Professional Documents
Culture Documents
Rangkuman Asas Pidana
Rangkuman Asas Pidana
NIM : 11000121140624
Kelas : F
2. Sumber Hukum Pidana lainnya adalah Hukum Pidana Adat. Hukum Pidana Adat
untuk beberapa daerah masih harus diperhitungkan juga. Dasar hukum berlakunya
Hukum Adat Pidana dalam Undang_Undang pada pasal 131 I.S. juncto. Pada UUDS
1950 berada dibeberapa pasal yaitu pasal 32, 43 ayat (4), 104 ayat (1), 14, 13 ayat(32)
dan 16 ayat (2). Namun sebenarnya tidak diperlukan dasar hukum yang diambil dari
ketentuan undang-undang, sebab Hukum Adat itu hukum yang asli dan sesuatu yang
asli berlaku dengan sendirinya, kecuali jika ada hal yang menghalanginya. Ada
beberapa daerah dengan Hukum Pidana Adat nya yang masih memiliki kekuatan
sebagai sumber hukum yang positif dan diterapkan Pengadilan Negeri yang
menggantikan kedudukan Pengadilan Adat atau Pengadilan-Pengadilan Swapraja.
Dalam hal ini sebenarnya masih terjadi dualism. Tetapi KUHP tetap menjadi peranan
utama sebagai sumber hukum
Hubungan antara bagian umum dan bagian khusus itu erat sekali. Bagian umum itu
sejarahnya tumbuh berangsur-angsur dari bagian khusus. Dan hingga sat ini
pertumbuhan masih berlangsung.
Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.
Jika diperinci, Pasal 1 ayat (1) berisi mengenai dua hal yaitu :
1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/diesbutkan dalam peraturan undang-
undang
Mengenai hal ini ada 2 konsekuensi
a. Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu
tindak pidana tidak dapat dipidana. Dengan adanya azas ini maka hukum tidak
tertulis tidak berkekuatan untuk diterapkan. Pengecualian dalam hal ini adalah jika
di daerah yang dulu termasuk Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat masih
diterapkan hukum yang hidup (Hukum Adat) dengan pembatasan tertentu.
b. Adanya pendapat bahwa ada larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu
perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-
undang. Penerapan analogi dilakukan apabila ada kekosongan dalam undang-
undang untuk perbuatan yang mirip denga napa yang diatur oleh undang-undang.
Larangan ini berfungsi untukmencegah Tindakan sewenang-wenang dari
Pengadilan atau dari Penguasa.
Ada suatu penafsiran dengan cara “dekat” pada penafsiran ekstensif yaitu secara
teleogisck yaitu dengan menerapkan suatu peraturan dengan melihat kepada suatu
tujuan dari peraturan tersebut. Adapun penafsiran lain :
1) Penafsiran menurut tata bahasa (grammatical)
2) Penafsiran secara sistematis (systematisch)
3) Penafsiran menurut sejarah terbentuknya peraturan (historisch)
4) Penafsiran otentik (bab IX buku I KUHP)
2. Peraturan undang-undang harus ada sebelum terjadi tindak pidana
Hal yang kedua tersimpul dalam pasal 1 ayat (1) itu ialah aturan undang-undang
harus sudah ada sebelum perbuatan, dengan perkataan lain peraturan undang-undang
pidana tidak boleh berlaku retroaktif:
Rasio (dasar pikiran) dari hal ini adalah :
1. Seperti dalam hal pertama, menjamin kebebasan individu terhadap
kesewenang -wenangan penguasa (peradilan).
2. Pendapat yang berhubung dengan pendirian, bahwa pidana itu juga sebagai
paksaan psychic (psychologische dwang). Dengan adanya ancaman pidana
terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha
mempengaruhi jiwa sicalon pembuat untuk tidak berbuat. Teori ini berasal
dari Anselm Von Feuberbach dan disebut “teori paksaan psychisch” (Theorie
des psychischen).
3. Aturan tentang tidak berlaku surutnya suatu peraturan pidana ini dapat
diterobos oleh pembentuk undang-undang, sebab aturan itu hanyalah
tercantum dalam undang-undang biasa. Jadi apabila pembentuk undang-
undang menyatakan suatu undang-undang berlaku surut, hal tersebut adalah
sepenuhnya hak pembentuk undang-undang sendiri. Disini berlaku azas “lex
posterior derogate legi priori” artinya dalam hal tingkatan peraturan itu sama,
maka peraturan yang ditetapkan kemudian mendesak peraturan yang
terdahulu.
7. Di negara kita azas legalitas masih tetap dikehendaki oleh para sarjana. Dalam
Seminar Hukum Nasional Tahun 1963 mengusulkan agar dalam KUHP baru
bagian umum (fundamentals), antara lain azas legalitas hendaknya disusun
secara progresif sesuai kepribadian Indonesia dan perkembangan revolusi
setelah mempelajari perkembangan aturan-aturan pidana umum dalam KUHP
di negara lainnya.