dijk Terhadap Berita
“Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Pada
Majalah Pantau. Penelitian ini menggunakan
paradima konstruktivis, pendekatan kualitatif dengan
pisau analisis wacana model Teun A. van Dijk.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa teks tidak lahir
dari realitas yang diambil apa adanya nemun realitas
dari peristiwa tersebuh dikonstruksi oleh pihak di
belakang wacana teks tersebut. Sama halnya seperti
peristiwa Simpang Kraft yang direportase oleh Chik
Rini. Peristiwa Simpang Kraft itu tidak terjadi karena
alamiah bentrokan belaka, namun dibangun oleh pihak
GAM dan militer Indonesia yang menorehkan satu
lagi peristiwa berdarah di Aceh.
Perbedaan penelitian Tia Agnes dengan penelitian ini
adalah berbeda objek penelitian. Penelitian ini
berfokus pada wacana kekerasan terhadap perempuan
di media online, sedangkan penelitian Tia Agnes
berfokus pada jurnalistik sastra.
1

G. Sistematika Penulisan
BAB I. PENDAHULUAN
Pada bab ini peneliti akan menguraikan tentang latar
belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, waktu dan tempat penelitian,
subjek dan objek penelitian, teknik pengumpulan data,
tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.
BAB II. LANDASAN TEORI DAN KONSEPTUAL
Bab ini peneliti menguraikan tentang teori analisis wacana
Teun A. van Dijk, konsep media massa, konsep media
online, kondep media siber (cyber media) dan kekerasan
terhadap perempuan.
BAB III. GAMBARAN UMUM
Bab ini peneliti membahas tentang profil Konde.co, visi
dan misi Konde.co, struktur kepengurusan Konde.co, dan
jenis rubrik di Konde.co.
BAB IV. TEMUAN DAN ANALISIS DATA
Bab ini berisikan analisis teks, analisis kognisi sosial dan
analisis konteks sosial pemberitaan isu kekerasan terhadap
perempuan.
BAB V. PENUTUP
Bab lima adalah penutup yang berisikan kesimpulan dari
penelitian mengenai hasil penelitian ini.
BAB II

LANDASAN TEORI DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A. Analisis Wacana
Analisis wacana terdiri dari dua kata, yaitu analisis
dan wacana. Analisis menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) adalah penyelidikan terhadap suatu
peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab musabab,
duduk perkaranya, dan sebagainya); penguraian suatu pokok
atas berbagai bagiannya dan penelaah bagian itu sediri serta
hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang
tepat dan pemahaman arti keseluruhan.1
Istilah wacana diperkenalkan oleh para ahli linguis
(ahli bahasa) di Indonesia sebagai terjemahan dari istilah
bahasa inggris, ‘discourse’. Kata ‘discourse’ sendiri berasal
dari bahasa Latin, discursus (lari ke sana ke mari). Kata ini
diturunkan dari kata ‘dis’ (dan/ dalam arah yang berbeda-
beda) dan kata ‘currere’ (lari).2
Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer menuliskan
tiga makna dari istilah wacana. Pertama, percakapan, ucapan,
dan tutur. Kedua, keseluruhan tutur atau cakapan yang
merupakan satu kesatuan. Ketiga, satuan bahasa terbesar

1
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, Cet. Ke-1, 1998), h. 32
2
Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana,
(Yogyakarta: Kanisis, 1993), h.3

17
7

terlengkap yang realisasinya pada bentuk karangan yang


utuh, seperti novel, buku, dan artikel.3
Analisis wacana adalah salah satu alternatif dari
analisis isi selain analisis isi kuantitatif yang dominan dan
banyak dipakai. Jika analisis kuantitatif lebih menekankan
pada pertanyaan “apa” (what), analisis wacana lebih melihat
pada “bagaimana” (how) dari pesan atau teks komunikasi. 4

Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui


bagaimana isi teks berita, tetapi juga bagaimana pesan itu
disampaikan. Lewat kata, frase, kalimat, metafora seperti apa
suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana
bangunan struktur bahasa tersebut, analisis wacana lebih bisa
melihat makna yang tersembunyi dari suatu teks
Analisis wacana berbeda dengan apa yang dilakukan
analisis isi kuantitatif, antara lain. Pertama, analisis wacana
lebih menekankan pada pemaknaan teks daripada
penjumlahan unit kategori seperti analisis isi.5 Dasar dari
analisis wacana adalah interpretasi. Analisis wacana
memerlukan interpretasi peneliti dalam menentukan hasil
akhir penelitian. Hasil dari penelitian tidak bertujuan dimana
peneliti dan khalayak mempunyai penafsiran yang sama atas
suatu teks. Tetapi pada kesimpulan bahwa setiap teks dapat
dimaknai secara berbeda.

3
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, Edisi Ke-3 2002), h. 1709
4
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung, PT Remaja
Rosdakarya, 2012), h.68
5
Alex Sobur, Analisis Teks Media,
7

Kedua, analisis isi kuantitatif pada umumnya hanya


dapat digunakan untuk membedah muatan teks komunikasi
yang bersifat manifest (nyata), sedangkan analisis wacana
justru berpretensi memfokuskan pada pesan latent
(tersembunyi).6 Begitu banyak teks yang disajikan secara
tersembunyi. Tidak semua tanpa nyata dalam teks
merupakan makna sesungguhnya dari sebuah teks. Namun
setiap teks harus dianalisis karena mengandung makna
tersembunyi. Dalam analisis wacana unsur penting dalam
analisis dalah penafsiran. Peneliti harus mampu menafsirkan
tanda dan elemen dalam teks untuk menemukan makna
sesungguhnya dari sebuah teks.
Ketiga, analisis isi kuantitatif hanya dapat
mempertimbangkan “apa yang dikatakan” (what) tetapi tidak
menyelidiki “bagaimana ia dikatakan” (how).7 Apa yang
dikatakan oleh media bukan menjadi pokok penelitian
analisis wacana, tetapi bagaimana cara pesan disampaikan.
Hal ini disebabkan analisis wacana tidak hanya meneliti pada
level makro (isi teks) tetapi juga pada level mikro yaitu kata,
kalimat yang menyusun teks tersebut.
Dalam analisis wacana bukan hanya kata yang
memiliki maksud tersendiri, tetapi struktur wacana pun bisa
dikaji hingga menemukan keseluruhan maksud dari isi
berita. Bahkan dari makna kalimat dalam relasi koherensi
juga bisa ditemukan maksud tertentu di dalamnya. Maka

6
Alex Sobur, Analisis Teks Media,
h.71
7

dalam pendekatan ini, analisis peneliti digunakan untuk


memeriksa makna tersembunyi yang ada di balik banyak
sedikitnya detail di dalam teks.
Keempat, analisis wacana tidak berpretensi melakukan
generalisasi.8 Berbeda dengan analisis isi yang bertujuan
melakukan generalisasi, analisis wacana tidak melakukan
generalisasi dalam asumsi. Analisis wacana berpendapat
bahwa setiap peristiwa pada dasarnya selalu bersifat unik,
karena itu setiap kasus tidak dapat diperlakukan dengan
prosedur yang sama.
Analisis wacana menekankan bahwa wacana adalah
bentuk interaksi. Menurut van Dijk, sebuah wacana dapat
berfungsi sebagai suatu pernyataan (assertion), pertanyaan
(question), tuduhan (accusation), atau ancaman (threat).
Wacana juga dapat digunakan untuk mendiskriminasi atau
mempersuasi orang lain untuk melakukan diskriminasi. 9
Menurut Ann N. Crigler, analisis wacana termasuk
dalam pendekatan konstruksionis. Menurut Crigler,
setidaknya ada dua karakteristik penting dari pendekatan
konstruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis
menekankan pada pemaknaan dan proses bagaimana
seseorang membuat gambaran tentang realitas.10 Makna
merupakan hasil penafsiran seseorang dari suatu pesan.

8
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.71
9
Alex Sobur, Analisis Teks Media,
h.71
7

Kedua, Pendekatan konstruksionis tidak melihat


media sebagai sesuatu yang netral.11 Konstruksionis
memberi perhatian pada sumber dan khalayak. Dari sumber
(komunikator), pendekatan konstruksionis memeriksa
bagaimana pesan ditampilkan. Dari sisi penerima (khalayak)
pendekatan konstruksionis memeriksa bagaimana konstruksi
makna indivisu ketika menerima pesan. Pesan tidak
dipandang sebagai sesuatu yang menampilkan fakta dan
peristiwa apa adanya. Melainkan seorang komunikator
memberikan makna tersendiri dalam suatu peristiwa. Melalui
idiologi, pengalaman, dan pengetahuannya sendiri.
Analisis wacana menggunakan studi linguistik dalam
meneliti. Menganalisis bahasa pada aspek leksikal,
gramatikal, sintaksis, semantik, dan sebagainya. Tetapi
analisis wacana tidak berhenti pada aspek tekstual, tetapi
juga konteks dan proses produksi suatu teks.12

B. Analisis Wacana Teun. A. Van Dijk


Analisis wacana model Van Dijk dikenal dengan
sebutan “kognisi sosial” titik perhatian Van Dijk adalah pada
proses sebuah berita dibuat. Ia melibatkan pendekatan
psikologis yang menjelaskan struktur dan proses
terbentuknya suatu teks.13 Dalam analisis wacana ini Van
Djik mengamati bagaimana pandangan wartawan dan

11
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.72
12
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.72
13
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media,
(Yogyakarta: Lkis group, 2011), h.221
7

strateginya dalam membuat berita. Tidak hanya itu,


bagaimana struktur sosial dan ideologi yang telah
berkembang dimasyarakat juga menjadi titik perhatian Van
Djik.
Analisis wacana oleh Van Dijk digambarkan
mempunyai tiga dimensi: teks kognisi sosial, dan konteks
sosial. Inti analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga
dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis.
Analisis Van Djik menghubungkan analisis tekstual ke arah
analisis yang komprehensif, bagaimana teks berita itu
diproduksi, baik dalam hubungan dengan individu wartawan
maupun dari masyarakat.
Dalam penelitian ini peneliti membatasi penggunaan
analisis van Dijk hanya sampai membongkar teks untuk
menemukan makna sesungguhnya. Tidak sampai pada tahap
mengkritisi makna yang dihasilkan. Hal ini dikarenakan
penelitian ini menggunakan paradigna konstruktivis yang
bertujuan membedah teks hingga mengetahui makna dibalik
teks. Hasil dari penelitian ini hanya sampai pada elaborasi
data hingga menemukan makna sesungguhnya.
Gambar 2.1
Model Analisis van
Dijk

Teks

Kognisi sosial

Konteks sosial

Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.225


7

1. Teks
Pada dimensi teks, yang diteliti adalah struktur dari
teks. Van Dijk memanfaatkan dan mengambil analisis
linguistik untuk menjelaskan dan memaknai suatu teks.
Dalam menganalisa teks, Van Djik membaginya menjadi
tiga elemen, yaitu Struktur Makro, Superstruktur, dan
Struktur Mikro.
Pertama struktur makro adalah makna global/umum
dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau
tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua,
superstruktur merupakan struktur wacana yang berhubungan
dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks
tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro
adalah makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil
dari suatu teks yakni kata, kalimat proposisi, anak kalimat,
gambar dan parafrase. 14
Tabel. 2.1
Struktur Analisis van Dijk
Struktur Makro
Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangka

Superstruktur
Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi,

14
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 226
7

penutup, dan kesimpulan.

Struktur Mikro
Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati daari pilihan kata. Kalimat da

Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.


227
Semua elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling mendukung dan berh
wacana van Dijk tersebut.

Tabel. 2.2 Elemen Analisis Wacana van Dijk


Struktur Hal yang diamati Elemen
Wacana
Tematik Topik
Struktur Makro
Tema/topik yang
dikedepankan dalam suatu
berita
Skematik Skema
Superstruktur
Bagaimana bagian dan urutan
berita diskemakan dalam teks
berita utuh
7

Semantik Latar, Detail,


Struktur Mikro
Makna yang ingin ditekankan Maksud,
dalam teks berita. Misal Praanggapan,
dengan memberitkan detail
pada satu sisi atau membuat
eksplisit satu sisi dan
mengurangi detil sisi lain
Sintaksis Bentuk Kalimat,
Bagimana kalimat (bentuk, Koherensi, Kata
susunan) yang dipilih Ganti,
Nominalisasi

Stilistik Leksikon
Bagaimana pilihan kata yang
dipakai dalam teks berita
Retoris Grafis, Metafora,
Bagaimana cara penekanan Ekspresi
dilakukan
Sumber: Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.228-
229

a. Tematik
Elemen ini menunjukkan pada gambaran umum dari
suatu teks. Bisa disebut juga sebagai gagasan utama atau inti
dari suatu teks. Topik menggambarkan apa yang ingin
diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik
7

merupakan konsep yang paling penting dari isi suatu berita. 15


Ketika kita membaca sebuah buku, kita harus membaca buku
tersebut sampai tuntas barulah kita mendapatkan topik utama
dari buku tersebut. Begitu pula dengan berita, kita baru bisa
menyimpulkan topik dari berita tersebut setelah kita
membacanya sampai selesai. Topik dapat menggambarkan
gagasan apa yang dikedepankan atau gagasan inti wartawan
ketika melihat atau memandang suatu peristiwa.
Van Dijk menggagaskan bahwa wacana umumnya
dibentuk dalam tata aturan umum (macrorule). Teks tidak
hanya didefinisikan mencerminkan suatu pandangan tertentu
atau topik tertentu, tetapi dianggap sebagai suatu pandangan
umum yang koheren. Van Dijk menyebut hal ini sebagai
koherensi global (global coherence), yakni bagian-bagian
dalam teks kalau dirunut menunjuk pada suatu titik gagasan
umum. Dan bagian-bagian itu saling mendukung satu sama
lain untuk menggambarkan topik umum tersebut. Topik
menggambarkan tema umum dari suatu teks berita, topik ini
akan didukung oleh subtopik satu dan subtopik lain yang
saling mendukung terbentuknya topik umum.16 Gagasan van
Dijk ini berdasarkan pada bagaimana pandangan wartawan
ketika melipun suatu peristiwa dan memandang suatu
masalah berdasarkan suatu pikiran atau keadaan mental
tertentu. Kognisi atau mental itulah yang secara jelas dapat
dilihat dari topik yang dimunculkan dalam berita.

15
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.
229
7

b. Skematik
Sebuah teks atau wacana umumnya mempunyai alur
atau skema dari pendahuluan sampai akhir. Alur tersebut
menunjukkan bagian-bagian dalam teks disusun dan
diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Menurut van
Dijk, arti penting dari skematik adalah strategi wartawan
untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan
dengan menyusun bagian-bagian dengan urutan tertentu.
Skematik memberikan tekanan bagian mana yang
didahulukan dan bagian mana yang bisa disembunyikan.17
Berita umumnya mempunyai dua kategori skema
besar. Pertama, summary.18 Terdapat dua elemen yang
menjadi bagian dari Summary yaitu judul dan lead. Lead
merupakan pengantar singkat tentang apa yang ingin
disampaikan sebelu masuk kedalam isi berita. Judul dan lead
biasanya menunjukkan tema yang ingin disampaikan
wartawan dalam pemberitaannya.
Kedua, story yakni isi berita secara keseluruhan. Isi
berita ini memiliki dua subkategori. Pertama berupa situasi,
yakni proses terjadinya peristiwa, sedangkan yang kedua
adalah komentar yang ditampilkan dalam teks.19
Subkategori situasi terbagi menjadi dua. Pertama,
mengenai episode dari kisah utama peristiwa tersebut.
Kedua, adalah latar untuk mendukung episode yang

17
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 234
18
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.
232
8

disajikan kepada khalayak. Sedangkan subkategori komentar


adalah yang menggambarkan bagaimana pihak-pihak yang
terlibat memberikan komentar atas peristiwa yang terjadi.
Subkategori komentar dibagi menjadi dua bagian, pertawa
reaksi atau komentar verbal dari tokoh yang dikutip oleh
wartawan. Kedua, kesimpulan yang diambil oleh wartawan
dari komentar berbagai tokoh.20
Van Djik beranggapan bahwa superstruktur
merupakan satu kesatuan yang koheren. Ketika suatu lead
diungkapkan maka bagian-bagian lain dalam sebuah berita
akan mendukung lead tersebut dan keseluruhan bagian-
bagian tersebut saling berkiatan satu sama lain. Skema bukan
hanya tentang teks berita yang disusun. Tetapi ada strategi
yang sengaja dibentuk wartawan dalam memaknai suatu
peristiwa.
c. Semantik
Dalam skema van Dijk semantik dikategorikan
sebagai makna lokal (local meaning), yakni makna yang
muncul dari hubungan antarkalimat yang membangun makna
tertentu dalam suatu bangunan teks.21 Analisis wacana
banyak terfokus pada makna yang eksplisit atau implisit,
makna yang sengaja disembunyikan, bagaimana pembuat
teks menulis seperti itu. Semantik tidak hanya pada bagian
mana yang penting dari struktur wacana, tetapi juga
menggiring pembaca ke arah tertentu dari suatu peristiwa.

20
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h.
233
8

Latar merupakan elemen wacana yang dapat menjadi


alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks.
Latar peristiwa digunakan untuk menemukan latar belakang
makna suatu teks itu dibawa. Ini merupakan cerminan
ideologis dari komunikator dalam menyajikan latar belakang
yang menjadi kepentingan mereka. Latar merupakan bagian
berita yang bisa mempengaruhi semantik (arti kata) yang
ingin ditampilkan. 22
Elemen wacana detail berhubungan dengan kontrol
informasi yang ditampilkan komunikator. Selanjutnya ada
elemen maksud melihat apakah teks itu disampaikan secara
eksplisit atau tidak, apakah fakta disajikan secara telanjang
atau tidak. Elemen wacana praanggapan merupakan
pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu
teks. Praanggapan hadir dengan memberi pernyataan yang
dipandang terpercaya sehingga teks yang disajikan
komunikator tampak benar dan meyakinkan. 23
d. Sintaksis
Secara etimologis sintaksis berarti menempatkan kata-
kata menjadi kelompok kata atau kalimat. Koherensi
merupakan pertalian kata atau jalinan antarkata, preposisi
atau kalimat. Dua buah kalimat atau preposisi yang
menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan
dengan memakai koherensi, sehingga, fakta yang tidak
berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika

22
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.
79
8

komunikator menghubungkannya. Koherensi dapat


ditampilkan melalui hubungan sebab akibat, bisa juga
sebagai penjelas. Koherensi dapat diamati, dari kata hubung
yang digunakan untuk menghubungkan fakta/proposisi. Kata
hubung yang dipakai (dan, akibat, tetapi, lalu, karena,
meskipun) menyebabkan makna yang berlainan ketika
digunakan pada proposisi.24
Bentuk kalimat merupakan segi sintaksis yang
berhubungan dengan prinsip kausalitas. Logika kausalitas ini
bila diterjemahkan dalam bahasa menjadi susunan subjek
(yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Bentuk
kalimat bukan hanya perihal teknis tata bahasa, tetapi
menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kata.25
Elemen lain adalah kata ganti. Dalam analisis wacana,
kata gantii merupakan alat yang digunakan komunikator
untuk menunjukkan dimana posisi seseorang dalam wacana.
Penggunaan kata ganti “kami” atau “saya” menggambarkan
sikap resmi dari komunikator. Tetapi ketika memakai kata
ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi
dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu. 26
e. Stilistik
Pusat perhatian stilistik adalah style, atau dapat
disebut gaya bahasa dari seorang membicara atau penulis
untuk menyatakan maksudnya. Gaya bahasa mencakup diksi

24
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.80-81
25
Alex Sobur, Analisis Teks Media,
h.81
8

atau pilihan leksikan, struktur kalimat, majas dan citraan,


pola rima, mantra yang digunakan seorang sastrawan dalam
sebuah karya sastra. Sehingga terkadang kita bisa menduga
siapa pengarang sebuah karya sastra karena kita menemukan
ciri-ciri penggunaan bahasa yang khas.27
Leksikal atau diksi, bukan hanya pilihan penggunaan
kata yang digunakan dalam mengungkapkan suatu ide.
Elemen pemilihan leksikal pada dasarnya menandakan
bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atau frase
atas berbagai kemungkinan.28 Kata “meninggal” misalnya,
mempunyai kata lain: mati, tewas, gugur, meninggal,
terbunuh, menghembuskan nafas terakhir, dan sebagainya.
Di antara beberapa kata itu, seseorang dapat memilih
diantara pilihan yang tersedia. Pilihan kata-kata atau frase
yang dipakai menunjukkan sikap dan ideologi tertentu. Suatu
peristiwa yang sama dapat digambarkan dengan pilihan kata
yang berbeda-beda.
f. Retoris
Retoris adalah gaya yang diungkapkan ketika
seseorang berbicara atau menulis. Retoris memiliki fungsi
persuasif dan berhubungan erat dengan bagaimana pesan itu
ingin disampaikan kepada khalayak. Misalnya, dengan
menggunakan gaya repetisi (pengulangan), aliterasi
(pemakaian kata-kata yang sama bunyinya seperti sajak),
sebagai strategi untuk menarik perhatian atau untuk

27
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.82
28
Alex Sobur, Analisis Teks Media,
8

menekankan sisi tertentu agar diperhatikan oleh khalayak.


Juga menggunakan gaya ejekan (ironi) dan metonomi,
dengan tujuan untuk melebihkan sesuatu yang positif
mengenai diri sendiri dan melebihkan keburukan pihak
lawan.29
Dalam sebuah wacana, seorang komunikator tidak
hanya menyampai pokok, tetapi juga menggunakan
ungkapan atau metafora. Metafora tertentu digunakan oleh
komunikator sebaagai landasan berpikir, alasan pembenar
atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik.30

2. Kognisi Sosial
Van Dijk berpandangan bahwa untuk mengetahui
ideologi dan makna yang tersembunyi tidak cukup jika
hanya mengamati struktur teks. Namun, perlu dilakukan
pendekatan kognitif untuk melihat kesadaran mental
pembuat berita yang memberikan makna pada berita yang
ditulisnya. Menurut van Dijk, dibutuhkan penelitian
representasi kognisi dan strategi wartawan dalam
memproduksi berita.31
Wartawan bukanlah individu yang netral. Wartawan
merupakan individu yang memiliki ideologi, pandangan
hidup yang lahir dari pengalaman, pengetahuan dan
pengaruh ideologi yang didapat di kehidupannya. Hal inilah

29
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.84
30
Alex Sobur, Analisis Teks Media, h.84
31
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media,
8

yang mempengaruhi pemaknaan berita yang ditulis oleh


seorang wartawan. Karena itu perspektif wartawan terhadap
suatu peristiwa atau seseorang sangat penting diamati dalam
menganalisis teks berita. Hal tersebut lahir berdasarkan
kepercayaan seseorang yang disebut skema.
Skema/Model Teun A. van Dijk Pada Struktur Kognisi
Sosial32
 Skema Person (Person Schemas)
Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang
menggambarkan dan memandang orang lain.
 Skema Diri (Self Schemas)
Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri
dipandang, dipahami, dan digambarkan oleh seseorang.
 Skema Peran (Role Schemas)
Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang
memandang dan menggambarkan peranan dan posisi yang
ditempati seseorang dalam masyarakat.
 Skema Peristiwa (Event Schemas)
Penafsiran seseorang tentang bagaimana suatu
peristiwa terjadi. Dalam memproduksi berita, menurut van
Dijk ada beberapa strategi yang dilakukan media terhadap
berita sebelum dikemas. Pertama, seleksi. 33
Tahap ini
merupakan strategi dalam menunjukkan bagaimana sumber,
peristiwa, dan informasi diseleksi oleh wartawan untuk

32
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h.262-
263
33
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media,
8

ditampilkan ke dalam berita. Pilihan yang tersaji didalam


berita ditentukan oleh evaluasi pikiran wartawan sendiri.
Kedua, reproduksi.34 Strategi ini berhubungan dengan sumber
berita. Apakah sebuah informasi ditampilkan atau tidak.
Ketiga, penyimpulan. 35 Penyimpulan ini berhubungan dengan
bagaimana wartawan menyimpulkan suatu realitas. Kognisi
mental seorang wartawan sangat berhubungan dengan
kesimpulan yang akan disajikan. Keempat, transformasi
lokal.36 Strategi ini berhubungan dengan bagaimana peristiwa
akan ditampilkan. Misalnya dengan menambahkan (addition)
berupa penambahan latar belakang hal ini dilakukan untuk
menegaskan pandangan yang dibuat oleh wartawan. Strategi
lainnya dengan menggunakan perubahan urutan
(permutation), yaitu bagaimana peristiwa diurutkan oleh
wartawan. 37

3. Konteks Sosial
Wacana adalah bagian dari wacana yang berkembang
dalam masyarakat, sehingga meneliti teks perlu dilakukan
penelitian intertekstual dengan meneliti bagaimana wacana
tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi oleh
masyarakat.38 Konteks sosial didapat dengan meneliti kondisi
masyarakat (hal apa yang sedang berkembang dalam

34
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h.269
35
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h.270
36
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h.270
37
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h.270

86 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media,


8

masyarakat) yang memengaruhi pemberitaan yang disajikan


wartawan. Namun, menurut van Dijk konteks sosial tidak
berpengaruh secara langsung terhadap teks pemberitaan
seperti dimensi kognisi sosial. Menurut Van Dijk, dalam
analisis mengenai masyarakat ada dua poin yang penting,
yaitu: kekuasaan (power), dan akses (acces).
a. Kekuasaan
Van Dijk mendefiniskan kekuasaan tersebut sebagai
kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok untuk
mengatur kelompok lain. Kekuasaan ini umumnya
didasarkan pada kepemilikan atas sumber-sumber yang
bernilai, seperti uang, status dan pengetahuan. Selain
kontrol yang bersifat langsung, kekuasaan juga diartikan
van Dijk dalam bentuk persuasif, yaitu tindakan
seseorang yang secara tidak langsung mengontrol dan
mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan,
sikap, dan pengetahuan.39
b. Akses
Van Dijk memberi perhatian bagaimana akses
diantara masing-masing kelompok. Kelompok elit
memiliki akses dan kesempatan yang lebih besar
terhadap media, sehingga mereka bisa lebih mudah
mempengaruhi kesadaran khalayak. Akses yang lebih
besar tidak hanya memiliki kesempatan mengontrol
khalayak, tetapi juga menentukan topik dan isi wacana

87 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media,


8

apa yang dapat disebarkan juga didiskusikan pada


khalayak. 40

C. Media Massa
Media massa merupakan alat atau sarana yang
digunakan dalam penyampaian pesan dari sumber
(komunikator) kepada khalayak (komunikan/penerima)
dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis, seperti
surat kabar, radio, televisi, film dan internet.41
Dalam buku Mass Communication Theories (1989),
McQuaill menyatakan ada enam perseptif tentang peran
media massa dalam konteks masyarakat modern, yaitu
sebagai berikut:42
1. Media massa sebagai sarana belajar untuk mengatahui
berbagai informasi dan peristiwa. Ia ibarat “jendela”
untuk melihat apa yang terjadi di luar kehidupan.
2. Media massa adalah refleksi fakta, terlepas dari rasa
suka atau tidak suka. Ia ibarat “cermin” peristiwa yang
ada dan terjadi di masyarakat ataupun dunia.
3. Media massa sebagai filter yang menyeleksi berbagai
informasi dan issue yang layak mendapat perhatian
atau tidak.
4. Media massa sebagai penunjuk arah berbagai
ketidakpastian atau alternatif yang beragam.

40
Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, h.274
41
Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar, (Bogor: Penerbit
Ghalia Indonesia, 2011), h. 27
42
Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar, h.
8

5. Media massa sebagai sarana untuk mensosialisasikan


berbagai informasi atau ide kepada publik untuk
memperoleh tanggapan/umpan balik.
6. Media massa sebagai interkulator, tidak sekadar
tempat “lalu lalang” informasi, tetapi memungkinkan
terjadinya komunikasi yang interaktif.
Media massa bukan hanya sekedar alat, tetapi juga
institusionalisasi masyarakat. Sehingga ada proses
pengaturan terhadap „alat‟ melalui kekuasaan yang ada atau
melalui kesepakatan-kesepakatan lain.43

Denis McQuail menguraikan definisi dan fungsi


media sebagai berikut:44
 Industri pencipta lapangan kerja, barang, dan jasa
 Sumber kekuatan, alat kontrol, manajemen, dan inovasi
masyarakat
 Wahana pengembangan kebudayaan, tutorial, mode, gaya
hidup dan norma
 Sumber dominan pencipta citra individu, kelompok, dan
masyarakat.

Media memiliki karakter yang bisa kita lihat dalam


kehidupan sehari-hari, antara lain: 45

43
Nurani Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi, (Yogyakarta: Ar-
ruzz Media, 2010), h.198
44
Nurani Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi, h.201
45
Nurani Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi, h.199
9

 Publisitas, yakni media massa dianggap sebagai produk


pesan dan informasi yang disebarluaskan kepada publik,
khalayak, atau banyak
 Universalitas, yaitu pesannya bersifat umum, berisi segala
aspek kehidupan dan semua peristiwa di berbagai tempat,
juga menyangkut kepentingan umum karena sasaran dan
pendengarnya adalah masyarakat umum
 Periodisitas, waktu terbit atau tayangnya bersifat tetap atau
berkala, misalnya harian atau mingguan, atau juga siaraan
sekian jam per hari
 Kontinuitas, berkesinambungan atau terus-menerus sesuai
dengan periode jadwal terbit
 Aktualitas, berisi hal-hal baru, seperti informasi dan laporan
peristiwa terbaru dan sebagainya. Aktualitas juga berarti
kecepatan penyampaian informasi kepada publik.

D. Media Online
Media online adalah media komunikasi yang
memanfaatkan internet. Media online tergolong pada
katergori media massa yang popular dan bersifat khas.
Kekhasannya terletak pada keharusan untuk memiliki
jaringan teknologi informasi untuk menikmati medianya.
Meskipun kehadirannya bisa dibilang baru, media online
dianggap sebagai salah satu media massa yang memiliki
pertumbuhan yang cepat. Banyak orang sudah menjadikan
9

media online sebagai alternatif dalam memperoleh akses


informasi dan berita.46

Adapun keunggulan media online sebagai berikut:47


a. Informasi yang disajikan bersifat up to date (senantiasa
baru)
Media online dapat melakukan pembaruan berita atau
informasi dari waktu ke waktu. Hal ini terjadi karena
media online memiliki proses penyajian informasi yang
lebih mudah dibandingkan dengan media massa lainnya.
b. Informasinya bersifat realtime
Media online dapat menyajikan informasi dan berita saat
peristiwa sedang berlangsung (live). Sebagian besar
wartawan media online dapat mengirimkan informasi
langsung ke meja redaksi dari lokasi peristiwa.
c. Informasinya bersifat praktis.
Media online dapat diakses di mana dan kapan saja,
sejauh didukung oleh fasilitas teknologi internet.
Pengguna internet dapat mengakses informasi di kantor,
di rumah, di kamar, bahkan di mobil sekalipun.

Media online dapat difungsikan sebagai perpustakaan


dunia yang dapat diakses melalui satu pintu yang namanya
world wide word (www). Media online bisa menjadi
penyedia media informasi surat kabar (electronic

46
Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar, h.46
47
Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar, h.46
9

newspaper), program film, televisi, buku baru, serta lagu-


lagu, mulai dari yang bernuansa klasik hingga lagu-lagu
kontemporer.48 Generasi saat ini lebih memilih media
internet untuk mendapatkan informasi dibandingkan dengan
menggunakan televisi, apalagi radio dan surat kabar. Selain
itu, generasi ini cenderung lebih senang bersosialisasi
melalui jejaring sosial, seperti facebook, atau twitter,
dibandingkan dengan bersosialisasi langsung.49

E. Media Siber (Cybermedia)


Media siber (cybermedia) atau disebut juga media
online, digital media, media virtual, e-media, network media,
media baru, media web dan sebagainya.50 Berbagai
penyebutan itu merujuk pada perangkat media yang
berkaitan dengan jaringan internet.
Ciri media baru atau media siber bisa dilihat dari
munculnya jaringan. Berupa koneksi internet melalui
komputer.51 Dengan adanya jaringan internet hal tersebut
memungkinkan khalayak untuk memilih media sendiri untuk
di konsumsi. Berbeda dengan media lainnya yaitu media
elektronik atau media cetak. Keduanya menentukan konten
dan khalayak hanya bisa menikmati konten yang sudah
diberikan oleh media tersebut. Sedangkan media siber yang

48
Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar, h.48
49
Indah Suryawati, Jurnalistik Suatu Pengantar, h.49
50
Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Cyber Media, (Yogyakarta: IDEA
Press), 2013), h.16

92 Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Cyber Media,


9

menggunakan koneksi internet, memungkinkan khalayak


untuk memilih sendiri konten yang hendak dinikmati.
Khalayak tidak lagi sekadar objek yang terpapar oleh
informasi, melainkan khalayak telah dilibatkan lebih aktif
karena teknologi menyebabkan interaksi di media bisa
terjadi.52 Selain khalayak bisa menentukan konten untuk
dinikmati media siber juga membuat khalayak ikut aktif
hadir didalam media. Interaksi yang dilakukan pada media
siber bukan hanya satu arah melainkan terjadi dua arah
dimana khalayak juga bisa ikut memberikan respon.
Dilihat dari keduanya media lama dan media baru
(media siber) memiliki karakteristik yang berbeda
diantaranya:
Era Media Pertama (Media lama)
 Tersental (dari satu sumber kebanyak khalayak)
 Komunikasi terjadi satu arah
 Terbuka peluang sumber atau media untuk dikuasai
 Media merupakan instrument yang melanggengkan strata
dan ketidaksetaraan kelas sosial

Era Media Kedua (Siber Media)


 Tersebar (dari banyak sumbe ke banyak khalayak)
 Komunikasi terjadi timbal balik atau dua arah
 Tertutupnya penguasaan media dan bebasnya kontrol
terhadap sumber
 Media memfasilitasi setiap khalayak (warga negara)

93 Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Cyber Media,


9

Jenis-jenis media siber:


a. Situs (website)
Situs adalah halaman yang meruoakan satu alamat
domain yang berisi informasi, data, visual, audio,
memuat aplikasi, hingga berisi tautan dari halaman-
halaman web lainnya. 53
Situs bisa berisikan berbagai
jenis konten. Semua orang yang memiliki kewenangan
serta akses bisa memiliki situs untuk mengekspresikan
pemikirannya serta untuk kepentingan masing-masing.
b. E-mail
E-mail atau surat elektronik bisa dikatakan sebagai
‘hybrid medium” untuk menandakan bahwa fasilitas
ini menggabungkan unsur-unsur komunikasi yakni
berbicara dan menulis. 54
Cara kerja surat elektronik
sama seperti surat konvensional dimana surat ditulis
lalu dikirimkan ketujuan penerima isi surat. Tetapi
sifat surat elektronik lebih cepat dibandingan surat
konvensional yang harus menunggu waktu untuk
sampai kepada penerima.
c. Blog
Dalam penggunaannya jenis media ini bisa dibagi
menjadi dua: pertama, kategori personal homepages
yaitu pemilik menggunakan nama domain sendiri
seperti .com atau .net; kedua, dengan menggunakan

53
Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Cyber Media, h.30
54
Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Cyber Media,
9

fasilitas penyedia halaman weblog gratis, missal


wordpress atau blogspot.55
d. Wiki
Wiki merupakan situs yang mengumpulkan artikel
maupun berita sesuai dengan sebuah kata kunci. Mirip
dengan kamus, Wiki menghadirkan kepada pengguna
pengertian, sejarah hingga rujukan buku atau tautan
tertentu tentang satu kata. 56
e. Media sosial (Social Media)
Media yang digunakan untuk mempublikasikan
konten seperti profil, aktivitas dari pengguna. 57 Selain
itu pengguna juga mendapatkan ruang untuk
berkomunikasi dan berinteraksi dalam jaringan sosial
di ruang siber.

F. Kekerasan Terhadap Perempuan


Pada bulan Desember 1994 Perserikatan Bangsa-
bangsa (PBB) mengeluarkan suatu deklarasi tentang
penghapusan kekerasan terhadap perempuan. Dalam deklarasi
tersebut dikatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan
adalah perwujudan ketimpangan hubungan kekuasaan antara
kaum laki-laki dan perempuan yang telah mengakibatkan
dominasi dan diskriminasi terhadap kaum perempuan oleh
kaum laki-laki. Serta mengakibatkan hambatan terhadap

55
Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Cyber Media, h.35
56
Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Cyber Media, h.35
57
Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Cyber Media, h.43
9

kemajuan kaum perempuan. Selanjutnya dikatakan pula


bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu
mekanisme sosial terpenting yang menempatkan kaum
perempuan dalam posisi subordinasi dihadapan kaum laki-
laki.58
Deklarasi penghapusan kekerasan terhadap
perempuan dari PBB telah memperluas pengertian jenis
kekerasan, tidak hanya mencakup pengertian kekerasan fisik
belaka namun juga pada kekerasan psikis dan kekerasan
seksual.59

1. Kekerasan dalam rumah Tangga60


Menurut UU PKDRT, yang dimaksudkan dengan
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah “setiap
perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara
fisik, seksual, psikologis, atau penelantran rumah tangga,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan,
atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam
lingkup rumah tangga”. Kekerasan dalam rumah tangga

58
Dadang S. Anshori, Engkos Kosasih, dan Farida Sarimaya,
Membincangkan Feminisme: Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum
Perempuan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), h. 66
59
Dr. Niken Savitri, SH., MCL. HAM Perempuan Kritik Teori
Hukum Feminis Terhadap KUHP, (Bandung: PT Refika Aditama, 2008), h.5
60
Komnas Perempuan, Memecah Kebisuan: Agama Mendengar
Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan, (Open Society
Institute), h. 24
9

mencakup kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan


seksual, dan penelantaran rumah tangga.
Kekerasan fisik yang dimaksud adalah “perbuatan
yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.”
Kekerasan psikis dipahami sebagai “perbuatan yang
mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri,
hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya,
atau penderitaan psikis berat pada seseorang.”
Kekerasan seksual meliputi (a) “pemaksaan hubungan
seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam
lingkup rumah tangga tersebut”, (b) “pemaksaan hubungan
seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah
tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan
tujuan tertentu”.
Penelantaran rumah tangga dimengerti sebagai (1)
tindakan mengabaikan tanggung jawab untuk memberikan
kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang yang
berada dalam tanggung jawabnya dan (2) tindakan yang
mengakibatkan “ketergantungan ekonomi dengan cara
membatasi atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam
atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali
orang tersebut.”
Sangat penting kita perhatikan bahwa lingkup rumah
tangga yang dimaksudkan dalam Undang-undang meliputi (a)
suami, istri, dan anak; (b) orang-orang yang mempunyai
hubungan keluarga dengan orang sebagaimana dimaksud
pada huruf (a) karena hubungan darah, perkawinan,
9

persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam


rumah tangga; atau (c) orang yang bekerja membantu rumah
tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut”
Dalam sebuah masyarakat dimana peran kaum laki-
laki sangat dominan, yang kerap kali menjadi korban KDRT
adalah perempuan, anak-anak, dan pembantu rumah tangga.

2. Kekerasan dalam Lembaga-lembaga Kemasyarakatan61


Dalam laporan Paripurna Pelapor Khusus PBB
kekerasan terhadap perempuan 1994 disebutkan seberapa
bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terjadi dalam
komunitas, antara lain perkosaan, penyerangan seksual,
kekerasan seksual, prostitusi/perdagangan perempuan,
kekerasan terhadap perempuan pekerja migran, serta
pornografi.
Perkosaan sering digambarkan terutama sebagai
instrumen kontrol dalam masyarakat patriarki. Para
perempuan sudah lama menunjukkan bahwa perkosaan
merupakan salah satu bentuk penyiksaan yang dilakukan baik
oleh pelaku personal maupun public dalam pelanggaran hak
asasi manusia.
Kekerasan seksual, terutama di tempat kerja, telah
menjadi isu penting dengan semakin tingginya fenomena
kekerasan seksual di tempat kerja. Karena definisi kekerasan

61
Komnas Perempuan, Memecah Kebisuan: Agama Mendengar
Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan, h. 26
9

seksual masih sangat variative (dipengaruhi oleh nilai dan


budaya setempat), setidaknya terdapat dua unsur untuk
menentukan sebuah kekerasan sebagai kekerasan seksual: (1)
perhatian seksual yang tidak diinginkan oleh korban
(unwelcome sexual attention) dan (2) dari perspektif korban
tindakan itu adalah sebuah ancaman atau penyerangan.
Prostitusi dan perdagangan perempuan. Para pekerja
seks merupakan satu kelompok heterogen (heterogeneous
group) dengan perbedaan kepentingan, pemahaman tentang
posisi dan hak-hak, serta kerentanan. Sebagai akibat dari nilai
ekonomi yang sangat tinggi dari praktik prostitusi ini adalah
unsur eksploitasi ekonomis. Setiap pekerja seks harus
menghadapi kerentanan adanya dominasi dan perbudakan
akibat kondisi sosio-ekonomi mereka, dan berbagai
eksploitasi lainnya dalam berbagai level. Perdagangan
perempuan dan anak untuk tujuan prostitusi menjadi ukuran
kritis dari tindakan penyiksaan dalam industri seks. Semakin
tingginya angka perdagangan perempuan dan anak di
berbagai belahan dunia menimbulkan ketakutan akan semakin
tingginya jumlah penderita HIV/AIDS. Industri turisme seks
yang memberikan pemasukan besar membuat negara-negara
berkembang tidak peduli terhadap persoalan ini.
Fenomena kekerasan lainnya adalah kekerasan
terhadap perempuan pekerja migran. Pekerja migran baik
domestik maupun internasional, mewakili fenomena baru
aktivitas ekonomi perempuan. Kemiskinan menjadi faktor
utama pendorong perempuan menjadi pekerja migran. Di
1

mana mereka bisa mendapatkan gaji lebih tinggi ketimban


bekerja di daerah asal mereka. Para perempuan pekerja
migran rentan terhadap berbagai kekerasan, baik fisik maupun
nonfisik.

3. Kekerasan terhadap Perempuan yang dilakukan atau


dibiarkan oleh Negara62
Laporan itu juga mengidentifikasi beberapa bentuk
kekerasan yang dilakukan atau dibiarkan terjadi oleh Negera,
antara lain kekerasan dalam penahanan terhadap perempuan
yang dilakukan karena penyalahgunaan kekuasaan oleh
pegawai pemerintah, pembiaran/melakukan kekerasan
terhadap perempuan di wilayah/situasi konflik militer, serta
kekerasan terhadap perempuan pengungsi dan perempuan
yang didislokasi.
Kekerasan penahanan terhadap perempuan memiliki
fenomena yang luas. Penyalahgunaan kekuasaan oleh
pegawai /agen pemerintah, biasanya polisi atau militer,
dilakukan untuk kepentingan yang tidak transparan dan dalam
posisi sangat timpang, menjadi basis terjadinya kekerasan
penahanan, khususnya bagi mereka yang mengancam
keamanan negara. Para perempuan yang ditahan rentan
terhadap berbagai kekerasan seperti perkosaan, pelecehan
seksual, siksaan, kekerasan emosi, dsb.

62
Komnas Perempuan, Memecah Kebisuan: Agama Mendengar
Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan, h. 28
1

Kekerasan terhadap perempuan dalam wilayah atau


situasi konflik merupakan bentuk pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia. Kekerasan ini antara
lain berwujud pemerkosaan sistemik, pembunuhan,
perbudakan seks, “penghamilan”, dan pembunuhan sistemik.
Pemerkosaan sebagai bentuk kekerasan yang paling jamak
dilakukan dalam situasi konflik dianggap sebagai kejahatan
perang.
Perempuan pengungsi dan perempuan yang
mengalami dislokasi merupakan fenomena lain dari situasi
konflik. Situasi konflik menurut perempuan mengungsi dan
tinggal di lokasi lainnya. Di tempat baru ini mereka rentan
mengalami diskriminasi, tidak memiliki perlindungan sosial,
tidak mendapatkan pelayanan kesehatan dan Pendidikan yang
memadai, mengalami persoalan bahasa, dsb. Perempuan yang
tinggal di kamp-kamp pengungsi juga rentan menjadi target
teror, seperti pembunuhan, perkosaan, penculikan, dan
eksploitasi.
BAB III

GAMBARAN UMUM

A. Profil Konde.co

Konde Institute adalah sebuah organisasi yang


memperjuangkan kebebasan berekspresi, berserikat, dan
berpendapat bagi perempuan dan kelompok marjinal di media.
Mereka memulai gerakan bersama dengan jaringan perempuan
lainnya dalam melakukan pembelaan terhadap perempuan.1

Konde.co dibentuk oleh Konde Institute dengan tujuan


untuk menjadi media yang berbeda dalam menghadapi stigma
yang selama ini terjadi pada perempuan. Masih banyak
pemberitaan di media yang tidak berpihak pada perempuan.
Indonesia memiliki banyak sekali media online yang bagus.
Tetapi banyak pula media yang stereotip dan eksploitatif terhadap
perempuan.2 Melalui tulisan Konde.co melakukan upaya
pembelaan untuk perempuan dan masyarakat marjinal,
diantaranya terhadap, pekerja rumah tangga, buruh, korban kasus
kekerasan, ibu rumah tangga, pelajar, dan LBT (Lesbian,
Biseksual, Transgender).

Konde.co berdiri pada 8 Maret 2016. Para pendiri Konde


Institute dan Konde.co adalah orang-orang yang memiliki latar
belakang yang hampir sama, yaitu para jurnalis dan aktivis yang

1
About us, diakses tangal 17 April 2018 dari
2
Wawancara pribadi dengan pemimpin Konde.co, 03 April

5
http://www.konde.co/p/about.html

2
Wawancara pribadi dengan pemimpin Konde.co, 03 April

5
5

bergerak pada jaringan perempuan. Niat awal terbentuknya


Konde.co ini adalah dari keresahan bersama yaitu mengapa para
penggerak lembaga yang memperjuangkan perempuan tidak
banyak menulis. Para pendiri Konde.co menganggap karena hal
itu ilmu yang mereka miliki dan apa yang mereka ketahui tentang
pembelaan terhadap perempuan tidak banyak tersebar kepada
masyarakat luas. Karena alasan itulah Konde.co dibentuk dengan
tujuan untuk penyebaran pengetahuan dan pembelaan terhadap
perempuan.3

Konde.co tidak berdiri sendiri, media online ini bergerak


bersamaan dengan Komnas Perempuan, JALA PRT (Jaringan
Nasional Advokasi Perlindungan Pekerja Rumah Tangga), LBH,
dan beberapa jaringan perempuan lain. Konde.co bertugas
sebagai pendukung terhadap gerakan yang dilakukan oleh
jaringan-jaringan perempuan tersebut. 4

Selain membentuk Konde.co dan menyebarkan tulisan


pembelaan untuk perempuan, Konde Institute juga melakukan
pelatihan menulis. Mereka masuk kedalam jaringan-jaringan dan
melatih perempuan yang ada disana. Salah satunya adalah
pelatihan menulis yang diikuti oleh para buruh perempuan dan
pekerja rumah tangga perempuan. Semua itu dilakukan untuk
merealisasikan tujuan Konde Institute dalam pembelaan
perempuan. Dengan begitu, para buruh perempuan juga pekerja
rumah tangga mampu menyuarakan pikiran mereka pada publik.
Hal tersebut dilakukan dalam upaya agar publik dapat melihat
3
Wawancara pribadi dengan pemimpin Konde.co, 03 April 2018
4
Wawancara pribadi dengan pemimpin Konde.co, 03 April
5

sebuah isu dari sudut pandang yang berbeda yaitu dari sisi para
masyarakat marjinal. Hasil tulisan yang dihasilkan para peserta
pelatihan menulis tersebut dipublish ke website Konde.co dan
sebagian diterbitkan menjadi buku atau jurnal.

Melalui tulisan Konde.co hadir dengan gagasan untuk


mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan
masyarakat marjinal yang memberikan pemahaman, pencerahan,
kesadaran dan daya kritis masyarakat.5

Nama Konde.co diambil dari kata „konde‟ atau sanggul


yang identik merujuk pada properti yang melekat pada diri
perempuan. Di Indonesia, konde memiliki corak yang berbeda-
beda sesuai dengan karakter dan kultur budaya masyarakat
Indonesia. Sebab itu, konde tidak hanya berartikan perempuan,
tetapi juga identitas keberagaman Indonesia.6 Dalam hal ini para
pendiri Konde.co mendefinisikan konde dengan artian perempuan
di Indonesia tetap satu hakikat meski memiliki kultur dan
karakter yang saling beragam.

Ditengah tarikan modernisasi dan menguatnya kelompok


fundamentalis di Indonesia, konde menjadi identitas yang
semakin terpinggirkan. Posisi konde tidak jauh dari pemakainya;
perempuan. Perempuan dan masyarakat marjinal saat ini semakin

5
Profil Konde.co, diakses tanggal 19 April 2017 dari
http://www.konde.co/p/about.html
6
About us diakses pada 10 April 2017 dari
http://www.konde.co/p/about.html
5

terpinggirkan identitasnya, terbelenggu dalam arus modernitas,


fundamentalis dan patriarki.7

Website Konde.co tidak hanya berisi tulisan hasil


wartawan Konde.co saja, tetapi ada pula beberapa berita dan
artikel yang diambil dari sumber lain. Hal tersebut merupakan
bentuk kerja sama yang dilakukan Konde.co dengan jaringan
perempuan seperti JALA PRT, LBH dan Komnas Perempuan.
Selain itu Konde.co juga menerima tulisan dari publik yang ingin
ikut berkontribusi menyumbangkan tulisan tentang perempuan
hal tersebut merupakan upaya Konde.co untuk mempublikasikan
suara-suara perempuan yang selama ini belum terdengar. Serta
menunjukkan sisi lain dari perempuan yang selama ini tidak
diungkapkan oleh media lain. Tetapi tidak semua tulisan dapat
dipublikasikan begitu saja. Tulisan-tulisan tersebut juga melalui
proses pemilihan dan editing dari pihak Konde.co agar tujuan
konten yang dimiliki Konde.co tetap terjaga.

Pada bulan April 2018, website Konde.co memperoleh


pageviews sebanyak 559.190. Sementara pada akun media sosial
facebook, pada pertengahan tahun 2018 memperoleh pengikut
sebanyak 131 orang8 dan di twitter memperoleh sekitar 411
followers.9

7
About us, diakses pada 10 April 2017 dari
http://www.konde.co/p/about.html
8
Facebook Konde.co, diakses pada 19 April 2018 dari
https://web.facebook.com/kondedotco?hc_ref=ARTz-
i7EhQKU1bRKAXrAzavxBfcjNna_b7wldKTPAlZw-
mFN9K7_HPQ2mRGKdvhA6Sw&fref=nf
9
Twitter Konde.co, diakses pada 19 April 2018 dari
https://twitter.com/kondedotco
5

Dari data yang dimiliki, dapat dilihat seberapa banyak


pengunjung terlibat di website Konde.co pada April 2018.10

Gambar 3.1 11

Bounce Rate adalah persentase pengunjung yang


meninggalkan web atau blog setelah pengunjung membuka satu
halaman dari website. Hasil yang diperoleh Konde.co pada bulan
April 2018 adalah 60.60%. Daily Pageviews per Visitor adalah
berapa rata-rata halaman yang dikunjungi oleh satu pengunjung
perharinya. Untuk Daily Pageviews per Visitor, Konde.co
memperoleh 3.60 pageviews per pengunjung. Lalu, untuk Daily
Time on Site yang berarti satuan waktu berapa lama kebanyakan
pengunjung melihat isi website, Konde.co memperoleh 3.22
menit rata-rata pengunjung berkunjung di website Konde.co.

Gambar 3.2 12

10
Site Info Konde.co, diakses pada 16 April 2018 dari
https://www.alexa.com/siteinfo/konde.co
11
Site Info Konde.co, diakses pada 16 April 2018 dari
https://www.alexa.com/siteinfo/konde.co
12
Site Infro Konde.co, diakses pada 16 April 2018 dari
https://www.alexa.com/siteinfo/
5

Dilihat dari jenis kelamin, data menunjukkan bahwa


Konde.co lebih banyak dikunjungi oleh perempuan dibandingkan
laki-laki. Peminat Konde.co lebih banyak perempuan dikarenakan
konten yang dibawakan Konde.co lebih banyak membahas
tentang perempuan.

Gambar 3.3 13

Para pengunjung Konde.co bila dilihat dari


pendidikannya, rata-rata pengunjung Konde.co adalah orang-
orang yang sudah lulus sekolah. Hal ini dikarenakan pembaca
Konde.co kebanyakan adalah ibu rumah tangga. Beberapa
diantaranya adalah orang-orang terpelajar yang menempuh
bangku perkuliahan.

13
Site Info Konde.co, diakses pada 16 April 2018 dari
https://www.alexa.com/siteinfo/
5

Gambar 3.4 14

Dilihat dari Browsing location, pengunjung Konde.co


lebih banyak yang mengakses dari rumah. Selain itu ada juga
yang mengakses dari kantor mereka.

B. Visi dan Misi Konde.co

Konde.co adalah media online perempuan yang bertujuan


pada pembelaan terhadap perempuan dan masyarakat majinal.
Berikut ini merupakan visi dan misi dari Konde.co:15

 Visi

Melawan keresahan diskriminasi, subordinasi, kekerasan,


dan stigma negatif terhadap perempuan dan masyarakat
marjinal melalui media.

 Misi

Mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan


dan masyarakat marjinal yang memberikan pemahaman,
pencerahan, kesadaran dan daya kritis masyarakat

14
Site Info Konde.co, diakses pada 16 April 2018 dari
https://www.alexa.com/siteinfo/konde.co
15
About us, diakses pada 13 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/p/about.html
5

C. Struktur Kepengurusan Konde.co

Berikut ini adalah struktur kepengurusan Konde.co, diantaranya adalah:


Tabel 3.1
Struktur Kepengurusan Konde.co16

Pemimpin Luviana Ariyanti

Chief Editor Luviana Ariyanti

Technical Website Poedjiati Tan

Staf Ahli Estu R. Fanari, Melly


Setyawati M

Research and Development Eko Bambang Subiantoro

(Litbang)

Reporter Amanda dan Kustiah

Kontributor Rini Susanti

Sumber: Wawancara pribadi dengan pemimpin Konde.co

Berikut ini profil singkat para anggota pengelola Konde.co:17


Luviana Ariyanti Aktif di jaringan buruh, perempuan dan
miskin kota. Mendapatkan penghargaan Tasrif Award dan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) di tahun 2013, Nominator
N-Peace Award dari United Nation (UN) di tahun 2014 dan
penghargaan LBH Award dari Lembaga Bantuan Hukum

16
Wawancara pribadi dengan pemimpin Konde.co, 03 April 2018
17
Pengelola, diakses pada tanggal 13 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/p/pengelolah.html
5

(LBH) Jakarta di tahun 2015. Sehari-hari, bekerja sebagai


jurnalis, dosen Universitas Paramadina serta mengelola
Konde.co dan Konde Institute.

Poedjati Tan biasa dipanggil Poedji, Master Psikologi,


penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja
Putri”, Psikolog, Dosen di Universitan Ciputra Surabaya.
Pengamat dan penulis tentang perilaku manusia dan sosial,
desainer buku. Aktif di beberapa organisasi masyarakat
perempuan. Pernah menjadi Representative Female ILGA Asia
dan ILGA World Board. Di Konde.co sebagai pengelola
website.

Estu R. Fanari biasa dipanggil Estu, pernah aktif di


Lembaga Bantuan Hukum untuk Peristiwa (LBH APIK)
Jakarta dan Jaringan Nasional Advokasi Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (JALA PRT). Saat ini aktif di jaringan
perempuan. Sehari-hati sebagai volunteer di CEDAW
Working Group Indonesia (CWG) dan menjadi salah satu
peneliti di Semarak Cerlang Nusa – Consultancy, Research,
dan Education for Sosial Transformation (SCN-CREST). Di
Konde.co mendapat tugas menulis.

Melly Setyawati. M, pernah aktif di LBH APIK Jakarta,


ELSAM dan Perkumpula HUMA. Sekarang adalah freelance
peneliti di Sajoyo Institute (SAINS), hokum dan perempuan di
Magenta LRA, dan peneliti di SCN CREST (Semarak Cerlang
Nusa – Consultacy. Research, and Education for Social
Transformation SCN-CREST). Sedang menempuh pendidikan
5

S2 di FH-UNS Jurusan Pidana Ekonomi di Solo. Bertugas


menulis di Konde.co.

Eko Bambang Subiantoro, biasa dipanggil Kinyur, tahun


2015 menyelesaikan studi di Program Kajian Gender
Universitas Indonesia. Pernah aktif menulis dan mengelola
Jurnal perempuan. Bersama dengan sejumlah aktivis
perempuan menginisiasi Gerakan Aliansi Laki-Laki Baru. Di
Konde.co mendapat tugas menulis.

Rini Susanti bekerja selama 20 tahun di bidang jurnalisme


dan mengelola media-media popular. Lulusan Universitan
Brawijaya Malang, Pemerhati dan pembuat program televise.
Saat ini banyak membuat naskah cerita untuk televisi.

D. Rubrikasi Konde.co

Dalam tampilannya Konde.co mempunya beberapa bagian


rubrikasi, diantaranya:18

 Peristiwa

Rubrik ini berisi berita juga foto tentang peristiwa dan


kejadian yang berkaitan dengan perempuan. Banyak
membahas isu-isu terkini apalagi yang berhubungan
dengan perempuan. Rubrik ini juga membahas liputan
kegiatan yang dilakukan oleh para jaringan perempuan.
Berita dan foto pada rubrik peristiwa bisa merupakan

18
Wawancara pribadi dengan pemimpin Konde.co, 03 April 2018
6

peristiwa di Indonesia maupun lua negeri yang ditulis oleh


wartawan Konde.co atau para kontributor yang mengirim
berita ke Konde.co.

 Perspektif

Rubrik perspetif ini berisikan tentang opini dari para


wartawan juga kontributor mengenai isu tentang
perempuan. Pada rubrik ini penulis dibebaskan
beragumentasi dan mengeluarkan opininya. Dengan
tujuan untuk menyuarakan suara perempuan yang selama
ini tidak pernah terdengar. Jenis tulisan pada rubrik
perspektif kebanyakan adalah berupa teks feature juga
kisah-kisah pengalaman pribadi atau pengalaman yang
terjadi dalam kehidupan para kontributor djuga wartawan.

 Resensi

Rubrik ini dibagi menjadi dua yaitu, resensi buku dan


resensi film. Pada rubrik ini Konde.co membahas buku
dan film yang berkaitan dengan perempuan dan kelompok
marjinal.

 Perempuan inspiratif

Pada bagian ini Konde.co melakukan wawancara kepada


beberapa tokoh perempuan yang bisa dijadikan inspirasi
bagi para pembaca. Selain berupa wawancara pada rubrik
ini juga memceritakan kisah inspiratif dari para
perempuan terdahulu.
BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS DATA

A. Analisis Teks Berita


1. Analisis Teks Berita 1
Judul: “Kapolri, Ucapan Seksis Dan Menyalahkan Korban
Perkosaan” (20 Oktober 2017)
a. Struktur Makro (Tematik)

Struktur makro dapat diamati dengan melihat tema


atau topik pemberitaan yang dikedepankan dalam berita.
Tema pada pemberitaan pertama ini dapat dilihat dari
judul yaitu “Kapolri, Ucapan Seksis Dan Menyalahkan
Korban Perkosaan” ini terdapat di paragraf pertama.

Dari judul diatas penulis menggunakan kata


„Kapolri‟ yang merupakan bagian dari institusi negara.
Pada bagian ini terlihat bahwa wartawan ingin
menunjukkan bahwa kata „Kapolri‟ disini tidak berarti
perorangan, melainkan kelompok yang mereprentasikan
besar institusi negara. Wartawan hendak mengkonstruksi
pembaca bahwa disini negara ikut andil sebagai subjek.
Negara juga ikut berperan dalam melakukan penindasan
pada perempuan.

Penggunaan kata „seksis‟ yang berarti frasa yang


menunjukkan pada meremehkan atau menghina
berkenaan dengan gender. Teks ini menunjukkan bahwa

61
6

apa yang disampaikan oleh Kapolri adalah sebuah


penghinaan dan meremehkan korban perkosaan.

b. Super Struktur (Skematik)

Superstruktur bisa dilihat dari skema pemberitaan.


Skema pemberitaan pada berita ini sebagai berikut:

1) Bagian awal pemberitaan adalah dilihat dari paragraf


pertama yang berisi:

“Dalam percakapan dan wawancara BBC


Indonesia yang diturunkan dalam sebuah pemberitaan
pada 19 Oktober 2017 berjudul „Tito Karnavian:
Korban perkosaan bisa ditanya „apakah nyaman‟
selama perkosaan? Nampak jelas jajaran kepolisian
mulai dari struktur paling atas tidak mempunyai
keseriusan dalam upaya penghapusan kekerasan
seksual.”1
Pada paragraf pertama diatas, pemilihan kata
„apakah nyaman‟ yang disertai dengan tanda petik
merupakan upaya wartawan dalam mengkonstruksi
pembaca. Agar pembaca melihat secara jelas kalimat
seksis apa yang dikatakan Tito Karnavian sehingga
beliau pantas dianggap salah. Kalimat „apakah
nyaman‟, mengartikan bahwa subjek yaitu Tito yang
merupakan Kapolri meragukan korban perkosaan.
Mengibaratkan bahwa perkosaan yang dilaporkan
korban merupakan sesuatu yang pantas diragukan.
1
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,
diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari http://www.konde.co/2017/10/kapolri-
ucapan-yang-seksis-dan.html.
6

Walau pada nyatanya, hal itu tidak pantas dilakukan.


Karena seharusnya selaku institusi negara Polri harus
ikut serta dalam melindungi dan mendukung korban.

Pada kalimat „Nampak jelas jajaran kepolisian


mulai dari struktur paling atas tidak mempunyai
keseriusan dalam upaya penghapusan kekerasan
seksual.‟ terlihat bahwa wartawan sangat sinis
terhadap negara. Penggunaan kata „nampak jelas‟
seolah-olah menunjukkan bahwa sudah sangat jelas.
Tidak perlu dipungkiri lagi bahwa kepolisian bahkan
ketuanya yang paling atas tidak memiliki keseriusan.
Tidak serius, yang mengacu pada tidak mau berupaya
dalam penghapusan kekerasan seksual. Pada kalimat
„kepolisian mulai dari struktur paling atas‟ jelas sekali
mengarah pada negara. Berita ini menunjukkan bahwa
wartawan hendak mengkritik negara bukan hanya
kepolisian.

2) Pada bagian isi menguraikan pernyataan Tito


Karnavian yang beralasan mengapa ia melakukan hal
seperti itu:

“Sangat menyesalkan dan menyesakkan dalam


wawancara tersebut justru Tito mengeluarkan sebuah
pernyataan berisi analogi yang hendak menegaskan
sikapnya yang seksis dan tidak ramah korban
perkosaan. Ia menggunakan analogi bahwa di dalam
peristiwa pidana penyidik juga harus menggunakan
trik untuk mencari jawaban yang pasti dari pihak
korban salah satunya adalah korban perkosaan. Maka
pertanyaan „apakah merasa nyaman‟ saat mengalami
6

perkosaan adalah pertanyaan yang dianggap wajar


oleh kapolri.”2 (Paragraf 5)
Pada paragraf 5 diatas wartawan menggunakan
kata „sangat menyesalkan dan menyesakkan‟ terlihat
bahwa wartawan hendak menunjukkan
kekecewaaannya yang sangat besar atas apa yang
dilakukan oleh Tito Karnavian kepada korban
perkosaan. Selain itu wartawan juga menyatakan
bahwa „pernyataan yang dianggap wajar oleh
Kapolri‟ pada kalimat ini wartawan hendak
menggiring opini pembaca pada pemikiran bahwa
ternyata memang setidak peduli itu Polri yang
merupakan institusi negara dalam menangani kasus
perkosaan. Jelas sekali tujuan wartawan pada paragraf
ini berupaya untuk menunjukkan separah itu negara
berlaku pada korban perkosaan.

Selanjutnya pada paragraf 7 dapat dilihat


pernyataan dari Gendor yang tidak setuju dengan
analogi Tito Karnavian:

“Lini Zurlia, Nisa Yura dan Dhyta Caturani yang


mewakili Gendor menyatakan bahwa Gendor
menggugat analogi Tito Karnavian yang tidak ramah
pada korban. Kami yang terdiri dari berbagai elemen;
perempuan, aktivis, pegiat HAM dan elemen
masyarakat lain menggugat analogi tersebut yang
semakin menegaskan sikap bahwa intitusi penegak

64 Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban


Perkosaan, diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
6

hukum tidak ramah dan tidak berpihak pada korban


kekerasan seksual, pantas saja jika banyak kasus
kekerasan seksual jarang dilaporkan oleh korbannya
atau bahkan korban yang melapor justru disalahkan.
Artinya, kepolisian sebagai institusi penegak hukum
berkontribusi dalam mencederai rasa keadilan.”3
(Paragraf 7)
Pada paragraf 7 diatas wartawan menyisipkan
pernyataan Gendor sebagai argumen penguat dalam
asumsi yang menganggap perilaku yang dilakukan
Kapolri merupakan sebuah diskiriminasi terhadap
perempuan. Selain itu pernyataan „penggiat HAM dan
elemen masyarakat lain‟ wartawan seolah-olah
menggambarkan bahwa gugatan dan argumen
mengenai tidakan seksis yang dilakukan oleh Kapolri
sudah didukung oleh banyak pihak. Kata „elemen
masyarakat yang lain‟ menunjukkan bahwa ada
banyak orang yang mendukung korban perkosaan dan
menyalahkan tindakan Tito Karnavian.

Pada kata „pantas saja‟ wartawan menunjukkan


pertanyaan sinis yang menganggap bahwa kinerja
Polri memang pantas diragukan. Diakhir paragraf
wartawan menuliskan kalimat „artinya kepolisian
sebagai institusi menegak hukum berkontribusi dalam
mencenderai rasa keadilan‟. Kata „institusi hukum‟
disini jelas ditunjukan bukan hanya pada satu orang

65 Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban


Perkosaan, diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
6

tetapi pada keseluruhan yang juga berhubungan


kepada negara. Kata „berkontribusi‟ menunjukkan
bahwa Polri secara suka rela melakukan kesalahan
tersebut. Seolah-olah kesalahan dan ketidakadilan
yang terjadi memang dilakukan secara sadar. Kata
„mencenderai‟ digunakan wartawan untuk
menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Polri benar-
benar telah menyakiti dan membekas kepada korban
perkosaan.

3) Pada bagian penutup berisi bagaimana seharusnya


Kepolisian Republik Indonesia harus konsisten
menjalankan peran seperti yang tertera pada peraturan
Kapolri Nomor 8 tahun 2009:

“Kepolisian Republik Indonesia harus konsisten


menjalankan beberapa peraturan yang telah dibuat
untuk meningkatkan kerja-kerja kepolisian dalam
melindungi masyarakat dan mewujudkan pemenuhan
hak asasi manusia serta perlindungan kelompok rentan
lain. Peraturan tersebut antara lain; Peraturan Kapolri
Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip
dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas
Polri, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015
tentang Penanganan Ujaran Kebencian (“SE” Hate
Speech”) dan serta pembentukan Unit Pengaduan
Perempuan dan Anak (UPPA) adalah salah satu upaya
kepolisian dalam menangani kasus-kasus perkosaaan
dan semestinya berpihak pada korban.”4 (Paragraf 9)

66 Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban


Perkosaan, diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
6

Pada paragraf 9 diatas wartawan menuliskan


Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 diakhir berita
sebagai bentuk bahwa argumen yang telah wartawan
sampaikan dalam berita ini bukan hanya bentuk opini
pembelaan terhadap perempuan belaka. Tetapi
wartawan menuliskan hal tersebut karena memang
pada nyatanya Polri harus berpihak pada korban
seperti yang tertulis pada Peraturan Kapolri Nomor 8
tersebut. Paragraf terakhir ini dibentuk untuk
mempertegas bahwa apa yang dilakukan oleh Tito
Karnavian bukanlah sesuatu yang wajar.

c. Struktur Mikro (Semantik)


1) Latar

Latar dalam pemberitaan ini terletak pada paragraf


keenam:

“Analogi tersebut menunjukkan bahwa institusi


penegak hukum mulai dari hirarki paling tinggi memang
tidak ramah dan tidak berpihak pada korban. Berdasarkan
berbagai pengalaman gerakan perempuan dan aktivis
perempuan yang mendampingi dan berjuang bersama
korban perkosaan, langkah hukum yang ditempuh dengan
melaporkan kasus perkosaan ke Kepolisian merupakan
satu langkah perjuangan berani, di tengah aparat penegak
hukum yang masih terus menyalahkan korban. Pernyataan
jenderal Polisi seperti ini akan semakin membungkam
6

korban dan menjauhkan keadilan bagi masyarakat


terutama perempuan dan korban perkosaan.”5 (Paragraf 6)
Pada paragraf 6 diatas menunjukkan wartawan
berupaya memberitahu kepada pembaca bahwa
kedudukan yang paling tinggi dari institusi negara saja
tidak ramah pada korban lantas bagaimana dengan yang
dibawahnya. Hal tersebut dilihat dari kalimat “penegak
hukum mulai dari hirarki paling tinggi.”

Kalimat “penegak hukum yang masih terus


menyalahkan korban” pada kalimat ini terlihat bahwa
wartawan memberikan pernyataan sinis yang terkesan
menuduh pada penegak hukum. Kalimat “membungkam
korban dan menjauhkan dari keadilan” menunjukkan
bahwa wartawan memang hendak menyudutkan penegak
hukum yang merupakan bagian dari institusi negara. Kata
yang digunakan cenderung tendensius, dengan maksud
menyudutkan negara.

2) Detil

Detil yang hendak disampaikan dalam pemberitaan ini


terlihat pada paragraf ketiga, keempat dan kelima:

“Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gedor)


yang merupakan jaringan puluhan organisasi di Indonesia
yang berjuang untuk demokrasi di Indonesia dimana
www.Konde.co ikut terlihat didalamnya, pada pernyataan
sikapnya menyakan bahwa pemberitaan tersebut adalah
5
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,
diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari http://www.konde.co/2017/10/kapolri-
ucapan-yang-seksis-dan.html.
6

hasil dari wawancara yang dilakukan untuk meminta


tanggapan Kapolri tentang beberapa persoalan,
diantaranya terkait sikap dan tindakan aparat kepolisian
yang menarget kelompok minoritas gender dan seksual
pada Lesbian, Gay, Biseksual & Transgender (LGBT)
dengan penangkapan atas tuduhan melanggar UU
Pornografi, serta persoalan yang saat ini mendera lembaga
pemberantasan korupsi; Komisi pemberantarasan Korupsi
(KPK).”6 (Paragraf 3)
“Penangkapan terhadap kelompok LGBT tidak
hanya dilakukan di ranah publik tapi juga di wilayah
privat seperti tempat tinggal, salah satunya adalah
penangkapan di sebuah sauna dengan tuduhan melanggar
UU Pornografi. Meski terdapat banyak tempat sauna, gym
dan tempat sejenisnya namun justeru tempat-tempat
tersebut yang menjadi sasaran target kepolisian atas
tuduhan aktifitas LGBT melanggar UU Pornografi. Selain
itu perlu dicatat, UU Pornografi bukan UU anti LGBT
tapi mengapa mereka menjadi kelompok sasaran.”7
(Paragraf 4)
“Sangat menyesalkan dan menyesakkan dalam
wawancara tersebut justru Tito mengeluarkan sebuah
penyataan berisi analogi yang hendak menegaskan
sikapnya yang seksis dan tidak ramah korban perkosaan.
Ia menggunakan analogi bahwa di dalam peristiwa pidana
penyidik juga harus menggunakan trik untuk mencari
jawaban yang pasti dari pihak korban salah satunya adalah
korban perkosaan. Maka pertanyaan „apakah merasa
nyaman‟ saat mengalami perkosaan adalah pertanyaan
yang dianggap wajar oleh kapolri.” 8 (Paragraf 5)

6
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,
diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari http://www.konde.co/2017/10/kapolri-
ucapan-yang-seksis-dan.html.
7
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,
diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari http://www.konde.co/2017/10/kapolri-
ucapan-yang-seksis-dan.html.
8
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,
diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari http://www.konde.co/2017/10/kapolri-
ucapan-yang-seksis-dan.html.
7

Pada paragraf diatas menunjukkan wartawan


hendak membuktikan bahwa tindakan kejahatan yang
dilakukan oleh kepolisian terhadap kaum marginal bukan
hanya terjadi pada kasus perkosaan. Tetapi juga pada para
kelompok LGBT. Hal tersebut dilihat dari teks yang
dituliskan wartawan mengenai LGBT.

Pada paragraf ketiga diatas wartawan


menggunakan kata “menargetkan” tampak wartawan
hendak menunjukkan bahwa kepolisian memang
menjadikan kelompok LGBT sebagai target. Seolah-olah
menjadi LGBT adalah sebuah kegiaatan kriminal yang
patut dipenjarakan.

Pada paragraf empat diatas wartawan menuliskan


kalimat “penangkapan terhadap kelompok LGBT tidak
hanya dilakukan di ranah publik tapi juga di wilayah
privat” pada kalimat ini tampak wartawan hendak
menunjukkan bahwa Polri memang sudah menjadikan
kelompok LGBT sebagai kriminal. Karena pencarian
Polri terhadap kelompok LGBT sudah sampai menembus
ruang privasi mereka.

Pada paragraf lima diatas wartawan menuliskan


“menggunakan trik untuk mencari jawaban yang pasti dari
pihak korban” pada kalimat ini menunjukkan bahwa Polri
masih meragukan laporan korban perkosaan. Wartawan
7

ingin menunjukkan bahwa laporan yang dilakukan para


korban selama ini ternyata masih diragukan oleh Polri.

3) Maksud
Elemen pada maksud yang terkandung dalam
pemberitaan ada pada paragraf ketujuh:
“Lini Zurlia, Nissa Yura dan Dhyta Caturani yang
mewakili Gendor menyatakan bahwa Gendor menggugat
analogi Tito Karnavian yang tidak ramah pada korban.
kami yang terdiri dari berbagai elemen; perempuan,
aktivis, pegiat HAM dan elemen masyarakat lain
menggugat analogi tersebut yang semakin menegaskan
sikap bahwa institusi penegang hukum tidak ramah dan
tidak berpihak pada korban kekerasan seksual, pantas saja
jika banyak kasus kekerasan seksual jarang dilaporkan
oleh korbannya atau bahkan korban yang melapor justru
disalahkan. Artinya, kepolisian sebagai institusi penegak
hukum berkontribusi dalam mencenderai rasa keadilan.” 9
(Paragraf 7)

Pada paragraf 7 diatas wartawan menuliskan


kalimat “berbagai elemen; perempuan, aktivis, pegiat
HAM dan elemen masyarakat lain” terlihat wartawan
hendak menunjukkan bahwa ada banyak sekali orang
yang setuju dan ikut menggugat perlakuan Tito
Karnavian. Disini wartawan tidak menyebutkan secara
rinci siapa saja yang menggugat itu. Wartawan berusaha
menunjukkan kepada pembaca bahwa ada banyak orang
yang tidak setuju dengan Polri dan membela korban
perkosaan.

71 Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban


Perkosaan, diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
7

Wartawan menggunakan kata “berkontribusi”,


kontribusi sendiri memiliki arti “sumbangan” dalam arti
lainnya wartawan hendak menunjukkan bahwa kepolisian
ikut menyumbang atau ikut serta dalam mencenderai rasa
keadilan. Kata “mencenderai” sendiri berarti melukai,
luka yang membekas. Wartawan hendak menunjukkan
bahwa apa yang dilakukan Polri sudah melukai korban
perkosaan hingga membekas. Hal tersebut berakibat pada
korban-korban perkosaan lain yang menjadi enggan untuk
melapor kepada kepolisian.
4) Pra Anggapan

Pra anggapan pada teks berita tersebut adalah bagian


berita yang memaparkan tentang peraturan yang sudah
dibuat oleh kepolisian.

“Kepolisian Republik Indonesia harus konsisten


menjalankan beberapa peraturan yang telah dibuat untuk
meningkatkan kerja-kerja kepolisian dalam melindungi
masyarakat dan mewujudkan pemenuhan hak asasi
manusia serta perlindungan kelompok rentan lain.
Peraturan tersebut antara lain; peraturan kapolri Nomor 8
Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar
HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Polri, Surat Edaran
Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran
Kebencian (“SE Hate Speech”) dan serta pembentukan
Unit Pengaduan Perempuan dan Anak (UPPA) adalah
salah satu upaya kepolisian dalam menangani kasus-kasus
pemerkosaan dan semestinya berpihak pada korban.”10
(Paragraf 9)

72 Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban


Perkosaan, diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
7

Pada paragraf 9 diatas, kata „harus konsisten‟


terlihat wartawan hendak menagih kepada Polri, „dimana
konsistensi Polri?‟ „mengapa tidak konsisten?‟ „mengapa
tidak sesuai dengan peraturan kerja yang sudah dibuat?
bukankah peratutan kerja dibuat bersama dan untuk ditaati
bersama?‟. Bagian pra anggapan di dalam teks dibuat oleh
wartawan untuk mendukung pernyataan bahwa tindakan
tidak ramah korban yang dilakukan kepolisian adalah
tindakan yang salah. Karena hal tersebut tidak sesuai
dengan peraturan yang dibuat. Peraturan yang ada
menyatakan bahwa seharusnya kepolisian berpihak pada
korban ketika menangani kasus-kasus pemerkosaan bukan
sebaliknya.

d. Struktur Mikro (Sintaksis)


1) Bentuk Kalimat

“Sangat menyesalkan dan menyesakkan dalam


wawancara tersebut justru Tito mengeluarkan sebuah
pernyataan berisi analogi yang hendak menegaskan
sikapnya yang seksis dan tidak ramah korban
perkosaan…”11 (Paragraf 5)
Pada paragraf 5 diatas terdapat kalimat aktif yang
menunjukkan bahwa Tito Karnavian adalah subjek. Tito
Karnavian disini merupakan tokoh institusi penegak

73 Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban


Perkosaan, diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
7

hukum. Jadi subjek dalam pemberitaan ini adalah seorang


penegak hukum.

2) Koherensi

Koherensi atau hubungan antar kata atau kalimat


yang digunakan dalam berita ini ada pada paragraf ketiga:

“Pada pernyataan sikapnya menyatakan bahwa


pemberitaan tersebut adalah hasil dari wawancara yang
dilakukan untuk meminta tanggapan Kapolri tentang
beberapa persoalan, di antaranya terkait sikap dan
tindakan aparat kepolisian yang menarget kelompok
minoritas gender dan seksual pada Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender (LGBT) dengan penangkapan
atas tuduhan melanggar UU pornografi, serta persoalan
yang saat ini mendera lembaga pemberantasan korupsi;
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).”12 (Paragraf 3)
Pada paragraf 3 diatas wartawan menggunakan
kata hubung „dengan‟ dan „serta‟ bertujuan untuk
menunjukkan bahwa aparat kepolisian
menyangkutpautkan kelompok LGBT sebagai
pelanggaran UU pornografi dan kasus yang terjadi di
KPK. Hal tersebut menggambarkan bahwa Polri
menganggap bahwa kelompok LGBT adalah kriminal.

3) Kata Ganti

Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh


komunikator untuk menunjukkan dimana posisi seseorang

74 Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban


Perkosaan, diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
7

dalam wacana.13 Dalam penelitian ini ditemukan kata


ganti yang terdapat pada paragraf 7 dan 8 sebagai berikut:

“Kami yang terdiri dari berbagai elemen;


perempuan, aktivis, pegiat HAM dan elemen masyarakat
lain menggugat analogi tersebut yang semakin
menegaskan sikap bahwa institusi penegak hukum tidak
ramah dan tidak berpihak pada korban kekerasan
seksual..”14 (Paragraf 7)
“Untuk itu dalam surat terbuka berupa gugatan ini
kami menuntut dan meminta kepada Jenderal Kapolri Tito
Karnavian meminta maaf kepada publik atas pernyataan
tersebut.”15 (Paragraf 8)
Pada paragraf diatas wartawan menggunakan kata
„kami‟ sebagai kata ganti menunjukkan bahwa argumen
yang dituliskan wartawan dalam paragraf tersebut adalah
bentuk representasi dari sikap bersama suatu kelompok.
Hal ini mengartikan bahwa berita ini ditulis bukan hanya
lewat pemikiran satu orang. Melainkan pemikiran
bersama satu kelompok.

e. Struktur Mikro (Stilistik)


1) Leksikon

Unsur leksikon atau pemilihan kata yang digunakan


wartawan adalah:

13
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 253
14
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,

diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari


http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
15
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,
diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
7

“Nampak jelas jajaran kepolisian mulai dai


struktur paling atas tidak mempunyai keseriusan dalam
upaya penghapusan kekerasan seksual”16 (Paragraf 1)

Pada paragraf 1 diatas wartawan menggunakan


kata „tidak mempunyai keseriusan‟ terlihat wartawan
hendak menunjukkan kepada pembaca bahwa kinerja
Polri patut diragukan. Selain itu wartawan menunjukkan
sikap sinis kepada Polri.
“Selain itu perlu dicatat, UU pornografi bukan
UU anti LGBT tapi mengapa mereka yang menjadi
kelompok sasaran.”17 (Paragraf 4)

Pada paragraf 4 diatas kata “kelompok sasaran”


digunakan wartawan untuk menunjukkan bahwa
kelompok LGBT memang sudah menjadi tujuan
penangkapan kepolisian.
“Pernyataan jenderal Polisi seperti ini akan
semakin membungkam korban dan menjauhkan keadilan
bagi masyarakat terutama perempuan dan korban
perkosaan.”18 (Paragraf 6)

Pada paragraf 6 diatas wartawan menggunakan


kata “membungkam” tampak wartawan hendak
menunjukkan betapa jahatnya Polri. Kata membungkam

16
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,
diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari http://www.konde.co/2017/10/kapolri-
ucapan-yang-seksis-dan.html.
17
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,

diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari


http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
76 Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban
Perkosaan, diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
7

sendiri memiliki konotasi negatif yang kita ketahui


sebagai penutup mulut secara paksa.
“Artinya, kepolisian sebagai institusi penegak
hukum berkontribusi dalam mencenderai rasa keadilan.”19
(Paragraf 7)

Pada paragraf 7 diatas pengunakaan kata


“berkontribusi” mengartikan bahwa sebuah kelompok ikut
serta dalam melakukan suatu hal. Dan dilanjutkan kata
“mencenderai” yang merupakan kata kerja aktif. Kalimat
“berkontribusi dalam mencenderai” digunakan wartawan
untuk menunjukkan bahwa penegak hukum ikut serta
secara sadar dalam merusak rasa keadilan.

f. Struktur Mikro (Retoris)


1) Grafis

Pemakaian grafis pada berita ini terdapat pada


kalimat „apakah merasa nyaman‟ yang ditulis dua kali
dan keduanya menggunakan tanda petik diatasnya.

“Dalam percakapan dan wawancara BBC


Indonesia yang diturunkan dalam sebuah pemberitaan
pada 19 Oktober 2017 berjudul „Tito Karnavian: Korban
perkosaan bisa ditanya „apakah nyaman‟ selama
perkosaan? Nampak jelas jajaran kepolisian mulai dari

77 Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban


Perkosaan, diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
7

struktur paling atas tidak mempunyai keseriusan dalam


upaya penghapusan kekerasan seksual.”20 (Paragraf 1)

“Maka pertanyaan „apakah merasa nyaman‟ saat


mengalami perkosaan adalah pertanyaan yang dianggap
wajar oleh kapolri.”21 (Paragraf 5)
Pada paragraf diatas terdapat kalimat „apakah
merasa nyaman‟ ditulis wartawan dua kali dengan
menggunakan tanda petik. Terlihat bahwa wartawan
hendak menonjolkan kesalahan yang dilakukan Tito
Karnavian. Dengan tujuan agar pembaca menilai sendiri
bahwa sikap yang ditunjukkan Tito Karnavian selaku
Kapolri dapat menjadi gambaran seperti apa
sesungguhnya sikap merendahkan Polri pada korban
perkosaan. Kasus yang terjadi pada berita ini dapat
diartikan sebagai kekerasan perempuan yaitu kekerasan
verbal yang melukai mental korban perkosaan. Kekerasan
bukan hanya berlaku pada kekerasan fisik, tetapi juga
kekerasan psikologi dan mental.

2) Metafora
Metafora merupakan bentuk kiasan. Metafora
digunakan sebagai ornamen atau bumbu dari suatu
berita.22 Metafora dalam berita ini terdapat pada kalimat:

20
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,
diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
21
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,
diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
7

“Perkosaan terhadap siapapun, merupakan


kejahatan yang telah jelas-jelas memberikan dampak
berlapis, secara fisik, psikologis, bahkan ekonomi kepada
korbannya.”23 (Paragraf 2)
Pada paragraf 2 diatas wartawan menggunakan
kiasan “dampak berlapis” yang merupakan sebuah
pernyataan hiperbola dengan tujuan untuk menunjukkan
bahwa dampak yang dirasakan korban perkosaan
bukanlah sesuatu yang ringan. Pada bagian ini wartawan
hendak menunjukkan bahwa dampak yang dirasakan oleh
korban perkosaan sudah sangat berat. Jadi, dapat
dibayangkan seperti apa kondisi mental korban ketika
mendapatkan pertanyaan seksis dari Kapolri. Rasa sakit
dan beban yang dimiliki korban pasti bertambah. Hal
tersebut sudah pasti menganggu kondisi mental korban
perkosaan.

2. Analisis Teks Berita 2


Judul: “Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten
Seksual di Sosial Media” (28 Oktober 2017)
a. Struktur Makro (Tematik)

Tema dari berita berjudul “Perempuan Menjadi


Korban Penyebaran Konten Seksual di Media Sosial” ini
terdapat pada paragraf pertama:

22
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,
diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
23
Kapolri Ucapan Seksis dalam Menyalahkan Korban Perkosaan,
diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri- ucapan-yang-seksis-dan.html.
8

“Dalam kurun waktu seminggu ini, terdapat


penyebaran konten video HA yang diduga dilakukan oleh
media massa dan masyarakat. Penyebaran konten seksual
yang dilakukan tanpa persetujuan ini jelas merupakan
kejahatan seksual di dunia maya.”24 (Paragraf 1)
Pada paragraf 1 diatas wartawan menggunakan
kata “kejahatan seksual” terlihat bahwa wartawan hendak
menyatakan bahwa penyebaran konten seksual di dunia
maya memiliki nilai kriminalitas yang sama dengan
kejahatan seksual. Sehingga dampak kepada korban yang
disebabkan oleh kasus penyebaran konten ini sama seperti
dengan dampak kejahatan seksual lainnya.

b. Superstruktur (Skematik)

Superstruktur bisa dilihat dari skema pemberitaan,


sebagai berikut:

1) Bagian awal pemberitaan dimulai dari judul berita


tersebut, yaitu “Perempuan Menjadi Korban
Penyebaran Konten Seksual di Sosial Media”.

Pada bagian judul diatas wartawan


menggunakan kalimat “perempuan menjadi korban”
tampak menunjukkan wartawan hendak
menyampaikan bahwa adanya tindakan kriminalitas
yang menyebabkan perempuan menjadi korban akibat
dari penyebaran konten di sosial media tersebut.
Selain itu, wartawan juga menyatakan bahwa konten

80 Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di


Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
8

yang dimaksud adalah konten seksual. Semua orang


tahu bahwa konten seksual merupakan sesuatu yang
sensitif dan tidak bisa disebarluaskan tanpa
persetujuan pemiliknya.

2) Bagian isi terdapat pada paragraf 2 :

“Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa


perempuan kembali menjadi obyektifitas di dunia
maya. Tubuh perempuan, apa yang dilakukan
perempuan kemudian disebarkan secara sensasional.
Dalam perspektif feminis, ini adalah terulangnya
kembali tubuh perempuan menjadi obyek eksploitase
di media, dan kali ini terjadi di media baru.”25
(Paragraf 2)
Pada paragraf 2 diatas wartawan menggunakan
kata “kembali” terlihat wartawan hendak
menunjukkan bahwa kasus ini bukanlah satu-satunya.
Tetapi sudah menjadi kasus biasa yang terjadi
berulang kali. Kata “objektifitas” digunakan wartawan
untuk menunjukkan bahwa perempuan selama ini
adalah objek di dunia maya. Objek yang dimaksud
disini tidak dalam konotasi baik. “Tubuh perempuan”
yang dimaksud oleh wartawan disini adalah
perempuan merupakan objek seksualitas di dunia
maya.

Wartawan menggunakan kata “sensasional”


yang berarti menggemparkan, merangsang emosi.

81 Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di


Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
8

Konten seksual perempuan disebarkan secara


menggemparkan. Seolah semua tahu, semua melihat
itu, dan orang-orang merasa antusias dengan itu. Kata
“Objek ekspolitase di media” ekspolitasi sendiri
berarti pemanfaatan untuk keuntungan sendiri.
Terlihat bahwa wartawan hendak menyudutkan media
yang menjadikan penyebaran konten seksual ini
sebagai keuntungan pribadi. Tanpa memikirkan
korban yang kontennya tersebar.

3) Pada bagian penutup berita ini diakhiri dengan


pernyataan bahwa kepolisian perlu
mempertimbangkan kasus ini dengan memperlakukan
HA sebagai korban. Juga mengajak polisi, media
massa, dan publik untuk melindungi korban dan
mendukung untuk pengesahan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual.

“Pihak Kepolisian perlu mempertimbangkan


situasi-situasi di atas dalam kasus HA dengan
memperlakukan HA sebagai koban. Polri juga harus
melakukan terobosan hukum dengan membuat standar
operasional dalam menangani korban penyebaran
konten seksual pribadi tanpa persetujuan dan
mengusut pelaku penyebaran video HA.”26 (Paragraf
11)
“Polisi, media massa, dan publik sepatutnya
bisa bahu-mambahu untuk melindungi korban
penyebaran konten seksual pribadi tanpa persetujuan

82 Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di


Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
8

sembari terus mendorong RUU Penghapusan


Kekerasan Seksual agar disahkan.”27 (Paragraf 12)
Pada paragraf 11 diatas terdapat kalimat
“pihak kepolisian perlu mempertimbangkan situasi-
situasi di atas dalam kasus HA dengan
memperlakukan HA sebagai korban” terlihat
wartawan berusaha menunjukkan bahwa kepolisian
belum atau bahkan tidak menganggap HA sebagai
korban dalam kasus ini. Wartawan berusaha
memojokkan Kepolisian dengan meminta
pertimbangan atas situasi yang dipaparkan
sebelumnya. Terlihat bahwa wartawan kembali
meragukan kinerja Kepolisian.

Pada paragraf 12 diatas wartawan


menyebutkan polisi, media massa dan publik hal ini
menunjukkan wartawan tidak hanya sedang
mengkritik kepolisian, dengan menyebutkan beberapa
elemen tersebut terlihat bahwa wartawan hendak
mengkritik negara dan penduduknya. Diakhir berita
wartawan menuliskan saran kepada pihak Kepolisian
agar melakukan terobosan hukum berupa
penangangan korban penyebaran konten seksual tanpa
persetujuan. Dilanjutkan dengan himbauan kepada
Polisi, media massa, dan publik untuk bersama
melindungi korban penyebaran konten seksual pibadi

83 Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di


Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
8

dan mengajak untuk mendukung terealisasinya RUU


Penghapusan Kekerasan Seksual.

c. Sturktur Mikro (Semantik)


1) Latar
Latar pada pemberitaan ini terdapat pada paragraf
4 dan paragraf 6:
“Pemetaan LBH Masyarakat dalam
pernyataan persnya pada 26 Oktober 2017 lalu
menyebutkan bahwa hingga saat ini, sedikitnya
tiga puluh (30) media online dan cetak telah
memberitakan mengenai video HA dengan
menyebutkan nama jelas dan menampilkan foto
korban.”28 (Paragraf 4)
“Media massa menurut analisis gender
LBH Masyarakat, Arita Dea Dini Singgi
seharusnyanya turut melindungi korban dengan
tidak menyebutkan nama korban maupun identitas
lainnya, tidak menyebarkan stigma, dan tidak
menyalahkan korban penyebaran konten seksual
tanpa persetujuan.”29 (Paragraf 6)

Pada paragraf 4 diatas wartawan


menyebutkan “30 media online dan cetak” terlihat
bahwa wartawan hendak menunjukkan nominal
secara jelas yaitu tiga puluh media. Tiga puluh
bukanlah angka kecil wartawan sengaja

28
Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di Media
Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-penyebaran.html
29
Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di
Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
8

menyebutkan nominal agar pembaca mengetahui


betapa banyaknya media yang melakukan
pelanggaran kode etik jurnalistik. Selain itu
wartawan juga menyebutkan media online dan
media cetak. Hal tersebut untuk memperjelas
bahwa tidak hanya satu jenis media saja yang
melakukan pelanggaran tetapi ada dua.
Wartawan juga menuliskan “menyebutkan
nama jelas dan foto korban” terlihat wartawan
memberitahu pembaca pelanggaran seperti apa
yang sudah dilakukan tiga puluh media tersebut,
yaitu menyebutkan nama dan foto korban secara
jelas. Hal tersebut termasuk pelanggaran kode etik
yang dimana identitas pribadi korban maupun
pelaku sebuah kasus merupakan data rahasia yang
tidak bisa disebarkan begitu saja kepada publik.
Pada paragraf 6 diatas wartawan
menuliskan identitas Arita Dea Dini Singgih
selaku analis gender LBH masyarakat, terlihat
wartawan menunjukkan argumen yang
disampaikan tentang pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh media tersebut juga disetujui oleh
tokoh berwenang. Hal tersebut dilakukan oleh
wartawan sebagai upaya agar pembaca menjadi
yakin dengan argumen yang disampaikan
wartawan.
8

Selain itu wartawan menuliskan “tidak


menyebarkan stigma” terlihat bahwa secara
wartawan hendak menunjukkan bahwa media
telah menjadi perantara tersebarnya konten seksual
tanpa persetujuan kepada publik yang berdampak
pada pembentukan stigma yang merugikan korban.
“Menyalahkan korban penyebaran konten
seksual tanpa persetujuan” kata menyalahkan
berarti bahwa dalam pemberitaan yang dilakukan
media tentang kasus ini kebanyakan berisikan
berita-berita yang malah menyudutkan korban.
Banyak media yang lantas menyalahkan korban
sebagai perusak moral lantaran membuat konten
seksual yang sebenarnya kita semua tahu bahwa
konten yang dibuat korban adalah konten pribadi.
Hal ini menjadi salah dan merusak moral adalah
ketika konten tersebut disebarluaskan. Jadi
sebenarnya yang menjadi pelaku adalah yang
menyebarkan konten tersebut, bukan yang
membuat konten karena konten tersebut dibuat
dengan tujuan pribadi.
2) Detil
Detil pada teks berita ini terdapat pada paragraf 5:
“Pemberitaan oleh media-media ini telah
melanggar kode Etik Jurnalistik Pasal 2 mengenai
profesionalisme jurnalis dan Pasal 9 mengenai
penghormatan narasumber tentang kehidupan
pribadinya. Selain itu, berita-berita yang
8

berkembang juga melanggar hak atas privasi


korban yang telah diatur dalam Pasal 28I Undang-
undang Dasar 1945, Pasal 4 Undang-undang No.
39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia, dan
Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan
Politik.”30 (Paragraf 5)

Pada paragraf 5 diatas wartawan


menuliskan detail berupa pernyataan yang
mencantumkan kode etik jurnalistik mengenai
profesionalisme jurnalis dan penghormatan
narasumber tentang kehidupan pribadinya.
Pada kalimat “berita-berita yang
berkembang juga melanggar hak atas privasi
korban” terlihat bahwa wartawan hendak
membuktikan bahwa argumennya tentang
pelanggaran oleh media terhadap korban itu benar
adanya. Dilihat dari undang-undang dasar dan
kode etik yang wartawan cantumkan di paragraf 5.
3) Maksud
Maksud pada pemberitaan ini terdapat pada
paragraf 9:
“LBH Masyarakat dalam pemetaannya
juga menyatakan bahwa kasus HA bukanlah kasus
pertama dan satu-satunya. Ada banyak kasus
penyebaran konten seksual pribadi tanpa
persetujuan lainnya yang tidak dapat diproses
karena kekosongan hukum, ketakutan korban akan

87 Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di


Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
8

dipersalahkan ketika melapor dan opini negatif


publik terkait korban.”31 (Paragraf 9)

Pada paragraf 9 diatas terdapat kalimat


“kasus HA bukanlah kasus pertama dan satu-
satunya” wartawan hendak mengkritik kasus
penyebaran konten seksual tanpa persetujuan yang
merugikan korban HA ini bukanlah kasus satu-
satunya. Hal tersebut menyatakan bahwa kasus
seperti ini terulang lagi dan lagi. Kasus yang
berulang kembali ini membentuk pertanyaan besar
bagaimana pemerintah menanganinya? Mengapa
bisa terus terulang?
“Tidak dapat diproses karena kekosongan
hukum” pada pemberitaan kedua ini kembali
wartawan mengkritik negara. Kata kekosongan
hukum menyatakan bahwa negara tidak peduli
terhadap kasus seperti ini, karena itulah kasus
penyebaran konten seksual tanpa persetujuan terus
terulang kembali. Hal tersebut disebabkan oleh
hukum yang tidak menengakkan hukum terhadap
kasus ini.
“Ketakutan korban akan dipersalahkan
ketika melapor dan opini negatif publik terhadap
korban” pada kalimat ini terlihat bahwa wartawan

88 Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di


Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
8

berada dipihak korban. Kata “korban akan


dipersalahkan ketika melapor” merupakan
gambaran tendensius wartawan terhadap negara.
Bagaimana bisa korban dipersalahkan? Bukankah
seharusnya korban itu mendapat pembelaan?
Korban disalahkan ketika melapor. Kalau korban
saja disalahkan ketika ia melapor. Pantas saja
kasus seperti ini terus berulang, karena tidak ada
laporan dari korban. Hal tersebut disebabkan oleh
hukum dan negara yang tidak berpihak kepada
korban. Di Indonesia ini ternyata korban
penyebaran konten seksual tanpa persetujuan
sering kali malah menjadi tersangka dan
disalahkan. Bukan hanya mendapat opini negatif
dan disalahkan oleh publik. Tetapi disalahkan pula
oleh aparat penegak hukum yang seharusnya ada
dipihak korban. Latas siapa yang ada dibelakang
korban? Siapa yang akan membela korban? Kalau
pihak yang harusnya membela saja tidak membela
korban.
4) Praanggapan
Praanggapan pada pemberitaan ini terdapat pada:
“Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa
perempuan kembali menjadi obyektifitas di dunia
maya. Tubuh perempuan, apa yang dilakukan
perempuan kemudian disebarkan secara
sensasional. Dalam perspektif feminis, ini adalah
terulangnya kembali tubuh perempuan menjadi
9

obyek eksploitase di media, dan kali ini terjadi di


media baru.”32 (Paragraf 2)

Pada paragraf 2 diatas wartawan


menyatakan lewat persepktif feminis yang
mengatakan bahwa “terulangnya kembali tubuh
perempuan menjadi obyek eksploitase di media
dan kali ini terjadi di media baru”. Kata terulang
kembali menyatakan bahwa kasus seperti ini
terjadi kembali. Tubuh perempuan yang ditulis
oleh wartawan itu tertuju pada media sudah
terbiasa menjadikan perempuan sebagai objek
yang membuat media menjadi seru. Media dan
penikmat media menjadi antusias ketika
pembahasan berisi tentang tubuh perempuan.
Selama ini perempuan selalu seperti itu, tubuhnya
menjadi objek eksploitase.

d. Struktur Mikro (Sintaksis)


1) Bentuk Kalimat
Pada pemberitaan ini lebih sering terkandung
bentuk kalimat aktif seperti:
“Media massa menurut analisis gender
LBH Masyarakat, Arita Dea Dini Singgi
seharusnya turut melindungi korban dengan tidak
menyebutkan nama korban ataupun identitas
lainnya, tidak menyebarkan stigma, dan tidak

32
Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di
Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
9

menyalahkan korban penyebaran konten seksual


tanpa persetujuan.”33 (Paragraf 6)

Pada paragraf 6 diatas bentuk kalimat


berita ini menggunakan kalimat aktif yang
merupakan kalimat yang subjeknya aktif
melakukan kegiatan atau aktifitas yang berupa
predikat. Bisa juga disebut kalimat yang subjeknya
melakukan pekerjaan atau melakukan perbuatan.
Dalam berita ini wartawan menempatkan korban
sebagai objek yang mengalami perbuatan dari
berbagai subjek.

2) Koherensi
Koherensi pada pemberitaan ini terdapat pada
paragraf:
“LBH Masyarakat dalam pemetaannya
juga menyatakan bahwa kasus HA bukanlah kasus
pertama dan satu-satunya. Ada banyak kasus
penyebaran konten seksual pribadi tanpa
persetujuan lainnya yang tidak dapat diproses
karena kekosongan hukum, ketakutan korban akan
dipersalahkan ketika melapor dan opini negatif
publik terkait korban.”34 (Paragraf 9)

Pada paragraf 9 diatas wartawan hendak


mengaitkan penyebaran konten seksual pribadi

33
Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di Media
Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari

91 Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di


Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
9

http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-penyebaran.html

92 Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di


Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
9

disebabkan oleh kekosongan hukum yang belum


melindungi korban yang melapor. Tidak ada
hukum yang melindungi korban. Hal itulah yang
menyebabkan korban mendapatkan stigma yang
menjadi kekerasan psikis bagi diri korban.
3) Kata Ganti
“Sebaliknya, media perlu memberitakan
kasus ini secara berimbang dengan
menitikberatkan pemberitaan pada pelaku yang
melakukan penyebaran tersebut. Penyebaran berita
maupun konten video tersebut yang dilakukan juga
oleh publik melalui media sosial akan berdampak
pada terganggunya kehidupan korban serta
membahayakan keselamatan korban.”35 (Paragraf
7)
Pada paragraf 7 diatas terdapat kata ganti
„korban‟ digunakan kepada perempuan yang
konten seksualnya disebarkan di media. Kata ganti
„pelaku‟ digunakan kepada orang yang
menyebarkan konten pribadi tersebut. Kata ganti
tersebut hendak menunjukkan bahwa adanya
tindak criminal yang terjadi pada kasus ini. Bahwa
kasus penyebaran konten seksual pribadi tanpa
izin merupakan kasus kriminal yang perlakunya
harus mendapat hukuman.

93 Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di


Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
9

e. Struktur Mikro (Stilistik)


1) Leksikon
Terdapat pemilihan kata (leksikon) pada berita ini
terdapat pada:
“Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa
perempuan kembali menjadi obyektifikasi di dunia
maya. Tubuh perempuan, apa yang dilakukan
perempuan kemudian disebarkan secara
sensasional. Dalam perspektif feminis, ini adalah
terulangnya kembali tubuh perempuan menjadi
obyek eksploitase di media, dan kali ini terjadi di
media baru.”36 (Paragraf 2)

Pada paragraf 2 diatas wartawan


menggunakan kata „obyektifikasi‟ terlihat
wartawan hendak menunjukkan bahwa perempuan
menjadi objek yang tersorot di dunia maya. Kata
„tubuh perempuan‟ sebagai bentuk bahwa
perempuan yang tersorot bukan hanya tentang dia
perempuan. Melainkan tubuhnya yang menjadi
objek sorotan publik. „Eksploitase‟ yang berarti
pemanfaatan, wartawan hendak menunjukkan
bahwa perempuan dimanfaatkan sebagai objek
oleh media. Agar media dilihat oleh publik.
“LBH Masyarakat dalam pemetaannya
juga menyatakan bahwa kasus HA bukanlah kasus
pertama dan satu-satunya. Ada banyak kasus

94 Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di


Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
9

penyebaran konten seksual pribadi tanpa


persetujuan lainnya yang tidak dapat diproses
karena kekosongan hukum, ketakutan korban akan
dipersalahkan ketika melapor dan opini negatif
publik terkait korban.”37 (Paragraf 9)

Pada paragraf 9 diatas wartawan


menggunakan kata „kekosongan hukum‟ terlihat
wartawan hendak menunjukkan bahwa hukum
yang kosong, tidak adanya hukum dalam kasus ini
menyebabkan terlantarnya korban dan pelaku yang
tidak ditangani dengan tepat.

f. Struktur Mikro (Retoris)


1) Grafis
Elemen grafis yaitu terdapat pada paragraf 4 yang
menuliskan „tiga puluh (30)‟ dengan
menggunakan tanda kurung.
“Pemetaan LBH Masyarakat dalam
pernyataan persnya pada 26 Oktober 2017 lalu
menyebutkan bahwa hingga saat ini, sedikitnya
tiga puluh (30) media online dan cetak telah
memberitakan mengenai video HA dengan
menyebutkan nama jelas dan menampilkan foto
korban.”38 (Paragraf 4)

37
Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di
Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
penyebaran.html
38
Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di
Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
9

Pada paragraf 4 diatas terdapat grafis


berupa tanda kurung pada angka 30 digunakna
wartawan sebagai bentuk sorotan nominal dan
agar pembaca dapat menilai bahwa angka 30
bukanlah jumlah yang sedikit.
2) Metafora
Metafora terdapat pada kalimat:
“…Tubuh perempuan, apa yang dilakukan
perempuan kemudian disebarkan secara
sensasional…”39 (Paragraf 2)
“Polisi, media massa, dan publik
sepatutnya bisa bahu-membahu untuk melindungi
korban penyebaran konten seksual pribadi tanpa
persetujuan sembari terus mendorong RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual agar disahkan.”40
(Paragraf 12)

Pada paragraf 2 diatas metafora kata tubuh


perempuan digunakan wartawan untuk
menunjukkan dengan jelas bahwa perempuan
menjadi objektifikasi bukan tentang
perempuannya saja. Tetapi lebih kepada tubuh
perempuan yang tidak sepantasnya disebarkan
secara sensasional. Karena kita tahu bahwa tubuh
merupakan privasi semua orang, tidak sepantasnya

39
Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di
Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/perempuan-menjadi-korban-
penyebaran.html
40
Perempuan Menjadi Korban Penyebaran Konten Seksual di
Media Sosial diakses pada tanggal 23 Mei 2018 dari
9

dijadikan objek yang digunakan untuk menarik


minat pengguna media.
Pada paragraf 12 diatas terdapat kata bahu-
membahu digunakan wartawan dengan maksud
bahwa melindungi korban bukan hanya tugas satu
pihak tetapi semua juga seharusnya sadar untuk
melindungi korban. Perlindungan kepada korban
akan berjalan optimal bila ada banyak pihak yang
ikut didalamnya. Seperti polisi, media massa, dan
publik bersama-sama seharusnya ikut secara sadar
dalam melakukan perlindungan terhadap korban.
Bukan malah memojokkan korban dan membuat
korban menjadi semakin tertekan.

3. Analisis Teks Berita 3


Judul: “Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang
Diarak dan Ditelanjangi” (16 November 2017).
a. Struktur Makro (Tematik)
Tema dari berita ketiga ini berada pada paragraf 1 dan
paragraf 11 yaitu:
“Beberapa hari yang lalu saya mendapatkan video
tentang laki-laki dan perempuan yang diarak dan
ditelanjangi dan dipaksa mengaku kalau mereka sudah
berbuat mesum di sebuah rumah kost. Peristiwa ini
terjadi di Cikupa, Tangerang, Banten.”41 (Paragraf 1)

41
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
98

“Hal lain, apakah pemuatan video yang


tersebar meluas ini bisa distop dari sekarang? Jika
bisa, apakah ada jaminan bahwa orang lain tidak
menyimpannya dan mengunggahnya lagi suatu saat
nanti? Hal inilah yang tidak pernah dipikirkan orang
yang menghakimi tubuh perempuan. Peristiwa yang
terjadi di Cikupa, Tangerang ini sungguh merupakan
perbuatan bodoh yang mengorbankan tubuh
perempuan. buat saya, ini adalah kriminalisasi tubuh
perempuan.”42 (Paragraf 11)
Pada paragraf 1 diatas wartawan menuliskan
kalimat “diarak dan ditelanjangi dan dipaksa mengaku
kalau mereka sudah berbuat mesum” terlihat bahwa
wartawan hendak menunjukkan kepada pembaca
betapa biadabnya apa yang dilakukan oleh pelaku
kepada laki-laki dan perempuan pada kasus ini.
Terlihat tema yang diarahkan wartawan dalam berita
ini adalah kritik terhadap pelaku dan masyarakat yang
main hakim sendiri dalam menyelesaikan sebuah
perkara.
“Hal inilah yang tidak pernah dipikirkan orang
yang menghakimi tubuh perempuan” pada kalimat ini
wartawan terlihat mengkritik publik yang dengan
mudah main hakim sendiri serta menyebarkan video
persekusi ini secara meluas. Tanpa pernah
memikirkan akibat yang diderita korban dari
perbuatan yang mereka lakukan.

42
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
9

Kalimat “sungguh perbuatan bodoh yang


mengorbankan tubuh perempuan” pada kalimat ini
terlihat wartawan mengkritik publik dengan
mengatakan perbuatan seperti itu merupakan
perbuatan yang sangat bodoh. Bagi siapa yang
melakukan hal serupa seperti yang dilakukan pelaku
dalam pemberitaan ini maka dapat dikatakan mereka
melakukan perbuatan yang sangat bodoh.
Pengakiman yang mereka lakukan dalam
rangka untuk menegakkan kebenaran berakhir dengan
mengorbankan tubuh perempuan. Wartawan dengan
jelas menyatakan bahwa tindakan yang terjadi di
Cikupa ini merupakan bentuk kriminalisasi tubuh
perempuan. Kriminalisasi sendiri berarti proses yang
memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap
sebagai peristiwa pidana, tetapi kemudian
digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh
masyarakat. Perilaku yang dilakukan oleh warga
Cikupa terhadap dua sejoli itu dilakukan dengan
tujuan agar membuat efek jera kepada keduanya.
Tetapi tindakan yang mereka lakukan berubah
menjadi peristiwa pidana, karena mereka malah
membuat perempuan menjadi korban atas perlakuan
berupa diarak dan ditelanjangi. Selain itu juga video
persekusi ini tersebar luas ke publik.
1

b. Superstruktur (Skemantik)
Superstruktur bisa dilihat dari skema pemberitaan
sebagai berikut:
1) Pada bagian pendahuluan, diawali dengan judul
“Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang
Diarak dan Ditelanjangi”. Pada bagian judul
wartawan menggunakan kata “kriminalisasi” terlihat
bahwa wartawan hendak menunjukkan bahwa
adanya tindakan pidana yang terjadi dalam
pemberitaan ini. “Tubuh perempuan” wartawan
kembali menggunakan kata tubuh perempuan untuk
menunjukkan bahwa yang menjadi korban dalam
pemberitaan ini bukan hanya perempuannya tetapi
tubuh perempuan telah menjadi korban.
“Perempuan yang diarak dan ditelanjangi” pada
bagian judul wartawan menuliskan tindak kriminal
yang dilakukan yaitu diarak dan ditelanjangi. Selain
itu wartawan menuliskan perempuan, seperti dilihat
dari pemberitaan yang ada bahwa kasus ini
mengakibatkan dua korban yaitu laki-laki dan
perempuan. Tetapi dari judul terlihat bahwa
wartawan hendak memfokuskan pada perempuan.
Wartawan berusaha menunjukkan bahwa korban
perempuan mengalami tindak kejahatan yang lebih
mendalam dibanding dengan korban laki-laki.
10

2) Pada bagian isi berisikan tentang kronologis yang


terjadi:

“Video tersebut kemudian viral hampir


disemua group whatsapp bahkan sudah diunggah ke
youtube dan media sosial lain. Dan ironinya,
ternyata pasangan tersebut tidak melakukan
perbuatan mesum seperti yang banyak
dituduhkan.”43 (Paragraf 3)
“Tidak hanya memaksa mengaku tetapi
mereka sudah melakukan kekerasan mencekik,
menempeleng dan menganiaya sampai akhirnya
melucuti pakaian keduanya. Meskipun ketika
mereka menggedor pintu dan masuk, keduanya
sedang tidak berbuat mesum tetapi tetap dianggap
berbuat mesum. Kata Sabilul, warga salah paham
lantaran mendapati pasangat itu berada dalam satu
kontrakan pada malam hari.”44 (Paragraf 6)
“Peristiwa ini sebetulnya bukan yang
pertama kali. Masyarakat seperti menjadi polisi
moral ketika ada perempuan dan laki-laki dalam
satu rumah. Mereka menjadi kepo, merasa berhak
menghakimi dan ingin tahu. Mereka cenderung
berpikir mesum dan berimaginasi adanya „seks liar‟
di dalamnya. Selalu bersemangat menelanjangi
tanpa memberikan kesempatan untuk membela
diri.”45 (Paragraf 7)
Pada paragraf 3 diatas wartawan menuliskan
“ironinya ternyata pasangan tersebut tidak

43
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
44
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
45
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
10

melakukan perbuatan mesum seperti yang banyak


dituduhkan” pada kalimat ini terlihat bahwa
wartawan langsung menyatakan bahwa keduanya
tidak bersalah. Serta perbuatan mesum yang
dikatakan hanyalah sebuah tuduhan. Terlihat tujuan
wartawan menulis berita ini adalah pada pembelaan
kepada korban.

“Tidak hanya memaksa mengaku tetapi


mereka sudah melakukan kekerasan mencekik,
menempeleng dan menganiaya sampai akhirnya
melucuti pakaian keduanya.” Kalimat yang
dituliskan wartawan pada paragraf 6 ini
memperlihatkan bahwa wartawan hendak
menunjukkan kepaada pembaca betapa sadisnya
pelaku memperlakukan korban. Apa yang dilakukan
pelaku terhadap korban sudah tidak dapat katakan
mengatasnamakan kebenaran. Meskipun pelaku
mengaku melakukan hal tersebut agar korban jera
dan tidak berbuat mesum kembali. Tetapi tuduhan
berbuat mesum tidak terbukti karena seperti yang
dikatakan di paragraf 6 selanjurnya “meskipun
ketika mereka menggedor pintu masuk kedua
sedang tidak berbuat mesum tetapi tetap dianggap
berbuat mesum.” Wartawan menuliskan bagian ini
dengan tujuan mengkritik pelaku dan agar membuat
pembaca berpikir. Kalau korban tidak sedang
10

berbuat mesum mengapa tetap dianggap berbuat


mesum?

Kalimat “peristiwa ini sebetulnya bukan


yang pertama kali.” Pada bagian ini terlihat
wartawan hendak menunjukkan bahwa kasus
persekusi yang terjadi di Cikupa ini bukanlah kasus
pertama. Tetapi sudah banyak kasus serupa terjadi di
Indonesia. Hal ini membentuk pertanyaan mengapa
kasus seperti ini sering terjadi di Indonesia?

“Masyarakat seperti menjadi polisi moral


ketika ada perempuan dan laki-laki dalam satu
rumah.” Dari kalimat ini terlihat wartawan
mengkritik masyarakat Indonesia yang terbiasa
menghakimi seseorang dengan alasan moral.
Masyarakat sering menjadikan moral sebagai alasan
untuk menghakimi orang lain. “Mereka merasa
kepo, merasa berhak menghakimi dan ingin tahu”
Wartawan mengkritik masyarakat yang merasa
berhak untuk menghakimi. Bahkan menjadi perihal
urusan perempuan dan laki-laki yang berada dalam
satu rumah. “Mereka cenderung berpikir mesum dan
berimaginasi adanya „seks liar‟ didalamnya.”
Wartawan menunjukkan bahwa masyarakat
Indoensia cenderung berpikir mesum ketika ada
laki-laki dan perempuan berada dalam satu rumah.
Masyarakat biasanya menganggap bahwa
10

perempuan dan laki-laki yang berada dalam satu


rumah pasti melakukan seks. “Selalu bersemangat
menelanjangi tanpa memberikan kesempatan untuk
membela diri.” Wartawan menulis dengan sinis
mengkritik masyarakat yang menganggap bahwa
dengan menelanjangi kedua korban maka itu
menjadi hukuman yang pantas bagi korban yang
mereka anggap melakukan mesum. Mengapa ketika
orang dianggap berbuat mesum malah dihukum
dengan ditelanjangi dan ditonton banyak orang.
Apakah yang seperti itu dipantas demi mendidik
moral. Dengan menelanjangi dua orang di depan
umum saja hal tersebut sudah tidak mengandung
moral. Maka tidak sepantasnya masyarakat
menganggap kasus persekusi ini dilakukan atas
nama moral.

3) Pada bagain akhir wartawan mengajak pembaca ikut


berpikir tentang kasus tersebut. Wartawan juga
menyisipkan argumen pribadinya:

“Hal lain, apakah pemuatan video yang


tersebar meluas ini bisa distop dari sekarang? Jika
bisa, apakah ada jaminan bahwa orang lain tidak
menyimpannya dan mengunggahnya lagi suatu saat
nanti? Hal inilah yang tidak pernah dipikirkan orang
yang menghakimi tubuh perempuan. Peristiwa yang
terjadi di Cikupa, Tangerang ini sungguh merupakan
perbuatan bodoh yang mengorbankan tubuh
10

perempuan. buat saya, ini adalah kriminalisasi tubuh


perempuan.”46 (Paragraf 11)
Pada paragraf 11 diatas wartawan mengajak
pembaca berdialog. Agar pembaca ikut memikirkan
dampak dari kasus ini. Kasus ini tidak hanya akan
berdampak pada korban saja. Tetapi ketika video
persekusi yang isinya adalah tubuh perempuan
disimpan lalu disebar luaskan suatu saat nanti.
Selain hal tersebut akan kembali menyakiti psikis
korban. Perbuatan itu juga akan berdampak pada
anak dan generasi yang melihatnya. Video tersebut
akan dijadikan objek seksual bagi mereka yang
menontonnya. Hal tersebut dikarena video itu
berisikan tubuh perempuan yang ditelanjangi.

c. Struktur Mikro (Semantik)


1) Latar

Latar dari pemberitaan ini terdapat pada paragraf


pertama:

“Beberapa hari yang lalu saya


mendapatkan video tentang laki-laki dan
perempuan yang diarak dan ditelanjangi dan
dipaksa mengaku kalau mereka sudah berbuat

105 Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan


Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
10

mesum di sebuah rumah kost. Peristiwa ini terjadi


di Cikupa, Tangerang, Banten.”47 (Paragraf 1)
Pada paragraf 1 diatas wartawan
menggunakan kata „saya‟ terlihat bahwa
wartawan hendak menunjukkan bahwa berita
tersebut ditulis melalui perspektif wartawan dan
beberapa argumen yang dijabarkan juga
merupakan argumen dari wartawan. Wartawan
hendak menunjukkan pada pembaca bahwa ia juga
berada pada pihak yang mendukung korban dan
merasa resah dengan apa yang dialami korban.

Wartawan menggunakan kata “diarah dan


ditelanjangi dan dipaksa” kata-kata yang
digunakan oleh wartawan pada bagian latar terlihat
bahwa wartawan hendak menyampaikan kepada
pembaca kekejaman yang pelaku lakukan terhadap
korban. Dalam upaya untuk menggiring pembaca
untuk ikut membela korban.

2) Detil
Detil pada berita ini terdapat pada:
“Seperti yang dikatakan Kepala Polres
Kabupaten Tangerang AKBP Sabilul dalam
kompas.com, kronologi peristiwa yang terjadi
pada Sabtu (11/11/2017) malam itu, awalnya,
perempuan berinisial MA minta dibawakan
makanan oleh R, pacarnya. Sekitar pukul 22.00

106 Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan


Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
10

WIB, R tiba di kontrakan MA untuk mengantarkan


makanan. Keduanya masuk ke dalam kontrakan
untuk menyantap makan malam bersama.”48
(Paragraf 4)
“Ketua RT berinisial T menggedor pintu
(kontrakan MA), pintunya tidak tertutup rapat,”
ujar Sabilul dalam akun instagramnya,
@m.sabilul_alif, Selasa (14/11/2017). Menurut
Sabilul, saat itu T dapat bersama dua orang
lainnya berinisial G dan NA. Usai menggedor
pintu dan masuk ke dalam kontrakan, ketiga orang
itu memaksa R dan MA mengakui mereka telah
berbuat mesum.”49 (Paragraf 5)
“Tidak hanya memaksa mengaku tetapi
mereka sudah melakukan kekerasan mencekik,
menempeleng dan menganiaya sampai akhirnya
melucuti pakaian keduanya. Meskipun ketika
mereka menggedor pintu dan masuk, keduanya
sedang tidak berbuat mesum tetapi tetap dianggap
berbuat mesum. Kata Sabilul, warga salah paham
lantaran mendapati pasangan itu berada dalam satu
kontrakan pada malam hari.”50 (Paragraf 6)

Pada paragraf diatas wartawan


menyantumkan pernyataan dari Kepala Polres
Kabupaten Tangerang AKBP Sabilul, terlihat
bahwa wartawan berusaha memperkuat
argumennya dengan menuliskan kronologis yang

48
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
49
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
50
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
10

dikatakan oleh Kepala Polres yang bersangkutan


langsung.
Para paragraf lima diatas wartawan
menuliskan “memaksa R dan MA mengakui
mereka telah berbuat mesum” pada paragraf ini
wartawan hendak menunjukkan bahwa tindakan
yang dilakukan pelaku terhadap korban itu sudah
tidak sopan dari awal. Bagaimana bisa dua orang
yang sejak awal kronologis sedang tidak berbuat
mesum malah dipaksa mengaku berbuat mesum.
Kalimat “tidak hanya memaksa mengaku
tetapi mereka sudah melakukan kekerasan
mencekik, menempeleng dan menganiaya sampai
akhirnya melucuti pakaian keduanya” terlihat
wartawan hendak menunjukkan kekejaman yang
dilakukan pelaku. Pemilihan kata yang digunakan
wartawan tertuju pada tuduhan kekerasan yang
jelas kepada pelaku. Wartawan memang memiliki
tujuan menyudutkan pelaku dihadapan publik.
3) Maksud
Maksud pada berita ini terdapat pada paragraph 9
dan 10:
“Dalam kasus seperti ini, perempuan
adalah pihak yang paling dirugikan. Apalagi di era
teknologi seperti sekarang ini kejadian itu
langsung menyebar ke jaringan seluruh dunia
tanpa ada penjelasan dan pembelaan. Sayangnya
klarifikasi oleh pihak kepolisian bahwa mereka
tidak berbuat mesum, tidak ikut viral di whatsapp
10

group. Orang tetap akan menganggap bahwa


mereka berbuat mesum. Wajah perempuan yang
ditelanjangi dan memohon ampun masih melekat
dalam ingatan.”51 (Paragraf 9)
“Perempuan selalu yang memiliki dampak
ganda dalam setiap peristiwa penggerebekan.
Tidak hanya fisik yang mengalami dan
menanggung kekerasan tetapi juga psikologisnya.
Saya tidak tahu bagaimana traumanya perempuan
tersebut, dituduh, dipermalukan dan dianiaya
harga dirinya tanpa ada pembelaan. Identitas
dirinya hancur karena ada beberapa laki-laki
mesum yang berpikiran bahwa perempuan yang
datang malam-malam ke rumah laki-laki pasti
menyerahkan dirinya dan melakukan hubungan
seksual.”52 (Paragraf 10)
Pada paragraf diatas wartawan menyatakan
“perempuan adalah pihak yang paling dirugikan”
pada pernyataan ini terlihat bahwa wartawan
hendak menunjukkan efek negatif dan kerugian
yang didapatkan perempuan akibat kasus ini.
Wartawan menunjukkan keberpihakannya kepada
pembelaan terhadap perempuan.
“Sayangnya klarifikasi oleh pihak
kepolisian bahwa mereka tidak berbuat mesum,
tidak ikut viral di whatsapp group.” Pada kalimat
ini terlihat wartawan mengkritik masyarakat yang
hanya bisa menghakimi tanpa peduli untuk

51
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
52
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
11

meluruskan opini publik. Ketika korban sudah


ketahuan tidak berbuat mesum, masyarakat tidak
dengan heboh meyebarkan klarifikasi tersebut.
Masyarakat hanya heboh dengan video yang
tersebar menganggap itu adalah suatu hal yang
patut diketahui semua orang. Masyarakat hanya
suka menghakimi kesalahan orang lain dan ketika
korban terbukti tidak salah maka masyarakat yang
tadinya menghakimi langsung sembunyi tangan.
Seperti itulah sifat masyarakat Indonesia.
Kalimat “saya tidak tahu bagaimana
traumanya perempuan tersebut, dituduh,
dipermalukan dan dianiaya harga dirinya tanpa ada
pembelaan.” Terlihat bahwa wartawan hendak
mengkritik masyarakat. Sebenarnya pada kasus
ini, bukan hanya masyarakat biasa yang menjadi
pelaku. Melainkan adalah seorang ketua RT dan
RW yang merupakan seorang tokoh masyarakat.
Tokoh kepala masyarakatnya saja tidak bisa
bertindak baik kepada perihal kasus ini terhadap
perempuan. Sebenarnya terasa bahwa wartawan
sedang mengkritik negara. ketua RT dan RW
adalah gambaran kecil dari pemimpin masyarakat
yang tidak peka terhadap Hak Asasi Perempuan.
Mereka sebagai pemimpin masyarakat tingkat
bawah saja sudah tidak memiliki kepekaan
terhadap Hak Asasi Manusia. Bagaimana dengan
11

pemimpin masyarakat yang ada dilapisan atas?


Pemimpin masyarakat merupakan gambaran
seperti apa bentuk masyarakatnya.
Kata “lelaki mesum” yang digunakan
wartawan terlihat tendensius. Terlihat bahwa
wartawan tidak hanya mengkritik negara
melainkan juga mengkritik pemikiran laki-laki
yang beranggapan perempuan kerumah lelaki
dimalam hari artinya adalah berbuat sex.
Pemikiran negatif sudah bercampur ke lapisan
masyarakat. Bukan hanya lelaki yang berpikir
seperti itu, tetapi perempuannya pun sudah ikut
memakan stigma tersebut. Hal itulah yang
menyebabkan kasus ini terjadi dan bahkan
perempuannya pun tidak ikut membela kaumnya
ketika kejadian ini berlangsung.
4) Praanggapan
Pranggapan pada teks pemberitaan ini terdapat
pada:
“Alasan yang selalu diungkapkan adalah
agar mereka jera, dan untuk menjaga ketertiban
kampung. Apa benar mereka ingin menjaga
ketertiban kampung? Atau sebenarnya mereka
ingin mencocokan imaginasi liar mereka tentang
tubuh perempuan dan ingin melihat serta
menelanjangi?”53 (Paragraf 8)

53
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
11

Pada paragraf 8 diatas terdapat banyak


kalimat sinis yang digunakan wartawan untuk
menyindir perbuatan pelaku. “Apa benar mereka
ingin menjaga ketertiban kampung? Atau
sebenarnya mereka ingin mencocokan imaginasi
liar mereka tentang tubuh perempuan dan ingin
melihat serta menelanjangi?” Kalimat sinis
wartawan dalam bentuk kalimat tanya terliha
wartawan tengah mengkritik pelaku. Wartawan
juga mengajak pembaca berusaha mengkonstruksi
pembaca untuk ikut berpikir dua sisi dalam
melihat sebuah kasus. Menunjukkan bahwa lelaki
tetaplah lelaki. Tujuan moral yang pelaku gunakan
dalam persekusi adalah kedok saja. Niat utamanya
adalah bagaimana agar bisa melihat tubuh
perempuan dengan modus menegakkan moral.

d. Struktur Mikro (Sintaksis)


1) Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat pada teks berita ini beberapa
menggunakan kalimat aktif dan beberapa
menggunakan kalimat pasif.
“Tidak hanya memaksa mengaku tetapi
mereka sudah melakukan kekerasan mencekik,
menempeleng dan menganiaya sampai akhirnya
melucuti pakaian keduanya. Meskipun ketika
mereka menggedor pintu dan masuk, keduanya
sedang tidak berbuat mesum tetapi tetap dianggap
11

berbuat mesum. Kata Sabilul, warga salah paham


lantaran mendapati pasangan itu berada dalam satu
kontrakan pada malam hari.”54 (Paragraf 6)

Pada paragraf 6 diatas wartawan


menggunakan kalimat aktif terlihat bahwa
wartawan bertujuan agar pembaca fokus pada
subjek yang melakukan kata kerja tersebut. Kata
kerja yang digunakan wartawan pada kalimat aktif
ini berisikan kata kerja yang melakukan tindakan
negatif. Wartawan menggunakan kata aktif agar
pembaca fokus pada subjek yang melakukan kata
kerja negatif tersebut.
“Perempuan selalu yang memiliki dampak
ganda dalam setiap peristiwa penggerebekan.
Tidak hanya fisik yang mengalami dan
menanggung kekerasan tetapi juga psikologisnya.
Saya tidak tahu bagaimana traumanya perempuan
tersebut, dituduh, dipermalukan dan dianiaya
harga dirinya tanpa ada pembelaan. Identitas
dirinya hancur karena ada beberapa laki-laki
mesum yang berpikiran bahwa perempuan yang
datang malam-malam ke rumah laki-laki pasti
menyerahkan dirinya dan melakukan hubungan
seksual.”55 (Paragraf 10)

Pada paragraf 10 diatas wartawan


menggunakan kalimat pasif terlihat bahwa

54
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html

113 Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan


Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
11

wartawan ingin pembaca fokus pada subjek yang


melakukan kata kerja tersebut. Subjek disini
adalah pemimpin masyarakat yang menjadi pelaku
dalam kasus ini.
2) Koherensi
“Alasan yang selalu diungkapkan adalah
agar mereka jera, dan untuk menjaga ketertiban
kampung. Apa benar mereka ingin menjaga
ketertiban kampung? Atau sebenarnya mereka
ingin mencocokan imaginasi liar mereka tentang
tubuh perempuan dan ingin melihat serta
menelanjangi?”56 (Paragraf 8)

Pada paragraf 8 diatas wartawan


menggunakan kata “atau” yang merupakan
konjungsi koordinatif yang berarti kata hubung
yang menghubungkan dua klausa atau lebih yang
mempunya status sederajat. Wartawan hendak
menunjukkan bahwa alasan pelaku untuk
membuat korban menjadi jera berbanding sama
dengan mencocokan imaginasi liar mereka tentang
tubuh perempuan. Sebenarnya niat menegakkan
moral itu tidak ada, itu hanyalah akal-akalan
mereka untuk menelanjangi perempuan demi
memuaskan imaginasi liar mereka.

114Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan


Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
11

3) Kata Ganti
Menggunakan kata ganti orang ketiga jamak
“mereka”, dalam kalimat berikut:
“Beberapa hari yang lalu saya
mendapatkan video tentang laki-laki dan
perempuan yang diarak dan ditelanjangi dan
dipaksa mengaku kalau mereka sudah berbuat
mesum di sebuah rumah kost. Peristiwa ini terjadi
di Cikupa, Tangerang, Banten.”57 (Paragraf 1)
“Terus terang saya tidak tega, marah
melihat sang perempuan yang memohon ampun
dengan air mata bercucuran mengatakan bahwa
mereka berdua tidak melakukan perbuatan
mesum...”58 (Paragraf 2)
“…Usai menggedor pintu dan masuk ke
dalam kontrakan, ketiga orang itu memaksa R dan
MA mengakui mereka telah berbuat mesum…”59
(Paragraf 5)
“Tidak hanya memaksa mengaku tetapi
mereka sudah melakukan kekerasan mencekik,
menempeleng dan menganiaya sampai akhirnya
melucuti pakaian keduanya. Meskipun ketika
mereka menggedor pintu dan masuk, keduanya
sedang tidak berbuat mesum tetapi tetap dianggap
berbuat mesum…”60 (Paragraf 6)
“…Mereka menjadi kepo, merasa berhak
menghakimi dan ingin tahu. Mereka cenderung
57
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
58
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
59
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
60
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
11

berpikir mesum dan berimaginasi adanya „seks


liar‟ di dalamnya...”61 (Paragraf 7)
“Alasan yang selalu diungkapkan adalah
agar mereka jera, dan untuk menjaga ketertiban
kampung. Apa benar mereka ingin menjaga
ketertiban kampung? Atau sebenarnya mereka
ingin mencocokan imaginasi liar mereka tentang
tubuh perempuan dan ingin melihat serta
menelanjangi?”62 (Paragraf 8)
“…Sayangnya klarifikasi oleh pihak
kepolisian bahwa mereka tidak berbuat mesum,
tidak ikut viral di whatsapp group. Orang tetap
akan menganggap bahwa mereka berbuat
mesum...”63 (Paragraf 9)

Pada paragraf diatas wartawan


menggunakan kata “mereka” yang merupakan kata
ganti orang ketiga jamak. Terlihat bahwa
wartawan disini adalah orang ketiga, seorang
pengamat yang mengamati kasus ini dari berbagai
perspektif orang ketiga. Kata ganti “mereka” juga
menunjukkan bahwa wartawan dan pelaku yang ia
sebut mereka tidak berada dipihak yang sama.
Menunjukkan bahwa wartawan dan “mereka” itu
berbeda.

61
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
62
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
perempuan.html
63
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
11

Menggunakan kata ganti orang pertama tunggal


“Saya” pada paragraf berikut:

“Beberapa hari yang lalu saya


mendapatkan video tentang laki-laki dan
perempuan yang diarak dan ditelanjangi dan
dipaksa mengaku kalau mereka sudah berbuat
mesum di sebuah rumah kost…”64 (Paragraf 1)
“Terus terang saya tidak tega, marah
melihat sang perempuan yang memohon ampun
dengan air mata bercucuran mengatakan bahwa
mereka berdua tidak melakukan perbuatan
mesum...”65 (Paragraf 2)
“…Saya tidak tahu bagaimana traumanya
perempuan tersebut, dituduh, dipermalukan dan
dianiaya harga dirinya tanpa ada pembelaan...”66
(Paragraf 10)
“..Peristiwa yang terjadi di Cikupa,
Tangerang ini sungguh merupakan perbuatan
bodoh yang mengorbankan tubuh perempuan. buat
saya, ini adalah kriminalisasi tubuh perempuan.”67
(Paragraf 11)

Pada paragraf diatas penggunaan kata „saya‟


yaitu kata ganti pertama tunggal menunjukkan
bahwa dalam pemberitaan yang tertulis disini

64
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
65
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-perempuan.html
66
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
perempuan.html
67
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
11

merupakan bagian dari perspektif pribadi miliki


wartawan.

e. Struktur Mikro (Stilistik)


1) Leksikon
Leksikon pada berita ini terdapat pada paragraf:
“Ironinya, ternyata pasangan tersebut tidak
melakukan perbuatan mesum seperti yang banyak
dituduhkan.”68 (Paragraf 3)

Pada paragraf 3 diatas wartawan


menggunakan kata ironi yang artinya kejadian
yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.
Ironi mengandung makna yang hampir sama
dengan miris yang bermakna pada kasihan, iba,
tidak sampai hati. Iba karena apa yang dituduhkan
warga kepada korban tidak sama seperti yang
sebenarnya terjadi.
“Tidak hanya memaksa mengaku tetapi
mereka sudah melakukan kekerasan mencekik,
menempeleng dan menganiaya sampai akhirnya
melucuti pakaian keduanya. Meskipun ketika
mereka menggedor pintu dan masuk, keduanya
sedang tidak berbuat mesum tetapi tetap dianggap
berbuat mesum…”69 (Paragraf 6)

68
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
perempuan.html
69
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
11

Pada paragraf 6 diatas wartawan memilih


kata yang mengarah pada aktivitas kekerasan.
Disini wartawan mulai menggiring pemikiran
bahwa kasus yang terjadi di Cikupa ini termasuk
dalam kasus kekerasan terhadap perempuan.
“…Atau sebenarnya mereka ingin
mencocokan imaginasi liar mereka tentang tubuh
perempuan dan ingin melihat serta
menelanjangi?” (Paragraf 8)
70

Pada paragraf 8 diatas terdapat kata


imaginasi liar mengarah pada pemikiraan kotor.
Terlihat wartawan mengkritik pelaku yang
merupakan pemimpin masyarakat. Mengapa
pikiran kotor ikut masuk ke dalam kebijakan.
Padahal pikiran kotor dan kebijakan merupakan
dua hal yang bersebrangan.
“Perempuan selalu yang memiliki dampak
ganda dalam setiap peristiwa penggerebekan.
Tidak hanya fisik yang mengalami dan
menanggung kekerasan tetapi juga
psikologisnya…” (Paragraf 10)
71

Pada paragraf 10 diatas wartawan


menggunakan kata „dampak ganda‟ terlihat bahwa
wartawan hendak mempertegas dampak dan akibat

70
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
perempuan.html
71
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
12

yang dirasakan korban akibat kasus ini. Bukan


hanya berdampak pada satu hal melainkan
dampak ganda yang sudah dapat dipastikan lebih
berat.

f. Struktur Mikro (Retoris)


1) Grafis

“…Mereka menjadi kepo, merasa berhak


menghakimi dan ingin tahu. Mereka cenderung
berpikir mesum dan berimaginasi adanya „seks
liar‟ di dalamnya...”72 (Paragraf 7)
Pada paragraf 7 diatas wartawan
menggunakan tanda kutip pada kata “seks liar”
sebagai unsur grafis. Wartawan hendak
menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan
pelaku terhadap korban berada dibawah kendali
otak yang sedang berimaginasi tentang seks liar.
Wartawan mengkritik otak laki-laki yang
seharusnya mengesampingkan imaginasi seks
dalam mengambil kebijakan dan dalam bertindak.

2) Metafora
Metafora pada teks berita ini terdapat pada
paragraf 11:

“..Peristiwa yang terjadi di Cikupa,


Tangerang ini sungguh merupakan perbuatan

72
Kriminalisasi Tubuh Perempuan: Perempuan yang Diarak dan
Ditelanjangi diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-
12

bodoh yang mengorbankan tubuh perempuan. buat


saya, ini adalah kriminalisasi tubuh perempuan.”73
(Paragraf 11)
Pada paragraf 11 diatas wartawan
menggunakan kata mengorbankan tubuh
perempuan tidak dalam artian sesungguhnya yang
berupa perempuan dikorbankan tubuhnya untuk
sebuah nyawa. Tetapi kalimat tersebut memiliki
maksud yang sama. Wartawan hendak
menunjukkan bahwa mempertontonkan tubuh
didepan umum sama halnya dengan
mengorbankan nyawa bagi perempuan. Maka
ketika tubuh perempuan dipertontonkan didepan
umum maka pada saat itu perempuan terasa seperti
kehilangan nyawa.

4. Analisis Teks Berita 4


Judul: “Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang,
Bentuk Penyiksaan Seksual.” (17 November 2017)
a. Struktur Makro (Tematik)
Tema dari berita ini terdapat pada paragraf 1:

“Kasus penghakiman massa yang dilakukan


terhadap sepasang muda-mudi di Cikupa Tangerang
Sabtu 11 November 2017 yang dituduh berbuat
“mesum” merupakan bentuk-bentuk penyiksaan

73
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-perempuan-

perempuan.html Diakses pada tanggal 23 Mei


12

seksual yang merendahkan martabat manusia.”74


(Paragraf 1)
Pada paragraf 1 diatas wartawan menggunakan
kata “dituduh” terlihat keberpihakan wartawan
terhadap korban karena kata dituduh sendiri memiliki
makna dakwaan yang lemah. Dituduh memiliki unsur
keraguan dimana dakwaan terhadap korban saat itu
masih belum dipastikan kebenarannya.

“Merendahkan martabat manusia” wartawan


menggunakan kalimat ini terlihat bahwa wartawan
tidak menyukai pelaku yang berbuat tidak pantas
terhadap korban. Sehingga wartawan mengatakan
merendahkan martabat manusia dengan tujuan agar
pembaca tahu bahwa apa yang dilakukan oleh pelaku
terhadap korban sangatlah keji. Wartawan berusaha
menggiring pembaca pada garis besar pemikiran
bahwa korban tidak bersalah dan pelaku
memperlakukan korban dengan amat sadis.

b. Superstruktur (Skematik)
Superstruktur dapat dilihat dari skema pemberitaan.
Skema pemberitaan pada teks keempat sebagai
berikut:

74
Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk Penyiksaan
Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari

http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-
12

1) Bagian awal pemberitaan diawali dengan judul


“Penghakiman terhadap Remaja di Tangerang,
Bentuk Penyiksaan Seksual”.

Pada bagian judul terlihat wartawan hendak


menunjukkan adanya tindakan tidak bermoral yang
dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Dilihat dari
penggunaan kata “penghakiman” yang memiliki arti
perbuatan menghakimi. Penghakiman bisa
dilakukan secara layak di pengadilan melalui
keputusan hakim. Tetapi pada kasus ini wartawan
hendak menunjukkan adanya sebuah penghakiman
sendiri diluar jalur hukum yang dimana hal tersebut
merupakan sebuah tidakan illegal.

Wartawan menjelaskan korban adalah


remaja. Penghakiman terhadap remaja. Seperti kita
ketahui bahwa remaja adalah anak yang belum
dewasa maka hukum yang diterima oleh remaja
seharusnya tidak sama dengan hukum yang diterima
oleh orang dewasa. Tetapi dalam menuliskan
pemberitaan ini wartawan tidak mencantumkan
umur korban. Wartawan hanya menyatakan korban
adalah seorang remaja. Hal tersebut dilakukan
wartawan untuk menggiring pembaca pada
pemikiran bahwa tindakan yang sudah dilakukan
pelaku adalah sebuah tindakan yang benar-benar
salah karena seorang dewasa menghakimi remaja
12

yang lebih muda darinya. Disini wartawan berusaha


menjatuhkan image pelaku selaku pemimpin
masyarakat.

Kata “penyiksaan seksual” digunakan


wartawan dengan tujuan agar pembaca tahu bahwa
ada nya tindakan kriminal yang sangat kejam
dilakukan pelaku terhadap korban. Dari judul
wartawan berusaha memunculkan rasa penasaran
pembaca untuk mencari tahu siapa pelaku dibalik
kejahatan ini.

2) Pada bagian isi ada pada paragraf 4 dan 5 :

“Komnas Perempuan berpandangan bahwa


tindakan tersebut sebagai bentuk penyiksaan
seksual dan penghukuman yang tidak manusiawi
dan bernuansa seksual yang dilakukan masyarakat.
Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU)
Penghapusan Kekerasan Seksual, penyiksaan
seksual dilakukan dengan tujuan menghakimi atau
memberikan penghukuman atas suatu perbuatan
yang diduga telah dilakukan oleh ataupun oleh
orang lain untuk mempermalukan dan merendahkan
martabatnya.”75 (Paragraf 4)

Pada paragraf 4 diatas wartawan menuliskan


pandangan Komnas Perempuan yang menyatakan
bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk
penyiksaaan seksual dan hukuman yang tidak

124 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Penyiksaan Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html
12

manusiawi. Terlihat bahwa wartawan berusaha


membuat pembaca untuk ikut setuju bahwa
tindakan tersebut sudah termasuk dalam ranah
penyisaan yang tidak manusiawi. Terlebih hal
tersebut dilakukan oleh masyarakat. Mengapa
masyarakat menjadi ikut melakukan tindakan tidak
manusiawi tersebut dan menganggap hal titu adalah
sesuatu yang wajar.

Dilanjutkan dengan paragraf 5 yang


menyatakan bahwa main hakim sendiri mampu
meruntuhkan integritas korban:

“Tindakan main hakim sendiri telah


meruntuhkan integritas dan martabat korban secara
personal, termasuk juga keluarganya, dan akan
berdampak panjang pada masa depan korban. “Oleh
karenanya Negara perlu segera mengesahkan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual guna memberikan
instrument perlindungan yang berpihak pada korban
dan memberikan efek jera pada pelaku.”76 (Paragraf
5)
Pada paragraf 5 diatas terdapat kalimat
“oleh karenanya negara perlu segera mengesahkan
RUU Penghapusan Kekerasan seksual” disinilah
terlihat maksud utama wartawan menuliskan
pemberitaan ini yaitu dalam upaya agar pembaca
tahu seperti apa RUU Penghapusan Kekerasan
seksual. wartawan berusaha mengkonstruksi

1 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-
12

pembaca untuk ikut mendukung pengesahan RUU


Penghapusan Kekerasan seksual. Hal tersebut
dilakukan karena wartawan menganggap bahwa
hukum yang selama ini berdiri di Indonesia tidak
bisa menangani kasus seperti ini. Pada bagian ini
terlihat bahwa wartawan kembali mengkritik
negara.

3) Bagian penutup berada di paragraf 10:

“Lalu meminta tokoh-tokoh agama dan


pemuka masyarakat, serta institusi pendidikan
untuk memberikan perhatian serius terhadap
menguatnya budaya kekerasan di masyarakat dan
agar kasus-kasus main hakim sendiri tidak terus
berulang. Dan mendukung pihak keluarga korban
untuk melakukan pemulihan terhadap korban,
karena tindakan penyiksaan seksual tersebut dapat
menyebabkan dampak psikologis yang komplek
dan jangka panjang. “Media agar tidak lagi
mengekspos perempuan korban dalam pemberitaan,
sebagai bagian dari upaya mendukung pemulihan
korban,” ujar Komisioner Komnas Perempuan,
Mariana Amiruddin.”77 (Paragraf 10)
Pada paragraf 10 diatas wartawan
menggunakan kalimat “media agar tidak lagi
mengekspos perempuan korban dalam pemberitaan
sebagai bagian dari upaya mendukung pemulihan
korban.” terlihat bahwa wartawan tengah
mengkritik media yang ikut mengekspos dan

1 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-
12

menyebarluaskan identitas korban kehadapan


publik. Serta ikut menyebarkan video terkait kasus
tersebut.

c. Struktur Mikro (Semantik)


1) Latar

Latar dari pemberitaan ini terdapat pada paragraf


ketiga:

“Komnas Perempuan dalam pernyataan


sikapnya menyatakan bahwa tindakan yang
dilakukan oleh para pelaku bertentangan dengan
hak-hak yang dijamin oleh konstitusi dan Undang-
undang. “Tindakan main hakim sendiri atas nama
moralitas kerap kali dijadikan alasan untuk
melakukan tindakan kekerasan seksual kepada
perempuan, termasuk dengan cara-cara menebar
ketakutan yang menyasar pada tubuh perempuan.
kasus ini secara nyata juga terjadi di beberapa
wilayah seperti Aceh, Sragen, Riau dan lainnya.”
Ujar Komisioner Komnas Perempuan, Adriana
Venny.”78 (Paragraf 3)
Pada paragraf 3 diatas terdapat kalimat
“tindakan main hakim sendiri atas nama moralitas
kerap kali dijadikan alasan untuk melakukan
tindakan kekerasan seksual kepada perempuan”
terlihat bahwa wartawan mengkritik pelaku yang
main hakim sendiri dengan niat untuk moralitas
yang berubah pada pelecehan dan tindakan

127 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Penyiksaan Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html
12

kekeraasan terhadap perempuan. Tindakan atas


nama moralitas banyak dilakukan di daerah-daerah
Indonesia. Tindakan penghakiman sendiri
dianggap benar atas nama moralitas, namun
nyatanya tindakan seperti itu malah melanggar
moral sendiri.

2) Detil
Detil pada berita ini terdapat pada paragraf 4:
“Komnas Perempuan berpandangan bahwa
tindakan tersebut sebagai bentuk penyiksaan
seksual dan penghukuman yang tidak manusiawi
dan bernuansa seksual yang dilakukan oleh
masyarakat. Dalam Rancangan Undang-Undang
(RUU) Penghapusan Kekerasan seksual,
penyiksaan seksual dilakukan dengan tujuan
menghakimi atau memberikan penghukuman atas
suatu perbuatan yang diduga olehnya ataupun oleh
orang lain untuk mempermalukan dan
merendahkan martabatnya.” (Paragraf 4)
79

Pada paragraf 4 diatas wartawan


menuliskan “suatu perbuatan yang diduga olehnya
atau oleh orang lain” terlihat disini wartawan
tengah mengkritik bahwa penghakiman dan
hukuman yan dilakukan dalam bentuk penyiksaan
seksual tersebut hanya beradasarkan dugaan
pelaku terhadap korbaan. Sebuah dugaan yang
berakhir pada mempermalukan dan merendahkan
martabat korban. Masyarakat Indonesia mudah

128 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Penyiksaan Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html
12

panas dengan asumsi dan dugaan sendiri tanpa


pernah mau memastikan yang sesungguhnya. Dari
dugaan yang belum pasti itu masyarakat sudah
berani turun tangan untuk main hakim sendiri
tanpa memikirkan dampak apa yang akan
berakibat pada korban.
3) Maksud
Maksud pada berita keempat terdapat pada
paragraf 5 dan 7:

“Tindakan main hakim sendiri telah


meruntuhkan integritas dan martabat korban
secara personal, termasuk juga keluarganya, dan
akan berdampak panjang pada masa depan korban.
“Oleh karenanya Negara perlu segera
mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual guna memberikan instrument
perlindungan yang berpihak pada korban dan
memberikan efek jera pada pelaku.”80 (Paragraf 5)

Pada paragraf 5 atas wartawan beranggapan


bahwa hukum yang ada saat ini di Indonesia
belum cukup untuk menangani kasus kekerasan
terhadap perempuan. Hal tersebut terlihat pada
pernyataan “oleh karenanya negara perlu segera
mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan
Seksual guna memberikan instrument
perlindungan yang berpihak ada korban dan

129 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Penyiksaan Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html
13

memberikan efek jera pada pelaku”. Terlihat


bahwa wartawan mengkritik hukum Indonesia
yang belum peduli terhadap korban. Maka itu
RUU patut disahkan agar kejadian seperti ini tidak
berkelanjutan kembali.

Dilanjutkan dengan pernyataan Komnas


Perempuan yang meminta aparat hukum untuk
tegas dalam menyikapi kasus ini:

“Untuk menindaklanjuti proses yang sudah


berjalan, Komnas Perempuan meminta aparat
penegak hukum untuk menindak tegas dan
memberikan hukum yang seberat-beratnya para
pelaku penyiksaan seksual serta penghukuman
tidak manusiawi bernuansa seksual, yang
memvideokan dan memviralkannya, dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.”81 (Paragraf 7)

Pada paragraf 7 diatas terdapat kalimat


“Komnas Perempuan meminta aparat penegak
hukum untuk menindak tegas.” Terlihat bahwa
wartawan hendak menunjukkan bahwa penegak
hukum belum sepenuhnya betindak tegas karena
itulah Komnas Perempuan ikut serta dalam
menangani kasus tersebut.
4) Praanggapan
Praanggapan pada teks berita ini terdapat pada:

130 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Penyiksaan Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html
13

“Tindakan main hakim sendiri telah


meruntuhkan integritas dan martabat korban secara
personal, termasuk juga keluarganya, dan akan
berdampak panjang pada masa depan korban. “Oleh
karenanya Negara perlu segera mengesahkan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual guna memberikan
instrument perlindungan yang berpihak pada korban
dan memberikan efek jera pada pelaku.”82 (Paragraf
5)
Pada paragraf 5 diatas terlihat wartawan
hendak menuntut negara bahwa lebih baik segera
mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan
seksual hal tersebut karena hukum yang saat ini
berdiri belum mampu untuk menangani itu.

d. Struktur Mikro (Sintaksis)


1) Bentuk Kalimat

Terdapat kalimat aktif dan pasif dalam berita ini,


pada:

“Kasus penghakiman massa yang


dilakukan terhadap sepasang muda-mudi di
Cikupa Tangerang Sabtu 11 November 2017 yang
dituduh berbuat “mesum” merupakan bentuk-
bentuk penyiksaan seksual yang merendahkan
martabat manusia.”83 (Paragraf 1)

82
Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk Penyiksaan
Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html

131 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Penyiksaan Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html
13

Pada paragraf 1 diatas wartawan


menggunakan kalimat pasif digunakan untuk
menyorot pelaku dalam kasus tersebut. Agar
pembaca langsung terfokus pada siapa pelaku
dalam kasus ini.

Dilanjutkan dengan paragraf 4:

“…Dalam Rancangan Undang-Undang


(RUU) Penghapusan Kekerasan seksual,
penyiksaan seksual dilakukan dengan tujuan
menghakimi atau memberikan penghukuman atas
suatu perbuatan yang diduga dilakukan dengan
tujuan menghakimi atau memberikan
penghukuman atas suatu perbuatan yang diduga
telah dilakukan olehnya ataupun oleh orang lain
untuk mempermalukan dan merendahkan
martabatnya.”84 (Paragraf 4)
Pada paragraf 4 diatas wartawan
menggunakan Kalimat aktif agar pembaca melihat
siapa korban yang mendapat tindakan tersebut.
wartawan berusaha mengkonstruksi bahwa
tindakan yang dilakukan pelaku kepada korban
yang masih remaja adalah sebuah perbuatan yang
tidak pantas.

2) Koherensi
Koherensi pada pemberitaan ini terdapat pada:

“Tindakan main hakim sendiri telah


meruntuhkan integritas dan martabat korban secara

132 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Penyiksaan Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html
13

personal, termasuk juga keluarganya, dan akan


berdampak panjang pada masa depan korban. “Oleh
karenanya Negara perlu segera mengesahkan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual guna memberikan
instrument perlindungan yang berpihak pada korban
dan memberikan efek jera pada pelaku.”85 (Paragraf
5)
Pada paragraf 5 diatas wartawan
menggunakan kata “karenanya” yang merupakan
konjungsi subordinatif. Konjungsi subordinatif
berarti kata penghubung yang menghubungkan dua
klausa atau lebih dengan status yang tidak sama
derajatnya. Terlihat wartawan hendak menunjukkan
bahwa tindakan main hakim yang meruntuhkan
integritas korban dan pengesahan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual merupakan dua
fakta yang berbeda, tetapi bisa menyatu karena
dengan disahkannya RUU maka kejadian tindakan
main hakim sendiri akan berkurang dengan
ditangani secara memadai dengan RUU yang ada.

3) Kata ganti

“Komnas Perempuan mengapresiasi


langkah cepat Kepolisian RI dalam menanggapi
kasus dengan menangkap seluruh pelaku juga

1 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-
13

merupakan tokoh masyarakat, dan juga


mengupayakan pemulihan korban.”86 (Paragraf 6)
Pada paragraf 6 diatas wartawan
menggunakan kata ganti „pelaku‟ untuk
menyebutkan tokoh masyarakat yang menghakimi
sepasang muda-mudi di Cikupa. Dan kata ganti
„korban‟ digunakan kepada pasangan yang
menerima tindak kekerasan. Hal tersebut
dilakukan untuk menunjukkan adanya tindakan
kriminal yang memakan korban dalam kasus ini.

e. Struktur Mikro (Stilistik)


1) Leksikon
Terdapat pilihan kata (leksikon) pada
permberitaan ini, terdapat pada:

“Tanpa pembuktian melalui proses


hukum, masyarakat sama sekaali tidak punya
hak untuk melakukan penghukuman,
penganiayaan, dan melanggar hak kebebasan
orang lain yang dijamin dalam Konstitusi…” 87
(Paragraf 2)
Pada paragraf 2 iatas wartawan
memilih kata penghukuman, penganiayaan,
dan melanggar terlihat bahwa wartawan

86
Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk Penyiksaan
Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html

134 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Penyiksaan Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html
13

hendak menunjukkan betapa kejamnya


tindakan kriminal yang sudah dilakukan
perlaku terhadap korban.

“Komnas Perempuan berpandangan


bahwa tindakan tersebut sebagai bentuk
penyiksaan seksual dan penghukuman yang
tidak manusiawi dan bernuansa seksual yang
dilakukan oleh masyarakat..”88 (Paragraf 4)

Pada paragraf 4 diatas wartawan


memiliki kata tidak manusiawi terlihat
wartawan bertindak sinis pada pelaku hingga
menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan
pelaku adalah sebuah tindakan yang tidak
manusiawi.

f. Struktur Mikro (Retoris)


1) Grafis
Unsur grafis dalam pemberitaan ini terdapat
pada paragraf 1.
“Kasus penghakiman massa yang
dilakukan terhadap sepasang muda-mudi di
Cikupa Tangerang Sabtu 11 November 2017
yang dituduh berbuat “mesum” merupakan
bentuk-bentuk penyiksaan seksual yang

135 Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk


Penyiksaan Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html
13

merendahkan martabat manusia.”89 (Paragraf


1)
Pada paragraf 1 diatas wartawan
hendak menjadikan kata mesum sebagai
sorotan. Apakah mesum yang dikatakan
masyarakat terhadap korban adalah mesum
sesungguhnya? Atau ternyata pelakulah yang
mesum sehingga menelanjangi korban dalam
kasus ini.
2) Metafora
Metafora pada teks berita keempat ini terdapat
pada paragraf 3:

“…Tindakan main hakim sendiri atas


nama moralitas kerap kali dijadikan alasan
untuk melakukan tidakan kekerasan seksual
kepada perempuan, termasuk dengan cara-cara
menebar ketakutan yang menyasar pada tubuh
perempuan..”90 (Paragraf 3)

Pada paragraf 3 diatas terdapat kalimat


“Cara-cara menebar ketakutan yang menyasar
pada tubuh perempuan.” pada kalimat ini
terlihat bahwa wartawan menggunakan
metafora bahwa menebarkan ketakutan berupa
video dan stigma pada perempuan yang

89
Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk Penyiksaan
Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html
90
Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang, Bentuk
Penyiksaan Seksual diakses pada tanggal 23 Mei 2017 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-remaja-di.html
13

berakhir pada dikobankannya tubuh


perempuan. tubuh perempuan yang disebarkan
videonya lalu dilihat oleh masyarakat sebagai
bentuk penebaran ketakutan.

Dilihat dari analisis teks, diketahui bahwa Konde.co


melihat kekerasan terhadap perempuan sebagai kejahatan
sistem yang belum berpihak terhadap perempuan. Konde.co
mengkonstruksi bahwa sistem yang ada di Indonesia sebagai
bentuk pembungkaman terhadap perempuan.
Analisis wacana Teun A van Dijk memiliki titik
perhatian pada bagaimana proses sebuah berita dibuat.
Dalam analisis wacana Van Dijk, analisis terfokus pada
pengamatan bagaimana pandangan wartawan dan strateginya
dalam membuat berita. Pada hasil analisis level teks
penelitian ini, diketahui bahwa teks dipengaruhi oleh kondisi
mental dari wartawan. Sikap wartawan yang mengkritisi
negara, muncul di dalam teks pemberitaan.
Konde.co menganggap isu kekerasan terhadap
perempuan selama ini dibiarkan oleh negara. Kekerasan
terhadap perempuan yang terjadi di Indonesia merupakan
kesalahan sistem negara yang belum peduli pada perempuan.

Selain itu, Konde.co juga melihat kekerasan terhadap


perempuan sebagai bentuk kekerasan terstruktur. Konde.co
menganggap negara termasuk sebagai pelaku kekerasan
tersebut. Hal tersebut terlihat dari bagaimana institusi negara
13

memperlakukan korban perempuan dalam sebuah kasus.


Konde.co banyak mengkritisi tindakan negara yang belum
berpihak pada perempuan. Konde.co menganggap seharusnya
negara bisa menjadi wadah yang melindungi kaum
perempuan, tetapi kenyataannya bahkan beberapa institusinya
pun masih berlaku diskriminasi terhadap perempuan.

B. Analisis Kognisi Sosial

Kognisi sosial menjadi suatu hal yang penting dalam


memahami teks. Padangan umum mengatakan bahwa teks
tidak mempunyai makna anggapan itu salah karena teks
merupakan suatu hasil pemikiran wartawan. Teks tersebut
diberikan makna oleh pemakai bahasa (penulis/wartawan).
Makna inilah yang dikonstruksi oleh wartawan.

Pada struktur kedua analisis wacana van Dijk ini yakni


kognisi sosial dari wartawan, pemberitaan yang ada di
Konde.co tidak terlepas dari konstruksi teks serta mental dari
wartawan. Tentunya, para wartawan Konde.co memiliki nilai,
ideologi, dan pengaruh dari kehidupannya yang memengaruhi
terbentuknya teks.

Pengelola Konde.co adalah perempuan-perempuan


yang memandang bahwa persoalan perempuan merupakan
sebuah persoalan mendasar. Hal itulah yang menyebabkan
munculnya keberpihakan yang kuat terhadap perempuan.
Keberpihakan yang kuat dari para pengelola Konde.co
muncul didalam teks yang mereka buat.
13

“Terbentuk dari beberapa orang yang merasa resah


karena banyak pemberitaan yang tidak berpihak
kepada perempuan. Banyak media online yang bagus.
Tetapi juga banyak media yang stereotip dan
eksploitatif terhadap perempuan. Karena alasan itulah
kami membuat media perempuan.”91

Keresahaan akan tidak adanya keberpihakan terhadap


perempuan membuat pengelola Konde.co yang didominasi
perempuan menjadi bergerak untuk membuat media yang
berpihak pada perempuan. Pengelola Konde.co adalah
perempuan-perempuan yang sudah lama berkiprah di aliansi
perempuan. Sifat feminis dan pembelaan terhadap perempuan
sudah melekat pada diri mereka. Hal itulah yang
menyebabkan ketika teks dibuat ada keberpihakan yang kuat
dari pembuat teks.

Dalam wawancara yang dilakukan dengan Luviana


selakiu pemimpin dan chief editor Konde.co menyatakan,
bahwa Konde.co tidak hanya mempublikasikan tulisan dari
wartawan Konde.co saja. Tetapi juga menerima tulisan dari
luar wartawan Konde.co.

“Iya, kami banyak menerima tulisan dari luar.


Karena Konde.co bekerja di literasi media. Jadi bukan
hanya bertujuan untuk mempublikasikan tulisan yang
kami miliki. Tetapi juga membuat orang bisa menulis,
serta menuntut mereka untuk berpikir kritis terhadap

139 Wawancara pribadi dengan Luviana Ariyanti, Pemimpin


Konde.co, Selasa, 03 April 2018
14

sesuatu. Jadi, selama dua tahun ini kami mengajak


orang untuk kritis terhadap kebijakan.”92

Dari pernyataan yang disampaikan Luviana kita


dapat melihat bahwa tulisan dari luar wartawan Konde.co
dipublikasikan dengan maksud menjadikan Konde.co sebagai
sarana menyuarakan suara yang selama ini tidak pernah
terjadi pada media lain. Hal tersebut dikarenakan tulisan yang
dihasilkan dari kontributor luar Konde.co kebanyakan adalah
tulisan yang dihasilkan dari kisah pribadi. Kita melihat bahwa
tujuan Konde.co adalah menjadi media tandingan bagi media
mainstream yang masih memiliki kontrol patriarki
didalamnya.

Semua itu dilakukan karena tujuan Konde.co adalah


menyuarakan suara perempuan. Tetapi Konde.co memiliki
ketetapan baku tersendiri yang menentukan apakah suatu
tulisan layak dipublikasikan atau tidak.

“Tulisan kami memiliki ketentuan baku berupa,


tidak boleh mendiskriminasi perempuan, tidak boleh
stereotip, dan sebagainya. Karena tidak semua orang
bisa menuliskan hal yang sama seperti itu. Jadi semua
tulisan di edit melalui saya. Jadi saya itu sebagai
editor disini. Karena ada beberapa tulisan yang pada
akhirnya malah memojokkan perempuan. Padahal
tujuan kami adalah untuk menuliskan tulisan lewat
perspektif perempuan. Jadi saya akan mengedit
kembali tulisan-tulisan tersebut. Selain itu juga tulisan
yang berhasil dipublisikan di web kami adalah hasil
dari kesepakatan bersama dari para anggota. Apakah

140 Wawancara pribadi dengan Luviana Ariyanti, Pemimpin


Konde.co, Selasa, 03 April 2018
14

tulisan tersebut layak untuk di publikasikan atau


tidak.”93

Dari pernyataan yang disampaikan diatas mengartikan


bahwa tulisan yang dipublikasikan Konde.co sangat dipengaruhi
oleh kondisi mental Luviana selaku chief editor disini. Karena
kontrol pemilihan berita sepenuhnya dilakukan olehnya selaku
chief editor.
“Disitu saya melihat dengan jelas banyak hal yang
tersembunyi. Misalnya, sebenarnya dia tidak suka dengan
kehidupannya yang sekarang. Namun apa daya, misalnya
harus menikah di usia dini. Semua beranggapan bahwa
umur 30 tahun itu udah batas kritis sekali untuk
perempuan. Kan nyesek ya, memang semua manusia itu
harus menikah, kan tidak. Sebenarnya hal itu bisa disebut
simbol-simbol kekerasan yang berasal dari rumah. Misal
lagi, perempuan kalau apa-apa harus minta izin sama
suami. Kalau suaminya tidak mengizinkan dia tidak akan
melakukan sesuatu. Hal itu sebenarnnya adalah sebuah
permasalahan. Harusnya adil bila perempuan harus
meminta izin, laki-laki juga harus meminta izin pada
istrinya.”94

Penyataan diatas memperlihatkan gambaran berpikir


Luviana yang menganggap bahwa perempuan tidak seharusnya
menikah. Menikah adalah sebuah pilihan bukan keharusan.
Perempuan tidak lagi harus mematuhi suami, perempuan
memiliki kendali dan hak sendiri atas dirinya. Dua kejadian
tersebut Luviana anggap sebagai simbol kekerasan terhadap

93
Wawancara pribadi dengan Luviana Ariyanti, Pemimpin Konde.co,
Selasa, 03 April 2018
94
Wawancara pribadi dengan Luviana Ariyanti, Pemimpin
Konde.co, Selasa, 03 April 2018
14

perempuan. Kita dapat melihat konsep berpikir feminis radikal


yang terlihat dari Luviana selaku pemimpin dan chief editor
Konde.co.

Feminis radikal mengklaim bahwa sistem patriarkal


ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki, dan kompetisi. Feminis
radikal berfokus pada seks, gender, dan reproduksi. Feminis
radikal-libertarian tidak setuju bahwa laki-laki hanya diizinkan
untuk menunjukkan karakteristik maskulin sedangkan perempuan
dituntut untuk menunjukkan karakter feminin saja. 95
Luviana
menganggap bahwa tidak seharusnya perempuan bertindak lemah
dibawah laki-laki.
“Istri tidak pernah tahu suami melakukan apa.
Banyak yang menulis seperti itu. Suami kita kerja, pulang
kerumah seolah semua baik-baik aja. Terus kalau kita
nanya apa yang suami kita lakukan hari ini, dia marah.
Dan kita juga tidak boleh liat handphone suami. Mereka
bilang tidak menjaga privasi atau yang lain. Pada
nyatanya kita tidak pernah tau apa yang dilakukan oleh
suami. Itu kan sebenarnya simbol-simbol yang seharusnya
perempuan itu teriak.”96

Pada pernyataan diatas Luviana menganggap bahwa


pernikahan antara laki-laki dan perempuan lebih banyak
merugikan perempuan. Mengekang perempuan, membuat
perempuan berada dibawah kendali laki-laki. Meskipun yang
Luviana sampaikan dalam wawancara diatas adalah kejadian

95
Rosmarie Putnam Tong, Feminist Thought: Pengantar Paling
Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran Feminis, h. 3

142 Wawancara pribadi dengan Luviana Ariyanti, Pemimpin


Konde.co, Selasa, 03 April 2018
14

yang tidak terjadi pada dirinya melainkan adalah kisah dari orang
lain yang disampaikan kepada peneliti. Tetapi dari pendapatnya
akan konsep berpikir seperti itu dapat disimpulkan bahwa
Luviana tidak menginginkan adanya dominasi hirarki antara
perempuan dan laki-laki. Hal tersebut dapat diartikan bahwa
Luviana memiliki ideologi feminis radikal.
Luviana merupakan seseorang yang lama aktif dalam
jaringan perempuan. cara berpikir Luviana sudah dapat
memberikan sedikit gambaran pada wartawan Konde.co yang
lain. Karena mereka memiliki latar belakang yang sama, yaitu
para aktivis gender yang bergerak pada jaringan perempuan.
Dapat dipastikan bahwa konsep berpikir feminis yang dimilik
Luviana juga kemungkinan dimiliki pula oleh para wartawan
Konde.co yang lain. Ideologi itulah yang menyebabkan teks yang
dihasilkan Konde.co memiliki keberpihakan pada perempuan dan
cenderung menyudutkan oknum yang melakukan tindakan tidak
adil pada perempuan.
“Di Indonesia itu sangat kuat dan mengakar norma
adat istiadat. Semua orang terbiasa dengan konsep bahwa
bila tidak mematuhi norma dan adat istiadat itu buruk.
Jadi selalu menjudge seseorang jelek dan bagus itu dilihat
dari apakah orang tersebut patuh pada norma ada istiadat
atau tidak.”97

Pada pernyaaan diatas Luviana beranggapan bahwa


konsep patriarki mampu melahirkan stigma negatif pada
pemikiran masyarakat. Budaya patriarti yang sudah dipegang

143 Wawancara pribadi dengan Luviana Ariyanti, Pemimpin


Konde.co, Selasa, 03 April 2018
14

oleh masyarakat Indonesia menciptakan ketidakadilan pada


perempuan.
“Di rumah tangga kalau tidak meminta izin suami
itu buruk. Kalau tidak mematuhi suami itu buruk. Itu
konstruksi budaya yang kemuadian membesarkan sebuah
keluarga. Hal itu juga terjadi di lingkungan. Saya sering
sekali dengar hal seperti itu. Misal „saya nggak boleh
keluar rumah sama suami saya‟ „Alasannya apa?‟ „Ya
nggak boleh aja‟. Hal seperti itu merupakan sebuah
konstruksi yang membenturkan perempuan kepada
pilihan-pilihan yang tidak mengenakan. Yang seperti itu
banyak sekali ditulis di konde. Baik itu dari penulis luar
maupun data-data yang kami miliki. Begitulah simbol-
simbol patriarki disitu.”98

Pada hasil wawancara diatas Luviana menganggap bahwa


kasus dimana istri dibawah kendali tangan laki-laki adalah bentuk
akibat dari budaya patriarki yang menjadi penyebab adanya
simbol kekerasan pada perempuan secara tidak langsung. Luviana
menganggap bahwa tidak sepantasnya perempuan berada
dibawah kendali laki-laki karena perempuan sendiri memiliki hak
untuk dirinya.

Menurut van Dijk ada beberapa strategi dalam


memproduksi berita yang dilakukan oleh media dalam mengemas
berita. Pertama, seleksi tahap ini merupakan strategi dalam
menunjukkan bagaimana sumber informasi peristiwa diseleksi
oleh wartawan. Seleksi yang dilakukan oleh wartawan Konde.co
berupa pemilihan tema atau isu yang berhubungan dengan

144 Wawancara pribadi dengan Luviana Ariyanti, Pemimpin


Konde.co, Selasa, 03 April 2018
14

perempuan untuk dijadikan berita atau menuliskan suatu isu


pemberitaan umum yang ditulis melalui perspektif perempuan.

Kedua, reproduksi merupakan strategi yang berkaitan


dengan perolehan informasi dari narasumber. Dalam hal ini
wartawan Konde.co memperoleh informasi melalui jaringan
perempuan seperti Komnas Perempuan dan JALA PRT (Jaringan
Nasional Pekerja Rumah Tangga). Informasi tersebut didapatkan
karena Konde bukan hanya sebuah media online, tetapi juga
sebuah jaringan yang disebut Konde Institute yang bergerak
dalam pembelaan terhadap perempuan. Media online dibuat oleh
Konde sebagai bentuk dukungan advokasi yang dilakukan
bersama.

Konde.co ikut bergerak dalam jaringan perempuan


sehingga Konde.co bisa dengan mudah mendapatkan informasi
yang akurat langsung dari narasumber yang berangkutan. Selain
itu, tulisan yang dipublikasikan di Konde.co sebagian adalah
tulisan langsung dari para perempuan yang ditulis sebagai bentuk
suara nyata. Tulisan tersebut ditulis dari pengalaman pribadi,
pengalaman sanak saudara, dan kejadian nyata yang jarang dilihat
oleh publik. Wartawan Konde.co juga sering menuliskan
pemberitaan yang ditulis dari kisah-kisah nyata perempuan yang
tidak dipublikasikan oleh media lain.

Ketiga, penyimpulan strategi ini berhubungan dengan


bagaimana wartawan menyimpulkan suatu realitas. Karena
Konde.co bergerak pada pembelaan terhadap perempuan, maka
penyimpulan Konde.co dalam suatu realitas cenderung pada
14

keberpihakan terhadap perempuan. Keempat, transformasi lokal


berhubungan dengan bagaimana peristiwa tersebut ditampilkan.
Konde.co menampilkan sebuah peristiwa dari sudut pandang
perempuan. Wartawan juga menambahkan latar belakang dari
perspektif perempuan yang tidak banyak dibahas oleh media
lainnya. Seperti yang dikatan Luviana selaku editor, pemimpin
juga penulis di Konde.co bahwa “Naskah yang dibuat bertujuan
untuk melawan kekerasan dan stereotip yang selama ini terjadi di
masyarakat juga sebagai penyebaran pengetahuan.”99

Saat ini adalah masa dimana perempuan sudah tidak


terbelakang dalam pendidikan seperti dulu lagi. Sekarang
perempuan-perempuan sudah sekolah dan terpelajar. Perempuan
intelektual berusaha mendobrak sebuah ruang yang selama ini di
dominasi laki-laki. Hal tersebut dikarenakan dulu pendidikan
perempuan belum setinggi sekarang. Sekarang perempuan sudah
terpelajar maka perempuan-perempuan ini mulai bergerak
menyuarakan suara yang selama ini tidak didengar.

Media baru saat ini adalah digital media yang mampu


memfasilitasi siapapun untuk menjadi produsen. Hal itulah yang
membuat perempuan-perempuan intelektual bisa masuk untuk
menyuarakan suara mereka. Sifat digital media adalah bebas
maka dari itu perempuan yang selama ini diam bisa dengan
mudah mengeksplor diri mereka melalui digital media.

99
Wawancara pribadi dengan Luviana Ariyanti, Pemimpin Konde.co,
Selasa, 03 April 2018
14

Proses ini mungkin tidak akan mereka mereka dapat di


media mainstream. Belum tentu mereka bisa masuk kedalam
media mainstream untuk melakukan pembelaan terhadap
perempuan. Hal itu disebabkan oleh asumsi yang selama ini
terbentuk tentang media mainstream yang masih menganut
ideologi patriarki. Jadi kemungkinan feminis bebas masuk
kedalamnya itu kecil. Tetapi dengan adanya digital media para
perempuan intelektual ini bisa dengan bebas membicarakan apa
saja. Terutama tentang pembelaan terhadap perempuan.

Hal inilah yang membuat wacana pembelaan terhadap


perempuan ini punya tempat untuk menjadi tandingan dari sistem
patriarkis. Adanya digital media, membuat semua orang bisa
memiliki akses untuk terlibat di dunia digital. Semua orang punya
ruang untuk mengunggah konten yang mereka inginkan.

Penyebab para perempuan intelektual ini membuat ruang


untuk mereka adalah karena budaya patriarki yang melekat kuat
di Indonesia hal itu juga mengakibatkan bias terhadap media
Indonesia. Dimana masih banyak media Indonesia yang belum
peduli pada keberpihakan perempuan. Serta masih menjadikan
perempuan sebagai objek penarik minat pembaca dalam
beritanya.

Patriarki yang terjadi di Indonesia disebabkan pengertian


konsep gender yang salah. Konsep gender sendiri berarti sifat
yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dibentuk
oleh faktor-faktor sosial. Maupun budaya sehingga lahir beberapa
anggapan tentang perbedaan konsep sosial dan budaya laki-laki
14

dan perempuan. Gender dapat dikatakan konsep sosial yang


membedakan, memisahkan serta memilih peran antara laki-laki
dan perempuan.100

Terbentuknya perbedaan gender antara laki-laki dan


perempuan terjadi melalui proses sosialisasi penguatan dan
konstruksi sosial kultural, keagamaan, bahkan melalui kekuasaan
negara. Konsep perbedaan ini sudah mengakar hingga keseluruh
aspek yang ada di Indonesia.

Masyarakat yang menciptakan perilaku pembagian gender


untuk menentukan berdasarkan apa yang mereka anggap sebagai
keharusan, untuk membedakan lelaki dan peremuan. Akhirnya
lama kelamaan, pembagian gender tersebut dianggap alamiah.101
Hal tersebut diakibatkan dari gender yang dikonstruksikan secara
sosial dan budaya. Beberapa anggapan banyak memojokkan
kaum perempuan dalam konteks sosial.

Kebanyakan mitos-mitos yang muncul dimasyarakat akan


menguntungkan kaum lelaki dan memojokkan perempuan. Hal
tersebut terjadi karena Indonesia menganut hukum hegemoni
patriarki, yaitu yang berkuasa adalah bapak.102 Patriarki
menggambarkan dominasi laki-laki atas perempuan dan keluarga.
Semua berlanjut hingga ke ruang lingkup masyarakat lainnya.

100
Drs. Trisakti Handayani, Dra. Sugiati, M.Si, Konsep dan Teknik
Penelitian Gender, (Malang: UMM Press, 2002), h.6
101
Drs. Trisakti Handayani, Dra. Sugiati, M.Si, Konsep dan Teknik
Penelitian Gender, h.10
102
Drs. Trisakti Handayani, Dra. Sugiati, M.Si, Konsep dan Teknik
Penelitian Gender,h. 11
14

Ketidakadilan gender tersosialisasi pada kaum lelaki dan


perempuan secara luas yang menyebabkan ketidakadilan tersebut
merupakan kebiasaan dan akhirnya dipercaya bahwa peran
gender itu seolah-olah merupakan kondrat yang akhirnya diterima
masyarakat secara umum. Hal ini disebabkan karena terdapat
kesalahan atau kerancuan makna gender, sesungguhnya gender
yang kita ketahui saat ini merupakan konstruksi sosial yang justru
malah dianggap sebagai kodrat ketentuan dari Tuhan.

Misalnya, pekerjaan domestik seperti merawat rumah dan


anak melekat pada tugas perempuan yang akhirnya dianggap
sebagai kodrat. Padahal sebenarnya pekerjaan-pekerjaan tersebut
adalah konstruksi sosial yang dibentuk, sehingga dapat
dipertukarkan atau dapat dilakukan baik laki-laki maupun
perempuan.

Konsep berpikir seperti itu sudah sangat melekat dalam


pemikiran masyatakat Indonesia. Sehingga kaum perempuan
tanpa sadar ikut merealisasikan konsep patriarki yang sudah
melekat dalam sosial budaya di Indonesia.

Saat ini sudah banyak perempuan yang ‘melek mata’


dalam kasus patriarki ini. Maka dari itu perempuan-perempuan
ini merasa perlu untuk membenahi sistem yang selama ini
merugikan perempuan. Pendidikan perempuan memiliki
pengaruh signifikan untuk membuat perempuan menjadi peduli
dan melek pengetahuan.

Meskipun sekarang belum semua perempuan terdidik.


Tetapi perempuan-perempuan yang sudah memiliki pendidikan
15

yang setara mulai berani untuk menyuarakan suara mereka.


Ditambah lagi teknologi digital memungkinkan semua orang untuk mempunyai akses mas
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kesimpulan mengenai analisis wacana isu


kekerasan terhadap perempuan di Konde.co yang terlihat
dari tiga dimensi yang telah dijelaskan oleh Teun. A van
Dijk adalah sebagai berikut:

1. Dilihat dari segi teks, Konde.co memiliki


keberpihakan kepada perempuan secara utuh. Selain
itu Konde.co melihat isu kekerasan terhadap
perempuan selama ini masih dibiarkan oleh negara.
Dilihat dari pemilihan kata yang digunakan Konde.co
merasa bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagai
bentuk kekerasan terstruktur karena negara termasuk
berperan didalamnya. Konde,co melihat kekerasan
terhadap perempuan terjadi dikarenakan sistem dalam
negara yang belum berpihak terhadap perempuan.
2. Dilihat dari segi kognisi sosial, wartawan Konde.co
secara sadar menuliskan berita dengan tujuan pada
pembelaan terhadap perempuan. Ideologi para
pengelola yang merupakan aktivis aliansi perempuan
sangat mempengaruhi bentuk teks yang terlahir di
Konde.co. Konde.co banyak menulis teks melalui
perspektif perempuan. Tulisan yang dibuat Konde.co
adala bentuk advokasi untuk perempuan, karena itulah
mengapa teks yang ada di Konde.co berunsur

150
15

keberpihakan terhadap perempuan. Dapat disimpulkan


bahwa semua teks yang ada di Konde.co merupakan
hasil konstruksi dari wartawan yang dilatarbelakangi
oleh ideologi mereka terhadap pembelaan untuk
perempuan.
3. Dilihat dari segi konteks sosial, pendidikan
perempuan berpengaruh besar terhadap perubahan
yang dilakukan oleh perempuan. Perempuan tidak lagi
terbungkam dan mulai berani untuk menyuarakan
suara mereka salah satunya melalui media. Di era
media baru semua orang bisa dengan mudah membuat
konten untuk kepentingan sendiri. Hal itulah yang
membuat perempuan-perempuan intelektual ini
memiliki ruang untuk melakukan pembelaan terhadap
perempuan. Berupa membuat media tandingan untuk
media mainstream yang selama ini dianggap sebagai
media yang masih patriarkis.
B. Saran

Melalui penelitian ini, peneliti ingin memberikan


saran-saran sebagai berikut:

1. Saran untuk masyarakat agar mampu bersikap kritis


dalam suatu pemberitaan sehingga mampu menerima
maksud dari apa yang disampaikan sumber penulis
berita.
2. Saran untuk pembaca khususnya mahasiswa/i
jurnalistik mempunyai kesadaran akan isu kekerasan
15

terhadap perempuan dan mampu memperjuangkan


kepentingan perempuan melalui tulisannya.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

Anshori, Dadang S. dkk. 1997 Membincangkan Feminisme:


Refleksi Muslimah atas Peran Sosial Kaum Perempuan.
(Bandung: Pustaka Hidayah).

Depdikbud. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia. (Jakarta:

Balai Pustaka).

Dr. Niken Savitri, SH., MCL. 2008. HAM Perempuan Kritik


Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP. (Bandung: PT
Refika Aditama)

Dr. Rulli Nashrullah, M.Si. 2013. Cybermedia. (Yogyakarta:


IDEA Press)

Eriyanto. 2011. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks


Media. (Yogyakarta: LkiS Group).

Gunawan, Imam. 2013. Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan


Praktik. (Jakarta: Bumi Aksara).

Handayani, Trisakti dan Sugianti, M.Si. 2002. Konsep dan Teknik


Penelitian Gender. (Malang: UMM Press)

Jumroni dan Suhaemi, 2006. Metode-metode Penelitian


Komunikasi. (Jakarta: UIN Jakarta Press).

Komnas Perempuan. Memecah Kebisuan: Agama Mendengar

Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan. (Open

Society Institute).

McQuail, Denis. 2000. Mass Communication Theory, 4th Edition.


(London: Sage Publication).

153
15

HM, Zaenuddin. 2007. The Jornalist. (Jakarta: Prestasi Purtaka).

Moleon, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif.


(Bandung: PT Remaja Rosdakarya).

Oetomo, Dede. 1993. Kelahiran dan Perkembangan Analisis


Wacana. (Yogyakarya: Kanisis).

Salim, Peter dan Yenny Salim. 2002. Kamus Besar Bahasa


Indonesia Kontemporer. (Jakarta: Modern English Press).

Suralaga, Fadilah. dkk. 2003. Pengantar Kajian Gender. (Jakarta:


MCGill Project/IISEP).

Suryawati, Indah. 2011. Jurnalistik Suatu Pengantar. (Bogor:


Penerbit Ghalia Indonesia).

Sobur, Alex. 2012. Analisis Teks Media. (Bandung: PT Remaja

Rosdakarya).

Soyomukti, Nurani. 2010. Pengantar Ilmu Komunikasi.


(Yogyakarta: Ar-ruzz Media).

Tong, Rosmarie Putnam. 2004. Feminist Thought: Pengantar


Paling Komprehensif Kepada Aliran Utama Pemikiran
Feminis (Yogyakarta: Jalasutra)

Internet

Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas


Perempuan Tahun 2017 diakses pada 27 Oktober 2017 dari
https://www.komnasperempuan.go.id/reads-catatan-
tahunan-kekerasan-terhadap-perempuan-2017

Konde Institute, “Forum Pengadaan Layanan, Penumbuh


Harapan Bagi Korban Kekerasan Gender”, diakses pada
15

25 November 2017 dari


http://www.konde.co/2016/11/forum-pengada-layanan-
penumbuh-harapan.html

Konde Institute, “About Us”, diakses pada 25 November 2017


dari http://www.konde.co/p/about.html

Konde Institute, “Kapolri Ucapan Seksis Dan Menyalahkan


Korban Perkosaan”, diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/10/kapolri-ucapan-yang-seksis-
dan.html

Konde Institute, “Perempuan Menjadi Korban Penyebaran


Konten Seksual di Media Sosial”, diakses pada 23 Mei
2018 dari http://www.konde.co/2017/10/perempuan-
menjadi-korban-penyebaran.html

Konde Institute, “Krimininalisasi Tubuh Perempuan:


Perempuan yang Diarak dan Ditelanjangi”, diakses pada
23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/kriminalisasi-tubuh-
perempuan-perempuan.html

Konde Institute, “Penghakiman Terhadap Remaja di Tangerang:


Bentuk Penyiksaan Seksual” diakses pada 23 Mei 2018 dari
http://www.konde.co/2017/11/penghakiman-terhadap-
remaja-di.html

Site Info Konde.co diakses pada 16 April 2018 dari


https://www.alexa.com/siteinfo/konde.co

Twitter Konde.co diakses pada 19 April 2018 dari


https://twitter.com/kondedotco

Facebook Konde.co diakses pada 19 April 2018 dari


https://web.facebook.com/kondedotco?hc_ref=ARTz-
i7EhQKU1bRKAXrAzavxBfcjNna_b7wldKTPAlZw-
mFN9K7_HPQ2mRGKdvhA6Sw&fref=nf
15

LAMPIRAN
LAMPIRAN
HASIL WAWANCARA

Narasumber : Luviana Ariyanti


Jabatan : Pemimpin, Chief Editor, Penulis
Hari/Tanggal : Selasa, 03 April 2018

1. Bagaimana sejarah berdirinya Konde.co?


Konde berdiri pada 8 Maret 2016. Terbentuk dari
beberapa orang yang merasa resah karena banyak pemberitaan
yang tidak berpihak kepada perempuan. Banyak media online
yang bagus. Tetapi juga banyak media yang stereotip dan
eksploitatif terhadap perempuan. Karena alasan itulah kami
membuat media perempuan.
Jadi latar belakang kami para pengelola itu hampir mirip
satu sama lain. Kami memiliki kerasahan mengapa teman-teman
lembaga yang memperjuangkan perempuan itu tidak banyak
menulis. Kenapa, mungkin karena mereka sibuk, atau tidak
terbiasa dalam menulis. Jika kita tidak terbiasa menulis, maka
ilmu yang selama ini dimiliki oleh teman-teman hanya akan
terbuang begitu saja.
Karena dua keresahan itu akhirnya kita membuat media.
Bagaimana melakukan dekonstruksi atas konsep perempuan itu
yang tereksploitasi oleh media. Juga mengajak orang untuk
menulis. Kami ingin menuliskan sesuatu yang tidak banyak
terakomodir oleh media lain. Konde mencakup semua yang
berhubungan dengan perempuan, buruh , tani, pekerja rumah
tangga, LGBT. Pokoknya semua yang berhubungan dengan
perempuan.
Naskah yang dibuat bertujuan untuk melawan kekerasan
dan stereotip yang selama ini terjadi di masyarakat juga sebagai
penyebaran pengetahuan. Awalnya tujuan kami hanya
penyebaran pengetahuan, belum sampai pada advokasi ke
pemerintah. Advokasi itu berupa bagaimana tulisan itu membuat
perubahan, hal itu belum bisa Konde.co realisasikan. Yang
dilakukan Konde.co selama dua tahun ini adalah melatih menulis
dan membuat mereka manuliskan ide-ide perempuan, serta
menyebarkan tulisan-tulisan itu ke wilayah yang lebih luas.
Pelatihan-pelatihan tersebut terjadi pada PRT (Pekerja
Rumah Tangga) dan buruh yang berlatih menulis bersama kita.
Tulisan-tulisan mereka akhirnya tidak hanya tersebar lewat blog.
Tetapi juga sampai diterbitkan oleh buku. Hal itu kami lakukan
untuk memperkuat advokasi. Agar bila nanti ketika kami
menyebarkan advokasi tulisan-tulisan dari para buruh dan PRT
tersebut bisa menjadi penguat bagi advokasi yang kami lakukan.
Jadi, selama ini fungsi Konde.co adalah pada literasi. Mengajak
orang lain untuk menulis dan menghubungkan dengan jaringan.
Selain itu kami juga masuk ke jaringan-jaringan
perempuan. Kami memasukkan isu-isu perempuan pada kegiatan
yang kami lakukan. Jadi, selain menulis di website dan melatih
menulis, kami juga ada di dalam jaringan-jaringan perempuan.
Kami masuk ke jaringan RUKUHP, kami juga masuk ke
jaringan buruh. Kan RUKUHP itu sudah sampai ke DPR. Nah
kami melakukan support lewat tulisan. Jadi sering kali kita
membantu mereka dalam data. Misal, ketika mereka butuh link
untuk kampanye kita bisa bantu atau mereka meminta kita
membantu untuk menuliskan pemberitaan tentang kegiatan
mereka. Kami akan melakukan itu lalu kami
menyebarluaskannya. Tetapi kalau kami ke pemerinah dan
menuliskan tulisan sendirian, lantas membuat perubahan nyata,
itu belum pernah.

2. Dimana saja kelas menulis yang dilaksanakan Konde


tersebut sudah terlaksana?
Kami hanya melakukan kelas-kelas kecil. Waktu
itu pernah di JALA PRT (Jaringan Nasional Pekerja
Rumah Tangga), Serikat PRT, Teman-teman buruh di
Cakung. Semua itu tidak hanya dilakukan sekali, tetapi
berkali-kali. Di JALA PRT itu kita setahun. Sampai kita
bantu buat blog, dan saya juga bantu editing tulisan
mereka. Beberapa hasil tulisan mereka ada yang kami
publikasikan di web Konde.co.

3. Apakah tulisan yang dipublikasikan Konde.co bukan


hanya berasal dari tulisan para wartawan Konde.co?
Berarti ada kemungkinan orang-orang eksternal
untuk ikut mempublikasikan tulisannya lewat
Konde.co?
Iya, kami banyak menerima tulisan dari luar.
Karena Konde.co bekerja di literasi media. Jadi bukan
hanya bertujuan untuk mempublikasikan tulisan yang
kami miliki. Tetapi juga membuat orang bisa menulis,
serta menuntut mereka untuk berpikir kritis terhadap
sesuatu. Jadi, selama dua tahun ini kami mengajak orang
untuk kritis terhadap kebijakan.

4. Kalau seperti itu, apakah Konde.co melakukan proses


editing terhadap naskah yang datang dari luar?
Tulisan kami memiliki ketentuan baku berupa,
tidak boleh mendiskriminasi perempuan, tidak boleh
stereotip, dan sebagainya. Karena tidak semua orang bisa
menuliskan hal yang sama seperti itu. Jadi semua tulisan
di edit melalui saya. Jadi saya itu sebagai editor disini.
Karena ada beberapa tulisan yang pada akhirnya malah
memojokkan perempuan. Padahal tujuan kami adalah
untuk menuliskan tulisan lewat perspektif perempuan.
Jadi saya akan mengedit kembali tulisan-tulisan tersebut.
Selain itu juga tulisan yang berhasil dipublisikan di web
kami adalah hasil dari kesepakatan bersama dari para
anggota. Apakah tulisan tersebut layak untuk di
publikasikan atau tidak.

5. Bagaimana manajemen pengorganisasian Konde.co?


Kami mendirikan Konde.co lewat dana pribadi.
Dari awal kami iuran, untuk sewa domain pertahun sekitar
500rb. Untuk reporter, meski liputannya tidak terlalu
banyak karena kami juga bisa dapat data dari jaringan.
Reporter tetap mendapat uang yaitu berupa uang jalan dan
uang internet. Jadi tidak terlalu banyak biaya yang
dikeluarkan. Karena liputannya juga tidak terlalu sering.
Selama ini kami juga ada iklan sedikit atau kerja sama.
Misalnya pada acara festival perempuan. Mereka mau
mengadakan diskusi, lalu mengajak Konde lalu mereka
yang membiayai snack, pembicara, moderator dan
sebagainya. Diluar itu saya dan Mas Eko suka iuran
sedikit. Ya, tidak telalu banyak hanya sekitar 300 rb
perbulannya. Untuk membiayai internet dan reporter.

6. Apakah Konde.co dapat disebut sebagai media


komunitas?
Konde.co dapat disebut sebagai media komunitas
atau media alternatif.. Konde.co bukan media mainstream
dari perusahaan. Tapi berdiri secara independen.
Perhimpunan Konde.co itu website sedangkan Konde
Institute itu yang mengurus jaringan. Konde Institute
melakukan pelatihan menulis dan advokasi bersama para
jaringan. Lalu Konde.co yang mensupport itu lewat
tulisan-tulisannya.

7. Bagaimana cara Konde.co menentukan konten?


Kami mendiskusikannya bersama. Para anggota
ikut mendiskusikan konten apa yang akan kita angkat
untuk ditulis di Konde.co. lalu selanjutnya semua adalah
keputusan saya untuk mengedit dan memilih tulisan.
8. Apakah Konde.co selalu mengangkan isu yang sedang
ramai diperbincangkan oleh masyarakat?
Oh, tidak selalu. Tidak semua kejadian yang
sedang terjadi di Indonesia kami tuliskan di Konde.co.
Berbeda dengan media mainstream, kami hanya
menuliskan pemberitaan mengenai isu perempuan saja.
Bagaimana menuliskan sebuah kejadian melalui sudut
pandang perempuan, seperti itu.
Dulu kami ingin nulis tulisan yang panjang sekali
dan waktu publikasinya hanya seminggu sekali atau dua
kali dalam seminggu. Tapi ternyata tidak mudah
mengajak pembaca untuk membaca website atau media
perempua yang tidak menulis setiap hari. Juga tidak
mudah bagi para pembaca untuk membaca tulisan yang
sangat panjang. Pasti orang bakal jenuh kalau harus
membaca tulisan yg panjang. Akhirnya kami memutuskan
untuk menulis tulisan yang lebih pendek, tapi kami
posting setiap hari. Yang penting adalah pembaca dapat
menerima makna yang kami sampaikan.

9. Bagaimana cara menentukan judul, lead, dan gambar


pada pemberitaan di Konde.co?
Sebenarnya penulis dari luar atau para reporter
Konde.co bisa menentukan semuanya sendiri. Tetapi tetap
saya panjaga gawangnya. Jadi misalnya isinya kurang
menarik, saya yang menambahkan. Atau ternyata ada
kalimat atau sesuatu kurang cocok saya yang ubah. Kalau
tulisan dari luar selalu saya koreksi lagi. Cuma kalau
temen-temen dari dalam Konde.co, saya tinggal koreksi
sedikit saja. Pastinya setiap tulisan yang mau di posting di
webstite selalu saya baca lagi dan saya koreksi lagi.

10. Bagaimana sistem perekrutan penulis dan pengurus di


Konde.co?
Di Konde.co dan Konde Institute ini bisa disebut
sebagai kerja volunteer. Tidak banyak orang yang mau
bekerja volunteer. Semua yang dilakukan Konde.co
berbasis volunteer. Jadi semua orang yang ada di
dalamnya adalah volunteerism. Tapi meski seperti itu
kami akan selalu memberi upah kepada mereka yang
melakukan liputan. Penerimaan ini selalu terbuka untuk
umum dan bagi yang mau. Jadi bagi yang mau magang
atau bergabung jadi bisa aja.

11. Bagaimana sudut pandang anda mengenai kekerasan


terhadap perempuan di Indonesia?
Sebenarnya kalau kita mau melihat kekerasan
perempuan lewat data kami punya data dari komnas
perempuan. Tetapi sepanjang penelusuran saya sebagai
penulis dan sebagai pengelola Konde. Pembaca konde itu
kebanyakan ibu rumah tangga dan dari jaringan jaringan
perempuan. Disitu saya melihat dengan jelas banyak hal
yang tersembunyi. Misalnya, sebenarnya dia tidak suka
dengan kehidupannya yang sekarang. Namun apa daya,
misalnya harus menikah di usia dini. Semua beranggapan
bahwa umur 30 tahun itu udah batas kritis sekali untuk
perempuan. Kan nyesek ya, memang semua manusia itu
harus menikah, kan tidak. Sebenarnya hal itu bisa disebut
simbol-simbol kekerasan yang berasal dari rumah. Misal
lagi, perempuan kalau apa-apa harus minta izin sama
suami. Kalau suaminya tidak mengizinkan dia tidak akan
melakukan sesuatu. Hal itu sebenarnnya adalah sebuah
permasalahan. Harusnya adil bila perempuan harus
meminta izin, laki-laki juga harus meminta izin pada
istrinya.
Terus yang ketiga, ini hal yang kecil. Istri tidak
pernah tahu suami melakukan apa. Banyak yang menulis
seperti itu. Suami kita kerja, pulang kerumah seolah
semua baik-baik aja. Terus kalau kita nanya apa yang
suami kita lakukan hari ini, dia marah. Dan kita juga tidak
boleh liat handphone suami. Mereka bilang tidak menjaga
privasi atau yang lain. Pada nyatanya kita tidak pernah tau
apa yang dilakukan oleh suami. Itu kan sebenarnya
simbol-simbol yang seharusnya perempuan itu teriak.
Ada lagi hal yang menyerang perempuan lajang.
Kadang mereka suka bingung malam minggu mau
kemana. Karena ada mitos, kalau perempuan itu harus
keluar dengan pacarnya. Itu yang saya liat dari tulisan-
tulisan yang masuk. Lalu ada yang menulis tentang,
bahwa orang yang paling berjasa dalam hidupnya itu
adalah ibu. Ibunya itu orang yang sabar, tidak pernah
marah. Hal seperti itu kan menyimpan sesuatu yang
kelam. Menggambarkan kalau perempuan itu harus sabar
tidak pernah marah. Menghadapi suami harus sabar.
Sehingga ketika dia menghadapi suaminya hal itu seolah-
olah mengharuskan dia untuk juga diam dan bersabar
sama seperti yang dilakukan oleh ibunya.
Hal lainnya karena kita juga berada dijaringan,
jadi kita juga memiliki data-data kekerasan terhadap
perempuan itu sangat banyak. Ya seperti, permerkosaan,
persekusi terhadap perempuan dan masih banyak lagi.
Semua hal itu sebenernya terjadi dari hal kecil seperti itu
loh, dari istri tidak boleh bertanya suami pergi kemana.
KDRT ada 4, kekerasan ekonomi, kekerasan
seksual, kekerasan fisik, dan psikis. Yang banya ditulis di
Konde.co itu ada fisik- Komnas perempuan punya data
dan kita juga berada di jaringan itu. Jadi kita menulis dari
data yang ada- dan psikis itu seperti hal-hal yang tadi.
Seperti buruh perempuan tidak boleh banyak menolak
sama bosnya nanti dipecat. Terus kekerasan seksual,
beberapa ada yang menulis tentang itu. Juga kekerasan
ekonomi, ada beberapa tulisan. Ibu rumah tangga menulis
tentang dia ditinggal suaminya karena suaminya
nyeleweng dan dia akhirnya jualan nasi. Karena itu dia
pulang ke kampung sama anaknya. Itu bisa disebut
sebagai kekerasan ekonomi kan. Karena suami tidak
menafkahi keluarganya. Dan ada juga kekerasan dalam
pacaran. Dia pacaran hamil dan ditinggalin dan lain
sebagainya. Semua itu berasal dari simbol-simbol kecil
sebelumnya.

12. Bagaimana pendapat anda mengenai budaya


patriarki?
Di Indonesia itu sangat kuat dan mengakar norma
adat istiadat. Semua orang terbiasa dengan konsep bahwa
bila tidak mematuhi norma dan adat istiadat itu buruk.
Jadi selalu menjudge seseorang jelek dan bagus itu dilihat
dari apakah orang tersebut patuh pada norma ada istiadat
atau tidak.
Di rumah tangga kalau tidak meminta izin suami
itu buruk. Kalau tidak mematuhi suami itu buruk. Itu
konstruksi budaya yang kemuadian membesarkan sebuah
keluarga. Hal itu juga terjadi di lingkungan. Saya sering
sekali dengar hal seperti itu. Misal „saya nggak boleh
keluar rumah sama suami saya‟ „Alasannya apa?‟ „Ya
nggak boleh aja‟. Hal seperti itu merupakan sebuah
konstruksi yang membenturkan perempuan kepada
pilihan-pilihan yang tidak mengenakan. Yang seperti itu
banyak sekali ditulis di konde. Baik itu dari penulis luar
maupun data-data yang kami miliki. Begitulah simbol-
simbol patriarki disitu.
Yang kedua, kenapa perempuan itu sering kali
dijadikan objek atas sebuah simbol. Misalnya, di Aceh
ada syariah perda. Di Indonesia itu kira-kira 410 perda
yang diskriminatif. Bukan hanya perda syariah ya, tapi
perda-perda yang melakukan kekerasan terhadap
perempuan. Seperti, pemaksaan memakai jilbab atau ada
pula di rumah sakit di Jawa Barat ada sebuah rumah sakit
umum yang kalau kita mau masuk harus mengucapkan
salam “assalamu‟alaikum”. Terus ada juga yang
mewajibkan memakai jilbab disekolah. Semua itu sering
kita tuliskan.
Seperti itulah konstruksi budaya patriarki yang
menjelma pada kebijakan-kebijakan. Perda diskriminatif
itu salah satunya. Konstruksi tersebut masuk ke dalam
kebijakan-kebijakan lokal yang melakukan kekerasan
pada perempuan. Waktu itu juga pernah terjadi di
Tangerang. Perda yang tidak boleh keluar lewat jam 10
malam. Waktu itu ada korban nya, seorang guru yang
pulang malam lewat dari jam 10 karena keperluan rapat
atau entahlah. Karena perda jam 10 itu dia ditangkap
polisi. Karena dia disangka melakukan hal yang tidak-
tidak di malam hari. Setelah ditangkap polisi dia
dipenjara. Setelah dia dikeluarkan dari penjara, dia
mendapat ejekan dari lingkungan sekitar “pekerja seks”
dan akhirnya dia bunuh diri. Kan itu ada dua hal, perda
yang melakukan kekerasan terhadap perempuan. Yang
kedua, orang begitu mudah menganggap orang sebagai
pekerja seks. Walaupun dia pekerja seks, ya itu tetap
sebuah pekerjaan kan. Mereka tidak boleh melakukan
yang seperti itu. Yang salah adalah perda jam 10 malam
kenapa hanya membatasi perempuan. Tidak kepada laki-
laki.

13. Apakah hasil tulisan di Konde.co banyak yang


berdasarkan pengalaman pribadi dari penulis?
Iya, kalau tulisan dari luar kita kebanyakan seperti
itu. Ada pula yang dari pengalamn teman mereka, atau
orang-orang terdekat mereka. Kalau dari dalam sendiri
ada. Misalnya, ketika ada sebuah isu yang sedang naik
saat ini. Media yang lain kan banyak membahas yang
mainstream. Dengan landasan bahwa media itu harus
objektif. Kalau tujuan kita hanya satu, yaitu membela
yang lemah saja. Sudah. Kalau objektifnya kan melihat
pendapat sekitar. Kalau kita hanya membela yang lemah.
Karena tujuan kita melawat stereotip terhadap perempuan.

14. Bagaimana pendapat anda mengenai Feminis di


Indonesia?
Feminisme itu kan bukan hanya sebuah konsep
tetapi juga praktik dan gerakan. Semua itu untuk membela
perjuangan yang tertindas. Termasuk perempuan dan
masyarakat marjinal. Saya bisa mengatakan bahwa konde
ini adalah feminis. Media feminis. Di feminisme ada
banyak yang memperjuangkan undang-undang kebijakan,
ada yang memperjuangkan ekonomi perempuan, ada yang
memperjuangkan perempuan di media dan ada banyak
lagi.
Feminisme di Indonesia menurutku, karena ini
masa reformasi. Ada beberapa catatatan, perjuangannya
belum berhasil semuanya. Kalau sudah berhasil
seharusnya RUU tentang kekerasan terhadap perempuan
ini sudah menjadi undang-undang. Tapi kan DPR nya
susah pemerintahnya susah. Kenapa RUKUHP buruk. Ya
karena itu, selalu kecolongan di DPR. Karena yang
dilakukan adalah ini kan tembok yang besar, dan
feminisme hanyalah bagian yang kecil. Harusnya sudah
sampai tahap pada pemerintahnya feminis, DPR nya
feminis tapi kan belum. Jadi pendapat saya tentang
feminis di Indonesia, sebagian sudah bisa mengubah
sejumlah peraturan juga sudah mengkampanyekan
banyak hal. Tapi ya belum semua bisa dimasuki oleh
feminis, karena problemnya banyak sekali.

15. Bagaimana pandangan anda mengenaik LGBT/LBT


di Indonesia?
Kami melakukan pembelaan terhadap LBT diluar
Gay ya, karena Gay itu laki-laki. Karena dari konsep
manapun, konsep agama, konsep ekonomi, konsep sosial,
konsep budaya, konsep hukum. Seharusnya semua
manusia mendapat penghargaan yang sama dihadapan
semua orang. Lalu kenapa LBT menjadi bermasalah, kan
itu aneh. LBT dianggap tidak boleh. Padahal yang tidak
boleh itu melakukan kekerasan, diskriminasi terhadap
yang lain, mencuri, berkata bohong, semua itu kan yang
ga boleh. Tapi untuk alasan apa LBT tidak boleh hidup,
ya seolah-olah tidak boleh hidup. Ya seperti di Aceh
misalnya, mereka dikejar-kejar. Kita melakukan
pembelaan terhadap LBT. Dengan anggap bahwa kami
melakukan pembelaan terhadap kelompok yang banyak
mendapatkan diskriminasi.

16. Sebenarnya makna seperti apa yang ingin disampikan


Konde.co kepada pembaca?
Selama ini dari tulisan yang masuk. Banyak
simbol-simbol kekerasan yang kemudian ingin
disampaikan adalah sebuah pengetahuan baru atau
bahasanya adalah kesadaran. Bahwa kita itu berhak
melawan. Yang ingin kami sampaikan adalah perempuan
itu harus berani. Kamu ga boleh diam dan menyimpan itu
semua sendiri atas nama adat norma dan lain-lain. Tetapi
kamu itu berhak untuk melawan diskriminasi, kekerasan,
stereotip.
Mengapa tulisan kami berbeda dari media
mainstream kebanyakan. Karena kami ingin
mengetengahkan kisah-kisah berbeda yang berani untuk
melawan, berani untuk berbicara. Kami juga memiliki
data-data kekerasan dimana kami ingin membuka ruang
bagi masyarakat. Kami ingin menunjukkan data-data
bahwa sudah banyak loh kekerasan. Dan teman-teman
sudah menunjukkan data-data itu sampai ke DPR.
Kadang-kadang perempuan tidak berani berbicara. Jadi
dengan data-data itu mereka berani bersuara, ini loh
buktinya. Contohnya di PRT, pekerja rumah tangga dulu
itu dianggap bukan apa apa sama majikannya. Tapi ketika
mereka menulis, mereka berjaringan. Lalu mereka berhasi
menerbutikan buku. Mereka menunjukkan kepada
majikan mereka, hal tersebut membuat anggapan majikan
terhadap dirinya menjadi berubah. Karena hal tersebut
mereka menjadi orang yang lebih dihargai oleh majikan
mereka.

17. Seperti apa saja respon yang diberikan pembaca


Konde.co?
Pembaca konde itu sehari rata rata 1000-1500.
Tidak sebanyak media mainstream lainnya. Ketika kami
mengadakan kelas menulis banyak dari pembaca
Konde.co ikut serta dan ikut menulis. Ada pula respon
lainnya. Seperti waktu itu kami pernah membuat grafik
dari data yang diberikan komnas perempuan. Disitu ada
data yang dimana bahwa kekerasan banyak terjadi di
pesantren karena kawin mut‟ah. Dan kami
menggambarkan kawin mutah dengan grafik yang
memakai kerudung. Karena itu kami di tuntun sama GIB
(Gerakan Indonesia Baru). Mereka itu kelompok
fundamentalis. Mereka pernah menuntut kami untuk
meminta maaf pada seluruh media di Indonesia. Dan kami
melakukan advokasi itu sampai ke komnas perempuan,
komnas HAM, dewan pers, LBH Jakarta dll. Jadi mereka
menuntut kami meminta maaf karena itu padahal yang
kami buat itu sesuai data saja.
Respon lain kami mendapat banyak undangan.
Ada sebuah lembaga yang ingin kami melakukan
konsultasi terhadap korban kekerasan di website. Kami
akan melakukan hal itu ketika kita sudah memperbarui
website kami. Dan yang menanganinya adalah orang-
orang NGO. Disatu sisi membuka ruang untuk berbicara
dan menyambungkan untuk jaringan. Dengan
menggunakan ruang konsultasi untuk korban kekerasan,
Konde.co bisa menjadi penghubung untuk mengubungkan
korban dengan para konsultan.
KAPOLRI, UCAPAN YANG
SEKSIS DAN
MENYALAHKAN KORBAN
PERKOSAAN
posted by Konde Institute

Luviana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co - Dalam percakapan dan wawancara BBC Indonesia yang


diturunkan dalam sebuah pemberitaan pada 19 Oktober 2017 berjudul „Tito
Karnavian: Korban perkosaan bisa ditanya „apakah nyaman‟ selama perkosaan?
nampak jelas jajaran kepolisian mulai dari struktur paling atas tidak mempunyai
keseriusan dalam upaya menghapuskan kekerasan seksual.

Perkosaan terhadap siapapun, merupakan kejahatan yang telah jelas-jelas


memberikan dampak berlapis, secara fisik, psikologis, bahkan ekonomi kepada
korbannya.

Alih-alih berupaya memberikan keamanan dan keadilan bagi korban perkosaan,


pernyataan Tito membuktikan bahwa selama ini Polisi justru lebih banyak berpihak
pada pelaku, dengan asumsi yang menuduh korban berbohong, bahkan
memberikan pertanyaan-pertanyaan yang justru akan membuat korban merasa
disalahkan dan akan menambah trauma mendalam pada korban.

Gerakan Masyarakat untuk Demokrasi (Gedor) yang merupakan jaringan puluhan


organisasi di Indonesia yang berjuang untuk demokrasi di Indonesia dimana
www.Konde.co terlibat di dalamnya, pada pernyataan sikapnya menyatakan bahwa
pemberitaan tersebut adalah hasil dari wawancara yang dilakukan untuk meminta
tanggapan Kapolri tentang beberapa persoalan, di antaranya terkait sikap dan
tindakan aparat kepolisian yang menarget kelompok minoritas gender dan seksual
pada Lesbian, Gay, Biseksual & transgender (LGBT) dengan penangkapan atas
tuduhan melanggar UU poronografi, serta persoalan yang saat ini mendera
lembaga pemberantasan korupsi; Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).

Penangkapan terhadap kelompok LGBT tidak hanya dlakukkan di ranah publik tapi
juga di wilayah privat seperti tempat tinggal, salah satunya adalah penangkapan di
sebuah sauna dengan tuduhan melanggar UU Pornografi. Meski terdapat banyak
tempat sauna, gym dan tempat sejenisnya namun justeru tempat-tempat tersebut
yang menjadi sasaran target kepolisian atas tuduhan aktifitas LGBT melanggar UU
Pornografi.

Selain itu perlu dicatat, UU pornografi bukan UU anti LGBT tapi mengapa mereka
yang menjadi kelompok sasaran.

Sangat menyesalkan dan menyesakkan dalam wawancara tersebut justru Tito


mengeluarkan sebuah pernyataan berisi analogi yang hendak menegaskan
sikapnya yang seksis dan tidak ramah korban perkosaan. Ia menggunakan analogi
bahwa di dalam peristiwa pidana penyidik juga harus menggunakan trik untuk
mencari jawaban yang pasti dari pihak korban salah satunya adalah korban
perkosaan. Maka pertanyaan „apakah merasa nyaman‟ saat mengalami
perkosaan adalah pertanyaan yang dianggap wajar oleh kapolri.

Analogi tersebut menunjukkan bahwa institusi penegak hukum mulai dari hirarki
paling tinggi memang tidak ramah dan tidak berpihak pada korban. Berdasarkan
berbagai pengalaman gerakan perempuan dan aktivis perempuan yang
mendampingi dan berjuang bersama korban perkosaan, langkah hukum yang
ditempuh dengan melaporkan kasus perkosaan ke Kepolisian merupakan satu
langkah perjuangan berani, di tengah aparat penegak hukum yang masih terus
menyalahkan korban. Pernyataan jenderal Polisi seperti ini akan semakin
membungkam korban dan menjauhkan keadilan bagi masyarakat terutama
perempuan dan korban perkosaan.

Lini Zurlia, Nisaa Yura dan Dhyta Caturani yang mewakili Gedor menyatakan
bahwa Gedor menggugat analogi Tito Karnavian yang tidak ramah pada korban.

Kami yang terdiri dari berbagai elemen; perempuan, aktivis, pegiat HAM dan
elemen masyarakat lain menggugat analogi tersebut yang semakin menegaskan
sikap bahwa intitusi penegak hukum tidak ramah dan tidak berpihak pada korban
kekerasan seksual, pantas saja jika banyak kasus kekerasan seksual jarang
dilaporkan oleh korbannya atau bahkan korban yang melapor justeru disalahkan.
Artinya, kepolisian sebagai institusi penegak hukum berkontribusi dalam
mencederai rasa keadilan.

Untuk itu dalam surat terbuka berupa gugatan ini kami menuntut dan meminta
kepada Jenderal Kapolri Tito Karnavian meminta maaf kepada publik atas
pernyataan tersebut.
Kami juga menuntut agar Intitusi pengegak hukum termasuk Kepolisian, agar
membenahi cara berpikir dalam memandang korban kejahatan yang seharusnya
dilindungi, bukan malah menyalahkan korban. Institusi penegak hukum harus
berpihak pada korban perkosaan, menciptakan rasa aman, melindungi dan
mencegah tindakan kekerasan seksual termasuk perkosaan dan mewujudkan
keadilan bagi seluruh masyarakat.

Kepolisian Republik Indonesia harus konsisten menjalankan beberapa peraturan


yang telah dibuat untuk meningkatkan kerja-kerja kepolisian dalam melindungi
masyarakat & mewujudkan pemenuhan hak asasi manusia serta perlindungan
kelompok rentan lain. peraturan tersebut antara lain; Peraturan Kapolri Nomor 8
Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam
Penyelengaraan Tugas Polri, Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang
Penanganan Ujaran Kebencian (“SE Hate Speech”) dan serta pembentukan Unit
Pengaduan Perempuan & Anak (UPPA) adalah salah satu upaya kepolisian dalam
menangani kasus-kasus perkosaan dan semestinya berpihak pada korban.

Organisasi:
1. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
2. Aliansi Mahasiswa Papua (AMP)
3. Asosiasi Pelajar Indonesia
4. Arus Pelangi
5. Belok Kiri Festival
6. Bhinneka Region Bandung
7. Desantara
8. Federasi SEDAR
9. Federasi Mahasiswa Kerakyatan (FMK)
10. Forum Solidaritas Yogyakarta Damai (FSYD)
11. Garda Papua
12. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI)
13. Gereja Komunitas Anugrah (GKA) Salemba
14. Gusdurian
15. Institute for Criminal Justice Reform (IJCR)
16. Imparsial
17. Indonesian Legal Roundtable (ILR)
18. INFID
19. Institut Titian Perdamaian (ITP)
20. Integritas Sumatera Barat
21. International People Tribunal (IPT) „65
22. Jaringan Kerja Lembaga Pelayanan Kristen (JKLPK) Indonesia
23. Koalisi Seni Indonesia
24. Koalisi Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
25. Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI)
26. KPO-PRP
27. komunalstensil
28. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
29. Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar
30. Komunitas Buruh Migran (KOBUMI)
31. Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI)
32. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
33. LBH Pers
34. LBH Pers Ambon
35. LBH Pers Padang
36. LBH Pers Makassar
37. LBH Jakarta
38. LBH Bandung
39. LBH Makassar
40. LBH Padang
41. LBH Pekanbaru
42. LBH Yogya
43. LBH Semarang
44. Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS)
45. Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
46. Lembaga Studi Pers dan Pembangunan (LSPP)
47. Marjinal
48. Papua Itu Kita
49. Partai Pembebasan Rakyat (PPR)
50. Partai Rakyat Pekerja (PRP)
51. PEMBEBASAN
52. Perempuan Mahardhika
53. Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI)
54. Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI)
55. Perjuangan Mahasiswa untuk Demokrasi (PM-D)
56. Perpustakaan Nemu Buku – Palu
57. Pergerakan Indonesia
58. Politik Rakyat
59. Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia (PPRI)
60. PULIH Area Aceh
61. PurpleCode Collective
62. Remotivi
63. RedFlag
64. Sanggar Bumi Tarung
65. Satjipto Rahardjo Institut (SRI)
66. Serikat Jurnalis Untuk Keragaman (SEJUK)
67. Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI)
68. Simponi Band
69. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet)
70. Sentral Gerakan Mahasiswa Kerakyatan (SGMK)
71. Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN)
72. Sloka Institute
73. Suara Bhinneka (Surbin) Medan
74. YouthProactive
75. www.konde.co
PEREMPUAN MENJADI
KORBAN PENYEBARAN
KONTEN SEKSUAL DI
SOSIAL MEDIA
posted by Konde Institute

Luviana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co – Dalam kurun waktu seminggu ini, terdapat penyebaran konten
video HA yang diduga dilakukan oleh media massa dan masyarakat. Penyebaran
konten seksual yang dilakukan tanpa persetujuan ini jelas merupakan kejahatan
seksual di dunia maya.

Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perempuan kembali menjadi obyektifikasi di


dunia maya. Tubuh perempuan, apa yang dilakukan perempuan kemudian
disebarkan secara sensasional. Dalam perspektif feminis, ini adalah terulangnya
kembali tubuh perempuan menjadi obyek eksploitase di media, dan kali ini terjadi di
media baru.

LBH Masyarakat mengecam penyebaran pemberitaan dan konten video HA, oleh
media massa dan publik. Penyebaran konten seksual pribadi tanpa persetujuan
merupakan kejahatan kekerasan seksual dan pelanggaran atas hak privasi korban.

Pemetaan LBH Masyarakat dalam pernyataan persnya pada 26 Oktober 2017 lalu
menyebutkan bahwa hingga saat ini, sedikitnya tiga puluh (30) media online dan
cetak telah memberitakan mengenai video HA dengan menyebutkan nama jelas
dan menampilkan foto korban.

Pemberitaan oleh media-media ini telah melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2
mengenai profesionalisme jurnalis dan Pasal 9 mengenai penghormatan hak
narasumber tentang kehidupan pribadinya. Selain itu, berita-berita yang
berkembang juga melanggar hak atas privasi korban yang telah diatur dalam Pasal
28I Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009
Tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil
dan Politik.

Media massa menurut analis gender LBH Masyarakat, Arinta Dea Dini Singgi
seharusnya turut melindungi korban dengan tidak menyebutkan nama korban
ataupun identitas lainnya, tidak menyebarkan stigma, dan tidak menyalahkan
korban penyebaran konten seksual tanpa persetujuan.

“Sebaliknya, media perlu memberitakan kasus ini secara berimbang dengan


menitikberatkan pemberitaan pada pelaku yang melakukan penyebaran tersebut.
Penyebaran berita maupun konten video tersebut yang dilakukan juga oleh publik
melalui sosial media akan berdampak pada terganggunya kehidupan korban serta
membahayakan keselamatan korban.”

Masyarakat hendaknya dapat melindungi korban dengan tidak menyebarkan video,


pemberitaan yang menyebutkan identitas korban, melaporkan akun yang
menyebarkan konten serta mengecam pelaku penyebaran konten seksual pribadi
tanpa persetujuan tersebut.

LBH Masyarakat dalam pemetaannya juga menyatakan bahwa kasus HA bukanlah


kasus pertama dan satu-satunya. Ada banyak kasus penyebaran konten seksual
pribadi tanpa persetujuan lainnya yang tidak dapat diproses karena kekosongan
hukum, ketakutan korban akan dipersalahkan ketika melapor dan opini negatif
publik terkait korban.

“Beberapa penyedia layanan korban kekerasan seksual sering kebingungan ketika


mendapatkan pengaduan dari korban karena tidak mekanisme hukum yang bisa
digunakan. Undang-Undang ITE sudah melarang praktik penyebaran konten
pornografi, namun, tidak mengatur penyebaran konten seksual pribadi tanpa
persetujuan seperti kasus ini. Selain itu, masih ada kekosongan hukum terkait
dengan perlindungan, pemulihan dan restitusi korban. RUU Kekerasan Seksual
dapat menjawab kekosongan hukum tersebut,” kata Arinta Dea Dini Singgi, Analis
Gender LBH Masyarakat.
Pihak kepolisian perlu mempertimbangkan situasi-situasi di atas dalam kasus HA
dengan memperlakukan HA sebagai korban. Polri juga harus melakukan terobosan
hukum dengan membuat standar opersional prosedur dalam menangani korban
penyebaran konten seksual pribadi tanpa persetujuan dan mengusut pelaku
penyebar video HA.
Polisi, media massa, dan publik sepatutnya bisa bahu-membahu untuk melindungi
korban penyebaran konten seksual pribadi tanpa persetujuan sembari terus
mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar disahkan.
KRIMINALISASI TUBUH
PEREMPUAN:
PEREMPUAN YANG
DIARAK DAN
DITELANJANGI
posted by Konde Institute

Poedjiati Tan- www.Konde.co

Beberapa hari lalu saya mendapat video tentang laki-laki dan perempuan yang
diarak dan ditelanjangi dan dipaksa mengaku kalau mereka sudah berbuat mesum
di sebuah rumah kost. Peristiwa ini terjadi di Cikupa, Tangerang, Banten.

Terus terang saya tidak tega, marah melihat sang perempuan yang memohon-
mohon ampun dengan air mata berucucuran dan mengatakan bahwa mereka
berdua tidak melakukan perbuatan mesun. Tetapi sepertinya pengurus kampung
dan sejumlah warga di tempat mereka tinggal, tidak peduli dan tetap menelanjangi
keduanya.
Video tersebut kemudian viral hampir di semua group whatsapp bahkan sudah
diunggah ke youtube dan media sosial lain.

Dan ironinya, ternyata pasangan tersebut tidak melakukan perbuatan mesum


seperti yang banyak dituduhkan.

Seperti yang dikatakan Kepala Polres Kabupaten Tangerang AKBP Sabilul dalam
kompas.com, kronologi peristiwa yang terjadi pada Sabtu (11/11/2017) malam itu,
awalnya, perempuan berinisial MA minta dibawakan makanan oleh R, pacarnya.
Sekitar pukul 22.00 WIB, R tiba di kontrakan MA untuk mengantarkan makanan.
Keduanya masuk ke dalam kontrakan untuk menyantap makan malam bersama.

"Ketua RT berinisial T menggedor pintu (kontrakan MA), pintunya tidak tertutup


rapat," ujar Sabilul dalam akun instagramnya, @m.sabilul_alif, Selasa (14/11/2017).
Menurut Sabilul, saat itu T datang bersama dua orang lainnya berinisial G dan NA.
Usai menggedor pintu dan masuk ke dalam kontrakan, ketiga orang itu memaksa R
dan MA mengakui mereka telah berbuat mesum.

Tidak hanya memaksa mengaku tetapi mereka sudah melakukan kekerasan


mencekik, menempeleng dan menganiaya sampai akhirnya melucuti pakaian
keduanya. Meskipun ketika mereka menggedor pintu dan masuk, keduanya sedang
tidak berbuat mesum tetapi tetap dianggap berbuat mesum. Kata Sabilul, warga
salah paham lantaran mendapati pasangan itu berada dalam satu kontrakan pada
malam hari.

Bukan Peristiwa Pertama

Peristiwa seperti ini sebetulnya bukan yang pertama kali. Masyarakat seperti
menjadi polisi moral ketika ada perempuan dan laki-laki dalam satu rumah. Mereka
menjadi kepo, merasa berhak menghakimi dan ingin tahu. Mereka cenderung
berpikiran mesum dan berimaginasi adanya ‘seks liar’ di dalamnya. Selalu
bersemangat menelanjangi tanpa memberikan kesempatan untuk membela diri.

Alasan yang selalu diungkapkan adalah agar mereka jera, dan untuk menjaga
ketertiban kampung. Apa benar mereka ingin menjaga ketertiban kampung? Atau
sebenarnya mereka ingin mencocokkan imaginasi liar mereka tentang tubuh
perempuan dan ingin melihat serta menelanjangi?

Dalam kasus seperti ini, perempuan adalah pihak yang paling dirugikan. Apalagi di
era teknologi seperti sekarang ini kejadian itu langsung menyebar ke jaringan
seluruh dunia tanpa ada penjelasan dan pembelaan. Sayangnya klarifikasi oleh
pihak kepolisian bahwa mereka tidak berbuat mesum, tidak ikut viral di whatsapp
group. Orang tetap akan menganggap bahwa mereka berbuat mesum. Wajah
perempuan yang ditelanjangi dan memohon ampun masih lekat dalam ingatan.

Perempuan selalu yang memiliki dampak ganda dalam setiap peristiwa


penggerebekan. Tidak hanya fisik yang mengalami dan menanggung kekerasan
tetapi juga psikologisnya. Saya tidak tahu bagaimana traumanya perempuan
tersebut, dituduh, dipermalukan dan dianiaya harga dirinya tanpa ada pembelaan.
Identitas dirinya hancur karena ada beberapa laki-laki mesum yang berpikran
bahwa perempuan yang datang malam-malam ke rumah laki-laki pasti untuk
menyerahkan dirinya dan melakukan hubungan seksual.

Hal lain, apakah pemuatan video yang tersebar meluas ini bisa distop dari
sekarang? Jika bisa, apakah ada jaminan bahwa orang lain tidak menyimpannya
dan mengunggahnya lagi suatu saat nanti? Hal inilah yang tidak pernah dipikirkan
orang yang menghakimi tubuh perempuan.

Peristiwa yang terjadi di Cikupa, Tangerang ini sungguh merupakan perbuatan


bodoh yang mengorbankan tubuh perempuan. Buat saya, ini adalah kriminalisasi
tubuh perempuan.
PENGHAKIMAN
TERHADAP REMAJA DI
TANGERANG, BENTUK
PENYIKSAAN SEKSUAL
posted by Konde Institute

Poedjiati Tan- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Kasus penghakiman massa yang dilakukan terhadap sepasang


muda-mudi di Cikupa Tangerang pada Sabtu 11 November 2017 yang dituduh
berbuat “mesum” merupakan bentuk-bentuk penyiksaan seksual yang
merendahkan martabat manusia.

Tanpa pembuktian melalui proses hukum, masyarakat sama sekali tidak punya hak
untuk melakukan penghukuman, penganiayaan, dan melanggar hak kebebasan
orang lain yang dijamin dalam Konstitusi.

Komnas Perempuan dalam pernyataan sikapnya menyatakan bahwa tindakan yang


dilakukan oleh para pelaku bertentangan dengan hak-hak yang dijamin oleh
konstitusi dan Undang-Undang.

“Tindakan main hakim sendiri atas nama moralitas kerap kali dijadikan alasan untuk
melakukan tindakan kekerasan seksual kepada perempuan, termasuk dengan cara-
cara menebar ketakutan yang menyasar pada tubuh perempuan. Kasus ini secara
nyata juga terjadi di beberapa wilayah seperti Aceh, Sragen, Riau dan lainnya,” ujar
Komisioner Komnas Perempuan, Adriana Venny.
Komnas Perempuan berpandangan bahwa tindakan tersebut sebagai bentuk
penyiksaan seksual dan penghukuman yang tidak manusiawi dan bernuansa
seksual yang dilakukan oleh masyarakat.

Dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual,


penyiksaan seksual dilakukan dengan tujuan menghakimi atau memberikan
penghukuman atas suatu perbuatan yang diduga telah dilakukan olehnya ataupun
oleh orang lain untuk mempermalukan atau merendahkan martabatnya.

Tindak main hakim sendiri ini telah meruntuhkan integritas dan martabat korban
secara personal, termasuk juga keluarganya, dan akan berdampak panjang pada
masa depan korban.

“Oleh karenanya negara perlu segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan


Seksual guna memberikan instrumen perlindungan yang berpihak pada korban dan
memberikan efek jera pada pelaku.”

Komnas Perempuan mengapresiasi langkah cepat Kepolisian RI dalam


menanggapi kasus dengan menangkap seluruh pelaku yang juga merupakan tokoh
masyarakat, dan juga
mengupayakan pemulihan korban.

Untuk menindaklanjuti proses yang sudah berjalan, Komnas Perempuan meminta


aparat penegak hukum untuk menindak tegas dan memberikan hukum yang
seberat-beratnya para pelaku penyiksaan seksual serta penghukuman tidak
manusiawi bernunasa seksual, yang memvideokan dan memviralkannya, dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

“Pihak keluarga dan lembaga pendamping korban agar segera melakukan


pendampingan bagi korban dan mengupayakan pemulihan yang komprehensi, Polri
perlu mengoptimalkan peran Babinkamtibmas untuk bertindak lebih cepat dalam
mencegah dan menangani penghakiman massa, agar masyarakat sadar hukum
dan tidak melakukan main hakim sendiri,” ujar Komisioner Komnas Perempuan,
Khariroh Ali.

Di samping itu, masyarakat juga perlu menghentikan penyebaran video penyiksaan


seksual tersebut untuk mencegah penghakiman dan stigma berlanjut terhadap
korban dan mencegah adanya replikasi atas tindakan kekerasan oleh pihak-pihak
lain.

Lalu meminta tokoh-tokoh agama dan pemuka masyarakat, serta institusi


pendidikan utuk memberikan perhatian serius terhadap menguatnya budaya
kekerasan di masyarakat dan agar kasus-kasus main hakim sendiri tidak terus
berulang. Dan mendukung pihak keluarga korban untuk melakukan pemulihan
terhadap korban, karena tindakan penyiksaan seksual tersebut dapat menyebabkan
dampak psikologis yang kompleks dan jangka panjang.
“Media agar tidak lagi mengekspos perempuan korban dalam pemberitaan, sebagai
bagian dari upaya mendukung pemulihan korban,” ujar Komisioner Komnas
Perempuan, Mariana Amiruddin.

You might also like