You are on page 1of 11

A.

Pengertian Taksonomi Tumbuhan


Istilah taksonomi (taxonomie) pertama kali diciptakan oleh A.P. de Candolle, seorang ahli
tumbuhan berkebangsaan Swiss dari herbarium Genewa, yang artinya teori tentang klasifikasi
tumbuhan. Taksonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata, yaitu takson
(kelompok/unit) dan nomos (hukum/aturan). Jadi taksonomi adalah hukum/aturan yang
digunakan untuk menggolongkan mahluk hidup ke dalam kelompok/unit tertentu.
Taksonomi dirumuskan secara lebih sederhana lagi oleh Lawrence (1964), yaitu Ilmu
pengetahuan yang mencakup identifikasi, tatanama, dan klasifikasi obyek, yang biasanya
terbatas pada obyek biologi yang bila dibatasi pada tumbuhan saja, sering diacu sebagai
sistematik tumbuhan. Sistematik berasal dari bahasa Latin, Systema yang berarti cara
penyusunan atau penataan, seperti yang digunakan oleh Carolis Linnaeus dalam salah satu judul
bukunya tentang pengklasifikasian tumbuh-tumbuhan di alam “Sistem Nature”. Dari uraian di atas
wajarlah kiranya bila ada sementara ahli berpendapat bahwa taksonomi diberi makna yang sama
dengan sistematik dan dalam penerapannya taksonomi lalu dijadikan sinonim dengan sistematik.
Namun demikian, ada beberapa ahli botani yang berpendapat bahwa taksonomi tidak
sepenuhnya sama dengan sistematik, dan didefinisikan sebagai studi ilmiah tentang jenis-jenis
dan keanekaragaman organisme dan tentang hubungan kekerabatan diantara mereka (Mayr
dalam Tjitrosoepomo, 1993). Pengamat pendapat ini menganggap bahwa sistematik mempunyai
cakupan yang lebih luas dari pada taksonomi. Lebih lanjut Davis & Heywood (1963) membedakan
arti istilah taksonomi dan sistematik. Menurut mereka taksonomi, identifikasi, klasifikasi dan
tatanama tercakup dalam istilah yang lebih luas, yaitu sistematik. Dengan kata lain taksonomi
adalah bagian dari sistematik.
B. Ruang Lingkup Taksonomi Tumbuhan
Beberapa definisi mengenai taksonomi yang telah diuraikan di atas mengacu pada ruang
lingkup dari disiplin ilmu itu sendiri, yaitu klasifikasi, identifikasi, dan tatanama.

1. Klasifikasi tumbuhan
Obyek studi taksonomi tumbuhan banyak sekali jumlah dan ragamnya. Menghadapi
obyek yang demikian besar jumlah dan keanekaragamannya, rasanya tidak ada jalan lain kecuali
berusaha untuk terlebih dahulu menyederhanakan agar lebih mudah penanganannya, dengan
jalan dipilah-pilah, dikelompok-kelompokkan menjadi golongan atau unit-unit tertentu. Unit-unit
inilah yang disebut dengan istilah takson, dan pembentukan takson-takson ini disebut klasifikasi.
Jadi klasifikasi diartikan sebagai penempatan organisma secara berurutan pada kelompok
tertentu (takson) yang didasarkan pada persamaan dan perbedaan sifat-sifat yang dimiliki.
Klasifikasi yang bertujuan untuk menyederhanakan obyek studi itu pada hakekatnya tidak
lain daripada mencari keseragaman dalam keanekaragaman. Betapapun besarnya
keanekaragaman yang diperlihatkan oleh suatu populasi, pastilah dapat ditemukan kesamaan
ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu, entah seberapa besar atau banyaknya kesamaan-kesamaan itu.
Kesamaan atau keseragaman itulah yang dijadikan dasar dalam mengadakan klasifikasi. Dengan
demikian anggota suatu unit atau takson mempunyai sejumlah kesamaan-kesamaan sifat.
Semakin rendah tingkatan suatu takson, semakin banyak kesamaan sifat pada anggotanya,
begitu pula sebaliknya. Dengan demikian dari seluruh tumbuhan yang ada di bumi ini dapat
disusun takson-takson besar kecil, yang dapat ditata mengikuti suatu hierarki, dari jenjang yang
paling tinggi hingga jenjang paling rendah.
Berdasarkan kesepakatan internasional, istilah-istilah untuk menyebut masing-masing
takson tumbuhan tempatnya tidak boleh diubah, sehingga masing-masing istilah itu sekaligus
menunjukkan kedudukan atau tingkat dalam hierarki penataan takson tumbuhan. Tingkatan-
tingakatan takson tersebut berturut-turut dari jenjang paling tinggi hingga terendah yaitu : Divisi
(Divisio), kelas (classis), bangsa (ordo), suku (familia), rumpun (tribus), marga (genus),
seksi (sectio), seri (series), jenis (species), varitas (varietas), dan bentuk (forma). Jika
kesebelas tingkat kesatuan taksonomi di atas tidak mencukupi, maka Kode Tatanama
membolehkan menciptakan kesatuan-kesatuan baru dengan menyisipkannya diantara tingkat-
tingkat kesatuan yang ada, dan yang paling sering dijumpai adalah kesatuan taksonomi yang
setingkat lebih rendah kedudukannya terhadap kesebelas kesatuan tersebut dengan jalan
menambahkan awalan anak (sub), misalnya di bawah suku (familia) ada anak suku
(subfamilia).

2. Identifikasi Tumbuhan
Identifikasi atau sering disebut determinasi, adalah kegiatan untuk menentukan apakah
suatu tumbuhan dianggap identik dengan kelompok tumbuhan yang sebelumnya telah
diklasifikasikan dan diberi nama. Jika suatu tumbuhan akan diidentifikasi, maka hal pertama yang
harus dilakukan adalah mempelajari tumbuhan itu sebaik-baiknya. Semua sifat morfologi (seperti
posisi, bentuk, ukuran, dan jumlah bagian-bagian daun, bunga dan buah) perlu dianalisis
sehingga ciri-ciri tumbuhan yang akan diidentifikasi itu dikuasai sepenuhnya. Langkah berikutnya
adalah mencoba memperbandingkan atau mempersamakan ciri-ciri tumbuhan tadi dengan ciri-
ciri tumbuhan lainnya yang sudah dikenal identitasnya, dengan memakai salah satu cara seperti
berikut:
a. Ingatan
Tumbuhan yang dihadapi mungkin sudah dikenal secara langsung, sebab identitas jenis
tumbuhan yang sama sudah diketahui sebelumnya. Pengetahuan akan identitas ini mungkin
didapatkan di kelas waktu mengadakan praktikum, karena pernah mempelajarinya, pernah
diberitahu orang lain, atau pernah melihat gambarnya dan lain-lain lagi. Jadi pengidentifikasian
itu dilakukan berdasarkan pengalaman atau ingatan seseorang.
b. Bantuan orang lain
Identifikasi tumbuhan dapat dilaksanakan dengan meminta bantuan ahli-ahli botani yang
biasanya bekerja di pusat-pusat penelitian botani sistematika, atau siapa saja yang bisa
memberikan bantuan. Karena pengalamannya (biasanya berdasarkan ingatan) maka seorang
ahli umumnya dapat cepat melakukan pengidentifikasian, dan jika menemui kesukaran maka
kedua cara berikut akan dipakai.
Catatan : Ahli-ahli taksonomi atau sistematika umumnya mempunyai spesialisasi yang sempit,
misalnya seseorang ahli di salah satu suku saja atau bahkan satu marga saja.
c. Spesimen acuan
Identifikasi suatu jenis tumbuhan dapat pula dilakukan dengan membandingkan secara
langsung dengan spesimen acuan. Spesimen acuan dapat berupa tumbuhan hidup, misalnya
koleksi tumbuhan yang ditanam di kebun percobaan atau kebun raya. Tapi lebih sering
menggunakan koleksi kering atau herbarium. Herbarium merupakan koleksi tumbuhan yang
jumlahnya dapat besar sekali, umumnya disimpan di suatu lembaga dan disusun berdasarkan
suatu sistem untuk membantu kelancaran pelaksanaan pendeterminasian.

d. Pustaka
Cara lain mengadakan identifikasi adalah dengan membandingkan atau mencocokkan
ciri-ciri tumbuhan yang akan diidentifikasi dengan deskripsi serta gambar-gambar yang ada
dalam literature taksonomi. Deskripsi (pertelaan) yang umumnya bersifat teknik itu dapat
dijumpai dalam hasil penelitian botani yang disajikan dalam bentuk monograf, revisi, flora, buku-
buku pegangan ataupun bentuk lainnya. Kesulitan cara ini terletak pada kenyataan bahwa karya-
karya ilmiah tadi diterbitkan secara terpencar-pencar pada ratusan majalah atau pustaka lainnya,
ditulis dalam bahasa yang beragam dan disusun oleh ahli-ahli botani dari berbagai bangsa
dengan spesialisasi yang berbeda-beda. Karena itu diperlukan waktu banyak untuk membaca,
mempelajari dan membandingkan pertelaan-pertelaan yang ada dengan tumbuhan yang akan
diidentifikasi.
e. Kunci identifikasi (Kunci determinasi)
Penggunaan kunci identifikasi merupakan jalan yang paling sering dipakai dalam
mengidentifikasi tumbuhan, terutama mereka yang tidak punya spesimen acuan yang cukup.
Kunci identifikasi merupakan serentetan pertanyaan-pertanyaan yang jawabannya harus
ditemukan pada spesimen yang akan diidentifikasi. Bila pertanyaan berturut-turut dalam kunci
identifikasi telah ditemukan jawabannya, berarti tumbuhan yang akan diidentifikasikan sama
dengan salah satu tumbuhan yang telah dibuat kuncinya, dan nama serta tempatnya dalam
sistem klasifikasi akan diketahui setelah semua pertanyaan dalam kunci dapat dijawab. Perlu
diperhatikan bahwa dalam penggunaan kunci identifikasi diperlukan kesabaran, kecermatan
pengamatan, jangan sampai terjadi salah persepsi dan interpretasi terhadap pertanyaan-
pertanyaan yang tercantum dalam kunci identifikasi itu.
3. Tatanama Tumbuhan
Pemberian nama kepada tumbuh-tumbuhan berdasarkan peraturan-peraturan dalam
“International Code of Botanical Nomenclature (ICBN)” atau Kode Internasional Tatanaman
Tumbuhan (KITT) disebut tatanama atau nomenklatur. Tujuan utama sistem ini adalah
menciptakan satu nama untuk setiap takson. “Betapa aneh dan kacaunya kehidupan ini
seandainya penggunaan nama diabaikan untuk mengidentifikasi segala sesuatu yang
dilihat, buat dan pakai” (Johnson dalam Rideng, 1989). Selanjutnya Tjitrosoepomo dalam
Rideng 1989, menyatakan bahwa nama adalah sesuatu yang mutlak perlu untuk dapat
menyebut apa yang dimaksud.
Nama-nama yang dimaksud dalam botani sistematika bukanlah nama daerah atau nama
sehari-hari, sebab untuk komunikasi ilmiah nama-nama daerah itu sama sekali tidak memenuhi
syarat. Nama daerah sering mempunyai pengertian yang kabur dan berbeda-beda, misalnya
“Kumis kucing” dipakai untuk empat jenis tumbuhan yang tidak ada hubungannya satu sama
lain, selanjutnya “gedang” dalam bahasa Madura berarti pisang, sedangkan dalam bahasa Sunda
maka pepayalah yang dimaksud. Karena tumbuh-tumbuhan tidak mengenal adanya batas-batas
politik negara, maka kesimpangsiuran yang terjadi karena pemakaian nama daerah dalam forum
internasional sudah pasti akan lebih semrawut lagi. Karena itu maka pemakaian nama ilmiah,
nama botani atau nama Latin sudah menjadi kebiasaan yang umum diterapkan di seluruh dunia.
Nama ilmiah/Latin yang dimaksud adalah nama yang diberikan pada suatu jenis
tumbuhan yang terdiri dari dua kata, kata pertama merupakan nama marga (genus) yang
huruf pertamanya ditulis huruf kapital, sedang kata kedua adalah penunjuk jenis (epitheton
specificum), semuanya ditulis huruf kecil. Kata pertama dan kedua diberi garis bawah atau
dicetak (cetak miring atau cetak tebal). Nama ilmiah belum lengkap bila belum ada author yang
ditulis di bagian belakang nama ilmiah tersebut. Sistem pemberian nama seperti di atas disebut
sistem binomial.
Sistem binomial pertama kali diperkenalkan oleh Linnaeus (1753) dalam bukunya
“Species Plantarum”. Lebih rinci di bawah ini dijelaskan berbagai faktor yang menyebabkan
lahirnya nama ilmiah antara lain:
a. Beranekaragamnya nama biasa, berarti tidak adanya kemungkinan nama biasa itu
diberlakukan secara umum untuk dunia internasional, mengingat adanya perbedaan dalam
setiap bahasa yang digunakan, sehingga tidak mungkin dimengerti oleh semua bangsa.
b. Beranekaragamnya nama dalam arti ada yang pendek dan ada yang panjang, bahkan ada
yang panjang sekali, misalnya Sambukus diberi nama Sambucus nigra (sambukus hitam),
Sambucus fructu in umbello nigro (sambukus dengan buah warna hitam yang tersusun dalam
rangkaian seperti payung), atau Sambucus caule arboreo ramoso floribus umbellatus
(Sambukus dengan batang berkayu dan bercabang-cabang dan bunga berbentuk payung).
Pemberian nama seperti di atas dikenal dengan sistem polinomial.
c. Banyaknya sinonim (dua nama atau lebih) untuk satu macam tumbuhan, seperti tela pohong,
tela kaspa, tela jendral, menyok, untuk ketela pohon. Di samping itu juga banyak homonim,
misalnya lidah buaya yang digunakan untuk marga Aloe dan Opuntia.
d. Sukarnya diterima oleh dunia internasional, bila salah satu bahasa bangsa-bangsa yang
sekarang masih dipakai sehari-hari dipilih sebagai bahasa untuk nama-nama ilmiah.
C. Hubungan Taksonomi Dengan Disiplin Ilmu Lain
Seseorang yang ingin mendalami taksonomi tumbuhan, tidak mungkin berhasil mencapai
tujuannya tanpa membawa bekal pengetahuan bidang ilmu lain, baik cabang-cabang ilmu yang
serumpun dengan taksonomi yang sama-sama bernaung di bawah ilmu tumbuhan maupun
cabang-cabang ilmu lain yang sepintas lalu seakan-akan sama sekali tidak menunjukkan
kaitannya dengan taksonomi tumbuhan. Rasanya tidak terlalu sulit untuk menerima adanya
kaitan antara morfologi, anatomi, dan genetika dengan taksonomi tumbuhan, tetapi untuk
mendalami taksonomi tumbuhan seorang harus pula mempunyai bekal pengetahuan lain seperti
ilmu-ilmu kimia, statistika dan lain-lain. Dengan diperluasnya wawasan ini, semakin bertambahlah
ketergantungan taksonomi akan hasil penelitian di bidang ilmu sejenis lainnya, sehingga produk
dari ilmu ini merupakan hasil dari suatu sintesis dari beberapa bidang ilmu.
Berdasarkan bentuk kaitan suatu cabang ilmu dengan taksonomi tumbuhan, dapat
dibedakan tiga kelompok yaitu:
1. Ilmu atau cabang-cabang ilmu yang merupakan syarat mutlak sebagai bekal mendalami
taksonomi tumbuhan, disebut prasyarat. Cabang-cabang ilmu tersebut antara lain:
a. Tatanama Tumbuhan
Tatanama tumbuhan merupakan syarat mutlak untuk siapa saja yang ingin mendalami
taksonomi tumbuhan. Menurut perkembangannya hingga sekarang, tatanama tumbuhan tidak
hanya memuat ketentuan-ketentuan pemberian nama, tetapi seperti dalam Kode Internasional
Tatanama Tumbuhan, memuat pula ketentuan-ketentuan yang mengatur prosedur jalannya
kegiatan-kegiatan dalam taksonomi tumbuhan, misalnya syarat dalam publikasi nama takson-
takson baru, penerapan metode tipe, perubahan nama sebagai akibat perubahan status suatu
takson, merupakan contoh dari sekian banyak prosedur dalam kegiatan taksonomi tumbuhan,
yang bila tidak ditaati dapat menyebabkan tidak syahnya nama-nama yang diberikan dan tidak
syahnya publikasi yang dihasilkan.

b. Morfologi - Terminologi.
Hampir dalam setiap karya taksonomi diperlukan adanya pencandraan tumbuhan, baik
dalam flora maupun monograf, revisi, terlebih dalam publikasi untuk memperkenalkan suatu
takson baru, pencandraan merupakan hal yang penting dan mutlak harus disertakan pada nama
takson baru yang diperkenalkan. Pencandraan ini hanya akan dapat dilakukan jika menguasai
bidang morfologi termasuk peristilahan (terminologi) yang harus digunakan.
c. Bahasa Latin
Asas ke-5 Kode Internasional Tatanama Tumbuhan menyatakan, bahwa nama-nama
ilmiah diperlakukan sebagai bahasa Latin tanpa memperdulikan dari bahasa mana kata yang
digunakan sebagai nama ilmiah itu. Meskipun untuk pemberian nama tumbuhan tidak mutlak
harus bahasa Latin, namun dalam penerapannya kata-kata tersebut harus mengikuti kaidah-
kaidah yang berlaku untuk bahasa Latin. Banyak nama ilmiah berasal dari bahasa Yunani, dapat
pula nama-nama orang misalnya author, nama tempat, ada pula dari bahasa Indonesia (Maluku),
seperti nama genemu untuk melinjo, yang karena diberlakukan kaidah Latin berubah menjadi
gnemon untuk nama Gnetum gnemon.
Selain itu dalam publikasi nama ilmiah suatu takson baru, bagi tumbuhan masih berlaku
persyaratan, bahwa nama ilmiah tumbuhan yang diperkenalkan pertama kali itu harus disertai
deskripsi atau sekurang-kurangnya diagnosis yang harus ditulis dalam bahasa Latin.
2. Ilmu atau cabang-cabang ilmu yang oleh seseorang diperlukan agar ia dapat memahami
berbagai aspek ilmu yang sedang dipelajari dengan lebih baik, disebut penunjang. Adapun
cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah :
a. Filogeni dan Evolusi
Filogeni adalah sejarah evolusioner suatu takson yang berupaya untuk menerangkan asal
dan perkembangan takson itu. Filogeni (Phylogeny) berasal dari kata Phylum atau Phylon
(bangsa/ras) dan genesis (keturunan), merupakan sejarah perkembangan mahluk hidup dari
bentuk yang sederhana (bersel tunggal) ke bentuk mahluk yang lebih maju dengan memakan
waktu yang sangat panjang. Evolusi sendiri bermakna “mekar” dalam arti berkembang secara
gradual dari mahluk yang ada sebelumnya sejak permulaan adanya kehidupan. Perkembangan
taksonomi tumbuhan dalam abat ini menuntut diciptakannya suatu sistem klasifikasi yang tidak
hanya memberikan suatu ikhtisar ringkas dari dunia tumbuhan yang ada, tetapi sekaligus dapat
mencerminkan jauh dekatnya hubungan kekerabatan antar tumbuhan serta urutannya dalam
sejarah filogenetik tumbuhan. Sebagai contoh dunia tumbuhan yang dibagi dalam 5 divisi,
masing-masing: Schizophyta, Thallophyta, Bryophyta, Pteridophyta, dan Spematophyta,
dengan penggolongan tersebut bukan hanya mendapatkan ikhtisar ringkas dari dunia tumbuhan,
tapi sekaligus urutan itu mencerminkan urutan sejarah perkembangan tumbuhan secara filogeni
evolusioner dari tingkat terendah ke tingkat tertinggi dan menunjukkan pula dua divisi berurutan,
Schizophyta dan Thallophyta menunjukkan hubungan kekerabatan lebih dekat dari pada
Schizophyta dengan Spermatophyta.
b. Ekologi dan Fitogeografi
Ekologi merupakan ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara mahluk hidup
dengan lingkungannya, sedang fitogeografi merupakan cabang ilmu tumbuhan yang mempelajari
hubungan keruangan (spatial relationship) antara takson tumbuhan di muka bumi ini, atau lebih
sering dikatakan sebagai ilmu yang mempelajari agihan atau distribusi tumbuhan di muka bumi.
Dalam karya-karya taksonomi tumbuhan, di samping deskripsi disertakan pula berbagai data
ekologi dan fitogeografi, seperti habitat, perilaku pertumbuhan, agihan horisontal dan vertikal,
kesemuanya merupakan tambahan informasi mengenai tumbuhan yang sedang dibicarakan.
Seorang ahli ekologi yang sedang melakukan survey di lapangan, tidak terlepas dari kegiatan
identifikasi, selanjutnya salah satu kriteria untuk menentukan suatu jenis adalah terdapatnya
tumbuhan dalam daerah agihan yang sama, yang berarti pengetahuan fitogeografi pun
merupakan suatu hal yang penting untuk taksonomi tumbuhan.
c. Genetika
Seorang ahli genetika yang ingin memasukkan plasma nutfah baru pada suatu tanaman
pertanian agar produksinya meningkat serta tahan terhadap penyakit harus mengetahui ciri-ciri
dari tumbuhan induk, jadi tidak terlepas dari kegiatan klasifikasi mahluk hidup yang terkait dalam
usaha menunjang keberhasilannya. Selanjutnya dalam mengidentifikasi tumbuhan, khususnya
untuk identifikasi jenis, tidak mungkin diperoleh hasil yang cermat jika identifikasinya hanya
berdasarkan ciri-ciri morfologi saja. Salah satu kriteria yang sangat penting adalah jumlah dan
konstelasi kromosom. Tumbuhan yang sejenis mempunyai jumlah konstelasi kromosom yang
sama. Ini berarti bahwa untuk identifikasi yang akurat, seorang ahli taksonomi diharapkan pula
mampu melakukan pemeriksaan sitologi untuk dapat menghitung jumlah kromosom yang dimiliki
suatu tumbuhan.
3. Ilmu atau cabang-cabang ilmu yang bila dimiliki seseorang dalam mempelajari suatu bidang
ilmu tertentu akan dapat menambah luas wawasan. Cabang-cabang ilmu yang dimaksud
antara lain :
a. Geologi, Ilmu tanah, dan Iklim
Pengetahuan geologi dan ilmu tanah serta iklim memungkinkan ahli-ahli taksonomi untuk
menyebutkan data ekologi dan geografi mengenai suatu jenis tumbuhan dengan lebih tepat,
misalnya tentang jenis tanah tempat tumbuhnya, mengenai agihannya baik menurut arah
horisontal maupun vertikal. Kenyataan terdapatnya daerah agihan yang bersifat diskontinyu
mungkin dapat dipahami melalui teori/konsep dalam geologi, sedang ilmu tanah juga dapat
membantu untuk menerangkan mengapa suatu jenis tumbuhan di alam terdapat dalam asosiasi
dengan jenis-jenis lain yang tertentu saja. Pengetahuan tentang iklim akan membantu para ahli
taksonomi dalam berbagai aspek lain yang menyangkut ekologi, seperti musim berbunga,
berbuah, serta cara pemencaran tumbuhan.
b. Matematika, Statistika, dan Komputer
Kecenderungan adanya penerapan matematika dan statistika, terutama dalam
pengolahan hasil-hasil penelitian mempunyai pengaruh pada taksonomi tumbuhan, demikian
juga dengan penggunaan komputer. Diperkenalkannya metode taksimetri atau taksonometri
dalam menentukan jauh dekatnya hubungan kekerabatan antar takson tumbuhan merupakan
bukti nyata, bahwa tidak tepat lagi bila taksonomi dipandang sebagai suatu cabang ilmu yang
bersifat deskriptif belaka. Dalam taksonomi pun dapat diselenggarakan penelitian yang bersifat
eksperimental yang pengambilan kesimpulannya juga diproses melalui pengolahan hasil
penelitian yang menerapkan metode matematika dengan perhitungan-perhitungan yang
menggunakan komputer.
D. Sejarah Perkembangan Klasifikasi Tumbuhan
Sampai sekarang dalam dunia taksonomi tumbuhan dikenal berbagai sistem klasifikasi,
yang masing-masing diberi nama menurut tujuan yang ingin dicapai atau dasar utama yang
merupakan landasan dilakukannya pengklasifikasian. Dalam garis besarnya, perkembangan
sistem klasifikasi dari masa ke masa adalah sebagai berikut:
1. Sistem artifisial (sistem buatan)
Untuk tujuan klasifikasi, sistem ini hanya menggunakan satu atau kadang-kadang
beberapa ciri, dan penentuan/seleksi ciri-ciri tersebut ditetapkan terlebih dahulu sebelum
klasifikasi dilaksanakan yang dikenal dengan cara a priori. Sistem artifial merupakan sistem yang
pertama kali digunakan untuk mengelompokkan tumbuhan dan berawal pada zaman Yunani
kuno. Theophrastes (370-287 S.M.), murid filsuf Yunani kenamaan Aristoteles. Dalam bukunya
“De Historia Plantarum”, telah berhasil memperkenalkan dan membuat deskripsi sekitar 480 jenis
tumbuhan. Pengelompokkan tumbuhan dilakukan berdasarkan perawakan (habitus): pohon,
perdu, semak, dan herba, selain itu ia juga mengadakan pengelompokan berdasarkan umur
tumbuhan yang dikenal dengan annual, biennial, dan perennial. Kemudian diikuti oleh
Dioscorides kira-kira 4 abat setelah Theophrastes, telah menulis daftar tumbuhan berdasarkan
manfaat, terutama manfaatnya sebagai obat-obatan dalam bukunya “De Materia Medica”.
Salah satu hal penting yang perlu dicatat pada sistem artifisial ini ialah karya Joseph Pitton
de Tournefort (1656-1708). Ia menerbitkan buku yang berjudul “Institutiones Rei Herbariae” yang
memuat sekitar 600 marga dan 900 jenis tumbuhan yang disusun berdasarkan sifat-sifat bunga
dan buah. Karyanya yang menekankan sistem marga ini menyebabkan ia disebut konseptor
marga atau “the founder of the modern concept of genera”.
Klasifikasi dari ahli tumbuhan bangsa Swedia, Carolus Linnaeus (1707-1778), merupakan
sistem artifisial terlengkap. Dalam bukunya “Species Plantarum” yang diterbitkan 1 Mei 1753,
mengklasifikasikan tumbuhan berdasarkan jumlah dan sifat-sifat alat kelamin bunga, yang
dikelompokkan ke dalam 24 kelas yaitu : Monoandria, Diandria, Triandria, Tetrandria,
Pentandria, Hexandria, Heptandria, Octandria, Enneandria, Decandria, Dodecandria (11-19
benang sari), Icosandria (20 atau lebih), Polyandria, Didynamia, Tetradynamia, Monodelphia,
Diadelohia, Polydelphia, Syngenesia, Gynandria, Monoecia, Dioecia, Polygamia, dan
Cryptogamia.
2. Sistem Alamiah
Sistem klasifikasi alamiah didasarkan pada beberapa atau banyak ciri morfologi yang
dipilih secara a posteriori artinya, ciri-ciri taksonomi yang akan dipilih ditentukan kemudian jika
memang menunjukkan korelasi positif dengan ciri taksonomi lainnya. Bernard de Jussieu (1699-
1776) petugas lapangan di Royal Botanical Garden Paris menyusun tumbuhan yang ditanam di
kebun raya tersebut berdasarkan persamaan-persamaan dengan penggunaan banyak ciri.
Usaha ini kemudian dilanjutkan Antonie Laurent de Jussieu (1748-1836), seorang professor yang
bekerja pada kebun raya tersebut, dan berhasil membuat buku yang berjudul “The Genera
Plantarum Secundum Ordines Naturales Dispasita”. Buku ini sangat menarik, memuat sekitar
100 bangsa yang mirip dengan konsep suku pada saat ini, dan dikelompokkan dalam 3 divisi dan
15 kelas. Pengelompokan tumbuhan berdasarkan letak bakal buah (bakal buah menumpang,
setengah tenggelam dan tenggelam). Untuk membedakan tumbuhan biji tunggal dengan biji
belah digunakan susunan tulang daun, dan ada atau tidak adanya kambium.
Agustin Pyramus de Candolle (1778-1841), bekerja di Concervatoire de Botanique di
Genewa, membuat buku “Prodromus Systematis Naturalis Regni Vegetabilis” (1824-1837) yang
membicarakan dunia tumbuhan pada tingkat jenis. Sistem ini menggunakan banyak ciri
taksonomi, tetapi cara penyusunannya didasarkan atas buah pikiran Jussieu (salah seorang guru
de Candolle).
George Betham (1800-1884) dan Joseph Dalton Hooker (1817-1911), keduanya bekerja
di Royal Botanical Garden Kew, Inggris. Mereka menerbitkan karya penting sistem klasifikasi
alamiah dari semua marga tumbuhan biji terbuka (Gymnospermae) dan tumbuhan biji tertutup
(Angiospermae) dalam bukunya “Genera Plantarum”. Sistem klasifikasinya didasarkan atas
pikiran de Candolle, sebagai salah satu teman Betham. Klasifikasi dibuat berdasarkan ciri
anatomi, dan morfologi, seperti jumlah daun buah, kedudukan bakal buah, bentuk perhiasan
bunga, serta ciri-ciri khusus embrio.
3. Sistem Filogenetik
Sistem filogenetik (sering dipadankan dengan istilah filetik) yang pertama dalam klasifikasi
tumbuhan dibuat oleh August Wilhelm Eichler (1839-1887). Ia mengelompokkan dunia tumbuhan
menjadi beberapa anak divisi, seperti Cryptogamae yang mencakup Thallophyta (ganggang
dan jamur), Bryophyta, Pteridophyta, dan Phanerogamae yang mencakup Gymnospermae
dan Angiospermae. Dari sudut evolusi, Thallophyta dipandang lebih primitif dari Bryophyta,
Bryophyta lebih primitif dari Pteridophyta, dan Pteridophyta lebih primitif dari Phanerogamae.
Berdasarkan sistem yang dibuat oleh Eichler, sistem filetik baru yang lebih terinci dibuat pula oleh
ahli tumbuhan bangsa Jerman, Heinrich Gustav Engler (1844-1930) dan teman sekerjanya, Karl
Anton Eugen Prantl (1849-1893). Sistem filogenetik untuk pertama kali diterbitkan pada tahun
1886, dimana dunia tumbuhan dikelompokkan ke dalam 14 divisi, yang dimulai dari tumbuhan
belah (Schizophyta) sampai tingkat lebih tinggi yaitu tumbuhan biji (Embryophyta Siphonogama)
dalam bukunya,”Die Naturlichen flanzenfamilien” yang pada dasarnya memuat flora dunia pada
tingkat marga.
DAFTAR PUSTAKA

Davis, P.H. & V.H. Heywood. 1963. Principles of Angiosperm Taxonomy. Robert, E. Krieger
Publishing Company. New York.

Jones, S. B. Jr.& A. E. Luchsinger. 1987. Plants Systematics (second ed.). McGraw-Hill Book
Company. New York.

Lawrence, G. H. M. 1964. Taxonomy of Vascular Plants. The McMillan Company. New York.

Radford, A. E. 1986. Fundamentals of Plant Systematics. United States of America. New York.

Rideng, I. M. 1989. Taksonomi Tumbuhan Biji. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Proyek
Pengembangan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK). Jakarta.

Rifai, M.A. 1973. Kode Internasional Tatanama Tumbuhan. Herbarium Bogoriense, Bogor.

--------- 1976. Sendi-sendi Botani Sistematika. Lembaga Biologi Nasional-LIPI, Bogor.

Tjitrosoepomo, G. 1993. Taksonomi Umum (Dasar-dasar Taksonomi Tumbuhan). Gadjah Mada


University Press. Yogyakarta.

You might also like