You are on page 1of 3

Anggota Kelompok:

1. Darrell Putra Halim - 195010100111099 - Absen 10


2. Ken Andarini - 195010101111069 - Absen 21
3. Achmad Rilyadi Sholeh - 195010101111073 - Absen 22

Kelas Kejahatan Korporasi B

Ratio Legis Pengaturan Pidana Tambahan bagi Korporasi

Nomor Undang-undang Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang


Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Bunyi Pasal yang Mengatur Pidana Pasal 119 huruf (d) yang berbunyi: “Pewajiban
Tambahan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak”

Ratio Legis Pidana Tambahan Pelestarian lingkungan diperlukan dalam


mengelola lingkungan sehingga diperlukan
landasan yuridis dalam bentuk peraturan
perundang-undangan yang sedemikian rupa yaitu
Undang-undang 32 tahun 2009 yang memuat
sanksi-sanksi didalamnya. Salah satu bentuk
sanksi yang terdapat dalam peraturan tersebut
termuat dalam Pasal 119 terutama huruf (d). Awal
mula dibentuknya sanksi ini berawal dari
Lemahnya Perumusan tentang Sanksi
Administrasi dalam UU No. 23 tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam
peraturan tersebut penerapan sanksi audit
lingkungan hidup wajib juga sangat minim. Selain
itu dalam pengenaan sanksi pidananya, hampir
semua daerah provinsi dan kabupaten/kota yang
menindaklanjuti pelanggaran peraturan dari hasil
pengawasan dengan pembinaan teknis.
Pembinaan teknis yang dimaksud adalah berupa
himbauan tertulis atau lisan untuk meningkatkan
kinerjanya dalam pengendalian pencemaran dan/
atau perusakan lingkungan tanpa batas waktu
yang jelas. Oleh karena itu perlu dibentuk suatu
dasar hukum yang mengatur secara jelas sanksi
yang akan diberikan kepada pihak yang
melanggar peraturan perlindungan tersebut.
Selain itu, perlindungan lingkungan masih lemah
yang diindikasikan oleh lemahnya tingkat
penaatan pelaku usaha dan masyarakat dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Munculnya konflik
lingkungan, secara umum disebabkan oleh
eksploitasi sumberdaya alam Indonesia yang
mengabaikan kepentingan atau hak masyarakat,
keadilan dan prinsip perlindungan daya dukung
dan fungsi ekosistem. Hal ini tidak sejalan
dengan asas yang terkandung dalam
Undang-undang 32 tahun 2009 yakni pada asas
Tanggung jawab negara untuk menjamin bahwa
pemanfaatan sumber daya alam akan
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik
generasi masa kini maupun generasi masa
depan, serta asas kelestarian dan keberlanjutan
yaitu bahwa setiap orang memikul kewajibannya
dan tanggung jawab terhadap generasi
mendatang.
Legislator menilai dalam pembuatan sanksi ini
didasarkan dari fenomena banyaknya kelalaian
yang dilakukan dalam pengelolaan lingkungan
oleh korporasi seperti dalam hal lalai secara
administratif, pengelolaan dan pemulihan
lingkungan serta masih lemahnya sanksi pidana
yang hanya berpatokan terhadap denda dan
pengabaian terhadap pengelolaan dan pemulihan
lingkungan.
Kewajiban korporasi seperti dalam hal perizinan
amdal, pengecekan baku mutu, pemulihan
lingkungan, pengelolaan limbah, dan lain-lain
merupakan kewajiban yang sering korporasi
abaikan sehingga menimbulkan kelalaian. Oleh
karena itu, dengan adanya sanksi ini diharapkan
terdapat kepastian hukum agar korporasi dapat
melaksanakan kelalaian yang diakibatkannya
sendiri.
Misalnya pelaku tindak pidana pengelolaan
limbah B3 dihukum untuk memulihkan air sungai
ke kondisi semula sebelum terjadinya
pencemaran. Pelaku tindak pidana dalam
pelaksanaan pemulihan kondisi air sungai
tersebut melakukan kelalaian yang didasarkan
pada amar putusan pengadilan sehingga pasal
119 terkhususnya huruf (d) hadir sebagai
kepastian hukum serta penambah pemidanaan
dari pidana tambahan lainnya yang terkandung
dalam peraturan ini.

Link Sumber https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/38771/u


u-no-32-tahun-2009

You might also like