You are on page 1of 4

Nama : Afrida Salsadella

NIM : 11000121140624
Kelas : F

D. SUMBER HUKUM PIDANA INDONESIA


1. Sumber utama Hukum Pidana di Indonesia adalah hukum yang tertulis, namun ada
daerah-daerah dan orang-orang tertentu menggunakan sumber Hukum Pidana yang
tidak tertulis.
a) Induk peraturan Hukum Pidana positif ialah Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
b) Sumber Hukum Pidana yang tertulis lainnya ialah peraturan-peraturan pidana di
luar KUHP yakni peraturan pidana yang tidak dikodifikasikan, yang tersebar
dalam undang-undang atau pemerintah pusat dan daerah serta berjumlah banyak.
c) Terdapat dualisme yang terjadi dalam KUHP ini, karena terdapat perubahan yang
d) dilakukan pada masa colonial dan juga pada masa militer jepang.

2. Sumber Hukum Pidana lainnya adalah Hukum Pidana Adat. Hukum Pidana Adat
untuk beberapa daerah masih harus diperhitungkan juga. Dasar hukum berlakunya
Hukum Adat Pidana dalam Undang_Undang pada pasal 131 I.S. juncto. Pada UUDS
1950 berada dibeberapa pasal yaitu pasal 32, 43 ayat (4), 104 ayat (1), 14, 13 ayat(32)
dan 16 ayat (2). Namun sebenarnya tidak diperlukan dasar hukum yang diambil dari
ketentuan undang-undang, sebab Hukum Adat itu hukum yang asli dan sesuatu yang
asli berlaku dengan sendirinya, kecuali jika ada hal yang menghalanginya. Ada
beberapa daerah dengan Hukum Pidana Adat nya yang masih memiliki kekuatan
sebagai sumber hukum yang positif dan diterapkan Pengadilan Negeri yang
menggantikan kedudukan Pengadilan Adat atau Pengadilan-Pengadilan Swapraja.
Dalam hal ini sebenarnya masih terjadi dualism. Tetapi KUHP tetap menjadi peranan
utama sebagai sumber hukum

3. Memorie van Toelichting (Memori Penjelas)


M.v.T adalah penjelasan atas rencana Undang-Undang Pidana, yang diserahkan oleh
Menteri Kehakiman (Belanda) Bersama Rencana Undang-Undang kepada Parlemen
Belanda. Rencana Undang-Undang disahkan menjadi undang-undang dan berlaku
pada tanggal 1 September 1886.

E. BAGIAN UMUM DAN BAGIAN KHUSUS DALAM HUKUM PIDANA


 Menurut Jenisnya, ketentuan-ketentuan Hukum Pidana dibagi dua :
1. Ketentuan-ketentuan Hukum Pidana yang bersifat umum yang berlaku untuk
seluruh lapangan Hukum Pidana, baik yang terdapat dalam KUHP, maupun yang
terdapat di luar KUHP (kecuali apabila ditentukan lain). Inilah yang disebut bagian
Umum(Algemeen Deel atau Allgemeiner teil atau Partie Generale).
2. Ketentuan-Ketentuan Khusus : Menyebut macam perbuatan yang dapat
dipidanakan serta ancamanpidananya. Ketentuan ini dimuat dalam Buku II dan
Buku III KUHP dan diluar KUHP. Inilah yang disebut delik khusus (Besonderer
Teil atau Partie Speciale ).

 Hubungan antara bagian umum dan bagian khusus itu erat sekali. Bagian umum itu
sejarahnya tumbuh berangsur-angsur dari bagian khusus. Dan hingga sat ini
pertumbuhan masih berlangsung.

F. BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG PIDANA MENURUT WAKTU

AZAS NULLUM DELICTUM


Peraturan undang-undang pada dasarnya berlaku untuk hal-hal yang terjadi setelah
peraturan itu ditetapkan. Dalam Hukum Pidana dikenal azas “Nullum delictum, nulla poena,
sine praevia lege poenali” atau disebut juga azas legalitas. Di dalam KUHP azas ini terdapat
dalam Pasal 1 ayat (1) yang berbunyi :

Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.

Jika diperinci, Pasal 1 ayat (1) berisi mengenai dua hal yaitu :
1. Suatu tindak pidana harus dirumuskan/diesbutkan dalam peraturan undang-
undang
Mengenai hal ini ada 2 konsekuensi
a. Perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu
tindak pidana tidak dapat dipidana. Dengan adanya azas ini maka hukum tidak
tertulis tidak berkekuatan untuk diterapkan. Pengecualian dalam hal ini adalah jika
di daerah yang dulu termasuk Pengadilan Swapraja dan Pengadilan Adat masih
diterapkan hukum yang hidup (Hukum Adat) dengan pembatasan tertentu.
b. Adanya pendapat bahwa ada larangan penggunaan analogi untuk membuat suatu
perbuatan menjadi suatu tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-
undang. Penerapan analogi dilakukan apabila ada kekosongan dalam undang-
undang untuk perbuatan yang mirip denga napa yang diatur oleh undang-undang.
Larangan ini berfungsi untukmencegah Tindakan sewenang-wenang dari
Pengadilan atau dari Penguasa.
Ada suatu penafsiran dengan cara “dekat” pada penafsiran ekstensif yaitu secara
teleogisck yaitu dengan menerapkan suatu peraturan dengan melihat kepada suatu
tujuan dari peraturan tersebut. Adapun penafsiran lain :
1) Penafsiran menurut tata bahasa (grammatical)
2) Penafsiran secara sistematis (systematisch)
3) Penafsiran menurut sejarah terbentuknya peraturan (historisch)
4) Penafsiran otentik (bab IX buku I KUHP)
2. Peraturan undang-undang harus ada sebelum terjadi tindak pidana
Hal yang kedua tersimpul dalam pasal 1 ayat (1) itu ialah aturan undang-undang
harus sudah ada sebelum perbuatan, dengan perkataan lain peraturan undang-undang
pidana tidak boleh berlaku retroaktif:
Rasio (dasar pikiran) dari hal ini adalah :
1. Seperti dalam hal pertama, menjamin kebebasan individu terhadap
kesewenang -wenangan penguasa (peradilan).

2. Pendapat yang berhubung dengan pendirian, bahwa pidana itu juga sebagai
paksaan psychic (psychologische dwang). Dengan adanya ancaman pidana
terhadap orang yang melakukan tindak pidana, penguasa berusaha
mempengaruhi jiwa sicalon pembuat untuk tidak berbuat. Teori ini berasal
dari Anselm Von Feuberbach dan disebut “teori paksaan psychisch” (Theorie
des psychischen).

3. Aturan tentang tidak berlaku surutnya suatu peraturan pidana ini dapat
diterobos oleh pembentuk undang-undang, sebab aturan itu hanyalah
tercantum dalam undang-undang biasa. Jadi apabila pembentuk undang-
undang menyatakan suatu undang-undang berlaku surut, hal tersebut adalah
sepenuhnya hak pembentuk undang-undang sendiri. Disini berlaku azas “lex
posterior derogate legi priori” artinya dalam hal tingkatan peraturan itu sama,
maka peraturan yang ditetapkan kemudian mendesak peraturan yang
terdahulu.

4. Pengecualian terhadap ketentuan larangan berlaku retroaktif itu terdapat dalam


pasal 1 ayat (2) KUHP yang berbunyi : “jika sesudah perbuatan dilakukan ada
perubahan dalam perundang- undangan, dipakai aturan yang paling ringan
bagi terdakwa” Jadi menurut pasal ini memungkinkan suatu peraturan pidana
berlaku surut. Dalam hal suatu perkara pidana belum mendapatkan keputusan
hakim undang-undang yang bersangkutan dengan perkara dinyatakan tidak
berlaku lagi, maka disini timbul persoalan hukum transitoir, ialah hukum yang
harus diterapkan apabila ada perubahan dalam perundang-undangan. Aturan
dalam KUHP kita merupakan sistem yang berdiri ditengah. Dasarnya adalah
“lex temporis delicti” akan tetapi kalau peraturan yang baru itu lebih
meringankan terdakwa, maka peraturan inilah yang berlaku. Jadi azas “lex
temporis delicti” itu tidak berlaku dengan perkataan lain ada retoaktivitas :

a) Apabila sesudah terdakwa melakukan tindak pidana ada perubahan


dalam perundang-undangan
1. Menurut SIMONS ada perubahan jika ada perubahan dalam teks dari
Undang-Undang Pidana itu sendiri, hal tersebut disebutdengan ajaran
formal. Yang artinya, di atas teks Undang-Undang Pidana tidak
berubah, tapi pada hakekatnya terdapat perubahan dalam perundang-
undangan karena memiliki pengaruh terhadap dapat dipidananya suatu
perbuatan.
2. Mengenai perubahan dalam perundang-undangan itu ada pendirian
yang disebut “ajaran meteriil terbatas”. Menurut pendirian ini ada
perubahan, apabila ada perubahan keyakinan hukum dalam hukum
pidana. Namun, jika ada pertauran pidana yang berlaku untuk
sementara waktu, maka menurut Simons, tidak ada perubahan dalam
perundang-undangan. Arti perubahan disini adalah akibat perubahan
dari keadaan bukan dari perubahan dalam keyakinan hukum (ajaran
materiil terbatas).
3. Ajaran yang ketiga adalah apa yang dinamakan “ajaran materiil yang
tidak terbatas”. Pasal 1 ayat (2) itu diterapkan sedemikianrupa
sehingga tiap perubahan dalam perundang-undangan digunakan untuk
keuntungan terdakwa.

b) Kapankah suatu peraturan itu disebut meringankan/menguntungkan


terdakwa?
Pengertian paling ringan atau menguntungkan itu harus diartikan seluas-
luasnya. Tidak hanya mengenai pidananya saja melainkan mengenai
segala sesuatunya dari peraturan itu yg mempunyai pengaruh terhadap
penilaian sesuatu tindak pidana. Penentuannya harus dilakukan in
concreto dan tidak in abstracto.

5. Mengenai ketentuan Pasal 1 ayat (2) ada saran-saran untuk menghapuskan.


Asas legalitas yang berisi berlakunya “Lex temporis delicti” jangan dikurangi
si terdakwa danjuga jangan untuk keuntungan.

6. Menurut sejarah, azas legalitas itu nyata berpijak pada azas


liberalisme/idividualisme yang berarti memberi jaminan perlindungan kepada
orang seorang terhadap kesewenang wenangan penguasa demi kepastian
hukum.

7. Di negara kita azas legalitas masih tetap dikehendaki oleh para sarjana. Dalam
Seminar Hukum Nasional Tahun 1963 mengusulkan agar dalam KUHP baru
bagian umum (fundamentals), antara lain azas legalitas hendaknya disusun
secara progresif sesuai kepribadian Indonesia dan perkembangan revolusi
setelah mempelajari perkembangan aturan-aturan pidana umum dalam KUHP
di negara lainnya.

You might also like