You are on page 1of 14

REFERAT

Hipoksik Iskemik Ensefalopati

Dokter Pembimbing : dr. Hendra Samanta, Sp. S

Disusun oleh :
Marsha Islia El Japa
112017045

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF


RUMAH SAKIT PUSAT TNI AU dr. ESNAWAN ANTARIKSA
PERIODE 27 AGUSTUS – 29 SEPTEMBER 2018
STATUS ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Pendahuluan

Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab mortalitas dan morbiditas jangka


panjang. Ensefalopati hipoksik iskemik terutama dipicu oleh keadaan hipoksik otak, iskemik
oleh karena hipoksik sistemik dan penurunan aliran darah ke otak. HIE (Hipoksik Iskemik
Ensefalopati) adalah kerusakan neurologis non progresif (otak) disebabkan oleh asfiksia
intrauterine atau pascanatal yang mengakibatkan hipoksemia dan atau iskemia serebral.1
Ensefalopati hipoksik iskemik adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan
klinis dan laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak akut yang disebabkan
karena asfiksia. Ensefalopati hipoksik iskemik merupakan penyebab penting kerusakan
permanen sel-sel pada susunan saraf pusat (SSP), yang berdampak pada kematian atau
kecacatan berupa palsi cerebral atau defisiensi mental.2 Angka kejadian HIE berkisar 0,3-
1,8%. Apgar Score 1-3 pada menit pertama terjadi pada 2,8% bayi lahir hidup. Lima belas
hingga 20% bayi dengan HIE meninggal pada masa neonatal, 25-30% yang bertahan hidup
mempunyai kelainan neurodevelopmental permanent.3

Etiologi

Hipoksia pada fetus disebabkan oleh:4

a. Oksigenase yang tidak adekuat dari darah maternal yang disebabkan hipoventilasi
selama proses pembiusan, CHD, gagal nafas, keracunan CO2.
b. Tekanan darah ibu yang rendah karena hipotensi akibat dari anestesi spinal atau
tekanan uterus pada vena cava dan aorta.
c. Relaksasi uterus kurang karena pemberian oksitosin berlebihan akan menyebabkan
tetani.
d. Plasenta terlepas dini.
e. Penekanan pada tali pusat atau lilitan tali pusat.
f. Vasokonstriksi pembuluh darah uterus karena kokain.
g. Insufisiensi plasenta karena toksemia dan post date.

Setelah lahir, hipoksia dapat disebabkan oleh:4

a. Anemia berat karena perdarahan atau penyakit hemolitik.


b. Renjatan akan menurunkan transport oksigen ke sel-sel penting disebabkan oleh
infeksi berat, kehilangan darah bermakna dan perdarahan intrakranial atau adrenal.
c. Defisit saturasi oksigen arterial karena kegagalan pernafasan bermakna dengan sebab
defek serebral, narkosis atau cedera.
d. Kegagalan oksigenasi karena CHD berat atau penyakit paru.

Patofisiologi

Pada hipoksia yang ringan, timbul detak jantung yang menurun, meningkatkan
tekanan darah yang ringan untuk memelihara perfusi pada otak, meningkatkan tekanan vena
sentral, dan curah jantung. Bila asfiksianya berlanjut dengan hipoksia yang berat, dan
asidosis, timbul detak jantung yang menurun, curah jantung yang menurun, dan menurunnya
tekanan darah sebagai akibat gagalnya fosforilasi oksidasi dan menurunnya cadangan energi.
Selama asfiksia timbul produksi metabolik anaerob, yaitu asam laktat. Selama perfusinya
jelek, maka asam laktat tertimbun dalam jaringan lokal. Pada asidosis yang sistemik, maka
asam laktat akan dimobilisasi dari jaringan ke seluruh tubuh seiring dengan perbaikan
perfusi. Hipoksia akan mengganggu metabolisme oksidatif serebral sehingga asam laktat
meningkat dan pH menurun, dan akibatnya menyebabkan proses glikolisis anaerobik tidak
efektif dan produksi ATP berkurang. Jaringan otak yang mengalami hipoksia akan
meningkatkan penggunaan glukosa. Adanya asidosis yang disertai dengan menurunnya
glikolisis, hilangnya autoregulasi serebrovaskuler, dan menurunnya fungsi jantung,
menyebabkan iskemia dan menurunnya distribusi glukosa pada setiap jaringan. Cadangan
glukosa menjadi berkurang, cadangan energi berkurang, dan timbunan asam laktat
meningkat. Selama hipoksia berkepanjangan, curah jantung menurun, aliran darah otak
menurun, dan adanya kombinasi proses hipoksik-iskemik menyebabkan kegagalan sekunder
dari oksidasi fosforisasi dan produksi ATP menurun. Karena kekurangan energi, maka ion
pump terganggu sehingga timbul penimbunan Na+, Cl-, H2O, Ca2+ intraseluler, K+,
glutamat, dan aspartate ekstraseluler.3,5

Teori yang dianut kematian sel otak melalui proses apoptotis dan nekrosis,
tergantung perjalanan prosesnya akut atau kronis, lokasi, dan stadium perkembangan
parensim otak yang cedera. Kedua bentuk kematian sel ini berbeda. Kematian sel nekrotik
ditandai dengan sekelompok sel neuron edema, disentegrasi dari membran, pecahnya sel, isi
sel tumpah ke rongga ekstraselular yang memberikan reaksi inflamasi dan fagositosis.
Apoptosis terjadi pada sel individu, sel mengerut/mengecil, kromatin kelihatan piknotik,
membran sel membentuk gelembung-gelembung (“blebbing”), inti sel berfragmentasi dan sel
terbelah-belah dengan masing-masing pecahan (yang mengandung pecahan nukleus dan
organella) terbungkus oleh membran sel yang utuh, ini disebut “apoptotic bodies”.
Apoptotic bodies ini kemudian akan mengalami fagositosis oleh makrofag ataupun sel
sekitarnya. Kematian sel nekrotik terjadi segera setelah adanya injury (immediately cell
death) dan terutama terjadi pada sel neuron yang mature. Sebaliknya kematian sel
apoptotic terjadinya lebih lambat (delayed cell death) dan terutama terjadi pada sel neuron
yang immature.3,5

Nekrosis

2+
Berkurangnya pasokan glukosa ke otak akan memicu terjadinya influx Ca ke
dalam sel dan ekspresi gluatamat yang meningkat. Hal ini didukung oleh hilangnya
keseimbangan potensial membran dan terbukanya saluran ion yang “voltage-dependent”
(VDCC = Voltage Dependent Calcium Channels). Metabolisme glukosa beralih ke proses
yang anaerobik, ATP terkuras dan terjadinya lactic acidosis. Glutamat memicu reseptor
2+
NMDA (N-Methyl-D-Aspartate) dengan efek membuka reseptor tersebut untuk Ca masuk.
Ion Calcium yang masuk di dalam neuron mengaktifkan enzim-enzim seperti protease,
lipase, endonuclease dan berakibat pada fosfolipid sebagai konstituen sel membran. Terjadi
mobilisasi asam arakidonat yang diproses oleh lipoksigenase dan siklo-oksigenase dalam
sitosol menjadi leukotrienes, prostaglandin dan tromboksan. Proses ini diserta
pelepasan radikal oksigen bebas yang berakibat terjadinya proses peroksidasi membran sel
yang kemudian pecah dan isi sel mengalir keluar. Neuron mengalami kematian akibat
nekrosis. Proses peroksidasi diperberat dengan terbentuknya NO (nitric oxide) sebagai akibat
2+
enzim Nitric Oxide Syntase diaktifkan oleh kadar ion Ca intra-selullar yang meningkat
tajam, NO dengan radikal oksigen bebas membentuk peroksinitrit suatu senyawa yang sangat
reaktif (merusak) karena memacu proses peroksidasi lipid. Reaksi peradangan dan ekspresi
sitkin pro-inflamasi berakibat mobilisasi lekosit polymorphonuclear dan timbulnya
intercellular adhesion molecules (ICAM), lekosit beraggregasi di dinding kapiler dan efek
menyumbat ini berakibat no-reflow phenomena yang menyebabkan secondary ischemia.
Proses reperfusi yang terjadi spontan maupun karena upaya terapetik membuat
pembentukan radikal oksigen bebas (Reactive Oxygen Species = ROS) meningkat karena
pengaliran kembali darah ke jaringan di mana taraf ekstraksi oksigen sudah meningkat
tajam. Kedua hal ini menyebabkan meningkatnya kerusakan jaringan yang dikenal
sebagai “reperfusion injury”.3,5
Apoptosis

2+
Influx Ca berakibat mitokondria menjadi “overloaded” dalam usaha mengatasi
influx tersebut, terjadi kegagalan metabolik pada mitokondria. Akibatnya cytocrome-c bocor
dari ruang intermembran mitokondria dan berikatan membentuk suatu kompleks dengan
apaf-1 (Apoptotic Protease Activating Factor) dan pro-caspase9, yang disebut:
“Apoptosome”. Apoptosome mengaktifkan caspase (Cysteine aspartic acid-specific
protease)9, yang selanjutnya mengaktifkan pro-caspase3 menjadi caspase3 yang aktif.
Caspase 8 dan 9 adalah “initiator caspase” sedangkan caspase 3,6, dan 7 disebut “effector
caspases” karena mengeksekusi proses apoptosis, yaitu merombak enzim, unsur protein
rangka sel (ß -actin, lamins, fodrin, dan lain-lain), ICAD (Inhibitor of Caspase Activated
DNAse) yang berakibat DNAse menjadi aktif dan merusak DNA nukleus dan protein-protein
lainnya yang terlibat dalam regulasi (ketahanan) “survival” sel seperti Bcl-2, Bcl- xL,
phospholipase A2, dan protein kinase Co, hingga akhirnya mengakibatkan apoptosis,
atau sering juga disebut: “programmed Cell Death”. Bcl-2, Bcl-xL, Bax, Bid, dan Bad
adalah protein yang tergolong “Bcl2-family” dan bersifat pro-apoptotik (Bax, Bid, dan Bad)
dan anti-apoptotik (Bcl-2, Bcl-xL). Bax dan Bid mengakibatkan terjadinya Permeability
Transition Pore (PTP) pada membran luar mitokondria sehingga cytochrome-c bisa bocor
keluar dengan akibat apoptosis. Bcl-2 dan Bcl-xL mencegah terjadinya PTP ini. Bax bisa
bekerja dengan membuat saluran untuk Ca atau meningkatkan Bcl-2 sehingga efek anti-
apoptotik Bcl-2 terhalang, demikian pula Bad mengikat Bcl-xL. Kerusakan pada DNA
terjadi karena antara lain: AIF (Apoptosis Inducing Factor) yang berasal dari ruang
intermembran mitokondria, bertranslokasi ke nukleus dan menimbulkan kerusakan,
aktifnya endonucleases seperti Endonuclease G, PARP (Poly-ADP Ribose Polymerase)
memicu kematian sel melalui apoptosis dengan menempuh berbagai jalur. Salah satu jalur
melibatkan (protein) reseptor CD95 atau FAS receptor (yang tergabung dalam TNF receptor
family) beserta Fas ligand, yang disebut TRAIL (TNF Receptor Apoptosis Inducing Ligand)
yang membentuk jalur menuju apoptosis yang disebut jalur ekstrinsik atau juga “Death
Receptor Pathway”. Dibedakan dengan jalur mitokondria yang disebut jalur intrinsik,
keduanya melibatkan caspase. Disamping itu masih ada satu jalur yang tidak melibatkan
caspase, dinamakan: “Caspase- independent Pathway” yang dipicu oleh keluarnya AIF dari
mitokondria, dan karena pengaruh aktivasi PARP bertranslokasi ke nukleus dan
menimbulkan fragmentasi DNA, diikuti apoptotic death.3,5

Manifestasi Klinis

Derajat encephalopathy dibagi 3, secara keseluruhan resiko terjadi kematian atau


kecacatan berat tergantung pada derajat HIE:

a. Derajat 1 : 1,6%
b. Derajat 2 : 24%
c. Derajat 3 : 78%
d. Ensefalopati >6 hari pada derajat 2 juga mempunyai resiko tinggi terjadi kecacatan
neurologi berat

Kelainan EEG digolongkan menjadi 3 yang masing-masing menunjukkan angka rata-


rata kematian atau kecacatan berat:

a. Kelainan berat (burst suppression, low voltage atau isoelektrik) : 95%


b. Kelainan sedang (slow wave activity) : 64%
c. Kelainan ringan atau tanpa kelainan : 3,3%

Tabel 1. Klasifikasi Derajat Hipoksik Iskemik Ensefalopati (Sarnat dan Sarnat).6

Tanda klinis Derajat 1 Derajat 2 Derajat 3


Tingkat kesadaran Iritabel Letargik Stupor, coma

Tonus otot Normal Hipotonus Flaksid

Postur Normal Fleksi Decerebrate

Refleks Hiperaktif Hiperaktif Tidak ada


tendon/klonus

Myoclonus
Tampak Tampak Tidak tampak

Refleks Moro
Kuat Lemah Tidak ada

Pupil
Midriasis Miosis Tidak beraturan,
refleks cahaya
lemah

Kejang Tidak ada Sering terjadi Decerebrate

EEG Normal Voltage rendah Burst suppression


yang berubah to isoelektrik
dengan kejang
Beberapa hari
Durasi <24 jam
24 jam – 14 hari hingga minggu

Hasil akhir Baik


bervariasi Kematian,
kecacatan berat

Pucat, sianosis, apnea, bradikardia dan tidak adanya respon terhadap stimulasi juga
merupakan tanda-tanda ensefalopati hipoksik iskemik. Cerebral edema dapat berkembang
dalam 24 jam kemudian dan menyebabkan depresi batang otak. Selama fase tersebut, sering
timbul kejang yang dapat memberat dan bersifat refrakter dengan pemberian dosis standar
obat antikonvulsan.7

Pemeriksaan Penunjang

EEG

Dapat memprediksi keadaan klinis termasuk kemungkinan untuk hidup dan sekuele
neurologis jangka panjang, seperti kuadriplegia spastik atau diplegia.8

USG

Dapat mendeteksi perdarahan. USG kurang baik untuk mendeteksi kerusakan


kortikal. Lesi baru terlihat setelah 2-3 hari terjadi kelainan. Penggunaan USG
(ultrasonography) menguntungkan karena nyaman, tidak invasif, murah, dan tanpa paparan
radiasi pada neonatus yang hemodinamis tidak stabil. Selain itu, USG Doppler kranial dapat
menilai resistive index (RI), yang memberikan informasi perfusi otak. Peningkatan nilai RI
menunjukkan prognosis buruk.8

CT-Scan
CT-scan merupakan modalitas yang paling kurang sensitif untuk menilai HIE karena
tingginya kandungan air pada otak neonates dan tingginya kandungan protein cairan
serebrospinal mengakibatkan buruknya resolusi kontras parenkim. Selain itu, paparan
radiasinya tinggi. Namun, CT-scan dapat menscreen perdarahan pada neonatus sakit tanpa
sedasi. Hipodensitas baru tampak setelah 10-14 hari terjadi kelainan. Resiko terjadi kematian
atau kecacatan neurologi berat berkisar 82% pada bayi yang memperlihatkan hipodensitas
berat atau perdarahan berat.8

MRI

Merupakan pencitraan yang paling sensitive dan spesifik untuk bayi yang diduga
cedera otak hipoksik-iskemik.7 Lokasi, distribusi, dan derajat keparahan lesi hipoksik-
iskemik dapat dideteksi oleh MRI (magnetic resonance imaging) dan berhubungan dengan
hasil akhir. MRI pada hari-hari pertama kehidupan juga dapat berguna untuk prognosis dan
membantu pengambilan keputusan seperti terminasi kehidupan. MRI juga dapat
menyingkirkan penyebab ensefalopati lain, seperti perdarahan, infark serebral, neoplasma,
dan malformasi kongenital.8,9

Penatalaksanaan

Resusitasi

1. Ventilasi yang adekuat. Usahakan memberikan ventilasi sehingga PCO2 dalam kadar
yang fisiologis. Hypercarbia akan menyebabkan acidosis cerebral dan
vasodilatasi pembuluh darah cerebral yang menyebabkan aliran perfusi pada daerah
yang tidak terkena menjadi meningkat dengan relatif iskemia merusak jaringan
tersebut (steal phenomenon) memperluas infark, dan menimbulkan pendarahan
intrakranial. Sebaliknya hipokarbia (Paco2 < 20-25 mm Hg) akan menyebabkan
menurunnya aliran darah otak dengan akibat ischemic injury.
2. Oksigenasi yang adekuat. Hypoxia akan menyebabkan pressure-passive circulation
dan neuronal injury yang disebabkan karena adanya gangguan autoregulasi vaskuler
serebral. Sebaliknya hyperoxia akan menyebabkan neuronal injury karena
berkurangnya aliran darah otak dan adanya perubahan vaso-obliterative yang
menyebabkan retinopathy of prematurity. Di samping itu, hyperoxia akan
menyebabkan kerusakan jaringan bertambah berat karena adanya peningkatan radikal
bebas.
3. Perfusi yang adekuat. Mempertahankan tekanan darah arterial dalam batas normal
sesuai dengan umur kehamilan dan beratnya. Jika terlalu rendah akan menyebabkan
iskemik, bila terlalu tinggi akan menyebabkan pendarahan pada daerah germinal
matrix dan intraventrikular pada bayi prematur. Hindarilah hematrocrit lebih dari 65%
(hiperviskositas) yang dapat menyebabkan menurunnya cerebral blood flow velocity
dan timbul ischemic dan pendarahan dengan gejala-gejala klinis neurologi kejang,
letargi, atau apnea.
4. Koreksi asidosis metabolik. Tujuan utama untuk memelihara keseimbangan
asam basa dalam jaringan tetap normal. Perfuse or lose gunakan bikarbonat hanya
bila resusitasi kardiopulmonar berkepanjangan dan bayi tidak ada respon serta
ventilasi sudah baik. Diberikan NaBic 4,2% dosis 1-2 mEq/Kg BB atau 2 ml/Kg BB.
Penggunaan bikarbonat mungkin menyebabkan hypercarbia dan asidosis intraselular
dan meningkatnya asam laktat.
5. Pertahankan kadar glukosa dalam darah antara 75 sampai 100 mg/dL, untuk
menyediakan bahan yang adekuat bagi metabolisme otak. Hindarilah hyperglycemia
untuk mencegah hyperosmolality dan kemungkinan meningkatnya kadar asam laktat
dalam otak. Hal ini dapat menyebabkan edema cerebri dan mengganggu autoregulasi
vaskuler sehingga timbul pendarahan. Bila kadar glukosa rendah dapat menimbulkan
neuronal injury dan memperluas daerah yang mengalami infark.
6. Kadar kalsium harus dipertahankan dalam kadar yang normal. Hypocalcemia adalah
suatu kelainan elektrolit yang sering dijumpai pada sindroma postasfiksia neonatal
dengan gejala kejang. Diberikan Ca glukonas 10% 200 mg/kg BB intravena atau 2
ml/kg BB diencerkan dalam aquades sama banyak diberikan secara intravena dalam
waktu 5 menit.
7. Atasi kejang. Bila ada kejang maka phenobarbital adalah obat pilihan. Dosis 20 mg/kg
diberikan iv dalam 10-15 menit. Dosis ini dapat mencapai kadar dalam darah 20 g/ml.
Sayangnya di Indonesia belum tersedia preparat phenobarbital yang diberikan
intravena. Phenobarbital dapat diberikan secara intramuskuler. Dosis intramuskuler
yang diberikan adalah 10-15% lebih tinggi dari pemberian intravena. Jika
kejangnya hilang diberikan dengan dosis rumatan 3-4 mg/kg BB/hari dengan selisih
waktu 12 jam kemudian. Secara teoritis, bila penderita masih kejang dapat
diberikan tambahan Phenobarbital dengan dosis 5 mg/kg BB setiap 5 menit sampai
kejang berhenti, atau sampai dosis 40 mg/kg BB sudah tercapai. Tetapi kenyataannya
pada neonatus yang mengalami asfiksia di mana telah mendapatkan phenobarbital
dosis 20 mg/kg BB akan menyebabkan ngantuk dan sulit menganalisa neorologisnya.
Oleh karena itu apabila neonatus yang mengalami asfiksia dan kejang yang telah
diberikan phenobarbital dosis sampai 20 mg/kg BB tidak memberikan respon, maka
diberikan fenitoin dengan dosis 20 mg/kg BB intravena dalam waktu 30 menit atau 1
mg/kg BB/menit, dilanjutkan dengan dosis rumatan 5-10 mg/kg/BB/hari diberikan
setiap 8 jam. Perlu diperhatikan obat harus masuk dalam intravena karena pH
larutannya 12 sehingga menyebabkan vena perifer mudah pecah. Di samping itu perlu
diwaspadai kemungkinan timbulnya kardiak aritmia. Pada umumnya dengan
pengobatan kombinasi penobarbital dengan fenitoin maka 85% kejang dapat diatasi.
Bila tetap kejang maka diberikan lorazepam. Lorazepam adalah suatu anti convulsan
golongan benzodiazepim diberikan dengan dosis 0,05-0,10 mg/kg BB intravena
dalam waktu beberapa menit. Dengan pengobatan ini, 95-100% kejang akan berhenti.
Keuntungan lorazepam efek sampingnya terhadap depresi pernafasan dan hipotensi
lebih ringan dibandingkan diazepam. Disamping itu pengeluarannya dari jaringan
otak lebih lambat, tetapi preparat ini belum tersedia di Indonesia. Pemberian
diazepam pada asfiksia perinatal yang mengalami kejang tidak begitu disukai apalagi
dikombinasikan dengan pemberian phenobarbital. Secara teoritis, pemberian
diazepam dalam beberapa menit sudah dikeluarkan dari otak, menyebabkan depresi
kardio pulmonar apabila dikombinasikan dengan phenobarbital, adanya Na-benzoate
sebagai vehikulum akan terjadi kompetitif inhibitor terhadap ikatan kompleks
albumin bilirubin sehingga bayi menjadi ikterus. Tetapi kenyataannya masih dapat
diberikan pada neonatus yang mengalami asfiksia berat dengan dosis 0,3 mg/kg
BB/jam secara continous infusion. Pemberian obat antikonvulsan dapat menghentikan
kejang secara klinis, tetapi belum tentu menghilangkan kejang elektrografik. Jadi
hilangnya kejang secara klinis belum menunjukkan keberhasilan pengobatan. Perlu
dilakukan pemeriksaan EEG. Bila saat pulang pemeriksaan EEG normal maka
antikonvulsan diberhentikan. Jika EEG saat pulang masih abnormal, terapi
antikonvulsan phenobarbital 3-4 mg/kg/hari dilanjutkan 1 bulan, jika menggunakan
antikonvulsan fenitoin, maka dosis rumatannya 3-4 mg/kg/hari. Apabila pemeriksaan
EEG setelah 1 bulan normal, pengobatan dihentikan, tetapi bila hasil pemeriksaan
EEG tetap abnormal, terapi dilanjutkan sampai 3 bulan, kemudian dilakukan
pemeriksaan EEG lagi. Bila pemeriksaan EEG tetap abnormal, terapi dilanjutkan
sampai umur 1 tahun.
8. Mencegah timbulnya edema cerebri. Tujuan utama untuk mencegah timbulnya
edema cerebri dengan cara mencegah overload dari cairan. Restriksi cairan dengan
pemberian 60 mL/kg BB per hari. Waspadailah bayi kemungkinan timbul
SIADH (Syndrome Inappropriate Anti Deuretic Hormon). Penggunaan
glucocorticoids dan osmotic agents tidak direkomendasikan.

Non-farmakologi

Terapi Hipotermia

Saat ini terapi hipotermia merupakan terapi utama HIE dan terbukti sangat efektif
mengurangi risiko kematian dan disabilitas bayi baru lahir usia gestasi ≥36 minggu dengan
klasifikasi HIE derajat sedang dan berat. Namun, defisit neurologis menetap pada 40- 50%
pasien setelah terapi hipotermia. Tujuan utama terapi hipotermi adalah menurunkan
metabolisme otak, menyimpan energi, dan mencegah kegagalan energy sekunder dan
kematian sel, sehingga tidak terjadi fase cedera sekunder. Penurunan temperatur hingga suhu
34,5±0,5°C untuk selective head cooling dan 33,5±0,5°C untuk whole-body cooling telah
menjadi standar penanganan bayi dengan cedera otak. Untuk setiap penurunan 1°core
temperature, laju metabolik serebral turun sebesar 6-7%. Dua metode terapi hipotermia, yaitu
wholebody cooling dan selective head cooling; belum ada metode yang dianggap lebih
superior. Mortalitas kedua metode tersebut tidak terlalu berbeda, namun morbiditasnya
berbeda; pada whole-body cooling terdapat peningkatan frekuensi kejadian trombositopenia,
koagulopati, dan/atau kolestasis. Sedangkan kejadian kejang dan penggunaan obat
antikonvulsan lebih tinggi pada metode selective head cooling.10

Terapi hipotermi dilakukan berdasarkan beberapa faktor berikut:10

a. Berat lahir ≥1800 gram


b. Hasil analisis gas darah
c. Riwayat kejadian perinatal akut
d. Skor APGAR
e. Kebutuhan untuk resusitasi
f. Pemeriksaan fisik (kejang, tingkat kesadaran, aktivitas spontan, postur, tonus, refleks
primitif, dan parameter sistem saraf otonom)

Saat tepat untuk memulai terapi hipotermi yang efektif dan optimal adalah sesegera
mungkin dalam usia kehidupan enam jam, serta dijaga hingga 48-72 jam. Selama terapi,
beberapa parameter harus dipantau, antara lain laju dan fungsi jantung, tekanan darah,
elektrolit, gas darah, gula darah, faktor koagulasi. Setelah terapi selesai, proses penghangatan
harus dilakukan bertahap dan perlahan menggunakan selimut penghangat atau udara hangat.
Efek samping jangka pendek terapi hipotermi adalah peningkatan sinus bradikardi dan
peningkatan signifikan trombositopenia. Namun, keuntungan terapi hipotermi jauh lebih
signifkan dibandingkan kejadian efek samping jangka pendek.10

Terapi Sel Punca/ Stem Cell Therapy

Pada cedera hipoksik-iskemik, terjadi kerusakan sel yang berakibat nekrosis dan
apoptosis. Terapi sel punca bertujuan untuk mengganti sel-sel rusak serta efek pelepasan
faktor tropik dan faktor anti-apoptosis yang memiliki efek antiinflamasi. Akan tetapi, jenis
dan sumber sel terbaik masih belum diketahui, kebanyakan peneliti menggunakan sel punca
neural atau sel punca mesenkimal. Beberapa penelitian menggunakan darah tali pusat sebagai
sumber sel punca karena diketahui kaya akan sel punca; keuntungannya mudah didapat, kaya
sel punca primitif, tidak membutuhkan imunosupresan untuk transplantasi autologus, dan
dapat disimpan hingga ≥30 tahun. Sedangkan kerugiannya adalah jumlah sel terbatas,
berpotensi menularkan infeksi dan penyakit genetic.10

Farmakologi

Secara umum, efek farmakologi yang diharapkan adalah efek antioksidan,


antiinflamasi, dan antiapoptosis. Efek antioksidan diharapkan dapat mengurangi radikal
bebas yang toksik dan menghambat masuknya kalsium yang berlebih ke dalam sel saraf.10

Allopurinol memiliki efek antioksidan dan diketahui dapat mengurangi pembentukan


radikal bebas yang merusak jaringan dan dapat menjaga sawar darah otak. Penelitian pada
manusia menggunakan 500 mg allopurinol intravena sesaat sebelum persalinan pada bayi
yang dicurigai asfiksia janin. Dalam beberapa tahun terakhir, cannabinoid diketahui memiliki
fungsi neuroprotektor karena dapat memodulasi respons neuronal dan glial. Selain itu,
cannabinoid juga memiliki fungsi sel endotelial, antieksitotoksik, antiinflamasi, efek
vasodilator, dan mengatur homeostasis kalsium.10

Makin banyak bukti klinis dan eksperimental bahwa recombinant human


erythropoietin (rhEPO) memiliki efek neuroprotektif dengan mengikat reseptor EPO di
neuron dan glia. Dosis rendah rhEPO (300 atau 500 U/kg) berhubungan dengan penurunan
risiko. kematian dan disabilitas pada bayi HIE ringan cukup bulan, sedangkan dosis tinggi
rhEPO (2500 U/kg) diberikan dalam 48 jam pertama kehidupan meningkatkan perbaikan
perkembangan neurologis, menurunkan aktivitas kejang, perbaikan abnormalitas EEG dalam
2 minggu, dan mengurangi abnormalitas neurologis dalam 6 bulan pada bayi cukup bulan
dengan HIE ringan atau sedang. Banyak agen farmakologi lain yang memiliki efek
antioksidan, antiinflamasi, atau antiapoptosis seperti statin, xenon, argon, fenobarbital,
MgSO4, melatonin, dan N-asetilsistein. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap
manusia.10

Prognosis

Penderita yang mengalami ensefalopati hipoksik iskemik prognosisnya bervariasi, ada


yang sembuh total, cacat, atau meninggal dunia. Pada stadium ringan pada umumnya sembuh
total, pada stadium sedang, 80% normal, sisanya timbul kelainan bila gejalanya tetap ada
lebih dari 5-7 hari.3,5

Bagaimanapun juga nilai prediksi untuk hasil perkembangan neurologi yang lanjut
sulit dievaluasi, terutama jika dianalisa secara individual, karena pengaruh lingkungan,
psikososial, kebiasaan, dan pengaruh lainnya merupakan faktor yang mempengaruhi outcome
jangka panjang. Tetapi ada beberapa faktor atau keadaan yang dapat dipakai untuk menilai
prognosis. Prognosisnya jelek apabila:3,5

a. Asfiksia berat yang berkepanjangan (Apgar score =3 pada umur 20 menit)


b. Ensefalopati hipoksik iskemik stadium berat menurut Sarnat dan Sarnat, 50%
meninggal dunia, sisanya timbul gejala sisa yang berat
c. Kejang yang sulit diatasi muncul sebelum 12 jam yang disertai dengan kelainan
multi organ.
d. Adanya kelainan neurologi yang persisten pada 1-2 minggu saat dipulangkan,
50% akan timbul epilepsy
e. Adanya oliguria persisten (produksi urine <1 ml/kg BB per jam selama 36 jam
pertama)
f. Mikrosefali pada 3 bulan pertama setelah lahir. Menurunnya rasio lingkaran
kepala yang didapatkan pada waktu lahir dibandingkan dengan usia 4 bulan
dibagi rerata lingkaran kepala pada usianya kali 100% > 3,1% merupakan cara
untuk memprediksi timbulnya mikrosefali sebelum usia 18 bulan
g. Adanya kelainan EEG yang sedang sampai berat. Adanya EEG yang normal atau
ringan yang terjadi pada hari pertama setelah lahir merupakan tanda outcome yang
normal, Adanya EEG yang normal atau mendekati normal yang terjadi pada hari
pertama setelah lahir walaupun bayinya koma, merupakan prediksi yang kuat
outcome neurologik yang baik. Pemulihan EEG yang normal pada hari ke-7
biasanya disertai dengan outcome yang normal.
h. Adanya kelainan CT scan yang berupa pendarahan yang berat, periventrikuler
leukomalasi (PVL) atau nekrosis
i. Kelainan MRI yang timbul pada 24-72 jam pertama setelah lahir. Sebaliknya
pemeriksaan MRI yang normal pada 24-72 jam setelah lahir hampir selalu
menghasilkan prediksi outcome yang baik, walaupun pada neonatus yang mengalami
asphyxia berat.

Daftar Pustaka

1. Wong. Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. EGC. Jakarta.


2. Aurora S, Snyder EY. Perinatal Asphyxia. 2004. In: Cloherty JP, Eichenwald EC,
Srark AR eds. Manual of Neonatal Care 5 th ed. Philadelphia, Lippincott Williams &
Walkins.
3. Ekert P, Perlman M, Steilin M, et al. Predicting the outcome of postasphyxial
hypoxic-ischaemic encephalopathy within 4 hours of birth. J Pediatr 1997.
4. Bager B. 1997. Perinatally acquired brachial plexus Palsy a persisting challenge.
5. Cordes I, Roland EH, Lupton BA, et al. Early prediction of the development of microcephaly
after hypoxic-ischaemic encephalopathy in the full term newborn. Pediatrics 1994.
6. Kliegman RM, Stanton BF, St Geme III JW, Schor NF, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 20th ed. Philadelphia: Elsevier; 2016.
7. Hall RT, Hall FK, Daily DK. 1998. High-dose Phenobarbital therapy in term-infants
with severe perinatal asphyxia: A randomised, prospective study with three-years
follow-up.
8. Chao CP, Zaleski CG, Patton AC. Neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy:
Multimodality imaging findings. RadioGraphics 2006.
9. Agut T, Leon M, Rebollo M, Muchart J, Arca G, Alix AG. Early identification of
brain injury in infants with hypoxic ischemic encephalopathy at high risk for severe
impairments: Accuracy of MRI performed in the first days of life. BMC Pediatrics
2014.
10. Anggriawan A. 2016. Tinjauan klinis hypoxic-ischemic encephalopathy. CDK-243/
vol. 43 no. 8.

You might also like