You are on page 1of 37

BAB I

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek
tanpa adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini
meliputi seluruh pancaindra. Halusinasi merupakan salah satu gejala
gangguan jiwa yang pasien mengalami perubahan sensori persepsi,
serta merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan,
pengecapan perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan stimulus
yang sebetulnya tidak ada.( AH Yusuf, Ryski & Hanik (2015.120)
25% dari penduduk dunia pernah menderita masalah
kesehatan jiwa, 1% diantaranya adalah gangguan jiwa berat. Di
Indonesia rata – rata penderita gangguan jiwa berat misal halusinasi,
ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir, serta
tingkah laku aneh.Data yang dikeluarkan oleh World Health
Organization (WHO) pada tahun 2006 menyebutkan bahwa
diperkirakan 26 juta penduduk Indonesia mengalami gangguan
kejiwaan, dari tingkat ringan hingga berat. Klien dengan Schizofrenia
memiliki 5 (lima) gejala positif dan salah satu gejala yang paling umum
muncul adalah halusinasi penglihatan dan halusinasi pendengaran.
Klien dengan halusinasi pendengaran dan penglihatan seringkali
mendengar suara-suara dan melihat suatu objek yang langsung
ditunjukkan pada klien dan biasanya isi suara dan objek yang dilihat
tersebut tidak menyenangkan, bersifat menghina dan menuduh (WHO
tahun 2016).
Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia menurut
Kemenkes (2020) mencatat selama pandemic covid-19 hingga Juni
2020, ada sebanyak 277 ribu kasus kesehatan jiwa di Indonesia
diantaranya 3,6% menderita cemas, 4,4% menderita depresi. jumlah

1
2

kasus kesehatan jiwa mengalami peningkatan dibandingkan 2019


yang hanya 197 ribu orang.
Pasien dengan halusinasi jika tidak segera ditangani akan
memberikan dampak yang buruk bagi penderita, orang lain, ataupun
lingkungan di sekitarnya, karena pasien dengan halusinasi akan
kehilangan kontrol dirinya. Pasien akan mengalami panik dan
perilakunya dikendalikan oleh halusinasinya, pada situasi ini pasien
dapat melakukan bunuh diri (suicide), membunuh orang lain
(homicide), bahkan merusak lingkungan (Keliat, 2015).
Peran perawat dalam menangani halusinasi di Rumah Sakit
salah satunya melakukan penerapan standar asuhan keperawatan
yang mencakup penerapan strategi pelaksanaan halusinasi. Strategi
pelaksanaan adalah penerapan standar asuhan keperawatan
terjadwal yang diterapkan pada pasien yang bertujuan untuk
mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani. Strategi
pelaksanaan pada pasien halusinasi mencakup kegiatan mengenal
halusinasi, mengajarkan pasien menghardik halusinasi, bercakap-
cakap dengan orang lain saat halusinasi muncul, melakukan aktivitas
terjadwal untuk mencegah halusinasi, serta minum obat dengan
teratur (Akemat dan Keliat, 2010).
Upaya kesehatan jiwa ditujukan pada seluruh lapisan
masyarakat, bukan hanya pada individu yang sakit atau keluarga dari
indvidu tersebut, atau bukan pula hanya pada seseorang yang
mempunyai masalah psikososial saja tetapi yang tidak bermasalah
juga perlu diintervensi yang bertujuan untuk mencegah agar tidak
terjadi gangguan jiwa pada individu tersebut. Banyaknya tekanan
maupun kesulitan yang dihadapi individu dalam kehidupan ini berarti
semakin banyak pula masalah yang dihadapi, hal ini mempengaruhi
status kesehatan jiwa atau perkembangan jiwa seseorang yang
3

akhirnya berakibat pada gangguan jiwa, jika seseorang tidak memiliki


koping yang efektif untuk menyelesaikan untuk setiap masalah yang
dihadapi. (Depkes RI, 2011).
Untuk itu peran dan fungsi perawat sangat penting dalam
memperbaiki derajat kesehatan khususnya mengatasi masalah klien
dengan halusinasi pendengaran Dalam pelaksanaan asuhan
keperawatan meliputi aspek promotif (memberikan penyuluhan
kesehatan untuk meningkatkan status kesehatan pada klien dan
Keluarga), preventif (pada klien dengan halusinasi pendengaran yang
mengalami deficit perawatan Diri dengan teknik melatih personal
Hygiene), kuratif (memperhatikan dan mengatur klien untuk minum
obat), Rehabilitatif (memperhatikan dalam perbaikan fisik dan
perawatan diri yang optimal pada klien).
Data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Kota Tual jumlah
pasien jiwa pada tiga tahun terakhir sebanyak 310 pasien, terdiri dari
tahun 2018 sebanyak 105 pasien (skizofrenia 45 orang, depresi 23
orang, epilepsy 6 orang, psikotik 15 orang, NAPZA 1 orang, retradasi
mental 1 orang, gangguan neurotik 2 orang, gangguan mental organ
10 orang, gangguan mental 2 orang), tahun 2019 sebanyak 107
pasien (skizofrenia 51 orang, depresi 25 orang, epilepsy 7 orang,
psikotik 7 orang, NAPZA 2 orang, retradasi mental 1 orang, gangguan
neurotik 2 orang, gangguan mental organ 10 orang, gangguan mental
2 orang), dan tahun 2020 sebanyak 119 pasien (skizofrenia 58 orang,
depresi 28 orang, epilepsy 7 orang, psikotik 8 orang, NAPZA 1 orang,
retradasi mental 1 orang, gangguan neurotik 2 orang, gangguan
mental organ 10 orang, gangguan mental 2 orang (Data dinas
kesehatan, 2021)
Berdasarkan data yang didapatkan dari Puskesmas Tual
didapatkan jumlah pasien yang menderita gangguan jiwa pada tahun
4

2018 sebanyak 33 pasien, tahun 2019 sebanyak 16 pasien, tahun


2020 sebanyak 16 dan tahun 2021 sebanyak 16 pasien diantaranya
skisofrenia sebanyak 12 pasien, halusinasi pendengaran 2 pasien dan
isolasi sosial sebanyak 2 pasien. (Rekam Medik Puskesmas Tual,
2021).
Dari hasil pengamatan bahwa pasien jiwa sering tidak
diperhatikan perawatan dirinya oleh petugas pemegang program dan
keluarga sehingga penulis tertarik untuk mengambil judul tentang
“Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Halusinasi Pendengaran
Dalam Penerapan Dukungan Perawatan Diri Di Dusun Fair Wilayah
Kerja Puskesmas Tual”
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimanakah Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Klien Halusinasi
Pendengaran Dalam Penerapan Dukungan Perawatan Diri Di Dusun
Fair Wilayah Kerja Puskesmas Tual.
1.3. Tujuan Penelitian
Menggambarkan Asuhan keperawatan Jiwa Pada Klien Halusinasi
Pendengaran Dalam Penerapan Dukungan Perawatan Diri Di Dusun
Fair Wilayah Kerja Puskesmas Tual.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Manfaat bagi klien dan keluarga
Dapat membantu klien dan keluarga untuk dapat mengetahui
tentang cara perawatan pasien halusinasi dengan penerapan
perawatan diri.
1.4.2. Manfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi keperawatan
Dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan asuhan keperawatan halusinasi dengan penerapan
perawatan diri.
5

1.4.3. Manfaat bagi peneliti selanjutnya


Asuhan keperawatan ini dapat dijadikan dasar informasi dan
pertimbangan peneliti selanjutnya untuk menambah pengetahuan
tentang asuhan keperawatan halusinasi pendengaran dengan
masalah defisit perawatan diri.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Asuhan Keperawatan halusinasi pendengaran


2.1.1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan, yang
salah satu dilakukan dalam tahap pengkajian keperawatan ini adalah
pengumpulan data. Pengumpulan data yang dikumpulkan meliputi
data pasien secara holistik, yakni meliputi aspek biologis, psikologis,
social dan spiritual. Seseorang diharapkan memiliki kesadaran atau
kemampuan tilik diri (self awareness), kemampuan mengobservasi
dengan akurat, berkomunikasi secara terapeutik, dan kemampuan
berespons secara efektif (Stuart, 2017).
Aspek yang harus dikaji selama proses pengkajian meliputi faktor
predisposisi, faktor presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber
koping, dan kemampuan koping yang dimiliki klien (Stuart, 2017).
Secara lebih terstruktur proses pengkajian keperawatan jiwa adalah
sebagai berikut :
2.1.1.1. Identitas Klien
Perawat yang merawat klien melakukan perkenalan dan
kontrak dengan klien tentang : Nama perawat, Nama klien,
Tujuan yang akan dilakukan, Waktu, Tempat pertemuan,
serta Topik yang akan datang. Usia dan No. Rekam Medik,
Agama, Alamat, Informasi keluarga yang bisa dihubungi.
2.1.1.2. Alasan Masuk
Tanyakan pada keluarga klien alasan klien dibawa kerumah
sakit jiwa, apa yang sudah dilakukan keluarga terhadap klien
sebelum klien dibawa ke rumah sakit jiwa serta hasilnya.
Pada umumnya klien dengan gangguan persepsi sensori :
halusinasi pendengaran dibawa kerumah sakit jiwa karena
keluarga merasa tidak mampu merawat klien, keluarga
merasa terganggu karena perilaku klien dan gejala yang

7
8

tidak normal yang dilakukan klien seperti mengarahkan


telinga pada sumber tertentu, berbicara atau tertawa sendiri,
marah-marah tanpa sebab, dan klien biasanya sering
menutup telinganya, sehingga keluarga berinisiatif
membawa klien kerumah sakit jiwa.
2.1.1.3. Factor Predisposisi
Tanyakan pada klien dan keluarga :
1. Apakah pernah mengalami gangguan jiwa pada masa
lalu, karena pada umumnya apabila klien dengan
gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran
walaupun sebelumnya pernah mendapat perawatan di
rumah sakit jiwa, tetapi pengobatan yang dilakukan
masih meninggalkan gejala sisa, sehingga klien kurang
dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Gejala sisa ini
disebabkan akibat trauma yang dialami klien, gejala ini
cenderung timbul apabila klien mengalami penolakan
didalam keluarga atau lingkungan sekitarnya.
2. Apakah pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik.
3. Apakah pernah mengalami penolakan dari keluarga dan
lingkungan.
4. Apakah pernah mengalami kejadian/trauma yang tidak
menyenangkan pada masa lalu.
2.1.1.4. Factor Prespitasi
Stresor presipitasi pada klien dengan halusinasi ditemukan
adanya riwayat penyakit infeksi, penyakt kronis atau kelaina
stuktur otak, kekerasan dalam keluarga, atau adanya
kegagalan kegagalan dalam hidup, kemiskinan, adanya
aturan atau tuntutan dalam keluarga atau masyarakat yang
sering tidak sesuai dengan klien serta konflik antar
masyarakat.
9

2.1.1.5. Pemeriksaan fisik


Klien dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi
pendengaran pada umumnya yang dikaji meliputi TTV
(Tekanan Darah, Nadi, Pernafasan dan suhu), Tinggi badan,
serta keluhan fisik lainnya.
2.1.1.6. psikososial
1. genogram
Genogram pada umumnya dibuat dalam 3 generasi
yakni mengambarkan garis keturunan keluarga klien,
apakah anggota keluarga ada yang mengalami
gangguan jiwa seperti yang dialami oleh klien, pola
komunikasi klien, pola asuh serta siapa pengambilan
keputusan dalam keluarga.
2. Konsep Diri
Konsep diri meliputi sebagai berikut :
a) Citra tubuh
Tanyakan persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian
tubuh yang disukai dan tidak disukai. Pada umumnya
klien dengan gangguan persepsi sensori halusinasi
pendengaran tidak ada keluhan mengenai persepsi
klien terhadap tubuhnya, seperti bagian tubuh yang
tidak disukai.
b) Identitas diri
Tanyakan kepuasan klien dengan jenis kelaminnya,
kepuasan klien dengan statusnya didalam keluarga
dan masyarakat. Pada umumnya klien dengan
gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran
merupakan anggota dari suatu masyarakat dan
keluarga. tetapi karena klien mengalami gangguan
jiwa dengan gangguan persepsi sensori : halusinasi
pendengaran maka interaksi klien dengan keluarga
10

maupun masyarakat tidak efektif sehingga klien


merasa tidak puas akan status ataupun posisi klien
sebagai anggota keluarga dan masyarakat.
c) Peran diri
Tanyakan pada klien tentang tugas/peran yang
dilakukannnya dalam keluarga di lingkungan
masyarakat. Pada umumnya klien dengan gangguan
persepsi sensori halusinasi pendengaran kurang
dapat melakukan peran dan tugasnya dengan baik
sebagai anggota keluarga dalam masyarakat.
d) Ideal diri
Tanyakan pada klien harapan terhadap penyakitnya.
Pada umumnya klien dengan gangguan persepsi
sensori : halusinasi pendengaran ingin cepat pulang
serta diperlakukan dengan baik oleh keluarga
ataupun masyarakat saat pulang nanti sehingga klien
dapat melakukan perannya sebagai anggota
keluarga atau anggota masyarakat dengan baik.
e) Harga diri
Pada umumnya klien dengan gangguan persepsi
sensori halusinasi pendengaran memiliki hubungan
yang kurang baik dengan orang lain sehingga klien
merasa dikucilkan di lingkungan sekitarnya.
3. Hubungan Social
Tanyakan kepada klien siapa orang terdekat dalam
kehidupannya, tempat mengadu, dan tempat bicara,
serta tanyakan kepada klien kelompok apa saja yang
diikutinya dalam masyarakat. pada umumnya klien
dengan gangguan persepsi sensori halusinasi
pendengaran cenderung dekat dengan kedua orang
tuanya, teutama dengan ibunya. Karena klien sering
11

marah-marah,bicara kasar, melempar atau memukul


orang lain, sehingga klien tidak pernah berkunjung
kerumah tetangga dan klien tidak pernah mengikuti
kegiatan yang ada dilingkungan masyarakat.
4. Spiritual
a) Nilai dan keyakinan
Tanyakan pada klien tentang pandangan serta
keyakinan klien terhadap gangguan jiwa sesuai
dengan norma budaya dan agama yang dianut klien.
Pada umumnya klien dengan gangguan persepsi
sensori halusinasi pendengaran tampak menyakini
agama yang dianutnya dengan dibuktikan melakukan
ibadah sesuai dengan keyakinannya.
b) Kegiatan Ibadah
Tanyakan pada klien tentang kegiatan ibadah yang
dilakukannya dirumah, baik secara individu maupun
secara kelompok. Pada umumnya klien dengan
gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran
tampak kurang (jarang) melakukan ibadah sesuai
dengan keyakinannya.
2.1.1.7. Status mental
1. Penampilan
Mengamati/mengobservasi penampilan klien dari ujung
rambut sampai ujung kaki seperti rambut acak acakkan,
kancing baju tidak tepat, resleting tidak dikunci, baju
terbalik, baju tidak diganti-ganti serta penggunaan
pakaian yang tidak sesuai. Pada umumnya klien dengan
gangguan persepsi sensori halusinasi pendengaran
tampak berpenampilan kurang rapi, rambut acak-
acakan, mulut dan gigi kotor, serta bau badan.
2. pembicaraan
12

Mengamati/mengobservasi pembicaraan klien apakah


cepat, keras, gagap, membisu, apatis, lambat serta
pembicaraan yang berpindah-pindah dari satu kalimat ke
kalimat lain. Pada umumnya klien dengan gangguan
persepsi sensori halusinasi pendengaran berbicara
lambat dan tidak mampu memulai pembicaraan.
3. Aktivitas Motorik
Mengamati/mengobservasi kondisi fisik klien. Pada
umumnya klien terlihat gelisah, berjalan mondar-mandir
dengan gerakan mulut yang seakan-akan sedang
berbicara.
4. Alam Perasaan
Mengamati/mengobservasi kondisi perasaan klien. Pada
umumnya klien merasakan sedih, putus asa, gembira
yang berlebihan, serta marah tanpa sebab.
5. Afek
Mengamati/mengobservasi kondisi emosi klien. Pada
umumnya klien mempunyai emosi labil tanpa ada sebab.
Tiba tiba klien menangis dan tampak sedih lalu diam
menundukkan kepala.
6. Interaksi Selama Wawancara
Mengamati/mengobservasi kondisi klien selama
wawancara. Pada umumnya klien memperlihatkan
perilaku yang tidak kooperatif, lebih banyak diam diri,
pandangan mata melihat kearah lain ketika diajak bicara.
7. Persepsi
Mengamati/mengobservasi jenis halusinasi yang terjadi
pada klien. Pada umumnya klien cenderung mendengar,
melihat, meraba, mengecap sesuatu yang tidak nyata
dengan waktu yang tidak diketahui dan tidak nyata.
8. Proses Pikir
13

Mengamati/mengobservasi proses pikir klien selama


wawancara. Pada umumnya klien cenderung apabila
akan menjawab pertanyaan terdiam dulu, seolah olah
sedang merenung lalu mulai menjawab, kemudian
jawaban belum selesai diutarakan, klien diam lagi
kemudian meneruskan jawabannya dengan singkat.
9. Isi Pikir
Mengamati/mengobservasi isi pikiran klien selama
wawancara. Pada umumnya klien dengan gangguan
persepsi sensori halusinasi pendengaran merasa lebih
senang menyendiri daripada berkumpul dengan orang
lain. Saat diajak untuk duduk-duduk dan
berbincangbincang dengan klien yang lain, klien
menolak dengan menggelengkan kepala.
10. Tingkat Kesadaran
Mengamati/mengobservasi tingkat kesdaran klien. Pada
umumnya klien dengan gangguan persepsi sensori
halusinasi pendengaran tingkat kesadarannya yaitu
stupor dengan gangguan motorik seperti kekakuan,
gerakan yang diulang-ulang, anggota tubuh klien dengan
sikap yang canggung serta klien terlihat kacau.
11. Memori
Mengamati/mengobservasi gangguan daya ingat klien.
Pada umumnya klien dengan gangguan persepsi sensori
halusinasi pendengaran memiliki memori yang
konfabulasi. Memori konfabulasi merupakan
pembicaraan yang tidak sesuai dengan kenyataan
(memasukkan cerita yang tidak benar yang bertujuan
untuk menutupi gangguan yang dialaminya).
12. Tingkat Konsentrasi Dan Berhitung
14

Mengamati/mengobservasi tingkat konsentrasi dan


kemampuan berhitung klien selama wawancara. Pada
umumnya klien dengan gangguan persepsi sensori
halusinasi pendengaran cenderung tidak mampu
berkonsentrasi, klien tidak dapat menjelaskan kembali
pembicaraannya dengan dibuktikan selalu meminta agar
pernyataan yang diucapkan oleh seseorang untuk
diulangkan kembali.
13. Kemampuan Penilaian
Mengamati gangguan kemampuan penilaian klien,
apakah gangguan kemampuan penilaian ringan yakni
dapat mengambil keputusan yang sederhana dengan
bantuan orang lain seperti berikan kesempatan kepada
klien untuk memilih mandi dahulu sebelum makan atau
makan dahulu sebelum mandi yang sebelumnya diberi
penjelasan terlebih dahulu dan klien dapat mengambil
keputusan.
14. Daya Tilik Diri
Mengamati/mengobservasi klien tentang penyakit yang
di deritanya. Pada umumnya klien dengan gangguan
persepsi sensori halusinasi pendengaran menyadari
bahwa ia berada dalam masa pengobatan untuk
mengendalikan emosinya yang labil.
2.1.1.8. Kebutuhan Persiapan Pulang
1. Makan
Tanyakan dan mengobservasi tentang porsinya,
frekuensinya, variasinya, dan jenis makanan pantangan
klien dalam makan, serta kemampuan klien dalam
menyiapkan dan membersihkan alat makan. Klien
dengan gangguan persepsi sensori halusinasi
15

pendengaran makan 3 x sehari dengan porsi (lauk pauk,


nasi, sayur, serta buah).
2. BAB/BAK
Mengamati/mengobservasi kemampuan klien untuk
defekasi dan berkemih, seperti pergi ke wc,
membersihkan diri.
3. Mandi
Tanyakan dan mengobservasi tentang frekuensi, cara
mandi, menyikat gigi, cuci rambut, gunting kuku, dan
bercukur serta observasi kebersihan tubuh dan bau
badan klien. Klien dengan gangguan persepsi sensori
halusinasi pendengaran mandi 2 x sehari dan
membersihkan rambut 1 – 2 x/hari kecuali ketika emosi
labil.
4. Berpakaian
Mengamati/mengobservasi kemampuan klien untuk
mengambil, memilih, dan mengenakan pakaian serta
alas kaki klien serta observasi penampilan dan
dandanan klien. Klien dengan gangguan persepsi
sensori halusinasi pendengaran mengganti pakaiannya
setiap selesai mandi dengan menggunakan pakaian
yang bersih.
5. Istirahat dan tidur
Tanyakan dan observasi lama waktu tidur siang/malam
klien, apa aktivitas yang dilakukan sebelum tidur serta
aktivitas yang dilakukan setelah tidur.
6. Penggunaan obat
Tanyakan dan observasi pada klien dan keluarga
tentang pengunaan obat yang dikonsumsi serta reaksi
yang ditimbulkannya. Klien dengan gangguan persepsi
sensori halusinasi pendengaran minum obat 3 x sehari
16

dengan obat oral serta reaksi obat dapat tenang dan


tidur (sesuai advis dokter).
7. Pemeliharaan Kesehatan
Tanyakan pada klien dan keluarga tentang apa,
bagaimana, kapan dan tempat perawatan lanjutan serta
siapa saja sistem pendukung yang dimiliki (keluarga,
teman, dan lembaga pelayanan kesehatan) serta cara
penggunaannya.
8. Kegiatan dalam rumah
Tanyakan kemampuan klien dalam merencanakan,
mengolah dan menyajikan makanan, merapikan rumah
(kamar tidur, dapur, menyapu dan mengepel), mencuci
pakaian sendiri serta mengatur kebutuhan biaya sehari-
hari.
9. Kegiatan luar rumah
Tanyakan kemampuan klien dalam belanja untuk
keperluan sehari hari, (melakukan perjalanan mandiri
yaitu dengan berjalan kaki, menggunakan kendaraan
pribadi, dan kendaraan umum), serta aktivitas lain yang
dilakukan diluar rumah (bayar listrik/telepon/air/kekantor
pos/dan ke bank).
2.1.1.9. Pohon masalah
Pasien biasanya memiliki beberapa masalah keperawatan.
Masalah-masalah tersebut saling berhubungan dan dapat
digambarkan sebagai pohon masalah (Yusuf, dkk, 2015).

Perilaku kekerasan

Effect

Gangguan Persepsi Sensori :


Halusinasi Pendengaran

Core Problem
17

Isolasi Sosial : Menarik Diri


Causa

Bagan 2.1. Pohon Masalah

2.1.2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon aktual
atau potensial dari individu, keluarga atau masyarakat terhadap masalah
kesehatan/proses kehidupan. Rumusan diagnosis yaitu permasalahan
(P) berhubungan dengan Etologi (E) dan keduanya ada hubungan
sebab akibat secara ilmiah (Carpenito dalam Yusuf, dkk, 2015).
Rumusan masalah ini bertujuan untuk mendiskripsikan masalah apa
yang akan dicapai. Masalah keperawatan yang akan dicapai dilihat
berdasarkan teori kebutuhan dasar dan hasil pengkajian kasus klien.
Diagnosa keperawatan halusinasi pendengaran menurut TIM POKJA
SDKI DPP PPNI (2017) adalah sebagai berikut :
a. Gangguan persepsi Sensori : Halusinasi
b. Isolasi Sosial
c. Perilaku kekerasan
2.1.3. Intervensi
Rencana tindakan keperawatan adalah tahap ketika perawat
mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan guna membantu klien
mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Carpenito dalam Yusuf, dkk.
2015). Sebelum tindakan keperawatan diimplementasikan, perawat
perlu memvalidasi apakah rencana tindakan yang ditetapkan masih
sesuai dengan kondisi pasien saat ini (here and now) (Yusuf dkk.
2015).
Rencana tindakan menurut TIM POKJA SIKI DPP PPNI (2017) yaitu
sebagai berikut :
18

No SDKI SIKI SLKI


1 D.0085 Gangguan I.09288 Manajemen halusinasi L.09083 Persepsi
Persepsi Sensori. a. Defenisi : Mengidentifikasi sensori
a. Gejala dan tanda mayor dan mengelola peningkatan a. Defenisi
Subjektif keamanan, dan orientasi Persepsi – realitas
1. Mendengar suara realita. terhadap stimulus baik
bisikan atau melihat b. Tindakan internal maupun
bayangan. Observasi eksternal.
2. Merasakan sesuatu 1. Monitor prilaku yang b. Ekspektasi membaik.
melalui indera mengindikasi halusinasi. 1. Verbalisasi
perabaan, penciuman, 2. Monitor dan sesuaikan mendengar bisikan
pendengaran atau tingkat aktivitas dan menurun.
pengecapan. stimulasi lingkungan. 2. Verbalisasi melihat
Objektif 3. Monitor isi halusinasi bayangan menurun
1. Distorsi sensori (misalnya, kekerasan, 3. Verbalisasi
2. Respons tidak sesuai atau membahayakan merasakan sesuatu
3. Bersikap seolah diri). melalui indera
melihat, mendengar, Teraupetik perabaan menurun.
mengecap, meraba 1. Pertahankan lingkungan 4. Verbalisasi
atau mencium. yang aman. merasakan sesuatu
b. Gejala dan tanda minor 2. Lakukan tindakan melalui indera
Subjektif keselamatan ketika tidak penciuman
1. Menyatakan kesal dapat mengontrol menurun.
Objektif perilaku (misalnya limit 5. Verbalisasi
1. Menyendiri setting, pembatasan merasakan sesuatu
2. Melamun wilayah, pengekangan, melalui indera
3. Konsentrasi buruk seklusi). pengecapan
4. Disorientasi waktu, 3. Diskusikan perasaan dan menurun.
tempat, orang atau respon terhadap 6. Distorsi sensori
situasi. halusinasi. menurun.
5. Melihat ke satu arah 4. Hindari perdebatan 7. Perilaku halusinasi
19

6. Mondar-mandir tentang validasi menurun


7. Bicara sendiri halusinasi 8. Menarik diri
Edukasi 9. Melamun
1. Anjurkan memonitor 10. Curiga
sendiri situasi terjadinya 11. Mondar-mandir
halusinasi. 12. Konsentrasi
2. Anjurkan bicara pada membaik.
orang yang dipercaya 13. Orientasi membaik
untuk memberi dukungan
dan umpan balik korektif
terhadap halusinasi.
3. Anjurkan melakuka
distraksi (misalnya
mendengarkan musik,
melakukan aktivitas, dan
teknik relaksasi).
4. Ajarkan pasien dan
keluarga cara mengontrol
halusinasi.
Kolaborasi
1. Kolaborasi dalam
pemberian obat
antipsikotik
(clorpomazine,
haloperidol, sulpiride)
dan anti ansietas
(carbamazepin,
diazepam, dan flumazeil)
, jika perlu
20

2.1.4. Implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana
tindakan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang sudah
direncanakan, perawat perlu memvalidasi apakah rencana
keperawatan masih dibutuhkan dan sesuai dengan kondisi klien saat
ini (Kusumawati dan hartono, 2011).
2.1.5. Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan
keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan sesuai dengan tindakan
keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi dua yaitu
evaluasi proses dan evaluasi formatif, dilakukan setiap selesai
melaksanakan tindakan evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan
membandingkan respon klien pada tujuan yangtelah ditentukan.
2.2. Konsep Halusinasi Pendengaran
1.2.1. Defenisi
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek
rangsangan dari luar, gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh
panca indra. Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa
yang pasien mengalami perubahan sensori persepsi, serta
merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan, atau penciuman. Pasien merasakan stimulus yang
sebetulnya tidak ada. Pasien gangguan jiwa mengalami perubahan
dalam hal orientasi realitas (Yusuf, et all, 2015).
Halusinasi pendengaran menurut Nanda Nic-Noc (2015)
yaitu seperti mendengar suara yang membicarakan, mengejek,
menertawakan, mengancam, memerintahkan untuk melakukan
sesuatu (kadang-kadang hal yang berbahaya). Perilaku yang muncul
adalah mengarahkan telinga pada sumber suara, bicara atau tertawa
sendiri, marah-marah tanpa sebab, menutup telinga, mulut komat-
kamit, dan ada gerakan tangan.
1.2.2. Etiologi
21

Etiologi halusinasi menurut Yusuf, dkk (2015) antara lain :


1.2.2.1. Faktor predisposisi
a. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan mengganggu hubungan
interpersonal yang dapat meningkatkan stress dan
ansietas yang dapat berakhir dengan ganggguan
persepsi. Pasien mungkin menekan perasaannya
sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak
efektif.
b. Faktor sosial budaya
Berbagai faktor di masyarakat yang membuat seseorang
merasa disingkirkan atau kesepian, selanjutnya tidak
dapat diatasi sehingga timbul gangguan seperti delusi
dan halusinasi.
c. Faktor psikologis
Hubungan interpersonal seseorang yang tidak harmonis,
serta peran ganda atau peran yang bertentangan dapat
menimbulkan ansietas berat berakhir dengan
pegingkaran terhadap kenyataan, sehingga terjadi
halusinasi.
d. Faktor biologis
Struktur otak yang abnormal ditemukan pada pasien
gangguan orientasi realitas, serta dapat ditemukan
atropik otak, perubahan besar, serta bentuk sel kortikal
dan limbic.
e. Faktor genetik
Gangguan orientasi realitas termasuk halusinasi
umumnya ditemukan pada pasien skizofrenia.
Skizofrenia ditemukan cukup tinggi pada keluarga yang
salah satu anggota keluarganya mengalami skizofrenia,
serta akan lebih tinggi jika kedua orang tua skizofrenia.
22

1.2.2.2. Faktor prespitasi


a. Stressor sosial budaya
Stress dan kecemasan akan meningkat bila terjadi
penurunan stabilitas keluarga, perpisahan dengan orang
yang penting, atau diasingkan dari kelompok dapat
menimbulkan halusinasi.
b. Faktor biokimia
Penelitian tentang dopamin, norepinetrin, indolamin,
serta zat halusigenik diduga berkaitan dengan gangguan
orientasi realitas termasuk halusinasi.
c. Faktor psikologis
Intensitas kecemasan yang ekstream dan memanjang
disertai terbatasnya kemampuan mengatasi masalah
memungkinkan berkembangnya gangguan orientasi
realistis. Pasien mengembangkan koping untuk
menghindari kenyataan yang tidak menyenangkan.
d. Faktor perilaku
Perilaku yang perlu dikaji pada pasien dengan gangguan
orientasi realitas berkaitan dengan perubahan proses
pikir, afektif persepsi, motorik, dan social.
1.2.2.3. Tahap-tahap halusinasi
Tahap-tahap halusinasi dimulai dari beberapa tahap, hal ini
dapat dipengaruhi oleh keparahan dan respon individu
dalam menanggapi adanya rangsangan dari luar. Menurut
(Dalami, dkk. 2014), halusinasi terjadi melalui beberapa
tahap, antara lain:
a. Tahap I : Sleep disorder
Tahap ini merupakan suatu tahap awal sebelum muncul
halusinasi. Individu merasa banyak masalah sehingga
ingin menghindar dari orang lain dan lingkungan karena
takut diketahui orang lain bahwa dirinya banyak masalah
23

(missal: putus cinta, turun jabatan, bercerai, dipenuhi


hutang dan lain-lain). Masalah semakin terasa sulit
dihadapi karena berbagai stressor terakumulasi
sedangkan support yang di dapatkan kurang dan
persepsi terhadap masalah sangat buruk. Sehingga
akan menyebabkan individu tersebut sulit tidur dan akan
terbiasa menghayal. Individu akan menganggap
lamunan-lamunan awal tersebut sebagai upaya
pemecahan masalah.
b. Tahap 2 : Comforting Moderate Level of Anxiet
Pada tahap ini, halusinasi bersifat menyenangkan dan
secara umum individu menerimanya dengan sesuatu
yang alami. Individu mengalami emosi yang berlanjut,
seperti adanya perasaan cemas, kesepian, perasaan
berdosa dan ketakutan sehingga individu mencoba untuk
memusatkan pemikiran pada timbulnya kecemasan dan
pada penanganan pikiran untuk mengurangi kecemasan
tersebut. Dalam tahap ini, ada kecendrungan klien
merasa nyaman dengan halusinasinya dan halusinasi ini
bersifat sementara.
c. Tahap 3 : Condmning Severe Level of Anxiety
Di tahap ini halusinasi bersifat menyalahkan dan sering
mendatangi klien. pengalaman sensori individu menjadi
sering datang dan mengganggu sehingga pengalaman
sensori tersebut mulai bersifat menjijikan dan
menakutkan. Individu mulai merasa kehilangan kendali,
tidak mampu mengontrol dan berusaha untuk menjauhi
dirinya dengan objek yang dipersepsikan individu.
individu akan merasa malu karena pengalaman
sensorinya tersebut dan akhirnya menarik diri dengan
orang lain dengan intensitas waktu yang lama.
24

d. Tahap 4 : Controling Severe level of Anxiety


Di tahap ini, halusinasi bersifat mengendalikan, fungsi
sensori menjadi tidak relavan dengan kenyataan dan
pengalaman sensori tersebut menjadi penguasa.
Halusinasi menjadi lebih menonjol, menguasai, dan
mengontrol individu sehingga mencoba melawan suara-
suara atau sensori abnormal yang datang. Hingga
akhirnya individu tersebut menjadi tidak berdaya dan
menyerah untuk melawan halusinasi dan membiarkan
halusinasi menguasai dirinya. Individu mungkin akan
mengalami kesepian jika pengalaman sensoria atau
halusinasinya tersebut berakhir. Dari sinilah dimulainya
fase gangguan psikotik.
e. Tahap 5 : Concuering Panic Level of Anxiety
Tahap terakhir ini dimana halusinasi bersifat menaklukan
atau menguasai, halusinasi menjadi lebih rumit dan
individu mengalami gangguan dalam menilai
lingkungannya. pengalaman sensorinya menjadi
terganggu dan halusinasi tersebut berubah mengancam,
memerintah, dan menakutkan apabila tidak mengikuti
perintahnya sehingga klien mulai teerasa mengancam.
1.2.2.4. Rentang respon neurobiologis
Menurut Yusuf, dkk (2015), respon perilaku pasien dapat
berada dalam rentang adaptif sampai maladaptive yang
dapat digambarkan sebagai berikut:

Bagan 2.1. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif
25

a. Pikiran logis a. Proses pikir a. Waham,


b. Persepsi akurat terganggu Halusinasi
c. Emosi b. Ilusi b. Kerusakan
konsistensi c. Emosi berlebih proses emosi
dengan d. Perilaku yang c. Perilaku tidak
pengalaman tidak biasa terorganisasi
d. Perilaku cocok e. Menarik diri d. Isolasi sosial
e. Hubungan social
humoris 1. Respon adaptif berdasarkan rentang respon halusinasi
menurut (Yusuf, Rizki & Hanik, 2015), meliputi :
a. Pikiran logis berupa mendapat atau pertimbangan
yang dapat di terima akal.
b. Persepsi akurat berupa pandangan dari seseorang
tentang sesuatu peristiwa secara cermat dan tepat
sesuai perhitungan.
c. Emosi konsisten dengan pengalaman berupa ke
mantapan perasaan jiwa yang timbul sesuai dengan
peristiwa yang penuh di alami.
d. Perilaku sesuai dengan kegiatan individu atau
sesuatu yang berkaitan dengan individu tersebut di
wujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan yang
bertentangan dengan moral.
e. Hubungan social dapat di ketahui melalui hubungan
seseorang dengan orang lain dalam pergaulan di
tengah masyarakat.
2. Respon Maladaptive
Respon maladaptive berdasarkan rentang respon
halusinasi menurut (Yusuf, Rizki & Hanik, 2015)
meliputi :
26

a. Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara


kokoh di pertahankan walaupun tidak di yakini oleh
orang lain dan bertentangan dengan kenyataan
social.
b. Halusinasi merupakan gangguan yang timbul berupa
persepsi yang salah terhadap rangsangan.
c. Tidak mampu mengontrol emosi berupa ketidak
mampuan atau menurunnya kemampuan untuk
mengalami kesenangan kebahagiaan, keakraban,
dan kedekatan.
d. Ketidakteraturan perilaku berupa ketidakselarasan
antara perilaku dan gerakan yang di timbulkan.
e. Isolasi social adalah kondisi kesendirian yang di
alami oleh individu karna orang lain menyatakan
sikap yang di alami oleh individu.

1.2.2.5. Penatalaksanaan medis


Menurut Rahayu (2016), penatalaksanaan medis pada
pasien halusinasi pendengaran dibagi menjadi dua:
1. Terapi farmakologi
a. Haloperidol
(1) Klasifikasi : antipskotik, neuroleptic, butirofenon
(2) Indikasi
Penatalaksanaan psikosis kronik dan akut,
pengendalian hiperaktivitas dan masalah perilaku
berat pada anak-anak.
(3) Mekanisme Kerja
Mekanisme kerja anti psikotik yang tepat belum
dipenuhi sepenuhnnya, tampak menekan
susunan saraf pusat pada tingkat subkortikal
27

formasi retricular otak, mesenfalon dan batang


otak.
(4) Kontraindikasi
Hipersensivitas terhadap obat ini pasien depresi
SSP dan sumsum tulang belakang, kerusakan
otak subkortikal, penyakit Parkinson dan anak
dibawah usia 3 tahun.
(5) Efek Samping
Sedasi, sakit kepala, kejang, insomnia, pusing,
mulut kering dan anoreksia.
b. Clorpromazin
c. Trihexypenidil ( THP )
2. Terapi non farmakologi
a. Terapi Aktivitas Kelompok
Terapi aktivitas kelompok yang sesuai dengan
Gangguan Sensori Persepsi : Halusinasi adalah TAK
Stimulasi Persepsi.
b. Elektro Convulsif Therapy ( ECT )
Merupakan pengobatan secara fisik meggunakan
arus listrik dengan kekuatan 75-100 volt, cara kerja
belum diketahui secara jelas namun dapat dikatakan
bahwa terapi ini dapat memperpendek lamanya
serangan Skizofrenia dan dapat permudahk kontak
dengan orang lain.
c. Pengekangan atau pengikatan
Pengembangan fisik menggunakan pengekangannya
mekanik seperti manset untuk pergelangan tangan
dan pergelangan kaki dimana klien pengekangan
dimana klien dapat dimobilisasi dengan
membalutnya, cara ini dilakukan padda klien
halusinasi yang mulai menunjukkan perilaku
28

kekerasan diantaranya: marah-marah atau


mengamuk.
2.3. Konsep Perawatan Diri
2.3.1. Pengertian Perawatan Diri
Hygiene adalah ilmu kesehatan, cara perawatan diri manusia untuk
memelihara kesehatan mereka disebut hygiene perorangan, cara
perawatan diri menjadi rumit dikarenakan kondisi fisik atau keadaan
emosional klien. Pemeliharaan hygiene perorangan diperlukan
untuk kenyamanan individu, keamanan, dan kesehatan.Seperti pada
orang sehat mampu memenuhi kebutuhan kesehatan sendiri, pada
orang sakit atau tantangan fisik memerlukan bantuan perawat untuk
melakukan praktik kesehatan yang rutin.Selain itu, beragam faktor
pribadi dan sosial budaya mempengaruhi praktik hygiene klien
(Potter & Perry, 2006). Personal hygiene berasal dari bahasa yunani
yang berarti personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti
sehat.Kebersihan perorangan adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk
kesejahteraan fisik dan psikis sesuai kondisi kesehatannya (Tarwoto
& Wartonah, 2006).
2.3.2. Jenis-Jenis Perawatan Diri
Menurut Nurjannah (2004) jenis-jenis perawatan diri yaitu:
2.3.2.1. Kurang perawatan diri: Mandi/kebersihan Kurang
perawatan diri (mandi) adalah gangguan kemampuan
untuk melakukan aktivitas mandi/kebersihan diri.
2.3.2.2. Kurang perawatan diri: Mengenakan pakaian/berhias.
Kurang perawatan diri (mengenakan pakaian) adalah
gangguan kemampuan memakai pakaian dan aktivitas
berdandan sendiri.
2.3.2.3. Kurang perawatan diri: Makan Kurang perawatan diri
(makan) adalah gangguan kemampuan untuk
menunjukkan aktivitas makan.
29

2.3.2.4. Kurang perawatan diri: Toileting Kurang perawatan diri


(toileting) adalah gangguan kemampuan untuk melakukan
atau menyelesaikan aktivitas toileting sendiri (Dermawan,
2013).
2.3.3. Tujuan Perawatan Diri
Menurut Tarwoto & Wartonah (2006) tujuan perawatan diri yaitu:
2.3.3.1. Meningkatkan derajat kesehatan seseorang
2.3.3.2. Memelihara kebersihan diri seseorang
2.3.3.3. Memperbaiki personal hygiene yang kurang d.
Pencegahan penyakit
2.3.3.4. Meningkatkan percaya diri seseorang
2.3.3.5. Menciptakan keindahan
2.3.4. Macam-Macam Perawatan Diri
Menurut Tarwoto & Wartonah (2006) macam-macam personal
hygiene:
2.3.4.1. Perawatan kulit kepala dan rambut
2.3.4.2. Perawatan mata
2.3.4.3. Perawatan hidung
2.3.4.4. Perawatan telinga
2.3.4.5. Perawatan kuku kaki dan tangan
2.3.4.6. Perawatan genetalia
2.3.4.7. Perawatan kulit seluruh tubuh
2.3.4.8. Perawatan tubuh secara keseluruhan
2.3.5. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Menurut Potter & Perry (2006) faktor-faktor yang mempengaruhi
personal hygiene yaitu:
2.3.5.1. Citra Tubuh Penampilan umum klien dapat
menggambarkan pentingnya hygiene pada orang tersebut,
citra tubuh merupakan konsep subjektif seseorang tentang
penampilan fisiknya, citra tubuh mempengaruhi cara
mempertahankan hygiene. Jika seorang klien rapi
30

sekalimaka perawat mempertimbangkan rincian kerapian


ketika merencanakan perawatan dan berkonsultasi pada
klien sebelum membuat keputusan tentang bagaimana
memberikan perawatan hygiene.
2.3.5.2. Praktik Sosial Kelompok-kelompok sosial pada seorang
klien berhubungan dapat mempengaruhi praktik hygiene
pribadi.Selama masa kanak-kanak, anak-anak
mendapatkan praktik hygiene dari orang tua
mereka.Remaja dapat menjadi lebih perhatian pada
hygiene seperti peningkatan ketertarikan mereka pada
lawan jenisnya.
2.3.5.3. Status Sosioekonomi Sumber daya ekonomi seseorang
mempengaruhi jenis dan tingkat praktik kebersihan yang
digunakan.Perawat harus menentukan apakah klien dapat
menyediakan bahan-bahan yang penting seperti deodoran,
shampo, pasta gigi, dan kosmetik.Perawat juga harus
menentukan jika penggunaan dari produk-produk ini
merupakan bagian dari kebiasaan sosial yang di praktikkan
oleh kelompok sosial klien.
2.3.5.4. Pengetahuan Pengetahuan tentang pentingnya hygiene
dan implikasinya bagi kesehatan mempengaruhi praktik
hygiene.Demikian, pengetahuan itu sendiri tidaklah
cukup.Klien juga harus termotivasi untuk memelihara
perawatan diri.Seringkali, pembelajaran tentang penyakit
atau kondisi mendorong klien untuk meningkatkan hygiene.
2.3.5.5. Variable Kebudayaan Kepercayaan kebudayaan klien dan
nilai pribadi mempengaruhi perawatan hygienis.Orang dari
latar kebudayaan yang berbeda mengikuti praktik
perawatan diri yang berbeda.Dalam merawat klien dengan
praktik higienis yang berbeda, perawat menghindari
31

menjadi pembuat keputusan atau mencoba untuk


menentukan standar kebersihannya.
2.3.5.6. Pilihan Pribadi Setiap klien memiliki keinginan individu dan
pilihan tentang kapan untuk mandi, bercukur, dan
melakukan perawatan rambut.Klien memilih produk yang
berbeda menurut pilihan dan kebutuhan pribadi.Klien juga
memiliki pilihan mengenai bagaimana melakukan hygiene.
2.3.5.7. Kondisi Fisik Orang yang menderita penyakit tertentu
(misalnya: kanker tahap lanjut) atau yang menjalani operasi
seringkali kekurangan energi fisik atau ketangkasan untuk
melakukan hygiene pribadi.
2.4. Standar Operasional Prosedur
2.4.1. Defenisi
Tindakan yang dilakukan oleh seorang perawat unutk membersihkan
kuku tangan dan kaki yang meliputi prendaman, pemotongan,
pengikiran untuk mempertahankan kesehatan kuku tangan maupun
kaki.

2.4.2. Tujuan
Mempertahankan kebersihan kuku pasien, memberikan
kenyamanan, merapikan penampilan pasien, mencegah
kemungkinan pasien tercakar jika kukunya panjang, dan mencegah
bau.
2.4.3. Indikasi
Pasien dengan masalah pada kuku kaki dan tangan, pasien lansia,
pasien anak-anak hingga dewasa, pasien diabetes.
2.4.4. Persiapan pasien
Memberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan tindakan,
posisikan pasien sesuai kebutuhan.
2.4.5. Persiapan alat
a. Baskom 2 buah
32

b. Pengikir kuku
c. Handuk mandi
d. Waslap
e. Lotion
f. Keset mandi sekali pakai
g. Gunting kuku
h. Sarung tangan
i. Orange stick
2.4.6. Cara Kerja
a. Cuci Tangan
b. Dekatkan alat-alat
c. Hapus cat kuku pasien
d. Isi baskom dengan air hangat 43-440C
e. Tempatkan baskomdiatas keset mandi dan bantu pasien
merendam kakinya.
f. Dapatkan meja pasien dan letakkan baskom lain diatasnya,
bantu pasien merendam kuku tangan, perendaman dilakukan
selama 10-20 menit.
g. Bersihkan bagian bawah kuku dengan orange stick, singkirkan
baskom dan keringkan kuku.
h. Gunting kuku pasien secara lurus menyilang pada ujung jari
dengan gunting kuku, bentuk kuku dengan pengikir.
i. Dorong kutikula kebelakang dengan perlahan dengan
menggunakan orange stick.
j. Kenakan sarung tangan dan gosok daerah kalus kaki klien
dengan washlap.
k. Bersihkan bagian bawah jari dengan menggunakan orange stick
angkat kaki dari baskom dan keringkan.
l. Bersihkan dan gunting ibu jari secara lurus menyilang jangan
mengikir sudut kuku ibu jari.
m. Berikan lotions pada kaki klien.
33

n. Bantu klien kembali keposisi semula


o. Rapikan alat
p. Cuci tangan
q. Dokumentasikan tindakan.
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Studi Kasus


Di dalam penilitian ini peniliti menggunakan desain penilitian deskriptif mulai
pendekatan studi kasus acuan perawatan pada klien halusinasi pendengaran
dalam dukungan perawatan diri. Metode penelitian deskriptif adalah
merupakan penelitian yang bertujuan memberikan gambaran secara
mendetail mengenai latar belakang, sifat maupun karakter yang ada dari
suatu kasus, dengan kata lain bahwa studi kasus memusatkan perhatian pada
suatu kasus secara intensif dan rinci (Nursalam, 2016).
3.2. Subjek Studi Kasus
Subjek studi kasus adalah orang yang ikut berperan serta dalam suatu
kegiatan atau yang ikut berperan didalam penilitian. Partisipan digunakan
apabila subjek mewakili suatu kelompok tertentu. Subjek studi kasus ini
adalah klien Halusinasi pendengaran dengan defisit perawatan diri. Jumlah
partisipan dalam penilitian studi kasus ini sebanyak 2 klien penderita dan
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi.
3.2.1. Kriteria Inklusi
3.2.1.1. Pasien yang mengalami halusinasi pendengaran
3.2.1.2. Keluarga yang bersedia untuk menjadi responden
3.2.1.3. Pasien dan keluarga yang dapat berinteraksi dengan baik.
3.2.1.4. Pasien dan keluarga yang kooperatif.

3.2.2. Kriteria ekslusi


3.2.2.1. Pasien yang tidak bisa menulis
3.2.2.2. Pasien yang tidak bisa membaca
3.2.2.3. Pasien yang dapat melakukan aktivitas
3.3. Fokus Studi Kasus
Fokus studi kasus adalah kajian utama dari masalah yang akan dijadikan titik
acuan studi kasus (Nursalam, 2016). Masalah utama dalam studi kasus ini
adalah perawatan diri pada pasien dengan halusinasi pendengaran.

34
35

3.4. Defenisi Operasional


3.4.1. Asuhan keperawatan jiwa adalah tindakan keperawatan yang
diberikan langsung kepada pasien di mulai dari tahap pengkajian,
perumusan diagnose, perencanaan, implementasi dan evaluasi
melalui proses keperawatan.
3.4.2. Halusinasi pendengaran adalah seseorang yang mendengar bisikian
atau suara-suara yang tidak nyata.
3.4.3. Perawatan diri adalah kondisi seseorang yang mengalami kelemahan
dan kemampuan dalam melakukan aktivitas.
3.5. Instrument Studi Kasus
Alat ukur dalam penelitian ini menggunakan instrument yaitu lembar
pengkajian jiwa dan lembar observasi yang digunakan oleh institusi. Data
yang diperoleh dari suatu pengukuran kemudian dianalisis dan dijadikan
sebagai bukti (evidence) dari suatu penelitian.
3.6. Metode penelitian studi kasus
Dalam metode ini mendapatkan hasil secara langsung dan dapat dilakukan
jika peneliti ingin mengetahui secara mendalam dan jumlah yang sedikit.
Instrument yang digunakan berupa pedoman wawancara kemudian daftar
periksa atau checklist (Hidayat, 2011).
3.6.1. Wawancara
Wawancara adalah suatu metode pengumpulan data yang dilakukan
untuk mengambil data secara langsung kepada pasien dengan cara
mewawancarai langsung pasien yang diteliti., metode ini memberikan
hasil secara langsung. Metode ini dapat dilakukan jika peneliti ingin
mengetahui hal-hal dari pasien dengan mendalam dan jumlah
respondennnya sedikit.

3.6.2. Observasi
Observasi adalah salah satu cara pengumpulan data dengan cara
melakukan pengamatan secara langsung dengan pasien penelitian
dengan maksud mencari perubahal atau hal-hal yang akan diteliti oleh
36

peneliti. Dalam metode ini, instrument yang digunakan, adalah lembar


observasi, panduan pengamatan(observasi), serta lembar checklist.
3.6.3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik adalah melakukan pemeriksaan fisik pasien untuk
menentukan masalah kesehatan pasien. Pemeriksaan fisik dapat
dilakukan dengan berbagai cara diantaranya (Nursalam, 2016).
3.6.4.1. Inspeksi
Inspeksi adala pemeriksaan yang dilakukan dengan cara
melihat bagian tubuh yang diperiksa melalui pengamatan.
3.6.4.2. Palpasi
Palpasi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan melalui
perabaan terhadap bagian-bagian tubuh yang mengalami
kelainan.
3.6.4.3. Auskultasi
Auskultasi adala pemeriksaan fisik yang dilakukan melalui
pendengaran. Biasanya menggunakan alat yang disebut
dengan stetoskop.
3.6.4.4. Perkusi
Perkusi adalah pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan
mengetuk bagian tubuh menggunakan tangan atau alat bantu
seperti reflek hammer untuk mengetahui reflek seseorang
(dibicarakan khusus). Juga berkaitan dengan kesehatan fisik
klien.
3.6.4. Dokumentasi
Dokumentasi adalah suatu metode pengumpulan data dengan cara
mengambil data yang berasal dari dokumen yang asli. Dokumen asli
tersebut dapat berupa gambar, tabel atau daftar periksa, dan film
dokumentasi.

3.7. Waktu Dan Lokasi Penelitian


3.7.1. Waktu penelitian
37

Penelitian studi kasus ini akan direncanakan akan dilaksanakan pada


bulan Juli 2021.
3.7.2. Lokasi penelitian
Penelitian studi kasus ini akan dilaksanakan di dusun Fair wilayah
kerja Puskesmas Tual
3.8. Analisis dan Penyajian Data
Setelah mereduksi data, tahap selanjutnya adalah menyajikan data. Data
adalah data yang disajikan dalam bentuk uraian naratif dan sintesis serta tidak
menutup kemungkinan ada bentuk-bentuk argumentative yang dikemukakan
dalam memberikan interprestasi (Nursalam, 2016). Dalam penelitian ini,
analisis data dilakukan dengan cara mengukur secara sistematis pedoman
pengkajian, selanjutnya memproses data dengan tahapan pengkajian, analisa
data, diagnose keperawatan, intervensi keperawatan, implementasi
keperawatan dan evaluasi.
3.9. Etika Studi Kasus
Menurut Nursalam (2016), secara garis umum prinsip etika dalam penelitian
dapat dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu prinsip manfaat, prinsip
menghargai hak-hak subjek, dan prinsip keadilan.
3.9.1. Prinsip manfaat
3.9.2.1. Bebas dari penderitaan.
3.9.2.2. Penelitian harus dilaksanakan tanpa mengakibatkan
penderitaan kepada subjek, khususnya jika menggunakan
tindakan khusus.
3.9.2.3. Bebas dari eksploitasi.
3.9.2.4. Partisipasi subjek dalam penelitian, harus dihindarkan dari
keadaan yang tidak menguntungkan. Subjek harus diyakinkan
bahwa partisipasinya dalam penelitian atau informasi yang
telah diberikan, tidakakan dipergunakan dalam hal-hal yang
dapat merugikan subjek dalam bentuk apa pun.
3.9.2.5. Risiko (benefits ratio).
38

3.9.2.6. Peneliti harus hati-hati mempertimbangkan risiko dan


keuntungan yang akan berakibat kepada subjek pada setiap
tindakan.
3.9.2. Prinsip menghargai hak-hak subjek
3.9.2.1. Hak untuk ikut/tidak menjadi responden (right to self
determination) Subjek harus diperlakukan secara manusiawi.
Subjek mempunyai hak memutuskan apakah mereka bersedia
menjadi subjek atau pun tidak, tanpa adanya sang siapa pun
atau akan berakibat terhadap kesembuhannya jika mereka
seorang klien.
3.9.2.2. Hak untuk mendapatkan jaminan dari perlakuan yang
diberikan (right to full disclosure) Seorang peneliti harus
memberikan penjelasan secara rinci serta bertanggungjawab
jika ada sesuatu yang terjadi kepada subjek.
3.9.2.3. Informed consent
Subjek harus mendapatkan informasi secara lengkap tentang
tujuan penelitian yang akan dilaksanakan, mempunyai hak
untuk bebas berpartisipasi atau menolak menjadi responden.
Pada informed consent juga perlu dicantumkan bahwa data
yang diperoleh hanya akan dipergunakan untuk
pengembangan ilmu.
3.9.3. Prinsip keadilan
3.9.3.1. Hak untuk mendapatkan pengobatan yang adil (right in fair
treatment) Subjek harus diperlakukan secara adil baik
sebelum, selama, dan sesudah keikutsertaannya dalam
penelitian tanpa adanya diskriminasi apabila ternyata mereka
tidak bersedia atau dikeluarkan dari penelitian.
3.9.3.2. Hak dijaga kerahasiaannya (right to privacy) Subjek
mempunyai hak untuk meminta bahwa data yang diberikan
harus dirahasiakan, untuk itu perlu adanya tanpa nama
(anonymity) dan rahasia (confidentia

You might also like