You are on page 1of 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Deskripsi Kasus

1. Definisi kasus developmental delay

Developmental delay adalah ketinggalan secara signifikan pada fisik,

kemampuan kognitif, perilaku, emosi, atau perkembangan sosial seorang anak bila

dibandingkan dengan anak normal seusianya. Seorang anak dengan developmental

delay akan tertunda dalam mencapai satu atau lebih perkembangan kemampuannya.

Suatu keadaan ditemukannya keterlambatan yang bermakna lebih atau sama dengan 2

aspek perkembangan. Keterlambatan yang dimaksud adalah pencapaian kemampuan

tertinggal 2 standar deviasi (SD) dibandingkan dengan rata-rata populasi pada umur

yang sesuai. Tumbuh kembang dikatakan terlambat jika seorang anak tidak mencapai

tahap pertumbuhan dan perkembangan yang diharapkan pada umur yang semestinya.

(Salimo, dkk, 2013)

2. Patologi developmental delay

Developmental delay disebabkan karena kurangnya suatu rangsangan pada

anak, rangsangan harus diberikan sedini mungkin dan sesering mungkin untuk

meningkatkan perkembangan anak agar lebih cepat berkembang dan lebih terarah.

Maka suatu rangsangan sangat penting untuk diberikan kepada anak yang mengalami

5
6

gangguan perkembangan seperti keterlambatan perkembangan. Keterlambatan

perkembangan juga bisa disebabkan karena hipotonus otot tubuh dan gangguan

kontrol kepala. Dengan terganggunya kontrol kepala maka akan berakibat pada

gangguan yang selanjutnya, seperti kontrol gerak dan gangguan kontrol postur.

Selain itu, developmental delay berawal dari munculnya reflek primitif yang

seharusnya menghilang sebelum gerak dapat dilakukan. Maturasi saraf tingkat spinal,

brain steam, midbrain dan cortical menyebabkan gerak reflek tergantikan dengan

gerakan volunter. Namun perkembangan tersebut tidak disebabkan oleh maturasi

saraf saja. Melainkan diperlukan latihan stimulasi untuk mengoptimalkannya.

(Soetjiningsih, 2012).

3. Tanda dan gejala

Adanya keterlambatan perkembangan adalah anak tetap mengalami kemajuan

yang lambat tetap menyimpang dari rentang normal menurut usianya dan

kemungkinan perkembangannya mendatar atau mundur. Perbedaan perkembangan

normal dan abnormal menjadi semakin besar dan semakin jelas dengan meningkatnya

usia memerlukan penilaian dan pemeriksaan lanjut untuk menentukan penyebab dan

pertolongan yang terbaik. (Salimo, dkk, 2013)

Tanda dan gejala developmental delay antara lain: (1) Anak belum mampu

duduk mandiri atau tanpa bantuan saau usia 8 bulan, (2) Belum mampu merangkak

pada usia 12 bulan, (3) Kemampuan sosial/interaksi yang buruk, (4) Umur 6 bulan

belum mampu untuk berguling secara mandiri, (5) Memiliki masalah komunikasi.
7

4. Prognosis

Secara umum, perjalanan penyakit developmental delay tidak memburuk

seiring dengan waktu pertumbuhan anak. Prognosis anak developmental delay

tergantung pada diagnosis yang mendasari, pengobatan yang sedini mungkin, dan

banyaknya stimulasi yang diberikan pada anak serta dukungan dari orang tua.

Semakin banyak stimulasi dan dukungan dari orang tua kepada anak maka

pertumbuhan dan perkembangan anak akan semakin optimal.

3. Reflek pada bayi

Reflek mengatur pergerakan bayi yang baru lahir yang otomatis dan diluar

kendali bayi tersebut. Secara genetik, reflek membuat mekanisme pertahanan hidup

yang memungkinkan untuk merespon secara adaptif terhadap lingkungan sebelum

memiliki kesempatan untuk belajar. (Santrock, 2009)

Jenis reflek pada bayi di bagi menjadi 4 level yaitu: spinal level, brainsteam

level, mid brain level, dan cortical level. Reflek pada bayi dan level reflek dapat

dilihat pada tabel 2.1 dan 2.2.


8

TABEL 2.1

JENIS REFLEKS PADA BAYI

Kategori Refleks Eksistensi


Neonatal Moro Natal – 6 bulan
Crossed ekstensor Natal – 1 / 2 bulan
Fleksor withdrawal Natal – 1 / 2 bulan
Ekstensor thrust Natal – 1 / 2 bulan
Reflek walking Natal – 6 bulan
Grasp reflek Natal – 6 bulan

Postural Tonic labyrinthine Natal – 6 bulan


ATNR 2 – 6 bulan
STNR 4 / 6 – 10 bulan
Supporting reaction Natal – 2 bulan

Righting dan protective Neck labyrinthine Natal – 4 / 6 bulan


Optical 2 bulan – akhir hayat
Body on body 7 / 12 bulan – akhir hayat
Protective – ekstension :
Forwards 7 / 12 bulan – akhir hayat
Sideways 6 / 9 bulan – akhir hayat
Backward 10 bulan – akhir hayat
Landau 3 / 6 bulan – 1 / 2 tahun
Sumber: (Campbell, dkk, 2006)
9

Disamping jenis refleks tersebut, ada juga level refleks pada bayi yaitu :

TABEL 2.2
LEVEL REFLEKS PADA BAYI

SPINAL LEVEL BRAIN STEAM MIDBRAIN CORTICAL


LEVEL LEVEL LEVEL
Fleksor ATNR Neck Righting Optical Righting
Withdrawal
Ekstensor Thrust STNR Body Righting
Crossed Tonic Labyrinthine Labyrinthine
Ekstension Supine Righting on the
Head
Tonic Labyrinthine
Prone
Possitive
Supporting
Reaction &
Negative
Supporting
Reaction
Sumber : (Campbell, dkk, 2006)

B. Problematika Fisioterapi

Berdasarkan international classification of function (ICF) problematik

fisioterapi dibagi menjadi tiga yaitu impairment, functional limitation, dan

participation restriction. Problematika fisioterapi yang terjadi pada anak dengan

kondisi developmental delay adalah :


10

1. Impairment

Impairment merupakan gangguan kapasitas fisik yang berhubungan

dengan aktifitas fungsional dasar. Impairment yang biasa terjadi pada anak DD

adalah (1) adanya hipotonus otot, (2) adanya gangguan kontrol kepala, (3)

gangguan kontrol gerakan, dan (4) adanya refleks yang belum hilang.

2. Functional limitation

Functional limitation merupakan hambatan seorang dalam melakukan

aktifitas fungsional dasar bagi dirinya sendiri. Functional limitation yang biasa

terjadi pada anak developmental delay adalah anak belum mampu berdiri dan

berjalan sesuai dengan usia perkembangannya.

3. Participation restriction

Pariticipation restriction merupakan keterbatasan seseorang dalam

melakukan aktifitas dalam berinterkasi dengan teman-teman di lingkungan sekitar

rumahnya.

C. Teknologi Intervensi

Di dalam karya tulis ilmiah ini, penulis menggunakan modalitas fisioterapi

berupa neuro developmental treatment.


11

1. Neuro developmental treatment

Neuro developmental treatment pertama kali dikenalkan dengan istiah

pendekatan Bobath yang dikembangkan oleh Berta Bobath seorang fisioterapis,

dan dr. Karel Bobath pada akhir 1940an, untuk memenuhi kebutuhan orang-orang

dengan gangguan gerak. Neuro developmental treatment dianggap sebagai

pendekatan managemen terapi yang komprehensif karena di dalam metode

latihannya mengajarkan ke fungsi motorik sehari-hari yang relevan. Metode ini

khusunya ditujukkan untuk menangani ganggua saraf pusat pada bayi dan anak-

anak. Agar lebih efektif, penanganan harus dimulai secepatnya, sebaiknya

sebelum anak berusia 6 bulan. (Lee, KH, et al, 2017)

Neuro developmental treatment merupakan salah satu pendekatan yang

paling umum digunakan untuk terapi anak-anak pada kondisi cerebral palsy.

Kemudian metode ini digunakan juga untuk kondisi gangguan perkembangan

pada anak lainnya. Pendekatan neuro developmental treatment melatih reaksi

keseimbangan, gerakan, dan fasilitasi. Neuro developmental treatment adalah

metode terapi yang popular dalam pendekatan intervensi bayi dan anak-anak

dengan disfungsi neuromotor. (Uyanik dan Kayihan, 2013)

2. Konsep neuro developmental treatment

Konsep dari neuro developmental treatment adalah pengamatan klinis

yang cermat pada kasus hemiplegia, cerebral palsy, down syndrome dan

gangguan perkembangan motorik lainnya. Metode neuro developmental treatment

bertujuan untuk optimalisasi fungsi dengan peningkatan kontrol postural gerak


12

selektif melalui fasilitasi. Kurangnya masukan sensorik atau persepsi dapat

bersifat premier (karena kerusakan otak). Gangguan pengalaman sensorik-motorik

akan mempengaruhi postur kontrol dan bodyawareness yang jelek. (Velickovic

dan perat, 2005)

Prinsip-prinsip neuro developmental treatment adalah dengan mengontrol

dan menghambat gerakan abnormal dan memberikan fasilitasi dan stimulasi untuk

membentuk automatik postural reactions. Terapis mengkombinasikan berbagai

teknik stimulasi untuk mengurangi kelainan postural dan fasilitasi gerak dengan

mengirimkan berbagai pengalaman sensori-motor untuk melatih gerakan

fungsional pada anak. (Velickovic dan perat, 2005).

3. Mekanisme teknologi intervensi

Setelah mendapatkan tonus postur yang baik, pasien perlu belajar untuk

bergerak dalam berbagai kombinasi ke pola gerak normal. Hanya dengan rasa

mendekati pola yang normal dengan gerakan aktif dan sedikit usaha pasien akan

belajar untuk merasakan pola tersebut. Selama pekembangan normal anak, pada

awalnya ada pengaruh refleks tonik yang kemudian menghilang dan ditekan oleh

pengemabangan righting reactions. Kemudian di integrasikan ke dalam reaksi

keseimbangan dan voluntary movements. Pengetahuan ini membantu mereka

melakukan latihan yang lebih dinamis fasilitasi urutan righting reactions

keseimbangan dan reaksi otomatis lainnya. (Velickovic dan perat, 2005)

Fasilitasi adalah proses intervensi yang menggunakan teknik perbaikan

tonus postural dalam aktifitas yang terarah. Pasien aktif dan terapis membimbing
13

dan mengendalikan kegiatan. Fasilitasi membuat gerakan lebih dan menjadi

mungkin untuk dilakukan. Terapis harus membuat gerakan yang mudah bagi

anak, menyenangkan dan aman, sehingga anak suka bergerak dan termotivasi

untuk melakukan gerakan tersebut. (Velickovic dan perat, 2005)

Terapi dengan menggunakan metode neuro developmental treatment

sebaiknya dilakukan secara berkala sesuai dengan waktu yang ditentukan. Berikut

ini adalah latihan yang akan diberikan terapis :

1) Mobilisasi anggota gerak

Untuk ekstremitas bawah, posisi pasien tidur terlentang dengan salah satu

tungkai tetap lurus, kemudian terapis menggerakkan tungkai yang satunya

menekuk ke arah dada, fleksi hip, fleksi knee dan dorsal fleksi ankle. Lakukan

gerakan dengan LGS penuh, kemudian luruskan kembali. Lakukan secara

bergantian tungkai yang lainnya, masing-masing gerakan dilakukan delapan kali

pengulangan.

2) Aproximasi tangan dan tungkai

Aproximasi bertujuan untuk meningkatkan tonus otot. Pelaksanaannya

posisi anak tidur terlentang, kemudian pegang satu tangan anak dan gerakkan

dorong untuk saling mendekatkan sendi, gerakkan secara perlahan dan lakukan

pada tangan yang satunya, dilakukan juga pada kedua tungkainya. Setiap gerakan

dilakukan delapan kali pengulangan.


14

3) Fasilitasi duduk tegak

Fasilitasi ini bertujuan untuk koreksi postur pasien dan memfasilitasi anak

untuk duduk tegak. Fasilitasi untuk duduk tegak dengan cara pasien diposisikan

duduk long sitting, terapis berada dibelakang pasien. Kemudian melakukan

handling atau pegangan pada satu tangan di sternum, satu tangan pada vertebra

lumbal dengan pegangan lumbrical, kemudian ditekan agar anak duduk tegak

serta lakukan pembenaran postur dengan mengoreksi bahunya sedikit

diretraksikan kepala anak akan tegak.

4) Fasilitasi merangkak

Fasilitasi merangkak bertujuan untuk penguatan otot-otot pada tangan

anak. Fasilitasi merangkak dapat dilakukan dengan cara posisikan anak bersujud,

kemudian untuk penguatan tekan ke bawah kedua bahu anak.

5) Fasilitasi berdiri

Posisi pasien dengan jongkok dan posisi terapis dibelakang pasien

kemudian pegangan terapis pada lutut pasien. Lalu gerakan fleksi trunk kepala

menunduk ke bawah. Kemudian terapi membantu pasien untuk berdiri dengan

fiksasi pada gluteus maximum atau bisa juga dengan baju pasien.

You might also like