You are on page 1of 19

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


CHRONIC KIDNEY DISEASE (CKD)
DI RUANG HEMODIALISA RSUD WONOSARI

DI SUSUN OLEH:
SYAFITRI
24211539

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SURYA GLOBAL
YOGYAKARTA
2022
LAPORAN PENDAHULUAN
GAGAL GINJAL KRONIK

A. PENGERTIAN
Gagal ginjal kronik atau penyakit renal tahap akhir (ESRD) merupakan
gangguan fungsi renal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit,
menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer
and Suzanne 2014).
Gagal ginjal kronik adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan
perkembangan gagal ginjal yang progresif dan lambat sehingga terjadi akumulasi
bahan toksik uremi serta penurunan fungsi hormonal (Price and Wilson 2013).
Gagal ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang bersifat sisten dan
irreversible. Gangguan fungsi ginjal adalah penurunan laju filtrasi glomerulus yang
dapat digolongkan ringan, sedang dan berat. Azotemia adalah peningkatan BUN dan
ditegakkan bila konsentrasi ureum plasma meningkat. Uremia adalah sindrom akibat
gagal ginjal yang berat. Gagal ginjal terminal adalah ketidakmampuan renal berfungsi
dengan adekuat untuk keperluan tubuh (harus dibantu dialysis atau transplantasi)
(Mansjoer Arief 2016).

B. ETIOLOGI
Menurut Syaifuddin, 2016:
1. Gout menyebabkan nefropati gout.
2. Diabetes Mellitus yang menyebabkan nefropati DM.
3. SLE yang menyebabkan nefropati SLE.
4. Riwayat batu yang menyebabkan penyakit ginjal glomerular.
5. Riwayat edema yang mengarah ke penyakit ginjal glomerular.
6. Riwayat penyakit ginjal dalam keluarga (yang diduga mengarah ke penyakit ginjal
genetik).
7. Infeksi saluran kemih (pielonefritis kronis)
8. Penyakit peradangan (glomerulonefritis)
9. Penyakit vaskuler hipertensif (nefrosklerosis, stenosis arteri renalis)
10. Gangguan jaringan penyambung (SLE, poliarteritis nodusa, sklerosis sitemik)
11. Penyakit kongenital dan herediter (penyakit ginjal polikistik, asidosis tubulus
ginjal)
12. Penyakit metabolik (DM, gout, hiperparatiroidisme)
13. Nefropati toksik
14. Nefropati obstruktif (batu saluran kemih)

C. TANDA DAN GEJALA


Menurut Syaifuddin, 2016:
a. Gejala dini
Lethargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan berkurang,
mudah tersinggung dan depresi
b. Gejala lebih lanjut
Anoreksia, mual disertai muntah, nafas dangkalatau sesak nafasbaik pada
waktu kegiatan
c. Hipertensi, perikarditis, anoreksia, mual dan muntah, cegukan, kedutan otot,
kejang, perubahan tingkat kessadaran, tidak mampu berkonsentrasi
d. Sistem Kardiovaskuler
Hipertensi, pitting edema, edema periobital, pembesaran vena leher, friction
sub pericardial
Sistem Pulmoner
Krekel, nafas dangkal, kusmaull, sputum kental liat
e. Sistem Gastrointestinal
Anoreksia, mual dan muntah, pendarahan saluran GI, ulserasi dan perdarahan
mulut, nafas berbau amonia
f. Sistem Muskuloskletal
Kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang
g. Sistem Integumen
Warna kulit abu abu mengkilat, pruritus, kulit kering bersisik, ekimosis, kuku
tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar
h. Sistem Reproduksi
Amenore, atrofi testis
i. Sistem Hematologi
Anemia, gangguan fungsi trombosit, gangguan fungsi leukosit
j. Sistem otot dan syaraf dan selalu menggerakan kaki bawahnya (Restless leg
syndrom), rasa semutan dan terbakar terutama ditelapak kaki (burning feet
syndrom), encerhalopati metabolik (lemah tidak bisa tidur, gangguan
konsentrasi, tremor astreriksis, mioklonus, kejang kejang), miopati. Penderita
selalu mengalami penagl ditungkai kaki bawahnya
k. Endokrin
Libido, gangguan menstruasi, ovulasi, amenore
l. Sistem lain
 Tulang : malasia
 Asam basa : asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik sebagai
hasil metabolisme
 Elektrolit : hipokalasemia, hiperfosfatemia, hiperkalemia
m. Eliminasi
 Urine : oliguri, anuria, perubahan warna urin (kuning, coklat, merah)
 Alvi : konstipasi, diare

D. PATOFISIOLOGI
Pada ginjal kronik fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein
yang normalnya diekskresikan kedalam urin tertimbun dalam darah. Terjadi uremia
dan mempengaruhi setiap sistem tubuh, semakin banyak timbunan produk sampah,
maka gejala akan semakin berat. Penurunan jumlah glumerul yang normal
menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh
ginjal. Dengan menurunnya glumerulo filtrat rate (GFR) mengakibatkan penurunan
klirens kreatinin dan peningkatan kadar kreatinin serum. Hal ini menimbulkan
gangguan metabolisme protein dalam usus yang menyebabkan anoreaksia, nausea
maupun volnitus yang menimbulkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
Peningkatan ureum kreatinin sampai ke otak mampengaruhi fungsi kerja,
meningkatkan ganggaun pada saraf, terutama pada neurosesnsori. Selain itu Blood
Ureum Nitrogen (BUN) biasanya juga meningkat.
Pada penyakit ginjal tahap akhir, urin tidak dapat dikonsentrasikan atau
diencerkan secara normal sehingga terjadi ketidakseimbangan cairan elektrolit.
Natrium dan cairan tertahan meningkatkan resiko gagal jantung kongresif. Penderita
dapat menjadi sesak nafas, akibat ketidakseimbangan suplai oksigen dengan
kebutuhan. Dengan tertahnnya natrium dan cairan bias terjadi edema dan ascites. Hal
ini menimbulkan resiko kelebihan volume cairan dalam tubuh, sehingga perlu
dimonitor balance cairannya. Semakin menurunnya fungsi renal terjadi asidosis
metabolik akibat ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.terjadi
penurunan produksi eritropoentin yang mengakibatkan terjadinya anemia. Sehingga
pada penderita dapat timbul keluhan adanya kelemahan dan kulit terlihat pucat
menyebabkan tubuh tidak toleran terhadap aktifitas.
Dengan menurunnya filtrasi melalui glumerulus ginjal terjadi peningkatan
kadar fosfat serum dan penurunan kadar serum kalsium. Penurunan kadar kalsium
serum menyebabkan ssekresi parathohormon dari kelenjar paratiroid. Laju penurunan
fungsi ginjal dan perkembangan gagal ginjal kronis berkaitan dengan gangguan yang
mendasar, ekskresi protein dalam urin dan adanya hipertensi (Smeltzer and Suzanne
2014).

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urine
a. Volume
Biasanya kurang dari 400ml/jam (oliguria) atau urin tidak ada (anaria).
b. Warna
Secara abnormal urine keruh mungkin disebabkan oleh pus, bakteri, lemak,
partikel koloid, fosfat atau urat.Sedimen kotor, kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, mioglobin, porfitin.
c. Berat jenis
Kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat).
d. Osmolitas
Kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular,dan rasio
urine/serum sering 1:1.
e. Klirens kreatinin
Mungkin agak menurun
f. Natrium
Lebih besar dari 40 mEg/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium
g. Protein
Derajat tinggi proteinuria (3-4) secara kuat menunjukkan kerusakan
glumerulus bila SDM dan fragmen juga tidak
2. Darah
a. BUN / kreatinin
Meningkat, biasanya meningkat dalam proporsi. Kadar kreatinium 10 mg/dl di
duga tahap akhir (mungkin rendah yaitu 5)
b. Hitung Darah Lengkap
Hb : menurun pada adanya amenia, HB: biasanya kurang dari 7 sampai 8 g/dl.
c. SDM
Waktu hidup menurun pada definiensi eritropoetin seperti pada azotenzia.
d. GDA
pH : penurunan asidosis metabolit (kurang dari 7,2) terjadi karena kehilangan
kemampuan ginjal untuk mengekskresikan hydrogen dan ammonia atau hasil
akhir katabolisme protein. Bikarbonat menurun. PCO2 menurun.
e. Natrium Serum
Mungkin rendah (bila ginjal kehabisan natrium atau normal menunjukkan
status dilusi hepertemia).
f. Kalium
Peningkatan sehubungan dengan retensi sesuai dengan perpindahan seluler
(asidosis) atau pengeluaran jaringan (hemolisis SDM). Pada tahap akhir,
perubahan EKG mungkin tidak terjadi sampai kalium 6,5 mEg atau lebih
besar.
g. Magnesium / fosfat meningkat
h. Kalsium menurun
i. Proton (khususnya albumin)
Kadar serum menurun dapat menunjukkan kehilangan protein melalui urin,
perpindahan cairan, penurunan pemasukan, atau penurunan sintesis karena
kurang asam amino esensial.
3. Osmolaritas Serum
a. Lebih besar dari 285 mOsm/kg : sering sama dengan urine
b. Lebih besar dari 285 mOsm/kg : sering sama dengan urine
4. Kub Foto
Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandungan kemih dan adanya obstruksi (batu)
5. Pielogram Retrograd
Menunjukkan sirkulasi ginjal felvis dan ginjal.
6. Arteriogram Ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskuler, massa
7. Sistouretrogram berkemih
Menunjukkan ukuran kandung kemih, refleksi ke dalam ureter, retensi.
8. Ultrasono Ginjal
Menentukan ukuran ginjal dan adanya massa ginjal dan adanya massa, kista,
obstruksi pada saluran perkemihan bagian atas.
9. Biopsi Ginjal
Mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel jaringan untuk
diagnosis histologist.
10. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Dilakukan untuk menentukan pelvis ginjal ; keluar batu, hematuria, dan
pengangkatan tumor selektif.
11. EKG
Mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam/basa.
12. Foto Kaki, Tengkorak, Kolumna Spinal, dan Tangan
Dapat menunjukkan demineralisasi, kalsidikasi. (Marilynn E 2015).
F. KLASIFIKASI GAGAL GINJAL KRONIS
Klasifikasi gagal ginjal kronis adalah pengelompokan gagal ginjal berdasarkan
penyebabnya. Menurut Suharyanto & Madjid, 2016, gagal ginjal kronis dapat
diklasifikasikan berdasarkan sebabnya, yaitu sebagai berikut:
Tabel Klasifikasi Gagal Ginjal Kronis

Klasifikasi Penyakit
Penyakit
Penyakit infeksi Pielonefritis kronik, Glomerulonefritis
dan peradangan
Penyakit vaskuler Nefrosklerosis benigna, Nefrosklerosis maligna,
hipertesif Stenosis arteri renalis
Gangguan jaringan Lupus eritematosus sistemik, Poliartritis nodusa,
penyambung Sklerosis sistemik progresif
Gangguan Penyakit ginjal polikistik, Asidosis tubulus ginjal
kongenital dan
heredite
Penyakit metabolic Diabetes Melitus, Gout Disease, Hipertiroidisme
Nefropati toksi Penyalahgunaan analgesic, Nefropati timbale
Nefropati obstruksi Saluran kemih bagian atas: kalkuli, neoplasma,
fibrosis retroperineal. Saluran kemih bagian
bawah: hipertropi prostat, striktur uretra, anomali
leher kandung kemih dan uretra.
Berdasarkan perjalanan klinis, gagal ginjal dapat dibagi menjadi tiga stadium
Suharyanto & Madjid, 2016, yaitu:
Stadium I, dinamakan penurunan cadangan ginjal. Selama stadium ini kreatinin serum
dan kadar BUN normal, dan penderita asimptomatik. Gangguan fungsi ginjal hanya
dapat diketahui dengan tes pemekatan kemih dan tes GFR yang teliti. Stadium II,
dinamakan insufisiensi ginjal. Pada stadium ini dimana lebih dari 75 % jaringan yang
berfungsi telah rusak. GFR besarnya 25 % dari normal. Kadar BUN dan kreatinin
serum mulai meningkat dari normal. Gejala-gejala nokturia atau seting berkemih di
malam hari sampai 700 ml dan poliuria (akibat dari kegagalan pemekatan) mulai
timbul. Stadium III, dinamakan gagal ginjal stadium akhir atau uremia. Sekitar 90 %
dari massa nefron telah hancur atau rusak, atau hanya sekitar 200.000 nefron saja
yang masih utuh. Nilai GFR hanya 10 % dari keadaan normal. Kreatinin serum dan
BUN akan meningkat dengan mencolok. Gejala-gejala yang timbul karena ginjal
tidak sanggup lagi mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit dalam tubuh,
yaitu : oliguri karena kegagalan glomerulus, sindrom uremik.
Menurut The Kidney Outcomes Quality Initiative (K/DOQI) Desita, 2017,
gagal ginjal kronis dapat diklasifikasikan berdasarkan tahapan penyakit dari waktu ke
waktu sebagai berikut:
1. Stadium 1 : kerusakan masih normal (GFR > 90 ml/min/1,73 m2) 
2. Stadium 2 : ringan (GFR 60-89 ml/min/1,73 m2) 
3. Stadium 3 : sedang (GFR 30-59 ml/min/1,73 m2) 
4. Stadium 4 : gagal berat (GFR 15-29 ml/min/1,73 m2) 
5. Stadium 5 : gagal ginjal terminal (GFR <15 ml/min/1,73 m2)
Pada gagal ginjal kronis tahap 1 dan 2 tidak menunjukkan tanda-tanda
kerusakan ginjal termasuk komposisi darah yang abnormal atau urin yang abnormal
(Desita 2017).
G. KOMPLIKASI
1. Hipertensi.
2. Infeksi traktus urinarius.
3. Obstruksi traktus urinarius.
4. Gangguan elektrolit.
5. Gangguan perfusi ke ginjal.
6. Hematologis : anemia
7. Dehidrasi
8. Kulit : gatal gatal
9. Gastrointestinal : mual, muntah, anoreksia, dan dada seperti terbakar, bau nafas
menyerupai urin
10. Endokrin
Laki laki : kehilangan libido, impotensi, dan penurunan jumlah sertamotilitas
sperma.
Wanita     : kehilangan libido, berkurangnya ovulasi, dan infertilisasi
Anak-anak: retardasi pertumbuhan
Dewasa     : kehilangan massa otot
11. Neurologis dan Pisikatri : kelelahan,kehilangan kesadaran, koma, iritasi
neurologis (tremor, ateriksis, agitasi, meningismus, peningkatan tonus otot kejang)
H. PENATALAKSANAAN
Menurut Desita, 2017
1. Tentukan dan tatalaksana terhadap
penyebab.
2. Optimalisasi dan pertahankan
keseimbangan cairan dan garam.
3. Diet tinggi kalori rendah protein.
4. Kendalikan hipertensi.
5. Jaga keseimbangan eletrolit.
6. Mencegah dan tatalaksana penyakit
tulang akibat GGK.
7. Modifikasi terapi obat sesuai
dengan keadaan ginjal.
8. Deteksi dini terhadap komplikasi
dan berikan terapi.
9. Persiapkan program hemodialisis.
10. Transplantasi ginjal.
11. Obat-obatan : Diuretik untuk meningkatkan urinasi, alumunium hidroksida untuk
terapi hiperfostamia, anti hipertensi untuk terapi hipertensi, serta diberi obat yang
dapat menstimulasi produksi RBC seperti apoetin alfa bila terjadi anemia

I. ANEMIA PADA GAGAL GINJAL KRONIK


Pada orang sehat yang anemik, sistim biofeedback akan menyebabkan
meningkatnya produksi eritropoetin (EPO) oleh ginjal, sehingga kadar EPO dalam
darah meningkat dari kadar rerata 10-12 mU/mL Pemicu untuk produksi EPO adalah
hipoksia jaringan intrarenal akibat tidak seimbangnya supply O2 dan keperluan
metabolik. Dengan tehnik biologi molekuler diketahui bahwa ginjal normal ber-reaksi
terhadap anemia atau hipoksia dengan menambah tempat produksi EPO di ruang
peritubuler dan vaskuler. Pada penderita GGK mekanisme biofeedback ini mengalami
gangguan, sehingga produksi EPO berkurang, walaupun produksi masing-masing
nefron masih normal.
1. Disamping sebab primer tersebut, beberapa sebab-sebab sekunder juga berperan
sebagai penyebab anemia pada penderita GGK. Beberapa diantaranya yang
terpenting adalah:
Survival eritrosit pendek.Jangka hidup eritrosit pada GGK berkurang dengan 40-
60%, dari 100-140 hari menjadi sekitar 40-90 hari.
2. Darah hilang, terutama pada HD misalnya pada waktu punksi arteri dan vena,
sisa darah dalam "dialyzer dan blood lines"," blood leakes" dan bekuan darah
dalam dialyzer. Hemolisis akut dapat terjadi kalau kualitas air dari " water
treatment" kurang baik (chloramine, copper, zinc dan nitrate) dan sisa
formaldehyde pada "dialyzer re-use". Jangan dilupakan terjadinya "hematom"
juga mengurangi kadar eritrosit dalam peredaran darah.
3. Perdarahan.
Perdarahan pada uremia berhubungan dengan adanya abnormalitas trombosit dan
interaksi trombosit dengan dinding pembuluh darah. Pada penderita uremia,
pembuluh darah memproduksi prostasiklin berlebihan, yang merupakan
vasodilator potensial dan antagonis agregasi trombosit.
4. Defisiensi besi dan bahan nutrisi.
Terutama berperan pada uremia lanjut dimana penderita kehilangan nafsu
makan, disertai mual dan muntah. Pada penderita GGK ternyata absorpsi besi
dalam usus juga berkurang; disamping itu hambatan terjadi karena obat-obatan
penghambat sekresi asam lambung (H2 blocker, H+ ion pump inhibitor,
phosphate binder).
5. Inhibitor uremik yang mengurangi efek EPO terhadap susmsum tulang sehingga
pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang juga berkurang. Penyakit ginjal
dengan produksi eritropoetin normal mempunyai kadar Hb normal, seperti pada
penederita ginjal polikistik.
6. Hiperpartiroidi berat dapat menyebabkan mielofibrosis pada beberapa penderita
GGK, yang mempunyai efek supresi langsung terhadap eritropoiesis.
7. Faktor-faktor nonrenal dapat juga menambah beratnya anemia pada GGK
misalnya keganasan (mieloma, Ca metastatik), SLE, NSAID. infeksi dan
infamasi, hipotiroidi.

Selain itu, bahwa pada penderita GGK selain fungsi filtrasi urin yang
terganggu produksi hormon eritropoietin pun terganggu, dimana fungsi dari hormon
ini bekerja pada tingkat produksi dan diferensiasi sel darah merah. Ketika hormon ini
terganggu terciptalah suatu kondisi anemia dimana terjadi banyak gangguan bentuk
dari sel-sel darah merah yang bisa didefinisikan pada gambaran apus darah tepi
berupa anisopoikilositosis.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN:
1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelemahan proses pengaturan
2. Risiko cedera berhubungan dengan akses vaskuler dan komplikasi sekunder
terhadap penusukan
3. intoleransi aktifitas berhubungan dengan keletihan
4. resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif
K. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional
1 Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji status cairan 1. Pengkajian merupakan
berhubungan dengan keperawatan selama 5 jam  Timbang bb pre dan dasar untuk memperoleh
kelemahan proses diharapkan keseimbangan post hd data, pemantauan 7
pengaturan volume cairan tercapai  Keseimbangan masukan evaluasi dari intervensi
dengan kriteria: dan haluaran 2. Pembatasan cairan akan
 BB post HD sesuai dry  Turgor kulit dan edema menetukan dry weight,
weight  Distensi vena leher haluaran urine & respon
 Udema hilang  Monitor vital sign terhadap terapi.
 Retensi 16-28 x/m 2. Batasi masukan cairan 3. UF & TMP yang sesuai

 kadar natrium darah akan ↓ kelebihan volume


 Pada saat priming &
132-145 mEq/l cairan sesuai dg target
wash out hd
BB edeal/dry weight
3. Lakukan hd dengan uf &
4. Sumber kelebihan cairan
tmp sesuai dg kenaikan
dapat diketahui
bb interdialisis
5. Pemahaman ↑kerjasama
4. Identifikasi sumber
klien & keluarga dalam
masukan cairan masa
pembatasan cairan
interdialisis
6. Kebersihan mulut
5. Jelaskan pada keluarga &
mengurangi kekeringan
klien rasional pembatasan mulut, sehingga ↓
cairan keinginan klien untuk
6. Motivasi klien untuk ↑ minumPengkajian
kebersihan mulut merupakan dasar untuk
memperoleh data,
pemantauan 7 evaluasi
dari intervensi
2 Resiko cedera b.d akses Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji kepatenan AV shunt 1. AV yg sudah tidak baik
vaskuler & komplikasi keperawatan selama 5 jam sebelum HD bila dipaksakan bisa
sekunder terhadap diharapkan tidak 2. Monitor kepatenan terjadi rupture vaskuler
penusukan & mengalami cedera dg kateter sedikitnya setiap 2 2. Posisi kateter yg
pemeliharaan akses kriteria: jam berubah dapat terjadi
vaskuler  kulit pada sekitar AV 3. Kaji warna kulit, rupture vaskuler/emboli
shunt utuh/tidak rusak keutuhan kulit, sensasi 3. Kerusakan jaringan
Pasien tidak mengalami sekitar shunt dapat didahului tanda
komplikasi HD 4. Monitor TD setelah HD kelemahan pada kulit,
5. Lakukan heparinisasi lecet bengkak, ↓sensasi
pada shunt/kateter pasca 4. Posisi baring lama stlh
HD HD dpt menyebabkan
6. Cegah terjadinya infeksi orthostatik hipotensi
pd area shunt/penusukan 5. Shunt dapat mengalami
kateter sumbatan & dapat
dihilangkan dg heparin
6. Infeksi dpt
mempermudah
kerusakan jaringan
3 Intoleransi aktivitas b.d.: Setelah dilakukan tindakan 1. Kaji faktor yang 1. Menyediakan informasi
 Keletihan keperawatan selama 5 jam menimbulkan keletihan: tentang indikasi tingkat
 Anemia diharapkan klien mampu - Anemia keletihan

 Retensi produk sampah berpartisipasi dalam - Ketidakseimbangan 2. Meningkatkan aktifitas

Prosedur dialisis aktivitas yang dapat cairan & elektrolit ringan/sedang &
ditoleransi, dengan - Retensi produk memperbaiki harga diri
kriteria: sampah 3. Mendorong latihan &
 berpartisipasi dalam - depresi aktifitas yang dapat
aktivitas perawatan 2. Tingkatkan kemandirian ditoleransi & istirahat
mandiri yang dipilih dalam aktifitas perawatan yang adekuat
 berpartisipasi dalam ↑ diri yang dapat 4. Istirahat yang adekuat
aktivitas dan latihan ditoleransi, bantu jika dianjurkan setelah
istirahat & aktivitas keletihan terjadi dialisis, karena adanya
seimbang/bergantian 3. Anjurkan aktivitas perubahan keseimbangan
alternatif sambil istirahat cairan & elektrolit yang
4. Anjurkan untuk istirahat cepat pada proses dialisis
setelah dialisis Kaji faktor sangat melelahkan
yang menimbulkan
keletihan:
- Anemia
- Ketidakseimbangan
cairan & elektrolit
- Retensi produk
sampah
- Depresi
DAFTAR PUSTAKA

Desita. 2017. Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik. Jakarta: Selemba medika.

Mansjoer Arief. 2016. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Medika Aesculapius.

Marilynn E, D. 2015. Rencana Asuhan Keperawatan. 3rd ed. Jakarta: EGC.

Price, S, and L Wilson. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:
EGC.

Smeltzer, and C Suzanne. 2014. Buku Ajar Keperawatan Mediakl Bedah Brunner Dan
Suddarth. 12th ed. Jakarta: EGC.

Suharyanto, and Madjid. 2016. Suhan Keperawatan Pada Pasien Gangguan System
Perkemihan. Jakarta: Trans info medika.

Syaifuddin. 2016. Anatomi Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: EGC.

You might also like