You are on page 1of 16

Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan

Lingkungan Hidup
pslh.ugm.ac.id/peran-serta-masyarakat-dalam-pengelolaan-lingkungan-hidup

pslh

Peran serta masyarakat kembali menjadi ramai diperbincangkan akibat terbitnya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja.
Dimana dalam persidangan terungkap fakta pembentuk undang-undang tidak
memberikan ruang partisipasi (peran serta) kepada masyarakat “secara maksimal atau
lebih bermakna”.[i] Akibatnya, meskipun diyatakan tetap berlaku secara bersyarat,
karena Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja (UUCK) akan dinyatakan
inskonstitusional apabila selama 2 tahun tidak diperbaiki. Menarik diulas, bagaimanakah
konsep peran serta masyarakat secara umum dan secara khusus terkait peran serta
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Keterkaitan Hak Atas Lingkungan Hidup dan Peran Serta


Masyarakat

1/16
Peran serta masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup sangat terkait erat dengan
hak atas lingkungan hidup. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat telah
dilindungi dalam Konstitusi Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[ii]
Setelah amandemen, ketentuannya dirumuskan dalam Pasal 28H ayat (1) yang
menegaskan:

”setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”.

Pada prinsipnya, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada
hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia.[iii] Sifat HAM yang melekat kemudian menekankan arti penting dari adanya
HAM yaitu, bagaimanakah upaya-upaya negara untuk memberikan jaminan kepada
masyarakat dalam rangka pemenuhan atas HAM?.[iv]

Koesnadi Hardjasoemantri menyatakan, bahwa hak atas lingkungan merupakan hak


subyektif yang dimiliki oleh setiap orang. Adapun realisasi hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat sesungguhanya merupakan upaya mewujudkan pemenuhan hak-hak
asasi lainnya, khususnya hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan standar kehidupan
yang layak, hak kesehatan, dan hak-hak lainnya yang dalam pemenuhannya sangat
terkait dengan kondisi lingkungan hidup yang baik dan sehat. Siti Sundari Rangkuti juga
menyatakan, bahwa pemaknaan secara yuridis terhadap hak atas lingkungan yang baik
dan sehat harus diwujudkan melalui pembentukan berbagai saluran hukum, sebagai
upaya perlindungan hukum bagi masyarakat di bidang lingkungan hidup.[v] Bentuk-
bentuk perlindungan tersebut, antara lain yaitu hak mengambil bagian dalam prosedur
hukum administrasi, seperti hak berperan serta (inspraak, public hearing) atau hak
banding (beroep) terhadap penetapan administrasi (tata usaha negara).

Secara internasional pengakuan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan


terkait lingkungan juga telah diakui sebagai salah satu prinsip utama tata kelola
lingkungan dalam Deklarasi Rio 1992. Dimana Prinsip 10 Deklarasi Rio menyatakan,
bahwa masalah lingkungan paling baik ditangani dengan partisipasi semua warga negara
yang peduli di tingkat yang relevan. Deklarasi rio juga menetapkan, bahwa negara
diminta untuk memastikan masing-masing individu memiliki akses yang tepat ke
informasi mengenai lingkungan yang dimiliki oleh otoritas publik, termasuk informasi
tentang bahan berbahaya dan kegiatan di komunitas mereka, dan kesempatan untuk
berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu, negara harus
memfasilitasi dan mendorong kesadaran dan partisipasi masyarakat dengan
menyediakan informasi dengan sebaik baiknya.[vi]

Dalam konteks historis, Hak Atas Lingkungan digolongkan sebagai Hak Asasi Manusia
Generasi Ketiga. Dimana hak atas lingkungan hidup bukanlah hak yang berdiri sendiri
melainkan terdapat hak-hak turunan (derivatif) yang akan menentukan sejauh mana
kualitas hak atas lingkungan dapat terpenuhi. Terdapat dua aspek yang membentuk hak

2/16
atas lingkungan, yakni aspek prosedural dan aspek substantif. Aspek subtantif disini
diartikan sebagai hak untuk hidup, hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak dan
hak untuk sehat, hak untuk mendapatkan keadilan intra dan anter generasi. Sedangkan
hak-hak prosedural dimaksud, adalah elemen penunjang dalam rangka pemenuhan atas
hak substansif, yakni hak atas informasi, hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan dan hak untuk mendapatkan akses keadilan.[vii]

Saat ini, hak-hak prosedural dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan telah diatur
dalam Konvensi Aarhus (Convention Access to Information, Participation and Decision
Making and Access to Justice in Environmental Matters). Pasal 1 Konvensi Aarhus
menyatakan : “In order to contribute to the protection of the right of every person of
present and future generations to live in an environment adequate to his or her health
and well-being, each Party shall guarantee the rights of access to information, public
participation in decision-making, and access to justice in environmental matters in
accordance with the provisions of this Convention.” Ketentuan Pasal 1 Konvensi Aarhus
secara explisit meminta kepada negara untuk menjamin pemenuhan hak atas akses
informasi, peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan akses terhadap
keadilan dalam permasalahan terkait lingkungan hidup sebagai bentuk pemenuhan hak
atas lingkungan hidup oleh negara.

Dengan demikian, upaya pemenuhan akses peran serta kepada masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup merupakan suatu prasyarat dalam pemenuhan terhadap
hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana telah diamanatkan dalam
UUD NRI Tahun 1945.

Urgensi Implementasi Peran Serta Masyarakat


Peran serta masyarakat atau yang juga dikenal dengan istilah partisipasi publik adalah
elemen penting dari pengambilan keputusan lingkungan yang baik dan sah secara
demokratis. Peran serta masyarakat merupakan salah satu bentuk saluran yang diberikan
kepada masyarakat, sehingga mendorong masyarakat untuk secara aktif menuntut
pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik. Saat ini, pengakuan terhadap proses
peran serta masyarakat dapat dilihat pada setiap level kebijakan, baik secara
internasional, regional, nasional dan lokal.

Sherry R. Arnstein dalam makalahnya berjudul “A Ladder of Citizen Participation” yang


terbit tahun 1969 menyatakan : “The idea of citizen participation is a little like eating
spinach: no one is against it in principle because it is good for you.” Dengan kata lain,
partisipasi masyarakat adalah suatu gagasan yang sangat baik, seperti halnya “makan
bayam” dimana seharusnya tidak akan ada yang menentang suatu gagasan yang baik.

Lebih lanjut, Koesnadi Hardjasoemantri juga menyatakan, bahwa: “Peran serta


masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup mempunyai jangkauan luas. Peran
serta tersebut tidak hanya meliputi peran serta para individu yang terkena berbagai
peraturan atau keputusan administratif, akan tetapi meliputi pula peran serta
kelompok dan organisasi dalam masyarakat. Peran serta efektif dapat melampaui

3/16
kemampuan orang seorang, baik dari sudut kemampuan keuangan maupun dari sudut
kemampuan pengetahuannya, sehingga peran serta kelompok dan organisasi sangat
diperlukan, terutama yang bergerak di bidang lingkungan hidup.”[viii]

Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup 1

Ilustrasi gambar: manfaat peran serta masyarakat menurut istilah arnstein

Meminjam istilah satire R. Gerung dalam sebuah perdebatan di Media, mungkin saja
“ada yang salah dengan sistem pencernaan kita”. Sehingga wajarlah adanya untuk
menolak tambahan menu berupa “bayam” sebagai pemenuhan resep dari “empat sehat,
lima sempurna”.

Urgensi terkait peran serta masyarakat mungkin menjelaskan, mengapa UUPPLH


mengatur ketentuan peran serta masyarakat dalam suatu Bab tersendiri, yaitu Bab XI
tentang Peran Masyarakat.

Koesnadi mengemukakan empat landasan perlunya peran serta masyarakat, yaitu[ix]:

1. Memberi informasi kepada pemerintah. Peran serta masyarakat terutama akan


dapat menambah perbendaharaan pengetahuan mengenai sesuatu aspek tertentu
yang diperoleh dari pengetahuan khusus masyarakat itu sendiri maupun dari para
ahli yang dimintai pendapat oleh masyarakat. Dimana berbagai kepentingan,
permasalahan, pengetahuan dan pemahaman masyarakat dapat menjadi sebuah
masukan yang berharga dalam rangka meningkatkan kualitas pengambilan
keputusan.
2. Meningkatkan kesediaan masyarakat untuk menerima keputusan pemerintah.
Seorang warga masyarakat yang telah memperoleh kesempatan untuk
berperanserta dalam proses pengambilan keputusan dan tidak dihadapkan pada
suatu “fait accompli”, akan cenderung untuk memperlihatkan kesediaan yang lebih
besar guna menerima dan menyesuaikan diri dengan keputusan tersebut.

4/16
3. Membantu perlindungan hukum. Peran serta pada dasarnya dapat mencegah
timbulnya pengajuan gugatan oleh masyarakat. Apabila pengambilan sebuah
keputusan telah diambil dengan memperhatikan keberatan-keberatan yang
diajukan oleh masyarakat selama berlangsungnya proses pengambilan keputusan,
maka akan menghilangkan berbagai keberatan atau sumber permasalahan yang
kedepannya, mungkin berpotensi menjadi perkara di pengadilan. Selain itu, pada
saat peran serta dalam proses pengambilan keputusan, maka berbagai alternatif
dapat dan memang akan dibicarakan, setidak-tidaknya sampai suatu tingkatan
tertentu. Sebaliknya, apabila sebuah perkara sampai pada pengadilan, maka
lazimnya perkara tersebut hanya terbatas atau memusatkan pada suatu persoalan
tertentu saja, sehingga tidak terbuka kesempatan untuk memberikan saran atau
alternatif pertimbangan lainnya.
4. Mendemokratisasikan pengambilan keputusan. Dalam hubungan dengan peran
serta masyarakat ini, ada pendapat yang menyatakan, bahwa dalam pemerintahan
dengan sistem perwakilan, maka hak untuk melaksanakan kekuasaan ada pada
wakil-wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat. Dengan demikian, tidak ada keharusan
adanya bentuk-bentuk dari peran serta masyarakat karena wakil-wakil rakyat itu
bertindak untuk kepentingan rakyat. Dikemukakan pula argumentasi, bahwa dalam
sistem perwakilan, peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan
administratif akan menimbulkan masalah keabsahan demokratis, karena warga
masyarakat, kelompok atau organisasi yang turut serta dalam proses pengambilan
keputusan tidaklah dipilih atau diangkat secara demokratis. Terhadap kritik-kritik
tersebut di atas, Gundling mengemukakan tanggapannya, yaitu : (1) bahwa
demokrasi dengan sistem perwakilan adalah satu bentuk demokrasi, bukan satu-
satunya; (2) bahwa sistem perwakilan tidak menutup bentuk-bentuk demokrasi
langsung; dan (3) bahwa bukanlah warga masyarakat, sekelompok warga
masyarakat atau organisasi yang sesungguhnya mengambil keputusan; mereka
hanya berperan serta dalam tahap-tahap persiapan pengambilan keputusan.
Monopoli Negara dan lembaga-Iembaganya untuk mengambil keputusan tidaklah
dipersoalkan oleh adanya peran serta masyarakat ini. Peran serta masyarakat
dapatlah dipandang untuk membantu Negara dan lembaga-lembaganya guna
melaksanakan tugas dengan cara yang lebih layak diterima dan berhasil guna.

Tangga Partisipasi Arnsteins Ladder[x]


Keterlibatan masyarakat dalam proses perencanaan di Amerika Serikat diilustrasikan
oleh Arnsteins melalui suatu tangga partisipasi masyarakat yang dikenal dengan istilah
“Arnsteins Ladder”. Tujuan Arnstein mengembangkan tangga arnstein adalah untuk
menggambarkan bagaimana kelompok masyarakat yang tidak memiliki pengaruh (the
have-not citizens) cenderung dieksploitasi dalam proses pengambilan keputusan oleh
pemegang kekuasaan. Selain itu, Arnstein juga menggambarkan seberapa besar kekuatan
yang dimiliki pemangku kepentingan dalam menentukan produk akhir atau pengambilan
keputusan.

5/16
Tangga Arnsteins dapat menunjukkan tingkat proses partisipasi mayarakat mulai dari
yang terendah hingga tingkat tertinggi. Penyusunan tingkatan tangga didasarkan atas
delapan tingkatan tangga yang menggambarkan tingkat keterlibatan masyarakat serta
kekuatan yang diberikan kepada masyarakat melalui proses partisipasi masyarakat.
Berikut ini disajikan gambar Tangga Partisipasi Arnstein.

Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup 2

Kedelapan anak tangga seperti terlihat pada gambar, dikelompokan atas 3 sifat
kekuasaan yang dimiliki masyarakat dalam proses partisipasi untuk pengambilan
keputusan, yaitu bersifat Non Participation (tidak ada kekuasaan). 2. Tokenism
(cenderung formalitas), dan 3. Citizen Power (pengambilan keputusan oleh masyarakat).

Arnstein mengilustrasikan anak tangga yang terendah tingkatannya adalah 1. Manipulasi


atau rekayasa (Manipulation) dan 2. Terapi (Therapy). Kedua anak tangga tersebut
menggambarkan tingkat “non-participation” karena minimnya kekuasaan yang diberikan
kepada masyarakat. Dimana pemegang kekuasaan menganggap, bahwa keputusan yang
dibuatnya adalah keputusan atau obat yang “terbaik” bagi masyarakat, sehingga mereka
berupaya untuk mempengaruhi partisipasi dengan mendidik (educate) atau menawarkan
obat (cure) kepada masyarakat.

6/16
Partisipasi yang manipulatif seperti partisipasi yang direkayasa pemegang kekuasaan
dengan tujuan menimbulkan anggapan, bahwa partisipasi sudah diselenggarakan.
Arnstein memberikan contoh, dimana masyarakat diangkat dalam suatu lembaga atau
komite untuk sarana menyerap aspirasi publik, kenyataannya lembaga tersebut tidaklah
memiliki fungsi atau kekuasaan dalam pengambilan keputusan. Sehingga tidak lebih dari
sekedar proses pemberian informasi, pendidikan, bujukan, nasihat atau sebatas
sosialisasi dari pemegang kekuasaan kepada masyarakat yang ada dalam lembaga
tersebut. Meskipun ada kesan partisipasi telah diselenggarakan dengan mengangkat
warga dalam lembaga terkait, namun kenyataanya tidak terjadi adanya diskusi antara
pemegang kekuasaan dan masyarakat yang lazim menjadi tujuan dari proses partisipasi
masyarakat.

Berikutnya Therapy, digambarkan Arnstein dengan kasus, dimana seorang ayah


membawa bayinya ke gawat darurat rumah sakit setempat. Kemudian seorang dokter
muda menyarankan untuk membawa pulang bayinya dan memberinya air gula. Sorenya,
bayi itu meninggal karena dehidrasi dan radang paru-paru. Sang ayah pergi untuk
mengadu, lalu ketika seharusnya penyelidikan prosedur rumah sakit untuk mencegah
peristiwa serupa berulang di masa depan, masyarakat setempat malah mengundang sang
ayah ke beberapa jenis sesi pendidikan penitipan anak. Kemudian rumah sakit
memberikan janji (penenang) kepadanya, bahwa seseorang akan membuat panggilan
telepon ke rumah sakit untuk memastikan peristiwa yang menimpanya tidak akan
terulang kembali. Ini tentu saja merupakan contoh terapi yang sangat dramatis tetapi ada
lebih banyak cara untuk “mendiamkan” masyarakat. Hanya dengan berasumsi, bahwa
karena mereka tidak memiliki kekuatan maka mereka sakit jiwa. Itulah sebabnya bentuk
partisipasi ini disebut terapi, menempatkan warga negara untuk bekerja mengubah diri
mereka sendiri, daripada memberi mereka suara dalam prosedur partisipasi.

Secara lebih sederhana, mungkin para buruh dan mahasiswa di Indonesia yang
berpartisipasi untuk menolak terbitnya Revisi KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana) dan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) pernah merasakan bentuk Therapy.
Ketika aspirasi mahasiswa cenderung dikerdilkan, dengan mengalihkan pembahasan
pada persoalan, belum dibacanya ribuan halaman dari KUHP dan UUCK oleh para
mahasiswa. Sedangkan pembahasan tentang hak atau suara buruh dan mahasiswa
sebagai bentuk peran sertanya, cenderung diabaikan dan tidak dipersoalkan.

Anak tangga berikutnya bersifat tokenisme atau cenderung formalitas belaka, yaitu anak
tangga Menginformasikan (Informing) dan Konsultasi (Consultation). Kedua anak
tangga ini memberikan akses agar suara masyarakat didengar oleh pemegang kekuasaan
pengambil keputusan. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang hak, tanggung
jawab, dan pilihan mereka dapat menjadi langkah awal yang penting menuju partisipasi
masyarakat yang ideal. Namun, apabila arus informasi yang terjadi hanya satu arah dari
pemegang kekuasaan kepada masyarakat, tanpa disertai saluran umpan balik, maka
sesungguhnya negosiasi dalam partisipasi tersebut tidaklah terjadi. Sarana yang sering
digunakan melalui media berita, pengumuman, pamflet, poster, dan tanggapan terhadap
pertanyaan.

7/16
Selanjutnya Anak tangga konsultasi digambarkan, dimana masyarakat diminta untuk
memberikan suaranya sebagai bentuk partisipasi oleh pemegang kekuasaan, sehingga
terlihat kesan masyarakat telah berpartisipasi dan didengarkan. Tetapi apabila
masyarakat tidak dapat memastikan, bahwa suara atau gagasan yang telah diberikan
diperhatikan oleh pemegang kekuasaan, maka suara yang telah diberikan tidaklah
berguna. Dengan kata lain, tidak ada jaminan mengubah keadaan sebelumnya (status
quo).

Sedangkan anak tangga yang kelima (5) adalah Placation atau suatu bentuk partisipasi
yang bertujuan untuk menenangkan masyarakat, sehingga mencegah adanya penolakan,
perlawanan dan sikap permusuhan. Anak tangga sesungguhnya bersifat tokenisme,
meskipun pada tingkatan yang lebih baik dari anak tangga sebelumnya. Dimana
masyarakat dapat memberikan saran atau pendapat, tetapi kekuasaan pengambilan
keputusan tetaplah sama, bukan pada masyarakatnya.

Arnstein mencontohkan strategi “penenang” dimana beberapa masyarakat miskin yang


“layak” dipilih dalam suatu dewan atau Badan publik seperti dewan pendidikan, komisi
kepolisian, atau otoritas perumahan. Apabila perwakilan terpilih kenyataannya tidak
bertanggung jawab pada konstituennya dan jika pemegang kekuasaan memiliki mayoritas
kursi, maka suara masyarakat sesungguhnya sangatlah lemah dan mudah disingkirkan.
Contoh lainnya adalah dalam suatu komite penasihat dan perencanaan kota. Dimana
komite mengizinkan warga untuk menasihati atau merencanakan pembangunan, tetapi
kenyataanya tetap mempertahankan kekuasaan dan wewenang dalam menilai keabsahan
atau kelayakan nasihat dari masyarakat. Sejauh mana masyarakat benar-benar
ditenangkan, tentu sangat tergantung pada dua faktor: kualitas bantuan teknis yang
mereka miliki dalam mengartikulasikan prioritas masyarakat; dan sejauh mana
komunitas telah diorganisasikan untuk menekan prioritas tersebut.

Tiga tangga yang terakhir merupakan tingkatan kekuasaan terbesar partisipasi dalam
pengambilan keputusan. Masyarakat yang berpartisipasi pada tangga ke-enam (6), yakni
Kemitraan (Partnership) memungkinkan masyarakat untuk bernegosiasi dan terlibat
dalam pertukaran informasi atau pengetahuan dengan pemegang kekuasaan. Pada tangga
ini, Arnstein menggambarkan keadaan dimana pemegang kekuasaan menyusun struktur
pengambilan keputusan yang memungkinkan masyarakat memiliki pengaruh besar
dalam pengambilan keputusan. Selain itu, masyarakat juga diberikan pendanaan, waktu
untuk memahami informasi yang diberikan, serta bantuan lainnya dalam rangka
menunjang partisipasinya oleh pemegang kekuasaan.

Pada anak tangga ketujuh (7), yaitu Kekuasaan yang Didelegasikan (Delegated Power)
digambarkan melalui struktur kelembagaan pengambilan keputusan, dimana sebagian
besar kekuasaan diberikan kepada masyarakat. Dengan begitu masyarakat memiliki
pengaruh yang sangat dominan dalam setiap pengambilan keputusan. Contoh lainnya
adalah dengan menyerahkan seluruh anggaran untuk partisipasi masyarakat, kepada
suatu lembaga khusus dibentuk oleh masyarakat dalam rangka memastikan pelaksanaan
partisipasi masyarakat berlangsung lebih independen tanpa adanya pengaruh yang
signifikan dari pemegang kekuasaan. Model lain adalah kelompok warga dan pemegang
kekuasaan yang terpisah dan paralel, dengan ketentuan veto warga negara jika perbedaan

8/16
pendapat tidak dapat diselesaikan melalui negosiasi. Ini adalah model koeksistensi yang
sangat menarik untuk kelompok warga yang bermusuhan yang terlalu sakit hati untuk
terlibat dalam perencanaan bersama, akibat proses peran serta di masa lalu.

Anak tangga terakhir adalah kekuasaan di tangan masyarakat (Citizen Control). Pada
anak tangga ini, masyarakat diberikan tingkat kekuasaan (atau kontrol) yang dapat
menjamin, bahwa masyarakat dapat mengatur program atau lembaga yang dibentuk,
serta bertanggung jawab penuh atas aspek kebijakan dan manajerial, dan dapat
menegosiasikan kondisi di mana “pihak lain” dapat mengubah suara masyarakat.
Meskipun umumnya tidak akan ada masyarakat yang dapat memperoleh kekuasaan
mayoritas pengambilan keputusan secara penuh (absolut), karena pemegang kekuasaan
adalah pelaksana program, namun penting mengatur strategi agar partisipasi masyarakat
berjalan secara ideal.

Meskipun Tangga Arnstein memang merupakan suatu penyederhanaan dari berbagai


macam bentuk partisipasi publik, dimana diseluruh dunia mungkin terdapat lebih dari
150 anak tangga. Namun, dengan adanya pengkualifikasian 8 anak tangga Arnstein tetap
sangat berguna sebagai panduan untuk melihat bentuk partisipasi masyarakat seperti apa
yang dijalankan serta siapakah sesungguhnya pemegang kekuasaan dalam proses
penyelenggaraan partisipasi.

Kedelapan anak tangga dapat membantu memahami perbedaan partisipasi dalam


tingkatan ideal sampai tingkat manipulatif atau seremonial belaka. Sebuah poster yang
dilukis oleh mahasiswa Prancis (1968) mengilustrasikan perbedaan tingkat partisipasi
Arnstein dengan menyoroti poin mendasar, bahwa partisipasi tanpa redistribusi
kekuasaan adalah proses yang kosong dan membuat frustrasi bagi mereka yang tidak
berdaya. Sehingga partisipasi hanyalah langkah memuluskan pemegang kekuasaan untuk
mengklaim, bahwa semua pihak dipertimbangkan, namun kenyataannya, hanya beberapa
pihak saja yang diuntungkan.

Terjemahan bebas Poster mahasiswa Prancis : “Saya berpartisipasi, anda berpartisipasi,


dia berpartisipasi, kami berpartisipasi… … merekalah yang untung.”

9/16
Peran Serta Masyarakat Dalam Pengelolaan Lingkungan
Hidup 3

Prinsip Peran Serta Masyarakat Menurut Konvensi Aarhus


Konvensi Aarhus (Convention on Access to Information, Public Participation in Decision-
Making and Access to Justice in Environmental Matters) diselenggarakan pada 25 Juni
1998 oleh Komisi Ekonomi PBB untuk Eropa The United Nations Economic Commission
for Europe (UNECE) di Aarhus, Denmark. Konvensi ini bertujuan untuk memberikan
kontribusi dalam perlindungan hak setiap orang, baik generasi sekarang dan masa depan
untuk hidup dalam lingkungan, kesehatan dan kesejahteraan yang memadai. Sehingga
ketentuan yang ditetapkan dalam konvensi ini, dapat menjadi “pondasi” sekaligus acuan
utama bagi pemerintah atau perusahaan dalam rangka implementasi peran serta
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Konvensi aarhus telah menetapkan sejumlah hak masyarakat, baik perorangan maupun
kelompok terkait hak atas lingkungan hidup yang sehat. Dimana para pihak dalam
konvensi ini diminta untuk menjamin hak-hak akses ke informasi, partisipasi masyarakat

10/16
dalam pengambilan keputusan, dan akses terhadap keadilan dalam masalah-masalah
lingkungan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi ini.

Konvensi Aarhus menetapkan ketentuan [xi]:

1. hak setiap orang untuk menerima informasi lingkungan yang dipegang oleh otoritas
publik (akses ke informasi lingkungan). Ini dapat mencakup informasi tentang
keadaan lingkungan, tetapi juga tentang kebijakan atau tindakan yang diambil, atau
tentang keadaan kesehatan dan keselamatan manusia di mana hal ini dapat
dipengaruhi oleh keadaan lingkungan. Pelamar berhak untuk mendapatkan
informasi ini dalam waktu satu bulan sejak permintaan dan tanpa harus
mengatakan mengapa mereka membutuhkannya. Selain itu, otoritas publik
diwajibkan, berdasarkan Konvensi, untuk secara aktif menyebarluaskan informasi
lingkungan yang mereka miliki;
2. hak untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan lingkungan. Pengaturan
harus dibuat oleh otoritas publik untuk memungkinkan organisasi non-pemerintah
publik yang terkena dampak dan lingkungan untuk mengomentari, misalnya,
proposal untuk proyek yang mempengaruhi lingkungan, atau rencana dan program
yang berkaitan dengan lingkungan, saran dan masukan yang diberikan harus
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan, dan informasi yang akan
diberikan tentang keputusan akhir dan alasannya (partisipasi publik dalam
pengambilan keputusan lingkungan);
3. hak untuk meninjau kembali prosedur untuk menggugat keputusan publik yang
telah dibuat tanpa menghormati kedua hak tersebut di atas atau hukum lingkungan
pada umumnya (akses terhadap keadilan).

Meskipun Konvensi Aarhus hanyalah diperuntukan bagi masyarakat eropa, namun


penandatangan oleh 39 negara eropa (European Community), secara politik telah
memperkuat pengakuan atas substansinya, yaitu berupa prinsip-prinsip yang telah
ditetapkan dalam konvensi. Misalnya saja Indonesia, meskipun tidak meratifikasi
konvensi tersebut, namun telah mengadopsi substansi atau prinsip-prinsip Konvensi
Aarhus dalam Pasal 65 dan Pasal 68 Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).

Selaras dengan Konvensi Arrhus, menurut Koesnadi Hardjasoemantri peran serta


masyarakat memerlukan adanya penyaluran informasi kepada masyarakat dengan cara
yang berhasilguna dan berdayaguna. Antara lain yaitu :

11/16
Pemastian penerimaan informasi. Peraturan perundang-undangan di
berbagai negara memuat ketentuan yang mengharuskan badan-badan yang
bersangkutan untuk mengumumkan rencana kegiatan dalam penerbitan resmi dan
atau melalui media massa, baik pada tingkat lokal, propinsi maupun pada tingkat
nasional, tergantung pada ruang lingkup rencana kegiatan tersebut. Badan-badan
tersebut diwajibkan pula untuk memamerkan dalam kurun waktu tertentu
dokumen-dokumen seperti misalnya uraian proyek, permohonan izin dan sampai
batas tertentu juga laporan, hasil studi serta berbagai pendapat dan saran. Pameran
dokumen-dokumen tersebut dilakukan di tempat umum yang mudah dikunjungi
masyarakat. Di Amerika Serikat dikembangkan kebiasaan, yaitu di samping adanya
pengumuman kepada masyarakat melalui media sebagai-mana diuraikan di atas,
juga dikirimkan pemberitahuan kepada warga masyarakat, kelompok dan
organisasi konservasi alam yang menaruh perhatian. Daftar mereka ini senantiasa
dipelihara untuk keperluan pengiriman pemberitahuan, bahan-bahan, dan
sebagainya.
Informasi lintas-batas (transfrontier information). Masalah yang sangat
penting adalah yang bentuk dan kegiatan pencemaran tertentu di daerah
perbatasan yang dapat menimbulkan pencemaran lintas batas negara dan
memberikan dampak kepada warga masyarakat yang hidup di negara yang
berbatasan. Dalam hubungan ini dapat dikemukakan misalnya ketentuan yang
menyatakan bahwa badan federal Amerika Serikat harus mempertimbangkan
dampak sesuatu kegiatan federal tentang lingkungan hidup terhadap lingkungan
hidup di negara-negara lain, terhadap laut bebas, atau terhadap wilayah yang tidak
bernaung di bawah yurisdiksi nasional, seperti daerah Antartika. Untuk keperluan
ini, ketentuan menyatakan, bahwa Departemen Luar Negeri, Council on
Environmental Quality dan badan-badan federal lainnya diwajibkan guna
menyelenggarakan program yang ditujukan kepada penyediaan keterangan secara
terus-menerus mengenai keadaan lingkungan. Selain daripada itu, badan-badan
federal tertentu diwajibkan untuk menetapkan prosedur tentang bagaimana dan
bilamana negara lain yang terkena dampak itu akan diberitahukan tentang dampak
dari sesuatu kegiatan itu.
Informasi tepat waktu (timely information) Peran serta masyarakat yang
berhasilguna memerlukan informasi sedini dan seteliti mungkin. Informasi perlu
diberikan pada saat belum diambil sesuatu keputusan yang mengikat serta masih
ada kesempatan untuk mengusulkan alternatif-alternatif. Memberikan informasi
sedini mungkin ini adalah salah satu tujuan dari peraturan perundang-undangan di
Amerika Serikat, misalnya tentang keharusan secepat mungkin mengumumkan
rancangan Enviromental Impact Statement (EIS), mengingat bahwa EIS itu
merupakan sarana untuk memperkirakan dampak rencana kegiatan dan bukan
untuk membenarkan sesuatu keputusan yang telah diambil.

12/16
Informasi lengkap (comprehensive information). Mengenai isi yang perlu
dituangkan dalam informasi terdapat banyak perbedaan dari negara ke ‘negara.
Ketentuan yang mengatur hal ini, yang dikaitkan dengan peranserta masyarakat,
terdapat secara lebih lengkap dalam peraturan perundang-undangan di Amerika
Serikat. Draft EIS misalnya sudah harus mempertimbangkan alternatif-alternatif
lainnya mengenai sesuatu rencana kegiatan.
Informasi yang dapat dipahami (comprehensible information). Sesuatu
informasi harus dapat dipahami oleh warga masyarakat, karena kalau tidak maka
informasi tersebut tidak berguna sama sekali. Pengambilan keputusan di bidang
lingkungan hidup sering meliputi masalah-masalah yang amat kompleks dan
bersifat teknis ilmiah yang rumit. Namun tetap harus diusahakan agar informasi
mengenai masalah tersebut dapat dipahami oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam
peraturan perundang-undangan beberapa negara dimuat ketentuan mengenai
perlunya informasi disajikan dengan bahasa yang dapat dipahami.

Di Amerika Serikat terdapat ketentuan tentang rekomendasi mengenai perlunya EIS


dirancang dalam bentuk yang mudah dipahami, dengan perhatian lebih banyak diberikan
kepada isi dari informasi daripada kepada bentuk tertentu atau kepada ketentuan-
ketentuan formal lainnya. Ketentuan yang sama terdapat di Republik Federasi Jerman
mengenai prosedur perizinan. Para, pemohon izin diwajibkan menyampaikan uraian
singkat mengenai proyek mereka dengan cara yang mudah dipahami oleh masyarakat
tentang dampak potensial yang ditimbulkan oleh proyek tersebut terhadap lingkungan.

Peran Serta Masyarakat Menurut UUPPLH (Peran Serta Amdal


Pasca UUCK dan Putusan MK)
Pasal 70 Ayat (1) UUPPLH telah menegaskan, bahwa masyarakat memiliki hak dan
kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.

Tujuannya untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan


lingkungan hidup; b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan
kemitraan; c. Menumbuh-kembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat; d.
Menumbuh-kembangkan ketanggap-segeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan
sosial; dan e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Berdasarkan kedua ketentuan tersebut, sesungguhnya UUPPLH telah menggariskan


adanya pengakuan dan manfaat dari peran serta masyarakat dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Namun, setelah terbitnya Undang-Undang No 11 Tahun 2020 Tentang
Cipta Kerja (UUCK) timbul polemik terkait pandangan adanya reduksi peran serta
masyarakat dalam proses Amdal. Penilaian itu disampaikan salah satu Pakar hukum
Lingkungan Andri G. Wibisana, yang menilai peran serta masyarakat dalam UUPPLH
semakin lemah pasca UUCK.[xii]

13/16
Dalam Webinar “Urun Rembug” yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Lingkungan
Hidup Universitas Gadjah Mada (PSLH UGM) Seri ke-13 pada tanggal 15 Desember 2021,
Ary Sudijanto selaku Direktur Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan Kegiatan
(PDLUK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menepis anggapan
tersebut. Menurutnya, proses konsultasi publik atau terkait keterlibatan masyarakat
dalam Amdal tidak mengalami reduksi.

Menurut Ary yang menjadi salah satu pembicara dalam Webinar bertema “Amdal Pasca
Judicial Review MK Atas UU Cipta Kerja” tersebut, perubahan pengaturan Pasal 26
UUPPLH tentang keterlibatan masyarakat dalam proses Amdal hanya bertujuan untuk
mereduksi kewajiban pemrakarsa (pelaku usaha), dalam proses penyusunan Amdal.
Sedangkan untuk keterlibatan masyarakat dalam Proses Amdal, baik pemerhati
lingkungan atau masyarakat non terdampak, tetap diberikan akses dalam proses
penilaian Amdal yang telah disusun oleh Pemrakarsa. Dengan kata lain, tujuannya adalah
mengurangi kewajiban pelaku usaha, dengan tetap memastikan adanya akses peran serta
seluruh masyarakat dalam Proses Penilaian Amdal.

Watch Video At: https://youtu.be/0tRClDVcxr4

Lihat streaming dalam (https://www.youtube.com/watch?v=0tRClDVcxr4&t=1440s)

Pada Webinar tersebut Ary Sudijanto berharap, agar jangka waktu yang diamanatkan
dalam putusan MK tentang tentang UUCK dapat menjadi momentum pembuktian kinerja
yang telah dicapai, berupa perubahan pengaturan yang terbit dalam rangka
melaksanakan amanat UUCK. Meskipun, KLHK pada dasarnya tidaklah menutup
kemungkinan adanya proses perbaikan kembali, apabila kedepannya masih terdapat
peraturan yang dirasa belum baik atau belumlah optimal.

14/16
Pada akhir acara Urun Rembug timbul sebuah harapan, agar Pasca putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tentang Undang-Undang Cipta Kerja seluruh
pihak dapat ikut memantau kinerja berbagai perubahan substansi pengaturan tentang
perlindungan lingkungan yang telah dihasilkan. Termasuk implementasi peran serta
masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup tentunya. Sehingga dibutuhkan
dukungan seluruh pihak dalam proses pembenahan untuk pengaturan yang terbaik
terkait implementasi Amdal. Apabila masih ditemukan adanya kekurangan dan
implementasi yang patut dibenahi, maka pembenahan tidak hanya berlangsung dalam
waktu 2 tahun sebagai amanat Putusan MK, namun tentu saja untuk seterusnya…

[i] Lihat dalam Amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020


tentang Undang-Undang Cipta Kerja

[ii] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

[iii] Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

[iv] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Airlangga University Press, Edisi Keempat, Surabaya, 2015, hlm. 290

[v] Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional,
Airlangga University Press, Edisi Keempat, Surabaya, 2015, hlm. 283

[vi] Lihat Deklarasi Rio Tahun 1992 dalam


(https://www.un.org/en/development/desa/population/migration/generalassembly/doc
s/globalcompact/A_CONF.151_26_Vol.I_Declaration.pdf)

[vii] Agung Wardana, “Hak Atas Lingkungan: Sebuah Pengantar Diskusi”, Tulisan
disajikan pada Karya Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu) Lembaga Bantuan Hukum
(LBH) Bali pada Jumat, 20 April 2012 di Denpasar. sumber
(https://media.neliti.com/media/publications/29371-ID-hak-atas-lingkungan-sebuah-
pengantar-diskusi.pdf)

[viii] Koesnadi Hardjasoemantri, Aspek hukum Peran Serta Masyarakat Dalam


Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1986.

[ix] Koesnadi Hardjasoemantri, Aspek hukum Peran Serta Masyarakat Dalam


Pengelolaan Lingkungan Hidup, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1986.

[x] Baca lebih lanjut dalam: Sherry R. Arnstein (2019) A Ladder of Citizen Participation,
Journal of the American Planning Association, 85:1, 24-34, DOI:
10.1080/01944363.2018.1559388

[xi] Lihat text lengkap konvensi aarhus dalam:


(https://ec.europa.eu/environment/aarhus/)

[xii] Baca dalam: (https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f981318c8f7d/guru-


besar-fhui–uu-cipta-kerja-sektor-lingkungan-tidak-lebih-baik-dibanding-uu-pplh?
page=all)

15/16
Penulis: Faisol Rahman
Editor: Zakky Ahmad

16/16

You might also like